Você está na página 1de 12

AGAMA UNTUK HIDUP

Berbagai agama dan kepercayaan telah muncul dan menjadi milik seluruh penghuni dunia. Hampir setiap orang di muka bumi ini memiliki agama atau kepercayaan. Namun, sayangnya cukup banyak pula orang yang kebingungan untuk menentukan fungsi agama. Mereka sulit membedakan antara apakah agama untuk hidup, ataukah hidup untuk agama? Karena adanya kebingungan inilah maka banyak orang yang kemudian rela mati demi membela agama, atau mungkin sebaliknya ia terkesan tidak perduli terhadap agamanya. Kalau timbul dua sikap yang saling bertolak belakang seperti ini, sikap apakah yang sebaiknya dilakukan oleh seorang umat beragama? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kiranya perlu diketahui dan disepakati terlebih dahulu bahwa seseorang memilih agama bukan berdasarkan masalah benar atau salahnya suatu agama. Kebenaran maupun kesalahan suatu agama sesungguhnya tidak mudah dibuktikan dalam waktu singkat. Misalnya, suatu agama menjanjikan adanya kelahiran di surga setelah seseorang mengikuti agama tersebut, tentu saja kebenaran tentang hal ini agak sulit diketahui karena sepertinya belum pernah ada orang yang sudah meninggal dunia kemudian hidup kembali di tengah keluarganya untuk melaporkan' kebenaran ajaran ini. Oleh karena itu, lebih banyak orang hanya mempercayai segala sesuatu yang tertulis dalam Kitab Suci sebagai suatu kebenaran mutlak tanpa ada usaha mencari pembuktian yang mendukung kebenaran tersebut. Apabila telah disepakati agama dipilih berdasarkan kecocokan yang bersifat sangat pribadi dan relatif maka semua tentu setuju pula bahwa tidak ada alasan bagi seseorang untuk memaksa orang lain agar mempunyai kecocokan agama yang sama dengan dirinya. Hal ini sama dengan seseorang memilih makanan. Apabila seseorang gemar makanan manis, maka tidak seharusnya ia memaksa dan memusuhi mereka yang tidak mempunyai kegemaran yang sama. Apabila semakin banyak orang yang memiliki pengertian bahwa agama sesungguhnya dipilih berdasarkan kecocokan, maka semakin besar pula harapan untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang aman, tentram dan damai walaupun seseorang hidup di tengah berbagai penganut agama dan kepercayaan yang berbeda. Dalam Dhamma, setelah seseorang cocok dan memilih Ajaran Sang Buddha sebagai agama serta pedoman hidupnya, maka ia hendaknya bersikap selaras dengan nasehat yang diberikan Sang Buddha. Sang Buddha sering mengumpamakan Dhamma atau Ajaran Beliau sebagai rakit yang dipergunakan untuk menyeberangi lautan ketamakan, kebencian serta kegelapan batin sehingga seseorang tiba di pantai seberang yaitu kebebasan dari kelahiran kembali. Dengan demikian, ketika seseorang hendak menyeberangi lautan itu, ia haruslah

menjaga serta merawat rakit tersebut dengan teliti. Artinya, selama seseorang masih diselimuti oleh ketamakan, kebencian serta kegelapan batin, ia hendaknya berusaha mempelajari serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha dengan sebaik-baiknya. Dalam tahap ini, ia harus memperhatikan kelestarian dan kemajuan Buddha Dhamma di muka bumi ini. Namun, setelah ia mencapai pantai seberang yaitu tercapainya kesucian, maka ia boleh saja meninggalkan rakit itu. Rakit tersebut hanyalah alat. Sudah tidak pada tempatnya orang yang telah berhasil menyeberang masih saja susah payah membawa rakit itu kemanapun ia pergi. Demikian pula dengan Buddha Dhamma. Setelah seseorang mencapai kesucian, maka ia hendaknya tidak terikat lagi dengan Ajaran Sang Buddha. Ia telah menjadikan Dhamma sebagai jalan hidup yang sama sekali tidak dapat dipisahkan lagi dari dirinya. Ia hidup, berbicara, bekerja dan berpikir selalu selaras dengan Dhamma tanpa harus mengaku atau menyatakan diri sebagai pemeluk suatu agama tertentu. Ia telah menyatu dalam Ajaran. Ia telah mencapai tujuan hidup tertinggi seorang umat Buddha yaitu terbebas dari kelahiran kembali atau mencapai Nibbana atau Nirvana. Apabila seseorang telah menyadari bahwa Buddha Dhamma hanyalah sebagai rakit atau sarana untuk menyeberangkan seseorang ke pantai seberang, maka kini ia hendaknya merenungkan :Sudahkah saya memanfaatkan Ajaran Sang Buddha untuk meningkatkan kualitas batin saya? Pertanyaan ini sangat penting untuk selalu didengungkan dalam batin agar selalu timbul semangat melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Dhamma bukan sekedar upacara ritual saja. Dhamma berisikan Ajaran Sang Buddha untuk menaklukkan ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Dengan demikian, idealnya, semakin lama seseorang mengikuti suatu agama, semakin baik dan terjaga pula perilakunya. Oleh karena itu, semakin banyak pula manfaat dan kebahagiaan yang diperoleh lingkungannya terhadap kehadiran dia di sana. Sayangnya, dalam praktek hidup beragama, sering dijumpai mereka yang tekun dan rajin melakukan upacara ritual namun tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas perilaku yang sepadan. Mereka hanya melihat agama sebagai lambang atau obyek pemujaan saja. Bahkan, lebih parah lagi, ada sebagian orang menjadikan kegiatan ritual sebagai wisata spiritual. Mereka pergi ke tempat ibadah hanya untuk mendapatkan teman bergurau, memamerkan baju baru, menunjukan handphone terbaru dsb. Mereka tidak sungguh-sungguh menjalani ajaran agama. Bahkan, tingkah laku para senior dalam suatu agama pun sering tidak dapat dijadikan contoh maupun teladan bagi umat yang baru. Jika sudah demikian keadaannya, hendaknya direnungkan sebuah nasehat dalam Dhamma bahwa seseorang menjadi baik bukan karena lamanya ia mengenal suatu agama melainkan karena upaya pelaksanaan Ajaran luhurnya. Kiranya, mereka yang telah mempunyai cara berpikir benar tentang pemilihan agama serta mampu menjadikan Dhamma sebagai rakit untuk memperbaiki perilaku, maka ia lah yang akan berhasil menyeberangi lautan kelahiran kembali.

Agar seseorang mampu menyeberangi lautan ketamakan, kebencian dan kegelapan batin, ia hendaknya mempergunakan rakit Dhamma yang terdiri dari tiga perilaku kebajikan. Ketiga perilaku tersebut adalah kerelaan, kemoralan serta konsentrasi. Ketiga perilaku kebajikan ini menjadi sarana ampuh untuk mengatasi lautan ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Kerelaan mampu mengatasi ketamakan. Kemoralan mampu mengatasi kebencian dan konsentrasi mampu mengatasi kegelapan batin. Agar lebih jelas, berikut ini akan diuraikan sepintas rakit Dhamma yang perlu dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Kebajikan pertama adalah kerelaan yang berguna untuk mengatasi ketamakan. Seperti telah diketahui bersama bahwa manusia pada awalnya merasakan kebahagiaan ketika ia mampu mendapatkan segala yang ia inginkan. Ketika masih bayi dan merasa lapar, ia menangis dan dia menjadi tenang ketika mendapatkan makanan. Ketika seseorang menjadi dewasa, ia akan berbahagia apabila ia mampu mewujudkan atau mendapatkan keinginannya, misalnya sukses bekerja dan berumah tangga. Tentu saja masih sangat banyak contoh kebahagiaan jenis seperti ini. Selain kebahagiaan karena mendapat, kebahagiaan yang lebih tinggi adalah memberi. Kebahagiaan jenis ini diperoleh ketika seseorang mampu merelakan sebagian dari miliknya demi kebahagiaan fihak lain. Jadi, ketika ia masih kanak-kanak, ia merasa bahagia pada saat ia mampu meminjamkan atau bahkan memberikan alat permainannya kepada teman yang kurang mampu. Ketika ia telah dewasa, ia berbahagia pada saat ia mampu berbagi atau memberikan sebagian hasil kerjanya untuk kesejahteraan penghuni panti asuhan maupun yayasan sosial lainnya. Ia merasakan kedamaian dan kebahagiaan ketika ia mampu berbagi atau memberi. Ia berbahagia karena ia mampu mengatasi ketamakan dengan kerelaan. Inilah rakit kerelaan yang mampu mengantarkan seseorang menyeberangi lautan ketamakan. Kebajikan kedua adalah kemoralan yang bermanfaat untuk mengatasi kebencian. Latihan kemoralan paling mendasar dalam Dhamma adalah Pancasila Buddhis atau lima latihan kemoralan. Kelima latihan kemoralan itu adalah latihan untuk tidak membunuh, latihan untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan secara sah atau mencuri, latihan untuk tidak melanggar kesusilaan atau berjinah, latihan untuk tidak berbohong dan latihan untuk tidak mabuk-mabukan. Seseorang yang rajin melaksanakan lima latihan kemoralan ini akan mampu mengikis bahkan melenyapkan kebencian yang timbul dalam batin. Kebencian yang dimaksudkan di sini tentu saja dalam arti yang seluas-luasnya.

Ketika seseorang mampu melatih diri untuk tidak membunuh, maka ia sesungguhnya mulai mampu mengurangi kebencian pada obyek yang biasa dibunuhnya. Misalnya, ia terbiasa membunuh semut yang sering berada di atas meja makan. Jika diteliti, dasar tindakan ini adalah kebencian terhadap semut yang telah mengganggu makanannya. Ia menganggap pembunuhan adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini. Padahal, sesungguhnya pembunuhan hanya salah satu cara mengatasi masalah. Ia mungkin saja bisa meletakkan sejenis cairan di kaki meja makan sehingga mencegah semut naik ke meja dan mengganggu makannya. Kemauan untuk menghindari pembunuhan ini menjadi salah satu upaya mengurangi kebencian. Demikian pula dengan latihan tidak mengambil barang yang tidak diberikan atau mencuri. Salah satu penyebab timbulnya niat mencuri adalah ketidakmampuan seseorang untuk melihat kelebihan orang lain. Dalam batinnya timbul sejenis kebencian' atas keberhasilan atau kelebihan orang lain. Apabila seseorang mampu mengendalikan diri serta mampu melenyapkan dorongan untuk mencuri, maka ia sudah setahap mempunyai kemampuan untuk mengatasi kebencian' yang mencengkeram batinnya. Adapun latihan untuk tidak berjinah atau melanggar kesusilaan diperlukan karena perjinahan terjadi ketika pelaku perjinahan tidak ingin terikat oleh peraturan negara, agama maupun masyarakat. Ia ingin bebas memuaskan keinginannya. Ia benci' dengan segala peraturan yang membatasi berbagai hubungan dalam masyarakat. Dengan demikian, ketika seseorang mampu mengendalikan diri untuk tidak berjinah atau melanggar kesusilaan, maka ia sudah mulai mampu mengendalikan kebencian' yang timbul dalam batinnya terhadap berbagai peraturan yang harus dipatuhi sebagai konsekuensi logis hidup bersama dalam masyarakat. Ia telah sadar bahwa sebagai anggota masyarakat ia tentu harus terikat untuk mematuhi aturan serta kesepakatan yang ada. Sedangkan latihan untuk tidak berbohong adalah latihan untuk mengurangi bahkan melenyapkan kebencian' seseorang pada kebenaran diri yang mungkin menyakitkan atau memalukannya. Ia tidak ingin mengungkapkan kebenaran yang mengkondisikan dirinya tampak buruk dihadapan orang lain. Ia benci' kenyataan buruk atas dirinya ini. Ia lebih baik berbohong daripada mendapatkan celaan. Padahal, dengan mampu berlatih untuk tidak berbohong, seseorang sudah mulai mampu mengurangi kebencian' terhadap kenyataan buruk yang ada pada dirinya. Ia mampu menerima kenyataan dan keburukan dirinya sebagaimana adanya. Terakhir adalah latihan untuk tidak makan serta minum barang-barang yang memabukkan. Dorongan untuk mabuk sering timbul karena seseorang membenci' kenyataan pahit yang harus dialaminya. Ia tidak menyukai penderitaan yang datang dalam hidupnya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan. Oleh karena itu, mereka yang mampu menahan diri untuk

tidak mabuk-mabukan adalah orang yang mulai mampu mengendalikan kebencian' dari dalam batinnya. Dengan uraian singkat pelaksanaan masing-masing latihan kemoralan di atas, kiranya sudah sangat jelas bahwa kelima latihan kemoralan tersebut menjadi sarana ampuh atau rakit Dhamma untuk menyeberangi lautan kebencian yang ada dalam diri seseorang. Kebajikan ketiga adalah mengembangkan konsentrasi untuk mengatasi kegelapan batin. Kegelapan batin yang dimaksudkan di sini adalah ketidakmampuan seseorang untuk melihat kenyataan hidup bahwa segala sesuatu selalu berubah, tidak kekal. Ketidakmampuan ini menjadikan pikirannya selalu berada di masa lampau maupun masa yang akan datang. Padahal, masa lampau hanya tinggal sejarah yang harus dijadikan pelajaran. Sedangkan masa depan adalah harapan yang harus dijadikan tujuan. Dengan demikian, masa sekarang adalah kenyataan. Masa sekarang adalah saat tepat untuk mengisi kehidupan dengan berbagai perbuatan baik secara maksimal agar dapat memperbaiki masa lalu dan meningkatkan kualitas batin di masa depan. Agar seseorang mampu mengendalikan pikiran untuk selalu sadar bahwa hidup adalah saat ini, ia hendaknya membiasakan diri melatih pikiran dengan latihan konsentrasi atau lebih dikenal dengan meditasi. Ada bermacam-macam cara meditasi. Namun, dalam kesempatan ini akan diuraikan salah satu cara yang paling sederhana dan mudah dipraktekkan. Pada prinsipnya, meditasi dilakukan dengan mengamati dan menyadari segala gerak gerik pikiran, ucapan maupun perbuatan. Latihan konsentrasi ini dibantu dengan sering mengucapkan dalam batin kalimat pertanyaan, Saat ini saya sedang apa? Kemampuan seseorang untuk selalu sadar bahwa hidup adalah saat ini akan menjadikan batinnya selalu tenang. Ia mengerti bahwa kegelisahan timbul ketika ia memikirkan masa lampau maupun masa depan. Ia juga mengerti bahwa hal itu pula yang menyebabkan timbulnya kecemasan. Dengan selalu sadar bahwa hidup adalah saat ini, ia menjadi terbebas dari kegelisahan maupun kecemasan. Ia sadar sepenuhnya bahwa hidup selalu berubah. Ia tidak lagi terpengaruh oleh perubahan. Batinnya seimbang. Ia terbebas dari kegelapan batin. Ia mencapai kesucian atau Nibbana. Latihan konsentrasi menjadi sarana ampuh atau rakit untuk menyeberangi lautan kegelapan batin. Dengan melakukan ketiga kebajikan yaitu kerelaan, kemoralan serta konsentrasi seseorang akan mampu mengatasi ketamakan, kebencian dan kegelapan batin. Ia akan mencapai kesucian atau Nibbana. Ia mencapai tujuan akhir dan tertinggi seorang umat Buddha. Oleh karena itu, tidak ada waktu lagi untuk seseorang menunda kesempatan mengembangkan ketiga kebajikan tersebut di setiap saat. Jadikanlah agama sebagai rakit karena agama adalah untuk

hidup, bukan hidup untuk agama. Pergunakanlah setiap waktu kehidupan yang sangat berharga untuk mengendarai rakit Dhamma menyeberangi lautan kegelapan batin. Semoga keterangan singkat tentang agama untuk hidup' ini dapat memberikan manfaat dan kebahagiaan. Semoga pemahaman tentang rakit Dhamma akan mendorong setiap orang selalu bersemangat melaksanakan Ajaran Sang Buddha untuk mencapai pantai seberang dalam kehidupan ini pula. Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun yang tidak tampak, akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi kammanya masing-masing. Semoga demikianlah adanya. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta ---------------------------------------------------------Tanya Jawab Pertanyaan : Pertama, apakah pengertian agama ? Dalam pengertian lain, disebutkan bahwa istilah agama' terdiri dari dua kata yaitu a' yang berarti tidak, dan gama' yang berarti mati atau pergi. Jadi, agama bertujuan agar orang tidak mengalami kematian yaitu mendapatkan hidup kekal setelah kiamat. Kedua, kenapa orang perlu beragama? Jawaban : Agama berdasarkan sejarah, sebenarnya adalah buatan manusia setelah Sang Guru atau nabi wafat. Mereka, para guru dan nabi, adalah orang yang mengajar kebajikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat yang ada saat itu. Mereka tidak mengumumkan kepada masyarakat bahwa mereka membuat suatu agama tertentu. Dalam pengertian Dhamma, agama adalah pelembagaan Ajaran Sang Buddha ditambah dengan berbagai tradisi yang berasal dari masyarakat tempat Ajaran Sang Buddha itu berkembang. Maksud Ajaran Sang Buddha di sini adalah berbagai uraian yang diajarkan Sang Buddha agar siapapun yang melaksanakan mampu melenyapkan ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Sedangkan tradisi adalah tata cara ritual yang disesuaikan dengan kondisi atau kebudayaan setempat. Sedangkan manusia perlu beragama karena masa hidup manusia yang relatif cukup singkat. Katakanlah usia manusia saat ini rata-rata 75 tahun. Apabila ia harus belajar dan mencoba sendiri berbagai sistem kebajikan, maka mungkin usia yang ia miliki tidak mencukupi untuk mencapai hasil maksimal. Dengan mengikuti suatu agama yang sudah ada, manusia akan

lebih banyak mempunyai kesempatan untuk melaksanakan dan membuktikan kecocokan suatu agama. Ia lebih cepat mendapatkan pedoman hidup yang langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga ia menjadi orang yang lebih baik dalam perilaku, ucapan maupun cara berpikir. Pertanyaan : Pertama, apakah ada hubungannya kita beragama A, B atau C dengan karma masa lampau ? Kedua, kita menganut Agama Buddha karena dianggap cocok, namun kenapa hanya sedikit orang yang berani menyatakan diri sebagai umat Buddha ? Jawaban : Seseorang mengikuti suatu agama memang salah satunya adalah karena adanya ikatan kamma yang ia miliki dengan agama tersebut. Dalam Dhamma memang disampaikan bahwa seseorang terlahir di suatu tempat, oleh orangtua tertentu, memiliki teman tertentu maupun agama tertentu adalah karena ikatan kamma yang dimilikinya sejak kehidupan sebelumnya. Oleh karena itu, dalam Dhamma disampaikan apabila seseorang ingin mengenal Dhamma kembali di kehidupan mendatang, maka ia hendaknya selalu bertekad menjadi umat Buddha sejak di kehidupan ini. Kekuatan tekad inilah yang nantinya menjadi salah satu penyebab seseorang cocok dengan suatu agama. Sedangkan umat Buddha yang sering tidak mengakui agamanya kemungkinan besar hanya terjadi di Indonesia. Sikap tersebut mungkin terpengaruh oleh kehidupan berpolitik di negara ini. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan para umat Buddha di negara Buddhis. Mereka dengan tegas dan jelas mengaku dirinya sebagai umat Buddha. Dengan demikian, keengganan menyebutkan dirinya sebagai umat Buddha sangat tergantung pada orang dan kebudayaan setempat, bukan karena Ajaran Sang Buddha. Meskipun demikian, manfaat Ajaran Sang Buddha akan tetap sama untuk mereka yang berjuang melaksanakan Dhamma tanpa dibedakan keberanian mengaku atau tidak mengaku dirinya adalah umat Buddha. Pertanyaan : Bagaimana cara memasyarakatkan agama untuk hidup ? Jawaban : Pertama, harus dijelaskan terlebih dahulu kepada masyarakat bahwa dasar pemilihan agama bukan masalah benar dan salah, namun hanya karena kecocokan. Seseorang memilih

agama tertentu karena ia cocok. Adapun agama yang tidak ia pilih adalah karena ia tidak cocok, bukan karena agama itu salah atau sesat. Kedua, jelaskan pula kepada masyarakat bahwa agama bersifat pribadi. Dengan demikian, seseorang memilih agama tertentu sebagai agamanya adalah hak pribadinya, tidak bisa diganggu gugat. Demikian pula dengan orang lain yang mungkin mempunyai pegangan agama yang berbeda. Masing-masing hendaknya mengakui hak dan kebebasan memilih agama yang dimiliki oleh setiap orang. Pemilihan agama tidak perlu diperdebatkan maupun dipaksakan. Dengan mempertanyakan atau mengajak berdebat apabila bertemu dengan mereka yang berbeda agama, maka di bawah sadar sebenarnya telah muncul pemikiran dalam dirinya bahwa agama sendiri baik sedangkan agama orang lain tidak baik, tidak benar bahkan sesat. Ketiga, apabila seseorang bertemu dengan orang yang memaksakan agamanya sehingga meresahkan masyarakat, maka ia hendaknya berusaha memberikan penjelasan secara baik-baik atas sikapnya yang kurang bisa diterima. Selain itu, ia hendaknya menjadikan pengalaman ini sebagai pelajaran agar ia sendiri di masa depan tidak meniru sikap buruk tersebut. Dengan demikian, apabila seseorang ingin memperbaiki kondisi masyarakat yang terdiri dari banyak agama dan kepercayaan ini, maka mulailah dengan memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Jadikanlah diri sebagai contoh kebajikan. Dengan demikian, apabila semakin banyak orang yang meniru kebajikan yang telah ia lakukan, maka semakin banyak pula anggota masyarakat yang mempunyai pemikiran bahwa agama untuk hidup. Jadi, tujuan memasyarakatkan pengertian ini dapat dicapai dengan menjadikan diri sendiri sebagai salah satu teladan masyarakat. Pertanyaan : Pertama, dalam Agama Buddha, tujuan terakhir adalah Nibbana atau Nirwana. Apakah dari umat beragama lain bisa mencapai tujuan tersebut? Kedua, apabila agama adalah rakit, setelah selesai dipergunakan untuk menyeberang apakah rakit itu tidak perlu dikenang atau diturunkan kepada yang lain? Jawaban : Menjawab pertanyaan pertama, perlu diketahui bahwa pencapaian kesucian atau Nibbana adalah salah satu dari tiga tujuan seorang umat Buddha. Ketiga tujuan hidup itu adalah pertama, mencapai kebahagiaan di dunia dengan kecukupan minimal empat kebutuhan pokok yaitu pakaian, makanan, tempat tinggal dan sarana kesehatan. Kedua adalah mencapai kebahagiaan setelah meninggal dunia yaitu terlahir di salah satu alam surga karena kebajikan melalui badan, ucapan dan pikiran yang telah ia lakukan selama hidupnya. Tujuan hidup ketiga barulah

mencapai kesucian yaitu berhasil membebaskan diri dari ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Dalam pengertian Dhamma, Agama Buddha hanyalah pelembagaan Ajaran Sang Buddha dengan menambahkan berbagai tradisi masyarakat setempat. Agama bukanlah hal penting. Jauh lebih penting dari Agama Buddha adalah pelaksanaan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan Ajaran Sang Buddha tersebut adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan yaitu Pikiran Benar, Pandangan Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Konsentrasi Benar dan Perhatian Benar. Jadi, meskipun seseorang bukan umat Buddha, namun apabila ia mau dan mampu melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan tersebut, ia mempunyai kesempatan mencapai kesucian atau Nibbana. Ia bisa mencapai Nibbana bahkan tanpa harus mengaku dirinya sebagai umat Buddha terlebih dahulu. Namun, kalaupun ia tidak bisa mencapai Nibbana, pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan akan memberikan kebahagiaan baginya di dunia maupun di alam surga setelah meninggal nanti. Menjawab pertanyaan kedua, setelah seseorang melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan dan mencapai kesucian maka Buddha Dhamma menjadi gaya hidup dan cara berpikirnya. Ia sudah tidak dapat dipisahkan lagi dengan Dhamma. Segala tindakan, ucapan dan pikiran yang dilakukan setiap saat selalu selaras dengan Dhamma. Ia telah menyatu dengan rakit Dhamma yaitu kerelaan, kemoralan serta konsentrasi. Oleh karena itu, orang lain hanya bisa meniru namun tidak bisa mendapatkan 'warisan' rakit Dhamma tersebut. Mereka yang mau meniru dengan menjadikan Dhamma sebagai jalan hidup atau rakit, maka mereka pula yang nantinya juga akan mencapai kesucian atau pantai seberang yaitu Nibbana. Pertanyaan : Pertama, dalam kehidupan masyarakat sekarang ini moralitas rendah, perasaan sosial hancur, tindak kejahatan bemunculan di sana sini dan sangat mempengaruhi pikiran umat manusia. Dalam kondisi yang seperti ini apakah mungkin agama mengubah moralitas manusia menjadi lebih baik? Kedua, para nabi dan para suci sejak jaman dulu sampai sekarang selalu mengajarkan manusia untuk tidak melakukan kejahatan. Tetapi kenyataannya, umat manusia sekarang tidak menjadi baik tapi menjadi lebih buruk. Sebagai contoh, belakangan ini sering diketahui dari media massa bahwa seorang ayah menggauli anaknya sendiri sehingga melahirkan anak. Apa sebab semua hal ini bisa terjadi?

Jawaban : Agama selalu berbicara tentang kebaikan. Namun, dalam pelaksanaan kehidupan beragama sering terjadi kekeliruan penafsiran agama. Kadang terdapat orang yang keliru memahami Kitab Suci yang ia baca. Akan tetapi, ia kemudian sudah melakukan tindakan berdasarkan pengertian salah yang ia miliki. Akibatnya, semakin lama ia mengikuti suatu agama, perilaku yang ditunjukkan semakin merugikan diri sendiri dan menakutkan lingkungannya. Padahal, seharusnya tujuan seseorang mengikuti suatu agama adalah untuk mencapai kebahagiaan dalam dirinya maupun lingkungannya. Dalam kondisi demikian, pertanyaan mungkinkah agama mengubah moralitas manusia menjadi lebih baik?' harus dicermati secara individu, bukan secara global. Hal ini karena mereka yang mempelajari serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha, dalam menyikapi keadaan masyarakat yang kurang baik ini akan selalu membangkitkan pertanyaan di batinnya, Sudahkah saya berperanserta dalam membangun masyarakat yang lebih baik? Mampukah saya melakukan kebajikan dan menghindari kejahatan yang berpotensi menakutkan masyarakat? Pertanyaan ini timbul sehubungan tujuan Ajaran Sang Buddha adalah untuk mengubah dan memperbaiki diri, bukan masyarakat. Karena itu, apabila seseorang mampu menjadi baik berarti dalam masyarakat akan bertambah satu orang baik yaitu dirinya. Semakin banyak orang menjadi baik, tentu kondisi moralitas masyarakat akan semakin baik pula. Demikianlah, meningkatkan moralitas dalam masyarakat dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Kemauan untuk mengubah lingkungan atas nama agama justru akan menimbulkan teror masyarakat yang sangat menakutkan. Lalu pertanyaan kedua, pendidikan agama telah diberikan dimana-mana, namun orang jahat juga masih banyak. Tentu saja peranan umat beragama adalah berusaha tanpa kenal lelah maupun bosan untuk memberikan bimbingan moral kepada mereka. Berikanlah pengertian tentang Hukum Sebab dan Akibat bahwa mereka yang melakukan kejahatan akan mendapatkan penderitaan maupun kesulitan. Namun, kalau orang itu tetap tidak mau mengerti, maka besar kemungkinan cara memberikan nasehat yang kurang tepat. Untuk itu, ubahlah cara menginformasikan Hukum Sebab dan Akibat agar lebih menarik dan mengena. Atau carilah orang yang sesuai untuk menasehatinya. Dengan demikian, sedikit demi sedikit orang itu akan menjadi lebih baik perilakunya. Selain itu, para pemuka agama hendaknya juga memberikan contoh dan teladan kebajikan. Dengan demikian, akan semakin banyak umat yang menjadi baik pula. Tanpa adanya contoh dari pimpinan agama, tentunya sulit mengharapkan umat bersikap lebih baik daripada pimpinan agamanya. Jadi, hal paling perlu dilakukan umat beragama Buddha agar ia mampu membantu meningkatkan kemoralan masyarakat adalah dengan selalu bertanya pada diri sendiri, Sudahkah saya berperilaku baik sesuai dengan Ajaran Sang Buddha? Jika belum dilaksanakan,

tentu masih belum terlambat untuk memulainya sekarang juga. Apabila ia sudah melaksanakannya, hendaknya ia terus meningkatkan pelaksanaan Ajaran Sang Buddha sampai ia mencapai kesucian atau Nibbana. Pertanyaan : Banyak orang beragama melakukan tindakan buruk. Masyarakat menilai bahwa kejadian itu adalah salah oknumnya, bukan agamanya. Padahal, seharusnya, kalau seseorang beragama bertindak jahat, ia sebaiknya keluar dari agamanya agar tidak memalukan agamanya. Apakah pandangan ini bisa dibenarkan? Jawaban : Agama adalah rakit. Agama hendaknya bermanfaat pula untuk mereka yang berperilaku buruk. Kalau semua orang yang berperilaku buruk diminta keluar dari agama, tentunya perilaku mereka akan bertambah buruk jadinya. Kasihan. Pandangan demikian adalah kurang benar. Justru mereka perlu dibantu oleh agama yang mereka percayai agar mereka mampu berperilaku lebih baik. Kalaupun pada saat ini ia masih belum sempurna melaksanakan seluruh ajaran agama, kiranya hal itu bisa dimaklumi. Ia masih dalam proses menyeberang dengan rakit agama. Semakin jauh dari pantai seberang, tentu perilaku yang ditunjukkan semakin jauh pula dari tujuan hidup beragama. Namun, setahap demi setahap, dibimbing dengan penuh kesabaran dan keuletan, kiranya orang tersebut dapat diarahkan agar mempergunakan rakit atau agamanya untuk memperbaiki perilakunya. Tentu saja, ketika ia telah mencapai pantai seberang, perilakunya otomatis menjadi baik. Ia tidak tercela lagi. Oleh karena itu, hendaknya dimengerti bahwa seseorang yang menjadi baik setelah mengikuti suatu agama bukan diukur dari lamanya ia telah belajar agama, melainkan dari kesediaannya untuk melaksanakan berbagai ajaran yang ada dalam agamanya. Kesediaan ini diperlukan karena ajaran agama adalah untuk mengatasi diri sendiri sehingga menjadi orang baik dan tidak menimbulkan masalah untuk lingkungannya. Pertanyaan : Ajaran Sang Buddha bermanfaat untuk mengurangi ketamakan. Padahal, kalau dipikir lebih mendalam seseorang yang ingin mendengarkan ceramah Dhamma apakah ia termasuk tamak karena ia ingin 'mendapat'? Ketika mengajak orang lain mendengarkan Dhamma, apakah hal ini juga termasuk tamak karena ia ingin 'mendapat'? Ingin bermeditasi agar mendapatkan ketenangan, apakah juga termasuk tamak karena hal ini berangkat dari keinginan 'mendapat'? Apakah benar pemikiran ini ?

Jawaban : Seseorang memang tampak bersikap 'tamak' ketika ia mengajak teman-teman mendengarkan Dhamma. Namun, apabila ditinjau dari sisi lain, ia sebenarnya justru mengembangkan kerelaan karena ia memberi kesempatan kepada teman-teman untuk mendapatkan Dhamma. Dalam pelaksanaan kerelaan, kemoralan serta konsentrasi, Sang Buddha tidak pernah menyebutkannya sebagai ketamakan. Tidak pernah, walaupun hanya sekali. Semua perilaku kebajikan itu justru merupakan latihan mengurangi ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Adalah wajar apabila seseorang untuk mendapatkan kemajuan, ia perlu belajar terlebih dahulu. Ia belajar Dhamma untuk mengurangi ketamakan. Ia belajar meditasi untuk mengurangi ketamakan. Belajar Dhamma di sini hanyalah sebagai rakit, sebagai alat bukan tujuan. Tujuan yang hendak dicapai tetap sama yaitu mengurangi bahkan melenyapkan ketamakan. Kondisi ini sama dengan seseorang yang sakit dan diberi obat oleh dokter. Pasien tersebut sesungguhnya diberi dokter sejenis 'racun' untuk mengatasi penyakitnya. Jadi, dalam istilah umum disebut dengan racun mengalahkan racun. Demikian pula tujuan 'tamak' belajar dan melaksanakan Dhamma adalah untuk mengatasi ketamakan yang telah terbawa sejak lahir sehingga ia berhasil mencapai kesucian. Pada saat seseorang mencapai tahap kesucian yang tertinggi inilah ia sama sekali terbebas dari segala bentuk ketamakan.

Você também pode gostar