Você está na página 1de 60

BAB I PENDAHULUAN Pasien dengan penyakit hati sering kali harus menjalani operasi.

Diperkirakan 1 di antara 700 pasien yang masuk ke rumah sakit untuk menjalani operasi elektif memiliki gambaran fungsi hati yang abnormal. Sekitar 10% pasien penyakit hati akan menjalani operasi pada dua tahun terakhir masa hidupnya.1 Penemuan dan pemberian obat anti viral terhadap penyakit hepatitis B dan C terus meningkat dan berkembang sehingga kualitas hidup penderita juga semakin membaik. Demikian halnya dengan penderita sirosis hati kelangsungan hidupnya menjadi lebih lama karena factor penyulit seperti varises esofagus, koagulopati, masalah gizi dan asites relative sudah dapat ditangani lebih baik. Sebelum klinisi memutuskan apakah pasien dengan gangguan fungsi hati layak atau tidak dilakukan operasi maka sebelumnya harus dilakukan penilaian preoperatif sehingga dapat diprediksi risiko morbiditas dan mortalitasnya. Masalahnya adalah sampai saat ini belum ada parameter sensitif yang dapat menggambarkan korelasi yang kuat antara hasil pemeriksaan biokimiawi dengan derajat kerusakan hati. Penilaian preoperatif pada pasien dengan penyakit hati sangat penting karena semakin luas tingkat kerusakan hati semakin besar pula risiko kematian. Jenis tindakan operasi dan sifat operasi (emergensi atau tidak) juga sangat berpengaruh pada risiko mortalitas.2 Pasien dengan gangguan fungsi hati secara hemodinamik sangat rentan terhadap penurunan pasokan darah ke hati (hepatic blood flow). Tindakan operasi dan anestesi yang dapat menurunkan pasokan darah ke hati menimbulkan komplikasi pasca-operasi. Dengan demikian manajemen perioperatif yang optimal pada pasien dengan penyakit hati yang akan menjalani operasi sangat penting karena dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Penilaian preoperatif yang baik dapat memprediksi kelangsungan hidup pasien dengan akurasi 90% pada pasien sirosis yang menjalani operasi abdomen.1 Masalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran (1) bagaimana pengaruh tindakan operasi dan anestesi pada pasien dengan penyakit hati, (2) risiko tindakan operasi pada pasien dengan penyakit hati (3) penilaian dan penanganan perioperatif pada pasien dengan penyakit hati.

BAB II ANATOMI DAN FUNGSI HEPAR 2. 1. Anatomi hepar Hepar adalah organ visera solid yang terbesar dalam tubuh manusia. Pada orang dewasa beratnya dapat mencapai dua kilogram (lazimnya 1500 1800 gram pada pria dan1300 1500 gram pada wanita) atau sekitar 1/50 dari berat badannya, sedangkan pada bayi sekitar 1/18 (atau sekitar 5% dari berat badan). Berat relatif ini berkurang 2-3% setiap tahunnya seiring bertambahnya usia. Hepar terletak di kuadran kanan atas abdomen, inferior dari diafragma, dan terlindungdi balik costae kanan bawah. Dari anterior bentuk hepar menyerupai segitiga, permukaannya licin, warnanya merah gelap kecoklatan dan terdiri atas dua lobus (lobus kanan dan lobus kiri), lobus kanan kira-kira enam kali lebih besar daripada lobus kiri. Kedua lobus dipisahkan oleh adanya ligamentum falsiforme. Di bagian inferior hepar terdapat fisura untuk ligamentum teres hepatis dan di posterior terdapat fisura untuk ligamentum venosum. Ligamentum teres hepatis merupakan sisa dari vena umbilikalis fetus/janin,sedangkan ligamentum venosum merupakan sisa dari ductus Arantii.

Setiap lobus mengandung unit-unit yang lebih kecil lagi yang disebut lobules, yang terdiri atas vena kecil yang dikelilingi oleh sel-sel hati (hepatosit), sistem saluran empedu (kanalikuli biliaris), dan sistem saluran limfe (ruang Disse dan saluran limfe interlobularis). Umumnya sebuah hepar mengandung 50.000 sampai 100.000 lobuli. Lobulus mengelilingi vena sentralis yang selanjutnya menuju ke vena hepatika. Lobuli dipisahkan oleh suatu jaringan fibrosa yang dinamai septum interlobularis. Di dalam septum ini ada strukturstruktur arteriol hepar, venula porta (nantinya vena ini menyatu dengan vena sentralis membentuk vena hepatika), dan duktus biliaris (kelak bersatu menjadi duktus biliariskomunis). Ketiga struktur tersebut disebut sebagai triad porta.

Lebih jauh lagi, hepar tersusun atas sel-sel parenkim dan mesenkim, sistem saluran biliaris, pembuluh darah dan limfe, saraf, serta matriks ekstraseluler. Hepatosit merupakan sel-sel pembentuk parenkim hati, sekitar 60% populasi sel total dan 80% volume total hepar.Sel hepatosit berbentuk poligonal, dengan 6 sisi atau lebih. Rentang usia hepatosit dalam kondisi normal sedikitnya 150 200 hari, selanjutnya akan mati setelah mengalami apoptosis. Sebagai unit fungsional hepar, hepatosit menjalankan berbagai fungsi penting meliputi detoksifikasi, sintesis dan metabolisme.

Peredaran darah hepar tergolong unik, karena adanya aliran darah rangkap, arterial dan venosa. Aliran darah arterial diterima hepar dari arteria hepatica communis , yang mendapat aliran darah dari arteria coeliaca (pada perjalanannya mempercabangkan Arteria splenica, arteria phrenica, dan arteria gastrica sinistra), sedangkan aliran darah venosa didapatkan dari vena porta yang mengalirkan darah dari intestinal. Pembuluh darah tersebut masuk ke hepar melalui porta hepatis. Di dalam porta tersebut, vena porta dan arteria hepatika tadi bercabang menjadi dua, masing-masing menuju ke tiap-tiap lobus. Arteria dan vena ini akan beranastomosis, dan kemudian akan bercabang-cabang menjadi Arteriae interlobulares dan kemudian arteriol intralobulares, yang mengalirkan darah ke lobules hepar. Aliran darah vena dari hepar berawal dari pusat lobulus tempat vena hepatica centralis berawal, kemudian menyatu ke vena sublobular yang nantinya juga menyatu menjadi 5 trunkus venosus (vena hepatica superior dextra et sinistra,vena hepatica inferior dextra,intermedia et sinistra). Kedua vena hepatica superior menerima darah venosa dari segmen-segmen terdekat ke vena cava inferior di permukaan posterior hepar, sedangkan kelompok vena hepatika inferior bervariasi dalam ukuran, jumlah maupun muaranya.

Berdasarkan aliran arterial dan portal, hepar dibagi menjadi dua bagian, kanan dan kiri (namun tidak identik dengan lobus kanan dan kiri hepar) berdasarkan bidang imajiner yang melalui vena hepatika media. Bagian kanan dan kiri ini merupakan unit independen yang terpisah satu sama lain dalam hal suplai arterial dan venosa serta pengaliran empedu/biliaris. Kedua bagian tersebut kemudian dibagi lagi masing-masing menjadi 2 sektor, sektor anterior dan sektor posterior, berdasarkan daerah yang dialiri vena hepatica kanan dan kiri. Vena porta sendiri mempercabangkan cabang utama kanan dan kiri yang masing-masing mengalirkan darah ke bagian kanan dan kiri hepar. Selanjutnya masing-masing cabang utama vena porta bercabang-cabang lagi untuk menyuplai keempat sektor.Berdasarkan percabangan ini, masing-masing sektor hepar dibagi dua segmen, kecuali untuk sektor kiri-posterior yang tetap satu lobus (lihat penjelasan di bawah). Tiap segmen memiliki suplai vaskuler dan drainase biliernya sendiri. Pembagian ini dihasilkan 8 segmen. Bagian kanan hepar terdiri atas sektor kanan-posterior yang meliputi segmen 6 (inferior) dan 7(superior), serta sektor kanan-anterior yang meliputi segmen 5 (inferior) dan 8 (superior).Bagian kiri hepar terdiri atas sektor kiri-anterior yang meliputi segmen 4 (medial) dan 3(lateral), yang dipisahkan oleh fisura umbilikalis, serta sektor kiri-posterior yang memilikisatu segmen saja (segmen 2). Segmen 1 adalah lobus kaudatus, yang memiliki keistimewaan karena menerima aliran darah venosa dari cabang-cabang vena porta kanan kiri, serta mengalirkan darah venosanya langsung ke vena cava inferior di retrohepatik.

Anatomi hepar. Vena

segmental hepatica

(biru) dan cabang-cabang besar vena porta (merah) saling berjalin. Masingmasing dari cabang utama keempat vena sector dibagi lagi oleh hepatika yang disuplai oleh satu cabang vena porta. Selanjutnya percabangan triad porta membagi lagi sektor menjadi delapan segmen yang independen ,masing-masing dengan suplai darah dan drainase biliernyasendiri.

2.2 Fisiologi hepar Fungsi hepar sangatlah vital bagi kesehatan seseorang. Hepar merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 25% oksigen darah. Ada beberapa fungsi hepar yaitu : 1.Metabolisme Karbohidrat Dalam karbohidrat antara lain: a)Menyimpan glikogen. b)Mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, c)Tempat proses terjadinya glikogenesis, glikogenolisis, dan glukoneogenesis. d)Membentuk senyawa kimia penting dari hasil karbohidrat Hasil pencernaan akhir karbohidrat dalam saluran pencernaan hampir selalu dalam bentuk glukosa, fruktosa, dan galaktosa dengan glukosa ratar a t a 8 0 % d a r i keseluruhan. Setelah penyerapan dari saluran pencernaan , sebagian fruktosa dan hampir semua g a l a k t o s a d e n g a n s e g e r a d i u b a h m e n j a d i g l u k o s a . F r u k t o s a s e b a g i a n d i u b a h menjadi glukosa sewaktu diabsorpsi melalui sel epitel pencernaan ke dalam darah p o r t a . S e b a g i a n besar fruktosa yang tersisa d a n t e r u t a m a s e l u r u h g a l a k t o s a kemudian diubah menjadi glukosa oleh hepar Hepar penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Sebagai contoh penyimpanan glikogen memungkinkan hati mengambil kelebihan glukosa dari darah, menyimpannya dan kemudian mengembalikan kembali ke darah bila konsentrasi glukosa darah mulai menurun terlalu rendah. Proses ini dinamakan glikogenesis yang berarti proses pembentukan glikogen. Sedangkan pemecahan glikogen untuk menghasilkan glukosa kembali ke dalam sel disebut glikogenolisis. Glukoneogenesis dalam hepar juga berfungsi untu mempertahankan konsentrasi usul perantara metabolisme metabolisme hepar

mempunyai fungsi spesifik,

normal glukosa, konsentrasi

karena glukoneogenensis darah

hanya

meningkat apabila normal.

glukosa

mulai menurun dibawah

P a d a k e a d a a n demikian, sejumlah besar asam amino diubah menjadi glukosa, dengan demikian m e m b e r i k a n j a l a n s e h i n g g a g l u k o s a d a r a h relatif normal. 2. Metabolisme lemak Metabolisme Lemak Fungsi spesifik hepar dalam metabolisme lemak antara lain adalah: a)Oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat dan pembentukan asam asetoasetat. b)Pembentukan sebagian besar lipoprotein c)Pembentukan sejumlah besar kolesterol dan fosfolipid. d)Pengubahan sejumlah besar karbohidrat dan protein menjadi lemak. Untuk memperoleh energi dari lemak, pertamatama lemak dipecah menjadi gliserol dan asam lemak,kemudian asam lemak dipecah oleh oksidasi beta menjadi radikal asetil berkarbon 2 yang kemudian memasuki membentuk asetilkoenzim A(asetil-KoA).Ini selanjutnya dapat dapat mempertahankan konsentrasi

siklus asam sitrat dan dioksidasi untuk membebaskan sejumlah besar energi. Oksidasi beta dapat terjadi di semua s e l t u b u h , n a m u n t e r j a d i d e n g a n c e p a t di sel hepar. Hepar sendiri tidak dapat m e n g g u n a k a n a s e t i l - K o a y a n g dibentuk tetapi cairan ekstraseluler d i u b a h d e n g a n k o n d e n s a s i 2 molekul dari asetil-Koa dan kemudian ditranspor ke seluruh tubuh untuk kembali menjadi asam asetoasetat, yaitu asam dengan kelarutan tinggi dari sel hepar ke diabsorbsi oleh jaringan lain. Jaringan ini kemudian mengubah

asam asetoasetat menjadi asetil-Koa dan mengoksidasinya dengan cara biasa. Kira kira 80% kolesterol yang disintesis diubah menjadi garam empedu, y a n g kemudian disekresi kembali ke dalam empedu ; sisanya diangkut dalam lipoprotein yang dibawa darah ke semua sel jaringan tubuh. Fosfolipid j u g a disintesis di hepar terutama ditranspor dalam lipoprotein. Fosfolipid dan kolesterol digunakan oleh sel untuk membentuk membran, struktur intrasel uler , d a n bermacammacam zat kimia yang penting untuk fungsi s e l . S e b a g i a n b e s a r sintesis lemak dalam tubuh dari karbohidrat dan protein juga terjadi dalam hati.Setelah lemak disintesis dalam hati, kemudian ditranspor dalam bentuk lipoprotein ke jaringan lemak untuk disimpan.

3. Metabolisme protein

Hepar mempunyai peran yang sangat penting pada metabolisme protein, karena bila hepar tidak berperan dalam metabolisme protein dalam beberapa hari sajamaka dapat terjadi kematian.Fungsi hepar yang paling penting dalam metabolisme protein adalah : a)Deaminasi asam amino. b)Pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh. c)Pembentukan plasma protein. d)Interkonversi diantara asam amino yang berbeda dan ikatan yang penting lainnya untuk metabolisme tubuh.(Guyton&Hall, 2006) Deaminasi asam amino dibutuhkan sebelum dapat dipergunakan untuk energi atausebelum dapat diubah menjadi karbohidrat atau lemak. Pembentukan ureum olehhepar mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, sejumlah besar amonia dibentuk dengan proses deaminasi dan masih ditambah pembentukkan secara kontinu dalam u s u s o l e h bakteri dan kemudian diabsorpsi ke dalam darah. Bila hepar tidak

berfungsi plasma

membentuk meningkat dengan

ureum ,konsentrasi amonia cepat dan menimbulkan koma hepatikum dan kematian.

4. Metabolisme bilirubin Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan Sebagian oleh besar tubuh. bilirubin

tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hati. Mekanisme pengambilan terjadi di dalam hati, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam hati. Segera setelah ada dalam sel hati terjadi persenyawaan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Pada saat di dalam usus, sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorpsi enterohepatik.

5. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah Hepar membentuk sebagian besar zat zat darah yang di pakai untuk p r o s e s koagulasi. Zat zat tersebut antara lain adalah fibrinogen, protrombin, akselerator globulin, faktor VII, dan beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme hati untuk membentuk protrombin, faktor VII, IX, dan X. Bila tidak terdapat vitamin K maka konsentrasi zat zat tersebut akan turun sangatrendah sehingga dapat menghambat proses koagulasi darah

6. Fungsi hati pada penyerapan dan penyimpanan vitamin A, D, Fe dan B12 dan asam folat. Hepar merupakan tempat penyimpanan vitamin dan merupakan sumber vitamin yang baik. Vitamin yang terbanyak disimpan dalam hepar adalah vitamin A, tapi sejumlah besar vitamin D dan vitamin B12 dalam keadaan normal juga disimpan Vitamin A yang disimpan dapat mencegah kekurangan vitamin A selama 10 bulan, sedangkan vitamin D dalam jumlah yang cukup dapat disimpan untuk mencegah

defisiensi selama 3 atau 4 bulan. Vitamin B 12 sendiri dapat disimpan p a l i n g sedikit 1 sampai beberapa tahun. Besi disimpan dalam tubuh antara lain dalam hemoglobin darah, sebagian besar lainnya disimpan dalam hepar dalam bentuk feritin. Sel hati berisi apoferitin yangdapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Bila besi b a n y a k t e r s e d i a d a l a m c a i r a n t u b u h , m a k a b e s i b e r i k a t a n d e n g a n a p o f e r i t i n membentuk feritin dan disimpan dalam bentuk ini sampai diperlukan. Bila besi d a l a m s i r k u l a s i c a i r a n t u b u h m e n c a p a i k a d a r y a n g r e n d a h , m a k a f e r i t i n a k a n melepaskan besi. Maka system apoferitin feritin hati bekerja sebagai penyangga besi darah dan sebagai media penyimpanan besi. 7. Fungsi hati sebagai detoksikasi Detoksifikasi obat dan racun melalui reaksi biotransformasi tahap I dan tahap IIdan ekskresi dalam empedu. M e d i u m k i m i a y a n g kemampuannya obatan ke dalam dalam empedu. Proses sangat aktif dari hati juga dikenal obatdilakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai

detoksifikasi ini

p a d a h o r m o n h o r m o n y a n g d i s e k r e s i o l e h kelenjar endokrin diekskresi atau diubah secara kimia oleh hati, meliputi tiroksin dan hormon hormon steroid seperti estrogen, kortisol, aldosteron, dan lain l a i n . D e n g a n d e m i k i a n k e r u s a k a n p a d a h e p a r d a p a t m e n y e b a b k a n p e n i m b u n a n yang berlebihan dari satu atau lebih hormon ini di dalam cairan tubuh sehingga dapat menyebabkan aktivitas berlebihan dari system hormon ini. 8. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi - globulin sebagai imun livers mechanism. 9. Fungsi hemodinamik Hati menerima 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal 1500 cc/ menit atau 1000 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu senam, terik matahari, syok. Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.

BAB III TES FUNGSI HATI

Tes fungsi hati Terdapat bermacam-macam tes biokimia untuk menguji pelbagai fungsi dari hepar dan mengevaluasi pasien dengan suspek atau psien yang sudah terbukti megidap penyakit hepar. Walaupun secara dasarnya disebut tes fungsi hati, namun banyak tes (aspartase aminotransferase) dan alanine fosfatase) sebenarnya tidak menguji fungsi hati namun sekadar indikasi terdapatnya disfungsi dari hepar atau terjadinya keruskan pada sel hepar sendiri. Tes fungsi hati dapat dikategorikan kepada beberapa kategori. Ini termasuk tes-tes yang menunjukkan adanya 1) kerusakan sel-sel hepar 2) obstruksi pada sistem bilier 3) fungsi sintesis dari hepar 4) fungsi hepar dari uptake, konjugasi dan ekskresi 5) dan fungsi hepar lainnya.

BAB IV OBAT-OBAT DALAM ANESTESI Secara umum, obat-obatan anestesi terdiri dari obat pre-medikasi, obat induksi anestesi, obat anestesi inhalasi, obat anestesi intravena, obat anestesi lokal/regional, obat pelumpuh otot, analgesia opioid dan analgesia non-opioid.

OBAT PRE-MEDIKASI 1. Golongan opiod Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin dan fentanil MORFIN Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).2, 3 Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi3, 4.

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.3

Farmakodinamik Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).2, 3, 4, 6 Farmakokinetik Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.2, 3, 4, 6 Indikasi Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.3 Efek samping

Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.2, 3, 4, 5, 6 Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan. PETIDIN Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.3 Farmakodinamik Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 3, 6 Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :2 1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air. 2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin. 3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia.

4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan. 5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak. 6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Farmakokinetik Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi. Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran. Indikasi Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin. Dosis dan sediaan

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.4, 6

Efek samping Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. FENTANIL Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan.2, 3, 4 Farmakodinamik Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.3, 6 Farmakokinetik Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.6

Indikasi Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.4, 6

Efek samping Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. 2 Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.

Golongan Sedativa & hipnotik Golongan ini berfungsi sebagai obat penenang dan membuat pasien menjadi mengantuk. BENZODIAZEPINE Secara kualitatif beonzidiazpein memilik efek hamper samanamun secara kuantitatif, spectrum faramakokinetiknya berbeda. Berefek hypnosis, sedasi, relaksasi otot, ansiolitik dan antikonvulsi dengan potensi berbeda FARMAKODINAMIK

Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP dengan efek utama sedasi , hypnosis, pengurngan terhadap rangsangan emosi/ ansietas, relaksasi otot, dan anti konvulsi. Efek pada jaringan perifer : vasodilatasi koroner setelah pemberian dosis dosisi terapi benzodiazepine tertentu secara IV, dan blockade neuromuscular yang hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi. Susunan saraf pusat Walaupun semua benzodiaepin mempengaruhi semua tingkatan aktivitas saraf, namun beberapa derivate benzodiazepine pengaruhnya lebih besar terhadap SSP dari derivate lainnya. Benzodiazepine tidak mampu menghasilkan tingkat depresi saraf sekuat barbiturate atau anestesi umum. Pada dosis preanestetik obat ini menimbulkan amnesia retrograde terhadap kejadian yang berlangsung setelah pemberian obat. Sebagai anestesi umum, harus dikombinasi dengan obat pendepresi SSP lain. Beberapa benzodiazepine menginduksi hipotonia otot. Benzodiazepine tidak memeperlihatkan efek analgesia dan efek hiperanalgesia. Mekanisme kerja pada SSP Interaksi dengan reseptor penghambat neurotransmitter yang diaktifkan oleh GABA. Reseptor GABA dibedakan dalam subtype reseptor GABA A dan GABA B. Reseptor GABA a berperan pada sebagian besar neurotransmitter di SSP. Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABA A tidak pada GABA B. Benzodiazepine berikatan langsung pada sisi spesifik ( subunit ) reseptor GABA A (reseptor kanal ion klorida kompleks). Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan kanal klorida, meyebabkan ion klorida masuk ke dalam sel hingga meningkatkan potensial elektrik sepanjang membrane sel dan meyebabkan sel sukar tereksitasi. Pernafasan Pada dosis hipnotik tidak berefek pada pernafaan, namun pengunaan pada anak-anak harus diperhatikan dan individu yang mempunyai gangguan fungsi hati. Pada premedikasi, sedikit mendepresi ventilasi alveoli, dan menyebabkan asidosis respiratoar, obat ini dapat menyebabkan apnea selama anestesi atau saat gigunakan dengan opiod. Efek hipnotiknya

dapat menurunkan tonus otot pada saluran nafas atas. Kontraindikasi pada pasien yang tidur mendengkur secara regular. Sistem KV Efeknya pada sistem KV umumnya ringan. Pada dosis pra anestesi semua benzodiazepine dapat menurunkan tekana darah dan menaikkan denyut jantung. Saluran cerna Diduga dapat memperbaiki berbagai gangguan saluran cerna yang berhubungan dengan ansietas.

FARMAKOKINETIK Semua benzodiazepine dalam bentuk nonionik memeiliki koefisien distribusi lemak : air yang tinggi, namun sifat lipofiliknya dapat bervariasi lebih dari 50 kali, tergantung polaritas dan elektronegativitas berbagai senyawa benzodiazepine. Benzodiazepine dan metabolit akhirnya terikat protein plasma. Kekuatan ikatannya berhubungan erat dengan sifat lipofiliknya. Kadarnya pada CSF kira-kira sama dengan kadar obat bebas dalam plasma. Dengan demikian, setelah pemberian benzodiazepine IV ambilan ke dlaam otak dan organ dengan perfusi tinggi lainnya sangat cepat didikuti distribusi ke jaringan jaringan yang kurang baik perfusinya seperti lemak dan otot. Benzodiazepine dapat melewati sawar uri dan disekresi dalam ASI. Benzodiazepine dimetabolisme secara ekstensif oleh kelompok enzim sitorkrom P450 di hati terutama CYP3A4 dan CYP2C19. Beberapa benzodiazepine dikonjugasi langsung dan tidak dimetabolisme enzim tersebut. Beberapa penghambat CYP3A4 seperti eritromisisn, klatrimisin, ritonavir, itrakonazol, ketokonazol dan sari buah grapefruit dapat mempengaruhi metabolisme benzodiazepine. Metabolisme benzodiazepine trejadi dalam tiga tahap iaitu 1. Desalkasi, 2) hidroksilasi dan 3) konjugasi Benzodiazpein yang digunakan dlaam anestesi : diazepam, midazolam. Klordizepoksid. Efek samping : -efek paradoksal: mimpi buruk, gangguan cemas, takikardi, berkeringat. Dosis : Diazepam : 0.1mg;kgBB (amp 2cc=10mg)

Midazolam : 0.1MG/kgBB (amp 5cc=5mg/amp 3cc=15mg) BARBITURAT Menimbulkan sedasi dan menghilangkan kekhawatiran sebelum operasi. Barbiturat merupakan derivate asam barbiturate. Asam barbiturate sendiri tidak menyebabkan depressi SSP, efek lainnya ditimbulkan bila posisi 5 ada gugusan alkil atau aril. Farmakodinamik Susunan saraf pusat. Efek utama barbiturate ilalah depressi perbafasan. Semua tingkat depressi dapat dicapai mulai dari sedasi, hypnosis, berbagai tingkat anestesia, koma sampai kematian. Barbiturat tidak menghilangkan nyeri tanpa disertai hilnagnya kesadaran. Tempat dan mekanisme kerja pada SSP Bekerja pada keseluruhan SSP walau pada kekuatan berbeda. Penghambatan hanay terjadi pada sinap GABA-nergik. Kapasitas barbiturate membantu kerja GABA namun pada dosis tinggi bersifat sebagai agonis GABA-nergik hingga dapat menimbukkan depressi SSP yang berat. Pernafasan Menyebabkan depressi pernafasan yang sebanding dosis. Pada dosis sedative hampit tidak berpengaruh terhadap pernafasan, namun pada dosis hipnotik oral menyebabkan pengurang frekuensi dan amplitude nafas, ventilasi alveolar berkurang. Pemeberian dosis oral yang sangat tinggi atau suntikan IV yang terlalu cepat dapat menyebabkan depresi nafas berat. Sistem KV Pada dosis oral sedasi dan hipnotik tidak menimbulkan efek nyata. Frekuensi nadi dan tekanan darah sedikit menurun sperti pada tidur. Pemberian lewat IV secara cepat dapat menyebabkan tekanan darah turun mendadak. Hati Efek terhadap sistem metabolime obat di mikrososm. Barbiturate bersama-sama dengan sitokrom P450 secara kompetitif mempengaruhi biotranformasi obat serta zat endogen dalam tubuh misalnya hormon steroid. Pemberian barbiturate secara kronis menaikkan jumlah

protein dan lemak pada retikuloendoplasmik hati, serta menaikkan ktivitas glukuronil transferase dan enzim oksidase sitokrom P450. Induksi obat ini menaikkan kecepatan metabolisme beberapa obat dan senyawa endogen termasuk hormon steroid, kolesterol, garam empedu, vitamin K dan D. Barbiturat menganggu sintesis porfirin. FARMAKOKINETIK Secara suntikan IV digunakan untuk mengatasi status epilepsy, dan menginduksi serta mempertahankan anestesi umum. Distibusi secra luas dan lewat plasenta. EFEK SAMPING Hangover Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat bertambah berat. Eksitasi paradoksal Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah. Rasa nyeri Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium. Alergi Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati. Reaksi obat Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat. Indikasi Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine.

Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.1,4,5,6,7,8 Tiopental 1. 2. 3. 4. Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum. Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka). Sedasi pada analgesik regional Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus

Fenobarbital 1. 2. 3. Untuk menghilangkan ansietas Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi) Untuk sedatif dan hipnotik

ANTI KOLINERGIK Penggunaan hiosin dan atropine efektif sebagai anti mual dan muntah. Tetapi bila hiosin dikombinasi dengan morfin atau papaveratum menambah sedasi sementara atropine

cenderung menambah kecemasan. Masih digunakan untuk mengurangi sekresi atau menrgurangi bradikardi selama anestesia. Dosis : sulphas atropine 0.01mg/kgBB (amp 1cc=0.25mg) OBAT INDUKSI INTRAVENA Ketamin Ketamin adalah suatu rapid acting non barbiturat general anesthethic termasuk golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-chlorophenil) 2 (methylamino) cyclohexanone hydro chloride. Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat sekali akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai peneri- maan keadaan lingkungan yang salah (anestesi disosiasi). (
1 )

Ketamin merupakan zat anestesi dengan aksi satu arah yang

berarti efek analgesinya akan hilang bila obat itu telah didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian pemakaian lama harus dihindarkan. Anestetik ini adalah suatu derivat dari pencyclidin suatu obat anti psikosa. (
2 )

Induksi ketamin pada prinsipnya sama dengan

tiopental. Namun penampakan pasien pada saat tidak sadar berbeda dengan bila menggunakan barbiturat. Pasien tidak tampak tidur. Mata mungkin tetap terbuka tetapi tidak menjawab bila diajak bicara dan tidak ada respon terhadap rangsangan nyeri. Tonus otot rahang biasanya baik setelah pemberian ketamin. Demikian juga reflek batuk. untuk mencegah rasa sakit. Farmakologi Ketamin Sifat-sifat Ketamin 1. 2. 3. Larutan tidak berwarna Stabil pada suhu kamar Suasana asam (pH 3,5 5,5). ( 2, 6 )
( 3, 6 )

Untuk prosedur yang singkat ketamin dapat diberikan secara iv / im setiap beberapa menit

Farmakokinetik Sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan hidrolisis dalam hati, kemudian dieksresi terutama dalam bentuk metabolik dan sedikit dalam bentuk utuh. ( 6 ) Dosis dan Pemberian IV : dosis 1-4 mg/kgBB, dengan dosis rata-rata 2 mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, dosis tambahan 0,5 mg/kgBB sesuai kebutuhan.

IM : dosis 6-12 mg/kgBB, dosis rata-rata 10 mg/kgBB dengan lama kerja 10-25 menit, terutama untuk anak dengan ulangan 0,5 dosis permulaan. ( 1, 2, 3, 5, 6 ) Pulih sadar pemberian ketamin kira-kira tercapai antara 10 15 menit, tetapi sulit untuk menentukan saatnya yang tepat, seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Indikasi: Untuk sukar. Untuk prosedur diagnostic pada bedah saraf/radiologi (arteriograf). Tindakan orthopedic (reposisi, biopsy) Pada pasien dengan resiko tinggi: ketamin tidak mendepresi fungsi vital.Dapat dipakai untuk induksi pada pasien syok. Untuk tindakan operasi kecil. Di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada. Pasien asma prosedur dimana pengendalian jalan napas sulit, misal pada

koreksi jaringan sikatrik pada daerah leher, disini untuk melakukan intubasi kadang

Kontra Indikasi hipertensi sistolik 160 mmHg diastolic 100 mmHg riwayat Cerebro Vascular Disease (CVD) Dekompensasi kordis Harus hati-hati pada : Riwayat kelainan jiwa Operasi-operasi daerah faring karena refleks masih baik

2. Propofol (diprifan, rekofol) Propofol menjadi obat pilihan induksi anestesia, khususnya ketika bangun yang cepa dan sempurna diperlukan. Kecepatan onset sama dengan barbiturat intravena, masa pemulihan lebih cepat dan pasien dapat pulang berobat jalan. lebih cepat setelah pemberian propofol. Kelebihan lainnya pasien merasa lebih nyaman pada periode paska bedah dibanding anestesi intravena lainnya. Mual dan muntah paska bedah lebih jarang karena propofol mempunyai efek anti muntah.

MEKANISME KERJA Propofol adalah modulator selektif dari reseptor gamma amino butiric acid (GABAA) dan tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada konsentrasi yang relevan secara klinis. Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor GABAA. GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABA A diaktifkan, maka konduksi klorida transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. FARMAKOKINETIK Pemberian propofol 1.5 2.5 mg/kg IV (setara dengan tiopental 4-5 mg/kg IV atau metoheksital 1.5 mg/kg IV) sebagai injeksi IV (<15 detik), mengakibatkan ketidaksadaran dalam 30 detik. Sifat kelarutannya yang tinggi di dalam lemak menyebabkan mulai masa kerjanya sama cepatnya dengan tiopental ( satu siklus sirkulasi dari lengan ke otak) konsentrasi puncak di otak diperoleh dalam 30 detik dan efek maksimum diperoleh dalam 1 menit. Pulih sadar dari dosis tunggal juga cepat disebabkan waktu paruh distribusinya (2-8) menit.Lebih cepat bangun atau sadar penuh setelah induksi anestesia dibanding semua obat lain yang digunakan untuk induksi anestesi IV yang cepat. Klirens propofol dari plasma melebihi aliran darah hepatik, menegaskan bahwa ambilan jaringan (mungkin ke dalam paru), sama baiknya dengan metabolisme oksidatif hepatik oleh sitokrom P-450, dan ini penting dalam mengeluarkan obat ini dari plasma. Dalam hal ini, metabolisme propofol pada manusia dianggap bersifat hepatik dan ekstrahepatik. FARMAKODINAMIK Propofol tidak mempengaruhi fungsi ginjal atau hepar sebagaimana dinyatakan oleh konsentrasi enzim transaminase liver atau kreatinin. Propofol tidak mempengaruhi sintesis kortikosteroid atau mempengaruhi respon normal terhadap stimulasi ACTH. Propofol dalam formula emulsi tidak mempengaruhi fungsi hematologi atau fibrinolisis. Dosis induksi : 2-2.5mg/kgBB Dosis rumatan : 100-300 g/kgBB/menit IV, seringkali dikombinasikan dengan opioid kerja jangka pendek. 3. Thiopental

Ultra short acting barbiturat Dipakai sejak lama (1934) Tidak larut dlm air, tapi dalam bentuk natrium (sodium thiopental) mudah larut dlm air

4. Pentotal Zat dr sodium thiopental. Bentuk bubuk kuning dlm amp 0,5 gr(biru), 1 gr(merah) & 5gr. Dipakai dilarutkan dgn aquades Larutan pentotal bersifat alkalis, ph 10,8 Larutan tidak begitu stabil, hanya bisa disimpan 1-2 hr (dalam kulkas lebih lama, efek menurun) Pemakaian dibuat larutan 2,5%-5%, taip dipakai 2,5% untuk menghindari overdosis, komplikasi> kecil, hitungan pemberian lebih mudah Obat mengalir dalam aliran darah (aliran ke otak ) efek sedasi&hipnosis cepat terjadi,tp sifat analgesik sangat kurang TIK Mendepresi pusat pernapasan Membuat saluran napas lebih sensitif terhadap rangsangan depresi kontraksi denyut jantung, vasodilatasi pembuluh darah hipotensi. Dapat menimbulkan vasokontriksi pembuluh darah ginjal tak berefek pada kontraksi uterus, dapat melewati barier plasenta Dapat melewati ASI menyebabkan relaksasi otot ringan reaksi anafilaktik syok gula darah sedikit meningkat. Metabolisme di hepar cepat tidur, waktu tidur relatif pendek Dosis iv: 3-5 mg/kgBB

Kontraindikasi syok berat

Anemia berat Asma bronkiale menyebabkan konstriksi bronkus Obstruksi sal napas atas Penyakit jantung dan hepar kadar ureum sangat tinggi (ekskresinya lewat ginjal)

OBAT ANESTESI INHALASI a) Volatile liquid anesthetic 1. Halotan Halotan merupakan anestetik golongan hidrokarbon yang berhalogen. Berbentuk cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan tidak mudah meledak meskipin dicampur oksigen. Farmakologi Merupakan pbat anestesia poten, kekuatan 4-5 kali eeter atau 2 kali kloroform. Overdosis mudah terjadi dengan gejala kegagalan oernafasan dan sirkulasi yang dapat menyebabkan kematian. Untuk induksi umumnya digunakan dosis 2-4% dan dosis pemeliharaan 0.5-2% Susunan saraf pusat Efek pada SSP sama dengan lain-lain obat anestesi pada umumnya mendepresi korteks serebri dan medulla. Induksi dengan halotan berlangsung cepat, lancer, jarnag menimbulkan batuk dan ekstasi. Efek hipnotik dicapai lebih cepat dibandingkan dengan ater ataubloroform. Masa pemulihan juga cepat. Penggunaan obat premedikasi berat dapat memperpanjang masa pemulihan. Mempunyai efek analgesia yang buruk hingga membutuhkan kombinasi dengan obat-obat lain. Meningkatkan aliran darah serebral dan tekanan intracranial. Sistem pencernaan Tidak mengiritasi mukosa lambung dan tidak merangsnag kelenjar ludah. Tutur menghambat aktivitas saluran cerna, jranag menyebabkan mula muntah pasca operasi Sisitem KV Menyebabkan vasodilatasi yang menimbulkan hipotensi dan bradikardia. Bradikardia sering terjadi pada stadium dalam karena refelks vagal yang berlebihan. Aritmia seperti vnetrikuler

ekstrasistole, ventrikel takikardia atau ventrifiblasi disebabkan meningkatnya kepekaaan miokardium terhadap katekolamin endo dan eksogen. Sistem pernafasan Tidak menimbulkan iritasi karena induksi mudah dicapai tanpa batuk-batuk atau eksitasi. Mendepresi nafas pada tingkat awal menyebabkan takipneu dan pada stadium lebih dalam dapat menyebabkan gagal nafas. Halotan turut menghambat sekresi kelenjar ludah brokial dan menekan reflex laring dan faring. Bermanfaat pada penyakit paru-paru kronis karena meningkatkan complains paru dan kelenturan otot bronchial. Sistem otot Mempunyai efek relaksasi moderat terhadap sistem otot. Dapat melewati sawar plasenta.

Efek hepatotoksik Efek terhadap hati walaupun dengan dosis rendah sekali. Dapt terjadi halotan hepatitis dimana gejala sukar dibedakan dengan hepatitis virus atau bakteri. Factor predisposisi adalah: -pasien sensitive terhadap halotan Pemakaian yang berulang dlam jangka waktu yang singkat Metabolisme dan ekskresi Diekskresi sebagian besar lewat paru-paru, selain itu 12-20% halotan dimetabolisme oleh hepar dan eksresi lewat ginjal. Halotan baru keluar dari tubuh 13-20 hari kemudian. 2. Isoflurane Merupakan isomer dari enfluran dengan efek-efek samping yang minimal. Induksi dan masa pulih anestesia dengan isofluran cepat. Farmakologi Sistem pernafasan

Seperti anestetika inhalai yang lain isofluran juga mendepresi pernafasan. Volume tidal dan frekuensi nafas dapat menurun menimbulkan dilatasi bronkus sehingga baik untuk kasus PPOK. Sistem KV Depresi terhadap jantung minimal. Dapat menurunkan tekanan darah arteri dengan cara menurunkan resistensi perifer total, karena itu dapt diguanakn kombinasi dengan tehnik hipotensi kendali. Sistem otot Mempunyai efek relaksasi otot yang baik dan berpotensiasi dengan obat obat relaksan. Susunan saraf pusat Tidak menimbulkan perubahan pada gambaran EEG seperti epileptiform. Aliran darah otak dan TIK tidak dipengaruhi Hati dan ginjal Metabolisme yang minimal dari isofluran ini sehingga tidak menimbulkan efek hepatotoksik atau nefrotoksik. Keuntungan dan kerugian Keuntungan : irama jantung stabil, tidak terangsang oleh adrenalin endo atau eksogen. Bangun dari operasi cepat. Kerugian : harga mahal 3. Enflurane Cairan jernih tidak berwarna. Volatile dengan bau seperti eter. Farmakologi Susunan saraf pusat Merupakan anestesi yang poten. Mendepresi SSP menimbulkan efek hipnotik. Pada konsentrasi 3.5% dapt timbul perubahan pada EEG iaitu bentuk epileptifrom karena itu sebaiknya tidak digunakan pada pasien epilepsy. Meningkatkan aliran darah ke otak.

Sistem KV Pada anestesia yang dalam dapt menimbulkan penurunan tekanan darah disebabkan depresi pada miokardium. Sistem pernafasan Mendepresi ventilasi pulmoner dengan menurunkan volume tidal. Tidak menyebabkan hipersekresi kelenjar ludah atau bronkus. Sistem otot Meneybabkan efek relaksasi otot yang moderat. Meningatkan aktivitasbobat pelumpuh otot non depolarisasi. Fungsi hati dan ginjal Tidak mempunyai efek hepatotoksik atau nefrotoksik

b) Gas anestesi 1. Nitrous oksida (N20) Poten analgesic tapi anestetik lemah. Induksi cepat dengan kadar 70% keasadarn cepat hilang tetapi lebih dari itu terjadi hipoksia.. sering dipakai pada anestesi inhalasi. Dikompresi menjadi cair dan disimpan pada tabung berwarna biru.. tidak berasa atau berbau. Berantnya 1.5x udara.. mudah diserap di alveolar, tidak terikat dalam Hb tapinlarut dalam plasma. Efeknya sedikit pada nadi. Miokars, respirasi, ginjal dan metabolisme. Pemberian O2 pada akhir anestesi perlu. Anestresi aman bila diberi O2 ynag cukup. Keuntungan -induksi cepat -untuk tindkan emergensi -tidak sensitive terhadap epinefrin -analgesik yang kuat -tidak menyebabkan mual dan muntah -tidak mudah terbakar dan meledak

OBAT LOCAL ANESTESIA Berdasarkan komposisi rumus molekulnya obat dibagi menjadi 2 golongan iaitu 1. golongan ester procain cocain chlorprocain tetracain

2. golongan amida lidocain mepivacain bupivacain etidocain ropivacain

3. derivate dari quinolon cinchocain

sifat kimia obat local analgesia -sedikit basa -bentuk ester/amida -obat tanpa terurai mudah larut dalam lemak -preparat dagang biasanya pHnya bersifat asam sehingga stabil bila diberikan bersama-sama dengan obat anti mikroba

Mekanisme kerja obat local analgesia Anestetik local mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di membran sel. Obat anestetik local menghambat permeabilitan membrane terhadap Na+. Hal ini disebabkan adanya interaksi langsung antara zat anestetik local dengan kanal Na+. Semakin bertambah efek anestesi local di dalam saraf, maka ambang rangsang membrane akan meningkat secara bertahap. Kecepatan potensial aksi menurun. Konduksi impuls melamabat dan factor pengaman konduksi saraf menurun. Factor-faktor ini akan

mengakibatkan penurunan menjalarnya potensial aksi dan dengan demikina mengakibatkan kegagalan konduksi saraf. Farmakologi Susunan saraf pusat Semua anestetik local merangsang SSP, yang menyebabkan kegelisahan dan tremor yang mungkin berubah menjadi kejang klonik. Perangsangan akan diikuti depresi . depresi timbul akibat rangsang pada aktivitas neuron. Sistem KV Menyebabkan penurunan eksitabilitas, kecepatan konduksi dan kekuatan kontraksi. Anestetik local sintetik turut menyebabkan vasodilatasi arteriol. Otot polos Berefek spasmolitik. Efek ini mungkin disebabkan oleh depresi langsung pada otot polos, depresi pada reseptor sensorik setempat sehingga menimbulkan hilangnya tonus refelks setempat. Biotransformasi Anestetik local golongan amida 55-95% diikat protein plasma terutama 1-glikoprotein. Kadar protein ini dapat meningkat karsinoma, trauma. Infark miokard, merokok dan uremia atau dapat menurun pada penggunaan pil kontrasepsi. Perubahan kadar protein ini dapat mengakibatkan perubahan jumlah zat anestetik local yang dibawa ke hati untuk metabolisme. Anestetik local golongan ester mengalami degradasi oleh esterase hati dan juga oleh suatu esterase plasma plasma yang mungkin skali kolinesterase.

BAB V PENYAKIT HEPAR

Prevalensi penyakit hepar meningkat di Amerika Serikat. Sirosis merupakan terminal patologi pada mayoritas penyakit hepar, didapatkan + 5% pada otopsi pada seluruh insidens. Sirosis merupakan penyebab utama kematian pada laki-laki dekade ke 4 dan ke 5, serta mortality ratenya meningkat. Pasien dengan penyakit hepar, + 10% nya mendapatkan operasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir kehidupannya. Hepar memiliki fungsi yang luar biasa dan manifestasi klinik dari penyakit hepar sering tidak tampak sampai terjadi kerusakan yang luas. Sebagai akibatnya, ketika pasien yang berada pada daerah terpencil dengan sedikit persediaan, datang ke ruang operasi, beberapa efek dari anastesi dan pembedahan dapat memicu dekompensasi hepar yang lebih lenjut menuju ke arah gagal hepar. Untuk tujuan klinis, ahli anestesi dapat membagi pasien dengan penyakit hati menjadi dua kelompok besar yang berbeda:

1) mereka dengan penyakit hati parenkim, termasuk hepatitis virus akut dan kronis, sirosis hati (dengan atau tanpa hipertensi portal), dan beberapa gangguan lain; 2) mereka dengan kolestasis, termasuk obstruksi dari jalur bilier ekstrahepatik.

Pengaruh operasi dan anestesi pada hepar Hati merupakan salah satu organ vital tubuh. Fungsi utama hati terutama bertanggungjawab terhadap metabolisme glukosa dan lemak, sistesis protein (albumin, globulin, dan faktor koagulan), ekskresi bilirubin, metabolisme obat dan hormon dan detoksifikasi.3 Organ hati memegang peran penting dalam pengaturan sirkulasi darah karena sekitar 25%curah jantung akan bersirkulasi melalui hati. Aliran darah dihati melalui dua pembuluh darah, yaitu arteri hepatikabertanggungjawab terhadap 25 -30% total aliran darah hati (namun memberikan 50% pasokan oksigen ke hati), dan vena porta menyumbangkan 75% dari total aliran darah ke hati. Aliran vena porta menerima darah dari lambung, limpa,pankreas dan usus yang kaya akan nutrien, namun pasokan oksigen ke hati tidak lebih dari 50-55%.4 Pada pasien yang tidak memiliki gangguan fungsi hati, pemberian obat anestesi, analgetik, sedatif, dan tindakan pembedahan dapat meningkatkan kadar transaminase, alkali fosfatase, dan kadar bilirubin, namun umumnya bersifat sementara. Sebaliknya pasien dengan penyakit hati penurunan pasokan darah ke hati akibat tindakan operasi maupun anestesi dapat memicu dekompensasi hati.5 Kerusakan hati yang berat (pada sirosis hati atau hepatitis fulminan) dapat menimbulkan hipoalbuminemia, trombositopenia, koagulopati, menurunnya imunitas, intoksikasi, perubahan hemodinamik, ensefalopati dan sindrom hepatorenal. Keadaan tersebut menjadi faktor penyulit pada saat tindakan operasi dan anestesi. Hati berfungsi sebagai organ sintesis protein albumin dan globulin. Pada pasien dengan gangguan hati dapat terjadi hipoalbuminemia. Kondisi hipoalbuminemia sangat menghambat proses penyembuhan luka. Penurunan sintesis globulin di hati menyebabkan seseorang menjadi pekaterhadap infeksi karena sistem imunitas tubuh secara fungsional kemampuannya menurun. Pada disfungsi hati yang berat metabolisme glukosa juga terganggu. Terganggunya penggunaan glukosa dan meningkatnya kadar hormon pertumbuhan dan glukagon dapat memicu intoleransi glukosa.3 Sintesis faktor pembekuan darah yang diproduksi di hati mengalami penurunan pada pasien yang mengalami disfungsi hati. Koagulopati dan trombositopenia (akibat hipertensi portal) meningkatkan risiko perdarahan baik pre maupun pasca-operasi. Gangguan faktor pembekuan darah terjadi akibat

menurunnya sintesis faktor prokoagulan dan antikoagulan, terganggunya pembersihan factor koagulasi yang teraktifasi, defisiensi nutrisi (vitamin K, asam folat), splenomegali, defek kualitatif trombosit dan akibat penekanan trombopoiesis sumsum tulang. 6 Pada pasien sirosis, umumnya mengalami perubahan pola hemodinamik yang bersifat hiperdinamik berupa peningkatan curah jantung, menurunnya resistensi vascular sistemik dan meningkatnya volume intravaskular. Perfusi jaringan menurun karena adanya shunting arterio-venosa. Respons sistem kardiovaskular terhadap simpatomimetik eksogen dan endogen menurun. Shunting intra-pulmomal, meningkatnya cairan ekstravaskular, diafragma yang mengalami elevasi karena desakan asites menyebabkan timbulnya mismatch rasio ventilasi terhadap aliran darah, hipoksemia dan hipoventilasi. Aliran darah ke ginjal juga cenderung menurun sehingga risiko terjadinya sindrom hepatorenal meningkat. 3 Hati berperan dalam metabolisme dan eliminasi berbagai jenis obat. Metabolisme obat pada pasien dengan disfungsiberat akan terganggu karena menurunnya jumlah hepatosit dan pasokan aliran darah hati. Waktu paruh beberapa obat menjadi meningkat dan eliminasi menurun. Risiko intoksikasi obat meningkat. Contohnya, kerja obat penyekat neuromuscular (neuromuscular blocking) menjadi lebih panjang karena aktivitas enzim pseudokolinesterase menurun pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit hati dipengaruhi oleh faktor stres tindakan operasi dan anestesi. Tindakan operasi dan anestesi menurunkan pasokan aliran darah menuju hati. Pasien dengan penyakit hati tingkat lanjut (sirosis, misalnya) sangat peka terhadap perubahan hemodinamik. Semakin banyak perdarahan semakin banyak penurunan pasokan darah ke hati. Pada operasi abdomen, aliran darah hati regional menurun karena oklusi struktur vaskular, terutama apabila arteri hepatika atau vena porta diklem untuk mengurangi aliran darah selama reseksi hati. Penempatan refraktor di hati dan manipulasi visera abdominal dapat menurunkan pasokan darah ke hati mencapai 50-60%. Pemberian obat anestesi secara regional maupun general dapat menurunkan aliran darah hati sampai 30-50 %. Pada orang normal yang menjalani tindakan operasi dan anestesi penurunan aliran darah ke hati tidak menimbulkan iskemia hepatik karena mekanisme kompensasi berupa penurunan kebutuhan oksigen dan meningkatnya ekstraksi oksigen oleh sel hati. Pada seseorang yang mengalami gangguan fungsi hati, mekanisme autoregulasi terganggu sehingga penurunan aliran ke hati sedikit saja mempengaruhi fungsi dan integritas sel hati. Ketidakcukupan pasokan oksigen merupakan penyebab utama dekompensasi hati pasca-operatif.

HEPATITIS A) HEPATITIS AKUT Hepatitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi virus, reaksi obat-obatan atau masuknya hepatotoxin.Penyakit ini mewakili kerusakan hepatocelluler akut dengan jumlah nekrosis sel yang bervariasi.Manifestasi klinis umumnya bergantung pada kerasnya reaksi peradangan dan terlebih lagi pada jumlah nekrosis. Reaksi peradangan biasa dapat muncul sebagai peningkatan asimptomatik dalam transaminase serum, sedang hepatitis nekrosis yang banyak muncul sebagai kegagalan hepatic fulminant akut. Hepatitis Virus Hepatitis virus seringkali disebabkan oleh virus hepatitis A, B, atau C ( sebelumnya dinamakan enteric non A, non B). Akhirnya telah ditemukan juga 2 virus hepatitis lainnya : hepatitis D (delta virus) dan hepatitis E (enteric non A, non B). Hepatitis tipe A dan E ditansmisikan melalui rute feco-oral, sedangkan tipe B dan C ditransmisikan utamanya dengan cara perkutaneus dan melalui kontak dengan cairan tubuh. Hepatitis D sendiri unik karena dapat ditransmisikan oleh salah satu rute dan memerlukan virus hepatitis B dalam host untuk jadi tidak efektif. Virus lainnya, termasuk Epstein-Barr, herpes simpleks, cytomegalovirus, dan coxackivirus, juga bias menyebabkan hepatitis. Pasien dengan hepatitis virus biasanya mengalami gejala-gejala prodormal (kelelahan, malaise, demam, mual, dan muntah) selama 1 sampai 2 minggu yang bisa disertai oleh ikterus. Ikterus ini bias berlangsung selama 2-12 minggu, tapi penyembuhan sempurna seperti yang dibuktikan oleh pemeriksaan serum transaminase, biasanya membutuhkan waktu 4 bulan. Disebabkan oleh manifestasi klinis yang tumpang tindih, tes serologis dibutuhkan untuk menentukan agen virus causative. Perkembangan klinis menjadi lebih rumit dan diperpanjang dengan virus hepatitis B dan C. Kolestasis adalah manifestasi utama. Jarang kegagalan hepatic fulminant (berlebihnya necrosis hepatic) dapat berkembang. Berjangkitnya hepatitis kronik aktif 3-10% menyertai infeksi oleh virus hepatitis B dan setidaknya 50% mengikuti infeksi dengan virus hepatitis C. Sebagian kecil pasien (umumnya pasien yang imunosupressed dan mereka yang hemodialisis jangka panjang) menjadi pengidap asimptomatik yang mudah menular menyertai infeksi oleh virus hepatitis B. Berdasarkan penelitian terhadap sekelompok pasien, dimana-mana antara 0,3% dan 30% pasien tetap menjangkitkan penyakit dan memiliki ketahanan dari antigen B permukaan

(HBsAg) dalam darahnya. + 0,5-1% pasien dengan infeksi hepatitis C menjadi pembawa asimptomatik yang mudah menular. Keterjangkitan berhubungan dengan RNA hepatitis C virus dalam darah peripheral. Sebagian besar pasien dengan infeksi hepatitis Conis nampaknya memiliki sirkulasi partikel virus yang sangat rendah, terputus-putus atau bahkan hilang. Dan karenanya tidak terlalu infektif. Akan tetapi, pembawa penyakit yang menular membawa resiko bagi kesehatan pekerja ruang operasi. Selain pencegahan umum untuk menghindari kontak dengan darah dan sekresi (sarung tangan, masker, pelindung mata, dan jarum yang tidak digunakan berulang), imunisasi sangatlah efektif melawan infeksi hepatitis B. Vaksin untuk hepatitis C tidak tersedia, tidak seperti hepatitis B, infeksi hepatitis C nampaknya tidak memberikan kekebalan pada kemungkinan penyakit lainnya. Post exposure prophylaksis dengan globulin hyperimmune efektif untuk hepatitis B tapi tidak untuk hepatitis C. Hepatitis yang Disebabkan oleh Obat-obatan Hepatitis katena obat-obatan dapat disebabkan oleh ketergantungan terhadap racun obat-obatan secara langsung atau metabolit, atau oleh reaksi khusus obat-obatan , atau oleh kombinasi dari keduanya. Perkembangan klinis seringkali menyerupai hepatitis virus yang menyebabkan sulitnya diagnosis. Alkoholic hepatitis mungkin adalah type hepatitis akibat obat-obatan yang paling sering dijumpai, tapi penyebabnya tidak teridentifikasi. Penggunaan alkohol dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya hepatomegali dan infiltrasi lemak pada hepar, yang menimbulkan : (1) Oksidasi asam lemak lemah, (2) meningkatkan uptake dan esterifikasi asam lemak, (3) mengurangi sintesis dan sekresi lipoprotein. Penggunaan asetaminofen 25 gr atau lebih menyebabkan hepatitis fulminan yang fatal. Beberapa jenis obat seperti Chlorpromazine dan kontrasepsi oral menyebabkan reaksi type cholestatic .Ingesti hepatoksin kuat, seperti carbon tetrachlorida dan jenis jamur tertentu (amanita, galerina) seringkali berhubungan dengan kegagalan hepatic akut. Anestesi cair, terutama halotan, berhubungan dengan reaksi khas hepatitis.

Pertimbangan Preoperatif Operasi harus ditunda sampai hepatitis akutnya sembuh, yang diindikasikan dengan normalnya tes fungsi hepar. Penelitian memperkirakan adanya peningkatan morbiditas (12%) dengan mortalitas (hingga 10% dengan laparatomi) pada preoperative selama hepatitis viral akut. Meskipun resiko dengan hepatitis alkoholik tidak sebesar itu, keracunan alcohol akut sangat mempersulit penanganan anestesi. Lagi pula, eliminasi alcohol selama pembedahan bisa dihubungkan dengan rata-rata mortalitas sebesar 50%. Hanya pembedahan yang betul-betul darurat yang seharusnya dipertimbangkan dalam kasus ini. Pasien hepatitis mempunyai resiko penurunan fungsi hepar dan berkembangnya komplikasi kegagalan hepar, seperti encephalopathy, coagulopathy, atau hepatorenal syndrom. Pemeriksaan laboratorium harus meliputi nitrogen urea darah, serum elektrolit, kreatinin, glukosa, transaminase, bilirubin, alkali fosfatase, dan albumin sebaik protrombin time (PT) dan pletelet count. Serum juga seharusnya dicek untuk HBsAg kapanpun hal itu mungkin. Level alcohol dalam darah akan berguna jika status mental cocok dengan intoksikasi . Hipokalemia dan alkalosis metabolic bukannya tidak umum dan biasanya disebabkan oleh muntah-muntah.Concomitant hypomagnesemia bias muncul pada alkoholik kronik dan menjadikan mudah terkena aritmia. Elevasi serum transaminase belum tentu berhubungan dengan jumlah nekrosis. Serum Alanin aminotransferase (ALT) umumnya lebih tinggi dari serum aspartat aminotransferase (AST) kecuali dalam hepatitis alkoholik, dimana kebalikannya yang muncul. Bilirubin dan alkali fosfatase umumnya hanya nai tidak cukup tinggi, kecuali dengan cholestatic hepatic yang berlainan . PT adalah indicator terbaik untuk fungsi hepatic syntetic (lihat bab 34). Perpanjangan yang lebih dari 3 detik (INR > 1,5) mengikuti administrasi vitamin K menunjukkan disfungsi hepar yang berat. Hipoglikemia

bukan tidak biasa. Hipoalbuminemia biasanya tidak muncul kecuali dalam kasus protaksi, dengan malnutrisi berat, atau ketika terdapat penyakit hepar kronik. Jika pasien dengan hepatitis akut harus menjalani operasi emergensi, evaluasi praanastesi harus difokuskan untuk menentukan jenis dan tingkat kerusakan hepar. Informasi seharusnya diperoleh dengan memperhatikan penggunaan obat-obatan terbaru, termasuk pemakaian alcohol, penggunaa obat intravena, transfuse, dan anestesi sebelumnya. Mual, muntah harus diperhatikan, dehidrasi dan gangguan elektrolit harus diperbaiki. Perubahan status mental biasanya menunjukkan kerusakan hepar yang parah. Tindakan yang tidak wajar dan obtundasi pada pasien alkoholik bias menjadi tanda adanya keracunan, sedangkan tremor dan cepat marah biasanya mencerminkan pengeluaran. Hipertensi dan takikardi seringkali mudah terlihat. Vitamin K atau fresh frozen plasma (FFP) dapat dibutuhkan untuk memperbaiki coagulopathy. Premedikasi umumnya penggunaan tidak diberikan dan , dalam tidak usaha untuk mengurangi/meminimalkan obat-obatan menggabungkan

encephalopathy hepatic dan penyakit hepar. Namun benzodiazepine dan thiamin diberikan pada pasien dengan alkoholik dengan pengeluaran akut. Pertimbangan intraoperatif Tujuan penanganan intraoperatif adalah untuk mengembalikan fungsi hepar dan menghindari factor-faktor yang dapat merugikannya. Pemilihan obat dan dosisnya harus diindividualkan. Beberapa pasien dengan hepatitis virus bisa memperlihatkan sensitifitas system saraf pusat terhadap anestesi. Sedangkan pasien alkoholik akan sering memperlihatkan toleransi silang baik pada intravena maupun anestesi inhalasi. Pasien alkoholik juga membutuhkan monitoring yang teliti terhadap cardiovaskuler, sebab efek dari penurunan cardiac dari alcohol aditif untuk mereka yang berada dalam pengaruh anestesi, selain itu cardiomiopathy alcoholic berkembang pada banyak pasien alkoholik. Secara defenisi, semua anestesi adalah untuk menurunkan system saraf pusat, dan untuk alasan itulah sangat sedikit jenis yang seharusnya digunakan. Anestesi inhalasi biasanya lebih disukai untuk agent intravenous karena kebanyakan yang lain bergantung pada hepar untuk metabolisme dan eliminasi. Dosis induksi standar terhadap agen induksi intravenous umumnya dapat digunakan karena aksinya berakhir dengan redistribusi lebih baik dibandingkan metabolisme atau ekskresi. Aksi yang berlarut-larut mungkin harus menggunakan dosis agen intravena yang sangat besar secara berulang-ulang, khususnya opioid.

Isofluran adalah anastesi inhalasi yang dipilih karena mempunyai efek yang paling sedikit pada aliran darah hepar. Faktor-faktor yang diketahui dapat mengurangi aliran darah hepar, misalnya hipotensi, aktivasi simpatik yang meningkat, dan peningkatan Mean airway pressure selama ventilasi terkontrol, sebaiknya dihindari. Anastesi regional dapat digunakan pada tidak terdapatnya koagulopati, hipotensi, yang ada harus dicegah. B) HEPATITIS KRONIK Hepatitis Kronik didefinisikan sebagai radang hepar yang terjadi lebih dari 6 bulan, yang dibuktikan dengan meningkatnya serum aminotransferase. Pasien umumnya dapat diklasifikasikan karena memiliki satu dari 3 gejala berdasarkan biopsy hepar, hepatitis kronik persisten, hepatitis kronik lobular, atau hepatitis kronik aktif. Mereka dengan hepatitis kronik, memanifestasikan radang yang kronik pada daerah portal dengan manifestasi sel normal pada biopsy, type ini biasanya tidak akan berkembang menjadi sirosis. Secara klinis, pasien ini dating dengan hepatitis akut (umumnya hepatitis B atau C) yang memiliki perkembangan protraksi tapi umumnya bias diatasi. Yang terbaru menunjukkan jenis yang disebut hepatitis kronik lobular, yang ditandai dengan eksaserbasi yang berulang-ulang, radang dan nekrosis terdapat pada lobulus hepar. Seperti hepatitis kronik persisten, bagaimanapun hepatitis kronik lobular juga tidak akan berkembang menjadi sirosis. Pasien dengan hepatitis kronik aktif mengalami radang hepar kronik dengan kerusakan sel pada biopsy. Tanda-tanda sirosis seringkali muncul pada awalnya (20-50% pasien) atau berkembang pada akhirnya. Meskipun nampaknya hepatitis kronik aktif memiliki berbagai penyebab, namun umumnya dia muncul sebagai lanjutan hepatitis B atau C. Penyebab lainnya termasuk obat-obatan (methyldopa, oxyphenisasi, isoniazid, dan nitrofurantoin) dan kerusakan autoimmune. Kedua factor kekebalan dan kemudahan terkena penyakit secara genetika terlihat sebagai sebab dalam berbagai kasus. Pasien umumnya dating dengan riwayat mual-mual dan ikterus yang berulang-ulang; manifestasi ekstrahepatik seperti arthritis dan serositis, tidaklah biasa. Manifestasi sirosis seringkali menonjol pada pasien dengan penyakit progresif. Hasil pemeriksaan laboratorium hanya dapt menunjukkan peningkatan yang tidak terlalu tinggi pada aktivitas serum aminotransferase dan sering tidak berkaitan dengan keganasan penyakit. Pasien yang tidak memiliki infeksi hepatitis B atau C kronis biasanya mempunyai respon yang baik terhadap imunosupressan dan biasanya diterapi dengan kortikosteroid jangka panjang dengan atau tanpa azathiopine.

Penanganan Anestesi Pasien dengan hepatitis kronik persisten atau hepatitis kronik lobuler harus diobati dengan cara yang sama terhadap pasien hepatitis akut. Sebaliknya mereka denagn hepatitis kronik aktif dapat diperkirakan telah menderita sirosis dan diobati sesuai dengan penyakit tersebut. Pasien dengan autoimmune hepatitis kronik aktif juga dapat memperlihatkan masalah yang berhubungan denagn manifestasi autoimun lainnya (misalnya: diabetes atau tiroiditis) selama terapi kortikosteroid jangka panjang. SIROSIS Sirosis adalah penyakit yang serius dan progresif yang disebabkan oleh kegagalan hepar. Penyebab sirosis yang paling umum di Amerika adalah alcohol (Lachnacs cirrhosis). Penyebab lainnya termasuk hepatitis kronik aktif (postnecrosis cirrhosis), cardiac cirrhosis, hemochromatosis, penyakit Wilson, dan defesiensi a1-antitrypsin. Tanpa mengindahkan penyebabnya, necrosis hepatosit diikuti oleh regenerasi fibrosis dan nodular. Distorsi sel hepar normal dan susunan vascular menghalangi aliran vena portal yang menyebabkan hipertensi portal, sementara kerusakan pada sintesis normal hepar dan fungsi metabolisme berbeda lainnya disebabkan oleh penyakit multisystem. Secara klinis, tanda dan symptom tidak berhubungan dengan keganasan penyakit. Tanda-tanda nyata biasanya tidak terlihat pada awalnya, tapi ikterus dan asites pada akhirnya akan berkembang pada kebanyakan pasien. Tanda-tanda lain termasuk spidernevy, eritema palmaris, ginekomasti, dan splenomegali. Tiga komplikasi utama sirosis hepatis, yaitu ; (1) perdarahan varises, akibat hipertensi portal, (2) retensi cairan, dalam bentuk asites dan sindrom hepatorenal, (3) encephalopathy hepatic atau koma. + 10% pasien juga mengalami setidaknya satu rangkaian peritonitis bakteri spontan, dan beberapa akan mengalami carcinoma hepatoseluler pada akhirnya. Beberapa penyakit akan menghasilkan fibrosis hepar tanpa nekrosis hepatoseluler atau regenerasi nodular. Hal tersebut diakibatkan oleh hipertensi portal dan dihubungkan dengan komplikasi. Fungsi hepatoseluler tidak selalu dapat dipelihara. Kerusakan ini termasuk didalamnya schistosomiasis, fibrosis portal idiopatik (Sindrom Banti), dan fibrosis hepatic congenital. Obstruksi pembuluh darah hepar atau vena cava inferior (Budd-Chiari syndrome) juga dapat menyebabkan hipertensi. Yang terakhir mungkin akibat dari trombosis vena (hypercoaguable state), tumor thrombus (renal carcinoma), atau penyakit oklusi pembuluh darah hepar sublobular.

Pertimbangan preoperatif Efek merugikan dari anestesi dan pembedahan terhadap aliran darah hepar sudah didiskusikan pada bagian yang lain. Pasien dengan sirosis memiliki resiko tinggi mengalami penurunan fungsi hepar karena terbatasnya reservasi fungsional. Keberhasilan penanganan anestesi pada apsien tergantung pada pengenalan sifat/jenis multisistem dari sirosis dan mengontrol atau mencegah komplikasinya.

Manifestasi Sirosis a. Manifestasi Gastrointestinal Hipertensi portal (>10mmHg) mengakibatkan berkembangnya saluran portal-vena sistemik kolateral yang panjang. Secara umum telah diketahui 4 tempat kolateral utama : gastroesofageal, hemorrhoidal, periumbilical, dan retroperitoneal. Hipertensi portalsering muncul sebelum operasi seperti dibuktikan dengan melebarnya pembuluh darah pada dinding abdominal (caput medusa). Perdarahan yang banyak dari varises gastroesofageal adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sirosis. Selain itu, efek dari kehilangan banyak darah, peningkatan muatan nitrogen (tidak jalannya darah pada daerah intestinal) dapat mempercepat terjadinya encephalopathy hepatic. Endoskopi merupakan alat diagnosis dan terapi yang baik. Identifikasi terhadap tempat perdarahan sangat penting, karena pasien ini akan mengalami perdarahan dari ulkus peptic atau gastritis, yang membutuhkan terapi berbeda. Penanganan perdarahan varises umumnya secara suportif. Darah yang hilang harus digantikan dengan cairan intravena. Penanganan non bedah termasuk didalamnya vasopressin

(0,1-0,9 u/min. secara intravena), propanolol, balloon tamponade (dengan tube Sengstaken Blakorhore), somatostatin (250 ug diikuti dengan 250 ug/jam), dan sclerosis endoskopik dari varises. Vasopressin, somatostatin, dan propanolol, mengurangi kehilangan darah. Vasopressin dalam dosis tinggi dapat dihasilkan dalam gagal jantung kongestif atau miokardial iskemik, infuse concomitant dari nitrogliserin intravena dapat mengurangi kemungkinan komplikasi, selain itu juga mengurangi pendarahan . Endoskopik sclerosis atau ligasi dari varises biasanya efektif untuk menghentikan perdarahan + 90% dari seluruh perdarahan. Percutaneus transjugular intrahepatic portosystemic shunts (TIPS) dapat menurunkan hipertensi portal dan perdarahan (tapi, dapat meningkatkan luasnya jangkitan encephalopathy). Pada saat perdarahan gagal dihentikan atau terjadi lagi, pembedahan darurat harus dilakukan. Resiko pembedahan telah diperlihatkan untuk menghubungkan dengan tingkat kerusakan hepar, berdasarkan penemuan klinis dan laboratorium. Prosedur shunting umumnya hanya dilakukan pada pasien dengan resiko rendah, sedangkan pembedahan ablasi, transreseksi esophageal, dan devaskularisasi gaster direncanakan untuk pasien dengan resiko tinggi. Shunt non selektif (portacaval dan proksimal splenorenal) umumnya ditinggalkan daripada shunt selektif (distal splenorenal). Yang terakhir ini menekan varises tapi tidak merusak aliran darah hepar cukup banyak dan mempunyai kecil kemungkinan untuk menyebabkan encephalopathy setelah operasi. b. Manifestasi Hematologi Anemia, trombositopenia, dan jarang terjadi leucopenia, mungkin akan muncul. Penyebab anemia umumnya multifactor dan termasuk didalamnya kehilangan darah, meningkatkan destruksi sel darah merah, penekanan sum-sum tulang, dan defisiensi nutrisi. Splenomegali kongestif (dari hipertensi portal) memiliki peran yang sangat besar dalam trombositopenia dan leucopenia. Defisiensi factor koagulasi akibat penurunan sintesa hepar. Fibrinolisis yang bertambah setelah terjadi penurunan activator system fibrinolytic juga dapat berperan terhadap koagulopati (lihat bab 34). Kebutuhan akan transfuse darah sebelum operasi harus seimbang dengan peningkatan dalam muatan nitrogen. Protein yang tidak bekerja akibat transfusi darah yang sangat banyaka dapat mempercepat encephalopathy. Tapi bagaimanapun, koagulopati harus disembuhkan sebelum pembedahan. Faktor-faktor pembekuan harus digantikan dengan produk darah yang tepat misalnya FFP dan kriopresipitat. Transfusi platelet harus dipertimbangkan segera dan utama untuk pembedahan dengan hitungan < 100.000/uL.

c. Manifestasi sirkulasi Sirosis secara khas ditandai dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik. Cardiac output sering meningkat, dan vasodilatasi perifer secara merata akan muncul. Shunting arteriovenous dapat muncul pada sirkulasi sistemik dan pulmonal. Shunting arteriovenous bersama dengan penurunan dalam viskositas darah karena anemia setidaknya berpengaruh 50% untuk cardiac output. Pasien dengan superimposed alcoholic cardiomyopathy dapat meningkatkan kegagalan jantung kongestif dengan mudah. d. Manifestasi respiratory Gangguan terhadap pertukaran udara pulmonal selain itu juga sering muncul ventilasi mekanis. Hiperventilasisudah umum dan dihasilkan dalam alkalosis respirasi. Umumnya terdapat hipoksemia dan diakibatkan oleh shunting (> 40% dari cardiac output). Shunting disebabkan oleh komunikasiarteriovenous pulmonary (absolute) dan kesalahan ventilasi/perfusi (relatif). Elevasi diafragma dari asites yang menurunkan volume paru-paru, khususnya kapasitas residu fungsional, dan predisposisi pada atelektasis. Terlebih lagi, jumlah yang sangat besar dari asites dapat menyebkan defek pada ventilatory restriktif yang meningkatkan kerja pernapasan. Dengan melihat foto thorax dan pengukuran gas darah artesi sangat berguna sebelum operasi karena atelektasis dan hipoksemia seringkali tidak tampak dalam gejala klinisnya. Paracentesis harus dipertimbangkan untuk pasien dengan asites massif dan pertimbangan pulmonary tapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena perpindahan cairan yang terlalu banyak akan mengakibatkan kolaps sirkulasi. e. Manifestasi Renal dan Keseimbangan Cairan Pengaturan ulang keseimbangan cairan dan elektrolit bermanifestasi sebagai asites, edema, gangguan elektrolit, atau sindrom hepatorenal. Mekanisme penting yang berperan serta dalam timbulnya asites, yaitu : 1. Hipertensi potal, yang meningkatkan tekanan hidrostatik dan transudasi cairan melewati usus 2. cairan 3. Perembesan cairan limfe yang kaya protein dari permukaan serosa hepar Hipoalbuminemia, yang menurunkan tekanan onkotik plasma dan transudasi

m,enjadi distorsi dan obstruksi saluran limfe di hepar

4.

Retensi natrium renal (dan seringkali air).

Kedua teori underfilling dan overflow telah diajukan untuk menjelaskan retensi natrium. Teori underfilling menyatakan bahwa meskipun total cairan ekstraseluleryang dapat diukur dan volume plasma pada pasien sirosis dengan asites meningkat, volume plasma efektif malah menurun; retensi natrium kurang penting untuk hipovolemia relative dan hiperaldosteronisme sekunder. Ketidaksesuaian yang terlihat antara ukuran volume plasma efekstif dapat dijelaskan dengan peningkatan volume darah splanchnic. Sebaliknya teori overflow beranggapan bahwa abnormalitas yang utama adalah retensi natrium oleh ginjal asites merepresentasikan transudasi menengah ke volume plasma yang semakin meluas. Pasien dengan asites telah meningkatkan level sirkulasi katekolamin, yang dianggap disebabkan oleh aliran simpatetik. Sebagai tambahan untuk peningkatan rennin dan angiotensin II, pasien menunjukkan intensifitas pada sirkulasi atrial natriuretic peptide. Tanpa mengindahkan keterlibatan mekanisme, pasien sirosis dan asites telah mengurangi perfusi renal, merubah hemodinamik intrarenal, memperbesarreabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan distal, dan gangguan pada klirens air bebas. Hiponatremia dan hipokalemia sudah umum terjadi. Hiponatremia adalah pengenceran, sedangkan hipokalemi disebabkan oleh kehilangan kalium melalui urin yang sangat banyak (hiperaldosteronisme sekunder atau diuresis). Manifestasi berkembangnya penyakit menuju yang lebih buruk dapat terlihat dengan berkembangnya sindroma hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah suatu gangguan fungsi renal pada pasien sirosis yang biasanya diikuti dengan perdarahan gastrointestinal, diuresis aggresif, sepsis atau pembedahan mayor. Hal ini ditandai oleh oligouria yang progresif dengan retensi natrium yang banyak, azotemia, intractable ascites, dan mortality rate yang tinggi. Penanganannya secara suportif dan sering tidak berhasil kecuali jika dilakukan transplantasi hepar. Terapi cairan preoperative yang bijaksana pada pasien dengan pasien penyakit hepar tingkat lanjut. Pentingnya perawatan fungsi renalsebelum operasi tidak dapat terlalu mendapatkan penekanan. Diuresis pre operasi yang sangat berlebihan harus dihindari, dan deficit cairan intravaskuler akut harus dikoreksi denagn infuse koloid. Diuresis dari asites dan cairan edema harus diselesaikan setelah beberapa hari. Diuresis Loop hanya dapat diberikan setelah pemberian tindakan seperti bedrest, retriksi natrium (<2 g NaCl/d), dan terapi spironolakton dianggap tidak efektif. Pengukuran berat badan setiap hari sangat penting untuk mencegah pengosongan volume intravascular selama diuresis. Untuk pasien yang menderita asites dan edema perifer, tidak lebih dari 1 kg/d harus dihilangkan selama diuresis,

sementara mereka yang hanya memiliki asites saja, yang harus dihilangkan lebih dari 0,5 kg/d. Hiponatremia (serum Na+ < 130 meq/L) juga harus diretriksi cairan, sedangkan deficit kalium harus diganti melalui preoperasi. Infus manitol propilaktif perioperasi mungkin efektif untuk mencegah kerusakan renal, tapi hal ini belum dibuktikan secara pasti.

f. Manifestasi Sistem Saraf Pusat Encephalopaty hepatic ditandai dengan perubahan pada status mental dengan tanda-tanda neurologist yang tidak tetap (asterixis, hiperfleksi, atau refleks plantar yang abnormal) dan perubahan electroencephalographie khusus ( tekanan tinggi-simetris, aktivitas gelombang yang lemah). Beberapa pasien juga mengalami peningkatan tekanan intracranial. Encephalopaty metabolic berhubungan dengan jumlah kerusakan hepatoseluler yang muncul maupun derajat shunting dari daerah portal jauh dari hepar dan langsung masuk ke sirkulasi sistemik. Akumulasi substansi yang berasal dari daerah gastrointestinal tetapi dimetabolisme secara normal oleh hepar telah di libatkan. Toksin, termasuk didalamnya ammonia, methionine metabolit (mercaptans), rangkaian pendek nasam lemak, dan phenol. Keabnormalan lainnya termasuk naiknya level darah dari asam amino aromatic, menurunnya level darah dari asam amino rantai cabang, peningkatan penyerapan oleh sawar darah otak, dan level tinggi yang abnormal dari g-aminobutiric acid dalam otak. Faktor-faktor yang diketahui mempercepat encephalopathy hepatic termasuk perdarahan gastrointestinal, meningkatkan pemasukan diet protein, alkalosis hipokalemi (dari muntah-muntah atau diuresis), infeksi dan memburuknya fungsi hepar.

Encephalopaty seharusnya ditangani secara agresif preoperative. Hal-hal yang bias memicunya harus dikoreksi. Laktulosa oral 30-50 ml 98h atau neomycin 500 mg 96h berguna untuk menurunkan intestinal. penyerapan Laktulosa ammonia

berperan sebagai osmotic laxative dan seperti neomycin mungkin menghalangi produksi ammonia dan bakteri intestinal. Pencegahan sedative pada pasien dengan encephalopathy dianjurkan.

Pertimbangan intraoperatif Pasien dengan postnecrotic sirosis karena hepatitis B atau C yang menjadi pembawa virus mungkin mudah berjangkit. Perhatian ekstra ditunjukkan menghindarkan kontak dengan dengan

darah dan cairan tubuh dari pasien. A. Respon Obat Respon terhadap obat anestesi tidak dapat ditebak pada pasien dengan sirosis. Perubahan pada kepekaan system saraf pusat, volume distribusi, ikatan protein, metabolisme obat, dan eliminasi obat sudah umum. Banyak pasien yang menunjukkan peningkatan kepekaan system saraf pusat ke thiopental, sementara beberapa dengan sejarah alkoholik akan terlihat menunjukkan toleransi. Peningkatan volume distribusi untuk obat-obatan dengan ion tinggi, misalnya neuromuscular blocking agent (disebut juga muscle relaxan), disebabkan oleh meluasnya tempat cairan ekstraseluler, resisten yang terlihat dapat diobservasi, membutuhkan dosis yang lebih besar dari yang normal. Bagaimanapun, dosis yang lebih kecildari yang dibutuhkan oleh anti neuromuscular blocking agent bergantung pada eliminasi di hepar (pancuronium, recuroniam, dan vecuronium) juga diperlukan. Ini merupakan waktu

penanganan yang lama untuk succinilcholine sebagai akibat dari pengurangan level pseudocholinesterase, tapi jarang bermanifestasi klinis.

B. Teknik Anestesi Aliran darah vena porta berkurang pada kasus sirosis. Hepar menjadi sangat bergantung pada perfusi arteri hepatic. Pemeliharaan aliran darah arteri hepatic dan pencegahan terhadap agen yang memiliki kemungkinan memberikan efek yang merugikan fungsi hepar harus kritis. Anestesi regional bias dilakukan pada pasien tanpa trombositopenia atau koagulopati, tapi perawatan yang lebih diatas normal harus diarahkan untuk menghindari hipotensi. Induksi barbiturate diikuti dengan isofluran dalam oksigen atau campuran oksigen-nitrous oxide adalah yang paling umum digunakan dalam anestesi pada umumnya. Penggunaan halotan biasanya dihindari supaya tidak mengacaukan diagnosis jika tes hepar memburuk post operasi. Penambahan opioid mengurangi dosis anestesi inhalasi yang dibutuhkan, tapi waktu paruh opioid cenderung lama.Cisatracurium bisa jadi agen yang memblok neuromuscular yang dipilih, karena metabolisme hepaticnya yang unik. Mual sebelum operasi, muntah, perdarahan gastrointestinal atas, distensi abdomen yang diakibatkan oleh asites yang sangat banyak, membutuhkan induksi yang terencanakan dengan baik. Preoksigenasi dan rangkaian induksi yang sering dengan tekanan cricoid sangat sering dijalankan. Untuk pasien yang tidak stabil dan mereka dengan perdarahan aktif sangat disarankan, intubasi sadar atau induksi yang sering dengan tekanan cricoid menggunakan ketamine (ethiomidate) dan succyniocholine. C. Monitoring Monitoring yang teliti terhadap system respirasi dan kardiovaskular penting bagi pasien yang menjalani prosedur abdominal. Monitoring EKG five lead pada pasien yang diberi infuse vasopressin penting untuk mendeteksi iskemik miokard, vasokonstriksi koroner. Oksimetri denyut nadi harus ditambahkan dengan pengukuran gas darah arteri untuk mengevaluasi status asam basa. Pasien dengan shunt intrapulmonary dari kanan ke kiri yang besar tidak dapat mentoleransi penambahan nitrous oxide dan akan membutuhkan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) untuk mengatasi ketidakcukupan ventilasi/perfusi dan hipoksemia yang mungkin akan terjadi. Monitoring terhadap tekanan intraarterial umum dilakukan terhadap kebanyakan pasien. Perubahan yang cepat pada tekanan darah munculsebagai akibat dari perdarahan yang

sangat banyak, pergantian cairan intercomparemental yang sering dan manipulasi pembedahan. Status volume intravascular seringkali sulit ditentukan tanpa ada monitoring, juga pada vena sentral atau tekanan arteri pulmonary. Monitoring yang seperti ini mungkin kritis untuk mencegah sindrom hepatorenal. Urinary output juga harus diawasi dengan cermat, mannitol atau dopamine dalam dosis rendah harus dipertimbangkan agar bias diperoleh urinary output yang sedikit meskipun perpindahan cairan intravaskuler memenuhi syarat. D. Pemberian cairan Sebelum operasi, sebagian besar pasien mengalami retriksi natrium, namun pada intraoperatif, nperawatan terhadap volume intravascular dan urinary output lebih diprioritaskan. Penggunaan cairan koloid intravena lebih dipilih untuk menghindari berlebihnya muatan natrium dan untuk meningkatkan tekanan onkotik (lihat bab 28). Pemberian cairan intravena harus dipertimbangkan karena perdarahan hebat dan perpindahan cairan yang sering muncul pada pasien dengan prosedur abdominal. Venous engorgement dari hipertensi portal, lisis dan adhesi setelah pembedahan sebelumnya, dan koagulopati yang menyebabkan perdarahan hebat selama pembedahan, sementara evakuasi asites dan prosedur pembedahan yang berkepanjangan mengakibatkan perpindahan cairan dalam jumlah besar. Pemberian cairan koloid intravena sering penting untuk mencegah hipotensi yang dalam dan gagal ginjal yang menikuti perpindahan sejumlah besar cairan asites. Karena sebagian besar pasien mengalami anemia dan koagulopati sebelum operasi, transfusi merupakan hal yang sering dilakukan. Transfusi penting, bisa memberi hasil dalam toksisitas sitrat. Sitrat, merupakan antikoagulan dalam persiapan penyimpanan sel darah merah, dapat dimetabolisme dalam hepar dengan mudah. Toksisitas dapat muncul pada pasien denga sirosis karena mengalami gangguan metabolisme. Sitrat berikatan dengan serum kalsium mengakibatkan hipokalsemia lanjutan. Kalsium intravena sering penting untuk menghilangkan efek negative inotropik dalam satu tetes konsentrat kalsium berion darah. PENYAKIT HEPATOBILIER Penyakit hepatobilier ditandai dengan kolestasis, terhambatnya bahkan terhentinya aliran empedu. Penyebab utama terjadinya kolestasis adalah obstruksi saluran empedu ekstrahepatik (ikterus obstruktif). Obstruksi bilier ini bisa disebabkan oleh batu empedu, striktur, atau tumor pada duktus hepatis kommunis. Pasien yang mengalami obstruksi total

atau hampir total akan mengalami gejala ikterus yang progresif, warna urin yang pekat, kotoran berwarna dempul, dan pruritus. Ikterus obstruktif harus dibedakan dari kolestasis intrahepatik. Kolestasis intrahepatik disebabkan oleh obstruksi aliran empedu di tingkat sel hepar (hepatosit) dan kanalikulus, dimana penyebab utamanya adalah infeksi virus hepatitis atau reaksi obat idiosinkratik (paling sering disebabkan oleh konsumsi fenotiazin dan pil KB). Penanganan obstruksi ekstrahepatik biasanya dengan pembedahan, sedangkan untuk obstruksi intrahepatik diterapi dengan medikamentosa. Meskipun pruritus (akibat akumulasi garam-garam empedu) merupakan gambaran klinis yang paling utama pada kolsestasis intrahepatik, diagnosis yang tepat mungkin tidak bisa didasarkan hanya pada gambaran klinis dan hasil laboratorium. Pada kedua tipe obstruksi di atas terjaddi hiperbilirubinemia terkonjugasi yang berlebihan (> 50%) dan peningkatan alkali fosfatase serum yang moderat (lihat bab 34). Pemeriksaan imaging (ultrasound, kolangiogram, radioisotop atau CT-scan) diperlukan untuk mengkonfirmasi adanya obstruksi saluran empedu ekstrahepatik. Penyakit batu empedu (kolelitiasis) yang masih berada di kandung empedu biasanya tidak bergejala dan biasanya diderita 10-20% dari populasi umum. Biasanya diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan USG abdomen. Gejala baru muncul apabila terjadi kolik saluran empedu akibat obstruksi pada duktus sistikus. Trias kolesistitis adalah nyeri yang tiba-tiba pada kuadran kanan atas, demam, dan lekositosis. Diagnosis dapat dipastikan dengan pemeriksaan scan radioisotop, dimana pada pemeriksaan ini, kandung empedu tidak dapat terlihat. Pasase batu empedu di duktus kommunis juga dapat menyebabkan ikterus yang bersifat sementara. Menggigil yang disertai dengan demam tinggi bisa mengindikasikan adanya infeksi bakteri ke sistem bililaris (kolangitis). Bisa juga terjadi obstruksi duktus pankreatikus akibat batu empedu, namun jarang. Diperkirakan 75% gejala kolesistitis akut sembuh dalam 2-7 hari dengan terapi medis. Sisanya, sekitar 25%, tidak sembuh bahkan mengalami komplikasi berupa empiema, perforasi, gangren, hydrops, fistel, atau ileus batu empedu. Lima dari 10% pasien yang menderita serangan akut mengalami kolesistitis akalkulus yang mungkin terjadi akibat trauma yang serius, luka bakar, persalinan yang memanjang, operasi besar, atau sakit kritis. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan USG atau CT scan abdomen. Pertimbangan Preoperatif Biasanya indikasi pasien dioperasi adalah untuk menjalani kolesistektomi, untuk membebaskan obstruksi saluran empedu ekstrahepatik, atau keduanya. Prosedur operasi yang lazim dilakukan adalah kolesistektomi melalui pendekatan laparoskopi. Kebanyakan pasien

dengan kolesistitis akut harus distabilkan dulu sebelum menjalani kolesistektomi. Terapi medis yang dapat diberikan adalah suction nasogastric, pemberian cairan infus, antibiotik, dan analgetik opiat. Pelaksanaan operasi dapat ditunda pada pasien yang sembuh dari serangan akut, namun pada mereka yang mengalami komplikasi, kolesistektomi darurat mungkin dibutuhkan. Kolesistitis akalkulus biasanya terjadi pada pasien dengan sakit kritis, dimana mereka mempunyai risiko tinggi mengalami gangren dan perforasi; sehingga diindikasikan untuk menjalani operasi darurat. Pasien yang mengalami obstruksi saluran empedu ekstrahepatik apapun penyebabnya biasanya menderita defisiensi vitamin K. Sebaiknya diberikan vitamin K parenteral yang mungkin bekerja optimal setelah 24 jam. Bila sebelum operasi nilai PT belum optimal (tidak dalam batas normal), maka mungkin harus diberikan FFP. Kadar bilirubin yang tinggi mungkin menyebabkan peningkatan risiko gagal ginjal postoperatif; sehingga dianjurkan untuk hidrasi preoperatif dalam jumlah yang banyak. Pada obstruksi hepatik yang sudah berjalan lama (> 1 tahun), mungkin sudah terjadi sirosis hepar dan hipertensi portal. Pertimbangan Intraoperatif Kolesistektomi laparoskopi mempercepat masa penyembuhan pasien, namun insuflasi CO2 ke abdomen selama operasi tersebut dapat mempersulit penanganan anestesi (lihat diskusi kasus bab 23). Mengingat semua golongan opiat dapat menyebabkan spasme sfingter Oddi dalam berbagai derajat, maka penggunaannya masih diperdebatkan bila akan dilakukan pemeriksaan kolangiogram intraoperatif. Spasme sfingter Oddi yang disebabkan oleh penggunaan opiat secara teoritis dapat mengakibatkan hasil positif palsu pada pemeriksaan kolangiogram intraoperatif sehingga eksplorasi duktus biliaris tidak dilakukan. Meskipun sebelumnya hal ini sangat diyakini, namun beberapa dokter memilih tetap menggunakan opiat setelah kolangiogram selesai. Jika diduga terjadi spasme akibat penggunaan opiat, maka dapat diberikan nalokson atau glukagon. Pada pasien dengan obstruksi saluran empedu, pemanjangan durasi obat-obat yang tergantung pada ekskresi empedu harus diantisipasi. Plihlah obat-obat yang dieliminasi di ginjal. Produksi urin harus terus dipantau dengan kateter. Diuresis intraoperatif mungkin diperlukan. Pasien yang menderita kolesistitis akalkulus atau kolangitis berat termasuk dalam pasien kritis yang memiliki angka mortalitas perioperatif yang tinggi. Pemantauan hemodinamik yang invasif dapat memperbaiki perawatan anestesi yang diberikan.

OPERASI HEPAR Prosedur operasi hepar yang lazim dilakukan adalah reparasi laserasi, drainase abses, dan reseksi tumor (primer atau metastase). Pada kebanyakan pasien, hepar bisa diangkat sampai 80-85%. Beberapa sentra bisa melakukan transplantasi hepar. Semua prosedur di atas dapat menimbulkan masalah bagi anestesi sehubungan dengan kehilangan darah intraoperatif dalam jumlah yang banyak. Sirosis dapat menimbulkan komplikasi yang besar pada penanganan anestesi dan meningkatkan mortalitas perioperatif. Pemasangan jalur intravena dengan kanul besar dalam jumlah yang banyak dan penghangat darah mungkin dibutuhkan; semua peralatan yang dapat memudahkan pemberian transfusi darah masif harus disiapkan. Dapat dianjurkan pemasangan jalur arteri dan CVP (central venous pressure). Beberapa dokter menghindari hipotensi anestesia karena berpotensi menyebabkan efek yang serius (membahayakan) jaringan hepar yang tersisa, sementara yang lainnya berpikir bahwa hipotensi anestesia tersebut dapat membantu mencegah kehilangan banyak darah bila dipantau dengan seksama. Pemberian antifibrinolitik seperti aprotinin, asam -aminokaproik, atau asam traneksamat dapat mencegah kehilangan banyak darah intraoperatif. Hipoglikemia dapat terjadi setelah reseksi hepar yang luas. Drainase abses atau kista dapat menyebabkan komplikasi berupa kontaminasi peritoneum. Pada kasushydatid cyst (kista hidatid), spillage dapat menyebabkan anafilaksis akibat antigen echinococcus. Komplikasi postoperatif dapat berupa perdarahan, sepsis, dan disfungsi hepar. Penggunaan ventilator mungkin diperlukan pada pasien yang menjalani reseksi hepar luas.

BAB VI KESIMPULAN Pasien dengan penyakit hati, yang mengalami gangguan sintesis, metabolisme, perubahan hemodinamik dan koagulopati memiliki risiko tinggi mengalami morbiditas dan mortalitas akibat stres tindakan bedah dan anestesi. Tipe operasi dan luasnya disfungsi hati menentukan tingkat morbiditas dan mortalitas pasien dengan gangguan fungsi hati. Pasien dengan operasi abdomen terbuka dan bersifat emergensi memiliki risiko mortalitas yang tinggi. Penilaian preoperatif dan persiapan yang optimal pada pasien penyakit hati dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian pascaoperasi. Penanganan faktor penyulit (malnutrisi, koagulopati, asites, ensefalopati, hipoalbuminemia, perdarahan varies) dan pemantauan pasca-operasi harus dilakukan secara optimal agar dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian pascaoperasi.

Você também pode gostar