Você está na página 1de 6

PENGECUALIAN DALAM KETERBUKAAN INFORMASI Keterbukaan informasi publik di Indonesia masih menyisakan masalah.

Banyak badan publik yang mengalami kesulitan dalam menerapkan pengecualian dalam UU KIP. Sejak diberlakukannya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada tahun 2010 sampai dengan sekarang, sudah ada kurang lebih 495 kasus yang diajukan ke Komisi Informasi Pusat. Dari jumlah itu, sebanyak 30% merupakan sengketa mengenai penafsiran pengecualian dalam keterbukaan iformasi, sedangkan 70% sisanya berkaitan dengan masalah prosedural. Kesimpulan ini terungkap dalam diskusi seharian yang dilaksanakan oleh Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) dan Centre for Law and Democracy (CLD) di Jakarta, Senin (5/3). Diskusi untuk menyongsong 2 tahun keterbukaan informasi publik ini menghadirkan kurang lebih sepuluh narasumber. Peneliti ICEL, Dessy Eko Prayitno, mengatakan penafsiran mengenai pengecualian dalam keterbukaan informasi berfariasi. Selain itu, pengecualian itu diatur dalam banyak peraturan. Lebih lanjut Prayitno mengatakan bahwa tidak ada pengecualian yang mutlak dalam keterbukaan informasi selain kerahasiaan pribadi. Michael Karanicolas dari CLD mengatakan, kemutlakan pengecualian dari kerahasian pribadi tergantung dari cara kita melihat dan tergantung karakter suatu negara. Kerahasiaan pribadi tidak mutlak, kata Michael. Hal ini misalnya, mengenai identitas seseorang, hobi, catatan keuangan. Di India, hal itu tidak dikecualaikan. Jadi tidak ada kemutlakan dalam pengecualian dari sisi keterbukaan informasi, katanya. Hakim agung, Paulus L. Effendi, menegaskan perlu adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan. Karena pengecualian keterbukaan informasi itu tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undagan, maka perlu adanya sinkronisasi, kafa Paulus. Perdebatan perdebatan itu mengkerucut pada suatu kesimpulan bahwa suatu informasi dapat dikecualikan apabila masih dalam proses dan belum mencapai final. Misalnya, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) seorang saksi atau tersangka. Pejabat publik tidak bisa membongkar atau memublikasikan identitas dari tersangka. Kerahasiaan itu baru bisa dibongkar apabila seseorang yang diduga bersalah dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. (AJ) Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah salah satu produk hukum Indonesia yang dikeluarkan dalam tahun 2008 dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan mulai berlaku dua tahun setelah diundangkan. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu. Tujuan [sunting] Undang-Undang ini bertujuan untuk:[1] 1. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; 2. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; 3. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; 4. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; 5. mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak; 6. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau 7. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Pengecualian [sunting] Informasi yang dikecualikan dalam Undang-undang ini antara lain adalah:[2]

Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri; Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi; memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan; informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

Undang-Undang Pelayanan Publik Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Undang-Undang Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) adalah undang-undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik[1]. Proyek Rumah Sakit Universitas Brawijaya Dilaporkan ke KPK dan Kejaksaan Agung Topik

#Proyek-Proyek Baru Besar Kecil Normal TEMPO Interaktif, Malang - Sebanyak 175 kepala keluarga Perumahan Griya Shanta Eksekutif Kota Malang, Jawa Timur, melaporkan Universitas Brawijaya ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung.

Warga menduga Universitas tersebut telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan korupsi dalam pelaksanaan pembangunan Rumah Sakit Akademik Universitas Brawijaya (RSAUB). "Kami minta aparat penegak hukum menyelidiki laporan warga," kata tokoh masyarakat Perumahan Griya Shanta Sugiharso, Selasa (19/1). Menurut Sugiharso, indikasi pelanggaran hukum dalam kasus pembangunan RSAUB adalah tidak ada izin pembangunan dan penyalahgunaan alih fungsi lahan dari yang semestinya untuk pusat perbelanjaan. Sedangkan untuk korupsi, Sugiharso tak mau menjelaskan karena sudah masuk ke dalam materi korupsi. "Yang berhak menjelaskan adalah KPK dan Kejagung," ujarnya. RSAUB dibangun dengan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara senilai Rp 600 miliar selama tiga tahun. Dana dipakai untuk pembangunan gedung dan pembelian peralatan medis. Rumah sakit yang mulai dibangun Oktober 2009 dan direncanakan selesai 2011 itu akan berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan dan riset serta pengobatan umum. Sugiharso menyatakan, laporan ke KPK dilayangkan pada 10 November 2009 dan Kejagung pada 17 Desember 2009. Laporan dilayangkan karena anggaran berasal dari APBN. Karena itu, yang berhak untuk menyidik dugaan pelanggaran hukum dan korupsi pembangunan RSAUB adalah KPK dan Kejagung. Selain melaporkan kasus ini KPK dan Kejagung, warga juga membawa kasus ini ke Dewan Perwakilan Rakyat dan Departemen Keuangan. Kepada Dewan, warga meminta agar dibentuk Panitia Khusus untuk menemukan simpul kasus dugaan pelanggaran hukum dan korupsi. Sedangkan kepada Departemen Keuangan, warga meminta agar anggaran pembangunan diblokir untuk menekan angka kerugian negara. Warga juga membawa persoalan ini ke ranah pidana dengan melaporkan PT Nindya Karya ke Polda Jatim pada 17 Desember 2009. Dalam laporan tersebut, PT Nindya Karya dinilai telah melanggar hukum dengan mengalihkan peruntukkan lahan dan merusak fasilitas umum Perumahan Griya Shanta. Rektor Universitas Brawijaya Yogi Sugito mengaku tak takut dengan laporan tersebut. "Silakan lapor karena tak ada korupsi dalam kasus ini," ujarnya. Pembangunan RSAUB selain menghadapi tentangan warga, juga menghadapi masalah perizinan. Pemerintah Kota menghentikan dan menyegel pembangunan karena tak mengantongi izin pembangunan. RSAUB dibangun di atas lahan seluas 2,5 hektare di Perumahan Griya Shanta Eksekutif Kota Malang. Pembangunan RSAUB sudah berjalan sejak Oktober 2009. Dari tiga tahap pekerjaan yang dilaksanakan PT Nindya Karya selaku pelaksana pembangunan, saat ini telah merampungkan 90 persen pekerjaan tahap pertama. Hingga kini, Universitas Brawijaya belum mengantongi advise plan maupun izin mendirikan bangunan. TEMPO.CO, Malang - Komisi Pemilihan Umum Kota Batu berencana melakukan konsultasi dengan KPU pusat untuk menentukan sikap mengenai persoalan keabsahan ijazah calon inkumben Wali Kota Eddy Rumpoko. KPU pusat diharapkan mengambil keputusan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. "Besok (hari ini), KPU Batu bertemu KPU pusat," kata anggota KPUD Jawa Timur, Najib Hamid, saat dihubungi Tempo, Rabu, 1 Agustus 2012. Hingga kemarin, menurut Najib, KPU Jawa Timur belum mengambil keputusan apa pun. Ketua KPUD Kota Batu Bagyo Prasasti belum bisa dimintai konfirmasi.

Sebelumnya, KPUD Kota Batu memverifikasi ijazah para calon Wali Kota Batu, termasuk Eddy. Verifikasi dilakukan untuk mengecek apakah para calon telah memenuhi syarat administrasi sebelum bertarung dalam pemilihan Wali Kota Batu pada Oktober mendatang. KPUD Batu juga berkonsultasi dengan KPUD Jawa Timur, tapi tak mendapat petunjuk yang berarti. Adapun Eddy menyatakan ijazahnya sah. Karena itu, ia bakal menguji keabsahan surat pernyataan khusus yang diterbitkan Kepala Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa Surabaya, Abdullah. Surat tersebut menyatakan, nama Eddy Rumpoko, dengan ijazah bernomor induk 3116, tak pernah terdaftar di sekolah tersebut. Surat itu sekaligus mencabut surat keterangan kelulusan yang dikeluarkan SMP Taman Siswa pada 2007. "Akan kami uji di Pengadilan Negeri Surabaya," kata kuasa hukum Eddy, Abdul Wahab Adhinegoro, kepada Tempo kemarin. Ia menilai surat tersebut bermuatan politis dan diduga merupakan pesanan dari lawan-lawan politik untuk menjegal pencalonannya kembali. Selama proses gugatan di pengadilan, KPUD Kota Batu dilarang menjadikan surat Abdullah sebagai dasar keputusan. "KPU harus menunggu hasil persidangan," katanya. Menurut Wahab, surat keterangan lulus yang ditandatangani Suharminah, Kepala SMP Taman Siswa saat itu, sah. Apalagi setelah Kepolisian Daerah Jawa Timur mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan pemalsuan surat keterangan lulus, dengan tersangka Eddy Rumpoko. Desakan Komisi Kepolisian Nasional untuk membuka SP3 tak akan mempengaruhi keabsahan surat keterangan. Menurut Wahab, tidak jadi masalah jika kasus diteruskan karena akan mengurai persoalan tersebut lebih jelas. "Jika bersalah, tinggal menurunkan saja. Jangan bunuh karakternya hingga kehilangan hak sebagai calon Wali Kota Batu," ujarnya. Sebelumnya, anggota Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Muhammad Nasser, mengatakan polisi harus membuka kembali kasus pemalsuan ijazah ini. "Kami minta penyelidikan ulang karena ada bukti baru bahwa surat keterangan tersebut palsu. Kami telah melakukan verifikasi ke sekolah," ujarnya pekan lalu. Pasal 53 ayat 2 UU PTUN menyebutkan ada tiga alasan menggugat suatu KTUN ke Pengadilan Tata Usaha Negara KTUN yang diajukan gugatan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku a. KTUN tersebut bertentangan dengan ketentuaan dalan perundangan yang bersifat formil/ procedural. b. KTUN tersebut bertentangan dengan ketentuaan dalan perundangan yang bersifat Materiil / Subtansial c. KTUN tersebut dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan Usaha Negra yang tidak berwenang Badan atau pejabat tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud yang diberikannya wewenang tersebut ( KTUN yang dikeluarkan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dalam keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.

1.

2. 3.

1. 2. 3. 4.

Dan yang tidak termasuk sebagai suatu KTUN yang dapat digugat menurut Pasal 2 menurut Undang-Undang No 9 tahun 2004 adalah : Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

5. 6. 7.

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum

Syarat gugatan Syarat Formal Pasal 56 (1) UU no 5 tahun 1986 Jo uu no 9 tahun 2004 menentukan bahwa suatu gugatan harus memuat a. 1). 2). 3). 4). b. 1). 2). c. Identitas Penggugat Nama lengkap Penggugat Kewarganegaraan Penggugat Tempat Tinggal penggugat Pekerjaaan penggugat Identitas Tergugat Nama., Jabatan, Misalnya : Kepal Dinas, Bupati., Gubenur., Menteri, Camat, Lurah.dan sebgainya Tempat kedudukan tergugat

Tenggang waktu mengajukan gugatan Gugatan terhadap suatu Keputusan/Penetapan tertulis atau yang disamakan dengan itu, hanya dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak keputusan itu: 1. Setelah diterima atau dikeluarkan SK. 2. Setelah 4 bulan dilakukan permintaan dikeluarkan SK. 3. Setelah banding administratif. Sehubungan dengan masalah tenggang waktu mengajukan gugatan ini, juga agar diperhatikan ketentuan dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yakni dalam hal Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat jangka waktu yang diatur dalam perundang-undangan dimaksud dapat diajukan gugatan Tata Usaha Negara. Peghitungan tenggang waktu daluwarsa mengajukan gugatan dalam hal demikian, adalah sejak lewat waktu yang diatur dalam perundang-undangan dimaksud dapat diajukan gugatan Tata Usaha Negara. Perhitungan tenggang waktu daluwarsa mengajukan gugatan dalam hal demikian, adalah sejak lewat waktu yang diatur dalam perundang-undangan tersebut. Atau kalau tidak ada ketentuan tenggang waktu, maka setelah lewat waktu tiga bulan. d. Diberi Tanggal Suatu gugatan biasanya diberi tanggal, hal ini berkaitan dengan tenggang waktu untuk mengajukan gugatan. Dari tanggal surat gugatan akan diketahui apakah gugatan sudah daluwarsa, maka hendaknya ada uraian dalam gugatan tentang kapan keputusan yang digugat itu disampaikan atau diketahui oleh Penggugat ini untuk menghilangkan daluwarsa, akan tetapi hal itu harus dibuktikan kemudian dalam acara pembuktian Demikian juga gugatan yang premature (belum saatnya diajukan gugatan) akan diketahui dari tanggal gugatan itu. Ditandatangani Suatu surat gugatan haruslah ditanda tangani oleh Penggugat atau oleh kuasanya yang sah untuk itu. Surat gugatan tidak perlu diberi materai, karena biaya materai tersebut telah dihitung dalam biaya perkara (SEMA No. 2 Tahun 1991).

e.

Syarat Material/Substansial: Syarat material (substansial) suatu gugatan Tata Usaha Negara, meliputi : 1. Obyek Gugtan Dasar gugatannya: Keputusan TUN berupa - Penetapan tertulis Pejabat TUN (menyangkut formalnya dalam pembuktian shingga memo/nota dapat memenuhi syarat tertulis, asalkan jelas Pejabat yang mengeluarkan, isinya kepada siapa ditujukan. - Berisikan tindakan hukum TUN (Mengeluarkan keputusan/Beschikking yang bersifat Konkret (nyata tidak abstrak,misalnya keputusan pengosongan rumab,ijin usaha atau pemecatan pegawai). Individual(yang dituju perorangan. kalaupun umum maka nama-nama disebutkan).Final (sudah definitive sehingga menimbulkan akibat hukum, kalau masih memerlukan persetujuan atasan atau instansi lain belum menunjukkan hak dan kuwajiban). - Objek gugatan harus disebutkan secara jelas di dalam surat gugatan. Misalnya dalam Perkara Tata Usaha Negara No. 01/G/l 994/PTUN-MDN, tanggal 14 November 1994, objek gugatanya adalah Sertifikat Tanali Hak Guna Bangunan (HGB) No. 22 tertanggal 7 Januari 1982 atas nama M.KADIRAN. 2. Posita.Gugatan Posita atau dasar-dasar gugatan, benisikan dalil Penggugat untuk mengajukan gugatan. yang diuraikan secara ringkas dan sederhana. Posita ini, meliputi : Fakta Hukum Fakta Hukum berisi fakta-fakta secara kronologis tentang adanya hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat maupun dengan objek.gugatan. Dalam fakta hukum ini juga harus diuraikan kapan keputusan yang menjadi obyek gugatan dikeluarkan, atau diberitahukan kepada penggugat atau kapan mulai merasa kepentingan terganggu karena adanya keputusan tersebut Kualifikasi Perbuatan Tergugat, Dalam gugatan harus diuraikan secara ringkas dan tegas serta jelas tentang kualifikasi kesalahan dari tergugat. Sebagaiman dimaksud dalam pasal 53 (2) UU no 5 tahun 1986 Jo II No 9 tahun 2004 misalkan dalam perkara tata usaha Negara no 01/G/1994/ PTUN MDN merumuskan kualifikasi perbuatan / kesalahan tergugat, sebagai berikut: Bahwa Perbuatan tergugatr menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No 22 tahun 1982 atas nama rektor universitas Grahandika sedangkan tanah tersebut selama ini dikuassi oleh penggugat.tanpa adanya ganguan dari pihak manapun adalah jelas sesuatu yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang sewenag-wenang yang sangat merugikan penggugat Uraikan Kerugian Penggugat Seandainya akibat perbuatan tergugat menerbitkan keputusan yang disengketakan itu telah menimbulkan kerugian bagi penggugat, maka hal itu dapat digugat dalam Gugatan Tata Usaha Negara sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1991 ganti rugi itu maksimum sebesar Rp. 15.000.000,-. (Lima Belas Juta Rupiah), oleh karenanya diuraikan secara rinci tentang kerugian yang timbul tersebut. Petitum Adalah kesimpulan gugatan yang berisikan hal-hal yang dituntut oleh penggugat untuk diputuskan oleh hakim. Petitum itu umumnya meliputi hal-hal sebagai berikut : Mengabulkan/ menerima gugatan Penggugat seluruhnya - Menyatakan perbuatan Tergugat adalah perbuatan yang sewenwg-wenang atau pernbutan yang bertentangan dengan Undang- Undang Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan No. Tanggal yang dikeluarkan oleh tergugat:

Menghukun tergugat untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp. Kepada Penggugat (Jika ada) Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini untuk semua tingkatan

Petitum (apa yang menjadi tuntutan/ yang diminta) Ada 3 (tiga) alternatif: 1. Pembatalan atau menyatakan tidak sah SK yang dikeluarkan Tergugat. 2. Ganti rugi 3. Rehabilitasi 4. Bisa mengajukan penangguhan pelaksanaan SK Dalam hal ada gugatan privisi maka hal tersebut harus diuraikan terlebih dahulu setelah identitas para pihak dan objek gugatan diuraikan. Gugaatn provisi itu dapat menyangkut tindakan tertentu yaitu: menunda pelaksanaan keputusan Usaha Negara yang disengketakan sampai ada putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Atau untuk megizinkan penggugat berperkara secara prodeo atau Cuma-Cuma.atau mungkin juga untuk meminta suatu perkara diperiksa dengan acara cepat, Untuk itu harus dikemukakan alasan-alasanya dalam gugatan provisi tersebut. Proses Pengajuan Gugatan ke PTUN A. PENGAJUAN SURAT GUGATAN Berdasarkan pasal 53 ayat 1 jo pasal 1 butir 4 UU 5/1986, maka dapat disimpulkan bahwa gugatan pada Peradilan TUN (Peratun) adalah suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata terhadap badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN, yang merugikan kepentingan orang atau badan hukum perdata tersebut dengan permintaan supaya Peratun menyatakan batal atau tidak sah keputusan TUN tersebut atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi. Gugatan yang telah disusun/dibuat oleh penggugat atau kuasanya, kemudian didaftarkan di Kepaniteraan PTUN yang berwenang sesuai dengan ketentuan pasal 54 UU 5/1986. Setelah itu oleh panitera mengadakan penelitian administratif baik administrasi yang diharuskan penggugat dalam mengajukan gugatan (misal: membayar persekot biaya dll), serta teradap surat gugatannya sudah memenuhi pasal 56 atau belum. Menurut pasal 56 UU 5/86, pada pokoknya gugatan harus memenuhi sebagai berikut : 1. Syarat formil, yang berisi identitas penggugat, tergugat maupun kuasanya 2. Syarat materil : a. Dasar gugatan / posita gugatan b. Tuntutan (petitumi) Bahwa gugatan tidak dapat diajukan setiap waktu kehendak penggugat karena dalam pasal 55 jo 3 UU 5/1986 telah membatasi secara limitatif. Apabila yang digugat berupa keputusan TUN (keputusan positif kongkit) maka gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak diumumkan atau diterimanya surat keputusan TUN. Hal tersebut akan menimbul masalah apabila surat keputusan tersebut merugikan kepentingan pihak ketiga. Terhadap permasalah ini, untuk memenuhi kebutuhan praktek di peratun, MARI telah mengeluarkan SEMA no 2 tahun 1991, yang pada pokoknya menyatakan bahwa perhitungan tenggang waktu dihitung secara kausitis, yaitu 90 hari sejak saat pihak ketiga mengetahuinya. Apabila obyek sengketa berupa keputusan TUN yang bersifat fiktif permohonan sebagaimana perhitungan tenggang waktu berdasarkan pasal 3 ayat 2 dan 3 UU 5/1986 dengan cara sebagai berikut : a. Tenggang waktu 90 hari sejak lewat tenggang waktu proses permohonan sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan dasarnya b. Tenggang waktu 90 hari dihitung sejak lewat waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan. B. PROSEDUR DISMISSAL Prosedur dismissal adalah suatu proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di PTUN yang dilakukan oleh Ketua pengadilan. Setelah dilakukan penelitian administratif oleh panitera maka tahap selanjutnya adalah prosedur dismissal yang eksistensinya serta alasan-alasannya diatur dalam pasal 62 UU no 5 /1986/ dalam pasal 62 tersebut tidak mengatur secara terperinci tentang tata cara dalam prosedur dismissal, maka Mahkamah Agung didalam SEMA no 2 tahun 1991, pada pokoknya menyatakan : 1. Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat menunjuk Hakim sebagai reportir 2. Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan atau dilaksanakan secara singkat 3. Ketua pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan dismissal aapbila diangap perlu 4. Penetapan dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak dapt diterima atau tidak berdasar dan tanda tangani oleh ketua dan panitera 5. Penetapan dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan, sebelum hari pesidangan ditentukan dengan memanggil kedua pihak untuk mendengarkannya. Terhadap penetapan dismissal dari Ketua Pengadilan dapat dilakukan upaya hukum perlawanan yang diatur dalam pasal 63 ayat 3, yang pada pokoknya sebagai berikut : 1. Tenggang waktu perlawanan adalah 14 hari sejak penetapan dismissal diucapkan 2. Perlawanan diajukan sesuai pasal 56, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat 3. Dalam hal perlawanan dibenarkan maka penetapan dismissal gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa 4. Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum C. PENUNDAAN Menurut pasal 67 ayat 1 UU 5/1986 yang pada pokoknya bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan TUN serta tindakan badan atau pejabat TUN yang digugat. Apabila ketentuan tersebut dilaksanakan maka gugatan Penggugat (misalnya : perintah bongakt) yang tetap dilaksanakan sehingga untuk menggugat tidak ada artinya lagi. Oleh karena itu sebagai kompensasinya perlu adanya lembaga penundaan (vide pasal 67 UU 5/1986). Permohonan penundaan terhadap pelaksanaan obyek sengketa oleh pihak penggugat dapat dilakukan dengan cara : 1. Diajukan bersama-sama dalam surat gugatan 2. Dibuat tersendiri tetapi pengajuannya bersama-sama dengan pengajuan surat gugatan, 3. Diajukan pada saat proses gugatan berjalan, baik secara tertulis maupun lisan Yang berwenang menerbitkan penetapan atas permohonan penundaan adalah : 1. Apabila permohonan tersebut masih dalam tahap penelitian administratif dan proses dismissal maka yang berwenang adalah Ketua Pengadilan 2. Apabila gugatan tersebut telah dilimpahkan kepada Majelis Hakim/Hakim maka yang berwenang adalah Majelis Hakim/Hakim Upaya hukum atas penetapan penundaan, maka pihak tergugat menyampaikan sanggahan kepada Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim/Hakim, yang pada pokoknya bahwa tindakan tergugat mengeluarkan keputusan TUN tidak bertentangan dengan pasal 67 ayat 4 UU 5/1986. Dalam praktek yang sering menimbulkan permasalahan adalah apabila pihak tergugat tidak mau melaksanakan penetapan penundaan. Apabila hal tersebut terjadi, maka tembusannya kepada Ketua MARI, menteri Kehakiman (Kumdang), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI (Surat MENPAN no. B 471.4.1991 tanggal 28 Mei 1991 tentang pelaksanaan putusan Pengadilan TUN), sesuai yang tercantum dalam SEMARI no 2 tahun 1991. D. PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA Dalam UU no 5/1986 Hakim/Majelis Hakim dalam memeriksa sengketa TUN dapat dilakukan melalui 3 (tiga) acara pemeriksaan yaitu : 1. Pemeriksaan acara singkat 2. Pemeriksaan acara cepat 3. Pemeriksaan acara biasa a.d.1. Pemeriksaan Acara Singkat

pemeriksaan acara singkat yang diperiksa bukan mengenai pokok sengketa, melainkan baru mengenai perlawanan sesuai yang diatur dalam pasal 62 dan 118 UU 5/1986, yang dapat disimpulkan bahwa pemeriksan dengan acara singkat dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : a. Gugatan perlawanan atas penetapan Ketua PTUN (pasal 62 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU no 5/1986) b. Gugatan perlawanan oleh pihak ketiga terhadap pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 118 UU 5/1986) Acara pemeriksan singkat terhadap gugatan perlawanan baik dari pihak penggugat asal maupun pihak ketiga tidak diatur secara terperinci seperti yang diatur dalam pemeriksaan cepat dan bisa, sehingga dalam praktek ada beberapa pendapat, ada yang mengatakan harus melalui proses persidangan seperti dalam acara biasa. Dan sebagian besar mengatakan cukup dalam ruang permusyawaratan dalam sidang yang tertutup dan para pihak diberi kesempatan untuk menanggapinya, sedang putusannya diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. a. Pemeriksaan Persiapan Pemeriksan persiapan diatur dalam pasal 63 UU 5/1986, yang pada pokoknya bahwa sebelum pemeriksan pokok sengketa, Hakim wajib mengadakan pemeriksan persiapan guna melengkapi surat gugatan yang belum jelas. Hakim wajib memberi saran dan nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatannya dengan melegnkapi data-datanya dalam jangka waktu 30 hari, dan dimungkinkan meminta penjelasan dari pihak tergugat. Apabila dalam tenggang waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan dan menyerahkan perbaikan gugatan, maka dapat dinyatakn dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukumnya, tetapi dapat diajukan gugatan baru. UU No 5/1986 tidak mengatur tata cara pemeriksaan, oleh akrena itu untuk memenuhi kebutuhan praktek MARI telah mengeluarkan beberapa Surat Edaran dan Juklak, yaitu : SEMARI no 2 tahun 1991 tanggal 9 juli 1991 Surat MARI no 052/Td TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992 Surat MARI no 224/Td. TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 Surat MARI no 222/Td. TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 Dari surat MARI tersebut dapat disimpulkan bahwa : Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruang musyawarah dalam sidang tertutup bisa diruang Hakim dengan tanpa memakai toga Pemeriksan dapat dilakukan oleh Hakim anggota yang ditunjuk oleh Ketua Majelis Dapat dilakukan mendengar keterangan Penggugat, tergugat serta Pejabat TUN lainnya atau pihak ketiga yang dianggap perlu. b. Persidangan Terbuka Untuk Umum Dalam persidangan yang terbuka untuk umum dipimpin oleh Ketua Sidang, dan dalam proses pemeriksaan ini pada pokoknya ada beberapa tahap: Tahap Jawab Jinawab, pada tahap ini terdiri pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik dan duplik Tahap Pembuktian Sesuai salah satu ciri khusus hukum acara Peratun, dimana peranan Hakim aktif karena dibebani untuk mencari kebenaran material (pasal 63, 80, 85, 95 dan 103 UU 5/1986), maka sistem pembuktian kepada pembuktian bebas yang terbatas. Menurut pasal 107 Hakim menentukan apa yang dibuktikan beban pembukatian besrta penilaian pembukatian, tetapi dibatasi pasal 100 yang menentukan secara liminatif alat-alat bukti yang dapat digunakan, yaitu : surat atau tulisan, keterangan saksi ahli, saksi biasa, pengakuan para pihak dan pengetahuan Hakim Disamping itu dalam pasal 85 memungkinkan Hakim dapat secara aktif mencari bukti-bukti yang ada ditangan pejabat TUN. Setelah tahap pembuktian selanjutnya adalah kesimpulan yang dibaut oleh masing-masing pihak, kemudian sebagai tahap terahkir adalah putusan yang cara pengambilan putusan diatur dalam pasal 97 dan bentuk serta isi putusan diatur dalam dan 109 ayat 1 UU 5/1986. E. INTERVENSI Dalam rangka melindungi kepentingan pihak ketiga, maka dalam pasal 83 memberi kesempatan masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan. Pihak ketiga (intervent) yang mempunyai kepentingan dapat masuk dalam proses perkara bertindak sebagai : 1. Pihak ketiga yang membela haknya atas perkara sendiri, dibedakan : a. Pihak ketiga yang tidak berpihak pada salah satu pihak. Apabila pihak ketiga atas kemauannya sendiri akan ikut berproses dalam perkara, sedang kepentingannya tidak paralel dengans alah satu pihak melainkan hanya memperjuangkan haknya (Tuussemkomt). b. Pihak ketiga yang dengan kemauannya sendiri akan masuk dalam perkara dan kepentingannya paralel dengan salah satu pihak maka akan bergabung dnegan salah satu pihak (Voeging) 2. Masuknya pihak ketiga atas perkarsa salah satu pihak Apabila dalam suatu perkara yang sedang berjalan para pihak merasa berkepentingan untuk menarik pihak ketiga agar menjamin/mendukung kepentingannya (Vrywaring). Disini kepentingan dari salah satu pihak paralel denagan kepentingan pihak ketiga. 3. Masukknya pihak ketiga atas perkarsa Hakim Apabila dalam proses pemeriksaan baik dari tahap dismissal, persiapan maupun persidangan penyelesaian inisiatif para pihak maka Hakim dalam rangka untuk mencapai penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan biaya ringan serta untuk memperoleh kebenaran material dan melindungi kepentingan pihak ketiga agar ditarik masuk sebagai pihak ketiga untuk bergabung denagn salah satu pihak atau berdiri sendiri. Peraturan mengenai intervensi sangat minim dan bersifat umum sehingga dalam praktek timbul permasalahan dalam penerapan dan penafsiran pasal 83 khususnya bergabungnya pihak ketiga yang terdiri dari orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya paralel dengan tergugat dan berkedudukan sebagai tergugat intervensi. Dalam praktek kebanyakan Hakim lebih cenderung memberi kesempatan pihak ketiga berkedudukan sebagai tergugat intervensi dengan pertimbangan dalam rangka penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan biaya ringan serta mencari kebenaran material serta memberi perlindungan kepada pihak ketiga akan tetapi kasuitis. Dan batas waktu mengajukan permohonan intervensi telah dipertegas dalam Juklak MARI no 52/Td. TUN/III/1992, yaitu pihak ketiga dapat masuk dalam suatu perkara sampai pada acara duplik. F. PUTUSAN Dalam suatu pemeriksaan sengketa di PTUN sudah selesai maka tahap akhir dari penyelesaian sengketa adalah putusan. Putusan merupakan hasil musyawarah majelis Hakim dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum yang tata caranya diatr dalam pasal 97, dan putusan harus memenuhi syarat formil yang dituangkan dalam pasal 109 UU5/1986. Putusan pengadilan TUN dapat berupa : 1. Gugatan gugur (pasal 71) 2. Gugatan tidak dapat diterima (pasal 77) 3. Gugatan ditolak 4. Gugatan dikabulkan a. Seluruhnya b. Sebagian Apabila gugatan dikabulkan dapat dibebani kewajiban bagi tergugat berupaya : 1. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau 2. Pencabutan keputusan TUN dan menerbutiak keputusan TUN yang baru atau 3. Penerbitan keputusan TUN dalam hal didasarkan pasal 3 4. Pembebanan ganti rugi 5. rehabilitasi perihal putusan yang sering menimbulkan maslah dalam praktek adalah menyangkut pelaksanaan (eksekusi). Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dapat dilaksanakan, dan pelaksanaan putusan Peraturan tidak dikenal pelaksanaan putusan riel, akan tetapi pelaksanaannya hanya secara administratif, dan Ketua PTUN wajib mengawasi pelaksanaan putusan (pasal 119).

Pelaksanaan putusan oleh penulis dibedakan menjadi 3 (tiga) : a. Eksekusi Sukarela, apabila pihak tergugat setelah menerim pemberitahuan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kemauannya sendiri melaksanakan diktum putusan b. Eksekusi otomatis, apabila setelah 4 (empat) bulan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah dikirim kepada tergugat dan tergugat tidak mau melaksanakan kewajiban pencabutan keputusan TUN, maka keputusan TUN tersebut dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum lagi c. Eksekusi Hirachis, apabila dalam putusan pihak tergugat dibebani kewajiban selain pencabutan keputusan TUN dan pihak tergugat tidak mau melaksanakannya, maka atas permohonan penggugat, Ketua PTUN dengan surat resmi memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan. Jika tergugat tidak melaksanakannya, maka Ketua PTUN memerintahkan eksekusi melalui instansi atasannya menurut jenjang jabatan sampai pada batas akhirnya ke Presiden (pasal 116 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU 5/1986). Apabila ada putusan yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, yaitu bila ada kewajiban rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian tidak bisa dilaksanakan dikarenakan jabatan tersebut telah terisi, maka pihak tergugat dapat dibebani membayar sejumlah uang atau kompensasi lainnya (pasal 117 dan 121 UU 5/1986). Mengenai besarnya uang kompensasi dan ganti rugi ditentukan dalam Peraturan Pemerintah no 43 tahun 1991 dan peraturan pelaksanaannya yaitu Surat Keputusan Menteri Keuangan no. 1129/KMK.01/1991.

Você também pode gostar