Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Bermula dari diskusi kecil pada mata kuliah Pembangunan Drainase dan Pemeliharaan Jalan selama dua tahun berturut-turut yaitu 2002 dan 2003 di Program Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya Institut Teknologi Bandung (STJRITB), ternyata banyak dijumpai masalah drainase perkotaan di Kota Bandung. Diskusi tersebut bukan penelitian detail, tetapi merupakan aplikasi pemahaman materi kuliah drainase kepada mahasiswa Program Magister STJR-ITB terhadap masalah faktual di lapangan. Metode studi yang dilakukan adalah mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk melakukan identifikasi dan mengajukan beberapa alternatif solusi untuk masing-masing daerah studi. Kondisi sebenarnya masing-masing daerah studi diuraikan secara singkat di beberapa sub-bab yang menjadi bagian dari tulisan ini. Satu hal yang menarik bahwa masalah drainase perkotaan di Kota Bandung dan kebanyakan di kota besar di Indonesia penyebabnya ternyata bukan karena soal teknis, tetapi lebih pada soal non-teknis seperti faktor lingkungan, perilaku masyarakat, sampah dan lain-lain. Pada kesempatan ini, dari pihak perguruan tinggi dalam hal ini ITB berupaya mengemban fungsinya sebagai akademisi yang meneliti dan memberikan rekomendasi solusi, khususnya pada Masalah Drainase Perkotaan di Kota Bandung. Salah satu upaya itu adalah menyosialisasikannya ke media-massa, seperti di Pikiran Rakyat. Jika substansi tulisan ini ditanggapi masing-masing stakeholder, misalnya dinas-dinas terkait dan masyarakat, maka diharapkan Masalah Drainase Perkotaan di Kota Bandung akan bisa segera diselesaikan dan menata Kota Bandung menjadi semakin cantik, nyaman dihuni dan dikunjungi, sebagai Paris van Java.
Filosofi Drainase
Secara geografis, Bandung ada di wilayah pegunungan yang memiliki terrain mountainous yang secara alami memiliki beda kontur ketinggian yang cukup signifikan. Secara drainase alam, terrain mountainous ini mempunyai alur-alur yang menyalurkan air dari dataran tinggi ke sungai dan akhirnya ke laut. Masalah timbul ketika mulai muncul pembangunan di kawasan tersebut yang merubah kontur alam dan daerah resapan air. Pembangunan kawasan biasanya dimulai dengan prasarana wilayahnya, yaitu jalan. Dengan adanya pembangunan jalan dan diikuti permukiman, industri dan seterusnya mengakibatkan galian dan timbunan (cut-and-fill) yang merubah elevasi-topografi wilayah. Jika pembangunan tidak memperhatikan keberadaan air dan pengalirannya baik secara alamiah maupun buatan maka permasalahan besar akan timbul di kemudian hari; mulai banjir, kemacetan, kecelakaan, musibah penyakit akibat kontaminasi dengan sampah, berhentinya suatu aktifitas dan lainlain. Banjir besar yang telah melanda Jakarta beberapa waktu lalu mencerminkan
masalah drainase jalan dan perkotaan yang tidak direncanakan dengan baik dan terakumulasi selama ini.
Drainase adalah sistem untuk menangani kelebihan air dari alam maupun aktifitas manusia yang perlu ditangani atau dibuang. Kelebihan air tersebut meliputi: (a) air, aliran atau limpahan di atas permukaan (surface flow, run off) disingkat air permukaan, (b) air, aliran atau limpahan di bawah permukaan (sub-surface flow, sub flow). Falsafah yang digunakan dalam drainase adalah: Drainase alami yang baik dimiliki oleh suatu daerah, tidak boleh diganggu. Ada tiga jenis drainase, yaitu: (a) Drainase Perkotaan, untuk pembuangan air hujan. Aliran permukaan yang terkumpul di jalan dialirkan melalui inlet ke dalam riool air hujan di bawah perkerasan jalan, lalu dibuang ke sungai, danau, laut; sedapat mungkin dibuat gravitasional, tapi jika tidak mungkin, digunakan sistem pompa, (b) Drainase Lahan, membuang kelebihan air permukaan dari daerah, atau mungkin turunkan taraf muka air tanah sampai di bawah zona akar untuk memperbaiki tumbuhnya tanaman, atau mengurangi garam-garam tanah; diterapkan untuk pertanian dan perkebunan, serta (c) Drainase Jalan. Pada studi masalah drainase perkotaan, ketiga jenis drainase ini terkait erat. Drainase Jalan Cihampelas (Simpang Gandok)
Pada pertengahan April 2003, akibat curah hujan yang tinggi, genangan air kembali terjadi. Warga setempat khususnya yang tinggal di sisi jalan arah Cihampelas, dengan caranya sendiri membuat lubang ( 0,75 x 0,50 m2) tepat di atas box culvert dan menggali serta memperpanjang gutter inlet ke arah Jalan Siliwangi dengan maksud aliran dapat segera masuk ke box culvert dan sisanya mengalir ke Jalan Siliwangi. Untuk sementara genangan air dapat diatasi, tetapi beberapa hari kemudian lubang tersebut ditutup kembali oleh pihak yang disebut masyarakat setempat dari salah satu dinas pemda. Pada dasarnya, hingga pada taraf tertentu, masyarakat mampu mengidentifikasi masalah dan mencari solusinya. Di sisi lain, keterbatasan pemerintah dalam pemeliharaan jalan dan drainase, mungkin sudah waktunya menyerahkannya kepada masyarakat dalam porsi yang wajar dengan koordinasi yang baik dengan pemerintah. Hanya karena instant, tidak terkoordinasi dan parsial, sehingga tindakan sepihak masyarakat seperti kasus di atas memberikan kesan merusak jalan. Padahal, kasus tersebut sangat mungkin sebagai ekspresi spontanitas yang mencerminkan rasa keputus-asaan atas lambannya reaksi aparat pemerintah dan kebingungan warga menghadapi ancaman banjir akibat drainase yang tidak baik.
Jalan Laswi sebagai major road dari simpang menjadi tergenang karena tidak berfungsinya sistem drainase. Hal ini disebabkan hilangnya resapan air seperti pepohonan dan rerumputan, serta tidak sebandingnya ukuran saluran drainase untuk melayani air permukaan. Kondisi ini diperparah dengan berkurangnya penampang basah saluran akibat endapan lumpur dan sampah.
menutupi lubang-lubang saluran yang menghubungkan bahu kanan jalan dengan saluran samping. Pada saluran sisi kiri, banyak yang sudah mengalami kerusakan karena sebagian saluran itu sudah ditumbuhi tanaman dan rumput. Pada bagian kiri jembatan, saluran kanannya merupakan sebuah parit dengan lebar 3 meter. Setengah dari parit ini berisi sampah dan endapan tanah. Parit ini mengalir menyeberangi jalan dengan membentuk huruf L dengan aliran menjauhi jembatan ke arah barat jalan tersebut. Sampah dan endapan tanah ini terutama terdapat di bagian kelokan sungai yang menyeberangi Jalan Kebon Kawung. Saluran di sekitar jembatan kondisinya penuh endapan tanah dan lumpur, ditumbuhi rumput dan kondisinya tidak mengalir. Dengan kondisi saluran sisi kiri maupun kanan tidak dapat berfungsi dan tidak terawat. Kondisi saluran samping Jalan Cicendo relatif lebih baik dari Jalan Kebon Kawung. Profil memanjang jalan dan saluran samping yang menurun menyebabkan air di dalam saluran samping mengalir searah dengan kemiringan, sehingga endapan lumpur tidak mengendap di saluran. Dari survey pada saat kering, saluran tersebut masih dapat berfungsi tetapi tidak optimal. Kondisi gorong-gorong segi-empat yang ada sekarang setengahnya tertimbun endapan lumpur dan sampah yang terbawa dari saluran samping di Jalan Kebon Kawung dan Jalan Cicendo.
Ketujuh, adanya sedimentasi pada sepanjang saluran pinggir jalan yang diakibatkan oleh erosi baik dari badan jalan yang rusak maupun dari daerah samping di sepanjang jalan. Kedelapan, adanya tanggapan positif masyarakat dalam rangka pemeliharaan samping jalan secara swadana dan swakelola oleh masyarakat, yaitu dengan mempekerjakan warga setempat yang tuna karya. Hanya saja selama ini pengelolaan dana retribusi oleh kelurahan belum optimal.
Beberapa Penyebab
Dari beberapa kondisi daerah studi yang telah diuraikan di atas, maka secara umum masalah drainase perkotaan terutama yang terjadi pada kasus-kasus drainase jalan raya di beberapa lokasi daerah studi yang diamati dalam wilayah Kota Bandung adalah : Pertama, secara teknis tampak pada perencanaan sistem drainase memang kurang ideal, baik dari sisi dimensi maupun jaringan regional, sehingga drainase tidak berfungsi secara optimum. Sehingga ketika memasuki musim hujan, air limpahan dari jalan tidak dapat lagi ditampung dan dialirkan oleh drainase yang ada. Akibatnya, air akan menggenangi permukaan badan jalan untuk jangka waktu yang cukup lama. Kedua, secara non-teknis indikasi penyebab tidak berfungsinya sistem drainase adalah karena sistem drainase terganggu oleh sampah dan endapan yang menyumbat serta sedimentasi kumpur dan sampah yang cukup tinggi. Ketiga, secara sosio-kultural kurangnya maintenance dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan yang tercermin dari buangan sampah di sepanjang saluran sehingga memberikan kontribusi sangat besar terhadap masalah yang terjadi.
Masalah Sampah
Penanganan sampah di semua kota di Indonesia masih mengalami banyak kendala dari semua subyek yang terkait dengan sampah seperti pemerintah dan masyarakat umumnya. Selain itu, teknologi persampahan mulai dari sisi pengumpulan, transportasi, pengolahan, pembakaran dan lain-lain kurang berkembang seiring semakin melimpahnya volume sampah di masyarakat yang sangat mencemari dan mengotori lingkungan. Dari pihak pemerintah melalui dinas kebersihan di masing-masing daerah seharusnya menerapkan perda yang kondusif tentang sampah. Retribusi untuk kebersihan dan sampah idealnya sebagian juga kembali untuk pengolahan kebersihan dan sampah. Secara teknis, jika pada waktu lalu ada kebijakan pemisahan sampah kering dan sampah basah, tetapi sampah yang mengotori jaringan jalan masih tetap tercecer di mana-mana, bercampur antara sampah basah dan sampah kering. Kebijakan penegakan hukum atau law enforcement terhadap pengendara dan penumpang kendaraan yang membuang sampah di jalan juga masih setengah hati karena hanya berlaku di ruas jalan-jalan protokol tertentu seharusnya untuk semua jaringan jalan. Upaya ini untuk menghindari agar sampah-sampah di jalan, jika terjadi hujan, tidak akan mengalir dan menumpuk di sepanjang saluran drainase jalan. Setelah penegakan hukum terhadap pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya, maka pemerintah daerah harus menindak-lanjuti secara hierarkis mulai dengan pengadaan bak-bak sampah, alat-alat pengangkut sampah, tempat penampungan sementara (TPS) hingga tempat penampungan akhir (TPA) dan incenerator atau alat poenghancur sampah lainnya. Ketika pemerintah telah menerapkan kebijakan, menegakkan hukum atas setiap pelanggaran dan memberikan fasilitas buangan untuk sampah, maka kewajiban penegak hukum melalui polisi atau pamong praja memberikan pengawasan intensif. Jika kesadaran masyarakat mulai tumbuh, secara pelan namun pasti peranan pemerintah akan menjadi semakin kecil. Pada saatnya nanti masyarakat sendiri yang akan mengolah lingkungannya dengan baik.