Você está na página 1de 2

LAMPIRAN D Diskusi Kasus 1 Saya sakit apa Dok?

Tn X, 63 tahun, didiagnosa terkena kanker paru bilateral invasif dengan metastasis ke tulang. Menurut perkiraan dokter, Tn. X hanya memiliki waktu sekitar 6 12 bulan lagi. Dokter yang merawat Tn. X merasa ragu untuk menyampaikan diagnosis tersebut dan bimbang apakah akan menyampaikannya langsung kepada Pak Sukar ataukah kepada keluarganya. Dokter akhirnya menyampaikan berita buruk tersebut kepada keluarga Tn. X karena merasa lebih mudah untuk menyampaikannya. Ternyata keluarga minta agar dokter tidak memberitahukan diagnosis dan kondisi yang sebenarnya kepada Tn. X. Setelah beberapa hari dokter merasa bahwa Tn. X mulai merasa cemas dengan kondisinya, sementara semua orang di sekelilingnya sudah dipesan oleh keluarganya untuk tidak menceritakan yang sebenarnya.

Pertanyaan: Menurut Anda hal apa sajakah kira-kira yang membuat dokter merasa ragu/bimbang untuk menyampaikan diagnosis penyakit kepada pasien? Jika Anda adalah dokter yang merawat Tn. X, apakah Anda akan menyampaikan diagnosis penyakit tersebut kepada Tn. X saja, kepada keluarganya saja, ataukah kepada pasien dan keluarganya sekaligus? Mengapa? Jelaskan alasan Anda! Aspek apakah yang paling sulit dalam melakukan komunikasi pada pasien end of life (pasien kritis atau yang menderita penyakit stadium akhir). Menurut Anda ketrampilan apakah yang perlu diasah atau ditingkatkan seputar perawatan pasien end of life?

Buku panduan mahasiswa Bioethics & Health Law 5

Diskusi kasus 2 Bagaimana caranya yaaaa....

Tn. A, 58 tahun, didampingi oleh istrinya, datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut. Pasien merasa terganggu dengan sakitnya karena dalam beberapa bulan terakhir dia terus menerus menderita sakit yang berbeda-beda. Ia juga mengeluhkan sariawan di mulut yang tidak kunjung sembuh serta luka seperti sariawan pada alat kelaminnya. Pasien adalah seorang pensiunan ABRI yang sempat bertugas tanpa didampingi oleh istrinya di beberapa daerah. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter IGD menyarankan agar pasien dirawat di rumah sakit agar dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan diagnosis penyakit. Dokter curiga akan kemungkinan infeksi HIV dan merasa perlu untuk melakukan tes HIV, tetapi merasa ragu untuk menyampaikannya kepada pasien maupun istrinya. Dokter kemudian meminta perawat agar berkomunikasi dengan pasien untuk menjajaki kesediaan pasien melakukan tes HIV. Perawat kemudian minta bantuan psikolog untuk melakukan assesment awal. Psikolog memberikan rekomendasi bahwa pasien dalam kondisi psikologis yang cukup baik untuk menerima kabar buruk tentang kecurigaan dokter. Berdasarkan rekomendasi dari psikolog serta perawat, dokter akhirnya memberitahukan kemungkinan penyakit kepada pasien, tanpa sepengetahuan istrinya, serta meminta kesediaan pasien untuk tes HIV. Akan tetapi, pasien menolak untuk dilakukan tes HIV dan meminta untuk pulang.

Pertanyaan: 1. Menurut Anda, mengapa dokter ragu untuk menyampaikan dugaan tentang penyakitnya kepada pasien maupun istrinya? 2. Bagaimana pendapat Anda tentang sikap dokter yang minta bantuan perawat untuk berkomunikasi dengan pasien? 3. Bagaimanakah sikap Anda jika Anda adalah dokter yang menangani Tn. A? 4. Menurut Anda, apakah istri pasien perlu diberitahu tentang kemungkinan penyakit suaminya? 5. Jika dokter curiga kemungkinan infeksi HIV tetapi pasien menolak untuk menjalani tes, bagaimanakah sebaiknya sikap dokter selanjutnya? 6. Menurut Anda, bagaimanakah sebaiknya prosedur pemeriksaan HIV di Indonesia? 7. Apa yang Anda ketahui tentang VCT? Dalam kasus ini, apakah dokter perlu minta bantuan tim VCT? Buku panduan mahasiswa Bioethics & Health Law 5

Você também pode gostar