Você está na página 1de 7

Audit Persediaan http://jtanzilco.

com/index Persediaan adalah merupakan bagian dari aset perusahaan yang pada umumnya nilainya cukup material dan rawan oleh tindakan pencurian ataupun penyalahgunaan. Oleh karena itu, biasanya akun persediaan menjadi salah satu perhatian utama auditor dalam pemeriksaan atas laporan keuangan perusahaan. Adapun tujuan utama pemeriksaan persediaan adalah untuk menentukan bahwa : Persediaan secara fisik benar-benar ada Prosedur pisah batas (cut-off) persediaan telah dilakukan dengan memuaskan Persediaan telah dinilai sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum (PSAK) yang diterapkan secara konsisten Persediaan yang bergerak lambat (slow moving), usang, rusak, dapat diidentifikasika dengan tepat dan dicadangkan dalam jumlah yang memadai Penghitungan matematis dalam daftar persediaan telah dibuat dengan cermat Persediaan yang dijaminkan telah diidentifikasikan dan diungkapkan dengan jelas dalam catatan atas laporan keuangan Walaupun tujuan-tujuan audit yang disebutkan di atas diarahkan terutama atas eksistensi dan valuasi persediaan dalam neraca, tetapi auditor harus selalu ingat bahwa audit terhadap akun persediaan yang dilakukannya harus berhubungan dengan harga pokok penjualan dan akun-akun terkait lainnya dalam laporan laba rugi. Beberapa tahapan prosedur audit yang harus dilakukan auditor dalam melakukan pemeriksaan atas akun persediaan diantaranya adalah : 1. Pemahaman Bisnis Klien kecukupan pemahaman atas bisnis perusahaan merupakan dasar terhadap audit persediaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh auditor melalui Kuesioner Pemahaman Bisnis dan Jenis Usaha Klien akan memberikan auditor pemahaman mengenai aspek-aspek unik dari bisnis dan jenis usaha, seperti faktor musiman dan siklus, sifat dari keuangan, metode dan kebijaksanaan penjualan, kondisi persaingan usaha, bahan baku dan sumbernya, tenaga kerja dan fasilitas pabrik yang berkaitan dengan kebijaksanaan operasi perusahaan serta karakteristik sistim informasi termasuk metode costing. Pemahaman ini memungkinkan auditor untuk mencapai kesimpulan mengenai aspek-aspek laporan keuangan sehubungan dengan persediaan. 2. Penilaian Pengendalian Intern tujuan pengendalian intern atas persediaan adalah untuk meyakinkan bahwa (a) adanya pengendalian yang memadai terhadap mutasi persediaan, (b) semua transaksi persediaan telah dicatat dan diklasifikasikan dengan tepat, (c) penghitungan fisik persediaan telah dijalankan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, (d) harga perolehan persediaan telah ditentukan dengan tepat, (e) penyesuaian atas persediaan yang bergerak lambat (slow moving), usang dan rusak telah dilakukan dengan tepat. 3. Pengujian Substantif tujuan utama pengujian substantif terhadap persediaan adalah untuk memberikan bukti nyata dari keberadaan dan penilaian persediaan. Pengujian ini meliputi observasi dan pengujian penghitungan fisik (stock taking), pengujian ringkasan dan pengujian harga. Observasi dan Pengujian Fisik Persediaan Observasi penghitungan fisik merupakan prosedur pemeriksaan umum. Keikutsertaan auditor pemeriksa dalam

penghitungan fisik dan observasinya akan memberikan kepuasan dalam menilai metode penghitungan fisik yang dilakukan dan ketaatan perusahaan atas penyajian kuantitas serta kondisi fisik persediaan. Apabila auditor tidak dapat melakukan observasi atsa penghitungan fisik persediaan karena adanya pembatasan pemeriksaan, maka auditor dapat memberikan pendapat dengan kualifikasi atau tidak memberikan pendapat sama sekali atas laporan keuangan perusahaan yang diperiksanya. Ada beberapa metode penghitungan fisik persediaan, antara lain : 1. penghitungan fisik secara menyeluruh yang dilaksanakan setahun sekali pada tanggal neraca atau pada tanggal tertentu yang dihadiri auditor. 2. penghitungan yang kontinue yang dilakukan atas seluruh persediaan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun 3. penghitungan ulang atas semua seksi yang terbesar dengan menghitung sekurang-kurangnya sekali dalam setahun untuk seksi-seksi lainnya. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) SA Seksi 331 mengenai Sediaan mengatur mengenai penghitungan fisik persediaan yang dilakukan oleh auditor. Dalam paragraf 3 diatur bahwa jika kuantitas sediaan hanya ditentukan melalui penghitungan fisik, dan semua penghitungan dilakukan pada tanggal neraca atau pada suatu tanggal dalam periode yang tepat, baik sebelum maupun sesudah tanggal neraca, maka perlu bagi auditor untuk hadir pada saat penghitungan fisik sediaan dan, melalui pengamatan, pengujian dan permintaan keterangan memadai, untuk meyakinkan dirinya tentang efektivitas metode penghitungan fisik sediaan dan mengukur keandalan yang dapat diletakkan atas representasi klien tentang kuantitas dan kondisi fisik sediaan. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan auditor dalam penghitungan fisik persediaan, diantaranya adalah : 1. selama penghitungan fisik persediaan, auditor harus memastikan bahwa pengendalian atas prosedur pemasukan dan pengeluaran barang atau pergerakan intern barang selama penghitungan berlangsung telah diikuti sebagaimana mestinya, untuk menilai kecermatan pisah batas (cut-off) yang telah dilakukan. Jika memungkinkan, sebaiknya proses produksi dihentikan sementara selama berlangsungnya penghitungan fisik persediaan ataupun penghitungan fisik dilakukan pada saat tidak adanya kegiatan penerimaan maupun pengeluaran barang di gudang. 2. auditor harus memperhatikan kemungkinan adanya barang konsinyasi (titipan) yang bukan menjadi milik perusahaan, barang jaminan dan lainnya 3. kemungkinan adanya persediaan yang tidak berada dalam pengawasan perusahaan, misalnya barang yang berada di lokasi gudang umum, barang yang dipegang oleh penjual, barang konsinyasi dan lainnya. Untuk jenis persediaan ini, prosedur audit yang harus dilakukan adalah dengan melakukan konfirmasi langsung secara tertulis ataupun dengan penghitungan fisik. 4. auditor harus memastikan bahwa persediaan dalam perjalanan benar-benar belum diterima sampai pada saat penghitungan fisik persediaan berlangsung. Jika penghitungan fisik persediaan dilakukan setelah tanggal neraca, auditor harus melakukan tarik mundur (draw back) hasil penghitungan fisik persediaan ke saldo tanggal neraca. Prosedur ini terutama diperlukan untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa pencatatan saldo persediaan pada tanggal neraca telah sesuai dengan fisik persediaan yang ada di gudang.

Pengujian atas Penentuan Harga Pokok Persediaan Harga pokok persediaan umumnya ditentukan dengan metode rata-rata, FIFO ataupun LIFO. Dalam meakukan pemeriksaan atas akun persediaan, auditor harus melakukan pengujian untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa metode yang digunakan dalam menilai persediaan telah sesuai dengan kebijakan akuntansi perusahaan. Kuesioner Pengendalian Intern Persediaan Kuesioner berkaitan dengan pengendalian intern persediaan di gudang yang biasanya ditanyakan oleh auditor selama berlangsungnya pemeriksaan diantaranya adalah : apakah persediaan dipisahkan secara memadai antara bahan baku, barang dalam proses, bahan pembantu maupun barang jadi apakah terdapat pengamanan yang cukup terhadap pencurian, kerusakan, kebakaran, banjir maupun risiko lainnya apakah persediaan berada di bawah pengawasan penjaga gudang apakah gudang tempat penyimpanan barang hanya dapat dimasuki oleh petugas gudang apakah barang dalam gudang hanya boleh dikeluarkan berdasarkan bukti permintaan dan bukti pengeluaran barang yang telah disetujui oleh pejabat berwenang apakah ada prosedur/pengawasan barang masuk atau keluar gudang, seperti penjaga pintu, pengecekan ulang antara barang di truk dengan dokumen bersangkutan dan lainnya jika perusahaan menggunakan sistim persediaan perpetual, apakah pencatatan di kartu persediaan dibuat terpisah untuk masing-masing kelompok persediaan apakah orang yang melaksanan pencatatan pada kartu persediaan bukan orang yang berfungsi sebagai penjaga gudang apakah secara periodik, jumah barang yang ada di kartu persediaan dicocokkan dengan buku besar apakah saldo persediaan dihitung secara fisik sekurang-kurangnya setahun sekali dan dicocokkan dengan kartu persediaan.

Cara Menghitung PPh Pasal 21


1. Tarif Pasal 17 dikalikan PKP untuk : 1. Pegawai tetap, termasuk Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI, pejabat negara lainnya, pegawai BUMN dan BUMD, dan anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama. PKP = Ph Bruto - (Biaya Jabatan +Iuran Pensiun+iuran THT/JHT + PTKP) 2. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan PKP = Ph Bruto - (Biaya Pensiun + PTKP)

3. Pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai PKP = Ph Bruto - PTKP 4. Distributor perusahaan MLM atau Direct Selling dan kegiatan sejenis lainnya PKP = Ph Bruto per bulan - PTKP per bulan 2. Tarif Pasal 17 dikalikan PKP untuk : 1. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan, termasuk yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak : 1) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya 2) Olahragawan 3) Pengarang, peneliti, dan penerjemah 4) Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografo, ekonomi dan sosial 5) Agen iklan 6) Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, peserta sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegiatan 7) Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan 8) Peserta perlombaan 9) Petugas penjaja barang dagangan 10) Petugas dinas luar asuransi 2. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama 3. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai 4. Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan oleh peserta program pensiun Catatan (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/2005) o Ph bruto yang diterima pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan pegawai tidak tetap lainnya berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) sehari, tidak dipotong PPh Pasal 21 sepanjang jumlah ph bruto tersebut dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak dibayarkan secara bulanan. o Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, serta pegawai tidak tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari ph bruto setelah dikurangi Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) tersebut. o Dalam hal penghasilan tersebut dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp 1.000.000,(satu juta rupiah), maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai

dengan jumlah PTKP yang sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360. o o o
2.

Dalam hal penghasilan tersebut dibayarkan secara bulanan, maka PTKP yang dapat dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan. Atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap yang dihitung berdasarkan upah harian, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya. Atas penghasilan berupa bea siswa, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya.

Tarif sebesar 15% dikalikan Ph Neto (50% x Penghasilan Bruto) untuk : Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, terdiri dari : 1. Pengacara; 2. Akuntan; 3. Arsitek; 4. Dokter; 5. Konsultan; 6. Notaris; 7. Penilai; 8. Aktuaris.

3. Tarif sebesar 15% dikalikan Ph Neto (50% x Penghasilan Bruto) untuk : Penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Pehitungan PPh Final sbb : 9. Penghasilan bruto s.d. Rp 25.000.000 tidak dikenakan PPh Final. 10. Penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000 sebesar 10% 11. Penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 s.d. Rp 200.000.000,00 sebesar 15% 12. Penghasilan bruto di atas Rp 200.000.000,00 sebesar 25%

4. International Standards (ISAs) vs Public Accountants Professional Standards (SPAP) of Indonesia


International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB) is an entity organized by the International Federation of Accountants (IFAC) as the independent regulatory body to develop the auditing and assurance standards.

Standards issued by the IAASB are divided into three categories. First, the standard on audit and review of historical financial information is consists of two standards, namely: the International Standards on Auditing (ISAs), and International Standards on Review Engagements (ISREs). Furthermore, to assist in the implementation and application of the auditing and review standards, IAASB issued the International Auditing Practice Statement (IAPSs) and the International Review Engagement Practice Statement (IREPSs). IAPS and IREPS serve as guidelines for the interpretation and practical assistance for the application of the standards on audit and review. The second category is the standard for assurance other than an audit and review of historical financial information. The IAASB issued International Standard Assurance Engagements (ISAEs) and for more practical application, International Assurance Engagement Practice Statements (IAEPS) was issued. This is an interpretation guidance and practical assistance in applying the standards of assurance. The last category is the standard for other services. The IAASB issued International Standard on Related Services (ISRSs) which is applied to the assignment of compiling, processing information, and services of other assignments. For its application, IAASB has also issued the International Related Services Practice Statements (IRSPSs) as guidelines for the interpretation and practical assistance. In addition, IAASB also issued the International Standard on Quality Controls (ISQCs) for the work of auditors to provide good service quality. In Indonesia, before the formation of Indonesian Institute of Certified Public Accountants (Certified), the auditing standards are established by the Indonesian Institute of AccountantsCertified Public Accountants Compartment (IAI-KAP). The formation of Certified was first formally accepted as an associate member of the IAI on June 4, 2007. It was also recognized by the government of Indonesia as a professional organization of public accountants authorized to perform public accounting certification exams, prepare and publish professional standards and ethics of public accountants, and organize courses of continuing education for all public accountants in Indonesia through the Ministry of Finance Regulation No. 17/PMK.01/2008 on February 5, 2008. The auditing standards of the Public Accountants Professional Standards of Indonesia (SPAP) is prepared and published by IAPI. SPAP is a codification of the various statements of technical standards and rules of ethics which is consists of: 1. Statement of Auditing Standards 2. Attestation Standards 3. Statement of Accounting and Review Services 4. Statement of Consultation Services 5. Statement of Quality Control Standards While the ethics rules are enshrined in SPAP Ethics Rules Compartment Public Accountant which was approved by the Compartment of Certified Public Accountants on May 2000. SPAP applicable in Indonesia still refers to the auditing standards of the Americans. SPAP auditing standards is divided into three main parts: the General Standards, Field Work Standards and Reporting Standards.

On the other hand, ISA is not divided into categories. But the presentation of the existing standards already reflects the process of auditing. Audit work on the ISA approach is divided into six stages. The first stage begins with an assignment agreement (agreement of engagement). Then, the second stage is collecting information, understanding client's business and accounting systems, as well as determining the units to be audited. The third stage is the development of audit strategies which is done by taking into account inherent access lists. The next stage is to execute the audit, which is to start to carry out the audit. At the time of conducting the audit, there will be tests of controls, substantive and analytical procedure and other substantive procedures to be conducted. The fifth stage is to form the opinion and the last stage is to make the audit report. Of the six stages of audit work set out in the ISA, there is no difference from the arrangement in SPAP that guides the audit for the firms in Indonesia.

Você também pode gostar