Você está na página 1de 10

1

ANGIOFIBROMA NASOFARING

1. Pendahuluan Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor nasofaring yang secara histologis jinak, terdiri tetapi secara klinis bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Salah satunya adalah teori jaringan asal, yaitu tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah dinding posterolateral atau atap rongga. Salah satu diantaranya adalah teori ketidakseimbangan hormonal, yang mengemukakan penyebab angiofibroma adalah overproduksi estrogen atau defisiensi androgen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur penderita yaitu banyak ditemukan pada pria kisaran umur 14-25 tahun. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga Angiofibroma Nasofaring Belia.

Angiofibroma nasofaring belia merupakan tumor yang jarang ditemukan, diperkirakan hanya 0,05% dari keseluruhan tumor kepala dan leher. Insidensi di berbagai negara diperkirakan 1 per 5000 sampai 1 per 50.000 dari jumlah keseluruhan pasien THT. Sedangkan di Indonesia dari beberapa rumah sakit pendidikan melaporkan 2 sampai 4 kasus angiofibroma nasofaring belia dalam 1 tahun. Namun demikian, tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring yang paling sering ditemukan. Keterlibatan intrakranial dilaporkan terjadi pada 10-36% kasus dengan glandula pituitari, fossa kranii anterior dan media sebagai bagian yang palingsering terkena. Angka kekambuhan setelah terapi dilaporkan bervariasi antara 0% hingga 57%.

2. Etiologi Penyebab dari angiofibroma nasofaring belia belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Pada
Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal dan teori ketidakseimbangan hormonal.

Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut merupakan matriks dari angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari ruang vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung.

Sedangkan

teori

ketidakseimbangan

hormonal

menyatakan

bahwa

terjadinya

angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya kesamaan pertumbuhan pembentukkan tulangdasar tengkorak menyebabkan terjadinya hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.

3. Histopatologi Secara histopatologis angiofibroma nasofaring mengandung dua unsur yaitu jaringan pembuluh darah dan jaringan ikat fibrosa dengan sel-sel bintang dan fibroblas muda. Dinding pembuluh darah tumor tidak mempunyai jaringan ikat elastis maupun otot sehingga mudah terjadi perdarahan hebat bila tersentuh. Pada tumor yang baru tumbuh, komponen pembuluh darah tampak mendominasi dibandingkan jaringan ikat fibrosa yang hanya sedikit. Sementara pada tumor yang sudah lanjut terjadi hal sebaliknya. Komponen pembuluh darah dapat dilihat melalui arteriografi di mana pada tumor yangmasih baru tampak hipervaskularisasi daerah yang terdapat tumor, sedangkan pada kasus yang lanjut gambaran vaskularisasi berkurang. Bila
Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

dihubungkan dengan umur, maka perdarahan yang terjadi lebih banyak pada penderita umur di bawah 15 tahun. Ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa dengan bertambahnya umur, angiofibroma nasofaring akan mengandung lebih banyak jaringan ikat atau unsur pembuluh darahnya berkurang . 4. Patofisiologi Tumor pertama kali tumbuh dibawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas kearah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan kearah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila. Dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor telah mendesak salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah yaitu muka kodok.

Gambar 1: Lokasi tumor nasofaring

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

5. Gejala Klinis

Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat bervariasi tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan penyakit gejala yang paling sering ditemukan (lebih dari 80%) adalah hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan dengan adanya dan epistaksis masif yang berulang. Sedangkan penderita yang lanjut datang dengan keadaan umum yang lemah, anemia, gangguan menelan, gangguan pernapasan karena tersumbatnya hidung dan nasofaring. Tumor juga dapat mengakibatkan deformitas wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan proptosis sehingga wajah penderita angiofibroma nasofaring tampak seperti kodok, ini dikenal dengan wajah kodok.

Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain: 1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi hidung oleh tumor memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis. 2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged nasal discharge). Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent). 3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke intrakranial. 4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%. 5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba eustachius. 6. Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik. 7. Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat penimbunan sekret saat rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga atas septum nasi. 8. Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain) 9. Nyeri telinga (otalgia) 10.Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), 11.Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke lateral.
Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Gambar 2: Muka kodok pada penderita angiofibroma nasofaring

6. Diagnosis Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelah tindakan operasi. Biopsi merupakan kontraindikasi sebab dapat mengakibatkan perdarahan yang massif. Biopsi sebaiknya tidak dilakukan, atau dapat dilakukan di atas meja operasi dengan persiapan untuk operasi pengangkatan tumor. Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis massif yang berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada wajah. Selain itu perlu ditanyakan tanda-tanda umum dari tumor seperti adanya penurunan berat badan dan kelelahan. Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi anterior dan posterior akan terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan konsistensi kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, sedangkan pada penderita yang lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi. Foto polos sinus paranasal 3 posisi menggambarkan adanya massa jaringan lunak pada daerah hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

sekitar nasofaring, akan tetapi kurang menunjukkan gambaran yang khas untuk angiofibroma nasofaring belia.

Pada pemeriksaan radiologis konvensional (Rontgen kepala AP, lateral dan Waters) akan terlihat gambaran klasik yang dikenal sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fisura pterigopalatina melebar. Pemeriksaan CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa pterigopalatina. Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran adanya massa di daerah posterior rongga hidung dan fossa pterigopalatina serta adanya erosi tulang di belakang foramen spenopalatina. Pada CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya. Penciteraan Resonansi Magnetik (MRI) dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis angiofibroma nasofaring belia terutama pada kasuskasus yang telah menginfiltrasi ke intrakranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang lebih baik untuk jaringan lunak karena mampu membedakan suatu massa tumor dengan struktur penting di sekitarnya (orbita, duramater, arteri karotis interna, dan sinus kavernosus).

Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh darah pemasok utama untuk tumor serta mengevaluasi besar dan perluasan tumor. Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan terlihat vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris interna homolateral.

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.

1. Klasifikasi menurut Sessions: 1. Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring 2. Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal. 3. Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

4. Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita. 5. Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intracranial yang minimal. 6. Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.

2. Klasifikasi menurut Fisch : 1. Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang. 2. Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang. 3. Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus. 4. Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.

7. Pengobatan Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal, radioterapi. Operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena resiko perdaraha yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi laretal, rinotomi sublabial (sublabial mid-facial degloving) . atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal. Selain itu operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan dipandu CTScan 3 dimensi dan penganngkatan tumor dapat dibantu dengan laser.

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Gambar 4: operasi dengan pendekatan sublabial (midfacial degloving).

Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain embolisasi untuk mengurangi pendarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anestesi dengan teknik hipotensi.

Pengobatan hormonal diberikan pada pasien stadium I dan II dengan preparat testosterone reseptor bloker (flutamid). Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotatik radioterapi (gamma knife) atau jika tumor meluas ke intracranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi.

Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi hormonal dengan preparat testosterone reseptor bloker (flutamid) selama 6 minggu sebelum operasi, meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.

8. Prognosis Prognosis angiofibroma pada penderita muda adalah baik meskipun kekambuhan merupakan persoalan penyakit karena pengaruhnya terutama berhubungan dengan kondisi psikologis penderita. Angka kekambuhan setelah terapi dilaporkan bervariasi antara 0% hingga 57%.Salah satu penelitian menyebutkan angka rekuren 2,5% dari 19-40
Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

penderita yang dirawat, dan satu dari penderita yang ada mengalami kekambuhan sampai 12 kali. Angka mortalitas penyakit ini sekitar 3%.

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad S Efiaty, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: FKUI, 2012.


2. Adams GL, et al. Boies-Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 1997.


3. Tewfik

TL.

Juvenile

Nasopharyngeal

Angiofibroma.

Available

from

URL:

http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm

Gambar 1: www.csmc.edu/images/nasopharyngeal_tumor_8082 Gambar 2: www.monografies.com/trabajos63/alteracrones Gambar 3: www.ajronline.org/cgi/content_nwfull/189 Gambar 4: www.scielo.br/img/ftpe/rboto

Fella Noprita Muqhny/ FK UISU/ 081001083

Você também pode gostar