Você está na página 1de 6

SEBUAH UJI ACAK MENGENAI MELAHIRKAN DENGAN DAN TANPA STIRRUP Marlene M. Corton, MD, Janice C.

Lankford, MSN, CNM, Rebecca Ames, MSN, CNM, Donald D. McIntire, PhD, James M. Alexander, MD, Kenneth J. Leveno, MD TUJUAN: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah meja ginekologi tanpa stirrup dapat mengurangi kejadian laserasi perineum dibandingkan dengan meja ginekologi dengan stirrup. RANCANGAN PENELITIAN: Dalam uji coba acak ini, kami membandingkan meja ginekologi tanpa stirrup dan dengan stirrup pada wanita nulipara. Hasil utama yang dievaluasi adalah laserasi perineum (grade I-IV). HASIL: Seratus delapan wanita diacak untuk mendapatkan meja ginekologi tanpa stirrup dan 106 untuk mendapat meja ginekologi dengan stirrup. Sebanyak 82 perempuan yang mendapatkan meja ginekologi tanpa stirrup tanpa acak (76%) menderita laserasi perineum dibandingkan dengan 83 wanita yang mendapatkan meja ginekologi dengan stirrup (78%) (P = 0,8). Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat keparahan luka atau hasil lainnya seperti kala dua lama, pemakaian forsep, atau melahirkan dengan cara sectio cesarea. Demikian pula, hasil luaran bayi tidak terpengaruh oleh faktor tersebut. KESIMPULAN: Hasil penelitian kami tidak membuktikan pemakaian stirrup sebagai penyebab laserasi perineum. Selain itu, temuan penelitian kami yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hasil laserasi perineum antara kedua kelompok membuktikan bahwa melahirkan di meja ginekologi dengan dan tanpa stirrup tidak memberikan keuntungan atau kerugian yang spesifik. Kata kunci: meja ginekologi, posisi melahirkan, postur saat melahirkan, stirrup Tingkat kelahiran dengan section cesarea di Amerika Serikat mencapai titik tertinggi dalam sejarah pada tahun 2009. Memang, antara tahun 1996 dan 2009, tingkat bedah caesar meningkat dari 20,7% menjadi 32,9%, yang sama dengan peningkatan sebesar hampir 60% dalam periode 14 tahun.1 Salah satu dari banyak faktor yang diperkirakan berkontribusi terhadap peningkatan ini adalah rasa takut disfungsi organ dasar panggul yang dapat ditunjukkan oleh gejala inkontinensia urin atau feses setelah persalinan pervaginam. Memang, laserasi perineum parah yang diperoleh selama kelahiran pervaginam adalah penanda yang kuat untuk munculnya gejala disfungsi organ dasar panggul, khususnya inkontinensia ani.2-6 Laserasi perineum diklasifikasikan dari grade pertama hingga keempat.7 Meskipun telah dilakukan diagnosis dan penjahitan laserasi perineum derajat ketiga dan keempat (anal sphincter) pada saat melahirkan, hingga setengah dari perempuan yang mendapat laserasi tersebut melaporkan adanya inkontinensia ani 3-6 bulan setelah melahirkan.8-12 Selain itu, laserasi sfingter ani telah menjadi indikator kualitas obstetric yang saat ini digunakan oleh Agency for Healthcare

Research and Quality dan telah diadopsi oleh Joint Commission for the Accreditation of Healthcare Organizations sebagai tolok ukur kinerja inti untuk "kehamilan dan kondisi lain yang terkait".13 Pada tahun 1920, Joseph DeLee14 mengusulkan diterapkannya penggunaan rutin forsep dan episiotomi profilaksis bagi semua wanita nulipara untuk melindungi organ dasar panggul. Konsep paradoks penggunaan forsep dan episiotomi sebagai prosedur pencegahan ini diadopsi secara luas dan menjadi bagian dari praktek kebidanan konvensional selama sebagian besar abad ke-20.15 Bagaimanapun juga, metode ini memiliki konsekuensi yang nyata. Sebagai contoh, dalam penelitian observasional prospektif yang melibatkan lebih dari 10.000 wanita nulipara, episiotomi dan forsep adalah faktor risiko independen untuk terjadinya laserasi sfingter ani.16 Salah satu konsekuensi dari pendekatan DeLee adalah kebanyakan wanita saat ini rutin melahirkan di meja ginekologi yang memiliki stirrup. Kami berhipotesis bahwa abduksi paha yang dipaksakan ketika kaki diposisikan di stirrup lebih besar daripada ketika stirrup tersebut tidak digunakan dan sang ibu diperbolehkan untuk melenturkan kaki mereka di lutut dan memilih posisi abduksi yang nyaman untuk melahirkan bayi. Kami selanjutnya berhipotesis bahwa jaringan perineum yang lunak akan terrentang saat melahirkan bayi dan bahwa peregangan ini mungkin akan lebih besar ketika stirrup digunakan, sehingga dapat menyebabkan laserasi perineum. Dengan demikian, kami mengajukan hipotesis bahwa laserasi perineum jenis apapun, termasuk laserasi yang tidak melibatkan sfingter ani, akan dapat dikurangi dengan perubahan sederhana dalam praktek kebidanan umum, yaitu, proses melahirkan tanpa penggunaan stirrup. BAHAN DAN METODE Pasien penelitian Dalam uji coba secara acak ini, kami mendaftar para wanita nulipara berusia 16 tahun atau lebih yang datang dengan persalinan aktif spontan pada kehamilan 370/7 minggu atau lebih dan dengan janin tunggal dalam presentasi kepala. Hanya wanita nulipara yang dimasukkan karena mereka memiliki tingkat laserasi perineum tertinggi. Kriteria eksklusi meliputi setiap komplikasi obstetrik atau medis dalam kehamilan, dilatasi serviks sebesar 8 cm atau lebih, dan riwayat trauma perineum yang memerlukan perbaikan secara operatif atau malformasi perineum bawaan yang diketahui. Wanita dengan komplikasi obstetrik atau medis dalam kehamilan, seperti hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, diabetes, dan induksi persalinan dieksklusi karena wanita dengan karakter demikian cenderung memiliki tingkat kelahiran sesar yang lebih tinggi. Wanita dengan riwayat trauma perineum yang memerlukan perbaikan secara operatif atau malformasi perineum bawaan yang diketahui juga dieksklusi karena wanita dengan karakteristik demikian cenderung memiliki potensi risiko laserasi perineum yang lebih tinggi. Wanita dengan dilatasi serviks sebesar 8 cm atau lebih dieksklusi karena persalinan tahap akhir dapat menghilangkan kemungkinan untuk memperoleh informed consent.

Penelitian ini disetujui oleh University of Texas Southwestern Medical Center Institutional Review Board. Prosedur Penelitian Penelitian ini dilakukan pada 1 dari 3 persalinan dalam unit kebidanan di Parkland Hospital (Dallas, TX). Unit Labor and Delivery East ini dikelola oleh bidan bersertifikat yang disupervisi oleh 1 dokter kandungan fakultas serta 1 orang residen obstetri dan ginekologi tahun keempat dan kedua. Praktek persalinan dalam unit ini ditetapkan dengan protokol tertulis. Wanita yang masuk ke unit Labor and Delivery East terbatas pada wanita dengan kehamilan yang tunggal. Wanita yang memenuhi kriteria kemudian diawasi oleh salah satu bidan bersertifikat di unit Labor and Delivery East. Sampai awal persalinan kala dua, penatalaksanaan wanita yang setuju untuk ikut penelitian ini masih disamakan. Pemeriksaan serviks dilakukan secara rutin pada interval 2-3 jam selama persalinan. Pemantauan janin dilakukan sesuai dengan standar praktek penggunaan intermiten perangkat Doppler untuk mengevaluasi denyut jantung janin, sedangkan pemantauan janin secara elektronik dilakukan secara terus menerus ketika terdengar adanya kelainan. Analgesia epidural tersedia di rumah sakit. Episiotomi rutin tidak dilakukan di institusi kami. Randomisasi dilakukan saat bidan memastikan bahwa dilatasi serviks telah lengkap (10 cm). Pada saat itu, nomor urut amplop randomisasi yang opak dibuka oleh petugas Unit Labor and Delivery East dan bidan tersebut diberitahu tentang prosedur randomisasi. Untuk menentukan intervensi yang diinginkan, kami menggunakan blok permutasi acak dalam ukuran blok 4, 6, dan 8. Urutan pengacakan yang dibuat dengan komputer ini dihasilkan oleh salah satu peneliti kami (DDM). Blok pengacakan digunakan untuk mempertahankan jumlah subjek yang sama dalam setiap kelompok intervensi, dan ukuran blok yang berbeda digunakan dalam upaya untuk meminimalkan prediksi dari tugas pengacakan. Para wanita kemudian dialokasikan untuk mendapatkan meja ginekologi dengan atau tanpa stirrup (Gambar 1). Para wanita dirandomisasi setelah kepala janin tampak mendistensi vulva. Wanita yang melahirkan dengan posisi selain yang ditentukan oleh prosedur randomisasi dan wanita yang membutuhkan forsep atau operasi sesar setelah randomisasi kemudian dianalisis dengan menggunakan prinsip intention-to-treat (niat menolong). Semua staf bidan di unit Labor and Delivery East RS Parkland telah menjalani pelatihan dan sertifikasi dalam prosedur penelitian kami. Prosedur ini termasuk presentasi didaktik mengenai rincian protokol dan bentuk penelitian. Pelatihan ini juga termasuk video anatomi perineum dan klasifikasi serta cara penanganan laserasi perineum.17,18 Titik akhir penelitian

Hasil utama penelitian adalah setiap kejadian laserasi perineum yang diklasifikasi berdasarkan Williams Obstetrics edisi 237 yang dirangkum pada Gambar 2. Untuk setiap pasien, tingkat laserasi perineum ditentukan setelah kelahiran bayi dan plasenta. Laserasi perineum dinilai dengan klasifikasi grade pertama hingga keempat dan dicatat dalam formulir laserasi perineum rutin yang terpisah dari prosedur penelitian yang dilakukan pada setiap kelahiran pervaginam sebagai bagian dari praktek kebidanan di rumah sakit kami. Hasil primer ini dipilih karena pertimbangan ukuran sampel. Sebagai contoh, jika kami menggunakan laserasi sfingter ani sebagai hasil utama penelitian, ukuran sampel yang diperlukan untuk mencapai kekuatan 80% dalam mendeteksi reduksi sepertiga dari laserasi tersebut adalah sebesar 3726, mengingat tingkat observasi kami adalah sebesar 6% dibandingkan dengan populasi yang sama yang melahirkan di rumah sakit kami. Melihat kenyataan ini, kami memilih untuk melakukan uji coba dengan hasil utama berupa laserasi perineum sebagai langkah awal untuk penelitian multicenter berikutnya yang mungkin menggunakan laserasi sfingter ani sebagai hasil utama penelitian. Untuk meningkatkan presisi dari deskripsi laserasi perineum dan meminimalkan bias, salah satu bidan yang memimpin tim independen akan mencatat pemeriksaan perineum yang kedua. Catatan yang dibuat oleh pemeriksa independen adalah data yang digunakan dalam analisis hasil. Analisis statistik Jumlah hasil primer (laserasi perineum) di Parkland Hospital pada tahun 2007 adalah sebesar 60% dari seluruh wanita yang berpotensi untuk memenuhi syarat penelitian ini. Mengingat estimasi jumlah laserasi perineum adalah sebesar 60%, 194 wanita yang dirandomisasi di 2 lengan (97 di setiap kelompok) akan memberikan kekuatan sebesar 80% untuk mendeteksi perbedaan absolut sebesar 20% dalam jumlah laserasi perineum, yaitu, dari 60% hingga 40%. Perubahan dari angka 60% menjadi 40% ini mewakili penurunan relatif sebesar sepertiga dalam setiap laserasi perineum. Ukuran sampel meningkat menjadi 214 wanita untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya kelahiran sesar setelah randomisasi. Hasil penelitian lainnya, seperti laserasi sfingter ani dan variabel lain yang berpotensi menjadi faktor risiko untuk laserasi perineum juga dianalisis. Variabel tersebut adalah sebagai berikut: (1) augmentasi persalinan dengan oksitosin, (2) episiotomi, (3) analgesia epidural, (4) kala dua lama (2 atau 3 jam, tergantung pada penggunaan epidural), (5) posisi kepala janin oksiput posterior saat melahirkan, dan (6) berat lahir lebih dari 4000 g. Proporsi wanita dengan laserasi perineum pada kelompok yang menggunakan meja ginekologi dengan dan tanpa stirrup dibandingkan dengan menggunakan uji 2. Penyesuaian untuk variabel demografi yang signifikan dicapai dengan menggunakan regresi logistik. Students t test digunakan untuk perbandingan variabel kontinyu. HASIL

Gambar 3 menunjukkan diagram alir para wanita yang menjalani screening dan terdaftar dalam penelitian ini. Antara bulan Maret dan Desember 2009, sebanyak total 214 wanita dirandomisasi, dan 202 (94%) diantaranya melahirkan melalui vagina. Seratus delapan perempuan dirandomisasi untuk mendapat meja tanpa stirrup dan 106 mendapat meja dengan stirrup. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, distribusi ras/etnis peserta penelitian berbeda secara signifikan antara 2 kelompok penelitian. Perempuan kulit putih lebih banyak menduduki kelompok yang mendapat meja tanpa stirrup. Tidak ada perbedaan signifikan dalam usia ibu atau indeks massa tubuh. Meskipun penelitian ini tidak mampu mendeteksi perbedaan antar variabel sekunder, karakteristik obstetrik yang mungkin berdampak pada laserasi perineum untuk kedua kelompok penelitian kami sajikan pada Tabel 2, dan ternyata tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan. Demikian pula, tidak ada perbedaan yang signifikan sehubungan dengan kelahiran bayi yang terkait dengan penggunaan stirrup (Tabel 3). Sebanyak 82 perempuan dalam kelompok meja ginekologi tanpa stirrup (76%) menderita 1 atau lebih laserasi perineum dibandingkan dengan 83 dari para wanita yang dialokasikan untuk mendapatkan meja ginekologi dengan stirrup (78%) (P = 0,8). Sebanyak 145 laserasi perineum tercatat dalam setiap kelompok penelitian. Tabel 4 menunjukkan perbandingan laserasi perineum pada wanita yang melahirkan tanpa stirrup dibandingkan dengan wanita yang melahirkan dengan stirrup. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat keparahan laserasi perineum, dan tidak ada perbedaan yang signifikan ketika kombinasi luka dianalisis. Hasil pada Tabel 4 kemudian disesuaikan untuk ras dan etnis ibu menggunakan regresi logistik, dan penggunaan stirrup tidak bermakna saat dikaitkan dengan variabel luka. Selain itu, analisis yang dilakukan dengan membandingkan 101 wanita dalam kelompok tanpa stirrup dengan 113 wanita yang ditangani dengan stirrup (Gambar 3) menghasilkan tingkat laserasi perineum berturut-turut sebesar 74% dan 80% (P = 0,35). Komentar Hipotesis kami bahwa persalinan dengan stirrup dikaitkan dengan peningkatan kejadian laserasi perineum tidak terbukti. Artinya, hasil kami tidak memberatkan penggunaan stirrup sebagai penyebab laserasi perineum. Selain itu, dari temuan kami dapat pula disimpulkan bahwa melahirkan tanpa menggunakan stirrup tidak memiliki keuntungan lebih dan, mungkin sama pentingnya, juga tidak memiliki kerugian sehubungan dengan hasil penelitian tersebut. Faktor risiko laserasi perineum saat melahirkan dapat dibagi menjadi faktor ibu, janin, dan obstetrik.19 Nuliparitas, episiotomi, penggunaan forsep, dan berat janin yang berlebihan adalah beberapa faktor yang terlibat dalam kejadian laserasi perineum pada saat persalinan. Sebaliknya, sangat sedikit fokus yang diterapkan

pada pentingnya postur ibu saat melahirkan dibandingkan dengan luka perineum. Gupta et al20 baru-baru ini melakukan tinjauan Cochrane tentang efek posisi ibu dalam persalinan kala dua. Efek dari beberapa posisi ibu tersebut juga bardampak pada laserasi perineum. 11 literatur telah mengidentifikasi bahwa kejadian laserasi perineum terkait dengan posisi ibu. Posisi yang dipelajari antara lain adalah supinasi, litotomi dorsal, lateral rekumben (posisi Sims), duduk, jongkok, dan berlutut. Umumnya, kejadian laserasi perineum derajat dua berkurang secara signifikan dalam posisi supinasi/litotomi dibandingkan dengan postur lainnya. Namun, tidak ada posisi ibu yang memiliki efek pada kejadian laserasi sfingter ani. Kami tidak dapat menemukan literatur yang paralel dengan penelitian kami, yang secara spesifik membandingkan penggunaan stirrup pada saat melahirkan. Dalam konseptualisasi penelitian ini, kami lebih mempelajari efek penggunaan stirrup pada laserasi sfingter ani karena hasil ini tampak lebih bermakna dibandingkan laserasi perineum yang kurang parah. Ukuran sampel tidak memungkinkan menggunakan laserasi sfingter ani sebagai hasil utama penelitian kecuali dilakukan penelitian multicenter skala besar. Kami menyimpulkan bahwa penelitian skala kecil yang menggunakan laserasi perineum sebagai hasil primer mungkin dapat memberikan wawasan dasar yang berguna sebagai awal untuk percobaan yang jauh lebih besar dengan laserasi sfingter ani sebagai hasil utama. Meskipun penelitian ini tidak dapat meninjau mengenai laserasi sfingter ani, kami memandang bahwa penelitian ini telah memberikan hasil yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian yang lebih besar mengenai penggunaan stirrup. Kami menyadari bahwa jumlah laserasi perineum lebih tinggi dari jumlah yang digunakan untuk perhitungan ukuran sampel. Hal ini mungkin berhubungan dengan fakta bahwa observasi kami dilakukan dalam kondisi penelitian yang terkontrol. Kami juga mencatat bahwa wanita kulit putih lebih banyak menduduki kelompok yang tidak menggunakan stirrup. Meskipun randomisasi seharusnya telah memberikan keseimbangan antara kedua kelompok, hal ini bukan jaminan. Karena randomisasi dilakukan secara blinded (buta), tidak ada kesempatan untuk terjadinya bias seleksi. Pelaksanaan penelitian sepenuhnya terpisah dari proses pengobatan. Mengingat bahwa pada tahun 2007, 91,4% dari 4 juta kelahiran hidup di Amerika Serikat terjadi di rumah sakit dan dihadiri oleh dokter, terdapat kemungkinan bahwa stirrup digunakan dalam mayoritas kelahiran hidup tersebut.21 Karena itu dapat dikatakan bahwa berdasarkan hasil kami, jika tidak ada kerugian untuk melahirkan tanpa stirrup dan tidak ada keuntungan bagi penggunaan rutin stirrup, mengapa menggunakan stirrup? Kami berpandangan bahwa ada indikasi yang valid bagi penggunaan stirrup seperti persalinan operatif pervaginam atau untuk pemeriksaan dinding perineum dan vagina yang memadai ketika ada perdarahan atau laserasi. Jika tidak ada indikasi tersebut, penggunaan rutin stirrup mungkin tidak diperlukan pada sebagian besar kelahiran di mana stirrup umum digunakan seperti dewasa ini.

Você também pode gostar