Você está na página 1de 21

BAB I LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN 1. Identitas Pasien a. Nama/Kelamin/Umur b. Pekerjaan/pendidikan c. Alamat : Tn.N /Laki-laki/25 tahun : Swasta/SMA : RT 34 Simpang 4 Sipin

2. Latar belakang sosial-ekonomi-demografi-lingkungan keluarga a. Status Perkawinan b. Jumlah anak/saudara : Belum menikah : 4 saudara

c. Status ekonomi keluarga : Sedang, penghasilan Rp. 1.500.000,00 d. KB e. Kondisi Rumah ::

Rumah pasien dari papan,pekarangan luas Ventilasi kurang, penerangan cukup, jumlah kamar 3buah Sumber air minum air PDAM Listrik ada. Pasien memiliki WC 1 buah di rumah. Sampah dibuang ke tempat sampah dan dibakar Memakai kasur kapuk (+), dirumah memakai karpet ( + ), sofa (+) jarang dibersihkan Kesan : hygiene dan sanitasi kurang 3. Kondisi lingkungan keluarga Pasien sedang tinggal dengan suami dan tiga orang anak. Mempunyai binatang peliharaan (+), kucing Pasien tinggal di daerah yang padat penduduk. 4. Aspek psikologis keluarga Hubungan pasien dengan keluarganya baik.

5. Riwayat penyakit dahulu Telah menderita penyakit seperti ini 3tahun yang lalu. Riwayat alergi makanan (+) telur.

Riwayat sesak nafas tidak ada Riwayat mata merah/gatal kena debu atau udara dingin tidak ada Riwayat galigato tidak ada. Riwayat anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini ayah pasien sering bersin-bersin juga pada pagi hari.

6. Riwayat penyakit keluarga -

Riwayat anggota keluarga yang sesak nafas tidak ada. Riwayat anggota keluarga yang mata merah/gatal kena debu atau udara dingin tidak ada

Riwayat anggota keluarga yang alergi makanan tidak ada. Riwayat anggota keluarga yang galigato tidak ada.

7. Riwayat penyakit Keluhan Utama: Bersin-bersin pagi hari sejak 1 hari yang lalu. RPS : Os mengeluh bersin-bersin pagi hari sejak 1 hari sebelum ke puskesmas, Os mengatakan bersin-bersin muncul setelah udara di pagi hari dingin karena hujan, bersin lebih dari 5 kali, sekret ada encer , jernih,dan tidak berbau, disertai gatal-gatal pada hidung dan mata berair. Os juga mengeluh hidung tersumbat. Os mengatakan sudah sering seperti ini jika cuaca dingin dan jika menghirup debu dalam jumlah banyak. Os juga mengeluh nyeri kepala sejak keluhan bersin-bersin dan pilek dirasakan, nyeri terasa diseluruh kepala. Nyeri pada wajah tidak ada. Nyeri di belakang mata tidak ada Terasa ada cairan mengalir dibelakang hidung tidak ada. Keluhan pada telinga dan tenggorokan tidak ada Penggunaan obat semprot hidung tidak ada Pasien sering berobat ke Puskesmas sejak 3 tahun yang lalu dan diberi obat (hanya ingat warna: pil berwarna kuning), jika gejala bersin muncul. Bersin 1-3 hari seminggu dan gejala menggangu aktivitas.

8. Pemeriksaan fisik Status Generalis Keadaan umum Kesadaran Nadi Nafas Tekanan darah Suhu BB TB Status gizi Mata Thorak Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi : Perut tidak tampak membuncit : Hati dan lien tidak teraba, Nyeri Tekan ( - ) : Timpani : tampak sakit sedang : CM : 84kali/menit : 24kali/menit : 120/70mmHg : 37 C : 58kg : 160cm : baik : konjunctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik : : : Simetris kiri dan kanan statis dan dinamis : Fremitus kiri dan kanan normal : Sonor : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing-/: : Iktus tidak terlihat : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V : Batas jantung dalam batas normal : Bunyi jantung murni, ising tidak ada

Auskultasi : BU (+) N Anggota gerak : reflex fisiologis +/+, reflex patologis -/-, Oedem tungkai -/-

Status Lokalis THT Telinga Pemeriksaan Kelainan Kel kongenital Daun telinga Trauma Radang Kel. Metabolik Daun telinga Nyeri tarik Nyeri tekan tragus Cukup lapang (N) Diding liang Sempit telinga Hiperemi Edema Massa Ada / Tidak Sekret/serumen Bau Warna Jumlah Jenis Membran timpani Warna Reflek cahaya Utuh Bulging Retraksi Atrofi Jumlah perforasi Perforasi Jenis Kwadran Pinggir Tanda radang Fistel Mastoid Sikatrik Nyeri tekan Nyeri ketok Rinne Tes garpu tala Schwabach Weber Dekstra Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Cukup lapang (N) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Putih mengkilat (+) arah jam 5 Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Sinistra Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Cukup lapang(N) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Putih mengkilat (+) arah jam 7 Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hidung Pemeriksaan Kelainan Deformitas Kelainan kongenital Trauma Radang Massa Dektra Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Sinistra Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Hidung luar

Pemeriksaan Vestibulum

Cavum nasi

Sekret

Konka inferior

Kelainan Vibrise Radang Cukup lapang (N) Sempit Lapang Lokasi Jenis Jumlah Bau Ukuran Warna Permukaan Ukuran Warna Permukaan Edema Cukup lupus/deviasi Permukaan Warna Spina Krista Abses Perforasi Dekstra Tidak ada Tidak ada

Dekstra Ada Tidak ada Cukup lapang (N) Tidak ada Tidak ada Serosa Sedikit Tidak ada Hipertrofi Livide Licin Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Tidak ada Cukup lurus Licin Merah muda Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Sinistra Tidak ada Tidak ada

Sinistra Ada Tidak ada Cukup lapang(N) Tidak ada Tidak ada Serosa Sedikit Tidak ada Eutrofi Merah muda Licin Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Tidak ada Cukup lupus Licin Merah muda Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Konka media

Massa

Septum

Sinus paranasal Pemeriksaan Nyeri tekan Nyeri ketok

Orofaring dan mulut Pemeriksaan Kelainan Simetris/tidak Palatum mole + Warna Arkus Faring Edem Bercak/eksudat Dinding faring Warna Permukaan Tonsil Ukuran Warna Permukaan Eksudat Tonsil Perlengketan dengan pilar Warna Peritonsil Edema Abses Lokasi Bentuk Tumor Ukuran Permukaan Konsistensi Gigi Karies/Radiks Kesan Warna Bentuk Lidah Deviasi Massa Dekstra Simetris Merah muda Tidak ada Tidak ada Merah muda Licin T1 Merah muda Rata Tidak ada Tidak ada Merah muda Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Merah muda Normal Tidak ada Tidak ada Sinistra Simetris Merah muda Tidak ada Tidak ada Merah muda Licin T1 Merah muda Rata Tidak ada Tidak ada Merah muda Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Merah muda Normal Tidak ada Tidak ada

9. Laboratorium anjuran: hitung jenis, skin Prick Test 10. Diagnosa kerja 11. Diagnosa Banding : Rinitis alergi intermiten sedang : Rinitis vasomotor Rinitis Mendikamentosa 12. Manajemen Preventif :

Hindari faktor pencetus (debu, udara dingin, kasur kapuk, karpet, asap rokok dan makanan) Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut setiap minggu, bila mungkin dengan air panas (>55oC).

Menjemur cucian di bawah sinar matahari langsung. Sedikit mungkin menggunakan perabotan rumah dari bahan kain atau kain berbulu. Menggunakan gorden yang dapat di cuci. Jaga kebersihan rumah agar tidak berdebu. :

Promotif

Menjelaskan penyakit kepada pasien, kemungkinan keturunan menderita penyakit seperti ini atau penyakit alergi lainnya (asma, konjungtivitis alergi, dermatitis alergi, urtikaria) dan komplikasi penyakit ny.

Pola hidup sehat dan makan makanan yang bergizi seimbang

Kuratif (resep) : Dexametason 3x1 tab @ 0,5mg CTM 3x1 tab @ 4mg Paracetamol 3x1 tab @500mg :

Rehabilitatif

Kontrol teratur ke Puskesmas

Dinas Kesehatan Kota Jambi

Puskesmas : Simpang 4 Sipin Jalan Dokter Tanggal : : Mike Fitria sari : 17 mei 2012

R/ Dexametason tab S 3dd tab I R/ CTM tab 4mg S 3 dd tab I

0,5mg

No. X $ No. X $ No. X $ No.X $

R/ Paracetamol tab 500mg S 3 dd tab I R/ Efedrin HCl tab S 3 dd tab 1

Pro Alamat

: Tn.N : RT 34 Simpang 4 Sipin

Umur : 25 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

a) Definisi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.

b) Patofisiologi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah

diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin. Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung.

Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

c) Gambaran Histologik Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terusmenerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur. 2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan. 3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan. Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

d) Klasifikasi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau

rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi). Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan. 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial) Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (anijng, kucing, burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 munggu. 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

e) Diagnosis 1. Anamnesis Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadangkadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengjung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue)..

3. Pemeriksaan Penunjang a. In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan

menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

f) Diagnosis banding Rhinitis non alergi, rhinitis infeksi, dan common cold

g) Penatalaksanaan 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya(avoidance) dan eliminasi. 2. Medikamentosa Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yanh bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam dua golongan yaitu antihistamin generasi 1 (klasik) dan antihistamin generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi pertama bersifat lipofilik sehingga dapat melewati sawar darah otak, dan tidak hanya berikatan dengan reseptor histamin H1 saja tetapi juga dengan reseptor dopaminergik, serotinergik dan kolinergik. Hal ini menyebabkan adanya efek samping dari obat ini, yaitu efek terhadap SSP (seperti sedasi, lelah, pusing, turunnya penampilan), serta efek kolinergik seperti mulut dan mata kering, glaukoma, atau retensi urin. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin serta azelastin yang dapat diberikan secara topikal. Antihistamin generasi kedua berukuran lebih besar dan lebih bersifat lipofobik daripada generasi pertama, sehingga tidak melewati sawar darah otak. Generasi kedua ini berikatan secara spesifik dengan reseptor histamin H1 dan memiliki afinitas yang kecil terhadap reseptor lain. Sehingga generasi kedua ini memiliki efek samping sedasi yang lebih sedikit atau tidak ada, tidak mengganggu penampilan dan tidak memiliki efek antikolinergik. Yang termasuk kelompok ini yaitu loratadin, astemisol, azelastin, terfinadin dan cetirisin. Sejumlah preparat agonis adrenergik dipakai sebagai dekongestan oral, seperti pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Obat ini secara primer dapat mengurangi sumbatan hidung dan sedikit mengatasi rinore, tetapi tidak memiliki efek dalam mengurangi bersin, gatal ataupun gejala okular. Efek

samping yang ditimbulkan berupa efek SSP seperti insomnia, cemas, iritabilitas, sakit kepala, atau berupa efek kardiovaskuler seperti palpitasi, takikardi. Golongan obat ini juga dapat meningkatkan tekanan darah, tekanan intraokuler dan menyebabkan obstruksi saluran kemih. Hal ini menjadikan pemberiannya harus hati-hati pada pasien usia lanjut dan tidak diberikan pada pasien dengan penyakit jantung iskemik, glaukoma dan obstruksi kemih. Dekongestan topikal seperti oxymetazolin, fenilefrin, xlometazolin, nafazolin, dapat mengurangi gejala hidung tersumbat. Namun penggunaannya harus dibatasi 3-5 hari untuk menghindari terjadinya rebound nasal congestion (rinitis medikamentosa). Pemberian dekongestan topikal pada rinitis alergi berat selama beberapa hari pertama dapat membantu kemajuan terapi. Preparat kortikosteroid topikal memiliki efek melalui mekanisme multipel, yaitu vasokontriksi dan mengurangi edema, menekan produksi sitokin dan menghambat influks sel radang. Preparat ini merupakan terapi yang paling efektif pada rinitis alergi terutama derajat berat. Yang termasuk pada golongan kortikosteroid topikal ini yaitu budesonid, beklometason, flunisolid, flutikason, mometaso furoat dan triamnicolon asetonid. Tidak didapatkan efek samping sistemik yang signifikan pada dewasa, tetapi pada anak dilaporkan terdapat hambatan pertumbuhan pada pemakaian beclomethasone intranasal. Efek samping lokal yang timbul berupa kering dan iritasi pada mukosa hidung serta epistaksis ringan. Dalam pemakaiannya, harus diberitahukan kepada pasien agar dalam menyemprotkan obat tidak mengarah ke septum karena dapat terjadi erosi mukosa yang akhirnya menimbulkan perforasi septum. Kortikosteroid oral digunakan pada kasus tertentu dengan gejala hidung yangsangat berat. Contoh obat yang digunakan yaitu prednison atau metiprednisolon. Preparat antikolinergik topical ialah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibitor reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast / montelukast), anti IgE dan DNA rekombinan. 3. Operatif Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

h) Komplikasi Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah : 1. Polip hidung. Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. 3. Sinusitis paranasal. Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.

BAB III ANALISA KASUS


Pada anamnesa didapatkan informasi bahwa Os mengeluh bersin-bersin pagi hari sejak 1 hari sebelum ke puskesmas, Os mengatakan bersin-bersin muncul setelah udara di pagi hari dingin karena hujan, bersin lebih dari 5 kali, sekret ada encer , jernih,dan tidak berbau, disertai gatal-gatal pada hidung dan mata berair. Riwayat hidung sering tersumbat ada, tidak berpindah pindah. Saat ini hidung tidak tersumbat. Os mengatakan sudah sering seperti ini jika cuaca dingin dan jika menghirup debu dalam jumlah banyak. Pada pemeriksaan hidung ditemukan sekret tapi dalam jumlah sedikit. Ditemukan juga hipertrofi pada konka inferior dekstra. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka pasien ini didiagnosa Rinitis Alergi. Pada pasien ini terapi yang paling utama ialah menghindari faktor pencetus. Karena pasien ini faktor pencetus adalah udara yang dingin karena perubahan cuaca, maka disarankan pada pasien ini jika udara dingin menggunakan pakaian yang hangat. Untuk meringankan gejala penyakitnya maka pasien ini diberikan dexametason 3x1 tab @ 0,5mg, CTM 3x1 tab @ 4mg, efedrin HCl 3x1 tablet dan Paracetamol 3x1 tab @500mg.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hilger, Peter, A., penyakit hidung BOEIS Buku Ajar Penyakit THT (BOEIS Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6,Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997. 2. Irawati, Nina., Kasakeyan, Elise., Rusmono,Nikmah., rhinitis alergi Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI, 2007.

LAPORAN KASUS

RINITIS ALERGI

MIKE FITRIA SARI G1A 105025


Pembimbing Dr. Azwar Djauhari, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JAMBI PUSKESMAS SIMPANG EMPAT SIPIN TAHUN 2012

Você também pode gostar