Você está na página 1de 7

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20364%20ttg%20Pedoman%20Pen gendalian%20Demam%20Tifoid.

pdf

Demam Tifoid
Widodo Darmowandowo , M. Faried Kaspan

BATASAN Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. PATOFISIOLOGI Setelah melalui asam lambung, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler GEJALA KLINIS Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat. 1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari. 2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi. 3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma. LANGKAH DIAGNOSTIK 1. Amanesis 2. Tanda klinik 3. Laboratorik a. Leukopenia, anesonofilia

b. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air kemih minggu III c. Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium rekonvalescen titer makin meninggi d. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typphi dengan Tubex TF cukup akurat dengan e. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M DIAGNOSA BANDING 1. Influenza 2. Bronchitis 3. Broncho Pneumonia 4. Gastroenteritis 5. Tuberculosa

6. Malaria 7. Sepsis 8. I.S.K 9. Keganasan : - Leukemia - Lymphoma

KOMPLIKASI/PENYULIT Penderita Demam tifoid mungkin mengalami penyulit. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo macam penyulit yang pernah didapatkan antara lain adalah otitis media, pnemoni, ensefalopati, syok, ileus, melena, ikterus, karditis, ISK. Termasuk penyulit adalah relapse (kambuh), karier, perdarahan usus, perforasi, gangguan status mental berat. PENATALAKSANAAN Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Kadang-kadang perlu konsultasi ke Divisi Hematologi, Jantung, Neurologi, bahkan ke Bagian lain/Bedah. PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.

Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diberi ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari, atau kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon. PENATALAKSANAAN PENYULIT Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus. PENATALAKSANAAN EPIDEMIOLOGIS Meliputi isolasi penderita berupa isolasi gastrointestinal, sedangkan pemutusan transmisi dengan pengelolaan disposal dan terapi pembawa kuman (carrier), sedangkan pencegahan dengan melakukan immunisasi. PENCEGAHAN Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan. Pada saat ini telah ada di pasaran berbagai vaksin untuk pencegahan demam tifoid. Vaksin chotypa dari kuman dimatikan (whole cell) tidak digunakan lagi karena efek samping yang terlalu berat dan daya lindungnya pendek. Dua vaksin yang aman dan efektif telah mendapat lisensi dan sudah ada di pasaran. Satu vaksin berdasar subunit antigen tertentu dan yang lain berdasar bakteri (whole cell) hidup dilemahkan. Vaksin pertama, mengandung Vi polisakarida, diberikan cukup sekali, subcutan atau intramuskular. Diberikan mulai usia > 2 tahun. Re-imunisasi tiap 3 tahun. Kadar protektif bila mempunyai antibodi anti-Vi 1 g/ml. Vaksin Ty21a hidup dilemahkan diberikan secara oral, bentuk kapsul enterocoated atau sirup. Diberikan 3 dosis, selang sehari pada perut kosong. Untuk anak usia 5 tahun. Reimunisasi tiap tahun. Tidak boleh diberi antibiotik selama kurun waktu 1 minggu sebelum sampai 1 minggu sesudah imunisasi. Penderita dinyatakan sembuh Gejala, tanda sudah hilang dan tidak ada komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA 1. Christie AB. Typhoid and Paratyphoid Fevers in : Infectious Disease Vol. 1, 4th ed. Churchill Livingstone : Medical Division of Longman Group UK Limited, 1987 : 100. 2. Hoffman S. : Typhoid fever in Warren KS dan Mahmpud AAF (eds) : Tropical and Geographical ed ke 2, New York, Mc Graw-Hill Information Services Co. (1990). 3. Pang T, Koh KL, Puthucheary SD (eds) : Typhoid fever : Strategies for the 90s, Singapore, World Scientific, (1992). 4. Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfred CM (eds) Infectious disease in children, ed ke 9, St. Louis, Mosby Yerabook Inc. (1992). 5. Cleary Th G. Salmonella species in longess, Pickerling LK, Praber CG. Principles and Practice of Pediatric Infectious Disease Churchill Livingstone, New York 1nd ed, 2003 : hal. 830.
http://old.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07 110-fkxu277.htm

Anemia Defisiensi Besi Pada Bayi dan Anak

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita. Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB . Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%. Fungsi zat besi yang paling penting adalah dalam perkembangan system saraf yaitu diperlukan dalam proses mielinisasi, neurotransmitter, dendritogenesis dan metabolism saraf. Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi. Besi juga merupakan sumber energy bagi otot sehingga mempengaruhi ketahanan fisik dan kemampuan bekerja terutama pada remaja. Bila kekuranganm zat besi terjadi pada masa kehamilan maka akan meningkatkan risiko perinatal serta mortalitas bayi. Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama (kronis) dan dapat ditemukan gejala komplikasi, a.l. lemas, mudah lelah, mudah infeksi, gangguan prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan gangguan perilaku.

Penyebab defisiensi besi menurut umur Bayi kurang dari 1 tahun

1. 2.

Cadangan besi kurang, a.l. karena bayi berat lahir rendah, prematuritas, lahir kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan. Alergi protein susu sapi

Anak umur 1-2 tahun 1. 2. 3. 4. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum susu murni berlebih. Obesitas Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis. Malabsorbsi.

Anak umur 2-5 tahun

1. 2. 3. 4.

Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis heme atau minum susu berlebihan. Obesitas Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis baik bakteri, virus ataupun parasit). Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel/poliposis dsb).

Anak umur 5 tahun-remaja

1. 2.

Kehilangan berlebihan akibat perdarahan(a.l infestasi cacing tambang) dan Menstruasi berlebihan pada remaja puteri.

Penanganan anak dengan anemia defisiensi besi yaitu :

1. 2.

Mengatasi faktor penyebab. Pemberian preparat besi Oral

a. Oral

Dapat diberikan secara oral berupa besi elemental dengan dosis 3 mg/kgBB sebelum makan atau 5 mg/kgBB setelah makan dibagi dalam 2 dosis. Diberikan sampai 2-3 bulan sejak Hb kembali normal Pemberian vitamin C 2X50 mg/hari untuk meningkatkan absorbsi besi. Pemberian asam folat 2X 5-10 mg/hari untuk meningkatkan aktifitas eritropoiesis Hindari makanan yang menghambat absorpsi besi (teh, susu murni, kuning telur, serat) dan obat seperti antasida dan kloramfenikol. Banyak minum untuk mencegah terjadinya konstipasi (efek samping pemberian preparat besi)

b. Parenteral Indikasi:

Adanya malabsorbsi Membutuhkan kenaikan kadar besi yang cepat (pada pasien yang menjalani dialisis yang memerlukan eritropoetin) Intoleransi terhadap pemberian preparat besi oral

Pencegahan Pendidikan 1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat :

Tentang gizi dan jenis makanan yang mengandung kadar besi yang tinggi dan absorpsi yang lebih baik misalnya ikan, hati dan daging. Kandungan besi dalam ASI lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi tetapi penyerapan/bioavailabilitasnya lebih tinggi (50%). Oleh karena itu pemberian ASI ekslusif perlu digalakkan dengan pemberian suplementasi besi dan makanan tambahan sesuai usia.

2. Penyuluhan mengenai kebersihan lingkungan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi bakteri/infestasi parasit sebagai salah satu penyebab defisiensi besi.

Suplementasi besi: Diberikan pada semua golongan umur dimulai sejakbayi hingga remaja

Endang Windiastuti UKK Hematologi-Onkologi IDAI

copyright 2009 - Ikatan Dokter Anak Indonesia

http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=20125795911 typhoid

Você também pode gostar