Você está na página 1de 7

Patogenesis Hepatitis A

HAV merupakan anggota famili pikornaviradae. HAV merupakan partikel membulatberukuran 27 hingga 32-nm dan mempunyai simetri kubik, tidak mempunyai selubung serta tahan terhadap panas dan asam. Partikel ini mempunyai genom RNA beruntai tunggal dan linear dengan ukuran 7,8 kb, sehingga cukup jelas virus ini menjadi genus pikornavirus yang baru, Heparnavirus. Hepatitis A mempunyai pravelansi yang tinggi.
Siklus hidup virus hepatitis A

HAV mula-mula diidentifikasi dari tinja dan sediaan hati. Penambahan antiserum hepatitis A spesifik dari penderita yang hampir sembuh (konvalesen) pada tinja penderita diawal masa inkubasi penyakitnya, sebelum timbul ikterus, memungkinkan pemekatan dan terlihatnya partikel virus melalui pembentukan agregat antigenantibodi. Asai serologic yang lebih peka, seperti asai mikrotiter imunoradiometri fase-padat dan pelekatan imun, telah memungkinkan deteksi HAV didalam tinja, homogenate hati, dan empedu, serta pengukuran antibody spesifik di dalam serum.
Sifat-sifat umum virus hepatitis A :

Virus ini dapat dirusak dengan di otoklaf (121oC selama 20 menit), dengan dididihkan dalam air selama 5 menit, dengan penyinaran ultra ungu (1 menit pada 1,1 watt), dengan panas kering (180oC selama 1 jam), selama 3 hari pada 37oC atau dengan khlorin (10-15 ppm selama 30 menit). Resistensi relative hepatitis virus A terhadap cara-cara disinfeksi menunjukkan perlunya diambil tindakan-tindakan pencegahan istimewa dalam menangani penderita hepatitis beserta produk-produk tubuhnya.
Patogenesis

HAV pada umumya menular melalui jalur saluran pencernaan. Tempat replikasi primer di orofaring dan traktus gastrointestinal. Setelah itu virus di transport ke hati,tempat primer replikasi virus. Pada individu yang terinfeksi HAV, konsentrasi tertinggi virus di feses pada 2 minggu sebelum onset terjadinya ikterik, kemudian kadarnya menurun seiring dengan bertambahnya ikterik.

Pathogenesis of Hepatitis A (Copyright: Dean A Blumberg) Selama masa inkubasi, HAV bereplikasi di hepatosit, dan pada respon imunologi yang belum terbentuk, liver injury dan gejala klinis tidak terjadi. Mekanisme dari masuknya virus ke dalam saluran cerna sampai terjadinya hepatitis masih belum jelas. Selama masa inkubasi, viremia terjadi bersamaan dengan munculnya HAV di feses. Diyakini juga HAV terdapat pada empedu yang kemudian akan memasuki usus. Viremia segera berakhir setelah terjadinya hepatitis. Sedangkan feses tetap infeksius sampai 1-2 minggu selanjutnya. HAV bersirkulasi di darah diselimuti oleh lipid-associated membrane fragmen yang melindung virus dari neutralizing antibody.virus induced cytopathology tidak bertanggung jawab atas perubahan patologi yang terlihat. Antigen spesifik T-limfosit bertanggung jawab atas kerusakan hepatosit yang terinfeksi. Meningkatnya kadar interferon telah dideteksi di serum pasien yang terinfeksi. Hal inilah yang bertanggung jawab atas turunnya kadar viremia saat munculnya gejala klinis. Nekrosis hepar yang luas dapat menyebabkan hepatitis fulminan dan kematian pada 30-60% kasus. Virus hepatitis diduga bersifat nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan hati yang disebabkan oleh mekaniisme imun mediator. Ketika reaksi imun nonspesifik tidak tidak dapat mengeliminasi virus, reaksi imun spesifik dirangsang untuk mengeliminasi. Limfosit T sitotoksik (CLTs) diduga memainkan peranan penting dalam mengeliminasi sel yang terinfeksi virus hepatitis, membunuh virus dengan dasar mekanisme perforin, fas ligand dan TNF-. Karena jumlah sel hati 1000 kali lebih banyak daripada CTLs spesifik di sel hati pasien hepatitis,

sehingga proses sitolisis sel hati yang terinfeksi virus hepatitis hanya merupakan tahap awal yang menyebabkan kerusakan hati. Meluasnya kerusakan hati ditentukan oleh factor pejamu dan virus. Jika respon imun seimbang virus dapat dieliminasi tetapi jika respon imun terlalu kuat hepatitis fulminan dapat terjadi. Ketika infeksi virus terjadi, sel nonspesifik NK mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus, produksi interferon (IFN)/ dirangsang untuk supresi replikasi virus. Bila infeksi tidak terkontrol pada stadium dini ini maka Neutralizing antibody dan CTLs akan dirangsang dan berperan penting dalam eliminasi virus. Neutralizing antibody terikat pada partikel virus spesifik di cairan tubuh dan mengeliminasinya, sedangkan CTLs mengenali antigen virus yang berada di permukaan selyang terinfeksi kemudian menyerang sel itu untuk menghancurkan virus. Neutralizing antibody dan CTLs secara langsung terlibat dalam eradikasi virus dari cairan tubuh dan menbunuh sel yang terinfeksi virus. Sel T helper (Th) mengontrol pembentukan antibody, aktifasi dan proliferasi dari CTLs. Sel Th menjadi aktif ketika mereka mengenali antigen virus yang dipresentasikan oleh antigen presenting cel (APC). Ketika diaktivasi, sel Th1 menghasilkan interleukin (IL) 2 dan IFN untuk mempercapat aktivasi dan priliferasi CTLs dan sel NK. Sel Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10 yang akan membantu diferensiasi sel B menjadi sel plasma pembentuk antibody dan proliferasi beberapa sel B tersebut. APC memproduksi IL-12 bila dirangsang oleh sel T aktif dan sitokin ini bekerja pada sel Th1, CTLs dan NK akan mengeliminasi dan mensupresi replikasi virus. Sel Th2 akan memproduksi IL-10 yang bekerja pada APC untuk mensupresi aktivasi selTh1 dengan cara menurunkan produksi IL-12 yang akan mengakhiri respon imun selular terhadap virus. CTLs memainkan peranan sentral pada proses kerusakan sel hepar setelah infeksi virus terjadi. CTLs akan tern teraktivasi ketika mengenali sel yang terinfeksi virus dan akan mengeluarkan protein yang disebut perforin yang akan membuat lubang di sel target, tempat enzim proteolitik yang disebut granzym masuk sel dan kemudian membunuh sel itu. CTLs akan meningkatkan Fas Ligand (FasL) dan TNF. Sitotoksisitas systemFasL-Fas antigen dan TNF lebih rendah dibandingkan dengan system perforin.

Penatalaksanaan Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar ALT-AST > 10 kali nilai normal, perubahan perilaku atau penurunan kesadaran akibat ensefalopati hepatitis fulminan, dan prolong atau relapsing hepatitis. Tidak ada terapi medikamentosa khusus karena penyakit ini bersifat self limiting. Pemeriksaan ALT, AST dan bilirubin indirek diulang pada minggu ke-2 untuk melihat proses penyembuhan dan bulan ke-3 untuk kemungkinan prolong atau relapsing hepatitis. Pembatasan aktifitas fisik terutama yang bersifat kompetitif selama kadar ALT-AST masih > 3 kali batas atas nilai normal. Diet disesuaikan dengan kebutuhan, rendah lemak dan hindari makanan yang bersifat hepatotoksik. Bila muntah berkepanjangan, dapat diberikan antiemetic Vitamin K diberikan bila terdapat pemanjangan masa protrombin Pencegahan infeksi terhadap lingkungan harus diperhatikan

Patogenesis Diare disentri Faktor risiko yang menyebabkan beratnya disentri antara lain : gizi kurang,usia sangat muda, tidak mendapat ASI, menderita campak dalam 6 bulan terakhir, mengalami dehidrasi ,serta penyebab diare lainnya, misalnya Shigella, yaitu suatu bakteri yang menghasilkan toksin dan atau resisten ganda terhadap antibiotik Pemberian spasmolitik memperbesar kemungkinan terjadinya megakolon toksik. Pemberian antibiotik dimana kuman penyebab telah resisten terhadap antibiotik tersebut akan memperberat manfestasi klinis dan memperlambat sekresi kuman penyebab dalam feses penderita.Shigella menghasilkan sekelompok eksotoksin yang dinamakan shigatoxin ( ST) kelompok toksin ini mempunyai 3 efek : neurotoksik , sitotpksik dan enterotoksik. Beberapa bakteri enterik lain menghasilkan toksin dengan efek yang sama, dinamakan shiga like toxin ( sit),Toksin ini mempunyai dua unit yaitu unit fungsional,yang menimbulkan kerusukan .dan unit pengikat yang menentukan afinitas toksin terhadap reseptor tertentu. Perbedaan unit inilah yang menetapkan bentuk komplikasi yang terjadi.Komplikasi yang muncul akibat toksin bersifat dose related.Dapat dimengerti kalau kita berhadapan dengan infeksi yang lebih besar Shiga toxin ini dapat menimbulkan kerusakan yang lebih

berat kalau bekerja sama dengan Endotoxin : Lipopoly sacharide (LPS) bakteri.Paparan lebih awal terhadapLPS lebih mempercepat dan memperbesrat kerusakan dalam arti kata lebih memperbesarkemungkinan munculnya Komplikasi, Disamping itu Infeksi Shigella dysentery dan flexneri telah dibuktikan menurunkan imunitas, antara lain disebabkan peningkatan aktifitas sel T suppresser dan penekakan kemampuan phogositosis makrophag. Infeksi shigella menimbulkan kehilangan protein melalui usus yang tercemin dengan munculnya hipo albuminemia dan hipo transferinemia. Disentri, khususnya yangdisertai gejala panas, juga disertai penurunan nafsu makan. Rangkaian patogenensis ini akan mempermudah munculnyakurang energi protein ( KEP ) dan infeksi sekunder. PRINSIP TATALAKSANA PENDERITA DIARE Diare invasif : Kotrimoksazol 50 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis selama 5 hari Ameba, Giardia, Kriptosporidium : Metronidazol 30-50 mg/kgBB /hari, dibagi 3 dosis selama 5 hari (10 hari untuk kasus berat) Mencegah terjanya dehidrasi Mencegah terjadi nya dehidasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan minum lebih banyak dengan cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti air tajin , kuah sayur, air sup.

Macam Cairan yang dapat digunakan akan tergantung pada :


Kebiasaan setempat dalam mengobati diare Tersedianya cairan sari makanan yang cocok Jangkauan pelayanan Kesehatan Tersedianya oralit Bila tidak mungkin memberikan cairan rumah tangga yang diajukan , berikan air matang.

RENCANA TERAPI B UNTUK TERAPI DEHIDRASI RINGAN/SEDANG

SETELAH 3-4 JAM NILAI KEMBALI ANAK MENGGUNAKAN BAGAN PENILAIAN KEMUDIAN PILIH RENCANA TERAPI A , B ATAU C UNTUK MELANJUTKAN TERAPI Bila tidak ada dehidrasi , ganti ke rencana terapi A, Bila dehidras telah hilang anak biasanya kemudian mengantuk dan tidur Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/ sedang ulang Rencana terap B , tetapi tawarkan makanan susu dan sari buah seperti rencana terapi A Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat ganti dengan rencana terapi C

RENCANA TERAPI C UNTUK DEHIDRASI BERAT

Você também pode gostar