Você está na página 1de 40

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang
Rinitis Alergi (RA) merupakan masalah kesehatan global yang menyerang sekitar 10% sampai 40% penduduk dunia dan terjadi peningkatan prevalensi lebih dari 40 tahun terakhir ini. Penyakit ini dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita baik secara fisik, emosional, gangguan bekerja, dan sekolah. Gangguan ini dapat berupa keterbatasan aktivitas, frustasi, gangguan tidur, gangguan emosi dan kognitif, serta penurunan kewaspadaan dan penampilan, sedangkan pada anak berhubungan erat dengan gangguan belajar. (1) Menurut panduan pengobatan RA dari WHO, terapi yang dianjurkan adalah yang mudah didapat serta terjangkau oleh penderita. Untuk penderita RA ringan tindakannya adalah menghindari alergen dan pemberian antihistamn oral/topikal bila timbul gejala. Apabila tidak dapat terkontrol atau pada RA sedang sampai berat maka perlu diberi steroid topikal atau kombinasi antihistamin dan dekongestan atau antikholinergik. RA dengan gejala sedang atau berat yang tidak terkontrol dengan tindakan menghindari alergen dan terapi simptomatis merupakan indikasi untuk imunoterapi dengan alergen spesifik.(1)

B. Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan Rhinitis Alergi dengan pendekatan kedokteran keluarga.

C. Manfaat
Penyusunan laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi media pembelajaran bagi dokter muda agar dapat melaksanakan praktek kedokteran keluarga secara langsung kepada pasien dengan Rhinitis Alergi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


1. ANATOMI HIDUNG A. Anatomi Hidung Luar Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.(2)

Anatomi Hidung Luar

B. Anatomi Hidung Dalam Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.(2)

Anatomi Hidung Dalam

C. Vaskularisasi Rongga Hidung Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Plexus Kiesselbach merupakan anyaman pembuluh darah pada septum nasi bagian anterior.(3) Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum anterior & posterior, arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior. Pecahnya plexus Kiesselbach biasanya akan menyebabkan epistaksis anterior.(3)

D. Persarafan Rongga Hidung Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari nervus nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung bagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan parasimpatis rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau.

Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga hidung.(3)

2. FISIOLOGI HIDUNG Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas; 2) pengatur kondisi udara (air conditioning); 3) sebagai penyaring dan pelindung; 4) indra penghidu; 5) resonansi suara; 6) proses bicara; 7) refleks nasal.(4) 3. RINITIS ALERGI A. DEFINISI Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(5)

B. PATOFISIOLOGI Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(5) Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.(5)

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). (5) Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.(5) MEKANISME TERJADINYA NASAL ALLERGY SYNDROME PADA RINITIS ALERGI

Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan rhinorrhea. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan bersinbersin mewakili gejala karakteristik utama selain obstruksi hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa hidung diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.(5,6)

MEKANISME HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN ASMA Meskipun terdapat bukti bahwa rinitis alergi mempengaruhi asma, tetapi mekanisme yang menghubungkan disfungsi saluran napas atas masih dalam perdebatan. Berbagai teori diajukan untuk menerangkan hubungan rinitis alergi dan asma antara lain Nasopulmonary Reflex yaitu refleks sentral yang berasal dari ujung saraf sensorik berjalan menuju susunan saraf pusat melalui saraf trigeminus, masuk ke serabut eferen lewat saraf vagus dan menimbulkan kontraksi otot polos bronkus. Lalu meningkatnya inhalasi melalui mulut terhadap udara dingin, kering atau alergen inhalan akibat dari sumbatan hidung mengakibatkan mengeringnya sekret dan terjadi spasme bronkus. Drenase post nasal bahan
8

inflamasi ke saluran napas bawah mengakibatkan penyebaran sel-sel inflamasi melalui sirkulasi.(7) Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : (5) 1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).(5) 2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.(5) 3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.(5) 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.(5)

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.(5) Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari : (5) 1. Respons primer : Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.(5) 2. Respons sekunder :

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.(5) 3. Respons tertier : Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.(5) Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).(5) Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.(5) D. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :
(5)

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).(5) 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah ( indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.(5)

10

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi(5): 1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.(5) 2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.(5) Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi(5): 1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.(5) 2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.(5) E. DIAGNOSIS Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1.Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja(5). Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadangkadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.(5)

11

2.Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).(5) 3.Pemeriksaan Penunjang In vitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST

12

(Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
(5)

In Vivo : Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.(5) Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). (5) Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.(5) F. PENATALAKSANAAN 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.(5) 2. Medikamentosa Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral.(5) Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah

13

difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.(5) Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.(5) Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. (5) Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.(5) Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. (5)
14

3. Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.(5) 4. Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.(5) G. KOMPLIKASI Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah(5) : 1. Polip hidung(5) Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.(5) 2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.(5) 3. Sinusitis paranasal.(5)

15

BAB III LAPORAN HASIL KUNJUNGAN RUMAH

I. IDENTITAS PASIEN DAN KELUARGA a. Identitas Pasien Nama Jenis kelamin Usia : Dwi Semi Restutik : Perempuan : 47 tahun

Status Pernikahan: Menikah Alamat : RT 27 / RW 11 Desa Menoreh, Kelurahan Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Agama Suku Bangsa Pendidikan Pekerjaan : Islam : Jawa : tamat SD : Ibu Rumah Tangga dan buruh harian lepas

b. Identitas Kepala Keluarga Nama Jenis Kelamin : Tn. Kumari : Laki laki

16

Umur

: 51 tahun

Status Pernikahan: Menikah Alamat : RT 27 / RW 11 Desa Menoreh, Kelurahan Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Agama Suku Bangsa Pendidikan Pekerjaan : Islam : Jawa : tamat SD : Buruh harian lepas

II.

PROFIL KELUARGA

Tabel 1. Daftar Anggota Keluarga Kandung

No 1 2 3 4 5

Nama Kumari Dwi Semi Restutik Jawali Yulianto Rumit triyati Anang

Kedudukan dalam Keluarga KK Istri KK Anak I Anak II Anak III

JK L P L P L

Umur (th) 51 47 26 24 22

Pendidikan Tamat SD Tamat SD SLTP SLTP Tamat

Pekerjaan Buruh harian lepas IRT dan buruh harian lepas Tidak bekerja Tidak bekerja Buruh harian

Ket Sehat Sakit Sehat Sehat Sehat


17

Priwahono
Tabel 2. Daftar Anggota Yang Tinggal Serumah

SD

lepas

No 1 2

Nama Kumari Dwi Semi Restutik

Kedudukan dalam Keluarga KK Istri KK

JK L P

Umur (th) 51 47

Pendidikan Tamat SD Tamat SD

Pekerjaan Buruh harian lepas IRT dan buruh harian lepas

Ket Sehat Sakit

Kaka k1

Kaka k2

Kakak 3

Kakak 4

Pasie n

sua mi

Adi k

18

Ana k

= Laki-laki

= Perempuan

= Riwayat atopi

Gambar 1. Pohon Keluarga

III. RESUME

PENYAKIT

DAN

PENATALAKSANAAN

YANG

SUDAH

DILAKUKAN

Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 7 Desember 2012 pukul 10.00 WIB di Puskesmas Salaman dan dilanjutkan dengan pemeriksaan ulang serta pemberian edukasi pada pasien, tanggal 9 Desember 2012 pukul 19.30 di rumah pasien di Dusun Kempul, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. a. Keluhan Utama Pusing sejak 1 hari yang lalu. b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke Puskesmas Salaman I dengan keluhan pusing sejak 1 hari yang lalu. Selain itu os juga mengeluh badan terasa lemas yang dirasakan sepanjang hari, terutama jika pasien melakukan banyak aktivitas. Kejadian seperti ini sering dialami pasien terutama bila os kehabisan persediaan obat darah tinggi. c. Riwayat Penyakit Dahulu
19

Pasien pernah dirawat di RS pada 1 tahun yang lalu dengan keluhan pingsan yang diakibatkan riwayat darah tinggi, pada tanggal 10 November 2011. Pasien tidak memiliki riwayat operasi. Selain itu os memiliki riwayat alergi terhadap tanaman jahe. Riwayat penyakit jantung dan asma disangkal. d. Riwayat Penyakit Keluarga Terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat darah tinggi, yaitu ibu kandung pasien. Selain itu, tidak ada yang menderita baik kencing manis, sakit jantung, alergi, ataupun asma. e. Riwayat Kesehatan Suami Suami pasien usia 51 tahun, bekerja sebagai buruh harian lepas. Terkadang suami pasien bekerja sebagai tukang ojek bila tidak dipekerjakan sebagai buruh. Kondisi suami pasien sehat, ia menyangkal adanya penyakit seperti batuk lama, batuk berdarah, tekanan darah tinggi, kencing manis ataupun alergi terhadap obat atau makanan. Suami pasien bekerja 6 hari dalam seminggu. Ia mengaku jarang berolahraga karena tidak adanya waktu. Suami pasien mengaku memiliki kebiasaan merokok kira kira 1 bungkus per hari, rokok yang dikonsumsi adalah rokok kretek. Riwayat operasi tidak ada. Suami pasien mengakui tidak pernah berhubungan seksual selain dengan istri dan tidak pernah menderita penyakit menular seksual. Pemeriksaan Fisik Tanggal 7 Desember 2012 pukul 10.00 WIB di Puskesmas Salaman Keadaan umum Kesadaran Tanda vital : Tampak Sakit sedang : Compos mentis : : 190/120 mmHg : 80 x/menit : 36,50 C : 24x/menit TB BB BMI : 152 cm : 63 kg : 65,7

Tekanan darah Nadi Suhu Pernapasan

Status Generalis o Kepala : Normosephali

20

o Muka o Mata o Telinga o Hidung o Bibir o Tenggorok o Leher o Thoraks Paru paru -

: Nyeri tekan sinus (-), nyeri ketuk sinus (-) : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) : Normotia, benjolan (-), udem (-), nyeri tekan (-) : Normosepti, sekret (-), mukosa livid (+), concha hipertrofi (+) : pucat (-), sianosis (-) : T1-1, faring hiperemis (-), granulasi (-), nyeri telan (-) : Trakhea di tengah, pembesaran KGB (-/-)

Inspeksi suprasternal -/-

: Bentuk dada normal, simetris, gerak thoraks pada

pernafasan simetris, sama tinggi, tidak ada bagian yang tertinggal, retraksi

Palpasi: Gerak nafas simetris, sama tinggi, tidak ada bagian yang tertinggal, vokal fremitus simetris kanan dan kiri

Perkusi satu sela iga

: Kedua hemitoraks berbunyi sonor, batas paru hepar

setinggi ics V garis midklavikularis kanan, peranjakan paru positif kira-kira

Auskultasi: Suara napas vesikuler, rhonchi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, iktus kordis tidak terlihat Palpasi kiri Perkusi : Tidak ada nyeri ketuk, batas jantung kanan pada garis sternalis kiri : Iktus cordis teraba di ics V 1 cm medial dari garis midklavikularis

setinggi ics II-IV, batas paru lambung setinggi ics VI garis aksilaris anterior, batas jantung kiri setinggi ics V 1 cm medial garis midklavikularis kiri, batas atas jantung kiri setinggi ics III pada garis midsternalis kiri
21

Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-), bunyi jantung tambahan (-)

o Abdomen Inspeksi : Bentuk abdomen simetris, mendatar pada keadaan statis/dinamis, rata Palpasi : Teraba lemas, defense muscular (-), tidak teraba benjolan, tidak

ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak ada pembesaran hepar dan lien, ballotemem ginjal kanan dan kiri (-) Perkusi : Timpani di seluruh lapangan abdomen

Auskultasi : Bising usus 2x/menit

o Ekstremitas Inspeksi Palpasi : Bentuk normal simetris, sianosis (-/-), edema (-/-) : Suhu hangat, edema (-/-)

Diagnosis Banding Hipertensi Essensial Hipertensi Sekunder

Hasil Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium darah

Diagnosis Kerja Hipertensi Essensial

Rencana Penatalaksanaan
22

1. Tatalaksana medikamentosa yang telah diberikan : CTM 3x4mg Ranitidin 3x150mg Paracetamol 3x500 mg

2. Tatalaksana nonmedikamentosa : Edukasi mengenai definisi rhinitis alergi, faktor resiko, faktor pencetus serta penanganan dalam serangan akut. Istirahat yang cukup dan hindari faktor pencetus (debu, kelelahan, makanan, udara dingin, kebersihan selimut) Pasien dianjurkan makan makanan yang bergizi dan olahraga teratur Pasien dianjurkan minum obat teratur. Edukasi mengenai rumah sehat Edukasi mengenai sakit yang berhubungan dengan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga, seperti nyeri punggung, nyeri lengan ataupun nyeri lutut. Apabila terdapat keluhan segera memeriksakan diri ke puskesmas atau ke dokter untuk mendapat penanganan lebih lanjut.

Hasil Penatalaksanaan Medis Obat diminum setiap hari. Keluhan pusing dan badan terasa lemas sudah mulai berkurang. Saat kunjungan rumah (Sabtu, 8 Desember 2012), keadaan kesehatan pasien baik, dan aktivitas harian berlangsung seperti biasa. Faktor pendukung: Pasien patuh minum obat secara teratur Os selalu menyisihkan penghasilan kerja untuk membeli obat Pasien telah mengurangi faktor resiko yang ada, dengan tidak mengkonsumsi MSG, mengurangi konsumsi garam, serta makan makanan yang dapat menaikkan tekanan darah

23

Faktor penghambat: Kondisi rumah yang kurang sehat Rumah yang berdebu Ventilasi kurang Kondisi rumah lembab Pencahayaan kurang

Kesibukan kerja yang padat membuat os jarang berkunjung kembali ke puskesmas untuk meminta kembali persediaan obat yang sudah hampir habis. Jadi terkadang jadwal minum obat bisa dilewatkan selama beberapa hari. Indikator keberhasilan: keluhan pusing dan badan lemas berkurang. Serta saat dilakukan kunjungan rumah dan dilakukan pemeriksaan ulang tekanan darah menurun disbanding saat pemeriksaan di puskesmas salaman.

IV. PERMASALAHAN PADA PASIEN

Tabel 3. Tabel Permasalahan Pada Pasien

No.

Resiko & masalah kesehatan

Rencana pembinaan

Sasaran
24

1.

Tekanan darah yang terlalu tinggi

Permberian obat hipertensi dan tata cara minum obat serta edukasi mengenai faktor pencetus, pencegahan kekambuhan dan penanggulangan keluhan klinis.

Pasien dan keluarga

2.

Kurangnya pengetahuan dan kesadaran mengenai penyakit yang dideritanya

Edukasi mengenai penyakit rhinitis alergi, faktor resiko, faktor pencetus dan cara penanganannya.

Pasien dan keluarga

3.

Lingkungan rumah kurang sehat, terdapat faktor pencetus seperti rumah yang berdebu, kebersihan selimut dan tempat tidur

Edukasi mengenai rumah bersih dan sehat serta penggunaan masker saat membersihkan rumah

Pasien dan keluarga

V. IDENTIFIKASI FUNGSI KELUARGA a. Fungsi Biologis Dari wawancara dengan pasien diperoleh keterangan bahwa pasien pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Pasien memiliki riwayat alergi terhadap debu dan cuaca dingin. b. Fungsi Psikologis Pasien tinggal bersama suami dan 2 orang anak anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Hubungan antara pasien dengan keluarga dan lingkungan sekitar baik. Berdasarkan Zung Self-Rating Anxiety Scale didapatkan nilai 43, dimana nilai tersebut termasuk dalam nilai normal. (hasil terlampir) c. Fungsi Ekonomi Biaya kebutuhan sehari-hari pasien dipenuhi oleh kepala keluarga. Kepala keluarga bekerja sebagai wiraswasta/pedagang. Pendapatan perbulan kira-kira Rp 500.000 750.000. Uang tersebut dipakai untuk kebutuhan rumah tangga seperti makan,

25

pakaian, listrik serta pendidikan anak pasien. Pasien tidak memiliki kartu Jamkesmas. d. Fungsi Pendidikan Pasien bersekolah sampai tamat SMP. Dan anak pertama pasien sedang bersekolah kelas 3 SD. e. Fungsi Religius Pasien dan keluarga memeluk agama Islam, menjalankan ibadah agama secara rutin (shalat dan mengaji). Penerapan nilai agama dalam keluarga baik. Anak pertama pasien mengikuti Madrasah untuk mendalami agamanya. f. Fungsi Sosial dan Budaya Pasien dan keluarga tinggal di desa Sidoagung di kawasan pemukiman yang padat penduduk. Pasien dan keluarga dapat diterima dengan baik di lingkungan rumahnya. Komunikasi dengan tetangga baik. Kondisi pasien saat ini cukup baik. Pasien masih dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak dengan baik, namun saat sakit kepala pasien muncul dapat menjadi hambatan dalam mengerjakan pekerjaannya. VI. POLA KONSUMSI PASIEN Frekuensi makan rata-rata 3x sehari. Pasien biasanya makan di rumah. Jenis makanan dalam keluarga ini kurang bervariasi. Variasi makanan sebagai berikut : nasi, tahu, tempe, sayur (kangkung dan bayam), air minum (air putih dan teh). Pasien jarang mengkonsumsi daging dan ikan, serta jarang minum susu. Air minum berasal dari air sumur yang dimasak sendiri.

VII. IDENTIFIKASI KESEHATAN

FAKTOR

FAKTOR

YANG

MEMPENGARUHI

a. Faktor Perilaku Pasien seorang Ibu Rumah Tangga yang jarang membersihkan rumah dan tempat tidur. b. Faktor Lingkungan

26

Pasien tinggal dalam rumah yang berdebu. Dapur tidak mempunyai saluran pembuangan asap. Sumber air dari sumur gali dan dimasak sebelum dikonsumsi. Saluran pembuangan air limbah ke tanah dibelakang rumah, kebiasaan buang air besar di sungai, pembuangan sampah dilakukan di kebun belakang rumah yang dibakar 1 minggu sekali. c. Faktor Sarana Pelayanan Kesehatan Terdapat Puskesmas Tempuran yang berjarak kira-kira 1 km. d. Faktor Keturunan Kakak kedua dari pasien menderita penyakit asma.

VIII. IDENTIFIKASI LINGKUNGAN RUMAH a. Gambaran Lingkungan Rumah Rumah pasien terletak di Dusun Kempul, Desa Menoreh, Kecamatan

Salaman, Kabupaten Magelang, dengan ukuran luas rumah 8 x 5 m2, bentuk bangunan 1 lantai. Secara umum gambaran rumah terdiri dari 2 kamar tidur. 1 ruang tamu, 1 dapur dan 1 kamar mandi di bagian belakang rumah. Rumah tidak mempunyai langit-langit, dinding terbuat dari batu bata tetapi tidak di plester, lantai terbuat dari semen dan di plester kasar. Penerangan dalam rumah dan kamar kurang sehingga rumah terasa lembab. Ventilasi dan jendela yang cukup memadai dan dibuka setiap hari. Cahaya matahari masuk lewat pintu utama rumah dan jendela. Sumber air bersih dari air sumur untuk minum, cuci dan masak. Bangunan dapur tidak permanen dan kebersihan dapur kurang. Pembuangan air limbah ke tanah dibelakang rumah. Tempat sampah utama di halaman kebun, dan setiap 1 minggu sekali sampah dibakar. Lingkungan di sekitar rumah pasien kurang bersih.

b. Denah Rumah

27

Gambar 2. Denah Rumah

c. Komponen Rumah

Tabel. 4 Komponen Penilaian Rumah Sehat

NO I 1 2 3 4 5 6 7 8 II

KOMPONEN RUMAH YANG DINILAI Komponen rumah Langit langit rumah Dinding rumah Lantai rumah Jendela kamar tidur Jendela ruang tamu Ventilasi Lubang asap dapur Pencahayaan Sarana sanitasi

KRITERIA

NILAI

BOBOT 31 0 62 62 31 31 62 0 31 25
28

Tidak ada Semi permanen (batu yang tidak di plester dan anyaman bambu) Tanah Ada Ada Ada, luas ventilasi permanen < 10% dari luas lantai Tidak ada Pencahayaan alami cukup terang

0 2 2 1 1 2 0 1

1 2 3 4 III 1 2 3 4

Sarana air bersih Jamban Sarana pembuangan limbah Sarana pembuangan sampah Perilaku Penghuni Membuka jendela Menyapu rumah setiap hari Cara membuang tinja Membuang sampah pada tempat sampah

Ada, milik sendiri dan memenuhi syarat kesehatan Ada, milik sendiri, tidak memenuhi syarat Tidak ada Tidak ada Tidak pernah (karena kaca tempel) Tiap 3 hari Ke jamban Dibuang ke kebun

4 0 1 0 1 2 0 0

100 0 25 0 44 44 88 0 0

IV 1 2 3 4 5 6 V 1 2 3 4 5 6

Lain-lain Kepadatan penghuni Tikus Lalat Kecoa Nyamuk atau jentik Kandang ternak

> 9 m per orang Ada Ada Ada Ada Tidak ada

2 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1

19 38 19 19 19 19 0 19 19 0 19 19 19 19

Yang berbasis lingkungan 3 bulan terakhir Diare Tidak ada ISPA Tidak ada TB paru Tidak ada Kulit Tidak ada Malaria Tidak ada DBD Tidak ada

Cara menghitung hasil penilaian = nilai x bobot I. Komponen rumah II. Sarana sanitasi III.Perilaku penghuni IV.Lain-lain V. Lingkungan Total penilaian Penilaian :
29

: 9 x 31 = 279 : 5 x 25 = 200 : 3 x 44 = 132 : 6 x 19 = 114 : 5 x 19 = 95 : 279 + 200 + 132 + 114 + 95 = 820

1. Rumah sehat : 1068 1200 2. Rumah tidak sehat : < 1068 Berdasarkan penilaian rumah pasien ini termasuk rumah tidak sehat

IX. DIAGNOSIS FUNGSI KELUARGA a. Fungsi Biologis Pasien pernah menderita penyakit ini sebelumnya. Ibu pasien memiliki riwayat penyakit darah tinggi.

b. Fungsi Psikologis Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga terjalin baik. Dalam pengambilan keputusan selalu dilakukan bersama dengan suami. Sumber penghasilan diperoleh dari kedua suami dan istri. Kesan sosial ekonomi kurang, dilihat dari pendapatan kurang dari Rp 500.000,- per bulan. Pengaturan dana terbilang cukup efektif dan efisien. d. Fungsi Religius dan Sosial Budaya Termasuk keluarga yang taat beragama. Pasien dan suami rutin mengikuti kegiatan pengajian di RT. Tidak terdapat keterbatasan hubungan beragama antara pasien dan masyarakat. Pasien masih dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan bekerja sebagai buruh. Namun saat sakit kepala pasien muncul, hal tersebut dapat menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. e. Faktor Perilaku Setiap ada anggota keluarga yang sakit akan segera dibawa berobat ke bidan swasta, terkadang dibawa berobat ke puskesmas menggunakan asuransi kesehatan Jamkesmas. Selain itu, os juga mengikuti kegiatan yang diadakan posyandu. Os tidak pernah melakukan kegiatan olahraga ataupun rekreasi. Os
30

c. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan

sering melakukan hobi membuat kacang goring sembari dijual untuk menambah modal usaha. Kurang lebih dilakukan dengan frekuensi 6 kali dalam 1 minggu. f. Faktor Non Perilaku Ventilasi kurang.

X.

DIAGRAM REALITA YANG ADA PADA KELUARGA

Genetik

Ibu memiliki riwayat hipertensi


Status kesehatan Lingkungan

Yankes

Perilaku

Gambar 3. Diagram Realita

XI. PEMBINAAN DAN HASIL KEGIATAN

Tabel 4. Pembinaan dan Hasil Kegiatan

Tanggal

Kegiatan yang dilakukan

Keluarga yang terlibat

Hasil Kegiatan

20 September 2012

Melakukan pemeriksaan kepada pasien dan mengamati keadaan kesehatan rumah dan

Pasien dan keluarga

Mendapatkan diagnosis kerja pasien dan mendapatkan foto-foto keadaan rumah


31

lingkungan sekitar 24 September 2012 Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit rhinitis alergi serta faktorfaktor pencetus penyakitnya. Memberikan edukasi tentang PHBS untuk mengurangi faktor resiko, seperti menggunakan masker/sapu tangan saat membersihkan rumah, memerciki tembok dengan air, melapisi lantai kamar dengan plastik dan membuat lubang asap dapur Memberikan edukasi tentang penyakit yang mungkin dialami pasien terkait dengan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga, seperti LBP dan osteoartritis. Memberikan edukasi tentang penyakit yang mungkin dialami oleh suami pasien terkait dengan usia dan pekerjaannya, seperti TBC. Pasien dan keluarga Pasien dan keluarga Pasien dan keluarga Pasien dan keluarga Pasien dan keluarga

pasien. Pasien dan suami pasien dapat memahami penjelasan yang diberikan dan diharapkan dapat merubah pola hidup . Pasien dan suami pasien dapat memahami penjelasan yang diberikan dan diharapkan dapat merubah pola hidup bersih dan sehat.

Pasien dan suami pasien memahami penjelasan yang diberikan dan diharapkan dapat segera berobat ketika terdapat keluhan.

Pasien dan suami pasien memahami penjelasan yang diberikan dan diharapkan dapat segera berobat ketika terdapat

32

Memberikan edukasi tentang penyakit yang banyak terjadi di lingkungan rumah pasien, seperti malaria.

keluhan. Pasien dan suami pasien memahami penjelasan yang diberikan dan diharapkan dapat segera berobat ketika terdapat keluhan.

XII. KESIMPULAN PEMBINAAN KELUARGA 1. Tingkat pemahaman: Pemahaman terhadap baik. 2. Faktor pendukung : Pasien dan keluarga dapat memahami dan menangkap penjelasan yang diberikan tentang rhinitis alergi dan perilaku hidup sehat. Sikap keluarga yang kooperatif dan keinginan untuk hidup sehat Keadaan ekonomi yang kurang Termasuk dalam kategori rumah tidak sehat 3. Faktor penyulit : pembinaan yang dilakukan

4. Indikator keberhasilan : Pasien mengetahui tentang perilaku yang tidak baik untuk kesehatan dan hubungannya dengan penyakit yang diderita pasien, serta berusaha untuk mencegah perburukan keadaaan.

33

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Penatalaksanaan pasien dengan Rhinitis Alergi dengan pendekatan kedokteran keluarga adalah sebagai berikut : Terapi medikamentosa R/ CTM tab no XV S 3 dd tab I R/ Paracetamol tab no X S 3 dd tab I R/ Ranitidi tab No X S 3 dd tab I Terapi edukasi yang diberikan adalah edukasi mengenai definisi, faktor resiko, faktor pencetus serta penanganan rhinitis alergi dalam serangan akut, istirahat yang cukup dan hindari faktor pencetus (debu, kelelahan, makanan, udara dingin, kebersihan selimut), anjurkan makan makanan yang bergizi, olahraga teratur dan minum obat teratur, edukasi mengenai rumah sehat dan apabila terdapat keluhan segera memeriksakan diri ke puskesmas atau ke dokter untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Pembinaan yang diberikan terhadap pasien dan keluarga meliputi melakukan pemeriksaan kepada pasien dan mengamati keadaan kesehatan rumah dan lingkungan sekitar, memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit rhinitis alergi serta faktor-faktor pencetus penyakitnya seperti debu dan udara dingin serta mengedukasi pasien dan keluarga untuk menghindari faktor pencetus timbulnya alergi dan juga mengedukasi keluarga mengenai rumah sehat dan pentingnya menjaga rumah tetap bersih. Pembinaan juga meliputi penyakit penyakit yang dapat terjadi berhubungan dengan usia dan pekerjaan pasien dan suami. B. Saran Untuk mencegah timbulnya serangan alergi maka diharapkan pasien dapat menghindari faktor pencetus timbulnya serangan alergi.
34

DAFTAR PUSTAKA 1. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. P. 210-7. 2. Anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Available from :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf . Accesed at : November 25, 2011. 3. Anatomi Hidung. Available from : http://www.scribd.com/doc/38904487/AnatomiHidung . Accesed at : November 25, 2011. 4. Anatomi Hidung. Available from : http://www.scribd.com/doc/52832505/7/AnatomiHidung. Accesed at : November 25, 2011. 5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae N, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6 th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2007. p. 128-32.

35

LAMPIRAN Rumah Tampak Depan

Ruang Keluarga

36

Ruang Tamu

Atap Langit

Kamar I

37

Kamar II

Ruang Makan

Dapur
38

Sumur

39

40

Você também pode gostar