Você está na página 1de 38

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Asuhan Kegawatdaruratan Acut Lung Oedem

Di Susun Oleh : Kelompok I

Ahmad Hariyanto Asri Azmana Neliza Riyanti Sisfianti Dewi Puri Viega Amanda Desya Yurico Affandy

S1 KEPERAWATAN (III. B)

STIKes PAYUNG NEGERI PEKANBARU


T/P 2012-2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada ALLAH SWT atas nikmat kepada kita semua, baik itu nikmat kesehatan maupun nikmat umur panjang yang diberikan kepada kita sehingga kita semua khususnya kepada kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul Asuhan Kegawat Daruratan Acute Lung Oedem. Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberi masukan dan saran kepada penulis, terutama kepada Dosen Pembimbing dan teman-teman. Penulis sadari tanpa adanya bantuan dari pihak lain, makalah yang menulis susunan dalam beberapa hari ini tidak akan tersusun dan terselesaikan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua terutama kepada penulis khususnya. Amin.

Pekanbaru, Maret 2013

Penulis

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Defenisi 2.2. Etiologi 2.3. Klasifikasi .. .. .. ...................................................................................... .. i ii

2.4. Patofisiologi/WOC. 2.5. Manifestasi Klinis . 2.6. Komplikasi ..

2.7. Pemeriksaan penunjang dan diagnostic. 2.8. Penatalaksanaan .. 2.9. Asuhan Keperawatan BAB III PENUTUP Gambaran Kasus (Fiktif).. BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Pengkajian. 4.2. Analisa Data.

4.3. Diagnosa Keperawatan.. 4.4. Intervensi Keperawatan. 4.5. Implementasi Keperawatan 4.6. Evaluasi.. BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran DAFTAR PUSTAKA .. ..

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Edema paru akut merupakan kondisi di mana cairan terakumulasi di dalam paru-paru, biasanya diakibatkan oleh ventrikel kiri jantung yang tidak memompa secara adekuat. Edema paru akut terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.(Ningrum, 2009). Bertambahnya cairan dalam ruang di luar pembuluh darah paru-paru disebut edema paru akut. Edema paru akut merupakan komplikasi yang biasa dari penyakit jantung dan kebanyakan kasus dari kondisi ini dihubungkan dengan kegagalan jantung. Edema paru akut dapat menjadi kondisi kronik atau dapat berkembang dengan tiba-tiba dan dengan cepat menjadi ancaman hidup. Tipe yang mengancam hidup dari edema paru terjadi ketika sejumlah besar cairan tiba-tiba berpindah dari pembuluh darah paru ke dalam paru, dikarenakan masalah paru, serangan jantung, trauma, atau bahan kimia toksik. Ini dapat juga menjadi tanda awal dari penyakit jantung koroner. (Ningrum, 2009).

Angka kejadian penyakit ini adalah sekitar 14 diantara 100.000 orang/tahun. Angka kematian melebihi 40%. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Penderita yang bereaksi baik terhadap pengobatan, biasanya akan sembuh total, dengan atau tanpa kelainan paru-paru jangka panjang. (Ningrum, 2009).

Mengingat begitu berbahayanya edema paru akut bagi kesehatan maka kelompok akan membahas mengenai edema paru akut dan asuhan keperawatan yang diberikan. Diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang efektif dan mampu ikut serta dalam upaya penurunan angka insiden edema paru akut melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. (Ningrum, 2009).

1.2 TUJUAN a. Tujuan Umum


Untuk dapat mengetahui dan menjelaskan tentang asuhan keperawatan kegawatdaruratan klien dengan Acut Lung Oedem.

b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang definisi acut lung oedem. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang etiologi acut lung oedem. 3. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang klasifikasi acut lung oedem. 4. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang patofisiologi acut lung oedem. 5. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang manifestasi acut lung oedem. 6. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang acut lung oedem. 7. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang penatalaksanaan kegawatdaruratan acut lung oedem.

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1. DEFINISI
Edema Paru Akut (EPA) adalah akumulasi cairan paru-paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskuler yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membrane kapiler (edema paru non kardiak) yang meningkatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut diatas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan. EPA adalah suatu keadaan gawat darurat dengan tingkat mortalitas yang masih tinggi (Bambang S ddk, 2006). Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan intravaskular. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-paru. cairan ini terkumpul dalam kantung-kantung udara di paru-paru banyak, sehingga sulit untuk bernapas. Dalam kebanyakan kasus, masalah jantung menyebabkan edema paru. Tapi cairan dapat menumpuk karena alasan lain, termasuk pneumonia, paparan terhadap racun tertentu dan obat-obatan, dan olahraga atau hidup pada ketinggian tinggi (Ningrum,2009). Edema paru akut (kardiak) adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan intravaskular. Udem paru akut (UPA) adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di rongga alveoliyang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman gagal nafas (Ningrum,2009).

2.2. ETIOLOGI
a. Ketidakseimbangan Starling Force o Peningkatan tekanan vena pulmonalis.Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan osmotic koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain : (1)

Tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis mitral), (2) Sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi). o Penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminaemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial, sehingga cairan dapat berpindah dengan lebih mudah diantara sistem kapiler dan limfatik. o Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial. Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural.Keadaan yang sering menjadi etiologi adalah : (1) Perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negative yang besar. Keadaan ini disebut edema paru re-ekspansi. Edema biasanya terjadi unilateral dan sering kali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan edema paru re-ekspansi ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif. (2) Tekanan negative pleura yang besar akibat obstruksi jalan napas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronchial) (Bambang S dkk,2006).

b. Gangguan Permeabilitas Membran Kapiler Alveoli : (ARDS = Adult Respiratory Distress Syndrome) Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force o o o o o o o o o o Pneumonia (bakteri, virus, parasit) Terisap toksin (NO, asap) Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi Aspirasi asam lambung Pneumonitis akut akibat radiasi Zat vasoaktif endogen (histamine, kinin) G.Disseminated IntravascularCoagulation Immunologi : pnemonitis hipersensitif Shock-lung pada trauma non thoraks Pankreatitis hemoragik akut (Bambang S dkk,2006)

c. Insuffisiensi Sistem Limfe o o o o o o o o o o o Pasca transplantasi paru Karsinomatosis limfangitis Limfangitis fibrotic (silikosis) (Bambang S dkk,2006) A.High altitude Pulmonary Edema Edema paru neurogenik Over dosis obat narkotik Emboli paru Eklampsia Pasca kardioversi Pasca anastesi Post cardiopulmonary bypass (Bambang S dkk,2006)

d. Tidak Diketahui atau Belum Jelas Mekanismenya

2.3. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan non-kardiogenik. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik. 1. Cardiogenic pulmonary edema Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa. Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi lebih dari jumlah darah yang biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan cairan dari pembuluhpembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan membesar (Ningrum,2009).

2. Non-cardiogenic pulmonary edema Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal berikut : a. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah. b. Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru. c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orangorang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh. d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet. e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema. f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema). g. Overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary edema. h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksiinfeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil (Ningrum, 2009).

2.5. MANIFESTASI KLINIS


Gejala-gejalanya dapat terdiri atas : 1. Gejala yang ditimbulkan akibat kegagalan jantung untuk memenuhi oksigenisasi maka terjadi gejala-gejala hipoksemia serebri berupa menurunnya kesadaran, hipoksemia miokard menimbulkan gejala-gejala anginal dan hipoksemi renal berupa gejala kegagalan ginjal. Sedangkan gejala-gejala edema paru sendiri adalah: a. Kardiak Asma Sesak terjadi secara tiba-tiba. Biasanya bersifat nocturnal dan ortopne, berkeringat dingin, wheezing dapat didengar pada seluruh paru. Batuk-batuk dengan ekspektorasi disebabkan oleh karena bendungan paru. Kadang-kadang terdapat hemoptisis atau berupa bloody sputum. b. Tanda-tanda serebral timbul oleh karena penurunan curah jantung (cardiac output) sehingga timbul stupor, koma ataupun depresi mental. c. Gejala-gejala kardiovaskuler dimana dapat terjadi sindroma shock (Tabrani Rab,1998).

2. Mengumpulnya berbagai zat toksik oleh karena kegagalan fungsi transportasi zat-zat sisa. a. Berkurangnya subsrat yang dipengaruhi jaringan terutama glukosa sehingga jaringan dalam hal ini mempergunakan sumber energy lainnya misalnya lemak dan protein. Kekurangan subsrat ini hanya terjadi bila akibat kegagalan aliran darah. b. Pengangkutan zat sisa yang tidak dapat dilakukan tubuh yang disebabkan oleh dua hal, yakni: Peranan mikrosirkulasi dan transportasi sisa-sisa bahan makanan tidak sempurna. Fungsi ekskresi dari ginjal tidak sempurna (Tabrani Rab,1998).

Kedua hal ini disebabkan oleh karena gangguan himodinamik. Gejala-gejala retensi dari zat sisa terjadi ialah tingginya kadar ureum darah yang disebabkan oleh kegagalan ginjal prerenal. Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium: Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi (Ningrum).

Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan interstisial diperlambat (Ningrum,2009).

Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ningrum,2009).

2.6.PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN DIAGNOSTIK


Pemeriksaan Fisik. Dapat ditemukan frekuensi napas yang meningkat, dilatasi alae nasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negative intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat (Bambang S dkk,2006). Radiologis. Pada foto thorax menunjukkan hilus yang melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstitial atau alveolar (Bambang S dkk, 2006). Laboratorium. Kelainan pemeriksaan laboratorium sesuai dengan penyakit dasar. Uji diagnostic yang dapat dipergunakan untuk membedakan dengan penyakit lain misalnya asma bronchial adalah pemeriksaan kadar BNP (Brain Natriuretic Peptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab dyspneu lain seperti asma bronchial akut. Pada kadar BNP plasma yang menengah atau sedang dan gambaran radiologisyang tidak spsifik, harus dipikirkan penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah dikatup mitral yang harus di evaluasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti ekokardiografi (Bambang S dkk,2006).

EKG. Pemeriksaan EKG bias normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negative yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis (Bambang S dkk,2006).

2.7.KOMPLIKASI
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak (Ningrum, 2009).

2.8. PENATALAKSANAAN
a. Posisi penderita didudukkan 60-90 untuk memperbaiki ventilasi walaupun terdapat hipotensi (posisi duduk) b. Memberikan oksigen 6-8 liter/menit atau 100% O2 dengan masker. c. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator. d. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada. e. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg tiap 5 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 5 ug/kgBB. f. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 90 mmHg pada

pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. g. Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari). h. Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam. i. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. j. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.

k. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen. l. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel / corda tendinae (Ningrum, 2009).

2.9. ASUHAN KEPERAWATAN a. PENGKAJIAN PRIMER


Airway Pada pasien dengan status acute lung oedema ditemukan adanya penumpukan sputum pada jalan nafas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga status acute lung oedema ini memperlihatkan kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan akan oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh, batuk (produktif/nonproduktif) (Ningrum,2009) Breathing Adanya sumbatan pada jalan napas pasien, menyebabkan bertambahnya usaha napas pasien untuk memperoleh oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Sesak napas, dada tertekan, pernapasan cuping hidung, hiperventilasi, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru (Ningrum,2009).

Circulation Pada kasus status acute lung oedema ini adanya usaha yang kuat untuk memperoleh oksgien maka jantung berkontraksi kuat untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan adanya peningkatan denyut nadi lebih dari 110 x/menit. Pembuluh darah vasokonstriksi, kualitas darah menurun, denyut jantung tidak teratur dan adanya suara jantung tambahan. Adanya kekurangan oksigen ini dapat menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation ini, pasien dengan status acut lung oedem akan merasa keringat dingin karena terjadinya peningkatan metabolism (Ningrum, 2009)

Disability Pasien dengan acute lung oedema akan gelisah, penurunan kesadaran,GCS menurun, reflex menurun/normal, latergi (Ningrum,2009)

Exposure Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya (Ningrum, 2009).

b.PENGKAJIAN SEKUNDER Kepala

Bentuk kepala Bentuk simetris, penyebaran rambut merata, rambut bersih, tidak ada lesi, rambut beruban,tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa dan pembengkakan.

Mata

Bentuk simetris, sclera ikterik -/-, konjungtiva anemis +/+, reflek cahaya +/+, pupil isokor, tidak ada nyeri tekan.

Wajah

Bentuk simetris dan tampak pucat.

Hidung

Septum nasi simetris, sekret -/-, sumbatan -/-, PCH (-), terpasang O2 via nasal canule 4 lpm tidak ada nyeri tekan.

Telinga

Telinga simetris, jejus (-), lesi (-), rhinorea (-), nyeri tekan tidak ada.

Mulut

Mukosa bibir lembab, tidak ada sariawan, sianosis (-), tonsil tidak kemerahan, gigi dan lidah bersih.

Tenggorokan

Tidak ada nyeri tekan.

Leher

Trachea simetris, rigiditas (-), pembesaran vena jugularis 3 cm, nyeri tekan pada kelenjar limfe.

Thoraks

Paru-paru

: Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris, retraksi otot dada (+), tidak ada lesi, penggunaan otot bantu pernapasan

P P A

: Nyeri tekan (+), vocal vremitu teraba, : Terdengar hipersonor pada lapang paru kanan dan kiri, : Ronkhi

Jantung

Tidak terlihat pulsasi ictus cordis, Nyeri tekan (-), ictus cordis teraba di ICS V mid klavikula kiri 2 cm, terdengar dullness pada ICS IV sternum dekstra dan sinistra, ICS V mid clavicula line sinistra, ICS V di anterior axial line, sinistra ICS V mid axial line sinistra, BJ I dan II tunggal.

Abdomen

bentuk flat, jejas (-), BU (+), 10x/menit, distensi abdomen (-), asites (-), tidak ada pembesaran pada hepar dan lien, nyeri tekan (-), timpani

Ekstremitas

Edema, akral hangat, terpasang IVFD Nacl 0,9% 10 tts/mnt, kekuatan otot,reflek tidak terkaji, jejas (-), nyeri tekan (+), CRT > 3 detik

Genetalia

Terpasang dolver kateter terhubung urobag, memakai pampers. PU (+)400 cc/4 jam berwarna kuning jernih, anus tidak terkaji

Integument

Turgor kulit normal, akral hangat, tidak ada kelainan kulit, jejas (-), (Ningrum, 2009)

c. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernafasan b.d menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru. 2. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontakilitas miokardial (penurunan). 3. Gangguan pertukaran gas b.d distensi kapiler pulmonar 4. Resiko tinggi infeksi b.d area invasi mikroorganisme sekunder terhadap pemasangan selang endotrakeal 5. Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan kontraktilitas otot jantung 6. Intoleransi aktivitas yang b.d ketidak seimbangan antara suplai O2 / kebutuhan umum, tirah baring lama / immobilisasi

7. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal (Nanda, 2009)

d. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa : Ketidakefektifan pola pernafasan b.d menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru. Tujuan : Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal

Kriteria Hasil : - Menunjukkan pola pernapasan efektif, dibuktikan dengan status pernapasan yang tidak berbahaya: ventilasi danstatus tanda vital. - Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi nafas terdengar jelas. Intervensi :

1. Identifikasi faktor penyebab 2. Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan usaha respirasi 3. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 90 derajat. 4. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien). 5. Auskultasi bunyi napas, perhatikan area penurunan/tidak adanya ventilasi dan adanya bunyi napas tambahan. 6. Ajarkan cara batuk secara efektif. 7. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto thorax (Wilkinson, 2007)

2. Diagnosa miokardial (penurunan). Tujuan / Kriteria Hasil

: Penurunan curah jantung b.d perubahan kontakilitas

- Menunjukkan curah jantung yang memuaskan, dibuktikan dengan keefektifan pompa jantung, status sirkulasi, perfusi jaringan (organ abdomen) dan perfusi jaringan (perifer) Intervensi :

1. Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, status pernapasan, dan status mental.

2. Pantau denyut perifer, waktu pengisian kapiler, dan suhu serta warna ekstremitas 3. Auskultasi bunyi paru untuk mengetahui adanya ronkhi basah kasar atau bunyi tambahan lainnya. 4. Pantau dan dokumentasikan denyut jantung, irama dan nadi. 5. Jelaskan pada keluarga tujuan pemberian oksigen pernasal kanula atau masker 6. Rujuk kepada dokter menyangkut parameter pemberian/penghentian obat tekanan darah (Wilkinson,2007)

3. Diagnosa Tujuan / Kriteria Hasil

: Gangguan pertukaran gas b.d distensi kapiler pulmonar :

- Gangguan pertukaran gas akan terkurangi yang dibuktikan dengan status pernapasan : pertukaran gas dan status pernapasan : ventilasi tidak bermasalah

Intervensi

1. Kaji bunyi paru ; frekuensi napas, kedalaman dan usaha ; dan produksi sputum sesuai dengan indicator dari penggunaan alat penunjang yang efektif 2. Pantau hasil gas darah (misalnya, PaCO2 yang rendah, PaCO2 yang meningkat, kemunduran tingkat respirasi) 3. Auskultasi bunyi napas, tandai area penurunan atau hilangnya ventilasi dan adanya bunyi tambahan 4. Pantau status pernapasan dan oksigenasi, sesuai dengan kebutuhan. 5. Ajarkan pada pasien teknik bernapas dan relaksasi 6. Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan pemeriksaan gas darah arteri (GDA) dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien. 7. Berikan bronkodilator, aerosol, nebulasi ultrasonic sesuai dengan keperluan (Wilkinson,2007).

BAB III GAMBARAN KASUS


Riwayat Penyakit :
Ny.Sinden (41 tahun) mengalami keluhan sesak nafas saat beraktivitas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, batuk, mual muntah, berkeringat dingin, merasa gelisah, dada berdebar-debar dan mengaku setiap harus tidur menggunakan 2 bantal agar tidak sesak. Sesak napas memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada 18/03/2013 jam 07.15, pasien apneu kemudian dilakukan RJPO selama 15 menit. Pasien di pindah ke ICCU. a. Keluhan Utama Saat masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak napas saat beraktifitas, batuk, mual

muntah,berkeringat dingin, merasa gelisah, dada berdebar-debar dan mengaku setiap harus tidur menggunakan 2 bantal agar tidak sesak. Sesak napas memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Saat pengkajian: pasien mengeluh badan lemas dan batuk, pasien mengatakan sudah tidak sesak

(sesak sudah berkurang)

b. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat penyakit masa lalu

Klien mengatakan sebelumnya pernah masuk rumah sakit bulan oktober 2012 karena keluhan yang sama (sesak). Riwayat hipertensi sejak 2 tahun lalu. Pasien tidak rutin control dan hanya datang berobat ke mantri hanya jika klien merasa sesak yang berat. Klien tidak tahu nama obatnya. Riwayat DM (-). 2. Riwayat penyakit sekarang

Menurut keluarga pasien 3 hari sebelum masuk rumah sakit klien sering mengeluh sesak. Sesak saat beraktivitas, istirahat dan disertai keringat dingin. Hipertensi sejak 2 tahun, riwayat DM, jantung tidak ada. Klien tidak merokok dan minum alcohol. 3. Riwayat penyakit keluarga

Keluarga tidak pernah mengalami penyakit yang dialami klien saat ini dan tidak ada generasi sebelumnya yang menderita hipertensi, DM atau penyakit keturunan yang lainnya.

4.1.PENGKAJIAN
Pengkajian primer

A : Jalan nafas tidak paten,ada penumpukan sekret di jalan nafas, nafas sesak, batuk(produkitf) B : 36x/menit, menggunakan otot bantu nafas, dalam, menggunakan pernafasan cuping hidung, terdengar stridor, ronkhi pada lapang dada, penurunan tekanan ekspirasi C : TD = 170/100 mmHg, nadi = 120x/menit, irregular, halus teraba di arteri radialis, cepat, CRT > 3 detik. D : Penurunan kesadaran, tingkat kesadaran apatis, GCS (E3 M4 V5), pasien gelisah E : Tidak ada jejas seluruh tubuh

Pengkajian Sekunder Pemeriksaan fisik : 1. Keadaan umum : klien tampak rapi dengan wajah pucat a. Tanda-tanda vital TD N RR b. TB : 170/100 mmHg : 120x/ menit : 36x/ menit BB : tidak terkaji

: tidak terkaji

c. Kesadaran

: Apatis, GCS (E3 M4 V5)

Pemeriksaan Head to toe

a. Kepala : Bentuk kepala simetris, penyebaran rambut merata, rambut bersih, tidak ada lesi, rambut beruban tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa dan pembengkakan.

Mata

Bentuk simetris, sclera ikterik -/-, konjungtiva anemis +/+, reflek cahaya +/+, pupil isokor,tidak ada nyeri tekan Wajah :

Bentuk simetris dan tampak pucat Hidung :

Septum nasi simetris, sekrt -/-, sumbatan -/-, PCH (-), terpasang O2 via nasal canule 4 lpm, tidak ada nyeri tekan Telinga :

Telinga simetris, jejus (-), lesi (-), rhinorea (-), nyeri tekan tidak ada. Mulut :

Mukosa bibir lembab, tidak ada sariawan, sianosis (-), tonsil tidak kemerahan, gigi dan lidah bersih. Tenggorokan : Tidak ada nyeri tekan Leher :

Trachea simetris, rigiditas (-), pembesaran vena jugularis 3 cm, nyeri tekan pada kelenjar limfe b. Thoraks Paru-paru : I : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris, retraksi otot dada (+), tidak ada lesi, penggunaan otot bantu pernapasan, penurunan tekanan ekspirasi P : Nyeri tekan (+), vocal vremitus teraba P : Terdengar hipersonor pada lapang paru kanan dan kiri A : Ronkhi

c. Jantung : Tidak terlihat pulsasi ictus cordis,Nyeri tekan (-), ictus cordis teraba di ICS V mid klavikula kiri 2 cm,terdengar dullness pada ICS IV sternum dekstra dan sinistra, ICS V mid clavicula line sinistra, ICS V di anterior axial line, sinistra ICS V mid axial line sinistra,bunyi jantung I dan II tunggal. d. Abdomen :

Bentuk flat, jejas (-),bising usus(+) 10x/menit,distensi abdomen (-), asites (-), tidak ada pembesaran pada hepar dan lien, nyeri tekan (-),timpani. e. Ekstremitas :

Edema , akral hangat, terpasang IVFD Nacl 0,9% 10 tts/mnt,Kekuatan otot , reflek tidak terkaji, jejas (-), nyeri tekan (-),CRT > 3 detik f. Genetalia :

Terpasang dolver kateter terhubung urobag, memakai pampers. PU (+)400 cc/4 jam berwarna kuning jernih, anus tidak terkaji g. Integument :

Turgor kulit normal, akral hangat, tidak ada kelainan kulit, jejas (-)

Pemeriksaan Penunjang

Lab 23-12-2008 jam 1.20 Darah lengkap

Leukosit: 10.900/ml (N: 3500-10.000/ml) Hemoglobin: 11,1 gr/dl (N: 11-16,5 gr/dl) Hemotokrit: 35,5% (N: 35-50%) Trombosit: 276.000/ml (N: 150.000-390.000/ml) BGA

pH: 7, 236 (N: 7,35-7,45) pCO2: 67,6 mmHg (N: 35-45 mmHg)

pO2: 65,8 mmHg (N: 80-100 mmHg) HCO3: 29,6 mmol/L (N: 21-28 mmol/L) SaO2: 90,1% (N: >95%) BE: 0,7 mmol (N: -3 (+3)) Kimia darah

Kolesterol total: 174 mg/dl (N: 130-220 mg/dl) Kolesterol HDL: 35 mg/dl (N: >50 mg/dl) Kolesterol LDL: 121 mg/dl (N: <150 mg/dl) Trigliserida: 50 mg/dl (N: 34-143 mg/dl) Asam urat: 8,5 mg/dl (N: 2-6 mg/dl) Foto rongten

Hasil foto rongten : didapatkan gambaran berkabut pada lapang paru, butterfly appereance. CTR: Diket: a: 6,5 cm b: 7 cm c: 25,5 cm Dita: CTR? Jawab: CTR = a+b/ c x 100% = 6,5+7/25,5 x 100% = 52.9 % ( N : 50%) Kesimpulan : terdapat pembesaran jantung (kardiomegali) EKG

Interpratasi EKG a. Irama : jarak antara QRS dengan QRS sama jadi irama regular b. Frekuansi : 300/ jumlah kotak besar antara R dan R Atau 1500/ jumlah kotak kecil antara R dan R c. Gel P : 3 kotak x 0,04 s = 0,12 sGel. P tinggi (3 kotak) = P pulmonal (menunjukkan adanya hipertropi atrium kanan ( L II, III, AVF/ inferior). P mitral di V1)

d. e. f. g. h. i. j.

Gel QRS Interval PR T inversi Q patologis ST elevasi ST depresi Axis

: 1 kotak x 0,04 s = 0,04 s : 3 kotak x 0,04 s = 0,12 s (normal) : di V4 (iskemik) ::: V4 dan V5 (iskemik)

Lead I dan AVF Lead I : R : 13 S: 0 13 + 0 = 13

AVF : R : 8 S : -5

8 + (-5) = 3

Sumbu jantung : 90 ( N : -30 sampai 110 Kesimpulan: Axif: = 10 (normal) I. Terapi : 40 0 0 mg : 25 mg : 3 x 10 mg : 3 x 10 mg : 2 x 1 gr (IV) : 3 x 100 gr : 1 x 500 gr : 2x/hari

Furosemid Spiromolacton ISDN Captopril Ceftriaxon GG Azythromycin Combivent nebule

A. Diagnosa 1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru. 2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapileralveolus (perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli) 3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial (penurunan). 4.2.ANALISA DATA

No 1.

Data DS: Pasien mengatakan Sesak nafas Pasien mengatakan batuk Pasien mengatakan mual muntah

Pohon Masalah Akumulasi cairan berlebih

Diagnosa

Cairan menumpuk di rongga pleura

Ketidak efektifan pola nafas

Penurunan ekspansi paru

DO: RR 36 x / menit TD 170/100 mmHg Nadi 120x / menit Kedalaman = dalam Takipnea Bunyi nafas Ronkhie Irama = irregular Pernapasan cuping hidung Penurunan tekanan ekspirasi

Penurunan O2 keseluruh jaringan

2.

DS: Pasien mengatakan sesak napas Pasien mengatakan cepat lelah Pasien mengatakan nyeri saat di lakukan palpasi

Akumulasi cairan berlebih

Ganggun pertukaran gas

Menumpuk di paru

Aveoli berisi cairan

Gagguan pertukran gas

DO: pH = 7,23 pCO2 = 67,6 mmHg pO2 = 65,8 mmHg HCO3 = 29,6 mmol/L RR = 36x/menit, dalam, irregular Hiperkapnia Hipoksia Napas cuping hidung Pasien tampak pucat, gelisah Apatis, GCS (E3 M4 V5) Hasil Rontgen tampak gambaran berkabut pada lapang paru

3.

DS: Pasien mengatakan sesak nafas, batuk Pasien mengatakan jantungnya berdebar-debar Pasien mengeluh lemah, lelah, letih

Alveoli berisi cairan

Penurunan Curah Jantung

Gangguan pertukaran gas O2

O2 ke jantung berkurang

Penurunan kontraktilitas miokardial

DO: Perubahan EKG Takikardia TD : 170/100 mmHg Nadi 120x / menit Edema ekstremitas Pasien tampak pucat, lelah, letih CRT > 3 detik Pembesaran vena jugularis +- 3 cm Pasien tampak gelisah Konjungtiva anemis Penurunan curah hujan

4.3. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru. 2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli)

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial (penurunan). 4.4.INTERVENSI
1. Diagnosa Keperawatan I Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura. Tujuan : Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal Kriteria hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi nafas terdengar jelas. Rencana tindakan : a. Identifikasi faktor penyebab. Rasional : Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat mengambil tindakan yang tepat. b. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi. Rasional : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien. c. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 90 derajat. Rasional : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal. d. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien). Rasional : Peningkatan RR dan tachicardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru. e. Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam. Rasional : Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paruparu. f. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif. Rasional : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif. g. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto thorax.

Rasional : Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.

2.

Diagnosa Keperawatan II Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli) Tujuan : Pertukaran gas efektif Kriteria hasil : menunjukkan ventilasi dan oksigenasi jaringan yang adekuat pada jringan ditunjukkan oleh GDA/oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan Rencana tindakan : a. Auskultasi suara nafas, catat adanya krekels. Rasional : Menunjukkan adanya bendungan pulmonal/penumpukan secret yang

membutuhkan penanganan lebih lanjut. b. Atur posisi fowler dan bed rest. Rasional : merangsang pengembangan paru secara maksimal. c. Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri Rasional : hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru. d. Collaborative pemberian O2 sesuai indikasi. Rasional : meningkatkan konsenterasi O2 alveolar yang akan mengurangi hypoxemia jaringan. e. Collaborative pemberian obat Diuretic Rasional : Mengurangi bendungan alveolar sehingga meningkatkan pertukaran gas Bronkodilator Rasional : Meningkatkan pemasukan O2 dengan jalan dilatasi saluran nafas.

3.

Diagnosa Keperawatan III

Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial (penurunan). Tujuan : Curah jantung tercukupi untuk kebutuhan individual Kriteria hasil : Menunjukkan tanda vital dalam batas normal dan bebas gejala gagal jantung. Rencana tindakan : a. Catat suara jantung

Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena terdapat kelemahan dalam memompa. Irama gallop sering ada (S2 dan S3). Murmur merupakan gambaran adanya

ketidaknormalan/stenosis dari katup. b. Monitor tekanan darah Rasional : pada awal tekanan darah meningkat karena peningkatan SVR, lama kelamaan badan/body jantung tidak bisa bertambah panjang agar bisa untuk kompensasi dan bisa terjadi hipotensi berat. c. Palpasi denyut peripher. Rasional : Penurunan CO akan menyebabkan kelemhn denyut pada arteri radialis, poplitea,dorsalis pedis dan posttibial. Denyut dapat yang cepat atau reguler dan mungkin juga terdapat pulsus alternans (denyut yang kuat di selingi denyut yang lemah) d. Lihat warna kulit,pucat,cyanosis. Rasional : Pucat menunjukkan berkurangnya perfusi perifer sebagai akibat sekunder dari ketidakadekuatnya CO. e. Nilai perubahan tanggapan panca indera seperti : lethargy, kebingungan, disoientasi cemas dan depresi. Rasional : Menunjukkan tidak adekuatnya perfusi cerebralsebagai akibat sekunder dari penurunan CO . f. Collaborative dalam pemberian O2 lewat canul nasal/masker sesuai indikasi. Rasional : meningkatnya persediaanya O2 untuk kebutuhan myokard untuk menanggulangi efek hypoxia/iskemia. g. Collaborative pemberian diuretik. Rasional : Pengurangan preload penting dalam pengobatan pada pasien cardiac out put yang relative normal yang di sertai oleh gejala-gejala bendungan. Pemberian loup diuretics akan mengurangi reabsorbsi dari sodium dan air. h. Collaborative pemberin digoxin Rasional : meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan melambatkan kecepatan denyut jantung (heart rate) dengan menurunkan kecepatan konduksi dan memperpanjng periode retrakter dari AV junction untuk meningkatkan efisiensi jantung/cardiac out put.

4.5. IMPLEMENTASI
Diagnosa 1

a. mengidentifikasi faktor penyebab

b. mengkaji setiap kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, melaporkan setiap kejadian yang terjadi c. mengatur posisi pasien yang nyaman d. mengobservasi tanda-tanda vital e. melakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam f. membantu dan mengajarkan pasien untuk batuk efektif atau nafas dalam Diagnosa 2

a. mendengarkan suara nafas, dan mencatat krekels. b. mengatur posisi fowler an bed rest c. memantau/menggmbarkan seri GDA, nadi oksimetri d. memberikan O2 sesuai indikasi Diagnosa 3

a. mencatat suara jantung b. memonitor tekanandarah c. mempalpasi denyut peripher d. melihat warna kulit, pucat atau cyanosis. e. menilai perubahan tanggapan panca indera f. memberikan O2 lewat canul nasal

4.6.EVALUASI
Diagnosa 1 S : pasien mengatakan sesak nya sudah berkurang, pasien mengatakan batuknya sudah berkurang, pasien mengatakan sudah tidak mual muntah O : RR 22 x/menit, TD = 130/90 mmHg, Nadi = 100x/ menit, sudah tidak menggunakan otot bantu pernapasan, irama = regular, inspirasi sama dengan ekspirasi A : masalah ketidak efektifan pola nafas pasien teratasi P : intervensi selesai

Diagnosa 2 S : pasien mengatakan sesak nafas pasien berkurang, pasien mengatakan sudah tidak lelah dan lemas, pasien mengatakan sudah tidak nyeri O : pH = 7,35, pCO2 = 43 mmHg, pO2 = 85 mmHg, HCO3 = 27 mmol/L, CRT > 3 detik, RR 22 x/menit, tidak menggunakan otot bantu pernafasan, tidak menggunakan pernapasan cuping hidung, kesadaran compose mentis GCS (E4 M5 V6), pasien tampak sudah tidak gelisah A : masalah pertukaran gas teratasi P : intervensi selesai

Diagnosa 3 S : pasien mengatakan sesak berkurang, pasien mengatakan debaran jantung berkurang, pasien mengatakan tubuh nya terasa lebih baik. O : CRT > 3 detik, RR 22 x/menit,TD= 130/90 mmHg, Nadi = 90x/menit, pasien masih tampak sedikit pucat, pasien tampak lebih bersemangat, konjungtiva anemis, A : masalah penurunan curah jantung tidak teratasi P : intervensi dilanjutkan

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Primer A: B : Pada pengkajian primer airway tidak ditemukan adanya kesenjangan antara teori dan kasus. Pada pengkajian primer brething ditemukan kesenjangan. Pada kasus tidak menggunakan otot bantu napas, sedangkan pada teori menggunakan otot bantu napas, ini dikarenakan pola napas pasien cepat dan dangkal diakibatkan oleh penumpukan cairan paru-paru (alveoli) sehingga mengganggu pertukaran gas O2 dan CO2 dan mempercepat kerja paru dan jantung untuk menyesuaikan suplai O2 ke seluruh tubuh. C : Pada pengkajian primer circulation tidak ditemukan adanya kesenjangan antara teori dan kasus. D : Pada pengkajian primer disability ditemukan tidak ditemukan kesenjangan antara teori dan kasus E : Pada pengkajian primer exposure tidak ditemukan adanya kesenjangan antara teori dan kasus Pemeriksaan sekunder

a. Kepala Tidak di temukan adanya perbedaan antara teori dengan kasus tidak ada kelaianan pada mata, wajah, hidung, telinga, mulut dan tenggorokan. b. Thoraks Paru-paru I : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris, retraksi otot dada (+), tidak ada lesi, P : Nyeri tekan (-), vocal vremitu teraba, P : Terdengar hipersonor pada lapang paru kanan dan kiri, A : Ronkhi Di temukan kelainan pada saat dilakukan palpasi, klien mengalami nyeri tekan. Hal ini di sebabkan karena terjadi penumpukan cairan sehingga mengakibatkan penekanan pada sarafsaraf tepi.

c. Jantung Tidak di temukan adanya perbedaan antara teori dengan kasus. d. Abdomen Tidak di temukan kelaianan antara teori dengan kasus e. Ekstremitas Tidak di temukan kelaianan antara teori dengan kasus f. Genitalia Tidak di temukan kelaianan antara teori dengan kasus

g. integumen Tidak di temukan kelaianan antara teori dengan kasus Diagnosa pada teori di temukan ada 7 diagnosa: 1. Ketidakefektifan pola pernafasan b.d menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru. 2. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontakilitas miokardial (penurunan). 3. Gangguan pertukaran gas b.d distensi kapiler pulmonar 4. Resiko tinggi infeksi b.d area invasi mikroorganisme sekunder terhadap pemasangan selang endotrakeal 5. Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan kontraktilitas otot jantung 6. Intoleransi aktivitas yang b.d ketidak seimbangan antara suplai O2 / kebutuhan umum, tirah baring lama / immobilisasi 7. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal (Nanda, 2009) Sedangkan pada kasus hanya di temukan 3 diagnosa 1. Ketidakefektifan pola pernafasan b.d menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru. 2. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontakilitas miokardial (penurunan). 3. Gangguan pertukaran gas b.d distensi kapiler pulmonary

Hal ini di sebabkan tidak di temukan data penunjang yang lengkap untuk mendukung di tegakkanya diagnosa tersebut. Intervensi Intervensi yang di berikan pada pasien sudah sesuai dengan diagnosa dan mengacu pada teori Implementasi Implementasi yang di lakukan sesuai dengan intervensi pada kasus dan di sesuaikan dengan teori Evaluasi Dari 3 diagnosa yang di angkat, 2 diagnosa teratasi. Gangguan ketidak efektifan pola nafas dan gangguan pertukaran gas teratasi di karenakan kondisi pasien sudah membaik serta 1 diagnosa penurunan curah jantung tidak teratasi, intervensi di lanjutkan.

BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN Sebagai mahasiswa keperawatan hendaknya kita dapat lebih spesifik dalam menganalisa tingkat kegawat daruratan dan dapat menerapkan menejemen ABCDE, serta lebih spesifik dalam menganalisa tingkat kegawat daruratan pasien. Dalam penanganan akut lungs oedema, hal ini bertujuan agar kita mampu memberikan pertolongan yang maksimal, cepat dan tepat dalam pengambilan keputusan dan diagnosa. Penanganan pada ALO lebih kita spesifikkan pada tingkat airway, breathing, circulation dan pengkajian pada sistem respirasi hendaknya kita kaji lebih spesifik dan mendetail sesuai dengan teori tentang penaganan pada kasus ALO. 5.2 SARAN Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu mahasiswa dan perawat untuk memahami tentang defenisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi serta askep edema paru akut (EPA).

DAFTAR PUSTAKA

Michael Jay Bresler & George L.Sternbach. (2007). Kedokteran Darurat, Ed 6, Jakarta: EGC NANDA I, Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.Jakarta: EGC Rab Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat, vol 2. Bandung: Alumni Setiyohadi, B. (2006). Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam, Ed 4, vol 3. Jakarta Wilkinson, J.M. (2007). Nursing Interventions Classification (NIC). Ed 7. Jakarta: EGC Ningrum. 2009. Edema Paru Kardiogenik. http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/11/26/edemaparu-kardiogenik/trackback/. Diakses tanggal 16 Maret 2013. Pukul 09.01 WIB.

Você também pode gostar