Você está na página 1de 69

5 DESA GONDANG

Pada jaman dulu kala sebelum terjadinya perkembangan penduduk disuatu tempat yang terletak di lereng gunung Kemulan datang lima orang di tempat itu, yaitu : 1. Sri Putih 2. Kyai Gondang Sari 3. Kyai Penatas Angin 4. Syah Wilodo Banyu 5. Kyai Agung Penderesan Mereka berlima selalu bersatu untuk menentukan suatu program dan melaksanakan kegiatan sampai mencapai tujuan. Kemudian waktu berjalan terus, lama kelamaan jumlah penduduk makin bertambah banyak, sehingga tempat itu menjadi sebuah perkampungan kecil yang dipimpin oleh seorang tokoh, pada saat itu Kyai Sri Putih. Dengan pola pemikiran dan kepemimpinan Kyai Sri Putih, dengan dibantu oleh keempat kyai lainnya, maka tempat itu dibuka menjadi lahan pertanian, perkebunan dan pekarangan yang dimanfaatkan untuk kepentingan hidup bersama di kampung itu. Setelah kampung tersebut jumlah penduduknya semakin banyak, maka diperlukan adanya nama identitas tempat guna mempermudah panggilan dan menentukan arah daripada tujuan seseorang yang bermaksud di tempat itu, sehingga pada suatu saat oleh tokoh-tokoh tersebut tempat itu diberi nama identitas Gondang, ini diambilkan dari salah satu nama Kyai GONDANG SARI. Sedangkan Desa Gondang terbagi menjadi dua tempat yaitu sebelah barat diberi nama Gondang Kulon, oleh Kyai Penatas Angin dan Gondang sebelah Timur diberi nama Gondang Wetan.

Di Desa Gondang terdapat sebuah saluran yang dibuat pada jaman itu yaitu dinamakan saluran Dadapan dan pembangunan tersebut dipimpin oleh Kyai Wilodo Banyu dan saluran itu dimanfaatkan sampai masa jaman sekarang ini. Setelah waktu terus berjalan dan jumlah penduduk terus bertambah serta kebudayaan meningkat, maka di Desa Gondang terbentuklah Pemerintaan Desa Gondang dengan pusat pemerintahannya di Desa Gondang dan berjalan sampai sekarang ini.

6 DESA BISMO
Sebelum disebut desa Bismo, daerah tersebut dahulu kala keadaannya masih hutan belantara dan belum dihuni oleh manusia satupun. Namun menurut cerita yang dapat dipercaya, desa Bismo telah disinggahi oleh beberapa orang Kyai dan Sunan, dapun Kyai dan Sunan yang pernah singgah di desa Bismo antara lain :
1. Kyai Jamsari 2. Kyai Rahmudin 3. Kyai Nuralim 4. Kyai Sowan 5. Kyai Maksum 6. Kyai Sani 7. Sunan Bonang 8. Sunan Kalijogo 9. Sunan Ampel

Setelah hidup beberapa waktu dan berjuang di daerah tersebut, keempat Kyai diantaranya Kyai Jamsari, Kyai Rahmudin, Kyai Nuralim, dan Kyai Sowan mengadakan pertemuan guna membuat temapt peristirahatan atau pedukuhan. Setelah pedukuhan di buka mulailah penduduk berdatangan untuk hidup di daerah tersebutyang sekaligus pemerintahan dan pimpinan rakyat di pegang oleh Kyai Jamsari. Tak lama kemudian Kyai Jamsari ingin mengelilingi daerahnya, maka hal ini dilakukannya. Dalam perjalanan mengelilingi daerahnya, Kyai Jamsari menemukan sumber air ( mata air ) yang berpancar lima ( istilah Jawanya mbese ono limo ), maka oleh Kyai Jamsari daerah tersebut disebut Bismo. Adapun kegiatan lain, yang diprakarsai oleh Kyai Sowan adalah memikirkan untuk mendirikan masjid, yang akhirnya bisa didirikan sampai sekarang, menurut kabarnya bahwa masjid Bismo lebih tua dari masjid yang ada di Wonobodro.

7 DESA KETELENG
Sebelum disebut Desa Keteleng, menurut cerita orang yang dapat dipercaya, ada 4 orang Kyai yang berdomisili ditempat tersebut, yaitu : 1. Kyai Jamsari 2. Kyai Rahmudin 3. Kyai Nuralim 4. Kyai Maksum Pada waktu Kyai Jamsari yang menjadi pimpinan dari rekan-rekan Kyai dan untuk melangsungkan perjalanan hidup maka para kyai telah mengadakan musyawarah untuk membuka ladang pertanian yang semenjak itu keadaannya masih hutan, lama kelamaan jadilah lahan pertanian yang dapat ditanami jagung, ketela pohon adapun tanaman padi memerlukan air, maka Kyai Jamsari berniat untuk membuat saluran / wangan yang pusatnya mengambil air dari sungai umbalan. Setelah sarana air sudah mencukupi untuk pertanian padi, Kyai Jamsari mengawali untuk menanam padi. Konon kabranya padi tumbuh dengan subur sampai batangnya 3 meter tingginya, buahnyapun sebesar buah enau/kolang-kaling, Kyai Jamsuri merasa keheranan, maka Kyai Jamsuri memutuskan kepada orang-orang yang berdomisili disitu dilarang untuk menanam padi, karena andaikata penduduk tetap menanam padi, maka tanaman padi diluar daerah sini tidak akan berbuah. Adapun 4 orang kyai tersebut wafat di daerah trersebut, namun demikian Kyai Jamsari masih mempunyai keturunan yaitu Kyai Warti. Kyai Warti adalah orang yang pertama memelihara makam dari ke 4 orang kyai yang akhirnya Kyai Warti mengatakan kepada orang bahwa siapa yag mau berziarah/ndeleng makam dari 4 orang Kyai maka kehidupannya akan berkah, dari itulah nama Desa Keteleng lahir yang mempunyai pedukuhan antara lain : Kemadang, Pagilaran, Pager Gunung dan Kayulandak.

8
DESA WONOROJO Pada jaman dulu sekitar tahun 1400 masehi disuatu tempat yang merupakan perbukitan terdapat padepokan yang dipimpin oleh seorang yang bernama Kyai Bangkit, yang mempelajari tentang ilmu kanuragan guna melawan penjajah. Kyai Bangkit memeliki beberapa orang pengikut, setelah dapat mengembangkan ilmunya dan merubah hutan menjadi perkampungan yang sekarang diberi nama dusun Depok, kyai Bangkit meninggal dunia yang dimakamkan disebuah tanah yang berupa bukit dan dibawah pohon besar di Dusun Depok. Di samping Dusun Depok ditempat yang lain juga pada saat itu masih berupa hutan terdapat seorang anak yang bertempat tinggal yaitu seorang yang pertama kali masuk ditempat itu bernama Kyai Bagussari seorang pejuang (tentara) dari yogyakarta. Karena Beliau tersesat dan terpisah dengan teman yang lain akhirnya menetap ditempat yang masih berupa hutan belantara, kemudian lambat laun berusaha untuk membuka hutan itu untuk menjadi perkampungan yang dapat dipergunakan sebagai tempat tinggal anak cucu terutama beliau. Karena ditempat itu terdapat sebuah pohon besar, maka oleh Kyai Bagussari diberi nama : WONOROJO yaitu WONO (Hutan) ROJO (Ratu besar). Kedua tempat (Depok dan Wonorojo) cukup lama mengatur kebudayaan mereka masingmasing tapi pada suatu saat karena dengan kemajuan kebudayaan dan kemajuan jaman kolonial dulu setiap desa harus ada pusat pemerintahan. Akhirnya pada suatu saat antara Depok dan Wonorojo digabung menjadi satu yaitu menjadi Desa Wonorojo. Karena perkembangan jaman terus maju dan perkembangan penduduk terus bertambah banyak, maka pada suatu saat desa Wonorojo menambah perkampungan/pedusunan baru yaitu Dusun Wonosari yang letaknya disebelah barat Wonorojo.

9 DESA KALISARI
Pada jaman dulu kurang lebih 500 tahun yang lampau ada seorang yang bernama Kyai Nur Sidik hidup sendirian dibukit yang masih berupa hutan, tempat itu merupakan tempat yang dapat dipergunakan sebagai tempat tinggal yang aman bagi kyai Nur Sidik. Tempat itu telah dipergunakan sebagai tempat tinggal yang aman dan dapat mencapai tujuan dari pada Kyai Nur Sidik, maka tempat tersebut diberi nama Karang Sambung. Karang Sambung : : Tempat Mencapai tujuan

Sedang ditempat yang lain juga hidup seorang punya nama Wonotirto, konon kabarnya Kyai Wonotirto adalah orang yang membuka cikal bakal ditempat itu. Setelah mereka hidup dengan mendapatkan beberapa orang pengikut untuk membuka tempat tersebut sebagai tempat tinggalnya dan sebelumnya diberi nama Kali Watang yaitu ditempat itu terdapat sebuah sungai yang kecil yang dapat dipergunakan sebagai kebutuhan sehari-hari. Dan akhirnya Kyai Wonotirto menghilang dengan meninggalkan sebuah tempat petilasan. Dua tempat yang mempunyai nama sendiri-sendiri (Karang Sambung dan Kaliwatang) dulunya mempunyai pemerintahan sendiri-sendiri dan mempunyai Kepala Desa sendiri pula. Pada jaman itu juga ditempat yang sama hidup seorang Kyai yang bernama Wali Karang Bengkel yang pada saat itu beliau memelihara ternak kerbau dan mempunyai pengembala yang bernama Bagus Karang. Kemudian pada saat kerbau itu dibawa oleh Bagus Karang ke alas Roban, dengan melewati beberapa tempat, dan tempat-tempat yang dilewati kerbau milik Bagus Karang, sampai sekarang kalau untuk berternak kerbau tetap bagus-bagus dan berkembang baik-baik.

Pada suatu saat, setelah Indonesia merdeka ua pemerintahan (Karang Sambung dan Kaliwatang) digabungkan menjadi satu pemerintahan yaitu dari dua Desa menjadi satu desa yang diberi nama Kalisari. Kali Sari : : Sungai Inti

10 DESA BESANI
Menurut keterangan yang dapat kami percaya bahwa kurang lebih 1000 tahun yang lalu ada 7 (tujuh) orang wali yang selalu mencari dimana tempat tinggalnya Syeh Boto putih atau Syeh Maulana Mahribi, mereka masing-masing dengan berjalan kaki berusaha terus sampai menemukan tinggal yang sebenarnya daripada Syeh Boto Putih (Syeh Maulana Mahribi). Perjalanan mereka memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, karena perjalanan yang ditempuh melalui perbukitan, lembah, pegunungan yang semua itu masih merupakan hutan belantara belum ada jalan-jalan yang seperti dijaman modern sekarang ini. Tujuan mereka ingin bertemu dengan Syeh Maulana Mahribi itu adalah hanya semata-mata ingin terus mengembangkan agama Islam dibumi Indonesia khususnya di Wilayah Blado. Sebelum dapat menemukan tempat Syeh Maulana Mahribi mereka berusaha kesana kemari dengan perjalanan yang amat jauh dan harus melalui beberapa tempat yaitu :

Perjalanan sampai melewati tempat yang berupa hutan karena disana capai dan haus mereka ingin minum buah kelapa. Kemudian salah seorang dari rombongan para wali itu mengatakan bahwa dimana lumpur ada welut dimana ada air pasti ada deleg. Dan ada satu versi lagi yang mengatakan bahwa perjalanan para wali pada saat berada ditempat itu merasa kebingungan maka mereka deleg-deleg oleh karena itu tempat tersebut dinamakan dukuh Sideleg. Kemudian perjalanan mereka terus dilanjutkan ke suatu bukit yang masih merupakan hutan, karena melihat dibukit itu ada sinar yang memancar terlihat dari Sideleg dan langsung dituju dimana tempat sinar itu, namun setelah ditemukan letak sinar yang memancar itu ternyata hanya air yang memancar sehingga sekarang tempat tersebut diberi nama Kalipancur. Mereka juga harus menempuh perjalanan dengan melewati beberapa tempat yang belum dapat disebut dalam keterangan ini.

Setelah melewati beberapa tempat maka mereka mencari informasi (dalam bahasa jawa mencari mbes), disuatu tempat yang berupa perbukitan yang sekarang menjadi nama Desa Besani (mencari mbes, dimana tempat tinggal Syeh Maulana Mahribi). Perjalanan mereka bertujuh itu belum menemukan tempat Syeh Maulana Mahribi juga harus melewati beberapa tempat yang sekarang menjadi Nama Simahrib, Bismo dll. Akhirnya mereka berhasil menemukan tempat tinggal Syeh Maulana Mahribi yaitu ditempat yang masih berupa hutan (Wono) terang (Bodro).

11 DESA WONOBODRO
Sebelum adanya desa Wonobodro 400 tahun yang lalu ada seorang Syeh yang berasal dari Mekah yang bernama Syeh Maulana Mahribi datang dikawasan sebuah bukit (hutan) yang pada saat itu belum terdapat seorang manusiapun bermukim dibukit itu. Pada suatu hari Syeh Maulana Mahribi bertemu dengan seorang yaitu bernama Kyai Ageng Wonobodro. Setelah Syeh Maulana Mahribi dengan Kyai Ageng Wonobodro beberapa saat merundingkan hal-hal yang penting utamanya mengenai perjuangan agama Islam di Indonesia, maka mulailah untuk mengadakan langkah-langkah yang dipandang penting yaitu mengenai tempat dan sasaran perjuangan. Sebelum menentukan tempat, maka Syeh Maulana Mahribi bersama Kyai Ageng Wonobodro beserta pengikut lainnya melaksanakan Sholat Hajat 4 Rakaat untuk minta terang (cahaya). Dengan permohonan yang khusuk maka dikabulkan atas permohonannya yang berupa cahaya/terang ditempat bukit itu, yang konon kabarnya Kanjeng Syeh Maulana Mahribi itu merupakan sinar/cahaya yang selalu mencorong. Kemudian pada suatu saat ada beberapa orang pengikutnya yang datang dari beberapa tempat yaitu : 1. Syeh Sunan Kudus dari Kudus 2. Syeh Pakis Sugih dari Batang 3. Syeh Bandi Matis dari Jawa Timur 4. Syeh Baurekso dari Wonobodro 5. Syeh Kyai Ageng Pekalongan dari Pekalongan Mereka semua sebelum bertemu dengan Syeh Maulana Mahribi, saling berusaha untuk mencarinya sampai melewati dibeberapa tempat yaitu :

Setelah melihat sinar suatu tempat yang sekarang dinamakan Kalipancur tapi disitu tidak terdapat Kanjeng Syeh Maulana Mahribi kemudian dilanjutkan perjalanannya ke tempat lain, melewati tempat yang sekarang dinamakan Besani, Simahrib, Siweru dan lain-lainnya.

Kyai Ageng Wonobodro juga berusaha sekuat tenaga mencari dimana tempat Kanjeng Syeh Maulana Mahribi sampai dibeberapa tempat yaitu Kalipancur, Besani, Bismo, Jambangan dan lain-lain. Akhirnya pada saat terlihat dari kejauhan yang berupa sinar/ cahaya yang mencorong disebuah hutan, setelah didekati oleh Kanjeng Syeh Kyai Ageng Wonobodro juga Syeh-Syeh yang lain ternyata sinar dihutan itu adalah merupakan Kijing (Makam). Oleh karena itu menurut keterangan yang kami peroleh dari orang tertua Wonobodro, bahwa Wonobodro itu berasal dari : Wono : Hutan/Alas Bodro : Sinar/Cahaya Yang sekarang dinamakan desa Wonobodro.

13 DESA BAWANG
Dari keterangan sesepuh di Desa Bawang, bahwa dijaman dulunya ada seorang bernama Kyai Serut yang asal usulnya tidak diketahui. Beliau bertempat tinggal disebuah bukit yang agak tinggi yaitu di lereng gunung kemulan sebelah barat laut, kalau sekarang merupakan hutan pinus yang dikelola oleh Perum Perhutani Wilayah Kemantren Blado. Sejak beliau datang dengan sendirian yang kemudia bukit itu diberi nama Dusun Karangsari. Kyai Serut adalah salah satu orang yang membuka (babat) Desa Bawang, dan setelah lama beliau bertempat tinggal di Dukuh Karangsari dengan berbagai macam kegiatan yang telah dilaksanakan yang kemudian disuatu saat beliau meninggal dunia dan dimakamkan di suatu tempat yang diberi nama SOMPOK (makam itu masih dirawat oleh masyarakat setempat). Sedangkan nama Desa Bawang ini diambil kata-kata yang berhubungan dengan keadaan yang benar-benar ada ditempat itu, yaitu karena di suatu tempat yaitu dilereng gunung, terdapat sebuah taman wisata curug (air terjun) yang disekitar itu terdapat dua buah pohon bawang yang besar ditengah-tengah antara pohon itu terdapat sebuah batu yang agak besar yang konon kabarnya pohon bawang tersebut digunakan sebagai tempat untuk cantelan telapak kuda milik Kyai Serut dan batu besar itu sebagai tempat pakaian, kalau Kyai Serut akan bekerja setiap harinya. Jadi kata-kata Bawang berasal dari Hama POHON BAWANG yang berada di sekitar air terjun (Curug Genting). Dilain tempat yang masih berdekatan dengan Desa Bawang, juga terdapat sebuah saluran air yang cukup ajaib dan mengagumkan, karena saluran air itu sebenarnya dibuat oleh Kyai Bajing, saluran tersebut terbuat dari kayu pohon Galar Bajing. Sampai sekarang masih berfungsi untuk mengalirkan air untuk keperluan hidup orang-orang disekitarnya.

Anehnya, kalau saluran itu ada sedikit kerusakan dan diperbaiki dengan selain pohon galar pasti tidak dapat menjadi baik, akan tetapi sebaliknya menjadi rusak. Jadi kalau memperbaiki saluran tersebut harus dengan pohon galar. Air saluran itu diambilkan dari air yang sumbernya sangat jauh, dari sebelah barat andongsili, sedangkan curug Genting memang unik karena letaknya ditempat yang menyegarkan pernafasan, bentuk curug yang amat menarik bagi pengunjung, sehingga sampai saat ini setiap hari minggu tidak kurang dari 100 orang pengunjung yang datang kesana. Pemerintahan Desa Bawang yang pertama kali adalah di Dusun Bawang yang letaknya paling tinggi dari Dusun_Dusun Bawang lainnya, misalnya Dusun Wonolobo, Dusun Ketawang, Sinongko dll. Kemudian sampai sekarang pusat pemerintahan berada di Dusun Bawang.

15 DESA PESANTREN
Sebelum adanya nama Desa Pesantren, tentunya beberapa ratus tahun yang lampau, ada seorang bernama Syeh Abdul Jabar, yang asalnya tidak diketahui. Syeh Abul Jabar datang ditempat yang sekarang bernama Desa Pesantren dan tempat tersebut masih berupa hutan yang tak pernah di jamah oleh manusia. Syeh Abdul Jabar datang bersama adik-adiknya diantaranya : 1. Kyai Santri 2. Kyai Pengulu 3. Kyai Dampal 4. Kyai Nolomerto Mereka bersama-sama bertujuan mengembangkan agama Islam ditanah Indonesia, disamping untuk memperjuangkan hidupnya dari kajaran para penjajah di saat itu. Selama dihutan itu, lama kelamaan dapat bekerja untuk membuka hutan dijadikan lahan perkarangan dan lahan pertanian. Kemudian pada suatu saat Abdul Jabar mendirikan masjid disekitar tempat itu untuk mengaji dan Sholat, sehingga tempat itu banyak pengikutnya dan diberi nama pesantren. Dari salah satu adik dari Syeh Abdul Jabar yang bernama Kyai Nolomerto pindah ketempat yang lain, ditempat yang lain tersebut Kyai Nolomerto juga bekerja membuka hutan menjadi lahan pekarang dan lahan pertanian yang kemudian tempat itu diberi nama Dusun Donomerto. Di Desa Pesantren disamping Dusun Pesantren dan Donomerto juga masih ada Dusun yang lain yaitu Dusun Toyo yang diberi nama oleh Kyai Karang. Setelah terus lajunya perkembangan kebudayaan dan terus bertambahnya jumlah penduduk maka Desa itu merupakan sekelompok kehidupan yang membutuhkan peraturan dan pimpinan, yang memegang kebijaksanaan dari peraturan kehidupan manusia, sehingga desa itu dibentuk pemerintahan juga yang

pertama kali dengan pusat pemerintahan di Dusun Donomerto, dengan kepala desa pertama bernama Sayadi. Desa Pesantren sampai jaman modern sekarang masih terlihat adanya peninggalan-peninggalan jaman Syeh Abdul Jabar, seperti Masjid Wali dll.

16 DESA KAMBANGAN
Dijaman dahulu sebelum ada Desa Kambangan, menurut ceritanya adalah didahulinya dengan datangnya 2 (dua) orang Kyai yang bernama Kyai Ampuh dan Kyai Keling yang datangnya dari seberang. Kedua Kyai datang didaerah Karang Dowo (nama sekarang) namun demikian didaerah tersebut sudah ada beberapa orang yang bermukim, setelah beberapa saat Kyai tersebut berada di Karangdowo dan sudah bermasyarakat dengan penduduk, maka akhirnya kedua Kyai mengajak para penduduk untuk bermusyawarah guna membangun desa, tetapi upaya tersebut selalu gagal dan selalu disepelekan oleh para penduduk maka dengan keadaan yang demikian akhirnya oleh kedua Kyai tersebut dicetuskan bahwa didaerah sini apabila mau mengarang demi kemajuan pasti akan selalu gagal atau akan memakan waktu panjang, maka dengan demikian asal mula nama Karangdowo adalah berasal dari Karang : Karangan Dowo : Panjang/Gagal Selanjutnya kedua Kyai melanjutkan perjalanan ke daerah selatan yang keadaannya masih hutan, setelah agak lama bermukim disitu, lama kelamaan bertambahlah warga yang datang dan mengikuti jejak kedua Kyai, namun setelah pengikutnya banyak terjadilah saling tidak cocok antara kedua Kyai Keling pindah ke daerah Sikandri (nama sekarang). Setelah Kyai Ampuh yang menetap dan banyak pengikutnya, sepakat untuk membuat sarana air bersih, maka dibuatlah kali/sungai dengan waktu yang telah ditetapkan yaitu 1 (satu) malam harus selesai, tetapi apa yang diharapkan meleset dikarenakan kecerobohan dari pihak Kyai Keling yang menggerakkan orangorangnya untuk beramai-ramai menyediakan ayam-ayam jantan berkokok yang artinya waktu sudah pagi padahal waktu belum pagi, maka tidak selesai pembuatan sungai/kali yang akhirnya kali tersebut buntu sampai di Siwatesan Kambangan, yang selanjutnya oleh Kyai Ampuh dikatakan bahwa pekerjaan

pembuatan kali belum selesai atau ngambang, maka daerah tersebut dinamakan Kambangan. Akhirnya kedua Kyai tersebut wafat, adapun Kyai Keling dimakamkan di pedukuhan Sikandri dan Kyai Ampuh dimakamkan di pedukuhan Wediasari yang konon kabarnya merupakan daerah larangan untuk semua aparat atau pegawai.

17 DESA KEPUTON
Sesuai penjelasan dari orang yang dipandang mampu untuk memberi penjelasan mengenai legenda Desa, bahwa pada jaman dulu ada seorang yang bernama Syeh Jambu Karang datang ditempat, yang masih sepi dan belum ada seorangpun yang menginjak tempat tersebut. Kemudian pada suatu saat Syeh Jambu Karang membuat tempat di sekitar di upayakan untuk menjadi perkampungan yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggalnya. Lama-kelamaan Syeh Jambu Karang mendapat beberapa pengikut, yang mana pengikut-pengikutnya adalah orang-orang santri. Syeh Jambu Karang bersama para santri-santri pengikutnya terus berjuang untuk mengembangkan agama Islam ditempat itu sampai ke tempat yang lain. Kemudian disuatu saat mereka membuat masjid (tempat sholat) para santri yang diasuh oleh Kyai Jambu Karang, karena tempat ibadah itu adalah merupakan tempat yang suci/putih, maka tempat itu diberi nama Keputihan atau Keputon. Jadi nama Keputon berasal dari kata Keputihan. Jumlah penduduk di desa Keputon terus bertambah banyak, yang tidak luput akan terus bertambahnya tempat tinggal dari perkembangan jumlah penduduk yaitu bertambahnya perkampungan, sehingga di desa Keputoon terdapat 5 (lima). Pedukuhan yang terpencar-pencar letaknya dalam Wilayah Desa Keputon. Dari 5 Pedukuhan itu mempunyai nama sendiri dan sifat/ciri sendiri-sendiri. Nama dan sifat itu diberikan oleh para Wali/Syeh/Kyai yang membabat Desa masing-masing. Dari sifat-sifat itu sungai peka dan mencerminkan kebudayaan dan kehidupan penduduk dimasing-masing pedukuhan dari jaman dulu hingga sekarang yaitu sebagai berikut : 1. Dukuh Keputon bersifat ONTOT yang berarti bahwa masyarakatnya, meskipun sudah mampu dibidang sosial ekonominya masih tetap mau menjadi kuli pikul barang.

2. Dukuh

Simbang

bersifat

Kemlungkung

sampai

sekarangpun

sifat

masyarakatnya selalu bersifat sombong. 3. Balong mempunyai sifat Kadet yaitu yang berarti mempunyai rasa milik barang orang lain. 4. Sangiran bersifat Nyenah yang artinya masa bodoh, hingga sekarang ini masyarakatnya masih tercermin sifat masa bodoh. 5. Sukoyoso ini memiliki sifat Prawiro atau Tanggung sampai sekarang, juga masih terlihat sifat ini, misalnya masyarakatnya selalu kompak dan mempunyai kreatif yang positif. Di desa Keputon juga terdapat beberapa makam orang, yang dirawat oleh masyarakat setempat yang dianggap keramat.

19 DESA BLADO
Nama desa Blado, konon kabarnya adalah berasal dari kata beradu yang sekarang menjadi Blado. Kisahnya demikian : Pada jaman dulu ada seorang yang bernama Kasan Amad, murid dari lurah Singodiwiryo yang bertempat tinggal di Desa Cokro. Karena Singodiwiryo seorang yang cukup sakti, maka Kasan Amad yang menjadi muridnya itu juga menjadi sakti pula. Setelah Kasan Amad pandai mengaji dan menjadi orang kuat juga sakti maka pada suatu saat Kasan Amad pergi ke pedukuhan Prejengan untuk mengajar mengaji di sana, kemudian di dengar oleh Belanda bahwa orang yang bernama Kasan Amad perlu di tangkap karena menentang pihak Belanda. Setelah dicari ternyata Kasan Amad berada di Prejengan, sehingga Belanda langsung menuju ke Prejangan, tetapi yang terjadi bahwa pihak Belanda tidak mampu untuk menangkapnya, selanjutnya Belanda pergi mengundurkan diri untuk mencari bantuan ke daerah Limpung. Dalam waktu yang tidak lama, maka Kasan Amad menghampiri seorang Haji di dusun Sikebrok dan langsung berjalan ke arah Utara, sehingga bertemu dengan pihak Belanda di sekitar Sikebrok. Di tempat itu Kasan Amad akan di tangkap, tapi tidak ada yang bisa menangkap, bahkan ketika di tembak, senapannyapun tidak bisa berbunyi, selanjutnya Kasan Amad berkata bahwaKasan Amad bukan nama sebenarnya tetapi namanya adalah Syeh Jumadil Kubro, yang artinya Kubro (perang). Tak lama kemudian Syeh Jumadil Kubro memerintahkan kepada orangorang untuk membubarkan pasar, karena tempat itu (pasar) akan digunakan untuk perang antara Syeh Jumadil Kubro melawan pihak Belanda. Pendek kata, tidak ada orang yang dapat membunuh Syeh Jumadil Kubro, kecuali gurunya yaitu Singodiwiryo. Akhirnya Syeh Jumadil Kubro meninggal di desa Cokro, dan

sampai sekarang peninggalannya masih ada, berupa meja kayu yang ada bercakbercak darahnya yang terletak di desa Cokro.

20 DESA COKRO
Pada zaman dulu kala ada orang paling kuat dalam segi ilmu dan kekebalannya yaitu bernama Singo Diwiryo. Singodiwiryo sebagai tokoh paling hebat, sehingga dijadikan pemimpin atau Kepala Desa. Singodiwiryo menurut keterangan juga salah seorang yang membuka desa Cokro dan sebagai Kepala Desa yang pertama. Kemudian pada suatu saat Singodiwiryo mempunyai seaorang murid yang berasal dari daerah Pekalongan yaitu bernama Kasan Amad. Selama menjadi murid Singodiwiryo Kasan Amad memang tekun dan rajin dalam mendalami ilmunya dan setelah pandai Kasan Amad kemudian mengajar mengaji di pedusunan Prejengan. Karena dimasa itu masih dalam kekuasaan Belanda, dan akhirnya pihak Belanda mendengar adanya seorang yang bernama Kasan Amad, adalah seorang pintar dan kuat ilmu kanuragan yang dimilikinya, kemudian Belanda memerintahkan kepada prajurit Belanda untuk menangkap Kasan Amad, karena hebatnya Kasan Amad itu Belanda merasa kewalahan untuk menangkapnya, sehingga pihak Belanda mengatur strategi dengan lurah (Kepala Desa) Cokro untuk dapat menangkap orang yang bernama Kasan Amad. Sebelum Kasan Amad tertangkap oleh Belanda, maka Kasan Amad segera turun dari pedusunan Prejengan untuk menuju ke Cokro, namun sebelum sampai di Cokro Kasan Amad mampir di rumah seorang Haji yang bertempat di Dusun Sikebrok, untuk berangkat bersama-sama ke Cokro guna melawan Belanda. Setelah ketemu dengan kompeni Belanda ternyata pihak kompeni takut setelah melihat Kasan Amad. Kemudian setelah berhadapan dengan pihak Belanda Kasan Amad mengatakan bahwa nama sebenarnya adalah Syeh Jumadil Kubro yang siap melawan kompeni Belanda. Selanjutnya Syeh Jumadil Kubro langsung menuju rumah Singodiwiryo bersama teman-temannya setelah sampai dirumah Singodiwiryo bersama temanteman Syeh Jumadil Kubro sebanyak 11 orang bersemboyan, dari pada mati di tangan musuh (Belanda) lebih baik kita mati saling membunuh.

Akhirnya setelah semua mati hanya tinggal Syeh Jumadil Kubro yang belum mati, tapi setelah menyerah untuk dibunuh, maka Syeh Jumadil Kubro dibunuh oleh beberapa orang diatas meja (yang mejanya sampai sekarang masih ada). Sedangkan asal usul nama Desa Cokro diambil dari nama jimat Cokro yang mengandung arti bahwa setiap ada sesuatu tragedi setelah sampai di desa Cokro pasti akan hancur.

21 DESA SELOPAJANG
Pada jaman dahulu kala desa Selopajang masih merupakan hutan belantara, pada suatu waktu ada seorang pendatang berasal dari Weleri yang bernama Songgo Buwono atau dengan sebutan Syeh Jamsari. Beliau datang dan bertempat ditempat yang sekarang dinamakan dukuh Cenden. Syeh Jamsari selama ditempat itu berupaya untuk membuat daerah hutan yang masih sepi dengan manusia untuk dijadikan sebuah kampung. Beliau dapat menghasilkan beberapa karyanya yang berupa sawah, pekarangan guna mengembangkan kehidupan dan kebudayaan jawa yang dimiliki. Setelah beberapa lama bekerja untuk membuka hutan dan sedikit demi sedikit bertambah pengikutnya, sehingga pada suatu waktu pada saat membuka hutan diketemukanlah sebuah batu panjang yang terletak di tengah-tengah Dusun, batu tersebut panjangnya 200 meter dan lebarnya tidak diketahui karena terpendam didalam tanah. Karena didesa itu ada batu yang sangat panjang maka desa itu diberi nama Selopajang. Adapun nama Selopajang adalah pemberian dari Syeh Songgo Buwono yaitu asal kata dari : SELO Pajang : Batu : Panjang

Kemudian akhirnya Syeh Saonggo Buwono meninggal dunia dan dimakamkan dimakam Selopajang (Silebuh). Setelah beberapa tahun jumlah penduduk semakin bertambah dan jumlah sikep (KK) juga terus meningkat, maka terbentuklah pemerintahan desa yang pada saat itu sebagai Kepala Desa pertama : Bapak Narto Diwiryo. Dengan terus berkembangnya jumlah penduduk maka terus berkembang pula wilayah kekuasaannya yang sekarang disebut pedukuhan yaitu di Selopajang ada dukuh-dukuh : 1. Senden 2. Siambat

3. Selopajang 4. Jambangan 5. Jetak 6. Blumbang 7. Pager Gunung 8. Banaran

22 DESA GEMUH
Pada jaman dulu kala pada jaman perang Diponegoro ada seorang tentara pejuang dari Keraton Solo yang terpisah dengan temannya dan berhenti di suatu hutan yaitu seorang pejuang yang bernama Kyai Onggo Seto. Lambat laun Kyai Onggo Seto bertemu dengan beberapa orang pendatang dari tempat lain, akhirnya menjadi pengikutnya untuk membuka hutan itu menjadi perkampungan dapat ditempati oleh orang aingin mengembangkan kehidupan pada jamana itu. Di hutan itu dulu terdapat sebuah pohon yang besar dan daunnya yang rindang sehingga tempat itu diberi nama Dusun Dampyak. Lama kelamaan karena majunya jaman harus membentuk suatu pemerintahan di Dampyak yaitu sebuah desa dengan Kepala Desa yang pertama kali bernama Bapak Suto. Pada sekitar jaman yang bersaman juga ada seorang bernama Syeh Mustofa yang datng dari daerah Sumedang, bertempat tinggal disuatu tempat yang saat itu masih beberapa hutan. Beliau selalu berusaha untuk mengembangkan kehidupan dan kebudayaannya dengan membuka hutan itu untuk tempat tinggal dan lahan pertanian sebagai kelangsungan hidupnya. Akhirnya aatempat tersebut oleh Syeh Mustofa diberi nama Desa Gemuh. Dulunya desa Dampyak merupakan pemerintahan desa sendiri dengan Kepala Desanya Bapak Bajul. Dan Gemuh juga memiliki pemerintahan desa tersendiri dengan Kepala Desanya Bapak Suto. Akhirnya pada suatu saat dua pemerintahan desa tersebut digabung menjadi satu pemerintahan Desa, dengan mengambil pusat pemerintahannya di Gemuh, karena pada saat pemilihan Kepala Desa yag baru terpilih orang dari Gemuh yaitu : Bapak Kartodikromo yang menjadi Kepala Desa pertama setelah penggabungan antara Dampyak dan Gemuh.

23

DESA SELOKARTO
Menurut keterangan orang tertua di Desa Selokarto dan yang dapat kami percaya bahwa tempo dulu semasa masih merupakan hutan dan belum merupakan sebuah perkampungan, di tempat itu ada seorang bernama Kyai Setro Wono berasal dari Solo. Beliau Kyai Setro Wono adalah seorang prajurit perang di jaman Diponegoro yang mengembara dan tesesat disuatu tempat yang sekarang dinamakan Dusun Sideleg, meskipun sebelumnya juga telah melalui beberapa tempat yaitu yang sekarang dinamakan Saren karena tempat itu pernah dipergunakan untuk beristirahat sementara, kemudian juga melewati suatu tempat yang sekarang diberi nama Dusun Salam, ini yang diartikan karena perjalanan beliau pada saat itu sampai disuantu tempat itu dalam keadaan selamat. Di Dusun Sideleg, sampai sekarang masih terdapat sebuah tempat yang dikeramatkan yaitu tempat yang dulunya sebagai tempat untuk duduk-duduk diwaktu pagi hari (dalam bahasa jawa Pekaringan). Sedangkan nama desa Selokarto berasal dari batu besar yang ada bekasbekas telapak kaki manusia yang diperkirakan batu itu adalah sebagai tempat Sholat oleh Wali yang pertama kali bertempat tinggal ditempat itu. Sehingga karena ditempat tersebut terdapat batu besar yang ada bekas dua telapak kaki manusia, maka sampai sekarang dinamakan Desa Selo Karto. Sebelum pemerintahan dipusatkan di Selokarto dulunya terdapat dua pemerintahan Desa yaitu Desa Sideleg dengan Kepala Desa pertama bernama Manten Ireng. Desa Wadas dengan Kepala Desanya yang pertama bernama Tabri. Karena dengan kemajuan kebudayaan dan kemajuan jaman, maka akhirnya dua pemerintahan tersebut (Sideleg dan Wadas) digabung menjadi satu desa yaitu menjadi Desa Selokarto, sedangkan Kepala Desa pertama setelah penggabungan adalah bernama Iskak. Dan sampai sekarang masih menggunakan nama Desa Selokarto, meskipun dengan perkembangan teknologi di jaman modern.

24 DESA KALIPANCUR
Bedasarkan keterangan dari warga desa yang dapat dipercaya bahwa di jaman dulu semasa Desa Kalipancur masih berupa hutan, datanglah seorang lakilaki yang bernama Wali Giliwangunsari yang berasal dari kota Solo Jawa Tengah. Wali Giliwangusari semenjak dihutan itu hidup sendirian, lama kelamaan datanglah orang yang mengungsi dari daerah lain, bekerjasama dengan Wali Giliwangunsari untuk membuka hutan dijadikan perkampungan dan lahan pertanian. Lahan pertanian dikawasan hutan tersebut termasuka daerah tadah hujan yang hanya dapat ditanami dengan jenis tanaman jagung, ketela pohoh, sayuran dan tanaman polowijo lainnya. Setelah Wali Giliwangunsari beberapa tahun bekerja keras dengan menghasilkan sebagian tujuan, maka merubah hutan tersebut menjadi lahan pangan sebagai penyambung hidup dengan sahabat dan anak cucunya. Kemudian pada suatu saat datanglah orang dari daerah selatan bersama Kyai Gemar di wilayah yang telah dikelola oleh kelompok Wali Giliwangunsari dan kawannya. Kyai Semar setelah beberapa saat di tempat itu akhirya mempunyai khajat yaitu mantu anak perempuan (putrinya). Karena mantu sangat membutuhkan air yang sangat banyak untuk memasak. Sedangkan disekitar tempat itu sangat sulit untuk mendapatkan air bersih. Dengan kesaktian dan kehebatan Kyai Semar, maka dapat terwujudlah adanya sumber air bersih yang dapat dipergunakan kebutuhan mantu. Sumber air tersebut adalah merupakan pancuran yang merupakan pancuran air bersih. Pancuran air tersebut sampai sekarang masih dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Jadi nama Kalipancur berasal dari diketemukannya Pancuran Air dimasa dulu, sehingga nama tersebut dpergunakan sebagai nama Desa sampai sekarang. Sedangkan perkampungan yang pertama terletak disekitar peleburan yang sekarang telah jadi cekdam.

Dan nama Pelaburan kabarnya dulu adalah tempat dimana Kyai Semar membawa kapur dari Alas Roban yang akan dipergunakan untuk membuat masjid tapi tumpah di suatu tempat sehingga disebut dukuh Pelaburan. Dengan kemajuan jaman dan kebudayaan serta meningkatnya jumlah penduduk maka terbentuklah pemerintahan desa ditempat itu dengan Kepala Desa yang pertama bernama Nur Hasan.

25

DESA TOMBO
Pada waktu Cirebon yang memerintah Sultan yang ke 4, seorang utusannya yang bernama Sutojoyo bertapa di Sapitoronggo. Pada waktu itulah ia memerintahkan untuk membuat masjid. Tetapi malang baginya, sebelum masjid selesai seluruhnya, tiba-tiba terdengar kokok ayam. Mengira hari sudah pagi, pekerjaan membuat masjid itu dihentikan. Padahal yang ada baru tiang utamanya (soko guru) dan karena keajaiban soko guru tadi, berubah menjadi pohon aren. Oleh penduduk tempat itu di beri nama masjid wurung (masjid yang tidak jadi), konon kabarnya bagi siapapun yang mempunyai keinginan dan singgah di tempat itu semua keinginannya tidak akan sampai. Hal ini dihubungkan dengan adanya pembuatan masjid yang tidak jadi, demikian menurut kepercayaan penduduk di desa Tombo, dan hal ini sudah banyak dibuktikan adanya. Selain itu juga ada kisah seorang wali dari Cirebon yang bernama Kyai Coboyo. Ia membuka hutan sebelah timur untuk dijadiakan pemukiman. Kyai Coboyo sampai di desa Tombo karena dalam rangka menyebarkan agama Islam. Sebelum menjadi wali, Kyai Coboyo adalah seorang penyadap aren (enau). Sewaktu akan menyadap aren itulah ia mendengar suara nyanyian yang merdu. Nyanyian itu keluar dari Syarif Hidayat yang selang beristirahat dalam pengembaraannya. Merasa mendengar suara yang merduia bermaksud akan membayarnya dengan uang. Tetapi Syarif Hidayat tidk mau, Syarif hanya mau dibayar dengan kalimah syahadat dan Kyai Coboyo menyanggupinya. Maka jadilah ia seorang muslim. Untuk menjadi seorang muslim tidak cukup dengan membaca Syahadat saja, untuk lebih lengkapnya kemudian ia mempelajari agama Islam secara lengkap. Setelah betul-betul pandai timbul dalam batinnya untuk lebih mengembnagkan agama Islam. Maka jadilah ia seorang wali yang

menyebarkan agama Islam dan dalam pengembaraannya itulah ia sampai di sebelah Timur desa Tombo dan membuka hutan untuk pemkiman. Desa itu disebut Tombo, karena dulu dapat dijumpai adanya sebuah mata air yang dapat dijadikan obat ( Tombo ). Banyak penduduk yang mengambil air untuk mengobati orang sakit. Lama kelamaan untuk mudahnya orang menyebut desa tempat mata air itu berada dengan nama desa Tombo.

26 DESA WONOMERTO
Jaman dulu desa Wonomerto hanya meliputi Kuali saja. Dan dari sinilah sejarah desa Wonomerto dimulai. Konon kabarnya disebut Kuali karena para wali yang berasal dari Gringgingsari membuka hutan mulai dari daerah itu, dan tempat pembukaan hutan yang pertama itu digunakan oleh para Wali tersebut untuk mengadakan pertemuan membahas masalah pembangunan yang akan dilaksanakan. Tempat bertemunya para wali itu kemudian dinamakan Kualian, yaitu tempat bertemunya para wali atau tempat para wali. Setelah mengalami perkembangan dan untuk lebih mudahnya penduduk hanya menyebut desa Kuali saja. Setelah desa Kuali ramai dan banyak penduduknya dengan kepala desanya bernama Marto, maka seluruh pedesaan yang berada dibawah kekuasaan Marto, maka seluruh pedesaan yang berada dibawah kekuasaan Marto itu dinamakan Wonomarto atau Wonomerto. Dalam perkembangannya pada waktu pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda, banyak prajurit yang melarikan diri. Salah seorang prajurit itu ada yang sampai di desa Wonomerto yaitu Ratno. Sebagai prajurit ia tidak bisa bertani, maka dengan semangatnya bersama penduduk membuka hutan untuk tempat pemukiman baru sebagai perluasan desa Wonomerto. Setelah meninggal dunia dimakamkan di makam desa Wonomerto. Juga ada kejadian lain ketika pangeran Diponegoro ditangkap, yaitu seorang gadis suci yang ditinggal oleh ibu bapaknya mengungsi entah kemana. Gadis tersebut mencari kesana kemari tetapi tidak pernah ketemu, akhirnya tiba di desa Wonomerto. Sebagai seorang gadis yang masih suci ia terlalu kehilangan kedua orang tuanya sehingga hidupnya sangat sengsara. Karena tidak tahan menghadapi kesedihan yang sangat dalam ia meninggal dunia dan tempat hidup dan meninggalnya putri suci tadi oleh penduduk dinamakan tempat putri suci yaitu disebelah belakang puskesmas. Riwayat padukuhan yang lain yang menjadi satu dengan desa Wonomerto :

KARANG ANYAR, Pada jaman dahulu ada seorang kyai yang sakti yang tidak diketahui namanya. Dia membuka hutan untuk dijadikan pemukiman dan kebun untuk tempat tinggalnya. Karena membuka hutannya baru (anyar) maka desa yang baru dibuka itu dinamakan Karang Anyar.

KARANG TENGAH, Adalah seorang yang bernama Nampiyo yang bukan seorang penduduk desa Wonomerto yang datang entah dari mana asalnya. Dia membuka hutan untuk dijadikan pemukiman penduduk dan dimulai dari tengah-tengah hutan. Karena pembukaan hutannya dimulai dari tengah maka setelah menjadi padukuhan yang ramai desa itu diberi nama Karang Tengah. Karang berarti tempat pemukiman atau desa dan tengah berarti mulainya pembuatan hutan dari tengah.

KARANG TEMPEL, Karang Tempel merupakan padukuhan yang terakhir setelah semua padukuhan yang lain terbentuk. Terjadinya Karang Tempel adalah karena di daerah pegunungan sering terjadi erosi dan tanah longsor. Oleh pemerintah Belanda dirasa membahayakan penduduk. Maka penduduknya dipindahkan dari daerah itu. Dan pindahnya penduduk itu tidak menggabung dengan desa lain yang sudah ada, tetapi hanya menempel saja pada desa lain. Kemudian desa yang baru terbentuk itu dinamakan Karang Tempel, karena hanya menempel saja pada desa lain.

28 DESA WONODADI
Konon kabarnya yang pertama membuka hutan Wonodadi adalah Ki Ageng Surowono dan Eyang Bromosari. Tetapi pembukaan hutan itu tidak sampai selesai dan dilanjutkan oleh Ki Buyut Ranadegaa.a Setelah menjadi perkampungan yang ramai desa itu diberi nama Wonodadi. Karena yang semula hutan (wono) sekarang sudah menjadi (dadi) perkampungan. Dalam membuka hutan Wonodadi ada satu tempat yang dinamakan larangan. Tempat itu oleh Ki Buyut Randeg tidak bisa dibuka mengingat sarat yang diajukan oleh penghuninya yang dirasa berat yaitu tujuh anak turunannya harus ikut mengambil penunggu larangan. Lama tempat itu tidak dibuka sampai ada seorang penduduk desa yang bernama Banijan yang memberanikan diri untuk membukanya dengan resiko yang telah diajukan dan sanggup menjalaninya. Dan sampai sekarang anak keturunan dari Banijan biar sakit yang bagaimanapun beratnya kalau dimintakan obat ke larangan pasti bisa sembuh, hanya kalau sewaktu-waktu diminta oleh penghuni larangan harus siap menjalani masa pengabdian yang panjang untuk mengabdi pada penunggu larangannya. Setelah menjadi perkampungan dengan nama desa Wonodadi ada seorang wali/kyai dari Wonobodro yang akan mengadakan perjalanan ke Gringgingsari. Di tengah jalan karena lelah ia berhenti dan istirahat. Tempat istirahat atau deprokya dinamakan Depok. Sewaktu mau sholat Ashar membuat mata air dengan mencungkil tanah dan menjadi sumber air. Sedangkan tongkatnya yang ditancapkan di tanah tumbuh menjadi pohon jati yang besar. Tempat sholatnya yang berupa batu membekas dahi, telapak tangan dan lutut sang kyai atau wali tadi.

29 DESA PESALAKAN
Pada jaman dahulu kala ada dua orang bangsawan dari Solo sedang melakukan perjalanan. Kedua orang itu bernama mbah Wanom dan mbah Wates. Karena kesaktiannya, kedua orang tadi tiba di hutan yang sekarang bernama Pesalakan dengan lewat di atas air sungai. Ketika sampai di hutan salak, kedua orang tersebut berhenti dan merasakan tempat itu akan cocok kalau dibuka menjadi perkampungan. Merasa terpanggil kedua orang tersebut mulai membuka hutan yang penuh ditumbuhi pohon salak. Dan sebagai pertanda bahwa di tempat itu dulu banyak pohon salak maka tempat yang baru di buka itu diberi nama dengan desa Pesalakan artinya tempat banyak tumbuhan pohon Salak. Karena sudah merasa cocok menemukan tempat tinggalnya kedua orang tadi tidak lagi mengembara. Jadilah mereka sebagai orang yang sangat dihormati oleh penduduk yang datang dan ikut bermukim, karena jasa-jasanya berhasil membuka hutan untuk dijadikan perkampungan. Mbah anom dan mbah Wates bersama-sama penduduk bahu membahu membangun desa Pesalakan hingga menjadi perkampungan yang ramai. Setelah meninggal dunia, kedua orang tersebut dimakamkan di pemakaman Pesalakan dan penduduk menghormatinya sebagai leluhur orang-orang Pesalakan. Konon kabarnya kereta yang dipakai sebagai kendaraan oleh mbah Wanom dan mbah Wates sekarang dapat dijumpai dalam ujud batu, oleh penduduk batu tersebut dinamakan batu abah-abah yang terletak di sungai sebelah timur desa Pesalakan.

30 DESA BINANGUN
Dahulu ketika Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda, pengikutpengikutnya banyak yang melarikan diri. Sebagian prajurit itu ada yang sampai di daerah hutan yang sekarang desa Binangun, yaitu Buyut Noko, Buyut Kembar, Buyut Srimpi dan Buyut Ndoyo. Karena senasib dan tidak mungkin kembali lagi ke Mataram, maka mereka merencanakan untuk menebang hutan dan dijadikan pemukiman. Karena tujuan pembukaan hutan itu untuk membangun perkampungan yang baru, maka desa yang mereka buat itu dinamakan Binangun. Seiring dengan pembukaan hutan untuk dijadikan pemukimandesa Binangun, mbah Gewo mulai membuka hutan di sebelah Baratnay. Setelah menjadi perkampungan yang ramaibanyak orang yang kalau menyabung ayam di desa itu. Sebagai tempat penyabungan, di buatlah panggung/tratak. Karena tempat itu sangat banyak yang mendatanginya untuk menyabung ayam, maka orang-orang itu banyak yang menyebutnya dengan nama Tratak. Lama-kelamaan orang menyebut tempat itu dengan nama desa Tratak sebagai peringatan bahwa ditempat itu dijumpai Tratak sebagai tempat penyabungan ayam. Pada jaman pendudukan Belanda ada salah seorang yang bernama Dekse yang membeli sebuah pohon kemiri di desa Tratak. Karena akal liciknya, pohon itu dipagari, mengingat sudah menjadi miliknya. Kalau ada ayam atau binatang apapun yang masuk ke dalam pagar itu pasti akan di bunuh. Sehingga masyarakat menjadi resah dan mereka bersama-sama (rebyongan) pindah ke sebelah Barat desa Tratak. Karena pindahnya secara rebyongan (bersama-sama) maka desa yang baru mereka tempati dinamakan desa Sirobyong. Ketika penduduk sudah meninggalkan desa Tratak, Belanda merasa senang karena sudah berhasil menguasai desa, kemudian pengaruhnya diperluas sampai ke desa Cepoko dan mereka mendirikanperkebunan dengan nama Tratak. Pada waktu yang menjabat kepala desa Binangun Kamran, Belanda mengadakan kerja paksa untuk membuat jalan dan membuka hutan untuk dijadikan perkebunan. Setelah menjadi kebun kopi rakyat menghendaki agar

dijadikan pemukiman penduduk saja, tetapi Belanda tidak mengijinkan. Kemudian Belanda membuat patok merah sebagai tanda bahwa itu adalah tanah milik Belanda. Karena keinginan warganya, Kamran mempeloporinya untuk merebutnya. Terjadilah peristiwa yang unik, ketika siangnya Belanda memasang patok merah, malamnya penduduk memasang rumah. Belanda mengajukan hal itu kepada pemerintahnya, tetapi pada kenyataannya tanah itu sudah ditempati oleh penduduk. Pemerintah Belanda kemudian mengijinkan penduduk untuk tinggal di tempat itu, sedang untuk perkebunan kopi tidak jadi. Karena terjadinya perkampungan rakyatyang menang (keno rakyat) maka kampung itu diberi nama Sidokeno. Setelah masing-masing pedukuhan mempunyai kepala desa, oleh pemerintah Belanda di gabung menjadi satu untuk memudahkan pemerintahan dengan nama desa Binangun seabagai kepala desanya Singo Tanding. Kejadian-kejadian yang berkaitan dengan legenda desa Binangun : Sibatur Dulu kala Gringgingsari menjadi wilayah pengembangan agama Islam. Para wali yang mengabdi dinamakan wali ajar (wali yag ajaran-ajaran atau belajar jadi wali). Salah seorang tersebut menghendaki mendirikan masjid di sebelah utara desa Binangun. Sewaktu membuat pondas/batur orang-orang desa krangkrang tengah malam sudah mulai menumbuk padi. Merasa terganggu karena mengira hari sudah pagi, para wali ajar menghentikan pekerjaannya membuat masjid. Karena merasa kecewa pekerjaannya ada yang mengganggu, wali ajar mengeluarkan kutukan kepada seluruh penduduk desa Krangkrang tidak akan kawin/menikah sebelum menjadi perjaka tua/perawan tua dan rumah yang ada tidak akan bertambah. Karena di tempat itu sudah ada pondasi untuk membuat masjid, maka tempat itu diberi nama Sibatur. (dalam bahasa Jawa pondasi berarti Batur). Sumber Air Kuwarasan dan Sibekatul Dulu ketika sedang membuka hutan di sebelah barat desa Binangun, istri mbah Gewo menyusul karena anaknya sedang sakit panas. Karena tergesa-gesa pulangnya tidak lewat jalan semula tetapi menerobos semak-semak biar cepat

sampai. Sewaktu istirahat, tangannya yang sedang memegang sabit membacukbacuk tanah dan tanah bacukan itu mengeluarkan air. Oleh mbah Gewo air yang keluar memancar itu ditampung dan diberikan kepada istrinya untuk mengobati anak yang sedang sakit panas dan diharapkan akan cepat dingin. Dan akhirnya anak mbah Gewoitu sembuh sama sekali. Karena sumber air yang baru saja di buat itu dapat menyembuhkan orang sakit, maka oleh mbah Gewo dinamakan sumber air kuwarasan. Sewaktu mbah Gewo sedang menebang hutan, ia menginginkan untuk dikirimi rujak bekatul. Tetapi ketika dalam perjalanan mengirim rujak bekatul itu tumpah. Oleh istrinya rujak bekatul yang masih bersih diambil, dan melanjutkan mengirim ke hutan tempat mbah Gewo sedang membuka hutan. Sambil memberikan rujak bekatul, istri mbah Gewo mengatakan kalau tadi rujak bekatulnya tumpah. Kemudian oleh mbah Gewo tempat tumpahnya rujak bekatul tadi diberi nama Sibekatul. Makam Garus Dulu ketika jaman pemerintahan Mataram, setiap tahun para adipati harus menghadap raja. Banyak adipati yang mengadakan perjalanan baik lewat laut maupun darat. Salah satu adipati yang melewati darat adalah adipati dari Garut. Dalam perjalanannya sampai di sebelah utara desa Binangun yang waktu itu masih berupa hutan lebat. Sambil beristirahat, barang-barang bawaan yang dirasa berat ditinggal dan ditanam di situ. Namun sebelum melanjutkan perjalanan terlebih dahulu diberi tanda (tengok) agar suatu saat nanti kalau lewat situ kembali bisa menemukan barang-barangnya. Namun ketika pulangnya tidak lewat jalan itu lagi. Karena bekas tempat singgahnya adipati Garut, oleh penduduk dinamakan Garut/Garus. Kali Tratak Ketika mbah Gewo mau mengairi sawahnya merasa kesulitan untuk mendapatkan air. Maka dicarilah darimana bisa mendapatkan air yang bagus. Setelah ditelusuri sampai ke atas sampailah di sebelah barat kali lojahan. Maka mulailah mbah Gewo menggali saluran air menggunakan linggis yang namanya si jubang dengan cara di sorong. Ketika sampai tepian kali lojahan, linggis tadi di

lemparkan sampai menembus kali lojahan. Karena air yang keluar terlalu besar sebagian di tutup dengan batu cecer, sehingga air yang mengalir tidak terlalu besar. Alkisah pada suatu ketika wali ajar sewaktu akan mengairi tanaman talasmengalami kesulitan air. Maka wali ajar menyusur ke atas sampai kali si Jubang dan langsung membuat aliran. Kebetulan mbah Gewo tahu dan melarang karena itu kali buatannya. Namun ketika wali ajar meminta dengan baik mbah Gewo memperbolehkan asal kalu panen nanti dibagi hasilnya. Wali ajar setuju. Dan sampai sekarang dapat dijumpai bahwa setiap tanah yang berada di sebelah barat dan timur desa Binangun meskipun meskipun luas dan suburnya sama tetapi hasilnya pasti lebih banyak yang di sebelah timur desa Binangun.

33 DESA SIDAYU
Dahulu pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono II mengutus orang kepercayaannya yang di kenal dengan nama Ki Ageng Sidayu untuk memegang pemerintahan di Sidayu dan berkedudukan sebagai Bupati. Ki Agrng Sidayu berasal dari Yogyakarta, tepatnya adalah Bantul Sidayu. Ki Ageng Sidayu mempunyai anak 4 orang ( 1 putri dan 3 putra ) :
1. Mbah Ndayu 2. Mbah Mingsan 3. Mbah Singkir/Sangkir 4. Mbah Soma/Mangsi

: Sidayu : Sipare : Cendono : Sogo

Mbah Ndayu mempunyai anak bernama Chumaidi Di depan kantor Kabupaten tumbuh pohon jati di dalam pohon beringin. Pohon jati tersebut dikenal dengan nama Jatikong, yang berasal dari tongkat Ki Ageng yang ditancapkan di tanah lalu di tinggal sholat, kemudian tongkat tersebut tumbuh menjadi pohon jati. Lama kelamaan pohon jati tersebut di kelilingi oleh tumbuhan Epek, semacam beringin yang akhirnya jati tersebut terbungkus dan besar di dalam pohon beringin. Di Sedayu juga terdapat Sendang Sidayu yang petilasannya terletak di pesawahan sebulak dukuh di belakang SDN sidayu, kemudian pindah ke Bnadar lalu ke Tombo selama 2 bulan kemudian kembali lagi ke Bandar sampai sekarang. Sedangkan kantor Kabupaten pindah ke Kliyangan Subah. Selain di Sedayu Ki Ageng Sidayu juga mempunyai petilasan di Donowari Kabupaten Tegal. Perlu di ketahui pula bahwa bapak H.M. Ichsanudin kepala desa Sidayu yang sekarang merupakan keturunan dari Ki Ageng Sidayu yang ke XVI.

34 DESA WONOKERTO Tersebutlah seorang wali yang sangat sakti dan alim, namanya Wali Bening, ia bertugas menyebarkan agama Islam sampai pada sebuah hutan yang sangat lebat. Di hutan tersebut ia beristirahat melepaskan lelah setelah menjalani perjalanan jauhnya. Karena dirasa cocok, untuk sementara ia bermukim di tempat tersebut, namun untuk membuka hutan yang lebat tersebut ia malas, dalam bahasa Jawanya kerat keret. Tak lama kemudian datangnlah seorang yang disebut wali Toso yang menganjurkan kalau mau membuka hutan, buka saja, jangan malas/kerat keret nanti akan dibantu. Mendengar saran itu wali Bening kembali bersemangat untuk membuka hutan agar menjadi perkampungan. Dan sebagai tanda bahwa ketika membuka hutan yang lebat (kerta) tersebut karena malas (kerat keret) maka desa yang baru dibuka tersebut diberi nama desa Wonokerto. Sebagai seorang wali yang menyebarkan agama Islam, belum lengkap rasanya kalau belum membuat masjid sebagai sarana ibadah umat Islam. Oleh karena itu sebelum orang-orang berdatangan di buatlah sebuah masjid. Ketika akan mendirikan, dipanggil teman-temannya untuk membantu, namun soko guru/tiang utama yang berjumlah 4 buah, baru ada 3 buah. Jadi masih kurang satu, karena itu teman-temannya mengatakan bahwa wali Bening dalam mebangun masjid tidak serius, mendengar perkataan dari temannya maka wali Bening dengan kesaktiannya mengumpulkan tatal dan disatukan hingga menjadi tiang utama/sokoguru, akhirnya pembuatan masjid dapat diselesaikan.

35 DESA BANDAR Dikisahkan pada waktu Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda, salah seorang prajuritnya yang bernama Saibah Saibu melarikan diri. Dan sampailah ia di hutan yang sekarang bernama desa Bandar. Karena dirasa tidak mungkin kembali lagi ke Yogyakarta, ia membuka hutan untuk di jadikan tempat tinggalnya. Setelah tinggal cukup lama dan banyak penduduk yang berdatangan menempati tempat itu istrinya yang bernama Bestinah menyusul. Pada waktu wali Bening membuat masjid di desa Wonokerto (perlu diketahui wali Bening adalah pernah adik dari Saibah Saibu) sebagai famili, Saibah Saibu ikut membantu. Ketika sedang membawa Blandar karena merasa capai ia istirahat di sebuah mata air dan sabuk yang ia pakai ia lepas dan di cantelkan di pohon epek. Ajaib sabuk tadi langsung melilit pohon tadi dan menyatu dengan pohon tempat sabuk tadi di cantelkan. Oleh Saibah Saibu sumber air tersebut sumber air tersebut diberi nama kali sabuk. Sedabgkan Blandar yang ia bawa ia sandarkan di dekatnya dilihat oleh banyak orang. Karena melihat blandar tadi untuk lebih mudahnya orang lalu menamakan tempat itu dengan nama landar yang lambat laun berubah namanya menjadi desa Bandar. Adapun yang menjadi wilayah desa Bandar waktu itu adalah wilayah yang masuk dalam blok kantor pos dan kantor polisi yang sekarang. Dan di belakang kantor polisi terdapat makam Saibah Saibu. 36 DESA TUMBREP

38 DESA TAMBAH REJO


Jaman dahulu kala tersebutlah tiga serangkau pelarian dari kerajaan Mataram. Mereka bernama Kyai Teger, Mbah Suci dan Kyai Seno. Setiba di sebuah hutan yang angker, kyai Teger memutuskan untuk berhenti, sedangkan dua yang lain melanjutkan perjalanan. Mulailah kyai Teger dengan segenap kemampuannya membuka hutan sebagai tempat tinggal dan hidupnya. Ketika sedang membuka hutan itulah ia menemukan sebatang pohon kelapa yang tumbuh membentuk spiral, yaitu melingkar dan miring (dalam bahasa jawa condong). Kemudian oleh Kyai Teger tempat tersebut diberi nama desa Condong. Meskipun desa Condong sudah merupakan pedesaan yang ramai tapi masih menyimpan misteri, yaitu setiap orang yang menjadi kepala desa tidak akan berlangsung lama. Kalau orang tersebut tidak berumur pendek, orang tersebut akan hilang tidak diketahui kemana larinya. Hal ini berlangsung berulang-ulang sampai suatu ketika datang Cowongso yaitu orang yang sangat sakti dari desa Sondang. Orang tersebut oleh penduduk diangkat sebagai kepala desa, karena kesaktiannya orang itu tidak berusia pendek atau hilang, tetapi dapat bertahan lama hingga sampai meninggalnya. Kemudian ia digantikan oleh putranya yaitu Maryani, dan sebagai kepala desa Maryani dapat bertahan lama memegang pemerintahan karena ia juga termasuk orang yang sakti. Di desa Condong ada kisah yang oleh penduduk dipercaya, yaitu orang desa Condong tidak akan ada yang kaya. Sebab suatu ketika menjelang maghrib ada demit/siluman yang lewat desa itu sambil ngomong nyah-nyah, maksudnya akan memberi kepada penduduk. Tetapi tidak ada penduduk yang keluar menerima pemberian itu karena takut, sebab keadaan desa waktu itu sangat gelap tidak ada penerangan. Dan secara kebetulan ada seorang dari luar desa yang sedang bermalam di situ, karena tidak tahu cerita penduduk, ia memberanikan diri keluar dan menerima pemberian itu. Setelah bawaan demit tadi yaitu berupa kiso (dapat untuk membawa ayam) dibuka ternyata isinya berupa emas. Kemudian orang tersebut membawa pulang ke daerahnya. Oleh karena itulah kemudian

penduduk beranggapan bahwa kekayaan yang ada di desa Condong sudah tidak ada lagi alias sudah dibawa kabur orang lain. Sedangkan mbah Suci yang meneruskan perjalanan dengan kyai Seno memutuskan menuju arah utara sedangkan kyai Seno ke selatan. Sampailah mbah Suci pada suatu tempat yang dirasa cocok. (perlu diketahui mbah Suci adalah seorang yang masih perawan sampai akhir hayatnya). Di tempat itulah ia mulai membuka hutan untuk tempat tinggalnya.

40 DESA PUCANGGADING
Dulu tersebutlah tiga orang kyai dari timur yaitu kyai Damar, kyai Dunung dan kyai Pakuwojo. Setiba di hutan yang lebat mereka memutuskan untuk berhenti dan membuka hutan tersebut. Kemudian mereka membagi tugas, kyai Damar sebelah selatan, kyai Dunung di tengah-tengah sedangkan kyai Pakuwojo di sebelah utara. Ketika sedang membuka hutan kyai Damar menemukan pohon pucang yang tumbuh dari gading gajah. Pohon tersebut sangat memukau sang kyai karena sangat indah. Kemudian pohon pucang yang indah tersebut digunakan sebagai nama tempat yang baru dibuka itu yaitu desa Pucanggading. Setelah berhasil membuat perkampungan dengan nama Pucanggading, kemudian mereka meneruskan kembali membuka hutan untuk dijadikan persawahan dan perkebunan. Namun ketiga kyai tersebut telah mengadakan kesepakatan dengan Wali Bening untuk tidak membuat saluran air. Mereka hanya menunggu air resapan dari kali Kerto dan kali Candi, yang dibuat oleh wali Bening. Hingga sekarang untuk desa Pucanggading asal kali Kerto dan kali Candi airnya tidak mati, penduduk desa Pucanggading bisa menikmati air resapan tadi dan bisa digunakan untuk keperluan persawahan maupun untuk keperluan mandi. Untuk diketahui konon kabarnya kyai Pakuwojo sebelum mengembara sampai desa Pucanggading adalah seorang prajurit. Oleh karena itu dalam pengembaraannya ia membawa alat-alat perang / senjata yang kemudian disimpan pada sebuah peti. Dan menurut penduduk peti tempat menyimpan senjata milik kyai Pakuwojo tadi sekarang dapat dijumpai dalam wujud batu peti dan terdapat di kedung waru. Dan senjata-senjata yang ada didalamnya sewaktu-waktu keluar dan bisa disaksikan dalam wujud pedang kangkam atau senjata-senjata lainnya. Sedangkan kyai Dunung konon kabarnya mempunyai senjata berupa senapan dan senapan itu terkubur bersama jasad kyai Dunung. Oleh penduduk makam kyai Dunung dipercaya dapat memberi (Sesuai dengan nama kyai Dunung yang berarti terkabul) sesuatu yang diminta oleh penduduk yang punya hajat. Hal

ini sudah pernah dibuktikan oleh salah seorang penduduk desa Pucanggading dan dalam usahanya ia bisa sukses.

41

DESA CANDI
Tersebutlah seorang prajurit pangeran Diponegoro yang bernama Hasan Wargo. Karena dia seorang ulama yang saleh dan pandai maka bisa dikatakan wali. Merasa jiwanya terpanggil untuk lebih mengembangkan ajaran agamanya ia membuka hutan untuk dijaldikan pemukiman penduduk yang senantiasa akan menerima ajaran-ajarannya. Mulailah ia sendirian membuka hutan. Hutan yang telah dibuka itu sekarang namanya Candi. Meskipun kita tidak bisa menemukan adanya bangunan candi di desa itu tapi itu adalah kehendak sang wali untuk menamakannya. Setelah berhasil membuka hutan untuk dijadikan perkampungan, Hasan Wargo mulai membuat saluran air untuk pengairan sawah. Maka ia mulai menggali saluran air bersama dengan adiknya Bening (yang membuka hutan desa Wonokerto). Hasan Wargo menggali saluran yang diatas (kelak oleh penduduk dinamakan kali Kerto) dan adiknya Bening menggali yang dibawahnya (kelak oleh penduduk dinamakan kali Candi) karena pekerjaan Hasan Wargo tidak selesai-selesai sedangkan Bening sudah menyelesaikan membuat saluran, maka Bening menyuruh Hasan Wargo untuk berhenti saja dan pekerjaannya akan diteruskan olehnya. Karena yang menyelesaikan Bening maka kali yang terjadi itu digunakan untuk mengairi persawahan di desa Wonokerto. Sedangkan Hasan Wargo memperoleh saluran yang dibawahnya dan saluran itu akan menerima rembesan dari saluran / kali yang diatasnya. Dan bisa kita jumpai meski kali Candi dari atasnya kecil tetapi sampai di bawah bisa untuk mengairi sawah hingga cukup dan tidak akan pernah kering. Setelah saluran / kali Candi sudah selesai, Hasan Wargo mulai membuat masjid. Soko yang akan digunakan sudah jadi tiga tinggal satu dan masih disandarkan pada lamping / tepian kali sebelah timur desa, tetapi keburu ketahuan oleh prawan kawak (prawan Kasep), sehingga pembuatan masjid tidak jadi diteruskan. Dan tempat menyandarkan tiga tiang yang akan digunakan untuk

membuat masjid dinamakan watu miring dan bisa dijumpai di sebelah timur desa Candi di tepi sungai.

42 DESA MANGGIS
Dahulu kala sebelum penduduk desa Manggis menempati desa yang sekarang, mereka tinggal di sebelah barat daya hutan gentiri yang sekarang oleh penduduk dinamakan dukuh. Penduduk desa setiap hari selalu dilanda keresahan karena tiap penduduk pergi ke hutan tidak kembali. Menurut keterangan penduduk yang hilang tadi dimangsa oleh siluman harimau. Namun ketika yang menjadi tetua desa mbah Nampo Boyo dan mbah Nawur penduduk merasa aman karena terlindungi. Sepeninggal mbah Nampo Boyo dan mbah Nawur kembali penduduk resah, karena tidak ada yang melindungi lagi. Kemudian penduduk bersama-sama pindah mencari daerah baru yang dirasa aman. Maka mereka membuka hutan di sebelah timur hutan Gentiri untuk di jadikan perkampungan. Desa yang baru dibuka diberi nama desa Manggis, karena penduduk yang pindah bertekad akan selalu menjaga nama baiknya yaitu apa yang dilihat orang luarnya akan didapai pula apa yang di dalamnya. Hal ini dapat disamakan dengan buah manggis yang isinya dapat dilihat dari guratan dikulit buahnya. Dikisahkan pada suatu saat ada seorang pelarian dari Solo yang bernama Saoko. Ia melarikan diri sampai desa Manggis karena bersembunyi atas suruhan sultan. Saoko meninggalkan solo karena membunuh Wirosongko seorang pejabat keraton yang suka membunuh orang tanpa kesalahan yang jelas. Kalau Saoko berhasil membunuh Wirosongko ia akan diberi jabatan penting di keraton. Demikianlah setelah berhasil membunuh Wirosongko Saoko bersembunyi sampai keadaan aman. Dan Saoko memilih bersembunyi di desa Manggis. Setelah tinggal di desa Manggis cukup lama, Saoko merasa kerasan dan ketika datang utusan dari Solo yang meminta untuk kembali Saoko tidak mau karena di desa Manggis Saoko sudah dipercaya oleh penduduk memegang pimpinan yaitu sebagai kepala desa. Saoko merasa tidak enak dengan penduduk sehingga tidak mau meningalkan desa Manggis. Juga dikisahkan ada seorang pelarian yang berasal dari Solo yaitu Sunan Giri dan sampai di hutan sebelah barat desa Manggis karena melakukan kesalahan.

Karena merasa bersalah itulah ia bertekad untuk menebus kesalahan itu dengan bertapa di hutan Gentiri. Oleh penduduk hutan tempat bertapanya Sunan Giri di sebut Gentiri karena tempat itu adalah tempat (nggone) Sunan Giri. Selain dapat dijumpai bekas pertapaan Sunan Giri di hutan Gentiri juga dapat di jumpai adanya sumur Sinongko yang tidak kasat mata. Hanya orang yang beruntung saja yang dapat menjumpai sumur tersebut yang terdapat dibawah pohon Nangka. Selain itu juga dapat dijumpai adanya belik situlung yang konon kabarnya kalu kita mengambilnya dapat digunakan untuk mengobati orang yang sedang sakit. Di desa Manggis ada cerita apabila ada pejabat yang tanpa sebab marahmarah kepada penduduk tidak akan lama memangku jabatan itu tetapi sebaliknya apabila berbuat baik dengan mengemong penduduk akan sukses hidup pejabat tadi.

44

DESA WONOSEGORO
Konon kabarnya yang pertama kali membuka hutan Wonosegoro adalah kyai Sutoguno / Sutogati, seorang wali dari desa Gringgingsari kakak dari wali Kajoran. Sutoguno bisa sampai ke hutan Wonosegoro karena ketika para wali sedang menjalankan sholat jumat bersama-sam. Sutoguno tidak ikut menjalankan. Karena merasa malu Sutoguno meninggalkan desa Gringgingsari menuju hutan Wonosegoro. Mulailah Sutoguno dengan kehidupan baru yaitu membuka hutan untuk dijadikan perkampungan. Sewaktu membuat sawah datang adiknya dari desa Gringgingsari menjenguknya untuk mengetahui kabar kakaknya yang konon sedang membuka hutan Wonosegoro. Adapun sawah yang sedang dibuat itu belum dapat ditanami padi karena belum ada pengairannya. Melihat kenyataan itu adik Sutoguno, yaitu wali Kajoran tadi berujar sebagai pengharapan agar tempat yang sedang dibuat itu suatu saat nanti menjadi lautan padi dan desa yang telah dibuat oleh Sutoguno itu diberi nama Wonosegoro. Dalam kehidupannya suatu saat Sutoguno nanggap wayang kulit. Pada pagelaran itu ki dalang mengambil lakon Arjuno Babi, yang menceritakan kehidupan Arjuno yang selalu kepincut wanita yang cantik sehingga istrinya banyak (tokoh arjuno senang kawin). Sutoguno merasa tersinggung karena mempunyai 9 istri dan dianggap ki dalang sengaja membuat malu dirinya di hadapan penduduk. Oleh kejadian itu Sutoguno marah dan diambil alih pipisan (tempat menghaluskan jamu) dan dipukulkan pada kepala ki dalang hingga meninggal dunia. Sejak kejadian nanggap wayang itulah Sutoguno melarang kepada semua anak keturunannya untuk tidak nanggap wayang kulit. Sehingga sampai sekarang dapat dijumpai di desa Wonosegoro tidak akan ada tanggapan wayang kulit dalam hajatan manapun.

45

DESA SIMPAR
Nama Simpar berasal dari kata wesine (besi) nglampar (merintang) yaitu ketika kyai Seguno membuka hutan yang akan dijadikan perkampungan menemukan wesi kuning yang nglampar lmenghalangi di hadapannya. Oleh karena itu tempat yang baru dibuka itu diberi nama Simpar sebagai pertanda untuk pertama kalinya kyai Soguno membuka hutan. Setelah perkampungan sudah banyak penduduknya dan ramai kyai Soguno kembali meneruskan membuka hutan sebelah selatan desa. Sewaktu membuka hutan kyai Soguno menjumpai putri (bukan putri manusia melainkan putri halus) yang sedang ngerum (berkerumun) kabeh (semua). Maka tempat itu diberi nama Ngrombeh. Dan sampai sekarang pun dukuh Ngrombeh masih terus dijaga oleh putri-putri tadi yang berujud pohon Andung. Konon kabarnya putri tadi menjaga desa Simpar dan sekitarnya dalam hal pengairan. Sebagai imbalannya putri tadi setiap tahun minta disembelihkan kambing, sehingga tiap tahun satu kali penduduk mengadakan selamatan desa (nyadran) agar diberi pengairan yang cukup untuk mengairi sawah dan ladangnya. SAetelah berhasil membuka hutan dijadikan perkampungan Simpar dan Ngrombeh yang sudah ramai, kyai Soguno kembali meneruskan membuka hutan sebelah barat desa Simpar. Perkampungan yang baru itu dinamakan dukuh Kanyaran, sebagai pertanda dibukanya tempat itu terakhir kalinya (anyar). Demikianlah setelah berhasil membuka hutan dan menjadi perkampungan yang ramai dengan diberi nama Simpar kyai Soguno menonggal dunia dan dimakamkan di sebelah selatan desa. Menurut penduduk desa Simpar wesi kuning yang ditemukan ketika pertama kali membuka hutan ikut terkubur bersama jasad kyai Soguno.

46

DESA BATIOMBO
Konon kabarnya yang membuka hutan Batiombo untuk dijadikan perkampungan adalah mbah Soleman. Namun mbah Soleman tidak sendirian, ia dibantu oleh mbah Runtah yang membuka hutan yang kemudian dijadikan desa Wonorejo. Selain membuka hutan untuk dijadikan perkampungan mbah Runtah juga membuat persawahan di i Glendeng dan Kali Asem. Juga ada den Usup yang membuka hutan untuk dijadikan desa Sempu. Ketika sedang membuka hutan den Usup menjumpai pohon asem yang ada empunya (penunggunya), maka hutan yang baru dibuka itu dinamakan Sempu. Karena berjasa dalam membuka hutan menjadi desa Sempu den Usup oleh penduduk diberi julukan Mbah Sempu. Selain membuka hutan untuk perkampungan den Usup juga membuat persawahan dan sungai Jamban sari yang mengalir dari Si Kuntung di desa Wonosegoro sampai Kluwak. Setelah meninggal dunia ketiga orang tadi dimakamkan di makam desa Batiombo yang terletak disebelah selatan desa Batiombo. Pada waktu yang menjadi kepala desa Haji Sabuk didatangkan guru agama dari Mangkang untuk mengajar penduduk dalam soal agama Islam. Sehingga dalam waktu yang cukup lama banyak penduduk yang mengikuti soal agama Islam. Dalam kisahnya diceritakan pada suatu waktu ada pangeran yang bernama Mbantu kuwat. Pangeran dari Solo itu mengadakan perjalanan adalah dalam rangka melakukan topo broto (laku prihatin). Sewaktu tiba di sebelah selatan desa Batiombo ia berhenti untuk istirahat dan melakukan sholat. Konon kesaktiannya batu yang digunakan untuk alas sholat tadi membekas telapak kaki, lutut, tangan, dahi dan mata. Dan sampai sekarang batu tersebut dapat dujumpai terletak di tepi sebuah sungai sebelah selatan desa Batiombo.

47 DESA SI LURAH
Konon kabarnya yang pertama-tama membuka hutan untuk dijadikan perkampungan adalah seorang yang bernama Ki Lurah. Oleh karerna itu daerah yang baru dibuka diberi nama Silurah, sebagai pertanda bahwa yang membuka hutan tersebut adalah Ki Lurah. Setelah Silurah menjadi desa yang ramai, suatu hari desa dilanda pageblug, yaitu apabila ada orang yang sakit pagi sorenya meninggal dunia, demikian pula kalau sakit sore paginya meninggal dunia. Demikian pageblug terus melanda desa tanpa ada yang dapat menghentikannya, hingga suatu hari ada seorang yang bernama Ki Gonel dengan istrinya Ni Gonel yang dengan kesaktiannya dapat melenyapkan pageblug tadi. Sebagai tanda syukur telah berhasil melenyapkan pageblug, penduduk mengadakan syukuran dengan menyembelih seekor kambing kendit, dan kepalanya ditanam di suatu tempat yang bernama Larangan, sedangkan sebagai hiburannya didatangkan ronggeng dengan gamelan yang digunakan untuk mengiringnya yang berasal dari gunung Rogokusumo yang dapat dipinjam asal dengan memberi sesaji. Adapun cerita yang terjadi pada penduduk bahwa di gunung Rogokusumo dapat dijumpai adanya emas sebesar kerbau. Karena saking besarnya mampu memberi pengaruh warna kuning bagi orang yang lewat disebelahnya.Itulah mengapa disebut dengan gunung Rogokusumo. Di desa Silurah juga dapat dijumpai adanya pertapaan, yaitu tempat orang-orang yang datang dari daerah manapun untuk bertapa di situ. Dan di tempat tersebut dapat dijumpai adanya tempat untuk membakar kemenyan. Sedangkan gamelan yang bisa dipinjam oleh penduduk bila mengadakan hajat sudah tidak ada lagi, yang ada hanya masih tempat gantungan gongnya saja. Karena pada jaman dahulu tiap penduduk yang meminjam ada yang mengembalikannya terlambat tidak sesuai dengan perjanjian, juga kalau ada yang meminjam tidak merawat sehingga menjadi kotor. Sehingga oleh pemilik perangkat gamelan hal itu tidak menjadi berkenan dan gamelan tidak bisa keluar lagi.

48

DESA SODONG
Ki Ajar Pendek yang berada di Silurah orangnya berangasan, senang membuat onar (senang adu kasekten). Pada suatu saat Pangeran Kajoran yang asal mulanya dari Wonobodro karena ingin menyebarkan agama Islam mereka mengembara mencari daerah yang memungkinkan untuk mendirikan masjid, sampailah di desa Tombo karena sesuatu hal ide pendirian Masjid di Tombo gagal, dan tempat tersebut dinamakan Ngelo dan barang siapa lewat di tempat situ pedagang atau pejabat atau bencoleng akan mengalami kehancuran. Pangeran Kajoran merantau lagi sampai di suatu tempat yang masih hutan belantara dan banyak dihuni babi hutan sedangkan sarang babi hutan namanya SODONG. Di sinilah Pangeran Kajoran ingin mendirikan masjid, adapun persiapan pembuatan masjid, batur lokasinya yaitu depan SD Sodong 01. sekarang bambu yang untuk buat usuk/rangken itu direndang di Paguyangan dan ada yang hanyut sampai di hutan dan tumbuh di situ, hutan tersebut namanya hutan Larangan (kalau mengambil bambu dari situ untuk membuat bangunan maka tidak akan jadi). Paguyangan tersebut yang membuat adalah Den Bagus Karang/Ki Carang Aking yaitu seorang pengembala kerbau yang berasal dari daerah Blado dan setiap saat orang mengguyang kerbau/memandikan kerbau di situ kerbaunya senang berkelahi dengan batu di tengah guyangan tersebut maka batu itu namanya Watu Palem. Den Bagus Karang, karena masih jaman peperangan dia dibutuhkan ke daerah Plelen (Grinsing) dan di Sodong meninggalkan tempat ibadah dekat Peguyangan. Dan setiap bulan Sapar hari Rabu Kliwon sampai sekarang masih ada. Pangeran Kajoran akan membuat masjid di Sodong tidak jadi karena ketahuan perawan Sunti (perawan yang tidak punya suami) maka sampai sekarang kalau ada perawan yang kasep banyak yang minta petunjuk dengan mbah Tasmi

sehingga akan banyak segera mendapat jodoh (banyak yang datang dari daerah yang lain). Pembuatan masjid juga dibatalkan karena permusuhan antara Ki Ajar Pendek dengan Pangeran Kajoran. Karena keduanya juga orang sakti maka saling mengeluarkan kesaktiannya yaitu Ki Ajar Pendek mengeluarkan hujan cacing maka pangeran Kajoran mengeluarkan hujan itik, dan Ki Ajar mengeluarkan hujan api maka Pangeran Kajoran mengeluarkan hujan angin yang sekarang namanya si angin-angin dan apabila orang (pejabat, orang yang murka) lewat di situ maka akan segera hancur kedudukannya. Pembuatan masjid dilanjutkan dan SODONG hanya untuk NONOB atau istirahat atau ngaso dan ngandhong (Ngasodong) menjadi SODONG. Pengikut Pangeran Kajoran yang namanya Kyai Ageng Asmo (Syeh Baitul Iman) yang meninggalkan Candhen/makom yang berwujud Batu Lima cacahnya yang orang sodong mengatakan batu itu sebagai tanda : 1. Hitungan pasaran 2. Rukun Islam 3. Pancasila : Kliwon, Manis, Pahing, Puasa dan Haji. : Sahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji. : Berketuhanan, Berkeprimanusiaan, Bersatu Bermusyawarah, keadilan sosial. Maka orang sodong selalu melewati rasa kegotong royongannya untuk mencapai sukses bersama. berkerakyatan, Mempunyai rasa

50 DESA KEDUNGMALANG
Alkisah ada seorang kyai yang bernama kyai Cagak Aking, yaitu anak buah dari Pangeran Diponegoro. Setelah sampai pada suatu hutan yang lebat ia berhenti dan bermaksud membuka hutan tersebut. Namun ketika membuka hutan dan sampai di sebelah utara di situ sudah ada padukuhan Sumber. Sedangkan yang berkuasa di dukuh Sumber adalah Sutojoyo dan mbah Sarinten yang waktu itu sedang memperluas wilayahnya ke selatan. Di tengah-tengah kedua wilayah tersebut mereka bertemu dan terjadilah adu kekuatan antara kyai Cagak Aking melawan Sutojoyo yang dibantu oleh mbah Sarinten. Setelah bertempur sekian lama ternyata tidak ada yang kalah dan menang. Akhirnya tempat beradunya dua penguasa tadi diberi batas berupa patok dari batu (sampai sekarang masih dapat dijumpai). Setelah kejadian tersebut Sutojoyo dan mbah Sarinten membuat saluran air untuk mengairi sawah. Sewaktu sedang beristirahat dan akan menjalankan sholat, datanglah seekor ular besar yang bermaksud akan mengganggu. Ular besar tersebut adalah utusan dari kyai Cagak Aking yang masih dendam terhadap Sutojoyo dan mbah Sarinten. Oleh Sutojoyo ular tersebut berhasil dibunuh dengan sebilah pedang dan dipotong-potong menjadi tiga bagian. Ekornya tidak diketahui kemana jatuhnya, badannya jatuh di sungai Kupang dan membendung sungai tersebut sehingga menjadi sebuah kedung yang malang. Melihat kejadian tersebut anak buah Sutojoyo dan mbah sarinten melaporkan kepada mbah Nompoboyo. Kemudian oleh mbah Nompoboyo disarankan agar kedung yang malang tadi supaya dijadikan nama desa yang baru dibuka oleh kyai Cagak Aking. Maka jadilah desa tersebut dengan nama Kedungmalang. Adapun kepala ular tadi jatuh di saluran Sekung yang terletak di sebelah barat desa Kedungmalang. Karena di situ banyak tumbuh pohon pucung yang berderet-deret, maka tempat tersebut diberi nama Pucung Kerep. Dan sampai sekarang pohon pucung tesebut masih dapat dijumpai. Setelah kyai Cagak Aking meninggal dunia dimakamkan di sebelah barat desa Kedungmalang dan oleh masyarakat tempat tersebut sampai sekarang masih dikeramatkan.

51 DESA SENDANG
Tersebutlah seorang yang berasal dari desa Wonotunggal yang bernama nyai Mogosari. Suatu hari ia mengadakan perjalanan ke selatan dan sampai pada suatu tempat yang ada sumber air (sendang) yang diapit oleh dua pancoran. Oleh kyai Pancoran tempat tersebut diberi nama Sendang Kapit Pancoran. Kemudian nyai Nogosari membuka hutan untuk dijadikan perkampungan yang diberi nama Sendang Larangan. Sendang tersebut diberi nama Sendang Larangan karena tempat tersebut ada larangannya. Konon menurut ceritanya dulu apabila ada orang yang bersalah (pencuri, perampok) pasti akan dapat ditangkap. Namun sekarang penduduk tidak mempercayainya lagi, semuanya diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah desa Sendang Larangan menjadi ramai, nyai Mogosari kembali membuka hutan untuk dijadikan perkampungan lagi. Kampung tersebut karena dibuat terakhir (paling akhir atau anyaran) maka diberi nama Sendang Anyaran. Setelah masing-masing pedusunan menjadi ramai dan memerlukan pemerintahan yang jelas, maka ketiga dusun tadi dijadikan satu dengan nama desa Sendang. Hal ini mengingat ketiga pedusunan tadi memakai nama Sendang, dan nama Sendang mewakili ketiganya.

52

DESA WONOTUNGGAL
Konon kabarnya yang pertama membuka hutan Wonotunggal adalah Ki Gede Singosari yang berasal dari Majapahit. Pengikutnya bernama mbah Embo dan mbah Sarinten. Pada jaman dahulu pedukuhan-pedukuhan tersebut masih berdiri sendiri yaitu Sumber, Tegalsari, Siwunut dan Wonotunggal. Kemudian dijadikan satu dengan nama desa Wonotunggal. Diceritakan pada suatu waktu ada seorang pengembara yang bernama bang Bintulu. Dalam pengembaraannya ia sampai di hutan yang lebat. Di situ ia beristirahat sambil tiduran ia merasakan angin yang semilir/silir-silir dan asri. Kemudian ia berujar kalau suatu saat nanti dan jaman berubah tempat itu menjadi ramai maka diberi nama Tegal Sari (pategalan yang asri). Sedangkan yang membuka desa Sumber konon kabarnya adalah wali Depok dan membuka desa Siluwok adalah putri Siluwok. Konon kabarnya di dukuh Silwunut pada setiap bulan Jumadil awal selalu diadakan selamatan desa/nyadren dengan mengadakan pagelaran wayang tersebut Ki dalangnya harus selalu tetap, tidak boleh ganti-ganti. Pernah suatu ketika dalangnya diganti, oleh kejadian tersebut rakyat tidak merasa tenteram. Ada kejadian-kejadian aneh yang selalu menimpa penduduk dengan pergantian dalang tersebut.

53

DESA BROKOH
Dahulu kala ada seorang wali Ajar yang bernama Ki Ajar Kupang, menurut ceritanya bahwa dalam mengerjakan pekerjaan tidak pernah selesai, hanya satu pekerjaan yang dapat diselesaikan yaitu membuat saluran wura wari. Pernah suatu ketika Ki Ajar Kupang akan membuat masjid, tetapi tidak selesai. Adapun bekasbekasnya sekarang masih dapat dijumpai yaitu terletak di belakang rumah kepala dusun, yaitu berupa sumber air yang berasal dari kolam yang konon dulu akan dijadikan tempat untuk berwudhu. Sumber air tersebut sekarang digunakan untuk mengairi sawah di sekitarnya. Daerah Kupang konon kabarnya dulu merupakan hutan jati yang sangat lebat tidak ada pohon lainnya. Setelah dibuka dan dijadikan perkampungan oleh Ki Ajar Kupang, tempat tersebut diberi nama desa Kupang, yang berasal dari nama orang yang membuka hutan tersebut yaitu Ki Ajar Kupang. Makin lama desa Kupang berkembang menjadi desa yang ramai, hingga memerlukan sebuah masjid untuk menjalankan sholat bagi orang-orang Islam yang sudah menjadi anak buah/pengikut Ki Ajar Kupang. Maka suatu hari untuk keperluan pendirian tersebut Ki Ajar Kupang Memerlukan atap untuk masjid. Namun mencari bahan untuk membuat atap di desa Kupang tidak memperoleh. Kemudian Ki Ajar Kupang mencari di daerah lainnya sambil memperluas wilayah desa Kupang. Sampailah pada suatu hari di tempat sebuah bukit kecil yang banyak ditumbuhi oleh tanaman pandan. Oleh anak buahnya daun pandan tadi dijadikan sebagai bahan untuk membuat atap masjid. Karena hanya daerah situ saja yang ada, maka anak buah Ki Ajar Kupang lalu menetap. Kemudian mereka memberi nama daerah tersebut dengan nama Sipandan. Tetapi lambat laun karena logat bicara orang-orang berubah menjadi Sipandak. Juga diceritakan suatu saat mbah Nompoboyo sesepuh desa Wonotunggal yang mengutus putra angkatnya yang bernama Bromosari utuk memadamkan pemberontakan di suatu tempat. Namun Bromosari kalah sakti dari pimpinan pemberontak tadi dan meninggal dunia. Oleh pengikutnya ia dimakamkan di

tempat itu dan kemudian tempat tersebut diberi nama desa Brokoh. Oleh penduduk dipercaya kadang-kadang dapat dijumpai bunyi seekor kuda yang lari dari belakang balai desa tempat Bromosari dimakamkan dengan bunyi gemerincing yang konon membawa pakaian perangnya. Di desa Kupang dapat ditemui adanya batu gajah yang dipercaya sebagai tunggangan Ki Ajar Kupang. Selain itu juga ada batu ronggeng yang terletak di tepi sungai. Konon kabarnya dulu Ki Ajar Kupang nanggap ronggeng oleh anak buah Ki Ajar Kupang, ronggeng tadi digoda. Karena merasa terganggu dan tidak mau digoda ronggeng tadi melarikan diri, namun di tengah jalan berjumpa dengan Ki Ajar Kupang. Karena Ki Ajar Kupang merasa nanggap padahal pertunjukan belum selesai tetapi ronggeng tadi melarikan diri. Hal ini membuat Ki Ajar Kupang marah-marah dikutuklah ronggeng tadi menjadi batu.

55

DESA WATES
Banyu Werno : Pada waktu itu Baurekso sedang menyembunyikan Dewi Ratna Sari di sebuah hutan. Sewaktu Dewi Ratna Sari mau mencari sumber air, di situ ada sumber air yang berwarna-warni. Kemudian ia mengambil air tersebut untuk mencuci beras, namun setelah dicuci beras tersebut untuk mencuci beras. Namun setelah dicuci beras tersebut sampai beberapa hari tidak masak. Karena tidak masak (menjadi nasi) beras tadi dibuang dan menjelma menjadi batu, dan batu tersebut diberi nama Batu Beras, setelah itu Dewi Ratna Sari melapokan kepada pangeran Baurekso akan kejadian tadi kemudian pangeran Baurekso mandi pada sumber air tadi dan mendapatkan daya kelebihan kesaktiannya berlipat, kemudian Baurekso berujar suatu saat nanti tempat itu diberi nama Banyu Werno. Setelah aman pangeran Baurekso pulang kembali ke Mataram. Pungangan : Alkisah ada kyai bernama Cermin waktu itu kebingungan mencari empu, guna membuat dua buah keris dan berjumpa dengan seorang yang sedang menyabit rumput, terhadap orang tersebut maksudnya diutarakan orang tersebut memerintahkan supaya mendekati wanggan/sumber mata air. Setelah dekat ternyata orang yang sedang menyabit tersebut adalah seorang wali dengan nama wali Supo. Akhirnya keris tersebut dibuat oleh wali Supo, kemudian diberi nama Pungangan, yang artinya empu di tepi wangan/saluran. Setelah keris diserahkan kepada kyai cermin, empu tadi hilang tidak tahu rimbanya. Getas/Gebryur : waktu Ki Ajar Kupang sedang memperluas wilayahnya di wilayah Kupang, sampai sebelah barat hutan jati, dipanggil oleh ratu pantai selatan, setelah sampai di sana ada seorang perempuan/putri yang sedang termenung, terus ditanya oleh Ki Ajar Kupang mengapa duduk di situ, si perempuan dimarahi oleh ratu pantai selatan karena tidak punya pisau untuk mengiris-iris bumbu dapur. Kemudian oleh Ki Ajar Kupang ia diberi pisau, sambil diujar, nanti kalau sudah selesai mohon dikembalikan. Setelah itu Ki Ajar Kupang kembali ke Kupang guna memperluas wilayah. Kemudian setelah selesai anak putri tadi menyusul akan mengembalikan pisau tadi dengan diselipkan di perut,

akhirya ketemu lagi dengan Ki Ajar Kupang. Kemudian ditanya oleh Ki Ajar Kupang di mana meletakkan pisau tadi. Si perempuan tadi mengatakan kalau pisaunya diselipkan di perut. Melihat itu Ki Ajar Kupang mengatakan kalau pisau tadi diselipkan di perut bisa hamil. Dan ternyata benar-benar perempuan tadi hamil, karena hamil dan tidak punya suami padahal ia putri modin karena bapaknya marah, kemudian ia diusir. Setelah cukup besar kandungannya bisa bicara, dan meminta kepada ibunya kalau nanti melahirkan jangan di hutan, tapi di atas batu besar di tepi sungai setelah lahir ternyata bayi tadi berwujud ular. Karena telah melahirkan dan tidak punya suami sedangkan nasibnya perlu dikasihani maka ia mendapat julukan si Rondo Kasihan. Kemudian si Rondo Kasihan menyepak ular tadi hingga jatuh ke dalam sungai (jatuh ngeguyur). Waktu itu Ki Ajar Kupang mengetahui dan tempat tersebut diberi nama Getan Gebyrur. Setelah melahirkan si Rondo Kasihan kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di desa Gebyrur. Kemudian setelah besar ular anak si Rondo Kasihan mencari Ki Ajar Kupang. Dalam pencarian itu ia melewati sebuah gunung dan gunung tersebut tugel/ putus terkena tubuhnya, maka kemudian tempat tersebut diberi nama Gunung Tugel. Wates : Dulu ada seorang kepala desa yang mempunyai istri, satu di Pungangan dan satu lagi di Getas Gebyrur, karena kesulitan untuk berkomunikasi, akhirnya kepala desa tadi bertempat tinggal di tengah-tengah antara Getas Gebyrur. Tempat tinggal kepala desa itu dinamakan Desa Watas, karena merupakan batas/watas antara Getas Gebyrur dan Pungangan.

57

DESA SIGAYAM
Tersebutlah kyai Gede Singosari yang merasa kalah lalu melarikan diri dan sampai pada sebuah hutan lebat. Namun ia tidak membuka hutan itu melainkan hanya beristirahat saja dan mengambil sebagian tempat saja yaitu disekitar pohon jati siroyom. Kemudian tempat itu dinamakan Losari mengambil nama belakang kyai Gede Singosari. Pada suatu ketika datanglah dua orang suami istri yaitu kyai Sundoro dan kyai Sundari. Sesampai di daerah sekitar Losari mereka bermaksud untuk membuka hutan, tapi mungkin karena kewibawaan tempat tersebut dan kyai tersebut tidak dapat melawannya akhirnya kedua suami istri itu kembali naik ke hutan sebelah atasnya. Dan dari tempat itulah kemudian mereka kembali membuka hutan dan berhasil. Sebagai peringatan maka ditanamlah pohon gayam. Pohon tersebut tumbuh besar sampai berbuah dan kyai Sundoro sudah bisa melihat buahnya. Setelah cukup lama menetap di situ kyai Sundoro meninggal dunia, oleh penduduk dimakamkan di sebelah barat desa. Dan sebagai tanda penghormatan kepada orang yang telah berjasa membuat pemukiman penduduk, maka desa yang terbentuk itu diberi nama desa Sigayam. Mengambil dari nama pohon yang ditanam oleh kyai Sundoro sewaktu hidup. Akhirnya tempat tersebut menjadi ramai setelah penduduk banyak yang berdatangan dan ada pula yang membuka hutan lagi untuk memperluas wilayah desa Sigayam.

58

DESA SIWATU
Konon kabarnya ada dua orang suami istri yaitu kyai Selogati dan istrinya nyai Selogati. Kedua suami istri tersebut membuka hutan lebat yang akan dijadikan perkampungan. Ketika sedang membuka hutan mereka menemukan sebuah sumur yang penuh dengan batu. Oleh karena itu tempat tersebut untuk mudahnya diberi nama Sumur Watu yang kemudian lambat laun ejaanya berubah menjadi Siwatu. Lambat laun desa Siwatu berkembang menjadi sebuah desa yang ramai. Setelah cukup lama mengabdi pada desa Siwatu kyai Selogaati meninggal dunia. Oleh penduduk dimakamkan di sebelah timur desa Siwatu dan tempat makam itu disebut dengan Lemah Kesucian, konon kabarnya di sekitar wilayah tersebut tidak bolah dijadikan tempat pagelaran wayang kulit. Dan sampai sekarang pun penduduk tidak ada yang berani melanggar pantangan itu. Selain itu di wilayah desa Siwatu juga dapat dijumpai sebuah dukuh dengan nama Sitotok. Konon kabarnya yang membuka daerah tersebut aalah kyai Kloneng. Sewaktu membuka hutan ia menemukan sebuah totok/tempurung kurakura besar. Oleh karena itu tempat tersebut diberi nama Sitotok. Demikianlah akhirnya Sitotok berkembang menjadi desa yang ramai. Selain desa Sitotok juga ada Kepompongan. Di dukuh Kepompongan ini dapat dijumpai tempat yang bernama Kebutuh. Konon kabarnya tempat itu diberi nama Kebutuh karena pada suatu ketika pecah perang antara barat dan sebelah timur sungai. Sewaktu tentara dari sebelah barat mau menyerang timur tiba-tiba datanglah banjir besar sehingga penyerangan tidak diteruskan karena terhalang (dalam bahasa jawa kebutuh) banjir tadi. Dan konon kabarnya kuda beserta peralatan perang sang senopati dikubur di tempat itu karena tidak jadi mengadakan penyerangan. Demikian sebagai peringatan tempat tersebut diberi nama Kebutuh.

59

DESA DRINGO
Dulu ada seorang yang sakti bernama Sutojoyo. Karena kesaktiannya ia sanggup membuka hutan seorang diri. Begitulah dengan ketekunannya di hutan yang semula lebat bisa menjadi perkampungan yang ramai. Namun sayang perkampungan tersebut belum mempunyai nama. Hingga suatu ketika lewatlah seorang Adipati dari daerah Cirebon yang mau menghadap sang ratu di Mataram. Sewaktu lewat di tempat tersebut kudanya terantuk pada akar yang merintang, dan kuda beserta penunggangnya jatuh ke tanah dan kuda itu mati. Kuda yang malang tersebut oleh sang adipati diberi nama Dringo. Dan di tempat itu pula kuda tersebut dikubur. Dan sebagai pertanda bahwa tempat tersebut adalah tempat menguburkan kuda kesayangannya, sang adipati memberi nama tempat tersebut dengan nama desa Dringo. Konon diceritakan bahwa di sebelah barat desa Dringo hidup seorang tua yang bernama mbah Engkuk. Mbah Engkuk mempunyai peliharaan seekor cacing yang sebesar kendang (besar namun panjangnya kira-kira satu meter). Adapun cacing tersebut hidupnya di rawa. Suatu hari mbah engkuk mengambil cacing tersebut, namun ketika sampai di darat cacing tersebut hilang entah kemana. Kemudian tempat tersebut oleh mbah Engkuk diberi nama dengan desa Rowocacing. Adapun rawa-rawa yang ada dapat dijumpai tiap musim hujan, namun pada musim kemarau air rawa tersebut tidak ada lagi.

60

DESA PENANGKAN
Dulu ada seorang prajurit yang bernama Joko Loyoyang melarikan diri dan bersembunyi di belik/sumber air Sinongko. Disebut Sinongko karena sumber air tersebut berada di bawah pohon nangka Wasi (nangka yang sudah tua dan besar sekali). Sewaktu duduk beristirahat ada buah yang masak dan jatuh ke tengah sumber air, dan oleh Joko Loyo diambil dengan maksud akan dipotong-potong untuk dimakan. Namun ketika pedang yang ia gunakan tidak berhasil memotong buah nangka dan jatuh bersama Joko Loyo ke dalam air sumber air tersebut. Tanpa didasari ternyata membuat Joko Loyo membuat sakit. Karena merasa sudah mampu, maka Joko Loyo membuka hutan seorang diri untuk dijadikan perkampungan. Olehnya kampung yang baru dibuka itu diberi nama dengan Penangkan, artinya tempat beradanya pohon nangka. Konon diceritakan, pada suatu hari ada utusan dari Dracik yang mencari di mana sebetulnya tempat petilasan dari Joko Loyo. Dalam perjalanan mencari petilasan tersebut ia selalu mengambil tanah dan menciumnya untuk mengetahui petilasan Joko Loyo. Demikianlah hal itu dilakukan berulang-ulang hingga sampai di daeah Penangkan. Ketika mengambil tanah di situ dan menciumnya, ia merasa cocok bahwa di tempat itulah petilasan Joko Loyo berada. Kemudian sebagai pertanda bahwa itu merupakan tempat petilasan Joko Loyo ditanamlah pohon mangga. Dan sampai sekarang pohon mangga tersebut masih ada di atas petilasan Joko Loyo. Di desa Penangkan ada suatu tempat yang namanya Siguo, konon kabarnya di tempat itu dulu ada seorang yang pertapa yang berasal dari Kesesi. Setelah bertapa tersebut pulang dan di desanya ia terpilih menjadi kepala desa. 50 meter ke bawah dari Siguo dapat dijumpai sebuah batu besar. Penduduk menyebutnya dengan nama batu Gedogan (kandang kuda). Konon kabarnya dari tempat itu kadang terdengar suara kuda yang sedang meninggalkan kandang (gedogan) oleh karena itulah batu itu dinamakan batu Gedogan. Dan oleh penduduk tiap malam

jumat kliwon dalam bulam Suro diberikan sesaji berupa katul dan tetes. Dan 200 meter ke bawah lagi dapat dijumpai makam dari : 1. Syeh Siti Jenar 2. Syeh Jambu Karang 3. Syeh Jambu 4. Syeh Maulana. Keempat orang tersebut berada dalam satu makam dan berada di bawah pohon mangga. Makam tersebut ditandai dengan sebuah batu yang oleh penduduk dinamakan batu Lumpang, karena bentuknya seperti Lumpang (tempat menumbuk padi). Konon kabarnya apabila batu tersebut disingkirkan pasti akan kembali lagi ke tempat semula dengan sendirinya. Sedangkan pedukuhan yang lain adalah Wonoedi. Konon kabarnya yang membuka hutan tersebut adalah mbah Rasup. Dinamakan Wonoedi karena hutan di daerah tersebut itu indah (dalam bahasa jawa edi) kemudian hutan (wono) yang indah (edi) tersebut digunakan untuk memberi nama desa yang baru dibuka oleh mbah Rasup sebagai tanda bahwa di tempat tersebut semula hutannya indah. Di dukuh Wonoedi dapat dijumpai sebuah mata air yang oleh penduduk dipercaya berasal dari Bismo. Mata air tersebut dapat dijadikan tanda, yaitu kalau airnya berwarna putih akan ada penduduk yang meninggal dunia. Hal itu sampai sekarang masih bisa dijumpai dan penduduk mempercayainya.

Você também pode gostar