Você está na página 1de 9

Studi klinis

Atlantic DIP: tingginya prevalensi abnormalitas glucose tolerance post partum dapat diturunkan melalui pemberian ASI pada wanita dengan gestational Diabetes Melitus.

Abstrak:

Tujuan:

Gestational diabetes (GDM) berhubungan dengan hasil fetal dan maternal yang

berlawanan, dan mengidentifikasi wanita dengan resiko diabetes melitus tipe 2 (T2DM). Pemberian ASI dapat meningkatkan toleransi glukosa maternal post partum. Tujuan kita adalah untuk mengidentifikasi ketidaklaziman dysglycemia setelah GDM, untuk menggambarkan hubungan antar faktor, dan menguji pengaruh dari laktasi pada toleransi glukosa post partum.

Perencanaan: kita membandingkan hasil tes 75 g oral glucose tolerance pada 300 wanita dengan GDM dan 220 pengendalian dengan gestational glucose tolerance normal pada lima pusat daerah yang berbeda. Data pemberian ASI diperoleh pada saat tes OGGT.

Metode: hasil OGGT post partum diklasifikasikan sebagai normal (fasting plasma glucose (FPG) < 5.6 mmol/1, 2 h < 7.8 mmol/1) dan diklasifikasin abnormal jika (impaired fasting glucose (IFG), FPG 5.6-6.9 mmol/1; impaired glucose tolerance (IGT), 2 h glucose 7.8-11 mmol/l; IFG+IGT; T2DM, FPG 7 mmol/l 2 h glucose 11.1 mmol/l). Regresi logistik biner digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor prediktif pada hyperglycemia berkepanjangan.

Hasil: lima ratus dua puluh wanita telah di tes; enam orang diantaranya (2,7 %) dengan NGT pada saat kehamilan menderita post partum dysglycemia dibandingkan dengan 57 orang (19%) dengan GDM selama indeks kehamilan (P>0.0001). wanita yang beretnik non-eropa (odds ratio

(OR) 3.40; 95% confidence intrval (CI) 1.45-8.02, P=0.0005), riwayat T2DM keluarga (OR 2.14; 95% CI 1.06-4.32, P=0.034), and penggunaan gestational insulin (OR 2.62; 95% CI 1.175.87, P=0.019) didiagnosis dengan dysglycemia akut. Ketidaklaziman dari hyperglycemia akut secara signifikan lebih rendah dari antara wanita yang memberikan asi secara langsung dan pemberian ASI melalui botol post partum (8.2 vs 18.4%, P=0.0001)

Kesimpulan: wanita yang beretnik non-eropa, penggunan gestational insulin, riwayat T2DM keluarga, dan menaikan indeks massa tubuh dihubungkan dengan dysglycemia akut setelah GDM. Pemberian ASI secara langsung dapat memberikan pengaruh metabolik setelah GDM dan sangat dianjurkan.

Introduction

Gestational diabetes (GDM) berhubungan dengan hasil fetal dan maternal yang merugikan (1). GDM juga berhubungan dengan meningkatnya resiko dysglycemia akut dan perkembangan dari diabetes melitus tipe 2 di masa depan (2). Pre-diabetes dan T2DM berhubungan dengan meningkatnya resiko penyakit jantung koroner (CHD) dari dua hingga empat lipatan dibandingkan dengan populasi non-diabetes (3). Pengenalan awal pre-diabetes dan diabetes dengan screening yang efektif dan tepat dianjurkan guna memberikan interfensi awal untuk kelompok dengan resiko tinggi ini dan secara konsekuen mengurangi resiko penyakit vaskular. Dilaporkan bahwa ketidaklaziman pre-diabetes dan T2DM berikut jarak GDM dari 7 hingga 35% (4). Literatur saat ini menyarankan bahwa rendahnya laju serapan dari screening post partum diabetes, dan fasting plasma glucose (FPG) itu sendiri dapat melenceng hingga 72% pada kasus dysglycemia post partum (5.6). studi terbaru pada hyperglycemia post partum akut menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Beberapa penulis menyarankan bahwa pemberian ASI

secara langsung mungkin dapat memberikan perlindungan terhadap hyperglycemia post partum pada wanita dengan GDM dalam indeks kehamilan (7). Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dikarenakan hanya ada sedikit penelitian tentang pengaruh laktasi pada awal post partum glucose tolerance yang didominasi oleh populasi orang-orang Eropa. Diduga bahwa pemberian ASI dapat meningkatkan toleransi glukosa post partum lebih dini setelah GDM. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengidentifikasi ketidaklaziman dari pre-diabetes akut (impaired fasting glucose (IFG) atau impaired glucose tolerance (IGT), diabetes dan sindrom metabolik pada periode awal post partum (hingga 12 minggu), faktor maternal yang berhubungan dengan kondisi ini, dan untuk menguji pengaruh dari pemberian ASI pada post partum glucose tolerance setelah GDM.

Material dan metode

Kerjasama The Atlantic Diabetes in Pregnancy (Atlantic DIP) di ditetapkan pada tahun 2005 dan melayani 500.000 populasi di lima pusat daerah berbeda di sepanjang pesisir atlantik Irlandia, dengan 11.000 persalinan tiap tahunnya. Mencakup area geografis seluas 7338 mil persegi (8). Kerjasama Atlantic DIP ini menganjurkan universal screening untuk GDM dengan 2 h 75 g oral glucose tolerance test (OGGT) pada 24 hingga 28 minggu kehamilan dengan menggunakan kriteria dari International Association of Diabetes in Pregnancy Study Group (IADPSG).

Kami memanggil kembali wanita dengan GDM dalam indeks kehamilan 12 minggu post partum dan mengulagi 75 g OGGT. Semua wanita yang didiagnosa berada pada indeks kehamilan antara 1 januari 2006 dan 31 desember 2007 (n=323) diundang untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, yang mana merupakan subpenelitian pasien GDM dari kolaborasi Atlantic

DIP yang berkelanjutan (8). Kami juga memanggil kelompok kontrol wanita yang memiliki normal glucose tolerance (NGT) selama indeks kehamilan dengan periode waktu dan tempat yang sama. Para wanita itu semula diklasifikasikan berdasarkan GDM/IGT atau NGT dalam masa kehamilan bedasarkan kriteria WHO, namun kriteria IADPSG secara retrospektif diterapkan pada database (9) setelah hasil percobaan hyperglycemia dan adverse pregnancy (HAPO (hyperglycemia and adverse pregnancy outcome)) (10). Partisipan dengan hasil yang tidak lengkap dikecualikan atau tidak diikutkan dari analisa akhir. Kelompok kontrol juga menerima tes 75 g OGGT pada 12 minggu post partum. Penelitian ini telah disetujui oleh komite penelitian etnik (research ethnic committee) di setiap rumah sakit yang berpartisipasi. Persetujuan tertulis juga diperoleh dari semua partisipan.

Data pemberian ASI diperoleh dari semua wanita yang berpartisipasi dalam penelitian OGGT pada 12 minggu post partum. Spesialis asuhan keperawatan diabetes mengkordinasikan data post partum OGGT yang diperoleh pada laktasi dengan cara menggunakan questionaire maternal. Wanita-wanita tersebut diklasifikasikan menjadi menyusui dan tidak menyusui berdasarkan kriteria berikut ini, kriteria yang dibutuhkan adalah: i) memberikan ASI yang berkelanjutan ( paling tidak empat kali sehari) pada saat OGGT, ii) memenuhi pengharapan maternal, iii) durasi > 8 minggu, iv) bayi telah mencapai perkembangan yang baik, dalam pemerolehan berat badan tertentu, v) bayi menerima imunisasi yang terjadwal.

Wanita-wanita tersebut dikategorikan memiliki NGT atau GDM berdasarkan pada kriteria IADPSG (fasting glucose 5.1 mmol/l atau 1 h value 10.0 mmol/l atau 2 h value 8.5 mmol/l). Hasil OGGT post partum diklasifikasian normal (NGT; FPG < 5.6 mmol/l; 2 h value < 7.i mmol/l) atau abnormal (dysglycemia) berdasarkan pada nilai berikut ini: i) IFG (fasting

glucose 5.6-6.9 mmol/l, 9 mmol/l; 2 h glucose value < 7.8 mmol/l), ii) IGT (fasting glucose < 5.6 mmol/l; 2 h glucose value 7.8-11.o mmol/l), iii) IFG dan IGT (fasting glucose 5.6-6.9 mmol/l dan 2 h glucose value 7.8-11.0 mmol/l), dan iv) T2DM (fasting glucose 7.0 mmol/l atau 2 h glucose value 11.1 mmol/l). Bobot dari kunjungan yang dipesan pada 20-24 minggu kehamilan, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, total kolesterol, kolesterol lipoprotein dengan kepadatan tinggi, kolesterol lipoprotein dengan kepadatan rendah, dan triglycerides juga diukur. Kontribusi faktor maternal yang berhubungan yang termasuk dalam analisa ini adalah umur, etnik (Eropa atau non-Eropa), riwayat T2DM keluarga, penggunaan insulin selama kehamilan, BMI pada saat 20-24 minggu kehamilan, dan pemberian ASI.

Akhirnya, kami mengukur ketidaklaziman sindrom metabolik post partum sebagai prediktor positif dari penyakit cardiovascular dengan menggunakan pedoman dasar program pendidikan kolesterol nasional (the national cholesterol education program) panel perawatan orang dewasa (adult treatment panel (ATP III)) berdasarkan adanya tiga dari lima faktor resiko berikut: lingkar pinggang > 35 inci (89 CM); plasma triglycerides 1.7 mmol/l; plasma HDL 1.27 mmol/l; tekanan darah > 130/85; dan FPG > 6.1 mmol/l (11).

Umur dan BMI dianalisa sebagai variabel berkelanjutan. BMI juga dikategorikan kedalam kelompok untuk penilaian demografis sebagai kategori normal (BMI 24.9 kg/m2), kegemukan (25.0-29.9 kg/m2), dan obesitas ( 30.0 kg/m2). Analisis regresi logistik biner digunakan untuk mengidentifikasi dugaan faktor maternal dari dysglycemia post partum akut, dengan penyesuaian untuk umur, BMI, etnik, penggunaan insulin, riwayat positif keluarga, adanya sindrom metabolik, dan pemberian ASI. Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan

statistical package for the social science (SPSS), versi 15.0 (Chicago, IL, USA). Signifikan statistik yang diperoleh mencapai P < 0.05.

Hasil

Lima ratus enam puluh empat wanita dites post partum. Complete ante- (kriteria IASDPSG) dan data post partum untuk analisa tersedia pada 520 wanita. Tiga ratus wanita memiliki GDM pada indeks kehamilan antara 2006-2007 berdasarkan kriteria IASDPSG dan 220 wanita lainnya memiliki NGT (tabel 1). Umur rata-rata dari keseluruhan kelompok adalah 33.2 tahun (jarak 18-45), lebih besar pada wanita dengan GDM sebelumnya pada 33.5 4.7 tahun dibandingkan dengan 32.7 5.5 tahun dalam kelompok NGT (P=0.10). mayoritas wanita berasal dari etnik Eropa (449, 86.4%). Secara spesifik, rincian etnik wanita yang berasal dari etnik nonEropa adalah sebagai berikut: Asia (India/Pakistan/Banglades), n=25 (35.2%); Afrika berkulit hitam, n=22 (30.9%); Asia (yang lain, termasuk cina), n=11 (15.5%); ras campuran, n=3 (4.2%); dan etnik lainnya, n=10 (14.2%). Dua puluh tujuh wanita (13.8%) memiliki hipertensi induksi kehamilan (pregnancy-induced hypertension). Di dalam kelompok GDM, 75 orang dirawat dengan Insulin dan 225 orang lainnya mampu hanya dengan pengukuran diet sendiri. Semua intervensi glukosa rendah dihentikan pada saat melahirkan.

Rata-rata BMI pada kelompok GDM dibandingkan dengan kontrol NGT (30.7 vs 27.8 kg/m2, P < 0.001). ada jumlah yang secara signifikan lebih besar dari wanita non-Eropa dalam kelompok GDM (17.0 vs 9.1%, P=0.009). hanya 6 dari 220 (2.7%) wanita yang memiliki GDM yang maju ke tahap perkembangan dysglycemia post partum. Dengan perbandingan 57 dari 300 (19.0%) wanita dengan GDM yang tersisa dengan glucose intolerant post partum, 243 wanita yang tersisa (81%) kembali ke tahap metabolisme glukosa normal. Tidak satu pun kelompok

NGT yang mengalami T2DM post partum; sembilan wanita dengan GDM selanjutnya didiagnosa memiliki T2DM post partum (3.0%) (tabel 2). Hanya 44 dari 63 (69.8%) wanita dengan hyperglycemia akut pada post partum yang akan di identifikasi dengan FPG itu sendiri.

Data pemberian ASI tersedia pada keseluruhan 520 wanita tersebut. 319 wanita (61.3%) berhasil memberikan ASI pada masa 12 minggu post partum OGGT. Umur dan BMI tidak dibedakan secara signifikan antara wanita menyusui dan tidak menyusui (tabel 3). Wanita dari etnik non-Eropa lenih suka memberikan ASI daripada wanita Eropa (90.1% banding 56.7%, P < 0.001). Rata-rata hyperglycemia post partum secara signifikan lebih rendah pada wanita yang memberikan ASI pada bayi mereka (n=26, 8.2%) dibandingkan dengan wanita yang memberikan ASI melalui botol itu sendiri (n=37, 18.4%), P < 0.001.

Analisa regresi logistik biner digunakan guna mengidentifikasi faktor dugaan maternal dari dysglycemia post partum akut (tabel 4). Etnik, riwayat diabetes keluarga, tingginya indeks massa tubuh pada masa kehamilan, dan kebutuhan akan perawatan insulin selama kehamilan adalah penduga yang signifikan dari persistent glucose intolerance. Etnik non-Eropa memiliki faktor resiko terkuat untuk pre-diabetes/diabetes post partum; wanita non-Eropa 3.4 kali lebih memungkinkan tetap memiliki hyperglycemia dibandingkan dengan wanita Eropa (adjusted odds ratio (OR) 3.40; 95% confidence interval (CI) 1.45-8.02, P = 0.005). riwayat diabetes keluarga dan perawatan insulin keduanya mendua kali lipatkan keganjilan post partum dysglycemia akut (OR disesuaikan 2.14; 95% CI 1.06-4.32, P = 0.034 dan OR 2.62; 95% CI 1.17-5.87, P = 0.019 berturut-turut). Tingginya BMI (indeks massa tubuh) secara signifikan menambah resiko post partum glucose intolerance ( OR yang disesuaikan 1.08; 95 5% CI 1.03-1.14, P = 0.03). memberikan ASI pada masa OGGT post partum secara signifikan mengurangi keganjilan

dysglycemia akut dibandingkan pemberian ASI melalui botol (OR yang disesuaikan 0.418; 95% CI 0.199-0.888, P = 0.022).

Ketika wanita Eropa di analisa secara terpisah, riwayat diabetes keluarga dan kebutuhan insulin selama kehamilan secara signifikan menaikkan keganjilan dari ketidaknormalan glukosa post partum, sedangkan laktasi itu sendiri memiliki pengaruh protektif (tabel 5). BMI (indeks massa tubuh) memiliki kecenderungan terhadap makna statistik ( OR yang disesuaikan 1.062; 95% CI 0.991-1.138, P = 0.09). Dalam penelitian kelompok secara keseluruhan, akan tetapi, hanya 12.8% dari wanita dengan indeks massa tubuh normal selama masa kehamilan yang memiliki post partum dysglycemia, dibandingkan dengan 25.5% wanita dalam kelompok dengan kategori berat badan berlebih dan 61.7% wanita dalam kategori obesitas (P = 0.049). prevalensi dari post partum glucose intolerance adalah 17.9% pada wanita eropa dibandingkan dengan 30.6% wanita dari etnik lainnya (P = 0.041). hasil dari HbA1c tersedia pada 316 wanita. HbA1c pada wanita-wanita tersebut < 6% pada saat melahirkan, 32 (11.4%) tetap memiliki glucose intolerance post partum dibandingkan dengan 12 orang (48.0%) dan tujuh orang (70.0%) dengan 6.0-6.4 HbA1c dan 6.4%, secara respektif, P < 0.001. Nilai dari glycosylated HbA1c 6.5% secara signifikan dari keganjilan hyperglycemia akut pada 12 minggu masa kehamilan (OR yang disesuaikan18.156; 95% CI 4.47-73.752, P < 0.001).

Empat puluh sembilan wanita masuk dalam kriteria dari sidrom metabolik post partum, wanita dengan GDM yang memiliki resiko meningkatnya sindrom metabolik dibandingkan dengan wanita dengan NGT pada masa kehamilan (10.4 vs 8.2%) namun meningkatnya resiko ini mencapai statistik yang signifikan (OR 1.12; 95% CI 0.59-2.16, P = 0.4). Pada analisa lebih lanjut pada wanita dengan GDM yang tetap memiliki glucose intolerance post partum (n=57), 15

wanita (26.3%) memiliki sindrom metabolik dibandingkan dengan 17 dari 243 wanita (6.9%) dengan GDM yang kembali ke fase NGT post partum (P < 0.001). wanita yang memiliki sindrom metabolik post partum lebih cenderung mengalami pre-eclamptic toxemia dalam indek kehamilan dibandingkan dengan kelompok-kelompok yang tidak mengidap pre-eclamptic teoxemia (OR yang disesuaikan 2.77; 95% CI 1.18-6.48, P = 0.001). cabang kelompok dengan sindrom metabolik post partum lebih mungkin memiliki persalinan yang operative atau instrumental (C-section, ventouse atau forceps, OR yang disesuaikan 2.15; 95% CI 1.18-6.48, P = 0.01). Tidak ada hubungan yang signifikan antara sindrom metabolik post partum dan polyhydramnions atau ante- atau post partum hemmorrhage, namun ada kecenderungan terhadap gabungan dari hasil maternal yang rendah (P=0.08). Kejadian sindrom metabolik post partum meningkat sebagaimana meningkatnya tingkatan dari post partum intolerance: NGT, n=34 (7.4%); IFG, n=26 (23.1%); IGT, n=16 (18.8%); T2DM, n=5 (55.6%), P<0.001.

DISCUSSION

GDM berhubungan dengan hasil dari adverse fetal dan maternal pada indeks kehamilan dan resiko meningkatnya diabetes di tahun-tahun mendatang (12, 13). Penelitian kami ini menyoroti masalah akan pentingnya uji post partum lebih awal dan mengukur beban penyakit yang muncul dari hyprglycemia akut setelah GDM. Perkiraan resiko T2DM setelah GDM bervariasi dari 17 hingga 63% dalam 5 16 tahun setelah indeks kehamilan tergantung pada latar belakang etnik dari populasi penelitian dan metode deteksi untuk GDM dan glucose intolerance (2.14). kami telah mendemonstrasikan kemungkinan akan efek perlindungan pada metabolism glukosa yang diberikan melalui pemberian ASI segera setelah periode post partum.

Você também pode gostar