Você está na página 1de 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Merupakan salah satu bentuk dermatofitosis yaitu penyakit jamur pada jaringan yang mengandung zat tanduk seperti kuku, rambut, dan stratum korneum pada epidermis, yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita1.

B. Etiologi Penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, diikuti oleh Trichophyton mentagrophytes varian interdigitale, dan Epidermophyton floccosum. T. rubrum tersering ditemukan pada kuku tangan, sedangkan T. Mentagrophytes terutama pada kuku kaki2.

C. Faktor Predisposisi Beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi terjadinya tinea unguium adalah trauma, hiperhidrosis palmar dan plantar, keadaan imonusupresi, gangguan sirkulasi perifer, distrofi lempeng kuku oleh berbagai sebab, dan salah posisi perlekatan perifer kuku ke lipat kuku dan hiponikium2.

D. Epidemiologi Tinea unguium lebih sering menyerang orang dewasa bersamaan tinea pedis dan tinea manus. Penyakit ini sering menyerang orang yang selalu bersinggungan dengan air kotor. Lingkungan lembab dan basah dapat mempermudah terjangkitnya penyakit ini3. Tahun 2003 dilakukan survey pada 16 negara di Eropa untuk penyakit yang ditemukan di kaki, dan ditemukan onikomikosis menjadi penyakit infeksi jamur pada kaki yang paling sering dan prevalensinya diperkirakan sekitar 27%. Prevalensinya meningkat sesuai peningkatan umur. Di kanada, prevalensinya diperkirakan mencapai 6,48%. Onikomikosis diperkirakan muncul pada 1/3 penderita diabetes dan 56% lebih sering pada pasien dengan psoriasis4. Tinea unguium seringkali muncul bersamaan dengan tinea pedis yang merupakan penyakit infeksi yang banyak muncul pada orang dewasa tetapi jarang pada anak-anak. Jamur didapatkan melalui kontak dengan lesi kulit yang mengandung jamur atau jamur pada daerah yang lembab seperti kolam renang, ruang penyimpanan, dan kamar mandi. Tinea pedis dapat menyebar kepada seluruh keluarga dan akan tetap menular selama infeksi masih muncul5.

E. Etiopatogenesis Banyak faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ini, antara lain lokasi geograifis, usia, jenis kelamin, kebiasaan, latar belakang genetik. Kemampuan dermatofita menimbulkan infeksi kronik juga penting, hal ini disebabkan multi faktorial yang terdiri dari faktor dermatofita, misalnya virulensinya. Dermatofita golongan antrofilik terutama menyerang manusia, dan memilih manusia sebagai hospes tetapnya. Golongan ini menyebabkan dermatofitosis yang menahun dan residif, karena reaksi penolakan tubuh yang sangan minimal. Faktor yang terpenting dalam virulensi ini adalah kemampuan spesies jamur menghasilkan keratinisasi dan mencerna keratin di kulit 6,7,13. Invasi jamur dermatofit ke epidermis dimulai dengan perlekatan (adherens) artrokonodia pada keratinosit diikuti dengan penetrasi melalui atau diantara sel epidermis sehingga menimbulkan reaksi dari hospes. Proses perlekatan artrokonodia ke keratinosit pada stratum korneum, memerlukan waktu 2 jam dimana terjadi pertumbuhan artrokonidia dan perpanjangan hifa. Penetrasi ke dalam epidermis disebabkan karena dermatofit bersifat keritinofilik, mempunyai ensim proteolitik keratinase yang dapat merusak keratin dari kulit, rambut, dan kuku8. Untuk dapat menimbulkan penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh baik non-spesifik maupun spesifik. Selain itu dermatofit sebagai suatu jamur patogen, harus mampu untuk 8: Menempel dan menembus kulit atau selaput lender.

Bertahan dan menyesuaikan diri terhadap temperature dan lingkungan jaringan hospes

Tumbuh, berkembang biak dan mengatasi sistem pertahanan tubuh nonspesifik dan spesifik

Menimbulakan kerusakan jaringan Kemampuan dematofit untuk menyesuaikan diri di dalam lingkungan

jaringan hospes dan mengatasi pertahanan seluler merupakan mekanisme penting dalam pathogenesis dermatofitosis8. Lingkungan di kulit penderita yang sesuai merupakan faktor penting bagi perkembangan dermatofitosis. Kulit tidak utuh akibat trauma, kelembaban tinggi dengan maserasi merupakan faktor yang memudahkan infeksi. Pakaian ketat yang tidak menyerap keringat dapat meningkatkan kelembaban sehingga memudahkan timbulnya Tinea pedis8. Pada masa inkubasi, dermatofit akan tumbuh dan berkembang di stratum, korneum, belum menimbulkan kelainan klinik meskipun

pemeriksaan KOH dapat positif. Selain itu, untuk menimbulkan penyakit dibutuhkan keadaan dimana kecepatan pertumbuhan dermatofit sama atau lebih cepat dibandingkan epidermal turn over dari epidermis8. Karatinase atau ensim proteolitik lain yang diproduksi jamur berpangaruh terhadap kolonisasi dan daya dermatofit tersebut. Dermatofit juga memproduksi katalase dan superoxide dismutase yang dapat melawan sistem myeloperoksidase dari sel fagosit8.

F. Manifestasi Klinik Penyakit ini sering menyertai tinea pedis atau tinea manus. Keluhan penderita berupa kuku menjadi rusak dan warnanya menjadi suram. Bergantung penyebabnya, destruksi kuku dapat mulai dari distal, lateral, maupun keseluruhan. Bila disertai paronikia, sekitar kuku akan terasa nyeri dan gatal. Pada umumnya tinea unguium berlangsung kronik dan sukar penyembuhannya1. Dikenal 3 bentuk gejala klinis yaitu1: 1. Bentuk subungual distalis. Penyakit ini mulai dari tepi atau distolateral kuku. Penyakit akan menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. 2. Leukonikia trikofita atau leukonikia mikofita. Bentuk ini berupa bercak keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk membuktikan adanya elemen jamur. 3. Bentuk subungual proksimal. Pada bentuk ini, kuku bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Kuku kaki lebih sering diserang daripada kuku tangan. G. Penegakan Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10 %. Pada sediaan KOH dari kuku, jamur tampak sebagai hifa berseptum dan bercabang. Hifa-hifa tersebut akan membentuk artrospora dan spora-spora yang tersusun rapat6.

Pembiakan dilakukan untuk melihat elemen jamur pada medium Agar Sabouroud yang dibubuhi antibiotik dan disimpan pada suhu kamar. Spesies jamur ditentukan oleh sifat koloni, hifa dan spora yang dibentuk6. H. Penatalaksanaan Pengobatan infeksi kuku memerlukan ketekunan, pengertian,

kerjasama, dan kepercayaan antara penderita dan dokter. Kelainan kuku merupakan kelainan yang banyak penyebabnya. Diagnosis harus ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis sebelum pengobatan spesifik diberikan. Pengobatanya sendiri sulit dan lama. Pemberian griseofulvin 500 mg sehari selama 3-6 bulan untuk kuku jari tangan dan 9-12 bulan untuk kuku jari kaki merupakan pengobatan standar. Pemberian Itrakonazol atau Terbenafin peroral selama 3-6 bulan juga memberikan hasil yang baik. Bedah skalpel tidak dianjurkan terutama untuk kuku jari kaki, karena, kalau residif akan mengganggu pengobatan berikutnya. Obat topikal dapat diberikan dalam bentuk losio atau kombinasi krim Bifonazol dengan urea 40 % dengan bebat1. Griseofulvin diberikan dalam dosis 5-15 mg/kgBB/hari untuk anak, sedangkan untuk dewasa 500-1000 mg/hari. Kurang baik penyerapannya pada saluran cerna bagian atas karena tidak larut dalam air. Absorpsi meningkat jika diberikan bersamaan dengan makanan berlemak. Obat ini di metabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah 6-metilgriseofulfin. Waktu paruh obat ini kira-kira 24 jam, 50% dosis oral akan dikeluarkan bersama urin dalam bentuk metabolit selama 5 hari. Efek samping yang berat jarang timbul pada pemakaian griseofulvin. Leukopenia dan granulositopenia dapat terjadi pada

pemakaian dosis besar dalam waktu lama. Sakit kepala merupakan keluhan utama, terjadi kira-kira pada 15% pasien, yang akan hilang dengan sendirinya walaupun pemakaian obat diteruskan. Efek samping lainnya seperti artralgia, neuritis perifer, demam, pandangan kabur, insomnia, berkurangnya fungsi motorik, pusing, sinkop; pada saluran cerna dapat terjadi rasa kering di mulut, mual, muntah, diare, dan flatulensi. Mungkin pula ditemukan albuminuria dan silinderuria tanpa kelainan ginjal. Pada kulit dapat terjadi urtikaria, reaksi fotosensitifitas, eritema multiforme, vesikula dan erupsi menyerupai morbili. Pada anak dapat timbul reaksi menyerupai efek estrogen. Griseofulvin akan dihambat pencernaannya oleh barbiturat. Dosis sangat tinggi griseofulvin bersifat karsinogenik dan teratogenik sehingga tidak perlu diberikan pada dermatofitosis ringan9. Itrakonazole merupakan antijamur turunan triazol yang erat

hubungannya dengan ketokonazole. Aktifitas antijamurnya lebih lebar sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan ketokonazole. Itrakonazole diserap sempurna bila diberikan bersama makanan. Rifampisin akan mengurangi kadar plasma itrakonazole. Sepuluh sampai 15% pasien mengeluh mual atau muntah tetapi pengobatan tidak perlu dihentikan. Kemerahan, pruritus, lesu, pusing, edema kaki, parestesia, dan kehilangan libido pernah dilaporkan. Intrakonazole untuk onikomikosis diberikan satu kali 200 mg sehari selama 12 minggu9. Dosis untuk anak

diberikan 5 mg/ kgBB/ hari. Dosis lebih dari 200 mg sehari harus diberikan terbagi dalam 2 dosis10. Terbinafin diserap baik melalui saluran cerna, tetapi bioavalabilitas oralnya hanya 40% karena mengalami metabolisme lintas pertama di hati. Waktu paruh awal adalah 12 jam dan berkisar antara 200-400 jam bila telah mencapai kadar mantap. Obat ini masih dapat ditemukan di dalam plasma 4-8 minggu setelah pengobatan yang lamaefek samping terfbinafin jarang terjadi, biasanya berupa gangguan saluran cerna, sakit kepala, atau rash. Hepatotoksisitas, netropenia berat, steven johnson syndrom atau nekrolisis epidermal toksik dapat terjadi, namun sangat jarang. Pada wanita hamil, penggunaan obat ini termasuk kategori B. Penggunaan pada ibu menyusui sebaiknya dihindari. Terbinafin diberikan satu kali 250 mg sehari9. Bifonazole adalah derivat imidazole. Resorbpsinya oleh tubuh rendah, daya kerjanya berlangsung sekitar 48 jam. Wanita hamil dapat menggunakan bifonazole sebagai obat luar11. Dalam bentuk krim diberikan satu kali sehari, dioleskan tipis pada bagian kulit yang sakit, sebaiknya sebelum tidur12. Ketokonazole merupakan turunan imidazol sintetik. Tersedia dalam sediaan tablet, krim 2%, dan shampo. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan ketokonazole topikal adalah rasa iritasi, rasa panas pada kulit, dan alergi lokal. Penggunaannya adalah dengan dioleskan tipis 2-4 kali sehari12.

Você também pode gostar