Você está na página 1de 2

Patofisiologi

Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner Kongenital pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus, yang merupakan bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang bervariasi. Plexus myenterik (Auerbach) dan submucosal (Meissner) yang tidak terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk melakukan gerakan peristaltik. Hingga saat ini, mekanisme pasti tentang perkembangan penyakit Hirschsprung masih belum diketahui. Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang apabila berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada minggu ke 7 kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12 kehamilan. Salah satu etiologi penyakit Hirschsprung ini adalah adanya gangguan migrasi dari neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun etiologi lain mengatakan bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun ada kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi atau berdifferensiasi di bagian distal aganglionik segmen. Distribusi abnormal menyebabkan usus dan komponen-komponennya membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara

neuronal, seperti fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan faktor-faktor neurotropik. Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal (Meissner), plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang lebih kecil. Ketiga plexus ini akhirnya tergabung dan berpengaruh pada segala aspek dari fungsi bowel, termasuk absorpsi, sekresi, motilitas dan aliran darah. Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron intrinsic. Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik hilang. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi, dan serat adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi. Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk, sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi, baik kolinergik maupun adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem adrenergik (excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos. Dengan hilangnya nerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang

meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi fungsional.

Klasifikasi Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam : 1. Megakolon kongenital segmen pendek Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%). 2. Megakolon kongenital segmen panjang Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%). 3. Kolon aganglionik total Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-%) 4. Kolon aganglionik universal Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)

Daftar Pustaka

Sjamsuhidajat dan Wim de jong. Tindakan Bedah: organ dan sistem organ, usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, In: Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2004: 908-10.

Farid Nur Mantu. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC, 1993.

Jannah, D., et all., 2011., Karakteristik Penderita dan Penatalaksanaan Megakolon Kongenital di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Tahun 2005-2010, Referat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Jenderal Soedirman.

Você também pode gostar