Você está na página 1de 29

BAB II LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar 1. Pengertian Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak, dan cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2210) Cedera Kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. (Arief Mansjoer, 2000 : hal. 3) Cedera kepala adalah gangguan traumatik pada daerah kepala yang menggangu fungsi otak dengan atau menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya disebabkan oleh trauma keras (Sylvia A. Price, 2006 : hal. 1173). Dari pengertian-pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa cedera kepala adalah traumatik pada daerah kepala yang dapat mengganggu fungsi otak yang biasanya disebabkan oleh trauma keras sebagai hasil kecelakaan jalan raya. 2. Anatomi Fisiologi Otak Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang

membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya terjadi sekunder akibat cedera. Meninges melindungi otak dan memberikan perlindungan tambahan. Ketiga lapisan meninges adalah dura meter, araknoid, dan pia meter. Masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dan strukturnya berbeda dari struktur lain. Dura meter adalah membran luar yang liat, semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri atas dura meter dan

lapisan endotelialsaja tanpa jaringan vascular), dan (3) membentuk periosteum tabula interna.Dura meter erat dengan permukaan bagian dalam tengkorak. Bila dura robek dan tidak diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara, akan menimbulkan berbagai masalah, fungsi terpenting dura kemungkinan adalah sebagai pelindung. Di dekat dura (tetapi tidak melekat pada dura) terdapat membrane fibrosa halus dan elastis yang dikenal sebagai araknoid. Membran ini tidak melekat pada dura meter. Perdarahan antara dura dan araknoid (ruang subdural) dapat menyebar dengan bebas, dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong dan oleh karena itu mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma. Diantara araknoid dan pia meter terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS). Pada sinus sagitalis superior dan tranversal, araknoid membentuk tonjolan villus yang bertindak sebagai lintasan untuk mengosongkan cairan serebrospinal kedalam sistem vena. Sedangkan lapisan terakhir atau pia meter adalah membrane halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk kedalam sulkus dan membungkus semua girus; kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. 3. Klasifikasi Cedera Kepala Adapun pembagian / pengklasifikasian cedera kepala (Arief Mansjoer, 2000 : hal 3) adalah : a. Berdasarkan mekanisme cedera Berdasarkan adanya penetrasi durameter, cedera kepala dibagi menjadi : 1) Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), dankecepaan rendah (terjatuh, dipukul). 2) Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya) b. Berdasarkan Keparahan cedera 1) Cedera Kepala Ringan (CKR) : GCS 13-15 2) Cedera Kepala Sedang (CKS) : GCS 9-12

3) Cedera Kepala Berat (CKB) : GCS 3-8 c. Berdasarkan Morfologi 1) Fraktur tengkorak : a) Kranium : linear/stelatum: depresi/non depresi; terbuka/tertutup b) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa

kelumpuhan nervus VII (Nervus Facialis) 2) Lesi Intrakranial : a) Fokal : epidural, subdural, intraserebral b) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonall difus Sedangkan menurut Brunner & Suddarth (2002), pengklasifikasian cedera kepala berdasarkan cedera spesifik pada otak kepala dibagi : a. Komosio Komosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberapa menit. Getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan pusing atau berkunang-kunang, atau dapat juga kehilangan kesadaran komplet sewaktu. b. Kontusio Kontusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan muncul dan lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Pasien dapat diusahakan bangun tetapi segera masuk dalam keadaan tidak sadar. c. Hematome intracranial 1) Hematom Epidural Setelah cedera kepala, darah berkumpul didalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus

atau rusak, dimana arteri ini berada di antara dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Tanda dan gejala klasik terdiri dari penurunan kesadaran ringan pada waktu terjadi benturan diikuti oleh periode lucid (pikiran jernih) dari beberapa menit sampai beberapa jam. Pasien dengan hematoma epidural membentuk suatu kelompok yang dapat dikategorikan sebagai talk and die. 2) Hematom Subdural Hematom subdural adalah pengumpulan darah di antara dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi juga terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma. Hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat terputusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural a)Hematoma Subdural Akut Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan echoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah. b) Hematoma Subdural Subakut Perdarahan ini menyebabkan defisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah. c) Hematoma subdural Kronik

Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan inimassa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang -kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada klien dengan hematoma kecil tanpa tandatanda neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan. 3) Hemoragi intraserebral Hemoragi intraserebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil. Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik, yang menyebabkan degenerasi dan rupturpembuluh darah; rupture kantung aneurisma; anomali vaskuler; tumor intracranial; penyebab sistemik, termasuk gangguan perdarahan seperti leukemia, hemofilia, anemia aplastik, dan trombositopenia. 4. Etiologi Etiologi / penyebab dan terjadinya Cedera Kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di rumah, kecelakaan kerja, peluru yang menembus tulang tengkorak, kejatuhan atau jatuh dari pohon, akibat kekerasan. 5. Patofisiologi Derajat kerusakan yang terjadi pada penderita cedera kepala bergantung pada kekuatan yang menimpa, makin besar kekuatan, makin parah kerusakan. Kekuatan tersebut terbagi menjadi 2, yaitu pertama cedera setempat yang disebabkan oleh benda tajam berkecepatan rendah yang dapat merusak fungsi neurologik pada tempat tertentu karena benda atau fragmen tulang menembus dura. Kedua, cedera menyeluruh, yang menyebabkan kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan ke otak.

Karena neurofisiologis pernafasan sangant kompleks, kerusakan neurologist dapat menimbulkan masalah pada beberapa tingkat. Beberapa lokasi pada hemisfer serebral mengatur control volunter terhadap otot yang digunakan pada pernafasan, pada sinkronisasi dan koordinasi serebelum pada upaya otot. Serebrum juga mempunyaibeberapa kontrol terhadap frekuensi dan irama pernafasan. Nucleus pada pons dan area otak tengah dari batang otak mengatur otomatisasi pernafasan. Sel-sel pada area ini bertanggunga jawab pada perubahan kecil dari pH dan kandungan oksigen sekitar darah dan jaringan. Pusat ini dapat dicederai oleh peningkatan TIK dan hipoksia serta oleh trauma langsung. Trauma serebral yang mengubah tingkat kesadaran biasanya menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal. Faktor ini akhirnya menimbulkan gagal nafas, yang mengakibatkan laju mortalitas tinggi pasien dengan cedera kepala, sedangkan pola pernafasan berbeda dapat diidentifikasi bila terdapat disfungsi intracranial. Akibat utama dari cedera otak dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dn kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas, atau kontraktur. Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah. Selain itu, refleks menelan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali. Pasien dengan trauma serebral disertai gangguan kemampuan komunikasi bukan terjadi secara tersendiri. Disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada seseorang yang mengalami cedera kepala. Pasien yang telah mengalami trauma pada area hemisfer serebral dominan . Skema Patofisiologi

(Hudak & Gallo, 2000) 6. Tanda dan Gejala

Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal tergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, bisanya menunjukkan adanya fraktur. a. Fraktur Kubah Kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan atas alasan ini diagnosis yang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinarx. b. Fraktur dasar tengkorak : Cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, dimana dapat menimbulkan tnda seperti : 1) Hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva 2) Ekimosis atau memar, mungkin terlihat diatas mastoid (battle sign) c. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah. d. Penurunan kesadaran e. Nyeri kepala f. Mual, muntah g. Brill Hematom h. Pingsan 7. Pemeriksaan Diagnostik a. CT Scan Kepala Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemik/ infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pascatrauma. b. MRI Sama dengan skan CT dengan/ tanpa menggunakan kontras. c. Angiografi Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, dan trauma. d. EEG

Untuk memperlihatkan keberdaan atau berkembangnya gelombang patologis e. Sinar X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmrn tulang f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) Menentukan fungsi korteks dan batang otak g. PET (Positron Emission Tomography) Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak h. Pungsi Lumbal, CSS Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subaraknoid i. GDA (Gas Darah Arteri) Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK j. Kimia / elektrolit darah Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK / perubahan mental k. Pemeriksaan Toksikologi Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran l. Kadar antikonvulsan darah Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang 8. Penatalaksanaan a. Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal 1) Menilai jalan nafas Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang gudel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi. 2) Menilai Pernafasan

Tentukan apakah pasien bernafas spontas atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti penumotorak, pneumotoraks tensif. 3) Menilai sirkulasi Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau atau EKG. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa dan AGD, serta berikan cairan koloid. 4) Obati Kejang Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mulamula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan penitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit. 5) Menilai tingkat keparahan a) Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah) GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, dan orientif); tidak ada kehilangan kesadaran; tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang; pasien tidak mengeluh nyeri kepala dan pusing; pasien tidak menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala. b) Cedara kepala sedang (kelompok resiko sedang) GCS 9-12 (konfusi, letargi, stupor); konkusi amnesia pasca trauma; muntah; tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal). c) Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)

GCS 3-8 (koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif; tanda neurologist fokal; cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. b. Pedoman penatalaksanaan 1) Pada semua pasien dengan cedera kepala dan / atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero posteriol, lateral, dan adontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal. 2) Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut : a) Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktat : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan cairan ini tidak menanbah edema serebri. b) Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah, glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu. c) Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera ringan , sedang atau berat, harus dievaluasi adanya : (a). Hematoma Epidural, (b). Darah dalam subarachnoid dan intraventrikal (c). Kontusio dan perdarahan jaringan (d). Obliterasi sisterna perimesensefalik (e). Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus. 3) Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini :

a) Elevasi kepala 300 b) Hiperventilasi c) Berikan manitol 20% 1 gram / kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kamudian yaitu sebesar dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama d) Pasang kateter foley e) Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematom epidural besar, hematom subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe) 4) Penatalaksanaan khusus a) Cedera kepala ringan : Pasien dengan cedera kepala ringan ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT scan bila memenuhi kriteria berikut : (1). Hasil pemeriksaan neurologist (terutama status mini

mental dan gayaberjalan) dalam batas normal (2). Foto servikal jelas normal (3). Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan. Sedangkan criteria perawatan di rumah sakit adalah : (1). Adanya darah intrakrnial atau fraktur atau fraktur yang tampak pada CT Scan (2). Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun (3). Adanya tanda atau gejala neurologist fokal (4). Intoksikasi obat atau alcohol (5). Adanya penyakit medis komorbid yang nyata (6). Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah b) Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti

perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal. c) Cedera kepala berat : penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Hal yang harus diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala berat adalah : (1).Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi (2).Monitor tekanan darah : karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi (>130 mmHg). Hipertensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri. (3).Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor GCS <8, bila memungkinkan (4).Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal atau ringer laktat) yang diberikan kekpada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrose 5% harus diberikan sesegera mungkin. (5).Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolic, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogatrik harus diberikan sesegera mungkin (6).Temperatur badan : demam dapat mengakserbasi cedera otak. (7).Anti kejang : fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudia 300 mg/hari intravena.

(8).Steroid : tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemi dan komplikasi lain. (9).Antibiotik : penggunaan antibiotic rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala terbuka masih controversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis. 9. Komplikasi Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematom intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2215) a. Edema serebral dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena

ketidaknmampuan tengkorak utuh untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari trauma. b. Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian. c. Defisit neurologik dn psikologik d. Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi saluran kemih, septicemia) e. Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak) f. Osifikasi heterotopik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang penunjang berat badan) Menurut Arief Mansjoer (2000), komplikasi dari cedera kepala berat, yaitu: a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup. b. Fistel karotis kavernosus ditandai dengan trias gejala: eksolftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat segera timbul atau beberapa hari setelah cedera. c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.

d. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). B. Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan adalah factor penting dalam survival klien dan aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan (Merilynn E. Doenges, 2000 : hal. 6). Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif. Dengan demikian pola asuhan keperawatan yang tepat adalah melalui proses perawatan yang dimulai dari pengkajian yang diambil adalah merupakan respons klien, baik respon biopsikososial maupun spiritual, kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan perawatan untuk menuntun tindakan perawatan. Dan untuk menilai keadaan klien, diperlukan suatu evaluasi yang merujuk pada tujuan rencana perawatan klien. 1. Pengkajian Pengkajian merupakan pengumpulan data yang sistematis untuk menentukan status kesehatan pasien dan untuk mengidentifikasi semua masalah kesehatan yang actual atau potensial. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 32) Adapun pengkajian pada klien dengan trauma kepala (Marlyn E. Doenges. 2000 : hal. 270) adalah : a. Aktivitas / Istirahat Gejala : merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegi, ataksia cara berjalan tidak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma ortopedi), kehilangan tonus otot, otot aspastik b. Sirkulasi Gejala : perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, tachycardi, disrhitmia). c. Integritas Ego Gejala : perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)

Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsive d. Eliminasi Gejala : incontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi e. Makanan / Cairan Gejala : mual, muntah, dan mengalami, perubahan selera Tanda : muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia) f. Neuro Sensori Gejala : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada eksremitas Tanda : perubahan kesadaran bias sampai koma, perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi / tingkah laku dan memori), perubahan pupil, deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti, kehilangan pengindraan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese, quadraplegi, postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang, sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi. g. Nyeri / kenyamanan Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.. f. Pernapasan Tanda : perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif. g. Keamanan

Gejala : trauma baru / trauma karena kecelakaan Tanda : fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kulit ; laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti racoon eyes, tanda battle di sekitar telinga, adanya aliran (drainase) dari telinga / hidung, gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralise, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh h. Interaksi Sosial Tanda : afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik klien serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi (Marilynn E. Doenges. 2000 : hal. 8) Adapun Diagnosa Keperawatan yang dapat ditemukan pada pasien dengan cedera kepala (Merilynn E. Doenges, 2000 : hal 273.) a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematome) ; edema serebral (respons local atau umum pada cedera, perubahan metabolic, takar lajak obat / alcohol) ; penurunan TD sistemik / hipoksia (hipovolemia, distrimia jantung). b. Resiko tinggi terhadap pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pasa pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi dan / atau integrasi (tauma atau deficit neurologist) d. Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis ; konflik psikologis

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan / tahanan, terapi pembatasan / kewaspadaan keamanan, missal tirah baring, imobilisasi. f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasive, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas system tertutup (kebocoran CSS) g. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik h. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasuional, ketidakpastian tentang hasil / harapan i. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi / sumber-sumber, kurang mengingat / keterbatasan kognitif. 3. Perencanaan a. Diagnosa Keperawatan Pertama : Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematome) ; edema serebral (respons local atau umum pada cedera, perubahan metabolic, takar lajak obat / alcohol) ; penurunan TD sistemik / hipoksia (hipovolemia, distrimia jantung). 1) Tujuan : perfusi jaringan serebral adekuat 2) Kriteria Hasil : tanda-tanda vital dalam batas normal ( TD, nadi, RR, dan suhu tubuh), pupil isokor, klien tidak gelisah, GCS 15, tidak ada tanda peningkatan TIK 3) Intevensi : a) Kaji status status neurologis yang berhubungan dengan tanda-tanda TIK; terutama GCS.

Rasional: mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP. b) Monitor tanda-tanda vital setiap jam sampai keadaan klien stabil. Rasional: normalnya autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada sat ada fluktuasi tekanan darah sistemik. c) Naikkan kepala dengan sudut 15o-45o tanpa bantal dan posisi netral. Rasional: meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema. d) Monitor asupan setiap delapan jam sekali. Rasional: pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk menurunkan edema serebral. e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatananti edema seperti manitol, gliserol dan lasix. Rasional: dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK. f) Berikan oksigen sesuai program terapy. Rasional: menurunkan hipoksemia yang dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK. b. Diagnosa Keperawatan kedua : Resiko tinggi terhadap pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pasa pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeobronkial 1) Tujuan : pola nafas efektif. 2) Kriteria hasil : pola napas dalam batas normal frekuensi 16 20 x/menit dan iramanya teratur, tidak ada stridor, ronchi dan wheezing, gerakan dada simetris tidak ada retraksi, nilai AGD normal, pH 7,35 - 7,45, PaO280 - 100 mmHg, PaCO2 35 - 45 mmHg. 3) Intervensi: a) Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama dan bunyi napas.

Rasional: perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan luasnya keterlibatan otak. b) Atur posisi klien dengan posisi semi fowler (15o 45o). Rasional: untuk memudahkan ekspansi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas. c) Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 detik. Catat sifat, warna dan bau sekret. Lakukan bila tidak ada retak pada tulang basal dan robekan dural. Rasional: Penghisapan biasanya dibutuhkan jika klien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat memberikan jalan napasnya sendiri. d) Anjurkan klien latihan napas dalam apabila sudah sadar. Rasional: Mencegah / menurunkan atelektasis e) Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi. Rasional: untuk mencegah terjadinya komplikasi c. Diagnosa keperawatan ketiga : Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi dan / atau integrasi (tauma atau deficit neurologist) 1) Tujuan : mengembalikan persepsi sensoris/normal dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi. 2) Kriteria hasil : tingkat kesadaran normal, fungsi alat-alat indra baik, klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu. 3) Intervensi: a) Kaji respon sensoris terhadap raba/sentuhan, panas atau dingin, tajam dan tumpul dan catat perubahan-perubahan yang terjadi. Rasional: informasi penting untuk keamanan klien b) Kaji persepsi klien, beri umpan balik dan koreksi kemampuan klien berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu.

Rasional: membantu klien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan persepsi. c) Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran sampai kembalinya fungsi persepsi yang maksimal. Rasional: pilihan masukan sensorik secara cermat bermanfaat untuk menstimulasi klien koma dengan baik selama melatih kembali fungsi kognitifnya. d) Berbicaralah dengan klien tenang, lembut dan menggunakan kalimat yang sederhana. Rasional: menurunkan frustasi yang berhubungan dengan perubahan kemampuan / pola respons yang memanjang. e) Berikan pengamanan klien dengan pengamanan sisi tempat tidur, bantu latihan jalan dan lindungi dari cedera. Rasional: agitasi, gangguan pengambilan keputusan, gangguan

keseimbangan dan penurunan sensorik meningkatkan resiko terjadinya trauma pada klien. f) Kaji kemampuan berfikir dengan menanyakan nama dan orientasi terhadap lingkungan sekitar. Rasional: fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. g) Kaji perhatian dan cara klien mengalihkan perhatiannya dan catat tingkat cemas. Rasional: respons individu mungkin berubah-ubah namun umumnya seperti emosi yang labil, frustasi, apatis dan muncul tingkah laku impulsif selama proses penyembuhan dari trauma kepala. h) Berikan penjelasan pada keluarga/klien tentang perubahan berfikir klien dan rencana keperawatan. Rasional: membantu klien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan persepsi.

i) Ajarkan tehnik relaksasi, jangan berikan tantangan berfikir keras dan beri aktivitas sesuai kemampuan. Rasional: menurunkan frustasi yang berhubungan dengan perubahan kemampuan pola respon yang menunjang d. Diagnosa keperawatan keempat : Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis ; konflik psikologis 1) Tujuan : tidak terjadi perubahan proses fakir 2) Kriteria hasil : melakukan kembali orientasi mental dan realitas adanya, mengenali perubahan berfikir / perilaku, berpartisipasi dalam aturan terapeutik / penyerapan kognitif 3) Intervensi : a) Kaji tingkat perhatian, kebingungan, dan catat tingkat ancietas pasien Rasional : untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan dan merupakan potensi terhadap terjadinya ansietas yang mempengaruhi proses berfikir b) Pastikan orang-orang terdekat untuk membandingkan kepribadian / tingkah laku pasien sebelum mengalami trauma dengan respon pasien sekarang Rasional : masa pemulihan cedera kepala meliputi fase agitasi, respons marah, dan berbicara / proses fikir yang kacau c) Usahakan untuk menghadirkan realitas secara konsisten dan jelas, hindari pikiran-pikiran yang tidak masuk akal Rasional : orientaasi realitas yang terstruktur dapat menurunkanreaksi perlawanan pasien sendiri d) Tingkatkan sosialisasi dalam batas-batas yang wajar Rasional : pengutan terhadap tingkah laku yang positif, mungkin bermanfaat dalam proses belajar struktur internal. e) Hindari meninggalkan pasien sendirian ketika mengalami agitasi, gelisah, atau berontak

Rasional : amsietas dapat mengakibatkan kehilangan control dan meningkatkan kepanikan. Dukungan dapat memberikan ketenangan yang menurunkan ansietas dan resiko terjadinya trauma e. Diagnosa Keperawatan kelima : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan / tahanan, terapi pembatasan / kewaspadaan keamanan, misal tirah baring, imobilisasi. 1) Tujuan : mampu melakukan aktivitas fisik, tidak terjadi komplikasi dekubitus dan kontraksi sendi. 2) Kriteria hasil : klien mampu dan pulih kembali setelah pasca akut dan gerak, mampu melakukan aktivitas ringan pada tahap rehabilitasi sesuai dengan kemampuan. 3) Intervensi: a) Kaji kemampuan mobilisasi. Rasional: dapat mengidentifikasi tingkat ketergantungan klien. b) Kaji derajat ketergantungan klien dengan menggunakan skala

ketergantungan. Rasional : Untuk mengetahui derajat ketergantungan klien : (0) : Klien mandiri (1) : Klien memerlukan bantuan minimal (2) : Klien memerlukan bantuan sedang, pengawasan dan pengarahan (3) : Memerlukan bantuan terus menerus dan memerlukan alat Bantu (4) : Memerlukan bantuan total c) Atur posisi klien dan ubahlah secara teratur tiap dua jam sekali bila tidak ada kejang. Rasional: perubahan posisi secara teratur dapat meningkatkan dan mencegah adanya penekanan pada organ yang menonjol. d) Bantu klien dalam gerakan-gerakan kecil secara pasif apabila kesadaran menurun dan secara aktif bila klien kooperatif.

Rasional: mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus otak. e) Observasi/kaji kemampuan gerakan motorik, keseimbangan, koordinasi gerakan dan tonus otot. Rasional: mengidentifikasi kekuatan / kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan. f) Lakukan massage, perawatan kulit dan jaga kebersihan alat tenun. Rasional: meningkatkan sirkulasi intensitas kulit dan integritas kulit. g) Berikan motivasi dan latihan pada klien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan. Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur. h) Pantau pola pola eliminasi dan bantu untuk dapat berdefekasi secara teratur Rasional : Defekasi adalah kebutuhan poko dan untuk mencegah komplikasi i) Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain (fisioterapy). Rasional: program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti / menjaga kekurangantersebut dalam

keseimbangan, koordinasi dan kekuatan. f. Diagnosa Keperawatan keenam : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasive, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respons inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas system tertutup (kebocoran CSS) 1) Tujuan : tidak terjadi infeksi 2) Kriteria hasil : tidak terdapatnya tanda-tanda infeksi seperti rubor, dolor, calor, tumor,pus di daerah kulit yang rusak 3) Intervensi:

a) Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan secara septik dan aseptik. Rasional: cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nasokomial. b) Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran. Rasional: dapat mengidentifikasikan perkembangan sepsis yang

selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera c) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah invasive, dan tanda-tanda inflamasi / infeksi Rasional :Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan pencegahan d) Berikan perawatan perineal (cateter), infuse, pertahankan integritas Rasional : menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi yang merambah naik e) Lakukan perawatan luka dang anti balutan sesuai indikasi Rasional : sejumlah drainase serosa menuntut penggantian dengan sering untuk menurunkan iritasi kulit dan potensial infeksi f) Pantau suhu tubuh secara teratur Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengindikasikan tanda tanda infeksi dan perlu tindakan segera g) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antibiotik. Rasional: terapi profitaktik dapat digunakan pada klien yang mengalami trauma untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nasokomial. g. Diagnosa keperawatan ketujuh : Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik 1) Tujuan : kekurangan nutrisi tidak terjadi. 2) Kreteria hasil : BB klien normal, tanda-tanda malnutrisi tidak ada, Hb tidak kurang dari 10 gr%.

3) Intervensi: a) Kaji kemampuan mengunyah, menelan, reflek batuk dan pengeluaran sekret. Rasional: kelemahan otot dan refleks yang hipoaktif/ hiperaktif dapat mengidentifikasikan kebutuhan akan metode makan alternatif. b) Auskultasi bising usus dan catat bila terjadi penurunan bising usus. Rasional: kelemahan otot dan hilangnya peristaltik usus merupakan tanda bahwa fungsi defekasi hilang yang kemudian berhubungan dengan kehilangan persyarafan parasimpatik usus besar dengan tiba-tiba. c) Timbang berat badan. Rasional: mengkaji keefektifan aturan diet. d) Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering baik melalui NGT maupun oral. Rasional: dapat diberikan jika klien tidak mampu untuk menelan. e) Tinggikan kepala klien ketika makan dan buat posisi miring dan netral setelah makan. Rasional: latihan sedang membantu dalam mempertahankan tonus otot / berat badan dan melawan depresi. f) Lakukan kolaborasi dengan tim kesehatan untuk pemeriksaan HB, Albumin, protein total dan globulin. Rasional: pengobatan masalah dasar tidak terjadi tanpa perbaikan status nutrisi. h. Diagnosa keperawatan kedelapan : Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketidakpastian tentang hasil / harapan 1) Tujuan : tidak terjadi perubahan proses keluarga 2) Kriteria Hasil : mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat, mendorong kemandirian, 3) Intervensi orang yang sakit untuk menuju kearah

a) Catat bagian-bagian dari unit keluarga, keberadaan / keterlibatan sistem pendukung Rasional : menentukan adanya sumber keluarga dan mengidentifikasi halhal yang diperlukan b) Anjurkan keluarga untuk mengungkapkan hal-hal yang menjadi

perhatiannya tentang keseriusan kondisi kesehatan Rasional : Pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka dapat menurunkan ansietas dan meningkatkan koping terhadap realitas c) Evaluasi harapan keluarga / tujuan keluarga Rasioanl : keluarga mungkin percaya bahwa pasien akan sembuh dan hidup, rehabilitasi akan sangat dibutuhkan untuk pengobatannya. Walaupun informasinya akurat, harapan dapat tidak terwujud. d) Kaji kekuatan yang dimiliki, seperti apakah usaha pengambilan keputusan bermanfaat atau malah tidak ada gunanya Rasional : mungkin memerlukan bantuan untuk memfokuskan kekuatan agar menjadi efektif / meningkatkan koping. e) Tentukan dan anjurkan penggunaan cara-cara koping tingkah laku yang cukup berhasil sebelumnya dilakukan Rasional : berfokus pada kekuatas dan pengutan kemampuan khusus untuk menghadapi krisis saat sekarang ini. i. Diagnosa Keperawatan kesembilan : Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak

mengenal informasi / sumber-sumber, kurang mengingat / keterbatasan kognitif. 1) Tujuan : pengetahuan klien dan keluarga meningkat. 2) Kriteria hasil : klien dan keluarga berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan

pengobatan dan potensial komplikasi. 3) Intervensi:

a) Evaluasi

kemampuan

dan

kesiapan

untuk

belajar

dari

klien

juga keluarganya. Rasional: memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang didasarkan atas kebutuhan klien secara individual. b) Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya. Rasional: membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan kebutuhannya. c) Berikan kembali penguatan terhadap pengobatan yang diberikan sekarang. Rasional: aktivitas, pembatasan, pengobatan/ kebutuhan terapi yang diberikan atas dasar pendekatan antar disiplin evaluasi amat penting untuk perkembangan pemulihan. d) Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri. Rasional: berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang individual. e) Rujuk / tegaskan kembali pentingnya melakukan evaluasi dengan tim rehabilitasi. Rasional: kerja keras akhirnya menghasilkan defisit neurologis dan kemampuan klien untuk memulai gaya hidup baru/ produktif. 4. Pelaksanaan Tindakan keperawatan (implementasi) adalah diskripsi untuk perilaku yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat sesuai dengan apa yang direncanakan (Merilynn E. Doenges, 2000). Implementasi pada klien Cedera Kepala sedang meliputi pencapaian perfusi jaringan serebral adekuat, status nutrisi adekuat, pencegahan cedera, penigkatan fungsi kognitif, koping keluarga efektif, peningkatan pengetahuan tentang proses rehabilitasi dan pencegahan komplikasi (Merilynn E. Doenges, 2000). 5. Evaluasi

Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau perilaku yang diamati dan dipantau, untuk menentukan pencapaian hasil dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Merilynn E. doenges, 2000). Evaluasi bertujuan untuk menilai hasil akhir dari seluruh intervensi keperawatan yang telah dilakukan, dengan cara yang berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya, dituliskan dalam catatan perkembangan yang berfungsi untuk mendokumentasian keadaan klien, baik berupa keberhasilan maupun ketidakberhasilan berdasarkan masalah yang ada. Evaluasi ini dapat bersifat formatif yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus menerus, untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan, yang juga disebut tujuan jangka pendek. Dan dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan keperawatan, yang disebut dengan mengevaluasi pencapaian tujuan jangka panjang Hasil yang diharapkan dari tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien dengan cedera kepala sedang adalah tidak ada tanda-tanda peningkatan intra kranial seperti tekanan darah meningkat, denyut nadi lambat, pernapasan dalam dan lambat, pupil melebar, reflek terhadap cahaya negatif, kesadaran memburuk. Yang diharapkan adalah pasien mampu dan pulih setelah pasca akut dalam mempertahankan fungsi gerak, tidak terjadi dekubitus, mampu melaksanakan aktivitas sedang, tidak terdapat tanda-tanda infeksi seperti rubor, dolor, kalor, tumor. Klien tampak tenang dan nyeri hilang, klien dapat beristirahat dengan tenang.

Você também pode gostar