Você está na página 1de 40

https://ceritadarilangit.wordpress.

com/category/uncategorized/page/5/

Oleh Sutomo Beberapa pihak mewacanakan penghapusan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sebut saja di Kompasiana pernah ada reposting surat pembaca Kompas (10/10/2008) oleh Nugroho Angkasa. Alasan Surat pembaca Kompas di atas menyebutkan alasan, bahwa kolom agama di KTP bisa disalahgunakan dalam daerah konflik. Selanjutnya dikatakan bahwa di dunia hanya ada dua negara saja yang mencantumkan kolom agama dalam ID Card warganya, yaitu Indonesia dan Arab Saudi. Sementara itu, Kak Inco di politikana.com menulis artikel pendek bertajuk Kolom Agama di KTP, Masih Perlukah?. Adapun alasan penulis (Kak Inco) mempertanyakan kolom agama di KTP antara lain disebutkan. Pertama, pada masa lalu, di saat ada kerusuhan/pertikaian antar agama di Maluku, sering terjadi razia KTP di jalan oleh kelompok yang bertikai. Jika tercantum agama yang berbeda dengan kelompok tersebut, maka orang tersebut akan dibantai beramai-ramai. Kedua, jika seseorang mengalami kecelakaan di jalan, kolom golongan darahnya akan lebih bermanfaat ketimbang kolom agama karena dengan demikian dapat diketahui dengan cepat jika dibutuhkan pertolongan transfusi darah. Ketiga, jika negara memang membebaskan rakyatnya dalam memeluk keyakinan (seperti tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945) maka harusnya boleh ditulis selain dengan 5 agama yang diajarkan di sekolah, misalkan Konfusianisme, Taoisme, Shinto, Sikh, Saintologi, Zoroastrianisme atau bahkan yang gampang sajalah Kejawen. Tapi tampaknya hal itu tidak pernah terjadi. Keempat, Untuk warga negara yang atheis atau agnostik juga akan membingungkan mengisi kolom tersebut. (walau memang tak sesuai dengan UUD 45 Pasal 29 ayat 1). Kilas balik Asal-usul pencantuman kolom agama dalam KTP didasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No 1/PNPS/1965 jo. Instruksi Presiden No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan AdatIstiadat Cina jo. Undang-Undang No 65 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Dimana disebutkan agama resmi di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Berdasarkan Instruksi Presiden No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan AdatIstiadat Cina, agama Konghucu diakui tapi hanya boleh dipraktikan intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. Atas dasar ketentuan inilah maka agama Konghucu tidak diperkenankan dimasukan dalam kolom agama KTP. Belakangan mulai menguat desakan perubahan terhadap dasar hukum yang menjadi landasan eksistensi agama resmi di Indonesia tersebut, karena dinilai diskriminatif terhadap agama lain seperti Konghucu. Barulah pada masa pemerintahan Abrurrahman Wahid (Gus Dur) aturan hukum di atas dicabut dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Celaka dua belas jika di masa pemerintahan SBY ini masih saja ada terdengar saudara kita etnis Tionghoa didiskriminasi saat mengurus dokumen kewargaan seperti KTP, terutama saat hendak memasukan agama Konghucu ke KTP. Anda punya pengalaman?[] Padang, 13 Juni 2012
http://raudlatulmuhibbin.blogspot.com/2012/05/konversi-agama.html

Rabu, 16 Mei 2012


Konversi Agama

Penulis: Syahri Ramadhan, S.Psi

Pendahuluan

Agama merupakan salah satu factor eksternal yang mempengaruhi kondisi psikologis manusia. Manusia memiliki kecendrungan untuk mengakui bahwa ada kekuatan yang Maha Dahsyat di luar dirinya yang dibahasakan dengan nama spiritual. Hardjana (2005, 24-25) mengatakan bahwa sifat spiritual paling tampak pada sifat transendennya. Transenden berarti mengatasi atau melampaui, hal baru yang belum ada dalam tahap hidup sebelumnya, hal yang demikian baru atau tinggi sehingga ada diluar segala hal yang pernah dijumpai dalam hidup sampai saat ini. Dengan sifat transendennya manusia jadi terbuka. Terbuka berarti bahwa dalam diri manusia tersedia ruang, terdapat dorongan, dan ada kemampuan untuk diisi dan dipenuhi oleh sesuatu. Berkat keterbukaannya, manusia memiliki kemungkinan, dorongan, dan kemampuan untuk mengerti, menerima, dan mencapai hal yang melampaui diri dan dunianya. Kemudian Hardjana (1995, 14-15) manusia beragama didorong oleh beberapa faktor utama, yaitu mendapatkan keamanan, mencari perlindungan dalam hidup, menemukan

penjelasan atas dunia serta segala yang termaktub di dalamnya, memperoleh pembenaran atas praktikpraktik hidup yang ada, dan meneguhkan tata nilai yang sudah mengakar dalam masyarakat, serta memuaskan kerinduan hidup.

Unsur penciptaan manusia itu sendiri terdiri dari ruh dan jasad. Nashori (2005, 23-24) mengatakan bahwa ruh yang ada di dalam diri manusia merupakan ruh ilahi (the spirit of god). Hanya manusialah makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh ilahi. Dengan adanya ruh ilahi ini manusia memiliki potensi-potensi ketuhanan dalam dirinya. Maksudnya, dalam diri manusia melekat sifat-sifat dasar atau potensi-potensi dasar sebagaimana yang dimiliki Allah. Kecendrungan manusia untuk bertuhan dan memiliki potensi spiritual jelas tergambarkan di dalam firman Allah Surat Al-Aaraf [7] ; 172 :

Dan ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbinya dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi. (QS. Al-Aaraf *7+ : 172).

Kondisi spiritual seseorang akan terlihat dalam kehidupan agamanya (religiousitas), menurut Hardjana religiousitas yaitu perasaan dan kesadaran akan hubungan dan ikatan kembali manusia dengan Allah, karena manusia telah mengenal serta mengalami kembali Allah, dan percaya kepada-Nya (Faoziyah, 2010, 24). Kemudian menurut Jalaluddin (2003, 69) mengatakan bahwa dorongan keberagamaan merupakan faktor bawaan manusia. Apakah nantinya setelah dewasa seseorang akan menjadi sosok penganut agama yang taat, sepenuhnya tergantung dari pembinaan nilai-nilai agama oleh kedua orang tuanya. Rasulallah saw. bersabda:

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulallah saw bersabda: Tiada seorang anak pun kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. (HR. Muslim).

Perkembanngan religious seseorang bisa dipengaruhi oleh faktor internal (dirinya sendiri) dan faktor eksternal (lingkungan dan pengalamannya). Sehingga proses internalisasi nilai-nilai agama ini akan membentuk dinamika keberagamaan seseorang. Maka tidak jarang orang yang biasanya tidak religious menjadi religious, atau sebaliknya orang yang biasanya religious tiba-tiba menjadi tidak religious. Bahkan sebagian diantara mereka mengalami religious doubt (keraguan dalam beragama) dan religious conversion (perubahan keyakinan). Sebagaimanan yang diungkapkan Anshari (1991, 39-40) bahwa munculnya religiousitas karena terdapat sumber penyebab yaitu dari dalam diri manusia, apakah itu

bersumber dari perenungan (philosofis) atau dari keimanan/keyakinan (theologis) atau juga dari mekanisme psikis (psychologis). Sumber utama dari mekanisme psikis ada kemungkinan mendapat pengaruh-pengaruh dari luar atau lingkungan.

Anshari menambahkan bahwa perubahan kadang-kadang sering terjadi dalam religiousitas yang disebabkan oleh adanya perubahan kondisi psikis seseorang (religious consciousness) dan sebaliknya ada kemungkinan kondisi psikis akan berubah sedemikian rupa karena pengalaman religious (religious experience). Religiousitas ternyata bergerak secara dinamis sesuai dengan dinamika psikis dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan, bahkan keyakinan pun juga akan berubah secara dinamis pula. Dari sinilah kita akan melihat adanya satu mekanisme yang saling bertaut satu dengan yang lainnya. Secara teoligis orang yang memiliki keimanan yang mantap terhadap Tuhan, maka perubahanperubahan dan dinamika psikis yang terjadi tidak akan keluar dari garis-garis baku yang ada dalam lingkup wawasan iman yang dimiliki, sehingga perubahan-perubahan dalam religiousitasnya senantiasa mengarah pada peningkatan bobot dan kualitas dan kalau toh terjadi perubahan iman akan mengarah kepada iman yang semakin kuat dan mantap. Tetapi, bagi orang yang belum memiliki iman yang mantap maka perubahan tersebut mengarah kepada dua kemungkinan, yaitu semakin berbobot dan berkualitas religiousitasnya dan semakin kuat dan mantap. Namun, bukan suatu hal yang mustahil apabila terjadi sebaliknya bahkan kemungkinan terjadi konversi. Kemungkinan terakhir inilah yang banyak terjadi pada mualaf.

Menurut Clark (dalam Darajat, 2005, 160) konversi agama (religious conversion) adalah suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran agama dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan suatu perubahan emosi yang tiba-tiba ke arah mendapat hidayah Allah secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal. Dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.

Para psikolog agama berpendapat bahwa terjadinya konversi agama merupakan suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang memberi pengertian adanya perubahan arah yang sangat berarti dalam sikap terhadap ajaran agama ataupun dalam tingkah laku agama. Konversi agama menunjukan adanya suatu perubahan emosi secara mendadak (tiba-tiba/eksplosif), bisa bersifat sangat mendalam atau dangkal saja. Dan perubahan emosi tersebut bisa terjadi secara bertahap (Anshari, 1991, 13).

Fenomena mualaf merupakan salah satu bukti adanya dinamika religious pada seseorang. Dimana proses internalisasi nilai-nilai agama terus berkembang dari fase ke fase secara dinamis. Mualaf

(orang yang masuk Islam) memiliki alasan masing-masing untuk memilih memeluk Islam. Sehingga realita menunjukan adanya perbedaan tingkat religiousitas pada mualaf. Misalnya di antara mereka ada yang berusaha memahami dan mengamalkan syariat Islam secara sungguh-sungguh. Namun, ada juga yang hanya sekedar masuk Islam, tapi mereka tidak memahami dan mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.

Konversi Agama 1. Pengertian

Religiusitas berasal dari bahasa latin religio yang berarti agama, kesalehan, jiwa keagamaan. Henkel Nopel (dalam Ihsanudin 2007, 6) mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan, tingkah laku keagamaan, karena religiusitas berkaitan erat dengan segala hal tentang agama. Sedangkan menurut Susilangsih (dalam makalah Psikologi Agama, 2010) Religiousitas adalah Kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia yang terbentuk melalui proses internalisasi nilai-nilai agama semenjak usia dini. Religiusitas akan terbentuk menjadi kristal nilai pada akhir usia anak dan berfungsi pada awal remaja. Kristal nilai yang terbentuknya akan berfungsi menjadi pengarah sikap dan perilaku dalam kehidupannya. Menurut Clark (dalam Abdullah, 2006, 89-90) religious conscience adalah the inner experience of the individual when he senses a Beyond, especieally as evidenced by the effect of this experiencec on his behaviour when he actively attemps to harmonize his life with the Beyond (religious concience adalah pengalaman batin dari seseorang ketika dia merasakan adanya Tuhan, khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku, yaitu ketika dia secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan Tuhan). 2. Dimensi - dimensi religiusitas Konsep tentang adanya dimensi Rasa keagamaan memberi pengertian bahwa kehidupan keagamaan memiliki beberapa sisi. Menurut Glock (dalam Abdullah 2006, 90-93) menyebutkan ada lima (5) macam dimensi komitmen keberagamaan, yaitu ritualistic, idiological, experiental, intelectual, dan qoncequetial. Kemudian Verbit (dalam Abdullah 2006, 91) setuju dengan konsep lima dimensi itu, namun dia menambahkan satu dimensi lagi, yaitu dimensi community. Secara rinci dimensi-dimensi rasa agama dapat diutarakan sebagai berikut: a.) Religious believe (the ideological/doctrine commitment) Dimensi rasa percaya yang mengukur seberapa jauh seseorang mempercayai doktrin-doktrin agamanya, misalnya tentang keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, ajaran-ajaranNya, takdirNya. Kepercayaan kepada Tuhan dan sifat-sifatNya merupakan inti pokok dari adanya rasa agama. Kemudian rasa percaya kapada ajaran-ajaran Tuhannya dapat digunakan untuk mengukur kemendalaman dari rasa

percaya itu. Misalnya percaya tentang kepada ajaran tentang ajaran kewjiban peribadatan, moral, keadaan kehidupan setelah mati. b.) Religious practice (the ritualistic commitment) Dimensi peribadatan yang mengukur seberapa jauh seseorang melaksanan kewajiban peribadatan agamanya, misalnya tentang salat, puasa, dan ibadah wajib lainnya dalam Islam. Khusus untuk pengukuran dimensi ini difokuskan pada pelaksanaan lima (5) rukun Islam, sementara pelaksanaan ibadah sunnah dapat dimasukkan untuk pengukuran dimensi lain, yaitu religious feeling. Sering kali pengukuran peribadatan dapat terjebak dalam pengukuran rutinitas ibadah. c.) Religious feeling (the experiental/emotion commitment) Dimensi perasaan mengukur seberapa dalam (intensif) rasa kebertuhanan seseorang. Dimensi ini bisa disebut sebagai esensi keberagamaan seseorang, esensi dimensi transendental, karena dimensi ini mengukur kedekatannya dengan Tuhannya. Pengukuran pada dimensi ini dapat menguatkan pengukuran pada dimensi ibadah. Pengukuran dimensi perasaan dapat dilaksanakan dengan mengamati seberapa sering seseorang merasa doanya diterima, merasa selalu dilihat Tuhan, merasa selalu dekat dengan Tuhan. Bagi orang Islam indikator dalam perilaku dapat diamati pada seberapa sering (keaktifan) dalam menjalankan ibadah sunnah, kekhusukan dalam beribadah, kemendalaman doa, berbaik sangka kepada Allah dan ikhlas menerima segala takdir Allah, dan sebagainya. Dimensi ini akan sangat berasa dampaknya pada orang-orang yang mengalami konvensi agama. d.) Religious knowledge (the intelektual commitment) Dimensi pengetahuan atau intelektual mengukur intelektualitas keberagamaan seseorang. Dimensi ini mengukur tentang seberapa banyak pengetahuan keberagamaan seseorang, dan seberapa tinggi motivasi dalam mencari pengetahuan tentang agamanya. Dimensi ini juga mengukur sifat dari intelektualitas keagamaan seseorang, apakah bersifat tertutup (tekstual, doctrinel) ataukah terbuka (kontekstual). Dimensi ini juga dapat untuk mengkur sikap toleransi keagamaan seseorang, baik intern agama (terhadap berbagai pendapat golongan dalam agamanya) atau antar agama (terhadap ajaran lain). e.) Religious effects (the concequqntial/ethics commitment) Dimensi etika atau moral mengukur tentang pengaruh ajaran agama terhadap perilaku seharihari yang tidak terkait dengan perilaku ritual, yaitu perilaku yang mengekspresikan kesadaran moral seseorang, baik yang terkait dengan moral dalam hubungannya dengan orang lain. Bagi orang Islam pengukuran dimensi etika dapat diarahkan pada ketaatannya terhadap ajaran halal dan haram (makanan, umber pendapatan, hubungan laki-laki dan perempuan), serta hubungan dengan orang lain (baik sangka, agresif, menghargai, memuliakan). f.) Community (social commitment) Dimensi sosial mengukur seberapa jauh seorang pemeluk agama terlibat secara sosial pada komunitas agamanya. Dalam Islam dimensi ini dapat disebut sebagai pengukuran terhadap kesalehan

sosial. Dimensi kesalehan sosial dapat digunakan untuk mengukur konteribusi seseorang bagi kegiatankegiatan sosial keagamaan, baik berwujud tenaga, pemikiran, maupun harta. Keenam dimensi keberagamaan ini bisa menjadi dasar dalam mengetahui perkembangan dan rasa keagamaan yang dimiliki seseorang. Hal ini karena enam dimensi ini adalah bentuk ekspresi dari keagamaan seseorang berdasarkan pada aspek-aspek dalam keberagamaan.

3.

Perkembangan religiusitas Tahap-tahap perkembangan rasa agama menurut susilaningsih (makalah disampaikan pada pekuliahan Psikologi Agama, 2010) adalah: Pertama, tahap pembentukan adalah tahap dimana masuk dan mengkristalnya nilai-nilai agama, berupa nilai-nilai dasar, dan ditunjukan dengan adanya tugas-tugas keagamaan, tahap ini berada pada usia anak. Para ahli psikologi dari berbagai mazhab, seperti psikoanalisis, behavioris, dan humanis sepakat bahwa pada masa bayi dan masa kanak-kanak awal amatlah penting dan membawa pengaruh yang terbawa terus dalam struktur kepribadian. Sebab menurut Gleason (Crapps, 1994, 14) unsur-unsur keagamaan mendasar tertanam pada masa tahap-tahap awal pertumbuhan Psikososial dan keparalelan antara tugas psikososial dan konsep religious sangat penting. Crapps (1994, 14) mengatakan bahwa dalam pengalaman hubungan antar pribadi dengan keluarga, anak belajar pertama kali isi emosional iman religious. Pengalaman tentang konsep agama awal ini lebih berpengaruh ketimbang pendidikan agama yang sadar dikemudian hari. Menurut Jalaluddin (2003, 70-73) ada beberapa sifat-sifat agama pada masa kanak-kanak, yaitu bersifat unreflektive (tidak mendalam), anthromorphis (konsep ketuhanan yang menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan), imitative (diperoleh melalui meniru), verbalis-ritualis (belajar mengucapkan kalimat-kalimat keagamaan dan kebiasaan), rasa heran (keheranan secara lahiriah saja). Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ramayulis (2007, 54-58). Kedua, tahap pengembangan adalah tahap dimana mulai berfungsinya nilai-nilai dasar keagamaan kedalam konteks kehidupan dan pemaknaan nilai-nilai agama yang akan memberi rasa aman sebagai solusi kegoncangan jiwa, tahap ini berada pada usia remaja. Menurut Ramayulis (2007, 58) tahap perkembangan masa remaja menduduki tahap progresif yang mencakup masa: Juvenilitas (adolescantium), pebertas, dan nubilitas. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama bagi remaja mengikuti perkembangannya itu. Maksudnya penghayatan dan tindakan keagamaan yang terjadi pada remaja berkaitan dengan perkembangannya itu. Menurut W. Starbuck (Jalaluddin, 2003, 74-77) perkembangan pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya, perkembangan itu antara lain adalah:

a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik lagi bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran-ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka juga tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya. Pada masa remaja sifat kognitifnya berubah, dimana pada masa kanak-kanak mereka menerima nilai-nilai agama secara kongkrit, namun pada masa remaja mereka mulai mempertanyakan nilai-nilai kongkrit tersebut karena pola kognitif mereka berkembang ke arah nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Rochmah, 2005, 57-58) bahwa ada empat fase perkembangan kognitif, yaitu: 1. Fase sensori motorik, yaitu aktivitas kognitif yang didasarkan pada pengalaman langsung panca indera. Aktivitas belum menggunakan bahsa, sedangkan pemahaman intelektual muncul di akhir fase ini. 2. Fase praoperasional, yaitu anak tidak lagi terikat pada lingkungan sensori, kesanggupan menyimpan informasi semakin besar. Anak suka meniru orang lain dan mampu menerima khayalan dan suka bercerita tentang hal-hal yang fantastis. 3. Fase operasi kongkrit, yaitu anak mulai berfikir logis, bentuk aktivitas dapat ditemukan dengan peraturan yang berlaku. Karena anak masih berfikir harfiah sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan padanya. 4. Fase operasional formal, yaitu anak telah mampu mengembangkan pola-pola berfikir formal, logis, rasional, bahkan abstrak, mampu menangkap arti simbolis, kiasan, dan menyimpulkan suatu berita, dan sebagainya. Menurut hasil penelitian Allport, Gillesphy, dan Young (Jalaluddin, 2003, 74-75) menunjukan bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak mempengaruhi remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. b. Perkembangan Perasaan Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religious akan cenderung mendorong dirinya ke arah yang religious pula. Sebaliknya remaja yang kurang mendapatkan siraman ajaran agama akan cenderung dikuasai oleh nafsu seksualnya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Dr. Kinsey (dalam Jalaluddin, 2003, 75 yang mengungkap bahwa 90% remaja di Amerika telah mengenal homoseks dan onani. c. Perkembangan sosial Corak keagamaan pada remaja juga ditandai dengan adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. d. Perkembangan Moral

Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencapai proteksi. Tipe moral yang terlihat pada remaja juga mencakupi: 1. 2. 3. 4. 5. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan peribadi. Adaptive, mengakui situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyrakat.

e. Sikap dan Minat Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaannya boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya). f. Ibadah Bagi sebagian remaja ibadah merupakan hal sepele. Ini bisa dilihat dari ketaantan mereka dalam menjalankan ibadah sehari-hari. Pada masa remaja dikenal sebagai usia rawan akan agama yang mereka terima. Remaja akan mengalami kehidupan batin yang terombang-ambing (strum and drang). Untuk mengatasi kemelut batin itu. Maka seyogyanya mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan. Para remaja memerlukan tokoh pelindung yang mampu diajak berdialog dan berbagi rasa (Jalaluddin, 2003, 81). Dari hasil analisis penelitiannya W. Starbuck (Ramayulis, 2007, 61-63) menemukan penyebab timbulnya keraguan dan kebimbangan itu antara lain: 1. Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin a. Bagi seorang yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. b. Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya lebih cepat menunjukan keraguan daripada pria. Tetapi sebaliknya dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. Disamping itu keraguan wanita lebih bersifat alami sedangkan pria bersifat intelek. 2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama Pertentang-pertentangan yang terjadi didalam organisasi keagamaan dan tindak-tanduk pemuka agama yang jauh menyimpang dari nilai-nilai agama akan menimbulkan keraguan pada remaja. 3. Pernyataan kebutuhan manusia Manusia memiliki sifat conservative (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk

mempelajari ajaran agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah dimilikinya akan timbul kerguan. 4. Kebiasaan Seseorang yang terbiasa dengan tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterima atau dilihatnya. Misalnya seorang remaja protestan akan ragu dengan ajaran-ajaran yang ada di dalam Islam. Namun, keraguan ini ada yang menimbulkan rasa penasaran dan kemudian mereka berusaha mencari kebenaran dengan memperbandingkan kedua ajaran tersebut. Maka tidak tertutup kemungkinan mereka pindah agama. 5. Pendidikan Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang sesuai dengan tingkat pendidikan yang ia miliki akan membawa pengaruh sikap terhadap ajaran agamanya. Terutama yang mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi adanya kemampuan mereka menafsirkan ajaran agamanya. 6. Percampuran agama dan mistik Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara agama dengan mistik. Sejalan dengan perkembangn masyarakat kadang secara tak disadari tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktek kebatinan dan mistik. Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilema yang kabur bagi para remaja. Keragu-raguan yang demikian itu akan menjurus ke arah konflik dalam diri para remaja sehingga mereka dihadapkan kepada masalah pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk dan antara yang benar dan yang salah. Beberapa bentuk konflik yang terjadi antaranya: Konflik yang terjadi sebagai antara percaya dan ragu. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan. Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau jauh dari agama. Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan petunjuk ilahi. Ketiga, tahap dinamik adalah tahap pematangan dan mulai berpengaruhnya nilai-nilai agama dalam conscience pada seluruh aspek kehidupan (agama sebagai Way of Loife), tahap ini berada pada usia dewasa. Menurut Sujanto (dalam Anshari, 1991, 89-90, 94) saat mengakhiri masa adolesen menuju masa dewasa pada umumnya orang akan berusaha menemukan pribadinya, menentukan cita-citanya, menggariskan jalan hidupnya, bertanggungjawab, dan menghimpun norma-norma sendiri. Berdasarkan gambaran psikis tersebut, maka akan tampak kestabilan seseorang di dalam menentukan pandangan hidup yang harus di anutnya atau agama yang harus dianutnya, menandakan bahwa agama yang dianutnya itu sudah berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang dianggap benar dan diperlukan dalam hidupnya.

a. b. c. d.

Kestabilan dalam pandangan hidup keagamaan dan kelakuan religious seseorang bukan berarti bersifat statis, tetapi kestabilan yang dinamis, dimana suatu ketika akan terjadi perubahan-perubahan seiring dengan pengetahuan dan situasi-situasi yang mereka hadapi. Maka ada kemungkinan terjadinya religious konversion (pindah agama) karena seseorang mengalami kebimbangan, keraguan atau konflik. Masalah pendidikan yang melahirkan pemikiran baru atau anggapan bahwa ajaran agama yang tidak lagi relevan dengan tuntutan masa dan kehidupan. Zakiah Darajat (dalam Anshari, 1991, 97) mengemukakan faktor-faktor terjadinya konversi adalah karena pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, pengaruh hubungan dengan tradisi agama, ajakan dan sugesti, faktor-faktor emosi, dan kemauan. Keempat, tahap pemeliharaan adalah tahap dimana agama menguasai tujuan dan aktifitas kehidupan (wordly ascetisme). Berada pada usia lanjut, menurut Jalaluddin (2003, 105-106) ciri keberagamaan lanjut usia adalah: Kehidupan beragama pada lanjut usia sudah mencapai kemantapan. Meningkatnya kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan. Mulai muncul pengakuan relitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh. Timbulnya rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur. Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan akhirat. Berdasarkan uraian perkembangan religiusitas di atas, maka James W. Flower (dalam Cremers, 1994, 96, 104, 117, 134, 160, 185, 218) membagi tahap perkembangan iman yang biasanya dilewati orang dalam pertumbuhannya: 1. Tahap kepercayaan awal dan elementer (primal faith) usia anak 0-2 atau 4 tahun. Ditandai dengan cita rasa yang bersifat praverbal terhadap kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang yang mengasuh dan lingkungan. 2. Tahap iman intuitif/proyektif (kira-kira umur 4-8 tahun). Dunia diberi arti lewat orang tua dan orangorang dewasa lain yang berpengaruh, dengan memproyeksikan secara intuitif dengan meniru orangorang dewasa. 3. Tahap iman mistis/literal (kira-kira umur 8-12 tahun). Arti dan makna hidup, dunia, manusia diambil dari orang-orang atau kelompok yang diikuti. Iman yang diperoleh dari jemaat berupa kisah-kisah dan ajaranajaran suci yang membuat lingkungan hidup, dunia, manusia menjadi bermakna. Kisah dan ajaran itu dimengerti secara harfiah, literal. 4. Tahap iman sintetis/konvensional (kira-kira umur 12-dewasa). Iman merupakan iman yang menyesuaikan dan mengambil arahnya dari kebiasaan yang ada, yang dipilih secara sadar. Iman itu membuat seimbang berbagai tuntutan yang datang dari kebiasaan-kebiasaan itu menjadi sintesis arti yang dapat dijadikan pegangan.

1. 2. 3. 4. 5. 6.

5. Tahap iman individual/reflektif-sadar (sesudah umur 17 atau 18 tahun). Iman itu menjadi pola iman yang dipilih secara pribadi dan secara sadar dipisahkan dari harapan orang lain. Iman itu bersifat otonom. 6. Tahap iman konjungtif (biasanya tengah umur atau sesudahnya). Iman itu menerima pandanganpandangan yang berlawanan dan tak berhubungan satu sama lain dan membuatnya menjadi pola yang kokoh. Sistem imannya sendiri dipandang ada dalam keterkaitan dengan iman umat manusia. 7. Tahap iman yang universal (usia lanjut). Iman itu adalah iman orang kudus dimana Yang Akhir, bukan dirinya, dijadikan titik tujuan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan religious conscience Faktor-faktor perkembangan rasa agama menurut Susilaningsih (makalah Psikologi agama, 2010), yaitu: a) Pertama, faktor internal meliputi kodisi awal rasa agama (potensi), perkembangan kognisi, kondisi afeksi (emosi, motif, minat, dan sikap). b) Kedua, faktor eksternal meliputi pengalaman dan pengetahuan, pendidikan, dan lingkungan. c) Ketiga, faktor proses, yaitu terjadinya berbagai dinamika perkembangan pada masing-masing fase perkembangan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Berdasarkan uraian teori yang penulis kemukakan diatas maka dinamic religious conscience yang dimaksud di dalam makalah ini adalah sekumpulan proses atau tahap-tahap internalisasi nilai-nilai agama seiring dengan perkembangan usia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (diri sendiri) dan faktor eksternal melalui pendidikan, eksperien, pengaruh lingkungan, maupun agama itu sendiri dan faktor-faktor tersebut memungkinkan terjadinya perubahan agama yang bersifat konvesi ke agama yang lain (pindah agama). 4.

Daftar Pustaka

Abdullah, A, dkk. (2006). Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidispliner. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga. Anshari, H.M. (1991). Dasar-Dasar Ilmu Jiwa. Surabaya: Usaha Nasional. Crapps, R.W. (1994). Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta: Kanisus. Cremers, A. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan: Menurut James W. Fowler, Sebuah Gagasan Baru Dalam Psikologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Daradjat, Z. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. Faoziyah, Y. (2010). Hubungan Antara Tingkat Religiousitas Dengan Kecenderungan Perilaku Mengakses Situs Porno Pada Pelajar sekolah Menengah Atas (SMA) X Di Kota Yogyakarta. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Hardjanan, A.M. (1995). Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik. Yogyakarta: Kanisius. Hardjana, A.M. (2005). Religiositas, Agama dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius. Ihsanudin, M. (2007). Dinamika Religusitas Pedagang Pasar Buah dan Sayur Gemah Ripah Gamping Sleman. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Jalaluddin, H. (2003). Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rochmah, E.Y. (2005). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Teras Nashori, F. (2005). Potensi-Potensi Manusia: Seri Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Susilaningsih. (2010). Makalah Psikologi Agama: Perkembangan Religious Conscience. Makalah tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Diposkan oleh Syahri Ramadhan, S.Psi di 07:20 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook http://aprillianpravitasari.blog.com/2011/07/04/konversi-agama-dalam-psikologi/

KONVERSI AGAMA DALAM PSIKOLOGI Psikologi Agama oleh Aprillian Pravita Sari

Menurut Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat (2003) yang dimaksud dengan Konversi Agama adalah terjadinya suatu perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula. Terkait wawancara tentang konversi agama dari yang mulanya seorang preman menjadi seorang ustad. Di dalam mengalami konversi agama, prosesnya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan pertumbuhan jiwa yang dilaluinya serta pengalaman dan pendidikan yang diterimanya sejak kecil, di tambah lagi dengan suasana lingkungan dia hidup dan pengalaman terakhir yang menjadi puncak perubahan keyakinan itu. Para psikolog telah merumuskan ciri atau gejala yang dialami subjek konversi, sebagaimana dikemukakan Ramayulis (2002) berikut:

Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya (perubahan pandangan ini bisa terjadi sendirinya dan berasal dari kegelisahan pribadi ataupun muncul setelah menerima doktrinisasi) Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak. (Secara adat, seseorang yang kondisi jiwanya labil cenderung mudah menerima doktrin, terlebih jika doktrin tersebut memberikan solusi terhadap kegelisahan yang dideranya) Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri.

Seperti yang diungkapkan oleh Zakiah Darajat (2003), subjek konversi mengalami beberapa fase yang kemudian mengantarkannya pada konversi. Tahapan dan proses tersebut adalah:

Masa Tenang , yaitu sebelum mengalami konversi, jiwa seseorang tenang karena masalah agama belum mempengaruhinya. Masa Ketidaktenangan, yaitu masa dimana masalah-masalah agama mulai mempengaruhi batin seseorang, bisa dikarenakan krisi, musibah ataupun perasaan berdosa yang dialaminya, sehingga terjadinya konflik dan pertentangan batin berkecamuk dalam hatinya. Perasaan-perasaan ini mengakibatkan seseorang menjadi lebih sensitive. Masa Konversi, terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih. Keadaan Tenteram dan Tenang, yaitu timbulnya perasaan atau kondisi jiwa yang baru, dimana jiwa merasa tenang dan tenteram yang timbul dari rasa puas terhadap keputusan yang sudah diambil. Ekspresi Konversi dalam hidup, yaitu pengungkapan konversi agama dalam tindak tanduk perlakuan, sikap dan perkataan dan seluruh jalan hidupnya berubah mengikuti aturanaturan ajaran agama.

Beberapa tahap tersebut senyatanya tidak kemudian selalu dialami oleh subjek konversi. Secara umum, awalnya subjek akan mengalami kegelisahan, mencari hal yang bisa meredakan gelisahnya, memantapkan niat konversinya, kemudian melakukan konversi. Terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh factor intern maupun faktor ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga ia mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang tenang dan tentram. Padahal setiap manusia mempunyai kebutuhan akan rasa aman (A.H. Maslow), apabila suatu kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka akan ada usaha untuk memuaskannya. Dipuaskan dengan cara terus mencari kebenaran. Prinsip homeostatis yaitu prinsip mempertahankan keseimbangan. Menurut Freud gejala tekanan batin yang dialami seseorang yang menuju konversi agama bisa dikatakan neurosis (Menurut Freud orang yang beragama sangat kuat, percaya dan tidak berfikir logis). Dan orang yang beragama menurut Freud termasuk orang yang

mengalami gangguan jiwa (neurosis) karena menjadi cemas dan tertekan, bingung dan bisa menjadi fanatic. Selain itu kognitif sangat mempengaruhi konversi dalam beragama, termasuk kapasitas diri dalam menerima ajaran, juga pengalaman, hal ini karena kebiasaan juga (habit) teori behaviorisme. Termasuk didalamnya yang mempengaruhi adalah lingkungan sekitarnya.

Faktor-Faktor Penyebab Konversi Agama A. Penido Penido (dalam Ramayulis, 2002), berpendapat bahwa konversi agama mengandung dua unsur: 1. Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih. 2. Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan. Sedangkan berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan factor yang manjadi pendorong konversi (Motivasi konversi). James dan Heirich (dalam Ramayulis, 2002), banyak menguraikan faktor yang mendorong terjadinya konversi agama tersebut menurut pendapat dari para ahli yang terlibat dalam berbagai disiplin ilmu, masing-masing mengemukakan pendapat bahwa konversi agama di sebabkan faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni. http://kangtian.students.uii.ac.id/2010/06/12/konversi-agama/

Konversi Agama
June 12th, 2010 by 06422012

Konversi Agama Pendahuluan

Sejak manusia terlahir ke muka bumi telah memiliki potensi beragama yang menurut para ahli psikologi disebut dengan Religious instinct atau biasa pula disebut Fitrah Beragama. Adanya fitrah beragama dalam kehidupan manusia tidak dapat dipungkiri. Fitrah atau naluri beragama telah ditanamkan oleh Allah.<![if !supportFootnotes]>[1]<![endif]> Selain itu banyak dari kalangan ilmuan yang meyakininya melalui penelitian yang mereka lakukan. Carl Gustav Jung seoarang ahli Psikologi, misalnya, mengatakan bahwa agama termasuk dalam hal-hal yang sudah ada di alam bawah sadar secara fitri dan alami. Ia merupakan perasaan yang lahir secara internal dan kemudian berkembang melalui faktor-faktor eksternal. William Jemes seorang filosof Amerika dan ahli psikologi, mengemukakan naluri material menghubungkan manusia dengan alam material, demikian juga dengan naluri spritual menghubungkan manusia dengan alam lainnya. Artinya, adanya keinginan untuk beragama merupakan dorongan dari alam spiritual.<![if !supportFootnotes]>[2]<![endif]> M. Quraish Shihab berkesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, mambawa potensi agama yang lurus. Fitrah ini akan melekat pada diri manusia untuk selama-lamanya, walaupun tidak diakui atau diabaikannya.<![if !supportFootnotes]>[3]<![endif]> Namun deimikian, naluri agama tersebut mengharuskan adanya pembinaan positif dari luar dirinya, karena pengaruh eksternal juga akan mepengaruhi bagi keberlangsungan jiwa keberagamaanya.<![if !supportFootnotes]>[4]<![endif]> Oleh sebab itu seringkali terjadi perubahan-perubahan kepercayaan atau keyakinan terjadi pada masyarakat yang disebabkan oleh kegoncangan jiwa mereka. Hal inilah sering disebut dengan konversi agama. Konversi agama (religious conversion) secara umum dapat di artikan dengan berubah agama ataupun masuk agama. Menurut Thouless konversi agama adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan, proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba.<![if !supportFootnotes]>[5]<![endif]>

Pembahasan
B.1 Agama Bagi Manusia

Salah seorang tokoh psikologi barat , Sigmund Freud berpendaat bahwa kepercayaan kepada Tuhan adalah sebuah ilusi yang harus ditinggalkan manusia dewasa. Kebutuhan terhadap Tuhan, kata Freud, adalah kerinduan masa kanak-kanak akan ayah yang kuat dan melindungi; akan kejujuran dan keadilan, dan kehidupan yang akan berlangsung selamanya. Tuhan adalah proyeksi dari keinginan-keinginan seperti itu, ditakuti dan disembah oleh manusia akibat rasa tak berdaya di dalam diri. Agama, dalam pandangan Freud, hanya dibutuhkan manusia dalam transisi anak-anak menuju dewasa.<![if !supportFootnotes]>[6]<![endif]> Selanjutnya, ia juga berpendapat bahwa agama adalah penghiburan yang dibutuhkan manusia karena bengisnya hidup di dunia ini.<![if !supportFootnotes]>[7]<![endif]> Dan pendapat ini pula didukung oleh Marx yang mengemukakan bahwa agama adalah candu (ovium).

Menurut para ahli diatas, agama tak lain hanya sekedar pelarian manusia dari dunia yang tidak berpengharapan ini. Ketika manusia menghadapi konflik dalam hidupnya maka ia membutuhkan obat untuk meredakan rasa sakit itu. Pandangan para tokoh tersebut, sebenarnya tidak terlepas dari latar belakang kehidupan mereka, misalanya saja freud yang lahir dari keluarga yahudi, dan rupanya mendapatkan akar kebenciannya terhadap agama karena situasi saat itu yang anti-semitik. Ia adalah seorang Yahudi yang tinggal di lingkungan Kristen dan hanya memiliki beberapa teman Yahudi yang tidak saling mencaci dan meghina. Pengalaman-pengalamannya dengan ritual Katolik diperoleh dari perawatnya, seorang perempuan Ceko yang mengasuhnya dari kanak-kanak. Hans Kung mempertanyakan tentang kemuakan Freud terhdap doktrin Kristen. Apakah hal itu bermula dari pengajaran-pengajaran perempuan Ceko yang mengasuhnya itu? Perempuan itulah yang dianggap telah membantu Freud memahami jabaran-jabaran liturgis tentang perilaku Tuhan.Freud kemudian mulai menampakkan taringnya dengan menerbitkan artikel pertamanya pada tahun 1907, yang berjudul Perilaku Obsesif dan Praktek Agama. Dalam artikel ini Freud menyebut kegilaan obsesif sebagai bagian patologis bentuk agama dan agama sendiri sebagai kegilaan obsesi universal.<![if !supportFootnotes]>[8]<![endif]> Rupanya Freud berkesimpulan bahwa segala macam ritual dan upacara keagamaan adalah bentuk kegilaan obsesif manusia semata. Karena manusia tidak sadar ketika melakukan ritualritual tersebut. Pendapat-pendapat para ahli diatas sebenarnya dengan mudah dapat terbantahkan, ketika kita mengaitkanya kepada ajaran Islam. Sebab pada dasarnya Islam adalah ajaran yang mengajarkan seluruh aspek kehidupan manusia, selain itu, iapun sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Seluruh tingkah laku manusia dalam Islam merupakan bentuk ibadah terhadap Tuhan, tentunya apabila itu semua didasari dengan ajaran islam itu sendiri. Adapun ibadah ritual keagamaan (ibadah mahdhoh), sebenarnya itu tidak hanya bersifat ritual belaka namun itu juga adalah bentuk komunikasi antara seorang hamba dan Kholiknya. Selain itu, ibadah tersebut juga merupakan wujud rasa syukur manusia terhadap Tuhan. Dalam pandangan Islam, agama adalah kebutuhan pokok yang tidak dapat ditinggalkan maupun dilupakan, bahkan tidak sesaat-pun manusia mampu meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah pandangan hidup dan praktik penuntun hidup dan kehidupan, sejak lahir sampai mati, bahkan sejak mulai tidur sampai kembali tidur agama selalu akan memberikan bimbingan, demi menuju hidup sejahtera dunia dan akhirat. Kebutuhan manusia terhadap agama disini tidak sekedar sebagaimana butuhnya materi, besar dari pada kebutuhan materil. Pandangan para tokoh diatas pada dasarnya bertentangan dengan hati nurani mereka, sebab walau bagaimanapun manusia diberikan potensi beragama (instinct religious), dan kemampuanya yang terbatas mengharuskan dirinya untuk meminta pertolongan kepada yang ada diluar dirinya. Hal ini tentunya tidak hanya didasarkan pada asumsi semata, namun juga ini didasakan pada pemikiran dan penelitian, baik itu dari kalangan ilmuan muslim maupun barat.

B.2 Perkembangan Jiwa Beragama Bagi Manusia


Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:

<![if !supportLists]>a) <![endif]>Umur 0 3 tahun, periode vital atau menyusuli. <![if !supportLists]>b) <![endif]>Umur 3 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain. <![if !supportLists]>c) <![endif]>Umur 6 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah) <![if !supportLists]>d) <![endif]>Umur 12 21 tahun, periode social atau masa pemuda. <![if !supportLists]>e) <![endif]>Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut: 1). Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir; 2). Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua; 3). Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua; 4). Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun; 5). Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun; 6). Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun; 7). Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun; 8). Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun; 9). Masa Setengah Baya, umur 40 60 tahun; 10). Masa Tua, umur 60 tahun keatas. B.2.1 Perkembangan Agama Pada Anak Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:

<![if !supportLists]>a) <![endif]>0 2 tahun (masa vital) <![if !supportLists]>b) <![endif]>2 6 tahun (masa kanak- kanak) <![if !supportLists]>c) <![endif]>6 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh

emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh. Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus. Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman. B.2.2 Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak Menurut penelitian Earnest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Relogeus On Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama itu mealui tiga tingkatan, tiga: 1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng) Pada tahap ini anak yang berumur 3 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng. Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanakkanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis. 2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan) Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.

Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya. 3. The Individual Stage (Tingkat Individu) Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan: a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan). c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu: a. Fase dalam kandungan untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya. b. Fase bayi Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak. c. Fase kanak- kanak Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.

d. Masa anak sekolah Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang. Sedangkan sifat agama pada dapat dibagi menjadi enam bagian: Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik), Egosentris, Anthromorphis Verbalis dan Ritualis, imitative. B.2.2 Agama Pada masa Remaja B.2.2.1 Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian: 1. Fase Pueral Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang. 2. Fase Negative Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya. 3. Fase Pubertas Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen Dalam pembahasan ini , Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian: 1. Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki) 2. Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki) 3. Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki) 4. Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki)

B.2.2.3 Perasaan Beragama Pada Remaja

Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat- sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada Tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali. Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan- perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan Allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa. B.2.2.3. Motivasi Beragama Pada Remaja Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi, yaitu: 1. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian. 2. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat. 3. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia. 4. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.

B.2.2.4 Sikap Remaja Dalam Beragama Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu: 1. Percaya ikut- ikutan Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.

2. Percaya dengan kesadaran Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk: a. Dalam bentuk positif: semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bidah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan. b. Dalam bentuk negatif: Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bidah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya. 3. Percaya, tetapi agak ragu- ragu: Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua: a). Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran. b). Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki. 4. Tidak percaya atau cenderung ateis Perkembangan kearah tidak percaya pada Tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.

B.2.3 Agama Pada Masa Dewasa Dan Usia Lanjut B.2.3.1 Agama Pada Masa Dewasa Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian: a. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/ young adult) b. Masa dewasa madya (middle adulthood) c. Masa usia lanjut (masa tua/ older adult)

Pembagian senada juga diungkap oleh beberapa ahli psikologi. Lewiss Sherril misalnya, membagi masa dewasa sebagai berikut : 1. Pada masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidupyang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan. 2. Masa dewasa tengah, sudah mulai menghadapi tantangan hidup sambil memantapkan tempat dan mengembangkan filsafat untuk mengolah kenyataan yang tidak disangka- sangka. 3. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah pasrah. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama.

B.2.3.2 Ciri- Ciri Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa Sejalan dengan tingkatperkembanagan usianya, sikap keberagamaan pada orang dewasa mempunyai ciri- ciri sebagai berikut:

<![if !supportLists]>a) <![endif]>Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut- ikutan. <![if !supportLists]>b) <![endif]>Cenderung bersifat realis, sehingga norma- norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku. <![if !supportLists]>c) <![endif]>Bersikap positif terhadap ajaran dan norma- norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan. <![if !supportLists]>d) <![endif]>Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup. <![if !supportLists]>e) <![endif]>Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas. <![if !supportLists]>f) <![endif]>Bersikap lebih kritis tehadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran dan hati nurani. <![if !supportLists]>g) <![endif]>Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipetipe kepribadian masing- masing. <![if !supportLists]>h) <![endif]>Terlihat adanya hubungan antara sikap dan keberagamaan dengan kehidupan sosial <![if !supportLists]>i) <![endif]>.
B.2.3.3 Agama Pada Usia Lanjut

Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan- jaringan dan sel- sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini, biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini, biasanya akan mengahadapi berbagai persoalan. Persoalan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebebkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu, mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi. Ciri- Ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut Secara garis besar ciri- ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:

<![if !supportLists]>1. <![endif]>Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan. <![if !supportLists]>2. <![endif]>Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan. <![if !supportLists]>3. <![endif]>Mulai muncul pengakuan terhadap relitas tentang kehidupan akherat secara lebih sungguh- sungguh. <![if !supportLists]>4. <![endif]>Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia serta sifat- sifat luhur. <![if !supportLists]>5. <![endif]>Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya. <![if !supportLists]>6. <![endif]>Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akherat).

B.2.4 Kematangan Beragama Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.

B.3 Pengertian Konversi Agama

Konversi agama secara etimologi yaitu konversi berasal dari kata latin conversio yang berarti tobat pindah, berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata Inggris conversion yang mengandung pengertian: berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat, berubah agama, berbalik pendirian (berlawanan arah) terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama. Ada beberapa pendapat tentang pengertian konversi agama antara lain: a. Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.<![if !supportFootnotes]>[9]<! [endif]> b. James mengatakan konversi agama adalah dengan kata kata: to be converted, to be regenerated, to recive grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases which denote to the process, gradual or sudden, by which a self hitherro divide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities. berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kurang bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan beragama.<![if !supportFootnotes]>[10]<![endif]> c. Sedangkan Clark memberikan definisi konversi agama yaitu: konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.<![if !supportFootnotes] >[11]<![endif]>

Dari uraian pengertian konversi agama diatas, sebagaimana dikatakan Ramayulis setidakny ada beberapa ciri utama yang dapat diambil, diataranya:

<![if !supportLists]>a. <![endif]>Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya. <![if !supportLists]>b. <![endif]>Perubahan yang terjadi di pengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berperoses atau secara mendadak. <![if !supportLists]>c. <![endif]>Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang di anutnya sendiri. <![if !supportLists]>d. <![endif]>Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itupun disebabkan faktor petunjuk dari yang maha kuasa.

B.4 Proses Konvesi Agama Konversi Agama menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar. Menurut Jalaluddin proses konversi agama dapat diumpamakan seperti pemugaran sebuah gedung, bangun lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya.<![if !supportFootnotes]>[12]<![endif]> Demikian pula seseorang atau suatu kelompok atau yang mengalami proses konversi agama ini. Segala bentuk kehidupan batinya yang semula mempunyai pola tersendiri berdasarkan pengalaman hidup yang dianutnya (agama), maka setelah konversi agama terjadi yang pada dirinya secara spontan pula ditinggalkan sama sekali.<![if !supportFootnotes]>[13]<![endif]> Selain itu perlu kita ketahui bahwa konversi agama mengandung dua unsur sebagaimana yang dinyatakan Penido yatu: a.) Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.; b). Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan. Sedangkan Carrier (dalam Ramayulis, 2002), membagi proses tersebut dalamtahapantahapan sebagai berikut: a). Terjadi desintegrasi sintesis kognitif (kegoncangan jiwa) dan motivasisebagai akibat dari krisis yang dialami. b). Reintegrasi (penyatuan kembali) kepribadian berdasarkan konsepsi agama yang baru. Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur yang lama. c). Tumbuh sikap menerima konsepsi (pendapat) agama yang baru serta peranan yang di tuntut oleh ajarannya. d. Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.<![if !supportFootnotes]>[14]<![endif]> Menurut Wasyim (dalam Sudarno, 2000) secara garis besar membagi proses konversi agama menjadi tiga, yaitu:

a. Masa Gelisah (unsert), kegelisahan atau ketidaktenangan karena adanya gap antara seseorang yang beragama dengan Tuhan yang di sembah. Ditandai dengan adanya konflik dan perjuangan mental aktif. b. Adanya rasa pasrah c. Pertumbuhan secara perkembangan yang logis, yakni tampak adanya realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya.

Dari beberapa proses konversi agama diatas sebanarnya secara garis besar bahwa terjadnya perubahan arah tersebut tentunya tidak terlepas dari beberapa pengaruh, baik itu pengaruh luar maupun dalam

B.5 Faktor-Faktor Penyebab Konversi Agama Berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan faktor yang menjadi pendorong konversi agama. William James dan Heirich mengemukakan pendapat dari berbagai ahli yang memiliki disiplin ilmu berbeda diantaranya para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi. Pengaruh supernatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok. Sedangkan para ahli sosiolog berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama yaitu lebih disebabkan oleh pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain:

<![if !supportLists]>1. <![endif]>Pengaruh hubungan antara pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non agama (kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang keagamaan yang lain). 2. Pengaruh kebiasaan yang rutin. Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jka dilakukan secara rutin hingga terbiasa. Misal, menghadiri upacara keagamaan. 3. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat, misalnya: karib, keluarga, famili dan sebagainya. 4. Pengaruh pemimpin keagamaan. Hubungan yang baik dengan pemimpinagama merupakan salah satu pendorong konversi agama. 5. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama. 6. Pengaruh kekuasaan pemimpin. Yang dimaksud disini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum. Misal, kepala Negara, raja.
Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara pesuasif (secara halus) dan pengaruh yang bersifat koersif (memaksa). Para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun faktor ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga ia mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang tenang dan tentram. Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama, berdasarkan tinjauan psikologi tersebut yaitu dikarenakan beberapa faktor antaralain:

a. Faktor Intern meliputi, pertama, Kepribadian. Secara psikologis tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehiduan jiwa seseorang. Dalam penelitiannya, James (dalam Ramayulis, 2002) menemukan bahwa tipe melankolis (orang yang bertipe melankolis memiliki sifat mudah sedih, mudah putus asa, salah satu pendukung seseorang melakukan konversi agama adalah jika seseorang itu dalam keadaan putus asa) yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya. Kedua, faktor pembawaan. Menurut Sawanson (dalam Ramayulis, 2002) ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa, karena pada umumnya anak tengah kurang mendapatkan perhatian orangtua. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama. b. Faktor Ekstern meliputi, pertama faktor keluarga. keretakan keluarga,ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat dan alinnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya. Kedua, Lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hingga kegelisahan batinnya hilang. Ketiga, Perubahan status. Perubahan status terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya: perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, menikah dengan orang yang berbeda agama dan sebagainya. Keempat, Kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan faktor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama. Selanjutnya, Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama. Walaupun belum dapat dikumpulkan data secara pasti tentang pengaruh lembaga pendidikan terhadap konversi agama namun berdirinya sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula. Menurut Daradjat (1986), faktor-faktor terjadinya konversi agama meliputi:

1. Pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, orang-orang yang gelisah, di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, yang kadang-kadang dia merasa tidak berdaya menghadapi persoalan atau problema, itu mudah mengalami konversi agama. Di samping itu sering pula terasa ketegangan batin, yang memukul jiwa , merasa tidak tenteram, gelisah yang kadang-kadang terasa tidak ada sebabnya dan kadang-kadang tidak diketahui. Dalam semua konversi agama, boleh dikatakan, latar belakang yang terpokok adalah konflik jiwa (pertentangan batin) dan ketegangan perasaan, yang mungkin disebabkan oleh berbagai keadaan. 2. Pengaruh hubungan dengan tradisi agama, diantara faktor-faktor penting dalam riwayat konversi itu, adalah pengalaman-pengalaman yang mempengaruhinya sehingga

terjadi konversi tersebut. Diantara pengaruh yangterpenting adalah pendidikan orang tua di waktu kecil mempunyai pengaruh yang besar terhadap diri orang-orang, yang kemudian terjadi padanya konflik konversi agama, adalah keadaan mengalami ketegangan yang konflik batin itu, sangat tidak bisa, tidak mau, pengalaman di waktu kecil, dekat dengan orang tua dalam suasana yang tenang dan aman damai akan teringat dan membayang-bayang secara tidak sadar dalam dirinya. Keadaan inilah yang dlam peristiwa-peristiwa tertentu menyebabkan konversi tiba-tiba terjadi. Faktor lain yang tidak sedikit pengaruhnya adalah lembaga-lembaga keagamaan, masjid-masjid atau gerejagereja. Melalui bimbingan lembaga-lembaga keagamaan itu, termasuk salah satu faktor penting yang memudahkan terjadinya konversi agama jika pada umur dewasanya ia kemudian menjadi acuh tak acuh pada agama dan mengalami konflik jiwa atau ketegangan batin yang tidak teratasi. 3.Ajakan/seruan dan sugesti, banyak pula terbukti, bahwa diantara peristiwa konversi agama terjadi karena pengaruh sugesti dan bujukan dari luar. Orang-orang yang gelisah, yang sedang mengalami kegoncangan batin, akan sangat mudah menerima sugesti atau bujukan-bujukan itu. Karena orang-orang yang sedang gelisah atau goncangan jiwanya itu, ingin segera terlepas dari penderitaannya, baik penderitaan itu disebabkan oleh keadaan ekonomi, sosial, rumah tangga, pribadi atau moral. 4. Faktor-faktor emosi, orang-orang yang emosionil (lebih sensitif atau banyak dikuasai oleh emosinya), mudah kena sugesti, apabila ia sedang mengalami kegelisahan. Kendatipun faktor emosi, secara lahir tampaknya tidak terlalu banyak pengaruhnya, namun dapat dibuktikan bahwa, emosi adalah salah satu faktor yang ikut mendorong kepada terjadinya konversi agama, apabila ia sedang mengalami kekecewaan. e. Kemauan, kemauan yang dimaksudkan adalah kemauan seseorang itu sendiri untuk memeluk kepercayaan yang lain.
Selain faktor-faktor diatas, Sudarno menambahkan empat faktor pendukung, yaitu: (a. Cinta, cinta merupakan anugrah yang harus dipelihara, tanpa cinta hidup tidak akan menjadi indah dan bahagia, cinta juga merupakan salah satu fungsi sebagai psikologi dan merupakan fitrah yang diberikan kepada manusia ataupun binatang yang banyak mempengaruhi hidupnya, seseorang dapat melakukan konversi agama karena dilandaskan perasaan cinta kepada pasangannya. (b. Pernikahan, adalah salah suatu perwujudan dari perasaan saling mencintai dan menyayangi. (c. Hidayah Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (QS. Al-Qasas:56)Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al Anam: 125) Ayat-ayat Al-Quran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bagaimanapun usaha orang untuk mempengaruhi seseorang untuk mengikuti keyakinannya, tanpa ada kehendak dari Allah SWT tidak akan bisa. Manusia diperintah oleh Allah SWT untuk berusaha, namun jangan sampai melawan kehendak Allah SWT dengan segala pemaksaan.<![if !supportFootnotes]>[15]<![endif]> (d. Kebenaran agama,

menurut Djarnawi (Sudarno, 2000) agama yang benar adalah yang tepat memilih Tuhannya, tidak keliru pilih yang bukan Tuhan dianggap Tuhan. Kebenaran agama yang dimaksud tidak karena paksaan, bujukan dari orang lain, akan tetapi lewat kesadaran dan keinsyafan antara lain melalui dialog-dialog, ceramah, mempelajari literatur, buku-buku dan media lain B.6 Macam- Macam Konversi Agama Starbuck sebagaimana diungkap kembali oleh Bernard Splika membagi konversi menjadi dua macam, yaitu: a. Type volitional (perubahan secara bertahap) yaitu konversi yang terjadi secara berproses, sedikit demi sedikit hingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan ruhaniah yang baru. b. Type self surrender (perubahan secara drastis) yaitu konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami proses tertentu tiba- tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Perubahan tersebut dapat terjadi dari kondisi tidak taat menjadi taat, dari tidak kuat keimanannya menjadi kuat keimanannya, dari tidak percaya kepada suatu agama menjadi percaya dan sebagainya. Sedangkan jenis-jenis konversi agama dibedakan menjadi dua sebagaimana yang dikatakan Moqsith, yaitu:<![if !supportFootnotes]>[16]<![endif]> a. Konversi internal, terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama. b. Konversi eksternal, terjadi jika seseorang pindah dari satu agama ke agama lain.

C. Penutup
Konversi agama merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah dari suatu sistem kepercayaan atau perilaku ke system kepercayaan yang lain. Secara garis besar yang menjadi penyebab utama konversi agama tersebut yaitu karena petunjuk (hidayah Ilahi), akibat penderitaan batin ataupun pilihan diri setelah melalui pertimbangan yang masak. Pada awal-awal terjadinya perubahan itu, setiap diri merasakan kegelisahan batin. Sulit untuk menentukan secara spontan mana yang harus diikuti. Kesulitan seperti itu wajar, karena agama sebagai keyakinan menyangkut sisi kehidupan batin seseorang yang berkaitan dengan nilai. Bagi manusia nilai merupakan sesuatu yang dianggap benar dan menyangkut pandangan hidup. Oleh karena itu selain peka, nilai juga merupakan sesuatu yang perlu dipertahankan oleh seseorang. Bahkan, pada tingkat yang paling tinggi pemeluk keyakinan itu rela mempertaruhkan nyawa demi mempertaruhkan nilai tersebut.

D. Daftar Pustaka
http://faiz_lathif.blog2.plasa.com/., diakses pada tanggal 4 Des 2008 09:11:02 GMT. http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda http://klinis.wordpress.com/2007/12/27/konversiagama-1/ http://www.hupelita.com/cetakartikel.php?id=53540, diakses pd tanggal 22 Okt 2008 20:49:14 GMT http://www.syauqipress.com/cetak.php?id=11., diakses pd tgl 4 Des 2008 07:48:05 GMT http://solilokui.multiply.com/journal/item/7, pada tanggal 12 Des 2008 11:45:31 GMT. Purwanto, Setiyo. Konversi Agama, http://one.indoskripsi.com/node/449, diakses pd tgl 14-12-2008 Rahmat, Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005 Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qurn Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. Cet. XII. 2001 Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama . Jakarta: Bulan Bintang, Cet. X. 1987. <![if !supportFootnotes]>

<![endif]>

<![if !supportFootnotes]>[1]<![endif]> QS. al-Rm/30: 30 <![if !supportFootnotes]>[2]<![endif]> http://faiz_lathif.blog2.plasa.com/., diakses pada tanggal 4 Des 2008 09:11:02 GMT. <![if !supportFootnotes]>[3]<![endif]> (QS. al-Arf/7: 172), lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qurn Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, Cet. XII, , 2001) h. 284 <![if !supportFootnotes]>[4]<![endif]> Dalam hadist nabi dikatakan: setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah, kedua orang tunyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani dan Majusi (al-Hadis) <![if !supportFootnotes]>[5]<![endif]> http://klinis.wordpress.com/2007/12/27/konversiagama-1/

<![if !supportFootnotes]>[6]<![endif]> http://www.hupelita.com/cetakartikel.php?id=53540, diakses pd tanggal 22 Okt 2008 20:49:14 GMT <![if !supportFootnotes]>[7]<![endif]> http://solilokui.multiply.com/journal/item/7, pada tanggal 12 Des 2008 11:45:31 GMT. <![if !supportFootnotes]>[8]<![endif]> Ibid, pengaruh latar belakang sosiokultur tersebut, tidak jauh berbeda dengan marx yang hidup di lingkungan Yahudi <![if !supportFootnotes]>[9]<![endif]> Setiyo purwanto, Konversi Agama, http://one.indoskripsi.com/node/449, diakses pd tgl 14-12-2008 <![if !supportFootnotes]>[10]<![endif]> Ibid. <![if !supportFootnotes]>[11]<![endif]> Zakiah Daradjat,Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. X, 1987), Hlm. 137. <![if !supportFootnotes]>[12]<![endif]> Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 279 <![if !supportFootnotes]>[13]<![endif]> Ibid. <![if !supportFootnotes]>[14]<![endif]> http// Blog at WordPress.com diakses pd tgl 14-122008 <![if !supportFootnotes]>[15]<![endif]> Hal ini senada dengan apa yang dinyaakan dalam <![if !supportFootnotes]>[16]<![endif]> (http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/ Posted in psikologi | http://psychologymania.wordpress.com/2011/07/14/konversi-agama-dalam-pandanganpsikologi/

Psi. Agama

KONVERSI AGAMA DALAM PANDANGAN PSIKOLOGI


Posted by psychologymania Juli 14, 2011 Tinggalkan sebuah Komentar

Konversi agama secara umum dapat diartikan dengan berubah agama ataupun masuk suatu agama.

Pengertian konversi agama menurut etimologi: Konversi berasal dari kata Conversio yang berarti: tobat, pindah, dan berobah (agama). Dalam bahasa Inggris Conversion yang berarti berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama keagama lain. Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama. Pengertian konversi agama menurut terminologi. Menurut pengertian ini akan dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain: 1. Max Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau prilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. 2. William James mengatakan konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan tempat berada. Konversi agama yang dimaksudkan memuat beberapa pengertian dengan ciri-ciri: a. Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya. b. Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan secara berproses atau secara mendadak. c. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pendangan terhadap agama yang dianutnya sendiri. d. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itupun disebabkan faktor petunjuk dari yang maha kuasa. 3. Clark (dalam Daradjat, 1979) Konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Konversi agama menunjukkan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur. Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan mengaruh lingkungan tempat berada. Selain itu, konversi agama yang dimaksudkan uraian diatas memuat beberapa pengertian dengan ciri-ciri:

a. Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya. b. Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak. c. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri. d. Selain factor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun disebabkan factor petunjuk dari Yang Mahakuasa. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama Beberapa ahli berbeda pendapat dalam menentukan faktor yang menjadi pendorong konversi. A. Para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi. B. Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial itu terdiri dari adanya berbagaia faktor antara lain: 1. Pengaruh hubungan antar pribadi, baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun nonagama (kesenian, ilmu pengetahuan atau bidang kebudayaan yang lain). 2. Pengaruh kebiasaan yang rutin. Misalnya menghadiri upacara keagamaan, ataupun pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan baik pada lembaga formal maupun lembaga nonformal. 3. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat. Misalnya karib, keluarga, famili, dan sebagainya. 4. Pengaruh pemimpin keagamaan. Hubungan yang baik dengan pemimpin agama merupakan salah satu faktor pendorong konversi agama. 5. Pengaruh perkumpulan berdasarkan hobi. 6. Pengaruh kekuasaan pemimpin. Masyarakat umumnya cenderung menganut agama yang dianut oleh kepala negara atau raja mereka. C. Para ahli psikologi (Ahli ilmu jiwa) berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern. 1. Faktor intern, yang ikut mempengaruhi terjadinya konversi agama adalah

a) Kepribadian. Secara psikologi tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang. Menurut penelitian W. James bahwa tipe melankolis memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya. b) Menurut penelitian Guy E. Swanson bahwa ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak tengah biasanya lebih bimbang dalam menentukan agama dibandingkan dengan anak sulung atau anak bungsu. 2. Faktor ekstern. Diantaranya adalah; a) Faktor keluarga, keratakan keluarga, ketidak seserasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapat pengakuan kaum kerabat, dan lainya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin. b) Lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa terlempar dari lingkungannya akan merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan ini menyebabkan seseorang mencari tempat untuk bergantung hingga kegelisahann batinnya hilang. c) Perubahan status yang berlangsung secara mendadak Misalnya: perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, kawin dengan orang yang berlainan agama. d) Kemiskinan. Kebutuhan mendesak akan sandang dan pangan dapat mempengaruhi terjadinya konversi agama. William James (dalam Ramayulis 2002, hal: 70), menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa terjadinya konversi agama karena: a) Adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap. b) Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses). Berdasarkan kesimpulan ini William James, Starbuck (dalam Ramayulis 2007, Hal 70- 71), membagi konversi agama menjadi 2 tipe: 1. Tipe Volational (Perubahan bertahap) Perubahan agama tipe ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu sebagian besar terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran. 2. Tipe Self-Surrender (Perubahan Drastis)

Konversi tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Perubahan inipun dapat terjadi dari kondisi yang tidak taat menjadi lebih taat, dari tidak percaya kepada suatu agama kemudian menjadi percaya dan sebagainya. Pada konversi tipe kedua ini menurut William James adanya pengaruh petunjuk dari Yang Maha Kuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri sefseorang sehingga ia menerima kondisi yang bru dengan pnyerahan jiwa sepenuh-penuhnya. Faktor faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian, secara psikologi kehidupan batin seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang tenang dan tentram. (Jalaluddin, 2008: 314-317) Menurut Abdalla, konversi internal terjadi dalam satu agama, dalam artian pola pikir dan pandang seseorang berubah, ada yang dihilangkan dan tidak menutup kemungkinan banyak yang ditambahkan (ibadah, tetapi konsep ketuhanan tetap sama). Sedangkan dalam konversi eksternal pindah keyakinan kekonsep yang benar-benar berbeda dengan konsep keyakinan sebelumnya. D. Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konvesi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Berdirinya sekolah sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula. Menurut Zakiyah Daradjat, Faktor-Faktor yang mempengaruhi konversi agama adalah (Zakiyah Daradjat 1991, hal 159 164): a) Pertentangan batin ( konflik jiwa ) dan ketegangan perasaan orang orang yang gelisah, yang di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, yang kadang kadang dia merasa tidak berdaya menghadapi persoalan atau problem itu mudah mengalami konversi agama, di antaranya ketegangan batin itu ialah tidak mampunya mematuhi nilainilai moral dan agama dalam hidupnya. b) Pengaruh hubungan dengan tradisi agama. Aktifitas lembaga keagamaan mempunyai pengaruh besar terutama aktifitas aktifitas sosialnya. Kebiasaan kebiasaan yang dialami waktu kecil, melalui bimbingan lembaga lembaga kagamaan itu, termasuk salah satu faktor penting yang memudahkan terjadinya konversi agama jika pada umur dewasanya ia kemudian menjadi acuh tak acuh pada agama dan mengalami konflik jiwa ketegangan batin yang tidak teratasi. c) Ajakan / seruan dan sugesti. Peristiwa konversi agama terjadi karna sugesti dan bujukan dari luar jika orang yang mengalami konversi itu dapat merasakan kelegaan dan ketentraman batin dalam keyakinan baru, maka lama kelamaan akan masuklah keyakinan itu ke dalam pribadinya. d) Faktor faktor emosi. Dalam penelitian George.A. Coe bahwa konversi agama lebih banyak terjadi pada orang yang dikuasai oleh emosinya. Orang orang yang emosional (lebih sensitif

atau banyak dikuasai oleh emosinya) mudah kena sugesti apabila ia mengalami kegelisahan. Menurut G. Stanlay Hall, usia remaja terkenal dengan umur kegoncangan emosi. Menurut Starburk, bahwa umur yang menonjol bagi konversi agama pada laki laki adalah 16 tahun 4 bulan dan bagi wanita 14 tahun 8 bulan.apabila kita kembali kepada kenyataan dalam hidup, tidak sedikit peristiwa konversi yng terjadi pada usia di atas 40 atau 50 tahun atau lebih. e) Kemauan. Kemauan juga merupakan peranan penting dalam konversi agama. Terbukti bahwa peristiwa konversi itu terjadi sebagai hasil dari perjuangan batin yang ingin mengalami konversi. hal ini dapat di ikuti dari riwayat hidup Imam Al Ghazali yang mengalami sendiri bahwa pekerjaan dan buku buku yang dulu di karangnya bukanlah dari keyakinan, tapi datang dari keinginan untuk mencari nama dan pangkat. (zakiah daradjat: 1970: 159-164) Proses Konversi Agama Menurut M.T.L Penido berpendapat, bahwa konversi agama mngandung unsur: a) Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dari pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seioring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih. b) Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang datang dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran, mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan pnyelesaian oleh yang bersangkutan. Kerangka proses konversi agama dikemukakan oleh: a. H. Carrier, membagi proses tersebut dalam pentahapan sebagai berikut: 1) terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat darikisis yang dialami. 2) Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru, maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur lama. 3) Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut oleh ajarannya. 4) timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan. b. Dr. Zakiah Daradjat. Memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu: 1) Masa tenang. Disaat ini kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan tenang, karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Dimana segala sikap, tingkah laku, dan sifat-sifatnya acuh tak acuh menentang agama.

2) Masa ketidaktenangan. Tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Dikarenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang dialaminya. Hal ini menimbulkan keguncangan dalam kehidupan batinnya, sehingga mengakibatkan kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus asa dan bimbang. konflik jiwa yang berat itu menyebabkan orang lebih sensitif (mudah perasa, cepat tersinggung dan mudah kena sugesti). Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya. 3) Masa konversi. Masa ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan, karena kemantapan batin dalam menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk illahi. 4) Masa tenang dan tentram. Masa tenang dan tentram ditimbulkan oleh kepuasaan terhadap keputusan yang diambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. 5) Masa ekspresi konversi. Pengungkapan konversi agama dalam tindak tanduk, kelakuan, sikap dan perkataan, dan seluruh jalan hidupnya berubah mengikuti aturan-aturan yang diajarkan oleh agama. Itulah yang akan membawa tetap dan mantapnya perubahan keyakinan tersebut. c. Menurut Wasyim (dalam Sudarno, 2000) secara garis besar membagi proses konversi agama menjadi tiga, yaitu: 1. Masa Gelisah (unsert), kegelisahan atau ketidaktenangan karena adanya gap antara seseorang yang beragama dengan Tuhan yang di sembah. Ditandai dengan adanya konflik dan perjuangan mental aktif. 2. Adanya rasa pasrah
3. Pertumbuhan secara perkembangan yang logis, yakni tampak adanya realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya.

Proses terjadinya konversi agama, dalam masyarakat mengambil beberapa macam bentuk: a) Perubahan yang drastis. Adalah proses konversi agama dari tidak taat menjadi taat, yang jangka waktunya cepat, karena ada masalah-masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh individu, yang disebabkan oleh tidak adanya pengalaman individu sebelumnya. b) Pengaruh Lingkungan. Pengaruh lingkungan mempengaruhi sikap dan cara pandang terhadap keyakinan suatu agama. c) Pengaruh idealisme yang dicari. Pro ses ini, biasanya memakan waktu lama. Individu selalu merasa dalam keyakinn yang meragukan. Tetapi jika, ada bukti yang bisa meyakinkannya, maka, dia akan yakin sepenuhnya.

Daftar Psutaka: Jalaluddin. 2008. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Daradjat, Zakiyah. 1991. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang Ramayulis. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia http://hbis.wordpress.com/2009/12/12/konversi-agama-psikologi-agama/

Você também pode gostar