Você está na página 1de 35

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadi rat ALLAH SWT atas berkah dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas dalam pembuatan refrat ini. Referat ini dimaksudkan untuk menambah wawasan bagi penulis sendiri m a u p u n b a g i pembaca tulisan ini, mengenai ilmu pengetahuan dasar mengenai

e m b r i o l o g i , a n a t o m i s e r t a f i s i o l o g i h i d u n g , f a r i n g d a n l a r i n g . Harapan kami, semoga dapat memberikan kontribusi, terutama dalam kegiatan kepaniteraan. Terima kasih kepada pembimbing kepaniteraan klinik THT Karawang yaitu dr.

Ivan djajalaga M.Kes, SpTHT-KL dan dr. Yuswandi.A, SpTHT yang telah memberikan tugas ini agar dapat memperoleh ilmu yang lebih banyak terutama untuk kami. Dalam menyusun referat ini, masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan yang harus di perbaiki, untuk itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kritik dan saran yang di ajukan untuk per baikan referat ini.

Wassalam

( Penyusun )

PENDAHULUAN

DAFTAR ISI Kata pengantar .....................................................1 Pendahuluan .........................................................2 Embriologi hidung ...............................................4 Embriologi sinus paranasal .................................5 Anatomi hidung ..................................................7 Anatomi sinus paranasal .....................................13 Fisiologi hidung dan sinus paranasal .................14 Embriologi faring ................................................16 Embriologi laring ................................................18 Anatomi faring ....................................................19 Anatomi laring ....................................................25 Fisiologi faring ....................................................31 Fisiologi laring .....................................................34 Daftar pustaka .......................................................35

BAB I HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS

I. Embriologi Hidung dan Sinus Paranasalis


1. Embriologi Hidung Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan concha (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris. Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terbentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah concha (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus semilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel ethmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu, dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi concha.
4

2. Embriologi Sinus Paranasal Sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang adalah sinus ethmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus sfenoid sudah ada sejak bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus ethmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8 - 10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15 18 tahun. Pada bulan ketiga kehidupan embrio, sinus maksila terbentuk, dimulai dari suatu invaginasi mukosa meatus media ke arah lateral dan ke arah korpus maksila os maksila. Perubahan-perubahan progresif pada dinding hidung lateral dengan pembentukan sinus paranasal terjadi secara simultan dengan perkembangan palatum. Pada hari ke 40 dari fetus sewaktu perkembangan rongga hidung, maka lekukan horizontal (horizontal groove) nampak pada dinding leteral, yang kemudian akan membentuk meatus medius dan inferior. Profilerasi mesenchym maxillo turbinate, menonjol kedalam lumen dan kemudian menjadi concha inferior. concha yang lebih atas berkembang dari lipatan ethmoid turbinate yang tampak kemudian. Perkembangan sinus terjadi ketika lipatan concha terbentuk. Ini merupakan suatu proses lambat, yang berlanjut sampai terhentinya pertumbuhan tulang pada awal kehidupan dewasa. Dari keempat sinus paranasal, hanya sinus maksila dan ethmoid yang ada waktu lahir. Sinus maksila tampak pertama kali seperti suatu depresi ektodermal tepat diatas prosesus unsinatus pada concha inferior. Pada saat lahir rongga sinus maksila berbentuk tabung dengan ukuan 7 x 4 x 4 mm, ukuran posterior lebih panjang daripada anterior, sedangkan ukuran tinggi dan lebar hampir sama panjang. Dengan kecepatan pertumbuhan setiap tahunnya sebesar 2-3 mm ke arah vertikal dan kearah posterior, maka pada usia 8 tahun rongga sinus maksila telah mencapai meatus inferior. Pada usia 10 12 tahun dasar sinus maksila telah mencapai tinggi yang sama dengan dasar kavum nasi. Di atas umur 12 tahun pertumbuhan sinus maksila ke arah inferior, berhubungan erat dengan erupsi gigi permanen, sehingga ruang yang semula ditempati oleh tugas-tugas gigi permanen akan mengalami pneumatisasi yang mengakibatkan volume sinus maksila bertambah besar ke arah inferior. Pada umur 18 19 tahun erupsi gigi permanen telah lengkap dan diperkirakan pertumbuhan sinus maksila telah selesai.
5

II. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasalis


1. Anatomi Hidung Hidung luar

Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan terbawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan Bagian-bagian hidung luar yang membentuk bangunan seperti piramid dari atas sampai kebawah adalah sebagai berikut : pangkal hidung, dibentuk oleh os.nasal sinistra dan dextra yang terletak diantara kedua mata dan menyatu dengan dahi dibagian atasnya dorsum nasi, terbentang dari pangkal hidung hingga ke puncak hidung atau apeks nasi puncak hidung atau apeks nasi, merupakan bagian tertinggi dari hidung alae nasi atau cuping hidung Kolumela merupakan bangunan yang terletak diantara nares anterior dextra dan sinistra lubang hidung atau Nares anterior atau nostril merupakan lubang hidung yang tampak dari luar

Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.

Kerangka tulang terdiri dari : - Sepasang os nasalis - Prosesus frontalis os maksila - Prosesus nasalis os frontal

kerangka tulang rawan terdiri dari : - Sepasang kartilago nasalis lateral superior - Sepasang kartilago nasalis lateral inferior (kartilago ala mayor) - Beberapa pasang kartilago ala minor - Kartilago septum nasi
7

Otot-otot yang berhubungan dengan hidung terdiri dari : - M. Depressor septi nasi Otot tersebut memiliki fungsi Menggerakkan cuping hidung, menurunkan apeks nasi dan membuka nostril pada saat inspirasi maksimal. - M. Dilator nares Otot tersebut memiliki fungsi melebarkan cuping hidung. - M. Nasalis Otot tersebut memiliki fungsi melebarkan dan mengecilkan lubang hidung. Hidung dalam (cavum nasi) Cavum nasi terletak dari nares anterior sampai choana (nares posterior). Rongga ini dibagi oleh septum nasi atas belahan kiri dan kanan. Setiap belahan memiliki mempunyai dasar, atap, dinding lateral, dan dinding medial. Batas-batas cavum nasi antara lain yaitu : Anterior : Nares anterior atau nostril Posterior : Nares posterior atau choana Lateral : concha Medial : Septum nasi Superior : lamina cribiform Inferior : Os. Maxilla dan Os. Pallatum

Bagian bagian yang terdapat dalam cavum nasi : Vestibulum Vestibulum merupakan lubang hidung yang sejajar dengan alae nasi dan merupakan Bagian yang masih dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise). Septum Merupakan dinding medial hidung, bagi cavum nasi sama besar, lurus mulai dan anterior sampai posterior (koana). Septum Dibentuk oleh tulang dan tulang rawan,antara lain yaitu: - Bagian tulang : 1. Lamina perpendikularis os etmoideus 2. Os Vomer
9

3. Krista nasalis os maxilla 4. Krista nasalis os palatina - Bagian tulang rawan : 1. Kartilago septum (lamina kuadrangularis) 2. Kolumela Dilapisi perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang , sedang bagian luarnya lagi dilapisi olaeh mukosa hidung.

Concha nasi Concha terletak dilateral rongga hidung kanan dan kiri. Terdiri dari empat konka, dari atas ke bawah : - Concha suprema; biasanya rudimeter - Concha superior; lebih kecil dari konka media - Concha media; lebih kecil - Concha inferior; terbesar dan letak paling bawah Meatus nasi Meatus terletak diantara konka-konka dan dinding lateral hidung dan merupakan tempat bermuara dari sinus paranasal. Berdasarkan letaknya dibagi 3, yaitu :

10

- Meatus inferior Terletak antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung, tempat bermuara duktus nasoakrimalis. - Meatus medius Celah yang terletak konka media dengan dinding lateral rongga hidung. Terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan celah sempit

melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, maxilla, dan etmoid anterior. - Meatus superior Terletak antara konka superior dan konka media. Disini terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. Concha inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os. Maksila dan labirin ethmoid, sedangkan concha media dan superior merupakan bagian dari labirin ethmoid. Pendarahan hidung Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu: Arteri Etmoidalis anterior Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maxilaris interna yang berasal dari arteri carotis eksterna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
11

sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh karena trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena ophthalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus. Persyarafan hidung

N.Olfactorius berasal dari sel-sel olfactorius khusus yang terdapat pada membrana mucosa, saraf ini naik ke atas melalui lamina cribosa dan mencapai bulbus olfactorius. Saraf-saraf sensasi umum berasal dari divisi ophthalmica dan maxillaris N.Trigeminus. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari N.Ethmoidalis anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus nasopalatinus, dan ramus palatinus ganglion pterygopalatinum.

2. Anatomi Sinus Paranasalis

12

Sinus paranasalis adalah rongga-rongga yang terdapat pada os.maxilla, os.frontale, os.sphenoidale, dan os.ethmoidale. Terdapat empat pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontalis, sinus ethmoid dan sinus sfenoid. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Sinus maxillaris terletak didalam corpus maxillaris, sinus ini berbentuk pyramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam processus zygomaticus maxilla. Atap dibentuk oleh dasar orbita sedangkan dasar dibentuk oleh processus alveoralis. Akar premolar pertama dan kedua serta molar ketiga dan kadang-kadang akar caninus menonjol ke dalam sinus. Ekstraksi sebuah gigi dapat menimbulkan fistula atau infeksi gigi yang dapat menyebabkan sinusitis. Membran mucosa sinus maxillaris dipersarafi oleh N.Alveolaris superior posterior, N.Alveolaris anterior, N.Alveolaris medius, dan N.Alveolaris superior, yakni cabang-cabang N.Maxillaris (nervus cranialis V2). Sinus frontalis ada dua buah, terdapat di dalam os.frontale dan dipisahkan satu dengan yang lain oleh septum tulang, yang sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus berbentuk segitiga, meluas ke atas, diatas ujung medial alis mata dan ke belakang ke bagian medial atap orbita. Membrana mucosa dipersarafi oleh N.Supraorbitalis. Sinus sphenoidalis ada dua buah terletak didalam corpus ossis sphenoidalis. Setiap sinus bermuara ke recessus sphenoethmoidalis di atas concha nasalis superior. Membran mucosa dipersarafi oleh N.Ethmoidalis posterior. Sinus Ethmoidalis terdapat didalam os.ethmoidalis, diantara hidung dan orbita. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi lebih mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ethmoidalis terdiri dari beberapa rongga yang kecil, cellulae ethmoidales, didalam massa lateral os.ethmoidale, antara cavum nasi, dan orbita. Cellulae ethmoidales anterior bermuara ke dalam infundibulum, cellulae ethmiodales media bermuara ke dalam meatus nasi media, dan cellulae ethmoidales posterior bermuara ke dalam meatus nasi superior. Membrana mucosa dipersarafi oleh N.Ethmoidalis anterior dan N.Ethmoidalis posterior cabang nervus nasociliaris (nervus cranialis V1).

13

III. Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal


Fungsi fisiologi hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara , penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, 2) fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu, 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, 5) refleks nasal. Fungsi Respirasi Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media an kemudian turun ke bawah ke naspfaring. Aliran udara di hidung berbentuk arkus atau lengkungan. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh : a) rambut pada

14

vestibulum nasi b) silia c) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Fungsi Penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghiddu dan pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa. Fungsi Fonetik Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketik berbicara dan menyanyi , sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolatia). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (n,m,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara. Refleks Nasal Mukosa hidung merupaka reseptorrefleks yang menghubungkan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan, Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. Resonansi Suara Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau-sengau (rhinolalia).

15

BAB II FARING DAN LARING

I. Embriologi Faring dan Laring 1. Embriologi Faring


Rongga mulut, faring dan esophagus berasal dari foregut embrionik. Foregut ini berkembang menjadi rongga hidung, gigi dan kelenjar liur,hipofisi anterior ,tiroid dan laring, trakea , bronkus dan alveoli paru. Lengkung faring muncul pada minggu ke 4 pada masa embrio. Lengkung faring ini berupa kumpulan jaringan mesenkim yang dipisahkan oleh celah-celah yang disebut dengan celah faring. Di saat perkembangan keduanya, di dinding lateral bagian dalam lengkung faring itu muncul suatu kantong yaitu kantong faring. Perbedaan anatara celah faring dan kantong faring yaitu celah faring adalah celah antara dua lengkung faring di sebelah luar, sedangkan kantong faring adalah celah antara dua lengkung faring di sebelah dalam. Lengkung faring Secara umum, lengkung faring terdiri dari 3 lapis, lapis terluar berasal dari ektoderm (pembungkus), bagian tengah atau inti berasal dari mesoderm (akan menjadi inti mesenkim), sedangkan bagian dalam berasal dari endoderm. Disamping itu, inti dari lengkung faring juga menerima sel-sel krista neuralis untuk membentuk unsur-unsur rangka pada wajah. Pada perkembangan selanjutnya, lengkung faring manusia pada masa embrio ada 5, yakni lengkung faring 1, 2, 3, 4, dan 6. Lengkung faring 5 tidak ada karena tidak berkembang pada manusia. - Lengkung faring 1 membentuk incus dan malleus (asalnya dari tulang rawan Merckel atau prominensia mandibularis, yang hilang pada perkembangan selanjutnya). - Lengkung faring 2 membentuk stapes, processus styloideus ossis temporalis, ligamentum stylohyoideus, cornu minus dan bagian atas corpus hyoid. (asal: tulang rawan Reichert).

16

- Lengkung faring 3 membentuk bagian bawah corpus dan cornu mayus ostium hyoid. - Lengkung faring 4 dan 6 bersatu membentuk tulang rawan thyroid, cricoids, arithenuid, corniculata dan cuneiform dari laring.

Celah faring Keempat Celah faring terbentuk sempurna pada minggu ke 5


-

Celah faring 1 akan bergabung dengan kantong faring 1 membentuk meatus acusticus externus.

Celah faring 2, yaotu poada bagian dari celah faring 2, yakni ujung dari lengkung faring kedua sebelah bawah, yang terdiri dari jaringan mesenkim yang aktif akan berproliferasi, tumbuh dengan cepat, sehingga bertemu dengan rigi epikardium di bagian bawah leher (dibawah celah faring 4).

Celah faring 3 dan 4, nanti akan tertutup oleh pertumbuhan jaringan mesenkim lengkung faring 2 tersebut diatas, sehingga membentuk sinus servikalis, namun akan hilang pada perkembangan selanjutnya.

Kantong faring Kantong faring yang terbentuk terdapat 5 kantong, diantaranya:

17

Kantong faring 1 bertemu dengan celah faring 1 membentuk meatus acusticus externus.

Kantong faring 2 menjadi tonsila palatine Kantong faring 3 membentuk glandula parathyroidea inferior dan kelenjar timus

Kantong faring 4 membentuk glandula parathyrioidea superior Kantong faring 5 (biasanya dianggap sebagai bagian dari kantong faring 4) membentuk corpus ultimobrachiale yang kelak bersatu dengan glandula thyroid

2. Embriologi Laring Faring, laring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakea menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan alur ke arah kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbntuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. Bagian yang paling proksimal dari tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesarn aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (korda vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang tidak berbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan perkembangan arkus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung.

18

II. Anatomi Faring dan Laring


1. Anatomi Faring Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan mulut melalui ismus ororfaring sedangkan dengan laring di bawah berhubungan dengan aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.

Bagian bagian faring Nasofaring Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
19

hipofisis serebri, torus tubariusm suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba eustachius, koana, formane jugulare, yang dilalui oleh n. Glosofaring, n. Vagus dan n. Asesorius spinal saraf kranial dan v. Jugularis interna, bagian protesus Os. temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.

Orofaring (Mesofaring) Orofaring disebut juga dengan mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat dalam radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-

20

sama dengan gangguan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n. Vagus. Fossa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m. kosntriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya. Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketigatiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasa disebut tonsil saja terletak di fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan membentuk celah yang disebut kriptus. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat pada otot faring, sehingga mudah dilakukakn diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a. Palatina minor, a. Palatina asendens, cabang tonsil a. Maksilaris eksterna, a. Faring aesendes, dan a. Lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagu menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika, Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini tedapat foramen sekum dari apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadangkadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. Laringofaring (Hipofaring) Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas inferior ialah esofagusm serta batas posterio adalah vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsugn atau dengan laringoskop
21

pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekuangan yang dibentuk oleh ligamnetum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pill pocket), sebab pada beberapa orang, kadang-kadng bila menelan pil akan tersangkut disitu. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan titpisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus pirifprmis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di faring dan laring pada tindakan laingoskopi langsung. Ruang faringeal Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofaring (retropharyngeal space) Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelh lateral runag nini berbatasana dengan fosa faringomaksila. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Pada peradangan kelenjar limfa it, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Kelenjar limfa di ruang retrofaring ini akan banyak menghilang pada pertumbuhan anak.

22

Ruang parafaring Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terlektak pada dasar tengkorak dekat dengan foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a. Karotis interna, v. Jugularis interna, n. Vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis. Bagian ini dipisahkan dari ruang faring oleh suatu lapisan fasia yang tipis. Otot otot faring Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. kosntriktor faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otototot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atas dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakan bertemu oada jaringan ikat yang disebut rafe faring (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh n.vagus (n.X). Otot-otot longitudinal adalah m.stilofaring dan m. palatofaring. Letak otot-otot ini di sebelah dalam. M. Stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m. palatofaring

mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting waktu menelan. M. stilofaring dipersarafi oleh n. IX, sedangkan m. palatofaring dipersarafi oleh n.X. Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung fasia dari mukosa yaitu m. elevator veli palatini, m. tensor veli palatini, m. palatoglosus, m. palatofaring dan m. azigos uvula. M. elevator veli palatini mebentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk

23

menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba eustachius. Otot ini dipersarafi oleh N.x. M. tensor veli palatini membentuk kedua palatum mole dan kerjana untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba eustachius. Otot ini dipersarafi n.X. M. palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M. Palatofating membentuk arkus posterior faring. Otot ini dieprsarafi oleh n.X. M. azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.

Pendarahan faring Faring mendapat aliran darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. Karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fasial) serta cabang a. Maksila interna yakni cabang palatina superior.

24

Persyarafan faring Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n. Vagus, cabang dari n. Glosofaring dan cabang simpatis. Cabang faring dari n. Vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otototot faring keculai m. stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n. Glosofaring (N. IX).

2. Anatomi Laring Laring merupakan bagian terbawah dari saluran napas bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar dari bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal dari kartilago krikoid. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid, dan beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tenggorok oleh tendo dan otototot. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea. Kartilago krikoid
25

dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran. Terdapat dua buah (sepasang) kartilago aritenoid yang terltak dekat permukaan belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi krikoaritenoid. Sepasang kartikago kornikulata (kiri dan kanan) melekta pada kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepligotik, dan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral. Pada laring terdapat dua sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamnetum krikotiroid posterior, ligamentum kronikulofaringeal, ligamnetum hiotiroid medial, ligamntum hioepligotika,

ligamnetum ventrikularis, ligamentum vokale yang menghubungkan kartilago aritenoid dan kartilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika.

Rongga laring Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krokoid. Batas depannya adalah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya ialah m. Aritenoid transversus dan lamina kartilago krokoid. Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika
26

ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan, disebut rima glotis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis, disebut rima vestibuli. Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu vestibulum laring, glotik dan subglotik. Vestibulum laring ialah rongga lairng yang terdapat di atas plika ventrikularis. Daerah ini disebut supraglotik. Antara plika vokalis dan plika ventrikularis pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring Morgagni. Rima glotis terdiri dari 2 bagianm yaitu bagian intrermembran dan bagian interkartilago. Bagian intermembran ialah runag antara kedua plika vokalis, dan terletak di bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterior. Daerah subglotik adalah rongga laring yang terltak di bawah plika vokalis.

Otot otot laring Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot intrinsik menyebabkan gerak bagian laring tertentu yang berhubungan dengan gerakan pita suara. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang rawan hioid (suprahioid), dan ada yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik yang suprahioid ialah m. digastricus, m. genohioid, m. Stilohioid dan m. Miohiod. Otot yang infrahioid ialah m. Sternohioid, m. Omohioid dan m. Tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring ke atas. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah m. Aritenoid transversum, m. Aritenoid oblik dan m. Krikotiroid
27

posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor (kontraksinya yang mendekatkan pita suara ke tengah) kecuali m. Krikoaritenoid posterior tang merupakan otot abduktor (kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral).

Pendarahan laring Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a. Laringis superior dan a. Laringis inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari a. Tiroid superior. Arteri laringis superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-sama dengan cabang internus dari n. Laringis superior kemudian menembus membran ini untuk berjalan ke bawah di
28

submukosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot laring. Arteri laringis inferior merupakan cabang dari a. Tiroid inferior dan bersama-sama dengan n. Laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui daerah pinggir bawah dari m. konstriktor faring inferior. Di dalam laring arteri itu bercabang-cabang, mempendarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan a. Laringis superior. Pada daerah setinggi membran krikotiroid a. Tiroid superior juga memberikan cabang yang berjalan mendatari sepanjang membrab itu sampai mendekati tiroid. Kadangkadang arteri ini mengirimkan cabang yang kecil melalui membran krikotiroid untuk mengadakan anastomosis dengan a. Laringis superior. Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan a. Laringis superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.

Persyarafan laring Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n. Laringis superior dan n. Laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus laringis superior mempersarafi m. krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak di atas m. konstriktor faring medial, di sebelah medial a.
29

Karotis interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang hioid, dan setela menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m. konstriktor laring inferior dan menuju ke m. krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m. tirohioid terletak di sebelah medial a. Tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-sama dengan a. Laringis superior menuju ke mukosa laring. Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n. Rekuren setelah saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekueren merupakan cabang dari n. Vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang a. Subklavia kanan dibawahnya, sedangkan n. Rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantara cabang-cabang a. Tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan medial m. krikofaring. Di sebelah posterior dari sendi

krikoaritenoid, saraf ini bercabang 2 menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan memepersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan n. Laringis superior ramus internus.

30

III. Fisiologi Faring dan Laring


1. Fisiologi Faring Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut : Fungsi fonasi Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada dua teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk : - Teori Myoelastik Aerodinamik. Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.

31

Teori Neuromuskular. Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).

Fungsi proteksi Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otototot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus. Fungsi respirasi Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO
2 2 2

dan O arteri serta pH darah. Bila pO tinggi akan menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
2

Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO
2

arterial dan hiperventilasi akan


2

menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara. Fungsi Sirkulasi Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor
32

dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung. Fungsi fiksasi Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan. Fungsi menelan Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses menelan, yaitu : Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus. Fungsi batuk Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring. Fungsi ekspektorasi Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan benda asing tersebut. Fungsi emosi Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

33

3. Fisiologi Laring Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara, dan untuk artikulasi. Fungsi menelan Terdapat 3 fase dalam menelan, yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase oesofageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal ialah pada waktu transfer bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase oesofageal disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltic di oesofagus menuju lambung. Fungsi dalam proses berbicara Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding belakang faring. Gerakan penurunan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m. salpingofaring dan m. palatofaring kemudian m. levator veli palatine bersama-sama m. konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m. levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m. palatofaring (bersama m. salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m. konstiktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi adapula pendapat yang menyatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan 2. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. 7ed. Jakarta. Badan Penerbit FK UI, 2012: 193-4. 3. Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 241-242. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology - Head and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons. Volume 1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1966 : 425-456 Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 724-736, 747, 755-760. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2001: 479-486

4. 5. 6. 7.

8. Moore KL, Agur AMR. Anatomi klinis dasar. Jakarta:penerbit buku kedokteran EGC;2002 9. Scanlon VC, Sanders T. Essentilas of anatomy and physiology. Philadelphia: F. A. Davis Company; 2007

35

Você também pode gostar