Você está na página 1de 3

MIKROMINERAL SENG DALAM KEHIDUPAN MANUSIA 22-03-2006 MIKROMINERAL SENG DALAM KEHIDUPAN MANUSIA Oleh: Endang Pamungkasiwi Dinas

Kesehatan Propinsi DIY A. Pendahuluan Seng telah diketahui sejak tahun 1934 sebagai elemen penting bagi kehidupan hewan (Tikus) dan defisiensi seng pada manusia baru diketahui sekitar tahun 1961. Pada waktu itu diketahui adanya keterkaitan antara kekurangan seng dalam konsumsi sehari-hari dengan gangguan pertumbuhan dan kematangan seksual. Gangguan lainnya yang berkaitan dengan defisiensi seng, adanya hambatan penyembuhan luka, gangguan fungsi pengecap dan gangguan nafsu makan. Gejala ini berangsur-angsur hilang bila dalam menu sehari-hari diberikan makanan yang mengandung seng. Meski di Indonesia penelitian penelitian tentang seng belum banyak dilakukan, hal ini bukan berarti defisiensi seng tidak ada. Justru peluang terjadinya defisiensi Seng di Indonesia diperkirakan lebih besar mengingat menu masyarakat Indonesia, terutama pada golongan sosial ekonomi rendah, umumnya rendah protein hewani padahal jenis protein ini banyak mengandung seng. Sebaliknya menu masyarakat Indonesia relatif tinggi fitat dan serat yang menghambat absorbsi seng, seperti kebiasaan minum teh setiap hari, bahkan pada golongan masyarakat tertentu mengkonsumsi teh kental. Selain itu juga banyak mengkonsumsi kacang-kacangan dan serelia, termasuk hasil olahannya. Bahan makanan ini banyak mengandung fitat dan atau tannin . Sehingga potensi kekurangan zat seng ini pada masyarakat Indonesia cukup tinggi karena penyerapan zat seng akan terganggu. B. Fungsi Seng Seng adalah mikromineral yang ada di mana-mana dalam jaringan manusia/hewan dan terlibat dalam fungsi berbagai enzim dalam proses metabolisme. Tubuh manusia dewasa mengandung 22,5 gram seng. Tiga perempat dari jumlah tersebut berada dalam tulang dan mobilisasinya sangat lambat. Dalam konsentrasi tinggi seng ditemukan juga pada iris, retina, hepar, pankreas, ginjal, kulit, otot, testis dan rambut, sehingga kekurangan seng berpengaruh pada jaringan-jaringan tersebut. Di dalam darah seng terutama terdapat dalam sel darah merah, sedikit ditemukan dalam sel darah putih, trombosit dan serum. Kira-kira 1/3 seng serum berikatan dengan albumin atau asam amino histidin dan sistein. Dalam 100 ml darah terdapat 900 ml seng dan dalam 100 ml plasma terdapat 90-130 mg seng. Seng terlibat pada lebih dari 90 enzim yang hubungannya denga metabolisme karbohidrat dan energi, degradasi/sintesis protein, sintesis asam nukleat, biosintesis heme, transpor CO2 (anhidrase karbonik) dan reaksi-reaksi lain. Pengaruh yang paling nyata adalah dalam metabolisme, fungsi dan pemeliharaan kulit, pankreas dan organ-organ reproduksi pria, terutama pada perubahan testosteron menjadi dehidrotestosteron yang aktif. Dalam pankreas, seng ada hubungannya dengan banyaknya sekresi protease yang dibutuhkan untuk pencernaan . Juga ada hubungannya dengan insulin, walaupun tidak memegang peranan secara langsung terhadap aktivitas insulin. C. Absorbsi dan Metabolisme Proses absorbsi seng menyerupai absorbsi besi dalam tubuh, dimana untuk absorbsi membutuhkan alat angkut, proses ini terjadi dalam usus halus (duodenum), seng diangkut oleh albumin dan transferin masuk kealiran darah dan dibawa ke hati. Kelebihan seng disimpan dalam hati dalam bentuk metalotionein, lainnya dibawa ke pankreas dan jaringan tubuh yang lain. Di dalam pankreas seng digunakan untuk membuat enzim pencernaan, yang pada waktu makan dikeluarkan ke dalam saluran cerna. Dengan demikian saluran cerna menerima seng dari dua sumber, yaitu dari makanan dan dari cairan pencernaan yang berasal dari pankreas. Absorbsi seng diatur oleh metalotionein yang disintesis di dalam sel dinding saluran cerna. Bila konsumsi seng tinggi, dalam sel dinding saluran cerna sebagian diubah menjadi metalotionein sebagai simpanan, sehingga absorbsi berkurang. Banyaknya seng yang diabsorbsi berkisar antara 15-40%. Absorbsi seng dipengaruhi oleh status seng tubuh. Ila lebih banyak seng yang dibutuhkan, lebih banyak pula jumlah seng yang diabsorbsi. Seng dikeluarkan tubuh terutama melalui feses. Disamping itu seng dikeluarkan melalui urin, dan jaringan tubuh yang dibuang, seperti jaringan kulit, sel dinding usus halus, cairan haid, dan mani.

D. Kebutuhan dan Sumber Seng Kebutuhan seng sangat bervariasi tergantung fisiologik, patologik, dan menu sehari-hari. Pada orang dewasa sehat, jumlah seng yang hilang melalui urin, feses, kulit, semen, rambut dan kuku adalah 2,6 mg/hari. Dengan asumsi bahwa daya serap usus terhadap seng hanya sekitar 25% dan adanya variasi individual, maka jumlah kecukupan seng yang dianjurkan adalah 15 mg/hari. Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1998 menetapkan angka kecukupan seng untuk Indonesia sebagai berikut: ? Bayi : 3 5 mg ? 1 9 tahun : 8 10 mg ? 10->60 tahun : 15 mg (baik pria maupun wanita() ? Ibu hamil : + 5 mg ? Ibu menyusui : + 10 mg Umumnya seng diperoleh dari bahan makanan asal hewani seperti daging, hati, dan ayam. Bahan makanan asal hewani yang diperoleh dari laut seperti tiram, kerang dan ikan haring mengandung seng dalam jumlah sangat tinggi. Sebaliknya kadar seng dalam bahan makanan nabati seperti kacang-kacangan dan padi-padian selain ditemukan rendah, juga mengandung zat fitat yang menghambat absorbsi seng. Kadar seng pada buah-buahan juga rendah. Data dari berbagai negara menunjukan bahwa kandungan seng dalam makanan sehari-hari sangat rendah. Meskipun di Indonesia belum mencantumkan kadar seng dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan yang dikeluarkan oleh Direktorat Gizi Depkes RI, namun bila dilihat dari pola menu masyarakat pada umumnya , diperkirakan kandungan seng dalam makanan sehari-hari juga rendah. Apabila masukan makanan rendah seng tersebut berkurang, maka masukan seng makin berkurang dan ada kemungkinan tidak mencukupi kebutuhan. E. Akibat Defisiensi Seng Kekurangan seng pertama dilaporkan pada tahun 1960-an, yaitu pada anak dan remaja laki-laki di Mesir, Iran, dan Turki dengan karakteristik tubuh pendek, dan keterlambatan pematangan seksual. Diduga penyebabnya makanan penduduk sedikit mengandung daging, ayam dan ikan yang merupakan sumber utama seng. Dan tinggi konsumsi serat dan fitat. Mengingat banyaknya enzim yang mengandung seng, maka pada keadaan defisiensi seng reaksi biokimia dimana enzim-seng berperan akan terganggu. Defisiensi seng dapat terjadi pada golongan rentan, yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui serta orang tua. Manifestasi klinis defisiensi seng pada manusia, dapat terlihat sebagai berikut: ? Kecepatan pertumbuhan menurun ? Nafsu makan dan masukan makanan menurun ? Lesi kulit acroorificial ? Lesi epitel lain seperti glositis, kebotakan ? Gangguan sistem kekebalan tubuh ? Perlambatan pematanagan seksual dan impotensi ? Fotopobia dan penurunan adaptasi dalam gelap ? Hambatan penyembuhan luka, dekubitus, luka bakar ? Hypogeusia dan dysgeusia ? Perubahan tingkah laku ? Gangguan perkembangan fetus REFERENSI Atmadja DS, Japaries W, Siswanto E, (1988), Penelitian Status Zink dengan Tes Kecap Smith pada Masyarakat RW 04 Manggarai Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, 38: 611 Baumgarter TG, (1991), Clinical Guide to Parenteral Micronutrition, University of Florida, Gainesville Cousins, RJ, (1989), Regulatory Aspects of Znc Metabolism in Liver and Intestine Guthrie, H.A.,(1986), Introductory Nutrition, St.Louis: Times Mirror/Mosby College Publishing Linder, Maria C.L., (1992), Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis, Terjemahan Aminuddin Prakkasi, Departemen of Chemistry California State University Fulerton Muhilal, Jalal, F., Hardinsyah, (1998), Angka Kecukupan Yang Dianjurkan, Widya Karya Pangan dan Gizi VI, LIPI, Jakarta Murray, Robert K, 2000, Harpers Biochemestry, Amerika

Solomon, N.M., Jacob, R.A., (1981), Studies on The Bioavaibility of Inc Human effect of Heme and Nonheme Ion on The Absorbtion of Zinc, Am. J. Clin. Nutr: 34: 475-82

Você também pode gostar