Você está na página 1de 46

BAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia.

Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal ( 18% ), laring ( 16%), dan tumor gans rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah. (1) Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakan tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun posterior leher. Oleh karena letak nasofaring yang tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor terlambat ditemukan dan menyebabkan metastasis ke leher yang lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama. Adapun angka prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun ) dari stadium awal dengan staidum lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV. Untuk dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi perlu diketahui seluruh aspeknya, antara lain epidemiologi, etiologi, diagnostik, pemeriksaan serologi, histopatologi, terapi dan pencegahan, serta perawatan paliatif pasien yang pengobatannya tidak berhasil.(1) Adapun tujuan dari di tulisnya referat ini adalah mengangkat sisi penatalaksanaan karsinoma nasofaring, meliputi radioterapi, kemoterapi, dan perawatan paliatif.

BAB II ANATOMI NASOFARING, KELENJAR LIMFE, DAN HISTOLOGI

II. 1. Anatomi Nasofaring Nasofaring manusia sebagian besar berasal dari faring primitif. Hal ini mengambarkan bagian faring dibelakang rongga hidung dan berada di atas garis imajiner setinggi palatum mole. Nasofaring juga disebut sebagai rongga belakang hidung (postnasal space) dan epifaring.(2) Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batas nasofaring(3): Superior : basis kranii Inferior : palatum mole Anterior : rongga hidung Posterior : vertebra cervicalis I dan II

Gambar II.1 Nasofaring dan batasnya

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasalinferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba Eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatulekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa tuba ini sering terjadi Eustachius sehingga pertumbuhan mengganggu jaringan ventilasi limfe udara

yang menyempitkan muara telinga tengah.

Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh laminafaringo basilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini

mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan

tempat penyebarantumor ke intrakranial Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah,mengucapkan kata-kata tertentu.

Gambar II.2 Nasofaring dan struktur disekitarnya

Faring mendapat darah dari beberapa sumber, dan kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari arteri carotis eksterna (cabang faring ascenden dan cabang fascial) serta dari cabang arteri maksila interna yakni cabang palatina superior. (3) Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari plexus faring yang ektensif. Plexus ini dibentuk oleh cabang faring dari nervus vagus, cabang dari nervus glossofaringeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari nervus vagus berisi serabut motorik, dari plexus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali muskulus stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang nervus glossofaringeus.(3) Aliran limfa faring dapat melalui tiga saluran, yakni superior, media, dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah
3

bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelanjar getah bening servikal dalam bawah.

Gambar II.3 Drainase limfatik faring Massa tumor pada kelenjar yang berada di bawah muskulus sternocleidomastoideus bagian atas dan atau pada kelenjar servikal superior posterior biasanya berasal dari tumor ganas nasofaring, orofaring, dan bagian posterior sinus maksila.(4)

Gambar II.4 Kelenjar limfa leher II.2 Histologi Nasofaring(4) Mukosa nasofaring berbenjol benjol membentuk kripta karena di bawah epitelnya kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel dan limfoid berhubungan erat sehingga sering disebut limfoepitel. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai,tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung. Empat macam mukosa nasofaring menurut Bloom dan Fawcett: 1. Epitel selapis torak bersilia (simple columnar cilated epithelium) 2. Epitel torak berlapis (stratified columnar epithelium) 3. Epitel torak berlapis bersilia (stratified columnar ciliated epithelium) 4. Epitel torak berlapis semu bersilia (pseudo-stratifed columnar ciliated epithelium)

Gambar II.5 Empat Mukosa Nasofaring Macam

Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para ahli. Enam puluh persen dari mukosa nasofaring dan delapan puluh persend dari dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng sedangkan pada dinding lateral dan depan
6

dilapisi oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.

Gambar II.6 Sel Epitel Transisional

BAB III KARSINOMA NASOFARING

III. 1. Definisi Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.(6) Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada

epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi diCina bagian selatan. (6)

Kanker nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Kanker nasofaring merupakan keganasan tertinggi yang ditemukan di antara seluruh keganasan kepala-leher di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta (28,53 persen atau 948 dari 3344 kasus pada 2000-2005). Selain itu, termasuk kanker no.4 terbanyak setelah kanker leher rahim, kanker payudara, dan kanker kulit.

II.2 Epidemiologi Insidens karsinoma nasofaring tertinggi di dunia dijumpai pada penduduk daratan

Cina bagian selatan, khususnya suku Kanton di propinsi Guang Dong dengan angka rata-rata 30-50 / 100.000 penduduk per

tahun.Insidens karsinoma nasofaring juga banyak pada daerah yang banyak dijumpai imigran Cina, misalnya di Hong Kong, Amerika Serikat, Singapura,Malaysia dan Indonesia. Sedangkan insidens yang terendah pada bangsa Kaukasian, Jepang dan India. Penderita

karsinoma nasofaring lebih seringdijumpai pada pria dibanding pada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia yang masih produktif ( 30-60 tahun ), dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun. (7) Tiap tahun hampir 11,000 kasus baru karsinoma nasofaring ditemukan. Ianya didominasi oleh laki dengan rasio laki:wanita adalah 2.5:1.0 dan prevalensi terutamanya terhadap cina bagian selatan. (8)

II.3 Etilogi Penyebab dari karsinoma nasofaring ini adalah gabungan antara genetik,faktor lingkungan dan virus Ebstein Barr.
8

1.Genetik Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain.(4) secara umum didapatkan 10% dari pasien karsnoma nasofaring menderita keganasan di organ lain. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2,HLAB17dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring.Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLApada orang-orang cina menunjukkan bahwa orang-

orang dengan HLAA*0207atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring. (7) 2.Lingkungan Paparan dari ikan asin dan makanan yang mengandung volatile nitrosamine merupakan penyebab karsinoma nasofaring pada Cantonese. Konsumsi ikan asin selama masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring pada Cina Timur. Hal ini didukung dengan penelitian pada binatang dimana tikus yang diberikan diet ikan asin akan mendapat karsinoma pada rongga hidung pada dosis tertentu. Paparan dari formaldehid pada udara dan debu kayu juga berhubungan dengan peningkatan insiden karsinoma nasofaring. Laporan terakhir, pada wanita pekerja tekstil di Shanghai, Cina juga memiliki peningkatan insiden karsinoma nasofaring disebabkan akumulasi dari debu kapas, asam,caustic atau dyeing process. Merokok juga berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya paparan jangka panjang dari bahanbahan polusi memegang peranan dalam patogenesis karsinoma nasofaring. (6)

3. Virus Ebstein Barr Sudah hampir dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus EpsteinBarr, kerana pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun. (1) Virus Ebstein Barr dapat menginfeksi manusia dalam bentuk yang bervariasi. Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis dan dapat juga menyebabkan limfoma burkit dan karsinoma nasofaring. EBV-1 dan EBV-2 yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring.
9

Sebagian

besar

kasus

karsinoma Afrika dan

nasofaring pada orangAmerika Serikat

orang di Cina Selatan, Asia Tenggara,Mediteranian, berhubungan dengan infeksi EBV-1.

III. 3. Klasifikasi Histopatologi Gambaran histopatologi karsinoma nasofaring (9) Secara histologis, WHO membagi klasifikasi karsinoma nasofaring atas 3 tipe: 1. Keratinizing squamous cell carcinoma diferensiasi sel skuamosa baik dengan adanya jembatan interseluler dan/atau keratinisasi di atasnya, merupakan 25% dari seluruh karsinoma nasofaring 2. Differentiated non keratinizing carcinoma diferensiasi sel tumor dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, tidak/sedikit berkeratin, merupakan 20% dari seluruh karsinoma nasofaring. 3. Undifferentiated carcinoma Sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang oval atau bulat dan nucleolus yang menonjol, batas sel tidak terlihat, dan tumor menunjukkan gambaran sinsitial. Merupakan 55% dari seluruh karsinoma nasofaring. Tumor tipe 2 dan tipe 3 biasanya lebih radiosensitif dan memiliki hubungan yang kuat dengan virus Epstein-Barr (Cottrill dan Nutting,2003)

Gambar III.1 Gambaran Histopaltogi Karsinoma Nasofaring

10

Keganasan pada nasofaring, Undifferentiated carcinoma nasofaring ciri mikroskopisnya tampak sel-sel ganas pada potongan jaringan, sel tersebut tidak dapat dibedakan apakah membentuk struktur epitel maupun asinus kelenjar. Tampak sel spindel panjang-panjang seperti fibriblast, disekitarnya tampak limfosit. (10) III. 4. Stadium Untuk penentuan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC (2002) T = Tumor primer T0 - Tidak tampak tumor T1 - Tumor terbatas di nasofaring T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak T2a : perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring* T2b : disertai perluasan ke parafaring T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal T4 - Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat keterlibatan saraf cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator Catatan : * Perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor ke arah postero-lateral melebihi fasia faring-basilar. N = Pembesaran kelenjar getah bening regional NX - Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai N0 - Tidak ada pembesaran N1 - Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula N2 - Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

11

N3 - Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula N3a : ukuran lebih dari 6 cm N3b : di dalam fossa supraklavikula Catatan : kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral. M = Metastasis jauh Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 - Tidak ada metastasis jauh M1 - Terdapat metastasis jauh

Stadium 0 Stadium I Stadium IIA Stadium IIB

T1s T1 T2a T1 T2a T2b

N0 N0 N0 N1 N1 N0, N1 N2 N2 N2 N0, N1, N2 N3 Semua N

M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1

Stadium III

T1 T2a, T2b T3

Stadium IVa Stadium IVb Stadium IVc

T4 Semua T Semua T

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : (12) Tis : Carcinoma in situ T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

12

T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dinding lateral. T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring. T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau keduanya). III. 5. Manifestasi Klinis Gejala karsinoma nasofaring tidak spesifik,sehingga sulit untuk didiagnosis hinggalah ke stadium lanjut.Pada stadium awal,gejala tersering didapatkan adalah :

Kongesti hidung Tuli unilateral Benjolan pada leher Epistaksis obstruksi hidung Penurunan nafsu makan

Gejala pada stadium lanjut termasuklah : Nyeri kepala Diplopia Nyeri,paralisis pada wajah Pembengkakan pada leher(limfadenopati) .Ini merupakan tanda metastasis.

Gejala lain yang mungkin didapatkan :


Sulit menelan air liur disertai darah tinnitus nyeri pada telinga rinore purulen disertai darah

Menurut penelitian (13) , didapatkan kekerapan gejala ditunjukkan pada pasien adalah seperti berikut :

13

Tabel III.1 Frekuensi Gejala III. 6.Patofisiologi Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar, sering konsumsi makanan yang diawetkan. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu, virus EBV, genetik. Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini. memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA.

14

Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di Asia dan Amerika Utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang diawetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA),

nitrospurrolidene (NPYR) dannitrospiperidine (NPIP)

yang mungkin merupakan factor

karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang diteliti merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV. Infeksi virus Epstein Barr Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein Barr juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma nasofaring terutama pada tipe karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan titer antigen EBV dalam tubuh penderita Ca Nasofaring non keratinisasi dan kenaikan titer ini pun berbanding lurus dengan stadium Ca nasofaring; di mana semakin berat stadium CaNasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum 100% pasien karsinoma nasofaring. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Tentang pengaruh EBV yang sebagian besar hanyaditemukan pada Ca Nasofaring tipe non-keratinisasi belum dapat dijelaskan hingga saat ini. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sellimfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B
15

dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, adadua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaituCR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinyaperubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein trans membran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosinekinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Protein transmembran LMP1menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal. Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya. Penyebaran KNF dapat berupa : Penyebaran ke anterior

Berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Penyebaran ke lateral

Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustachius dan akan mengganggu pendengaran, menyebabkan tekanan negatif di dalam kavum timpani, sehingga terjadi otitis media transudatif. Bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustachius dapat
16

meredakan sementara. Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga. Penyebaran ke atas

Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan Fossa kranii media dan fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I n VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal.

Penyebaran ke belakang

Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll) di manadi dalamnya terdapat nervus kranialais IX XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX n XII disebut sindroma retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh, Gejala yang muncul umumnya antara lain: a. Trismus b. Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis) c. Afonia akibat paralisis pita suara d. Gangguan menelan Penyebaran ke kelenjar getah bening

Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rounvier. Di dalam kelenjar ini
17

sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien.Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. Gejala akibat metastase jauh:

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. III. 7. Diagnosis Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerahkepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus EB telahmenunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjoko Setiyo dari FakultasKedokteran Universitas Indonesia Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) sensitivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifisitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifisitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanyadigunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak pada titer 160.

III. 8. Diagnosis Banding 1.Hiperplasia adenoid Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya simetris sertastruktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti tampak padakarsinoma. 2.Angiofibroma juvenilis Biasanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF.Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos akan

18

didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluasseperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulanghanay erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan daridinding belakang sinus maksilarisyang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kayaakan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranyasangat karakteristik. Kadangkadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenilsdengan polip hidung pada foto polos. 3.Tumor sinus sphenooidalis Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk pemeriksaan pertama. 4.Neurofibroma Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupaikeganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faringkea rah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF. 5.Tumor kelenjarr parotis Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan 6.Chordoma Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu m,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebuts edangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening. 7.Menigioma basis kranii Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarnya kadang-kadang menyerupaikarsinoma nasofaring dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii.Gambaran CT scan meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zatkontras intravena. Pemeriksaan arteriografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.

19

III. 9. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjangdiagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah: -Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor padadaerah nasofaring -Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut -Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya. Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosiskarsinoma nasofaring, antara lain: a.Foto polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencarikemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu foto posisi Waters,lateral, dan AP. Pemeriksaan dengan menggunakan foto-foto tersebut akan menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa serebri media

Gambar III.2 Ilustrasi skema jalur penyebaran/metastase dari karsinoma nasofaring(arah tanda panah)

20

Gambar III.3 Foto polos lateral nasofaring normal dan bagian-bagiannya

Gambar III.4 Foto polos menunjukkan massa di daerah nasofaring(arah tanda panah)

Gambar III.5 Foto polos dasar tengkorak, menunjukkan erosi tulang di bagian basal dari sfenoid dan foramen laserum (arah tanda panah).

21

b.CT (Computerized Axial Tomography) Scan dan MRI (Magnetic ResonanceImaging). CT-Scan dan MRI daerah kepala dan leher dilakukan untuk mengetahuikeberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akanditemukan. MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan CT Scandalam mendeteksi karsinoma nasofaring dan kemungkinan penyebarannyayang menyusup ke jaringan atau nodus limfe

Gambar III.6 MRI potongan sagital (A) dan koronal (B) menunjukkan massa di nasofaring (panah biru) dan adenopati servikal (panah putih)

22

Gambar III. 7 MRI potongan sagital pada pasien yang baru didiagnosis karsinoma nasofaring,menunjukkan tumor primer dari karsinoma nasofaring dan metastasisnya ke dinding lateral retrofaring

Biopsi nasofaringDiagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).

Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsy melalui mulut dangan memakai bantuan kateter nelaton yang diimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihatdaerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan lebih jelasterlihat. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topical dengan Xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

23

III. 10. Tatalaksana A. PRINSIP PENGOBATAN KARSINOMA NASOFARING Prinsipnya pengobatan untuk karsinoma nasofaring meliputi terapi sbb :25,26 1. Radioterapi 2. Kemoterapi 3. Kombinasi 4. Operasi 5. Imunoterapi 6. Terapi paliatif Pemilihan Terapi Kanker Memilih obat kanker tidaklah mudah, banyak faktor yang perlu diperhatikan misalnya :27 Jenis kanker Kemosensitivitas dan radiosensitivitas kanker Imunitas Tubuh dan kemampuan pasien untuk menerima terapi yang kita berikan. Efek samping terapi yang kita berikan

1. RADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING Definisi Radioterapi Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan

menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.28,30 Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi : 1. Rantai ganda DNA pecah 2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
24

3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.32 Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.32 Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.32 Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.30

a. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.21,30 Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :24 Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi
25

Tipe tumor yang radiosensitif Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya Dosis yang optimal. Jangka waktu radiasi tepat Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping radiasi. 25

b. Penentuan batas-batas lapangan radiasi Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening regional.21,30 Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari : 1. Seluruh nasofaring 2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput 3. Sinus kavernosus 4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan foramen jugularis lateral. 5. Setengah belakang kavum nasi 6. Sinus etmoid posterior 7. 1/3 posterior orbit 8. 1/3 posterior sinus maksila 9. Fossa pterygoidea 10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar 11. Kelenjar retrofaringeal 12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan

26

supraklavikular.3 Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari.Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke kelenjar submaksila.21 Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah : - Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi. - Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana - Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar yang teraba. - Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita.3,12 Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang. Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar.30 Kelenjar supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor primer.21

27

Gambar III.8 Garis Batas-batas Penyinaran

Gambar III.9 Garis Batas-batas Penyinaran 2 Ada 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :26 Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai :26 pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
28

Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection

Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu tumor tergantung dari : a. Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi b. Jarak antara sumber energi dan tumor c. Kepadatan massa tumor. Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250 rad per kali, dalam 23 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2 minggu untuk pemulihan keadaan penderita sehingga radioterapi memerlukan waktu 4-6 minggu.31,32 Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :26 Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi. Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor Pengobatan kasus kambuh. Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh. Ada beberapa jenis radiasi interna : a. Interstitial Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum radium atau jarum irridium. b. Intracavitair Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan : - After loading Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor. Setelah aplikator letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator. - Instalasi Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura atau peritoneum.

29

3. Intravena Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I31 yang disuntikkan IV akan diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.32 d. Respon radiasi Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO : - Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar. - Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih. - No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap. - Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.12 e. Komplikasi radioterapi Komplikasi radioterapi dapat berupa :32 1. Komplikasi dini Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti : - Xerostomia - Mukositis - Dermatitis 2. Komplikasi lanjut Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti : - Kontraktur - Gangguan pertumbuhan - dll
30

- Mual-muntah - Anoreksi - Eritema

Kesimpulan 1. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak dijumpai. 2. Radioterapi merupakan pengobatan pilihan untuk karsinoma nasofaring terutama untuk stadium I dan II. 3. Radioterapi mempunyai komplikasi terhadap jaringan disekitar tumor.

2. KEMOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING

Definisi Kemoterapi Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.30 Tujuan Kemoterapi Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini. Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk.32

31

Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. 30 Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus ( Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).30 Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M).28

Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :28 1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis pirimidin. 2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menghambat replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubricin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.

32

3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine, menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis.

Cara Pemberian Kemoterapi Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :30.32 1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi. 2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut. 3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi 4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan limfoma). Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna. 31 Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :27 kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi :27 1. neoadjuvant atau induction chemotherapy
33

2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy 3. post definitive chemotherapy. Efek Samping Kemoterapi Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut.31 Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel

rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker24 Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi.24 Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh : 34 1. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh tertentu. 2. Dosis. 3. Jadwal pemberian. 4. Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus). 5. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ tertentu. Persyaratan Pasien yang Layak diberi Kemoterapi Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sbb :27 1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status penampilan <= 2
34

2. Jumlah lekosit >=3000/ml 3. Jumlah trombosit>=120.0000/ul 4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10 5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) ( Tes Faal Ginjal ) 6. Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal ( Tes Faal Hepar ). 7. Elektrolit dalam batas normal. 8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun.

Status Penampilan Penderita Ca ( Performance Status ) Status penampilan ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana penyakit kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada pasien dengan sesuai status penampilannya. Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) adalah sbb : 34 - Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas kerja dan pekerjaan sehari-hari. - Grade 1 : hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan. - Grade 2 : hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan lain. - Grade 3 : Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50% waktunya untuk tiduran. - Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya di kursi atau tiduran terus.
35

3. KEMORADIOTERAPI PADA KARSINOMA NASOFARING

Definisi Kemoradioterapi Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Begitu banyak variasi agen yang digunakan dalam kemoradioterapi ini sehingga sampai saat ini belum didapatkan standar kemoradioterapi yang definitif.32

Manfaat Kemoradioterapi Manfaat Kemoradioterapi adalah :21 1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia. 2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase. 3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser). Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar radiasi.30 Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi. 30
36

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. 4. OPERATIF Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.2,3,8-12 Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.21,28,30,32

5. IMUNOTERAPI Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi. Darah tepi pasien dipisahkan sel mononukleusnya, ditambahkan interleukin-2 dan diinkubasi ekstrakorporal untuk menginduksi produksi sel dendritik. Kemudian dari pasien karsinoma nasofaring dikeluarkan sel kankernya, dinonaktifkan,diinkubasikan bersama sel dendritik selama 7-10 hari,dapat dihasilkan vaksin sel dendritik anti karsinoma nasofaring. Vaksin ini lalu diinfuskan intravena atau diinjeksikan subkutis atau ke dalam kelenjar limfe yang telah terjadi proses metastasis.30

6. TERAPI PALIATIF Perawatan paliatif terutama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Terdapat beberapa komplikasi setelah dilakukan penyinaran diantaranya : mulut terasa kering disebabkan oleh kerusakankelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran, dalam hal ini tidak banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan
37

dengan banyak

kuah,

memperbanyak

minum

dan

mencoba

memakan

dan

mengunyahmakanan dengan rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.Perawatan untuk pasien pasca pengobatan dengan tumor tetap ada (residu) atau kambuh kembali (residif) dan pasien dengan metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak dapat menimbulkan kesulitan tersendiri. Pada kedua keadaan tersebut di atas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk rneningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhimya meninggal akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.

PENILAIAN HASIL TERAPI KANKER Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal maupun kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya dilakukan setelah 3-4 minggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya kanker ( response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Dari aspek hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan istilah-istilah yang lazim dipakai yaitu :27,33 Sembuh ( cured ) Respon komplit ( complete response/ CR ) : semua tumor menghilang untuk jangka waktu sedikitnya 4 minggu Respons parsial ( partial response/ PR ) : semua tumor mengecil sedikitnya 50 % dan tidak ada tumor baru yang timbul dalam jangka waktu sedikitnya 4 minggu. Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil kuran dari 50 % atau membesar kurang dari 25 % Penyakit Progresif ( progresive disese/PD ) : tumor makin membesar 25 % atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu tidak diketahui adanya. Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari penyakitnya (disease free survival ). Pada beberapa tumor disamping ukuran tumor, perkembangannya dapat dipantau berdasarkan kadar tumor marker.

38

III.11. Komplikasi Komplikasi: 1. Metastasis ke kelenjar getah bening leher35,36

Tumor pada nasofaring relatif bersifat anaplastik dan banyak terdapat kelenjar limfe, maka karsinoma nasofaring dapat menyebar ke kelenjar getah bening leher yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap m.sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilap. Melalui aliran pembuluh limfe, selsel kanker dapat sampai ke kelenjar limfe leher dan tertahan di sana dan karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung ke bagian tubuh yang lebih jauh.

2. Metastasis ke daerah lain.

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Dalam satu penelitian ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %4. Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung, nyeri pada tulang, batuk-batuk dan gangguan fungsi hati. 3. Kelumpuhan saraf kranial.35,36,37

Ini menyebabkan gejala neurosensori seperti sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, dan eksoftalmus. Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa lobang, dari beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, shingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Sindrom petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena dengan gejala khas: neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegia
39

unilateral, amaurosis, dan nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramater. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson.1 Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian biasanya prognosisnya buruk. 4. Reaksi imun tubuh terhadap kanker.35

Meskipun jarang sekali, namun keganasan ini bisa juga mengakibatkan terjadinya sindrom paraneoplastik. Sindrom ini adalah akibat sistim imun tubuh bereaksi terhadap kehadiran sel-sel kanker dengan menyerang sel-sel normal dan mengakibatkan gangguan fungsi normal di bagian tubuh yang terkena. Efek Samping dari terapi radiasi: Kulit terbakar Disfagia Rambut rontok Mual muntah Diskolorasi kulit Penurunan BB Keganasan di daerah lain

Efek samping dari kemoterapi: Anoreksia Kerusakan sumsum tulang Anemia aplastik Konstipasi Diare Rambut rontok Mual muntah Fatigue Mucositis
40

Risiko infeksi meningkat

III.12 Prognosis: Secara umum, prognosis tergantung pada:38 Stadium keganasan Tipe keganasan Saiz tumor Usia dan keadaan kesehatan umum penderita

Disebabkan lokasinya, Ca nasofaring tidak menimbulkan simptom pada stadium awal sehingga seringkali hanya terdeteksi pada stadium lanjut. Jangka waktu hidup untuk keganasan ini tidak sebaik beberapa jenis kanker lain, tapi semakin membaik dewasa ini. Bagi semua penderita yang didiagnosa dengan Ca nasofaring, kira-kira 50% mempunyai jangka waktu hidup 5 tahun. Bagi penderita yang dirawat dengan kemoterapi dan radioterapi, jangka waktu hidup 5 tahun adalah 60%. Prognosis untuk Ca nasofaring yang didiagnosa stadium awal adalah cukup baik. Jangka waktu hidup 5 tahun melebihi 80% bagi tumor kecil, yang biasanya dalam stadium 1. Tumor yang lebih besar, tapi belum metastase ke KGB, biasanya mempunyai jangka waktu hidup lebih 50% setelah dirawat. Sayangnya, hampir separuh dari diagnose Ca nasofaring didapatkan pada stadium yang sudah lanjut, yang mempunyai prognosis lebih buruk. Bagi penderita yang didiagnosa pada stadium lanjut pula jangka waktu hidup 5 tahun hanya kirakira 40%.38,39 Prognosis bagi Ca nasofaring tipe tidak berdiferensiasi (tipe 3, paling sering) adalah secara umum lebih baik dari tipe keratinisasi (tipe 1). Hal ini karena tipe 3 berespon lebih baik dengan radioterapi dan kemoterapi.38 Banyak pasien yang didiagnosa dengan keganasan ini dan dirawat sempurna mengalami kekambuhan lagi, jadi follow up medis yang baik sangat dianjurkan.39

41

BAB IV KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas daerah kepala dan leher dengan angka 60%. Diagnosis dini yang sulit pada karsinoma nasofaring menyebabkan diagnosis penyakit di tegakkan setelah terjadi metastasis/ stadium III/ stadium IV. Letaknya yang tersembunyi di belakang juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan stadium awal karsinoma ini sulit di diagnosis. Selain itu gejala awal dari karsinoma nasofaring ini menyerupai gejala penyakit lain pada kasus THT, menyebabkan karsinoma nasofaring di diagnosa sebagai penyakit lain, dan terjadinya misdiagnosis berulang-ulang. Adapun gejala awal adalah sebagai berikut

Kongesti hidung Tuli unilateral Epistaksis Obstruksi hidung Penurunan nafsu makan Adapun pengobatan untuk karsinoma nasofaring di dasarkan pada stadium dari karsinoma itu sendiri. Tetapi oleh karena sebagian besar adalah tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif, radioterapi pada umumnya terapi yang pertama kali di lakukan untuk terapi karsinoma, dan juga di kombinasikan dengan kemoterapi. Adapun tindakan bedah bukanlah pilihan utama.

42

BAB V DAFTAR PUSTAKA 1. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor : Afiaty AS,Iskandar N,Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.2008; hal 182. 2. Chew CT. Nasopharynx (The Postnasal Space). Dalam : Scott Browns Otolaryngology. Editor : Kerr AG. 5thed. Butterworths. 1987. h. 312. 3. Rusmarjono, Kartosoediro S. Odinofagia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 6thed. Jakarta: FKUI. 2007 h.182-187,212-214. 4. Roezin A. Sistem Aliran Limfa Leher. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 6thed. Jakarta: FKUI. 2007 h. 177 5. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring. Available at: http://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502). Accessed at August 24th 2012 6. Carcinoma, Carcinoma Nasopharyngeal, Dorland, W.A.Newman. Dorlands Pocket Medical Dictionary. 28 ed. Elsevier Saunders : 2009 . hal 136-137 7. Nasofaring. Available at : http://www.scribd.com/doc/77622763/REFERAT-CANASOFARING. Accessed at August 24th 2012 8. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaringology-Head and Neck Surgery. 2nd ed. Lange:2008 9. Karsinoma Nasofaring. Available at http://www.scribd.com/doc/47012154/Karsinoma-Nasofaring-Referat-Ro. Accessed at August 24th 2012 10. Patologi Respiratorius. Available at http://merumerume.wordpress.com/2009/12/29/patologi-kelainan-respiratorius/. Accessed at August 24th 2012 11. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor : Afiaty AS,Iskandar N,Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.2008; hal 185.
43

12.

Karsinoma Nasofaring. Available at http://www.scribd.com/doc/27925999/Karsinoma-Nasofaring. Accessed at August 24th 2012

13.

Nasopharingeal cancer. Available at : http://www.merckmanuals.com/professional/ear_nose_and_throat_disorders/tumo rs_of_the_head_and_neck/nasopharyngeal_cancer.html. Accessed at August 16th 2012.

14.

AWM Lee,W Foo,SCK Law dkk.Article : Nasopharingeal cancer-presenting symptoms and duration before diagnosis.HKMJ Volume 3 No 4 December 1997 pg 357.

15.

Paulino AC. Article : Nasopharyngeal Cancer. Available at http://www.emedicine.medscape.com/article/98165-overview. Accessed at August 26th 2012

16.

Karsinoma Nasofaring. Avalaible at www.scribd/com/mobile/doc/2792599?width=1280. Accessed at August 26th 2012

17.

Diagnosis Banding Karsinoma Nasofaring. Available at http://www.scribd.com/doc/27925999/Karsinoma-Nasofaring. Accessed at August 26th 2012

18. 19.

Dafpus pemeriksaan penunjang Pignon JP, Bourhis J, Domenge C. Chemotherapy added to locoregional treatment for head and neck squamous-cell carcinoma, The Lancet , 2000; Vol 355: 949-55

20.

Chao SS. Modalities of surveillance in treated nasopharyngeal cancer; Otolaryngol Head Neck Surg 2003; 129 :61-4

21.

Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Binarupa Aksara, Edisi 13, Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI, Indonesia 1994 : 839-54

22.

Mulyarjo. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok- Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr. Soetomo, Surabaya 2002: 38-47

23.

Lin HS, Fee WE. Malignant Nasopharygeal Tumors. http://www.emedicine.com. 2003

44

24.

Cody DT. Kern EB. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan; EGC, Jakarta 1993: 371-2

25.

Vijayakumar S, Hellman S;Advances in radiation oncology ; Lancet 1997: 349 (suppl II): 1-3

26.

Suwitodiharjo S. Radioterapi pada Tumor Ganas Kepala dan Leher

(Squamous

Cell Ca ), Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr. Soetomo, Surabaya 2002: 101-7 27. Sukardja IGD. Onkologi Klinik , Edisi 2, Airlaga University Press, 2000 : 243 55 28. 29. Lika L. Radiation therapy: Gale Encyclopedia of Medicine. Gale Research, 1999 Balkwill F, Mantovani A, Inflammation and cancer: back to Virchow? ; The Lancet Vol 357, 2001; 539-45 30. Kentjono WA, Kemoterapi pada Tumor Ganas THT-Kepala Leher Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr. Soetomo, Surabaya November 2002,108- 21 31. Chan TC, Teo PM ; Nasopharyngeal Carcinoma : Review; Annals of Oncology 13: 2002; 1007-15 32. Quinn FB, Ryan,WM ; Chemotherapy for Head and Neck Cancer; Grand Rounds Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology; April 16, 2003 33. Manfred Schwab (Ed) Encyclopedia Refference of Cancer, Springer, Berlin, 2001 : 195 34. Skeel RT, Handbook of Cancer Chemoterapy, 3th Edition, Little, Brown and Company, London, 1987; 59-78 35. Nasopharyngeal carcinoma. Available at: http://www.mayoclinic.com/health/nasopharyngealcarcinoma/DS00756/DSECTION=complications. Accessed on August, 21 2012. 36. Nasopharyngeal cancer. Available at: http://www.freemd.com/nasopharyngealcancer/complications.htm. Accessed on August, 21 2012. 37. Nasopharyngeal cancer. Available at: http://www.knowcancer.com/cancertypes/nasopharyngeal-cancer/ Accessed on August, 21 2012. 38. Nasopharyngeal cancer. Available at: http://www.medicinenet.com/nasopharyngeal_cancer/page3.htm#certain_factors_
45

affect_prognosis_chance_of_recovery_and_treatment_options. Accessed on August, 21 2012. 39. Nasopharyngeal cancer. Available at: http://www.answers.com/topic/nasopharyngeal-cancer#ixzz24CVY44d0. Accessed on August, 21 2012.

46

Você também pode gostar