Você está na página 1de 24

HAK DAN KEDUDUKAN POLITIK PEREMPUAN DALAM KONTEK NORMA HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN

Disampaikan dalam sarasehan Pendidikan Politik tahun 2013 Dengan tema Meningkatkan pemahaman msyarakat tentang etika dan budya politik untuk menciptakan poltisi yang bermoral Kerjasama LSM LPAKD dengan Dirjen Kesbangpol Kemendagri RI

OLEH : Esi Suharto, SH.,M.Si. Minggu, 30 Juni 2013

I. PENDAHULUAN
Dalam suatu Negara Demokrasi, tidak boleh ada bagian Warga Negara yg dipinggirkan atau di diskriminasi, apalagi kelompok perempuan yg jumlahnya lebih dr separo penduduk Indonesia, dan dewasa ini suaranya nyaris tak terdengar (silent majority). Perempuan yg sdh berabad-abad di kondisikan di ranah domestik dan ditempatkan lebih rendah dari laki-laki, banyak di diskriminasi dan dibatasi hakhaknya sejak dlm kandungan, sudah tentu saat ini dalam posisi yang tertinggal jauh dari laki-laki yang dpt berlari meluncur di jln tol tanpa hambatan yang berarti.

Perempuan umumnya dibiasakan berfungsi sebagai ibu rumah tangga dgn pekerjaan urusan belakang/domestik atau dikenal dgn sebutan 3M (Manak, Macak, Masak).
Bahkan tak jarang urusan balakang ini sudah dikodratkan seolah-olah sudah melekat sejak lahir pada perempuan dan tak bisa diubah atau ditukar-tukar, sedangkan laki-laki dianggap sbg kepala kel dgn fungsi cari nafkah & pengambil kpts yg menentukan dalam keluarga.

Hal ini mempunyai dampak :


Pembakuan peran/pelabelan (Stereotyping) dan pembagian pekerjaan berdasarkan jenis kelamin spt ini, menyebabkan WN yg perempuan tak faham tg jw publiknya dan tak banyak ikut campur urusan negara dan dalam menentukan kebijakan publik, termsk kebijakan yg menyangkut dirinya sbg WN yg dijamin hak & kewajiban yg sama dgn laki-laki, tanpa diskriminasi.

Dampak lebih jauh ialah perempuan umumnya berperan sbg obyek dan pelaksana ketimbang sbg subyek, lebih banyak diatur dr pd mengatur, lebih banyak nrimo dr pd mengeluarkan isi hati dan pendapatnya, sampai-sampai mengatur tubuhnya sendiripun harus tergantung pada orang lain.

ISU POKOK
Kesenjangan antara citra dan fakta, persamaan hak dan kesetaraan antara dejure dan defacto. Sedikitnya perempuan dalam struktur kekuasaan dan perumusan kebijakan publik adalah a deficit of democracy, krn mereka tdak ikut menentukan prioritas kepentingan dan pengalokasian anggaran/sumber pembangunan yg diperlukan.

Oleh karena itu, wajarlah apabila sekarang diperlukan suatu terobosan dan dorongan dgn mengambil TINDAKAN KHUSUS SEMENTARA /TKS (Temporary Special Measines/ Affirmative Action) antara lain melalui mekanisme TKS, sekurang-kurangnya 30% perempuan (bukan recerved seats dan bukan hadiah) dalam lembaga-lembaga publik, agar perempuan dapat berjalan lebih cepat mengejar ketertinggalan, unt kemudian mencapai persamaan de facto atau persamaan substantif dan menjadi mitra setara dgn laki-laki dalam membangun bangsa ini.

II. LANDASAN HUKUM


Persaamaan hak dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki termasuk Hak Politik Perempuan sudah dijamin dalam : 1.UUD RI 1945 Ps 27 (1) : segala WN bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Pasal 28 I (2) : setiap orang berhak bebas dari perlakuan yg bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan thd perlakuan yang diskriminatif itu. 2.Undang Undang RI No. 68 Tahun 1958, tentang penjelasan Konvensi Hak Politik Perempuan (1952) ---- sudah diratifikasi 59 tahun yg lalu.

3. Undang-Undang RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asazi Manusia, khususnya pasal 43 dan pasal 45 51,ttg Hak Wanita termasuk Hak Pilih, Dipilih, Diangkat dlm Jabatan Publik dan mendpt perlindungan khusus dalam pekerjaan. 4. Undang-Undang RI No.12 Tahun 2005 ttg Pengesahan Konvensi Internasional HakHak Sipil dan Politik (ICCPK,16 Des 1966) baru diratifikasi 25 tahun kemudian.

Khusus pasal 3 yang menjelaskan persa maan hak antara perempuan dan laki-laki, dan pasal 25 yang mengatur ttg hak WN untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, mempunyai akses yg sama pd jbtn publik. 5.Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCK 1976) diratifi kasi UU No.11 Tahun 2005

6.UU No.7 Tahun 1984, ttg Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi thd Wanita (Conven tion on the Elimination of All Forms of Dis criminatian Against Women/CEDAW 18 Desember 1979) sudah diratifikasi 32 th. Khusus pasal 7 dan 8 ttg Hak Pilih dan Di pilih, Hak Berserikat dan Berorganisasi , serta Hak Mewakili Negara dlm Forum Internasional.

7.Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pd Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002, Bagian 10 Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, butir 4 yang merekomendasikan pada Presiden : Membuat kebijakan, peraturan dan program khusus untuk peningkatan keterwakilan perempuan di lembagalembaga pengambil keputusan dengan jumlah minimun 30 %. 8. Undang Undang RI.No.22 Tahun 2007 ttg Penyelenggaraan Pemilihan Umum, ps.6 ayat (5) : Komposisi Keanggotaan KPU, KPU Propinsi,dan KPU Kab/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan seku rang-kurangnya 30%.

Pasal 73 ay(8) : Komposisi keanggotaan Bawaslu, Panwaslu Propinsi,Panwaslu Kab/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
9.UU No.2 Tahun 2008 ttg Partai Politik, Pasal 2 ay(2) : Pendirian dan Pembentukan Partai Politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Ay(5) : Kepengurusan Parpol tingkat pusat disusun dgn menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan.

Pasal 20 : Kepengurusan Parpol tingkat Propinsi dan Kab/Kota disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yg diatur dlm AD dan ART Parpol masing-masing. 10.UU No.2 Tahun 2011 ttg Partai Politik. Ps.2 ay(2): sama no.9 Ps.2 ay(5): samapaling sedikit. Ps.29 ay(1a): Rekrutmen dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi scr demokratis sesuai AD dan ART dgn mempertimbangkan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.

11.UU No.10 Tahun 2008 ttg Pemilu Anggota DPR,DPD dan DPRD. Ps.8, ay(1) huruf d : menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tk.pusat. Ps.15,ay(3) huruf d : surat keterangan dr pengurus pusat parpol ttg penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% sesuai dgn perat. per-uu an. Ps.55,ay(2) : Di dalam daftar bakal calon,setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdpt sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon

Ps. 57,ay (1),(2),(3) : KPU, KPU Prop. dan KPU Kab/Kota melakukan verifikasi thd kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan adminis trasi calon anggota DPR, DPRD Prop, DPRD Kab/Kota dan verifikasi thd terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan. Ps.56,ay (2) : Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan, KPU, KPU Prop,dan KPU Kab/Kota memberikan kesempatan kepada parpol untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.

Jaminan hukum dgn jumlah yg jelas (30%) ini, sangat penting, karena menurut penelitian yg dilakukan oleh PBB, jml minimal 30% mrpk suatu critical mass untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan. Dgn dicantumkannya jml minimal 30% berarti ada target yg harus dicapai dan bisa di ukur sejauh mana telah terjadi perubahan. Suatu critical mass yang akan membawa dampak pada keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik.

Jumlah 30% ditetapkan untuk menghindari dominasi dari salah satu jenis kelamin dlm lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik dan menyangkut hajat hidup rakyat banyak, atau dengan perkataan lain, jumlah keterwakilan laki-laki atau perempuan tidak boleh ada yang melebihi 70%.

III. KESIMPULAN
A.Dasar Hukum Tindakan Khusus Sementara seperti tsb diatas secara jelas menyebutkan bahwa : 1. Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama.

2. Tindakan Khusus Sementara ditujukan untuk mempercepat persamaan de facto antara perempuan dan laki-laki.

3. Tindakan Khusus Sementara tidak boleh dianggap sebagai tindakan diskriminatif terhadap laki-laki .
4. Tindakan Khusus Sementara hanya unt sementara, tidak dimaksudkan untuk selama-lamanya, Tindakan Khusus Se mentara dihentikan bila tujuan persamaan/hasil yang diinginkan telah tercapai.

B. Mengapa perlu lebih banyak keterlibatan perempuan di bidang politik atau pada posisi strategis dan penentu kebijakan ? paling tidak ada 4 (empat) alasan yang sangat mendasar, yaitu :
1. Keadilan ; Perempuan separo penduduk, karenanya mempunyai hak keterwakilan. . 2. Kepentingan ; Perempuan dan laki-laki mempunyai kepentingan yang berbeda dan tidak selalu harus sama.

3. Alasan Simbolik ; Perempuan akan tertarik pada politik ,apabila ada contoh (role models)

4. Alasan Demokratis ; Partisipasi dan ke terwakilan yang seimbang antara perem puan dan laki-laki memantapkan pembangunan tata pemerintahan yang demokratis.

SEKIAN DAN TERIMA KASIH

Você também pode gostar