Você está na página 1de 62

ISSN 2085-613X

Vol. 8 No. 02, JUNI 2009

Dari Redaksi
Pembaca yang terhormat,

Ada beberapa konsepsi keliru tentang kecerdasan emosional. Cerdas secara emosi bukan hanya ramah, tetapi juga tegas; cerdas secara emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa (memanjakan perasaan), melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan seseorang mampu bekerja sama dengan lancar menuju tujuan bersama. Tidak ada orang tua yang sempuma dalam mengasuh dan membesarkan anak. Orang tua yang baik adalah orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan anak dengan cara memberi landasan yang memadai bagi pertumbuhan sosial-emosional, dan menyediakan kesempatan bagi anak untuk melanjutkan pengembangan dirinya di luar keluarga.
Pengarah: Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Pembina: Sekretaris Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal Penanggungjawab: Direktur Pendidikan Anak Usia Dini Dewan Redaksi: Togar S Sukiman M. Nuch Enah S Editor: Dwinita Y Euis E Beryana E Lamria R Lay Out: Untung S Tata Usaha: Sudadi Wahyunanik D S.Rahayu Imam R

Melalui tulisan-tulisan yang ada dalam edisi ini, mudah-mudahan dapat menjadi bekal bagi kepentingan pemberian layanan layanan pengasuhan dan stimulasi bagi anak usia dini. Semoga bermanfaat

Alamat Redaksi: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal, Departemen Pendidikan Nasional, Kompleks Depdiknas Gedung E Lantai 7, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta (10270)
paud.depdiknas.go.id e-mail: kemitraan_paud@yahoo.co.id. telepon: (021) 5725495, 572556 fax: (021) 57900244, 5725495.

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

Menu Edisi Ini


Dari Redaksi ........................................... Menu Edisi Ini ........................................ 1 2

FOKUS
Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak Melalui Pengasuhan
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey (Harvard University) dan John Meyer (University of New Hamphire) untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang memiliki peran penting bagi keberhasilan seseorang dalam kehidupan.

FOKUS Ir. Melly Latifah, MS Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc. Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak Melalui Pengasuhan ............................................ Dr. Fidesrinur, M.Pd. Pendidikan Keluarga Upaya Memperkuat dan Memperluas Layanan PAUD ..............

Pendidikan Keluarga Upaya Memperkuat dan Memperluas Layanan PAUD


Keluarga merupakan suatu wadah atau lingkungan pertama bagi anak setelah ia dilahirkan. Pengertian keluarga oleh para pakar ditinjau dari beberapa sudut pandang yaitu dari sudut pandang akar kata yang membentuknya dan bentuk keluarga baik dalam pengertian sempit maupun dalam pengertian luas. empati, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetia-kawanan, keramahan dan sikap hormat.

REGULASI Prof.dr.H. Fasli Jalal, Ph.D, Sp.GK Peningkatan Profesionalisme Pendidik dan Tenaga Kependidikan Prof, Dr. Endang Ekowati Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini .................

25

30

WAWASAN Syaid Jafar Revitalisasi Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Keluarga dan Dalam Lingkungan ........................ 50 Munif Chatib Keberhasilan Disiplin pada Anak ...... 53 DR.Dr.Theodorus Immanuel SETIAWAN Terapi Kognitif-Perilaku pada Anak Usia Dini ............................. 56

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

FOKUS
Prof.dr.H. Fasli Jalal, Ph.D, Sp.GK1

Jumlah anak Indonesia usia 0-6 tahun pada tahun 2008 diperkirakan 13 dari total penduduk, atau mendekati 30 juta orang. Secara absolut jumlah ini sangat besar, dan memerlukan proses tumbuh kembang secara optimal mulai dari pengasuhan dalam rumah maupun melalui pelayanan gizi, kesehatan, pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan. Pelayanan bagi anak usia dini secara holistik yang meliputi pelayanan gizi, kesehatan, pendidikan pengasuhan dan perlindungan mempakan pelayanan pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini (PP-AUD). Pemenuhan selumh kebutuhan anak usia dini oleh pelayananpelayanan tersebut secara serentak ditekankan oleh Myers (1992) sebagai berikut: .a child is born ^vithout barriers. It needs are integrated and it is we who choose to compertamentalize then into health, nutrition, and education. Yet the child itself cannot isolate its hunger for food, from its hungerfor affection or its hungerfor knowledge. The same unity extends to the child's perception ofthe world. The childs mind isfree ofclass, religion, colour, or nationality barriers, unless we wish it otherwise. It is this intrinsic
1

strength m the unity ofchild, that we needto exploit,for building a better world, andamore integrated development process. Bentuk-bentuk pelayanan yang tersedia saat ini adalah Posyandu yang umumnya diselenggarakan oleh masyarakat melalui PKK dan dibina oleh Departemen Kesehatan dan Pemerintah Daerah yang hanya mengutamakan pelayanan kesehatan dan gizi. Bina Keluarga Balita (BKB) yang diselenggarakan oleh masyarakat dibina oleh BKKBN menekankan pada peningkatan pengetahuan orang tua yang memiliki anak balita dalam pengasuhan (parenting). Selain itu pengasuhan dan perlindungan anak dilaksanakan oleh Departemen Sosial melalui Taman Penitipan Anak dan Kelompok Bermain, Panti Sosial Anak Balita, Panti Sosial Asuhan Anak dan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA). Salah satu bentuk pelayanan PP-AUD adalah PendidikanAnak Usia Dim yang terdiri dari jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) dan jalur non formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), dan PAUD Sejenis.

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Agustus 2009

FOKUS

Pelayanan-pelayanan tersebut dibina oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Pedoman Umum Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif (Bappenas, 2008), menyebutkanbahwa Kelompok Bermain (KB) adalah bentuk pelayanan sosial yang memberikan stimulasi perkembangan terutama kemampuan sosialisasi dan komunikasi, guna memacu daya asertif anak. KB mempakan lembaga pelayanan pengasuhan dan perlindungan anak pengganti sosialisasi fungsi orang tua yang sifatnya sementara, karena fungsi sosialisasi yang pertama dan utama adalah pada orang tua. Selain pelayanan langsung untuk anak, KB juga dapat menyediakan atau memfasilitasi pelayanan untuk orang tua bempa bimbingan konsultasi tentang pengasuhan dan perlindungan anak (good parenting skill) serta program-program BKB.

Taman Penitipan Anak adalah Lembaga pelayanan pengasuhan dan perlindungan anak pengganti sementara yang mengambil tanggung jawab secara luas terhadap pengasuhan dan perlindungan anak usia dini sementara ibu/keluarganya tidak dapat melakukan fungsi tersebut pada saat itu. Selain pelayanan pokok, TPA juga dalam posisi untuk menyediakan atau memfasilitasi agar aspek-aspek kesehatan dan gizi serta pendidikan anak asuhnya terpenuhi. Dengan demikian, jenis pelayanan di TPA adalah sangat komprehensif mencakup pelayanan langsung untuk anak yang dilakukan oleh TPA itu sendiri, dan pelayanan yang sifatnya setara dengan lembaga penyelenggara pelayanan konsultasi/advokasi untuk ibu/keluarga. Taman Kanak-Kanak (TK) adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 4 (empat) sampai dengan 6 (enam)

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Agustus 2009

FOKUS
tahun. Pada dasamya program pendidikan di Raudhatul Athfal (RA)/Busthanul Athfal (BA) sama dengan yang di-selenggarakan di Taman Kanak-kanak dengan tambahan muatan penanaman nilai-nilai agama. Pada tahap ini diletakkan dasar-dasar perkembangan akhlak mulia melalui nilai Qur'ani dan dilakukan pembekalan kesiapan memasuki Madrasah Ibtidaiyah. Jenis PP-AUD yang lain adalah Program Bina Keluarga Balita (BKB) yang dilaksanakan untuk melengkapi program yang berkaitan dengan mutu sumber daya manusia dan untuk mendukung program terpadu Keluarga Berencana yang mempercepat NKKBS (Normal Keluarga Kecil, Bahagia, dan.Sejahtera), termasuk upaya yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan agar menjadi orang tua atau ibu yang mampu mengasuh dan membina tumbuh kembang anak dengan baik. Pada awalnya pembentukan yaitu tahun 1981, BKB berkembang sangat pesat sampai mencapai angka tertinggi pada tahun 2000 yaitu menjadi 243,581 kelompok namun kemudian terjadi penurunan dan catatan bulan Desember 2006 menyebutkan jumlah BKB tinggal 102.490. Panti Sosial Anak Balita adalah lembaga pelayanan pengasuhan dan perlindungan pengganti sementara bagi balita yang dipersiapkan untuk diadopsi, yaitu balita yang ditelantarkan atau karena sebab lain tidak dapat diasuh oleh orang tua/keluarganya. Karena kekhususan fungsi Lembaga mi, maka diperlukan penunjukan oleh Pemerintah cq Depsos, kepada Lembaga Penyelenggara Pengasuhan ini. Di samping pelayanan untuk memenuhi kebutuhan anak terhadap perawatan, pemeliharaan, penjagaan, bimbingan, pembinaan dan pendidikan, pemenuhan kebutuhan anak terhadap perlindungan juga sangat penting. Mengingat adopsi adalah altematif terakhir dari upaya kesejahteraan anak, maka Lembaga ini juga perlu melakukan pelayanan persiapan adaptasi calon orang tua angkat dengan calon anak angkat. PSAA adalah Lembaga penga-suhan dan perlindungan anak yang melakukan tanggung jawab pengasuhan dan perlindungan anak, karena orangtua/keluarga tidak dapat melakukan tanggungjawabnya. Bagi PSAA yang mengasuh anak usia dini, pengasuhan dan perlindungan sesuai usia anak hams dilakukan. Lembaga juga harus memperhatikan aspek kebutuhan esensial anak lainnya, yaitu kesehatan dan gizi serta pendidikan melalui media Kelompok Bermain dan TK/RA/BA. Bahkan PSAA memiliki potensi besar untuk melakukan inisiatif keterpaduan pelayanan pengembangan anak usia dini. Keberadaan Posyandu didasarkan pada kebutuhan masyarakat pada akses pelayanan kesehatan dasar temtama bagi anak usia dini dan ibu. Sesuai dengan tujuan pendirian Posyandu, sasaran utama Posyandu adalah bayi, anak balita, ibu hamil, ibu melahirkan, ibu nifas dan ibu menyusui, serta pasangan usia subur. Kegiatan utama yang dilakukan di Posyandu adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), Keluarga Berencana, imunisasi, pelayanan gizi, dan pencegahan serta penanggulangan diare. Pelayanan yang diselenggarakan untuk balita mencakup penimbangan berat badan dan penentuan status pertumbuhan. Apabila ada tenaga kesehatan Puskesmas, dilakukan pula pemeriksaan kesehatan, imunisasi dan deteksi dini tumbuh kembang, dan bila ditemukan kelainan dapat dirujuk ke Puskesmas. Posyandu secara teknis medis dibina oleh Puskesmas.

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Agustus 2009

FOKUS
Berdasarkan data Potensi Desa 2008, sebanyak 70,046 dari 75,410 desa sudah mempunyai Posyandu dengan jumlah 258.347 Posyandu yang men-jangkau anak 0-5 tahun. Jumlah yang besar ini, nampaknya belum digunakan semaksimal mungkin. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007), diketahui bahwa 45,4 anak balita yang datang ke Posyandu melakukan pemantauan berat badan > 4 kali dalam 6 bulan terakhir yang berarti memanfaatkan secara penuh pelayanan gizi dan kesehatan di Posyandu (Gambar 4.1). Cakupan ini bervariasi dari yang terendah di Sumatera Utara (21,4) dan yang tertinggi di DI. Yogyakarta (78,5). Disamping itu 29 dari tinggi pada kelompok anak usia 0-23 bulan, yaitu ketika mereka membutuhkan imunisasi. Setelah itu partisipasi anak ke Posyandu menurun seiring dengan bertambahnya usia.

anak balita me-manfaatkan pelayanan Posyandu hanya 1 -3 kali dalam 6 bulan terakhir, sehingga manfaat maksimal pelayanan Posyandu tidak diperoleh. Namun demikian, temngkap pula bahwa Posyandu menjadi pilihan bagi 78,3 ibu untuk memantau pertumbuhan anaknya (gambar 4.1). Riskesdas 2007 juga mengungkapkan bahwa 46,2 anak usia 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi lengkap. Oleh karena itu ada kecendemngan cakupan Posyandu cukup

Imunisasi pada anak sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kekebalan anak terhadap penyakit. Oleh karena itu cakupan imunisasi pada anak usia dini menjadi penting sebagai salah satu indikator tentang baik buruknya pola asuh anak Indonesia. Riskesdas tahun 2007 melaporkan bahwa cakupan anak 12-23 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap adalah sebagai berikut: diperkotaan 54 dan diperdesaan lebih rendah yaitu 41,3. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Cakupan imunisasi pada keluarga dengan pendidikan lebih tinggijauh lebih besar (60,4) dibandingkan dengan kepala keluarga pendidikan yang lebih rendah (35,1) (Grafik 4.1). Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) jalur formal melalui Taman Kanak-Kanak telah lama dilakukan. Mulai tahun 2001 dikembangkan

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Agustus 2009

FOKUS
pendidikan anak usia dinijalur nonformal dengan sasaran anak usia 3-4 tahun. anak laki-laki dengan anak perempuan di perdesaan (Grafik 4.3). Podes tahun 2008 Podes mengumpulkan data tentang keberadaan satu atau lebih pelayanan pendidikan anak usia dini baik formal maupun non-formal. Jumlah desa yang melakukan pelayanan anak usia dini tersedia di 20.271 desa dari total 75.410 desa di selumh Indonesia. Distribusi desa yang mempunyai layanan anak usia dini di setiap kabupaten, seperti Grafik 4.4, sangat bervariasi. Ada. 4 kabupaten/kota yang selumh desa ada layanan, akan tetapi masih ada 107 kabupaten/kota dengan <10 total desa `Sejak tahun 2004 Susenas sudah digunakan untuk memantau program PAUD diantaranya dengan menanyakan apakah anak mengikuti program pra-sekolah yaitu lembaga yang memberi layanan PAUD atau sejenis, termasuk Taman KanakKanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA) yang dipemntukkan bagi anak usia 5-6 tahun. Pertanyaan dalam pengumpulan data Susenas belum memasukkan pendidikan anak usia dini melalui Taman Pendidikan Alquran (TPQ). Hasil Susenas dapat dilihat pada (Grafik 4.2). Dari temuan Susenas 2004-2007, diketahui bahwa cakupan layanan anak usia dini di perkotaan, baik untuk laki-laki dan perempuan, meningkat secara signifikan untuk anak umur 4, 5, dan 6 tahun, dengan peningkatan terbesar pada anak umur 5 tahun (grafik 4.2). Data Susenas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan cakupan PAUD antara anak laki-laki dan anak perempuan (genderparitas sama dengan 1). Sedangkan di perdesaan, cakupan PAUD jauh lebih kecil, hampir separoh dari cakupan di perkotaan. Walaupun demikian tidak ada perbedaan cakupan antara

mempunyai layanan anak usia dini. Sebagaimana diutarakan sebelum ini, keberadaan program PP-AUD ditujukan untuk memberikan layanan gizi, kesehatan, pendidikan, pengasuhan dan perlindungan pada anak usia dini termasuk ibu, keluarga dan masyarakat luas. Pelayanan di bidang gizi dan kesehatan, secara nasional sudah dilaksanakan hampir merata sejak tahun 1980an. Tidak bisa dipungkiri, kendala dalam pelaksanaan pelayanan tersebut pasti sangat banyak dan bervariasi, mulai dari ketersedian tenaga baik jumlah maupun kualitas, sampai pada kesiapan

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Agustus 2009

FOKUS
kesehatan dan memenuhi ke-butuhan gizi sehingga anak yang dilahirkan sehat dan mempunyai berat badan yang normal (di atas 2.500 gm). Meskipun belum ada penelitian yang secara spesifik mengkaitkan antara anak pendek dengan kecerdasan tetapi karena patofisiologi terjadinya anak pendek dimulai dari kekurangan gizi pada janin, maka panjang badan anak lahir dapat menjadi indikator proksi terhadap berat lahir seorang anak. Ketika dihubungkan antara ke-beradaan Posyandu dengan prevalensi anak pendek, temyata keberadaan Posyandu berhubungan positif lemah dengan penumnan prevalensi anak pendek. (Grafik 4.6). Dari hasil Riskesdas dan Podes tersebut terlihat jelas bahwa keberadaan Posyandu di semua desa di dalam kabupaten/kota di Indonesia mempunyai hubungan yang sangat bervariasi dengan prevalensi anak pendek. Variasi ini berkisar dari prevalensi anak pendek sekitar 20 pada kabupaten/kota yang mempunyai Posyandu di 100 desanya sampai dengan prevalensi lebih dari 60. Hal mi menunjukkan tidak adajaminan bila 100 dari desa memiliki Posyandu di tingkat kabupaten/kota akan menurunkan prevalensi anak pendek. Kenapa pada kabupaten/kota yang desanya memiliki 100 Posyandu prevalensi anak pendek masih tinggi? Ada kemungkinan ini disebabkan oleh kuantitas dan kualitas pengelola dan kader dan atau mutu pelayanan Posyandu yang rendah karena kekurangan sarana dan prasarana serta biaya operasional, yang tidak memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini secara optimal. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang lebih luas dan lebih dalam tentang efektivitas dari pelayanan

masyarakat sendiri untuk menerima layanan tersebut. Memperhatikan besaran masalah yang masih tinggi, perlu dievaluasi seberapa besar pengamh ketersediaan tenaga kesehatan terhadap perbaikan gizi masyarakat. Hasil kajian Riskesdas 2007 dan Potensi Desa 2008, menunjukkan pentingnya peranan bidan yang memberikan pelayanan di desa terhadap masalah gizi khususnya stunting. Hal yang menjadi pertanyaan pemegang kebijakan dan masyarakat saat ini adalah apakah keadaan gizi anak usia dini ada hubungannya dengan ketersediaan tenaga kesehatan terutama bidan dikaitkan dengan pentingnya perawatan kehamilan bagi potensi optimal pertumbuhan dan perkembangan anak sejak janin, lahir sampai usia dini. Grafik 4.5 menunjukkan hubungan antara prevalensi anak pendek (stunted) dengan keberadaan bidan di semua desa menurut kabupaten/kota. Grafik 4.5 ini menunjukkan keberadaan bidan memberikan kontribusi positif bagi penurunan prevalensi anak pendek. Jika ditinjau lebih lanjut, hal ini terkait dengan perbaikan gizi dan kesehatan sewaktu janin masih dalam kandungan, karena penentuan potensi tinggi seorang anak diawali ketikajanin dalam kandungan dan tems berlanjut sampai usia dua tahun. Di lihat dari fungsi bidan yaitu memberikan layanan bagi ibu hamil setidaknya dalam 5 T yaitu mengukur Tensi darah, Tinggi fundus, Timbang berat badan, memberikan Tablet tambah darah dan memberikan imunisasi Tetanus maka keberadaan bidan di desa memungkinkan ibu hamil merawat

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Agustus 2009

FOKUS
Posyandu dalam menurunkan prevalensi anak pendek. Kabupaten/kota yang 100 desanya memiliki pelayanan pendidikan formal dan nonformal untuk anak usia dini berhubungan positif dengan rendahnya prevalensi anak pendek di (grafik 4.7). (Riskesdas, 2007 dan Podes 2008). untuk mendapatkan pelayanan PP-AUD. Namun, kita hams hati-hati dalam membaca data ini karena bisa saja hubungan antara keberadaan pelayanan pendidikan formal dan non-formal anak usia dini dengan prevalensi anak pendek merefleksikan bias pembentukan pos pelayanan ini yang didirikan terutama di desa-desa yang sudah maju, yang prevalensi anak pendeknya relatif lebih rendah. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut guna mempelajari pengaruh tempat pelayanan anak usia dini dan kombinasi keberadaan tempat pelayanan ini dan Posyandu terhadap penurunan prevalensi anak pendek, terutama dengan pendekatan penelitian longitudinal. Tidak kalah pentingnya untuk memulai penelitian di Indonesia yang menghubungkan antara kecerdasan anak dengan prevalensi anak pendek. Bentuk-bentuk pelayanan pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini yang tersedia sampai saat ini masih tersebar dalam binaan sejumlah instansi yang berbeda. Posyandu sebagai salah satu pelayanan PP-AUD adalah pelayanan yang terbanyak yang tersedia di perdesaan sebagaimana dilaporkan oleh Potensi Desa 2008.

Hubungan yang lemah antara keberadaan Posyandu di semua desa di kabupaten/kota dengan prevalensi pendek terkoreksi atau menjadi lebih kuat ketika di tempat yang sudah memiliki Posyandu ada pula pelayanan pendidikan formal dan non-formal untuk anak usia dini (Grafik 4.8). Hal ini menyiratkan ada korelasi positif antara ditambahkannya pelayanan pendidikan formal dan nonformal anak usia dini terhadap desa yang sudah memiliki Posyandu dengan penumnan prevalensi anak pendek. Dapat diasumsikan dengan keberadaan pelayanan pendidikan formal dan non-formal anak usia dini di desa yang sama maka peluang anak

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Agustus 2009

FOKUS
Meskipun belum maksimal peng-gunaannya, namun posyandu merupakan pilihan terbanyak bagi ibu yang memiliki anak usia dini untuk memantau pertumbuhan anaknya, disamping untuk mendapatkan immunisasi lengkap. Selanjutnya Susenas 2004-2007 juga melaporkan bahwa cakupan pendidikan anak usia dini meskipun belum maksimal, kecendemngan meningkat baik di perkotaan maupun perdesaan baik untuk laki-laki dan perempuan. Cakupan pelayanan meningkat secara signifikan untuk anak umur 4,5, dan 6 tahun, dengan peningkatan terbesar pada anak umur 5 tahun. Sedangkan di perdesaan, cakupan PAUD jauh lebih kecil yaitu hampir separoh dari cakupan di perkotaan. Cakupan tersebut tidak terdapat perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Ter fragmentasinya PP-AUD ini menjadi salah satu penyebab belum terwujudnya pengembangan anak usia dini yang holistik-integratif.

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Agustus 2009

10

FOKUS

Dr.Fidesrinur, M.Pd1
Foto: Untung S

1. Pendidikan dan Keluarga

Salah satu bentuk layanan PAUD melalui pendidikan keluarga

Keluarga merupakan suatu wadah atau lingkungan pertama bagi anak setelah ia dilahirkan. Pengertian keluarga oleh para pakar ditinjau dari beberapa sudut pandang yaitu dari sudut pandang akar kata yang membentuknya dan bentuk keluarga baik dalam pengertian sempit maupun dalam pengertian luas. Pengertian keluarga berdasarkan asalusul kata dikemukakan oleh Kihajar Dewantara dalam Ahmadi (2001:176) bahwa keluarga berasal dari bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata yaitu kawula dan warga. Di dalam bahasa Jawa kuno kawula berarti hamba dan warga artinya anggota. Secara bebas dapat diartikan bahwa keluarga adalah anggota hamba
1

Penulis adalah Dosen PAUD Universitas Al Azhar Indonesia; Anggota TIM National Early Childhood Specialist Team (NEST); Anggota Konsorsium PAUD Depdiknas Periode 2008-2010

atau warga saya. Artinya setiap anggota dari kawula merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan dirinya juga merupakan bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan. Pengertian dari akar kata ini belum secara spesifik mengacu kepada pada suatu pengertian keluarga dalam pengertian sempit atau dalam pengertian luas. Sehubungan dengan pengertian keluarga dalam arti sempit dan luas tersebut Hasbullah (1997:87) mengemukakan bahwa keluarga dalam pengertian sempit adalah suatu kesatuan hidup bersama (sistem sosial) keluarga terdiri dari ayah , ibu, dan anak. Sedangkan keluarga dalam pengertian luas atau besar adalah keluarga inti ditambah anak-anak yang sudah menikah serta anggota keluarga yang lain seperti kakak dan adik 9

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

FOKUS
dari suami dan istri, mertua, paman, bibi dan keponakan. Keluarga dalam pengertian luas juga sering disebut keluarga besar. Keluarga besar seringkali digunakan untuk menjelaskan kekerabatan yang diikat oleh pertalian darah baik dari keturunan ibu maupun dari keturunan bapak. Walaupun demikian pengertian keluarga besar juga sangat ditentukan oleh budaya yang dianut masyarakat seperti patrinial (garis keturunan bapak) maupun matrilineal (garis keturunan ibu). Bahkan ada budaya tertentu yang menganut pengertian keluarga besar atas dasar kedua garis keturunan baik keturunan ayah maupun keturunan ibu. Untuk memudahkan pembahasan dalam tulisan ini maka pengertian keluarga difokuskan pada keluarga dalam pengertian sempit atau keluarga inti (ayah, ibu, dan anak). Dalam kaitan itu pula maka pendidikan akan dijelaskan dalam konteks keluarga inti. Pada dasarnya pengertian keluarga telah mencakup tanggungjawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, bahkan lebih luas dari itu dimana keluarga mengemban tanggungjawab baik di dunia maupun di akhirat. Aspek pendidikan telah di-ingatkan dalam Al Quran bahkan jauh sebelum teori-teori pendidikan mem-bahas tanggungjawab keluarga dalam pendidikan. Bahkan pendidikan keluarga tidak hanya tertuju kepada anak tetapi juga tertuju kepada orang tua khususnya kecintaannya terhadap anak. Kecintaan kepada anak sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali 'Imran: 14 bahwa Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009 kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Namun kecintaan kepada anak tidak boleh membuat orang lupa kepada penciptanya karena itu kehadiran anak dalam firman Allah dalam surat Al Anfaal 28 sebagai cobaan, Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.Artinya kecintaan kepada anak harus terukur, tidak berlebihan tetapi dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Tuhan. Untuk itu kembali Allah dalam surat Al Munaafiquun: 9 mem-peringatkan orang tua, Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Agar manusia tidak merugi dalam kehidupannya maka orang tua harus berupaya untuk mengamalkan surat At Tahrim: 6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Memelihara keluarga dari api neraka artinya keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kepastian kepada anak untuk mem-peroleh pendidikan keluarga yang terbaik. Pendidikan keluarga yang baik ini merupakan tonggak pertama dalam tahapan pendidikan anak selanjutnya. Keutamaan pendidikan keluarga juga dikemukakan oleh Satiadarma (2001:12110

FOKUS
122) bahwa keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi sosial. Melalui keluargalah anak belajar merespon dan beradaptasi kehidupan bermasyarakat. Lebih jauh dari itu keluarga adalah sumber kepribadian anak, dimana ditemukan elemen dasar yang membentuk kepribadian anak misalnya aspek genetika, aspek bawaan dan belajar dipengaruhi oleh proses yang berlangsung dan sistem yang berlaku dalam keluarga. Dalam kaitan belajar sebagai bagian pen-didikan ini Ahmadi (2001:177) mene-gaskan bahwa anak akan meniru norma-norma pada anggota keluarga karena itu secara kodrati orang tua bertanggungjawab mengasuh dan mendidik anaknya bahkan sejak anak tersebut masih dalam kandungan. Pengasuhan dan pendidikan anak utamanya akan berlansung secara intensif pada usia dini menunju kedewasaannya. Untuk membawa anak kepada kedewasaan, maka orang tua harus memberi contoh yang baik karena anak suka meniru orang tuanya. Untuk itu orang tua harus ingat surat Luqman: 13 Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Hal yang sama juga terdapat dalam surat Al Baqarah: 132. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anakanakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". Peringatan kepada anak ini berarti juga bahwa orang tua tidak hanya mengngatkan Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009 anaknya tetapi orang tua sendiri juga memberikan contoh dalam berbuat dan berperilaku sesuai dengan ucapannya.
Lebih jauh lagi tentang tanggung-jawab pendidikan, tidak hanya tanggung orang tua kepada anak. Anak juga diberi tanggungjawab untuk menyebarkan perbuatan baik kepada orang lain. Tanggungjawab pendidikan ini dapat dibaca dalam surat Luqman: 17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan ber-sabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Penyebaran nilai-nilai kebaikan ini diberi ganjaran oleh Allah sebagai-mana dijelaskan dalam surat Luqman: 16. (Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus[1181] lagi Maha Mengetahui. Penyebaran nilai-nilai untuk berbuat baik juga dikemukakan oleh Hasbullah (1997:87) bahwa ikatan kekeluargaan membantu anak untuk mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi, kerjasama, disiplin, tingkah laku yang baik, serta pengakuan akan kewibawaan. Namun semua nilai-nilai pendidikan yang dikemukakan tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa dukungan lingkungan keluarga yang kondusif. Dalam kaitan dengan lingkungan keluarga tersebut Britton (1992:33) menyarankan agar lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran dapat dipersiapkan sedini mungkin. Persiapan lingkungan ini dimulai dari usia lahir dan akhir tahun pertama. Persiapan lingkungan ini dimaksudkan untuk membantu anak memperkaya dan memperkuat kehidupan dalam dirinya, dengan cara membantu anak untuk berasimilasi dengan budayanya, disamping itu juga mengembangkan rasa menghargai pada budaya orang lain. Pentingnya lingkungan ini

11

FOKUS
juga diadopsi oleh Dodge (2002:01) dalam buku Creative Curriculum for Preschool dikemukakan bahwa dalam praktek sesuai perkembangan anak, perlu keseimbangan antara pengetahuan tentang perkembangan anak secara umum dan pengetahuan khusus tentang pembentukan hubungan anak dengan keluarganya masing-masing. Konsep praktek sesuai perkembangan anak mempertimbangkan tingkat perkem-bangan anak dan kesiapan anak secara individual. Tiga dimensi kesesuaian harus dipertimbangan yaitu kesesuaian usia, kesesuaian individual, dan kesesuaian budaya dan konteks sosial anak. Pertama, kesesuaian usia, adalah urutan pertumbuhan dan perubahan yang terjadi pada anak usia dini. Perubahan ini terjadi pada setiap kawasan perkembangan fisik, kognitif, sosial dan emosional yang kadang terjadi dalam rentangan perkembangan atau fungsi umur seorang anak sesuai rentang usia karena kesamaan tingkat pertumbuhan, pola perkembangan atau perbedaan individual lainnya; Kedua kesesuaian Individual, masing-masing individu bersifat unik dengan pola dan tingkat pertumbuhan. Bersamaan dengan itu kepribadian, gaya belajar, latar belakang keluarga, dan pengalaman masa lalu, perbedaan individual ini harus direfleksikan dalam hubungannya dengan orang dewasa. Pembelajaran anak usia dini adalah suatu hasil interaksi aktif yang terjadi antara anak dan lingkungan, materi, ide-ide dan orangorang yang berhubungan dengannya. Pengalaman harus disesuaikan dengan perkem-bangan anak dan kemampuannya pada saat itu, pada saat yang sama ciptakan tantangan untuk kelanjutan pertumbuh-an dan pengembangan minat; ketiga, kesesuain konteks sosial dan budaya, anak berkembang dalam keluarga, tetangga dan masyarakat. Untuk itu penting bagi pendidik anak usia dini memahami konteks sosial budaya anak untuk memastikan bahwa pengalaman belajar anak bermakna, relevan dan menghargai anak dan keluarganya. Ketiga kesesuaian usia, kesesuain individual dan kesesuaian konteks sosial budaya merupakan faktor penting yang harus diperhatikan keluarga dalam mendidik anak. Pertimbahan usia terkait dengan tahapan perkembangan anak dengan mempertimbangkan keunikan anak sebagai individu tanpa meng-abaikan sosial dan budaya setempat. Perubahan sosial budaya yang makin pesat sebagai akibat globalisasi ini harus diikat oleh nilai-nilai agama dalam keluarga sehingga perubahan dapat terkontrol kearah yang lebih diridhoi oleh Allah.

2. Pemberdayaan Keluarga
Pendidikan masyarakat yang berorientasi sekolah telah terbukti lemah dalam mengembangkan nilai-nilai pada peserta didik. Pendidikan sekolah telah mendominasi pemikiran masyarakat sehingga setelah anak mereka memasuki pendidikan formal di sekolah dianggap telah menyelesaikan masalah. Padahal pendidikan formal menambah tugas orang tua agar dapat mendorong dan memupuk nilai-nilai yang diperoleh pada pendidikan formal. Selanjutnya pendidikan keluarga dan masyarakat makin melemah, terbukti kontrol keluarga dan masyarakat dalam mendidik anak-anak di lingkungannya makin lemah pula. Hal ini terlihat dari kehidupan masyarakat yang makin bersifat individual sehingga budaya saling mengingatkan di lingkungan masyarakat makin langka dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku individu di masyarakat tidak lagi menjadi tanggungjawab bersama masyarakat tetapi tanggungjawab masingmasing individu. Padahal dalam UndangUndang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam ketentuan umum pasal 1 butir 16 12

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

FOKUS
menyatakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Kenyataan pendidikan formal saat ini menunjukkan pula bahwa pola pendidikan telah kehilangan makna sebagai perubahan perilaku menjadi pengumpulan pengetahuan. Penge-tahuan yang diperoleh di sekolah tidak diperkuat dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sehingga pendidikan tidak lebih dari sekedar mengumpulkan informasiinformasi tanpa makna. Menurut Goodlad (1973:01) pendidikan adalah suatu proses perubahan perilaku, cara berpikir, perasaan, dan bertindak atau berubah dari waktu ke waktu. Artinya pendidikan selalu ber-proses sehingga tidaklah mungkin diperoleh hanya di sekolah tetapi juga harus diperkuat di keluarga dan di masyarakat. Sementara itu sekolah mempunyai keterbatasan dalam mengakomodasi kebutuhan anak karena terbatas tujuan-tujuan pembelajaran keilmuan.
Paulo Freire dalam Yunus (2007) mengemukakan bahwa konsep pen-didikan diharapkan menjadi alat yang mampu membebaskan masyarakat dari berbagai bentuk penindasan, pem-bodohan, dan lain sebagainya. Pendidikan yang mendialogkan pen-didikan kepada masyarakat secara luas, baik melalui pendidikan pendampingan (non formal), pendidikan formal dengan harapan agar masyarakat yang berpendidikan mengetahui dan menyadari permasalahan yang menimpa mereka sebagai masyarakat. Pendidikan seyogianya berkaitan dengan tema-tema dan problem kemanusiaan. Artinya pendidikan diselenggarakan dalam rangka untuk memberikan peluang bagi pengakuan derajat kemanusiaan itu sendiri. Karena itu setiap individu merupkan subjek pendidikan itu sendiri bukan merupakan objek yang dibentuk oleh keinginan pihak lain, apalagi bukan pendidikan yang diinginkan orang dewasa untuk anak.

Dalam kaitan pendidikan yang mendialogkan pendidikan kepada masyarakat ini sejalan dengan Osborne dan Gaebler (1992:34) mengemukakan bahwa pada zaman sekarang, institusi publik memerlukan fleksibiltas untuk merespon kondisi perubahan yang makin kompleks dan cepat. Kondisi perubahan yang kompleks dan cepat ini akan mempersulit pemerintah dalam pengambilan kebijakan apabila hanya menggunakan satu metoda meng-hasilkan pelayanan. Disamping itu tujuan utama pemerintahan sebagai katalisator adalah membantu masyarakat dalam memperkuat infra-strukturnya. Untuk menunjukkan kekuatan asosiasi masyarakat dibanding-kan dengan professional McKnight dalam Osborne dan Gaebler (1992:65-70) mengemukakan bahwa: (1) masyarakat lebih mempunyai komitmen pada anggota masya-rakat lainnya jika dibandingkan dengan komitmen pelayanan professional terhadap kliennya; (2) masyarakat lebih memahami permasalahannya dari pada pelayanan professional; (3) professional dan beirokrasi memberikan pelayanan; masyarakat memecahkan masalah; (4) institusi dan professional mem-berikan pelayanan; masyarakat memeberikan kepedulian; (5) masyarakat lebih fleksibel dan kreatif daripada birokrasi yang memberikan pelayanan yang meluas;

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

13

FOKUS
(6) pelayanan masyarakat ebih murah daripada pelayanan professional; (7) masyarakat menetapkan standar perilaku lebih efektif daripada birokrasi atau layanan professional; dan (8) masyarakat focus pada kapasitas yang dimilikinya; system focus pada kelemahan yang dimiliki masyarakat. Perbandingan profesional dengan asosiasi masyarakat ini menunjukkan bahwa masyarakat pada dasarnya lebih memahami masalahnya dan akan efektif apabila terlibat aktif menyelesaikan masalahnya sendiri. Untuk itu UU Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Hal yang sama juga dikemukan oleh Essa (2003:112) bahwa pendidikan selalu terkait dengan ekonomi, agama, dan faktor-faktor sosial. Nilai-nilai yang ber-kembang dalam memperlakukan anak ditentukan oleh bagaimana orang tua dan masyarakat melihat anak dari sudut pandang ekonomi, agama dan sosial mereka. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan pendidikan keluarga harus mem-perhatikan situasi dan kondisi keragaman kehidupan masyarakat. Keragaman masyarakat berimplikasi pula pada pemecahan permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam pendidikan keluarga. Karena itu untuk mengidentifikasi kebutuhan pendidikan masyarakat perlu memperhatikan konteks permasalahan seperti agama, ekonomi, sosial budaya, letak geografis, maupun politik. Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009 Pendekatan keagamaan merupa-kan faktor yang paling penting dalam pemberdayaan keluarga. Untuk itu revitalisasi kehidupan beragama lebih menitik beratkan pada peran keluarga dalam pendidikan sebagaimana yang dikemukakan dalam pembahasan se-belumnya, khususnya dalam pendidikan keluarga menurut Islam. Namun hal ini juga berlaku bagi pemeluk agama lain sesuai dengan tuntunannya agamanya masing-masing. Artinya cara terbaik untuk pemberdayaan keluarga dan masyarakat adalah kembali ke pelaksanaan nilai-nilai agama dengan benar, yang bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam kaitan nilai-nilai itu pula Feeney (2006:55) mengemukakan bahwa sebagian besar nilai-nilai dan pelaksananan program pendidikan anak tumbuh dari nilai anak dalam suatu masyarakat, kemudian nilai terhadap anak ini diadopsi secara turun temurun dalam keluarga. Penyebaran nilainilai juga dipengaruhi oleh pemimpin agama, pembaharu masyarakat, dan pendidik di masa sebelumnya. Selanjutnya kebiasaan dan kebudayaan yang berlaku secara turun temurun tersebut mengalami pergeseran nilai bersamaan dengan menurunnya kemampuan pemerintah, masalah ekonomi masyarakat, pengetahuan orang tua dan masyarakat, serta pengaruh agen sosial dalam peran sertanya mengem-bangkan nilai-nilai anak dalam suatu masyarakat. Kenyataan perubahan kehidupan dalam keluarga menurut Essa (2003:04) karena tekanan ekonomi meng-akibatkan ibu tidak dapat mengasuh anaknya di rumah. Tekanan ekonomi ini memaksa kedua orang tua harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Fakta 14

FOKUS
ini menunjukkan bahwa penyerahan anak pada lembaga PAUD tergantyung kesesuaian program dengan kepentingan dan kesesuaian waktu orang tua. Untuk itu pertimbangan dalam pelaksanaan program PAUD perlu pemahaman tentang lingkungan yang menjadi sasaran PAUD. Lingkungan bagi peng-asuhan dan pendidikan anak usia dini menurut Arce (2000:42) adalah tempat orang-orang berinteraksi untuk tujuan bersama dalam pengasuhan dan mendidik anak. Untuk itu peran orang tua dari perspektif perkembangan anak adalah bagaimana orang tua me-mungkinkan dapat memfasilitasi, mendukung dan membantu perkembangan anak, tidak hanya berdasarkan kebutuh-an dari sudut pandang orang tua. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pelayanan ter-hadap PAUD dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks antara lain budaya, ekonomi, pengetahuan orang tua dan masyarakat, agen pembaharu serta nilai anak dalam suatu masyarakat. Untuk itu pengembangan pemahaman nilai-nilai PAUD disamping melalui pendidikan anak usia dini itu sendiri, program penyampaian nilainilai ini pada pendidikan bagi usia SD, SLP, SLTA dan Perguruan Tinggi juga perlu mendapatkan prioritas. Prioritas ini tidak hanya dikaitkan dengan ilmu tetapi terkait dengan perubahan pola pikir yang mendasar dalam mendidik anak karena pada saatnya nanti pelajar tersebut akan menjadi orang tua Pengembangan program PAUD juga dapat dilihat dari kesuksesan Program Keluarga Berencana (KB). Program KB sebagai suatu gerakan pemerintah telah mengakar sampai pada keluarga inti yaitu bapak, ibu dan anak. Keterlibatan keluarga Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009 inti ini tidak terlepas dari kegiatan Dasa Wisma atau Kelompok Perpuluhan yang dibentuk oleh BKKBN bersama TIM Penggerak PKK guna memonitor perkembangan program KB. Pelajaran yang dapat kita petik dari program ini adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran dan tang-gungjawab orang tua terhadap kesuksesan program KB sebagai bagian dari kesuksesan dirinya sendiri dan kesuksesan warga masyarakat secara keseluruhan. Kesuksesan program Keluarga Berencana ini juga dapat dijadikan sebagai inspirasi dalam mengikutsertakan segenap lapisan masyarakat mulai dari pemuka agama, pemuka adat, petugas kesehatan dan KB, seniman, inovator dan dari kalangan pelajar dalam gerakan PAUD. Sosialisasi PAUD akan lebih mudah jika dibandingkan dengan awal sosialisasi KB, karena tidak satupun alasan untuk menolak program PAUD baik dari segi agama maupun segi budaya. Berbeda dengan program KB, beberapa kalangan agamawan menolak program KB karena dianggap bertentang dengan paham agama yaitu mencegah calon bayi untuk hidup. Sementara itu program KB dari sudut budaya juga menjadi bahan pertentangan karena adanya keinginan dan kebanggan sebagian besar masyarakat untuk menjadi sebuah keluarga besar. Secara medis efektivitas program KB juga masih diragukan terhadap kesehatan reproduksi, dimana menurut pendapat umum berkembang bahwa sesuatu yang alami dalam tubuh manusia dihentikan dalam jangka waktu tertentu semisalnya untuk hamil dan melahirkan. Melihat hambatan yang besar dalam sosialisasi program KB maka sosialisasi PAUD terasa akan lebih mudah 15

FOKUS
untuk dilakukan karena tidak satupun formal dan nonformal, kecuali dengan agamapun yang melarang mendidik anak, memberdayakan pendidikan keluarga. bahkan tanggungjawab keluarga yang juga Masalah geografis, tidak hanya berkaitan harus ditunaikan dalam pendidikan. dengan lokasi domisili keluarga tetapi juga Kegiatan penting lainnya yang dapat berhubungan dengan pilihan masyarakat menyentuh kebutuhan masyarakat secara dan kehidupan perekonomian. Masyarakat langsung adalah melalui dasa wiswa nelayan mempunyai beberapa karak(kelompok kepala keluarga perpuluhan), teristik seperti pengelompokan masyarakat RT, RW, Kelurahan, binaan petugas nelayan pada kawasan tertentu misalnya Keluarga Berencana (KB) merupakan cara di perkampungan nelayan, di kepulauan efektif dalam melakasanakan program KB terpencil yang jauh dari perkampungan yang langsung menyentuh kelompok nelayan. sasaran. Pola kerja program KB ini dapat Selanjutnyua sebuah contoh kedigunakan untuk mensosialisasikan hidupan petani perkebunan rakyat di pentingnya PAUD ke tengah-tengah Rantau Panjang Kecamatan Tabir propinsi masyarakat. Kabupaten yang terarah dan Jambi diharapkan dapat menggambarkan terukur memantau pertumbuhan dan keunikan karakteristik kehidupan anak usia perkembangan anak. Strategi ini akan dini. Keunikan ini terletak dalam interaksi terasa penting dilakukan mengingat dari keluarga petani karet rakyat yang beragam tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah yang berarti pula bahwa bentuk pendidikan anak berkebutuhan khusus. Dari banyak keluarga perlu mengakomodasi kekhasankasus ditemukan bahwa banyak anak nya tersebut. Paling tidak ada tiga bentuk mengalami keterlambatan deteksi dini, domisili keluarga petani karet yaitu: (a) sehingga mengakibatkan anak lahir dalam hidup di dusun perkampungan, hidup di keadaan yang kurang sempurna. Anakhumo huma dan hidup di talang anak yang kurang sempurna ini seringkali perkebunan karet yang jauh dari tidak tersentuh pendidikan karena keluarga perkampungan maupun huma. merasa malu mempunyai anak cacat. Keluarga-keluarga yang mempunyai anak berkebutuhan khusus seperti ini perlu pendekatan dari keluarga dan tetangga terdekat untuk bersamasama mem-berikan dukungan moral, dukungan informasi dan penanganan yang melibatkan petugas kesehatan. Faktor letak geografis seperti daerah pantai, perkebunan, dan tempat terpencil lainnya juga merupakan faktor yang mengRumah panggung masyarakat di Rantau Panjang Kecamatan hambat dalam pelayanan PAUD
Tabir, propinsi Jambi

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

16

FOKUS
Pertama, kehidupan di dusun artinya aktivitas ibu lebih banyak di rumah dan berbaur dengan masyarakat umumnya. Biasanya ibu rumah tangga ini mengerjakan pekerjaan bercocok tanam di sekitar perkampungan. Mereka tidak pergi ke huma ataupun ke talang karena pada umumnya adalah ibu-ibu rumah tangga yang telah berumur atau telah memiliki cucu. Satu hal yang unik di dusun ini adalah orang tua akan tinggal dengan anak perempuan yang paling kecil, atau mendiami rumah yang terakhir yang dibuat oleh orang tua. Artinya apabila anak perempuan menikah dan masih mempunyai anak perempuan lain yang lebih kecil maka orang tua tadi meninggalkan rumah untuk anak perempuan yang baru menikah tadi kemudian membuat rumah di tempat lain bersama anak perempuan yang lebih kecil. Begitulah seterusnya orang tua tersebut terus berpindah sampai pada anak perempuan terakhir atau anak perempuan yang paling kecil menikah. Anak perempuan yang paling kecil dalam keluarga dibebani tanggungjawab yang lebih besar dalam mengurus kedua orang tuanya. Beruntung kalau anak perempuan tersebut masih ada orang tua, ia dapat meninggalkan anaknya dengan kakek atau nenek untuk di asuh di perkampungan, sementara ia hidup di Talang atau perkebunan. Kedua, kehidupan di huma yang biasanya berlokasi tidak begitu jauh dari dusun (kampung) sehingga masih dalam jarak tempuh untuk berangkat di pagi hari dan masih sempat pulang ke rumah di sore hari dengan membawa anak ke huma. Kegiatan yang dilakukan oleh kaum ibu di huma bisanya menanam tanaman seperti padi dan palawija. Ibu-ibu muda yang

Gambar berikut ini memperlihatkan bagaimana anak-anak hidup di dusun sedang bermain di bawah rumah panggung.

mempunyai anak, bekerja sambil mengasuh anak. Terkadang ibu-ibu muda ini harus menunggu anak tertidur baru kemudian si ibu dapat bekerja, terutama bagi anak-anak yang masih kecil dan belum bisa mengurus dirinya sendiri sebagaima terlihat dalam Gambar berikut ini:

Ibu-ibu harus menunggu anak tertidur baru kemudian si ibu dapat bekerja

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

17

FOKUS
Ketiga, kehidupan di talang perkebunan yang jaraknya jauh dari dusun dan huma sehinga pulang pergi ke dusun sebagaimana di huma tidak dapat dilakukan. Talang mengandung pengertian terhalang sehingga tidak mungkin pulang pergi dari dusun ke perkebunan dan sebaliknya. Biasanya keluarga yang tinggal di Talang adalah keluarga pasangan suami istri atau pasangan muda. Mereka mengawali kehidupan berkeluarga dengan membuka lahan perkebunan karet atau perkebunan kelapa sawit. Setelah lahan perkebunan ini selesai dibuka, kemudian ditanami pohon karet atau pohon kelapa sawit, termasuk menanam tananam palawija untuk kebutuhan sehari-hari. Setelah anak berusia beberapa bulan setealah melahirkan di dusun pasangan muda ini akan kembali ke Talang. Lamanya di Talang dapat bertahuntahun sampai anak memasuki usia sekolah dasar, atau pulang pada saat lebaran tiba. Artinya interaksi anak di talang hanya dengan ibu dan bapaknya, disamping itu lokasi gubuk dengan gubuk lainnya di talang berjauhan sehingga tidak ada interaksi dengan masyarakat lain. Interaksi dengan masyarakat hanya terjadi pada saat mereka membeli kebutuhan seharihari ke desa terdekat yang jauhnya dapat berkilo-kilometer. Terakhir pemberdayaan pendidikan keluarga juga perlu dilakukan melalui kebijakan politik yaitu dalam bentuk kebijakan pemerintah dalam pendidikan anak. Kebijakan tersebut anatara lain dengan memasukkan materi PAUD dalam mata-mata pelajaran di SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi seperti Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Pancasila dan kewarganegaraan, dan mata pelajaran Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009 muatan lokal lainnya dapat memperkuat pengetahuan dan pengalaman peserta didik tentang PAUD. Upaya ini dapat membantu sosialisasi PAUD sedini mungkin. Dengan sosialisasi PAUD maka pada saat peserta menjadi orang tua, atau anggota masyarakat mereka telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang pendidikan anak usia dini sehingga mereka tidak terlalu tergantung pada PAUD formal dan nonformal.

3. Strukturisasi Pendidikan Keluarga


Perbedaan antara pendidikan formal, nonformal, dan informal adalah dalam struktur kegiatan yang dilakukan. Pendidikan formal dan nonformal dilakukan secara terencana dan bertujuan dan diukur melalui evaluasi pada setiap pembelajaran. Sementara itu pendidikan dalam keluarga atau pendidikan informal terjadi secara alamiah bersamaan dengan kegiatan sehari-hari sehingga pihak-pihak yang berinteraksi yang telah melakukan pendidikan atau yang menerima pendidikan tidak merasakan sebagai-mana pendidikan formal di sekolah atau nonformal yang dilaksanakan. Dari segi waktu pendidikan informal/keluarga lebih banyak memiliki waktu, disamping itu pendidikan keluarga juga relatif menyenangkan karena terjadi secara alami dan tidak ditargetkan untuk pencapaian tujuan tertentu. Suatu rutinitas yang dilakukan dalam keluarga seringkali luput dari perhatian, dianggap kecil dan bahkan dianggap tidak penting. Padahal rutinitas merupakan suatu kejadian penting yang selalu berulang-ulang sehingga akan menjadi suatu pembiasaan. Untuk menjadi manusia yang 18

FOKUS
lebih baik dari hari kemaren dan untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dihari esok, maka tidak mungkin melakukan segala sesuatunya tanpa perencanaan atau melakukan sesuatu yang rutin. Sesuatu yang lebih baik memerlukan pemikiran yang lebih komprehensif. Sehubungan dengan rutinitas disebut itu Stones dalam Osborne dan Gaebler (1993:10) sebagai aktivitas menggunakan akal sehat. Menurutnya, banyak orang menghabiskan waktu dan pekerjaannya dengan menggunakan akal sehat common sense. Orang-orang yang bekerja dengan akal sehat tidak dapat dipercaya karena kehidupan manusia selalu berproses sehingga akal sehat saja tidak mungkin mem-berikan dasar yang kuat dalam kegiatan apapun. Artinya pendidikan keluarga disamping menggunakan akal sehat juga juga harus distruktur sedemikian rupa sehingga segala sesuatu yang dilakukan secara terencana dan bertujuan sehingga kehidupan keluarga secara terus menerus dievaluasi. Orang tua terdidik dengan baik saja tidak cukup untuk melaksanakan pengetahuannya dengan baik. Untuk itu pendidikan keluarga benar-benar memperhatikan secara sungguh-sungguh dalam memenuhi kebutuhan anak. Dalam kaitan kebutuhan anak tersebut Bentzen (2003: 11-12) Ada dua kategori kebutuhan dalam pendidikan anak usia dini yaitu: kategori kebutuhan pertama, yaitu yang dibutuhkan selama perkembangan anak seperti fisik/ motor dan kognitif dan bahasa yang biasanya ditentukan berdasarkan jadwal waktu dan urutan yang sangat dipengaruhi oleh kema-tangan anak yang ditunjukkan dalam keterampilan atau milestone tahapan; kategori kebutuhan kedua, Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009 kebutuhan nutrisi, layanan sehat, kebutuhan bereksplorasi dan kebutuhan untuk stimulasi sensosri. Kebutuhan berbeda dengan keinginan. Kebutuhan adalah setiap pengalaman, kesempatan, atau tugastugas yang sepadan dengan tingkat perkembangan dan kemampuan anak, apa bila cocok, akan menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan, dan apabila tidak cocok mungkin dapat menggangu atau mempunyai akibat yang negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Sedangkan keinginan juga dapat didorong oleh kebutuhan, karena itu sebaiknya kebutuhan terpenuhi terlebih dahulu sebelum pemenuhan keinginan. Untuk itu kata Essa (2003:64) peran orang tua dari pespektif perkembangan anak adalah bagaimana orang tua memfasilitasi, menyokong dan membantu berkembang sesuai dengan kebutuhan anak, tidak berdasarkan kepada kebutuhan orang tua. Pendidikan yang paling yang kondusif bagi anak adalah pembelajaran yang menyenangkan. Oleh sebab itu perang orang tua dalam mendorong terjadinya kegiatan sehari-hari yang menyenangkan dapat memberikan pembelajaran yang baik bagi anak. Terkait dengan pembelajaran yang baik tersebut NEL (2003:32) mengemukakan bahwa pembelajaran yang lebih baik adalah dengan cara mengefektifkan penggunaan kesempatan pembelajaran yang bersifat insidentil dari kegiatan dan rutinitas anak sehari-hari daripada mengajar anak keterampilan atau pengetahuan. Sifat pendidikan keluarga yang bersifat insidentil dan tidak disengaja seringkali memberikan nilai-nilai yang mendalam bagi anak. 19

FOKUS
Agar tidak terjadi implikasi pendi-dikan yang kurang terencana dengan baik dari aktivitas yang bersifat insidentil ini maka Karen mengemukakan strategi pengalaman belajar dapat dikembang-kan dalam tiga bentuk yaitu (1) Pengalaman Belajar Naturalistik: Pengalaman naturalistik adalah penga-laman yang dilakukan anak secara serta merta dalam aktivitas sehari-hari. Pengalaman-pengalaman naturalistik ini merupakan pembelajaran utama selama periode sensori motor, disamping juga dapat dilakukan bagi anak yang lebih besar. Melalui pengalaman yang alami, orang dewasa berperan menciptakan lingkungan yang kaya kreativitas dan menarik. Orang dewasa harus menyediakan berbagai macam benda untuk dilihat anak, diraba, dicoba, dibaui, dan diperdengarkan. Orang dewasa mengobservasi aktvitas anak mencatat bagaiaman prosesnya, dan kemudian respon dengan melirik, mengangguk, tersenyum, atau kata-kata untuk memberikan penguatan kepada anak. Anak butuh untuk mengetahui kapan ia melakukan sesuatu dengan benar; (2) pengalaman belajar informal: Orang dewasa memperkenalkan penga-laman belajar informal pada saat anak mengalami pembelajaran alami. Pengalamanpengalaman ini tidak direncanakan sebelumnya: pengalaman tersebut terjadi ketika pengalaman atau intuisi orang dewasa menunjukkan waktunya untuk bertindak; dan (3) Pengalaman Belajar Terstruktur: Pengalaman terstruktur adalah pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya atau aktivitas-aktivitas yang dapat terjadi dalam beberapa cara.

merencanakan dan menstruktur aktivitas pembelajaran dengan cara mengetahui tujuan aktivitas, dan cara-cara agar anak terlibat secara berkelanjutan dalam aktivitas tersebut. Orang dewasa harus memahami setiap keterkaitan dan interdependensi seluruh aspek pembelajaran dan perkembangan anak secara personal, sosial, emosional, fisik dan intelektual dan merefleksikannya dalam setiap perencanaan. Memang kegiatan ini sangat sulit dilakukan apalagi oleh orang tua tidak di-persiapkan untuk itu, bahkan orang terpelajar sekalipun mungkin sulit untuk melakukan kegiatan yang terstruktur bagi anaknya. Namun demikian hal yang mendasar bagi orang tua adalah bagaimana memberikan fasilitas ber-main bagi anaknya bertujuan untuk mengembangkan kreativitas dan nilai-nilai sosial antar teman sebaya.
Untuk itu hal yang perlu dipikirkan oleh orang tua adalah bagaimana aktivitas yang dilakukan anak dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, sekaligus memuat upaya untuk untuk pengembangan watak dan sikap yang positif seperti : (1) pentingnya berusaha untuk meraih kesuksesan; (2) mempunyai rasa keingintahuan yang kuat, (3) menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi, (4) mengembangkan identitas diri yang positif, serta (4) menumbuhkan sikap toleransi terhadap sesama. Kita semua mengetahui bahwa anak-anak remaja sekarang lemah dari aspek-aspek yang disebutkan di atas sebagai akibat lemahnya pendidikan keluarga dan pendidikan anak usia dini secara keseluruhan. Berdasarkan uraian yang di-kemukan di atas maka orang tua harus memberikan kesempatan yang luas kepada anak untuk melakukan observasi, bereksplorasi, serta mengembangkan imajinasi anak. Di samping itu anak juga diajak untuk melakukan penemuan

Pengalaman belajar insidentil juga harus mempertimbangkan efek samping aktivitas yang berujung negatif tetapi tidak disadari oleh orang tua karena orang tua tidak bermaksud seperti itu. Di sekolah formal dikenal dengan hidden curriculum yaitu suatu hasil yang tidak dikreasi secara sadar sebelumnya. Untuk itu NEL (2003:32) mendorong orang tua untuk Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

20

FOKUS
dan mengum-pulkan informasi dalam bentuk berbagi pendapat dengan orang tua dan keluarga lainnya.

4. Komunikasi Orang Tua dan Sekolah


Sebagian orang tua ada yang beranggapan bahwa tugas mereka telah selesai dengan diserahkannya anak di sekolah. Sebaliknya, pekerjaan orang tua akan bertambah karena nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah perlu diperkuat dan dijaga konsistensinya di dalam keluarga. Untuk itu komunikasi antara orang tua dan sekolah adalah bagian penting yang tidak dapat terpisahkan dalam pendidikan anak. Melalui komunikasi orang tua dan sekolah dapat diperoleh tahapan perkembangan anak berserta permasalahan yang dihadapinya dalam mengikuti pendidikan. Pentingnya komunikasi ini karena anak mempunyai keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungannya sehingga ia masih memerlukan du-kungan orang dewasa untuk berinteraksi dengan lingkungan di sekelilingnya. Orang dewasa dalam pengertian ini adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh langsung pada anak yaitu keluarga. Untuk itu pendidikan keluarga sama pentingnya dengan pendidikan anak karena anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari system keluarga. Dalam suatu keluarga berlaku nilai-nilai yang dianut sehingga nilai tersebut juga merupakan nilai-nilai dan budaya yang berlaku dalam keluarga sekaligus berlaku untuk anak. Seringkali kegagalan suatu pendidikan di sekolah disebabkan oleh kesalahan dalam memahami kebutuhan masyarakat. Permasalahan suatu pemBuletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

baruan tidak hanya permasalahan tentang ada atau tidaknya suatu pembaruan yang akan dilaksanakan. Lebih dari itu apakah pembaruan tersebut diperlukan atau bagaimana persepsi orang tua yang dikenai pembaruan yang akan dilaksanakan baik dari segi kegunaan maupun kesem-patan yang dimiliki masyarakat. Sehubungan dengan pentingnya keluarga dalam pendidikan ini, Feeney (2006:05) mengemukakan bahwa anak tidak dapat dipisahkan dari konteks keluarganya, sehingga berhubungan dan bekerja sama dengan orang tua atau anggota keluarga anak merupakan bagian penting dalam perannya pendidik PAUD. Untuk itu bagi anak yang mempunyai kesempatan mengikuti pendidikan AUD formal dan nonformal, orang tua berkewajiban untuk memonitor perkembangan anaknya melalui komunikasi antara orang tua dan sekolah. Bagi anak antara situasi sekolah dan situasi di rumah merupakan transisi pertama dari rumah ke dunia yang lebih luas. Untuk itu pendidik memegang peran penting dalam membantu keluarga dan anak agar menjadi bagian dari sekolah dalam kurun waktu tertentu selama di sekolah. Waktu yang yang cukup singkat atau terbatas di sekolah, brtujuan untuk pemicu atau pendorong anak hanya sebagai pemicu untuk mendorong anak agar berkembang dengan baik. Sementara itu waktu anak yang sebagian besar berada di keluarga berimplikasi pada besarnya pengaruh orang tua dan keluarga dalam mengembangkan nilai-nilai dalam ke-hidupan anak. Sehubungan dengan itu Powel dalam Essa (2003:60) mengemukakan bahwa keluarga juga merupakan inti dari PAUD karena itu staf PAUD perlu 21

FOKUS
berbagi tanggungjawab dengan keluarga bagi sosialisasi anak. Sosialisasi ini perlu agar anak merasakan adanya keberlanjutan antara pengalaman di sekolah dengan pengalaman di rumah. Dan hal ini dapat terjadi apabila ada kerjasama yang baik antara keluarga dan sekolah dalam membuat program PAUD. Transisi merupakan permasalahan penting dalam pendidikan anak. Suasana lingkungan fisik maupun non fisik sekolah dan di rumah pada saat transisi sangat mempengaruhi perkembangan anak dalam berinteraksi. Dalam kaitan transisi ini Gestwicki dalam Gartrell (2003:72) mengemukakan bahwa kecemassan anak yang baru masuk sekolah akan berkurang apabila kesenjangan antara situasi dan pengalaman di rumah tidak terlalu lebar dengan situasi dan pengalaman di rumah. Anak akan merasa nyaman apabila kesamaan suasana hati antara guru dan orang tuanya di rumah. Semua itu hanya mungkin diperoleh oleh anak apabila antara guru dan orang tua saling pengertian dan saling menghargai satu sama lain dalam hubungannya dengan mendidik anak. Untuk itu tugas utama guru dan orang tua adalah membagun rasa percaya anak guna membangun rasa saling menghargai antara guru, orang tua dan anak. Dengan kata lain pendidikan tidak hanya merupakan hasil dari pendidikan di sekolah, tetapi bagaimana terjadinya sinkronisasi pendidikan di sekolah dengan pendidikan yang terjadi di rumah. Dalam kaitan pendidikan di rumah dan di sekolah tersebut Froebel dalam Brewer (2007:41) mengatakan bahwa dasar pembelajaran anak adalah bagaimana menjembatani pem-belajaran di rumah dan di sekolah. Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009 Selanjutnya pengajaran dan pengalaman belajar bagi anak merupakan peroses pemaknaan, dimana anak mengembangkan rasa memiliki, rasa kebanggaan, dan pengetahuan. Pembelajaran bukan hanya sesuatu yang dilakukan anak di sekolah tetapi pilihan-pilihan yang terjadi sepanjang hayat (Burchfiled, 1999:157). Artinya keluarga merupakan pemberi pengaruh yang paling banyak dalam kehidupan anak seperti penanaman kejujuran, penghargaan, dan tanggungjawab. Orang tua yang berfungsi sebagai model pertama dan utama bagi anak dalam member contoh pelaksanaan nilainilai di atas (NEL,2003:32). Pemerolehan nilai-nilai perlu dilakukan agar anak kelak menjadi warga negara yang baik dan warga masyarakat yang bernilai di lingkungannya. Orang tua dapat membantu anak dengan cara menggunakan waktu bersama anak yang membangun dengan bercerita tentang kehidupan sehari-hari, segala sesuatu yang ada di lingkungan mereka, sejarah keluarga, kejadian-kejadian yang terjadi saat itu, hobi atau topik-topik lainnya yang hangat untuk dibicarakan.
Tingkat komunikasi antara orang tua murid dan sekolah sangat tekait dengan profesionalisme pendidik anak usia dini. Berkaitan dengan profesi-onalisme itu Szaton (1997: 231) mengemukakan bahwa staf yang bekerja dengan anak harus mencintai anak dan senang berada dekat anak. Dalam mengajar anak usia dini memerlukan kemampuan profesional baik secara fisik, emosional, dan intelektual. Hal ini diperlukan karena staf sebagai orang dewasa merupakan model yang mempunyai tanggung jawab sebagai contoh yang sekaligus mengembangkan anak dalam berpikir kreatif, pemecahan masalah, pendidikan sepanjang hayat, menghargai perbedaan, dan kerja kelompok.

22

FOKUS
Profesionalisme tidak hanya terkait dengan pendidik PAUD tetapi lebih dari itu bagaimana pendidik anak tidak terlepas dari lingkungan dan perilaku masyarakat yang menaunginya. Lingkungan dan perilaku masyarakat akan mewarnai perkembangan sikap dan perilaku anak, karena pendidikan anak secara kontekstual merupakan refleksi dari suasana dimana anak tumbuh dan berkembang. Refleksi pertumbuhan dan perkembangan ini ditentukan oleh konsepsi orang tua dan masyarakat terhadap anak. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Yussen & Santrock (1980:373) bahwa sosialisasi anak dipengaruhi oleh orang-orang disekeliling mereka yang disebut agen sosial, yaitu setiap orang yang berhubungan dengan anak misal-nya ayah dan ibunya, pengasuh, teman sebaya, guru dan keluarga lainnya . Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa antara orang tua, pendididik PAUD dan masyarakat harus saling berkomunikasi dalam memberi-kan pendidikan yang terbaik bagi anak bukan yang terbaik baik bagi sekolah, bagi masyarakat apalagi hanya terbaik bagi orang tua, khususnya yang tidak memehami pertumbuhan dan per-kembangan anak.

didikan keluarga berjalan selaras, serasi dan seimbang dengan kebutuhan masyarakat. 3. Strukturisasi pendidikan keluarga perlu dilakukan agar aktivitas pendidikan keluarga bertujuan dan terarah dan selalu berinovasi sesuai tuntutan zaman. 4. Komunikasi orang tua dan sekolah memegang perang penting dalam menanamkan konsistensi nilai yang diperoleh di sekolah dengan nilai-nilai yang diamalkan dalam keluarga sangat berguna dalam pembentukan karakter anak. Berdasarkan uraian dan kesim-pulan yang dikemukakan sebelumnya maka dapat disarankan hal sebagai berikut: 1. Agar penanaman nilai-nilai agama dalam keluarga perlu diperkuat sehingga nilai-nilai kehidupan keluarga sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. 2. Pemerintah diharapkan agar lebih memberdayakan pendidikan ke-luarga dengan mempertimbangkan karakteristik masyarakat baik nilai-nilai agama, ekonomi, sosial budaya, geografis, maupun politik. 3. Strukturisasi pendidikan keluarga agar dilakukan melalui aktivitas pendidikan keluarga bertujuan dan terarah dan selalu berinovasi sesuai tuntutan zaman. 4. Komunikasi keluarga dan sekolah agar ditingkatkan baik melalui pertemuan resmi maupun pertemuan informal antara pihak sekolah dengan orang tua murid.

A. Kesimpulan dan Saran Dari uraian yang dikemukan dalam latar belakang, permasalahan dan pembahasan yang dikemukakan sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan anak usia tidak mungkin dapat dikelola sepenuhnya oleh pemerintah oleh sebab itu perlu melibatkan keluarga dengan cara sebagai berikut: 1. Keluarga dari sudut pandang agama khususnya Islam berimpli-kasi pada pendidikan anak sebagai sebuah tanggungjawab dunia dan akhirat. 2. Pemberdayaan keluarga harus memperhatikan nilai-nilai agama, ekonomi, sosial budaya, letak geografis, dan politik agar pembaruan dalam penBuletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

23

FOKUS
B. Daftar Bacaan
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2001. Bentzen, Warren R. dan Martha B. Frost, Seeing Child Care: A Guide for Assessing the Effectiveness of Child Care Programs Asutralia: Thomson Delmar Learning, 2003 Bredekamp, Sue dan Teresa Rosegrant, Reaching Potentials: Introduction Reaching Potentials: Appropriate Curriculum and Assessment for Young Children Volume 1 Editor Sue Bredekamp and Teresa Rosegrant, Washington: NAEYC, 1999. Brewer, Jo Ann, Introduction to Early Childhood Education: Preschoolthrough Primary Grades Sixth Edition, New York: Pearson, 2007. Britton, Leslie, Montessori Play and Learn: A Parents Guide to Purposeful Play from Two to Six, London:Vermilion, 1992.

Gartrell, Dan A Guidance Approach for the Encouraging Classroom, Third Edition Canada: Thomson Delmar Learning, 2003.
Gestwicki, Carol, Developmentally Appropriate Practice: Curriculum and Development in Early Education Third Edition Australia: Thomson Delmar Learning, 2007. Goode, Caron B., Optimizing Your Childs Talent Terjemahan Sherly Khailani, Jakarta: PT Buanan Ilmu Populer, 2001.

Goodlad, John I., A Typology of Educational Alternatives Alternatives in Education Editor John I Goodlad, California: JosseyBass, Inc., Publisher and Jossey-Bass Limited, 1973.
Karen K. Lind Dialogue on Early Childhood Science, Mathematics, and Technology Education First Experiences in Science, Mathematics, and Technology Science in Early Childhood: Developing and Acquiring Fundamental Concepts and Skills www.project2061.org/publications/earlychild/o nline/experience/lind

Bulletin PADU Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia Edisi Khusus 2005 Burchfield, David W., dan Bonnie C. Burchfield, Two Primary Teachers Learn and Discover Through a Process of Change Reaching Potentials: Appropriate Curriculum and Assessment for Young Children Volume 1 Editor Sue Bredekamp and Teresa Rosegrant, Washington: NAEYC, 1999.
Departemen Pendidikan Nasional. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003.

Liliweri, Alo, Komunikasi Antarpribadi Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1997.
Preschool Unit Ministery of Education Singapore, Frame Work Book 1 Singapore: Nurturing Early Learners, 2003.

Santoso, Soegeng Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta : Citra Pendidikan, 2004
Szaton, Eleanor Stokes, Creating Child-Centered Programs for Infants and toddlers Washingto: Childrens Resources International, Inc., 1997. Yunus, Firdaus M., Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007.

Direktorat PAUD, Grand Disign Program Pendidikan Anak Usia Dini Non-Formal Tahun 2007-2015, Jakarta: Direktorat PAUD, 2007.
Dodge, Dianne Trister et.all., The Creative Curriculum for Preshool Fourth Edition Washington: Teaching Strategies Inc., 2002.

Essa, Eva L. Introduction to Early Chilhood Education: Annotated Students Edition Nevada: Thomson Delmar Learning, 2003 Feeney, Stephanie etc., Who Am I in the Lives of Children Seventh Edition New Jersey: Pearson Merill Prentice Hall, 2006

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

24

REGULASI
Prof.dr.H. Fasli Jalal, Ph.D, Sp.GK 1

Rapat Koordinasi Nasional HIMPAUDI di Bogor, 2009

Berangkat dari pengertian bahwa rentang umur anak usia dini dimulai dari umur 0 tahun (lahir) sampai dengan 8 tahun, yang berarti sampai dengan kelas-kelas awal Sekolah Dasar, banyak ketenagaan yang termasuk tenaga kependidikan pada pendidikan anak usia dini. Jika pendidikan anak dini usia dimulai dari usia 0 tahun, tentu saja ibu (orangtua) dari bayi itu, termasuk ke dalam tenaga kependidikan anak usia dini. Selanjutnya, di luar keluarga terdapat lembaga-lembaga pengasuhan anak seperti Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain sampai dengan Taman Kanak-kanak, sehingga terdapat pula jenis-jenis tenaga kependidikan lainnya seperti pendidik/guru (TK, Kelompok Bermain, Penitipan Anak), pengasuh, orang tua/keluarga/ibu rumah tangga, pengelola lembaga pendidikan / kepala sekolah, supervisor, dan konselor di bidang pendidikan anak usia dini.

Tenaga kependidikan berbagai satuan pendidikan anak usia dini harus senantiasa dilindungi serta terus ditingkatkan statusnya agar menjadi profesi yang cukup bergengsi dan setara kedudukannya dengan profesi lain memiliki kedudukan sejajar. Profesi guru sebagai tenaga pendidik saat ini memiliki kedudukan yang cukup memprihatinkan. Disamping dari sisi gaji/penghargaan profesi relatif rendah, kedudukan guru yang dikenal memiliki julukan pahlawan tanpa tanda jasa pun tidak seharum julukannya. Akibatnya profesi guru banyak dihindari orang dan sangat jarang anak muda yang memiliki cita-cita menjadi guru. Keadaan ini harus ubah mengingat peran guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sangat penting dan menjadi pelaku utama. Apa jadinya bangsa ini tanpa guru yang baik, guru yang cerdas, guru yang berdedikasi dan penuh pengabdian, dan guru yang merupakan figur panutan yang harus digugu dan ditiru oleh anak didik dan masyarakat sekitarnya. Peningkatan kemampuan profesi dan akademik bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, termasuk penyelenggara program pendidikan dini, dapat dilakukan melalui berbagai pendidikan maupun berbagai program pelatihan. Pemerintah, secara sendiri maupun bekerjasama dengan masyarakat dapat menyelenggarakan pelatihan, baik dengan metode konvensional (tatap muka) maupun sistem pendidikan/pelatihan jarak jauh. Pemerintah juga dapat membuka peluang kepada masyarakat maupun

Foto: Untung S
1

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

25

REGULASI
perkumpulan profesi untuk dapat menyelenggarakan sendiri jenis pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan. Dalam hal ini pemerintah tinggal melakukan pengujian dan sertifikasi, sebagai kontrol kualitas, disamping juga menyediakan kurikulum pelatihan berikut modul/silabusnya. Disamping itu, tenaga pendidik perlu memiliki organisasi profesi yang kuat dan mampu melindungi serta memperjuangkan nasib para anggotanya. Hal ini penting mengingat tenaga pendidik sebagai figur yang harus diteladani seringkali merasa tabu untuk berperilaku yang sedikit keluar dari aturan normatif walaupun hal itu demi memperjuangkan kepentingannya. Sebagai pendidik seringkali memang harus bersandiwara. Harus mampu tersenyum dikala sedih, harus tetap nampak segar walaupun menahan lapar, dan harus selalu nampak gagah walaupun dengan pakaian seadanya. Tantangan Kenyataan lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya tenaga kependidikan yang ada memiliki latar belakang pendidikan yang rendah (SLTA ke bawah) dan tidak memiliki pengalaman sebagai tenaga pendidik. Hal ini mengakibatkan mereka tidak profesional dalam mengelola lembaga pendidikan atau mendidik anak. Mereka juga tidak mengetahui bagaimana melaksanakan proses pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak. Kenyataan lain yang terjadi ialah rekruitment calon tenaga pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pada umumnya didasarkan atas kebutuhan sesaat atau mendesak, tanpa memperhatikan kemampuan, keterampilan, keahlian dan latar belakang pendidikan mereka. Padahal setiap tenaga kependidikan seperti pengelola lembaga seharusnya memiliki pengetahuan tentang tumbuh kembang anak, mempunyai kemampuan memimpin, menguasai aspek-aspek manajemen serta memiliki pengetahuan keterampilan yang lebih agar dapat mengelola lembaga dengan baik. Sedang seorang pamong belajar/Tutor seharusnya memiliki kemampuan dan keterampilan dalam mendididik anak. Sedang tenaga pengasuh harus memiliki keterampilan dalam bidang perawatan dan pengasuhan anak. Akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya hal tersebut antara lain: (1) sulit memperoleh tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan, terutama di desa-desa yang jauh dari pusat kota; (2) hingga saat ini belum ada suatu standar yang baku untuk menetapkan persyaratan/ kualifikasi bagi calon tenaga kependidikan di Kelompok Bermain dan Penitipan Anak; (3) program pelatihan bagi tenaga kependidikan masih sangat terbatas/jarang, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun NGO. Padahal program pelatihan sangat penting untuk membekali mereka sebelum terjun menjadi tenaga kependidikan di lembaga Kelompok Bermain dan Penitipan Anak; (4) masih jarangnya lembaga perguruan tinggi yang membuka program pendidikan prasekolah, khususnya program Kelompok Bermain dan Penitipan Anak, baik program D1, D2,D3 dan S1. Sedangkan lembaga-lembaga kursus yang ada masih sangat jarang yang melaksanakan kursus untuk tenaga kependidikan pada pendidikan prasekolah, dan (5) belum adanya pedoman yang baku yang dapat dijadikan pegangan bagi tenaga kependidikan dalam melaksanakan program pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan prasekolah. Konsep Kompetensi William M. Lindsay menyatakan bahwa kompetensi adalah kemanjuran seseorang atau kepercayaan kepada diri seseorang akan dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sukses. Di pihak lain, Cohen, Fink, Adon, dan Willits mendefinisikannya sebagai competencies are the areas of knowledge, ability and skill that increase an individuals effectiveness with the world (bidang pengetahuan, kemampuan dan keterampilan

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

26

REGULASI
yang meningkatkan efektivitas seseorang dalam menghadapi dunia pekerjaannya). Definisi lainnya dikemukakan Collin Morgan dan Stephen Murgatroyed, competence, eg. possession of the skills and knowledge to perform the service, (kompetensi, keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan tugas dan pekerjaannya). George Boak mendefinisikan competence are relevant qualities and skills that lead to effective job performance. They related to observable behaviors, so they can be tested and confirmed (kompetensi berkaitan dengan mutu dan keterampilan perorangan untuk melakukan pekerjaan secara berhasil). Berdasarkan definisi-definisi di atas, kompetensi diartikan sebagai kemampuan berupa pengetahuan, penguasaan ilmu, keterampilan yang dimiliki seseorang untuk melakukan tugas yang diembannya. Pengertian ini bersifat umum, terdapat kompetensi lain dengan definisi lain pula, diantaranya kompetensi profesional dan kompetensi akademi, serta kompetensi baku. Kompetensi Tenaga Kependidikan sering dibedakan antara kompetensi akademik dan kompetensi profesional. Kompetensi akademi merupakan kemampuan dalam menguasai substansi keilmuan, sedangkan kompetensi profesi merupakan kemampuan dalam menguasai keahlian tertentu. Seorang profesional memiliki kemampuan khusus yang tidak dimiliki oleh orang dalam jabatan dan pekerjaan lain. Kompetensi profesional menunjukkan bahwa suatu jabatan tertentu memiliki kemampuan-kemampuan khusus yang dipersyaratkan bagi jabatan itu. Pembedaan ini dapat diberlakukan pada pendidikan menengah dan tinggi, dimana tenaga kependidikan diarahkan pada penguasaan substansi keilmuan dan mengajarkan suatu bidang studi tertentu. Untuk pendidikan anak dini usia dan pendidikan dasar sebaiknya tidak dituntut untuk menguasai kompetensi akademik untuk menghindari diajarkannya materi pelajaran pada anak usia dini. Kompetensi Baku Kompetensi baku merupakan perkembangan lebih lanjut dari standarisasi kompetensi dalam menjawab tantangan perkembangan pendidikan yang semakin pesat. Pembakuan ini dimaksudkan untuk memperketat penguasaan keahlian tenaga kependidikan agar semakin profesional. Dalam rangka pembakuan ini dilakukan pemetaan melalui 4 kategorisasi yang meliputi (1) nama jabatan, (2) prasyarat yang harus ditempuh, (3) persyaratan waktu pencapaian, dan (4) area kompetensi/materi pokok. Pembakuan ini terlihat memang diarahkan pada strategi peningkatan kemampuan profesionalisme tenaga kependidikan. Sebaran Kompetensi Dengan mencoba mengidentifikasi berbagai macam kemungkinan kompetensi, menjadi semacam sebaran kompetensi. Sebaran kompetensi tenaga kependidikan anak usia dini dapat dikelompokkan dalam 11 kategori, yaitu: 1. Perkembangan Anak (Psikologi Perkembangan, Neurologi) 2. Assesmen dan Pendekatan Pembelajaran (Developmentally Appropriate Practice, Multiple Intelegence) 3. Kurikulum dan Metodologi Pembelajaran 4. Kegiatan Anak/Program Pembelajaran 5. Lingkungan dan Media Pembelajaran 6. Pengelolaan Pembelajaran (Perencanaan, Pelaksanaan, Konseling, dan Evaluasi Pembelajaran) 7. Pengelolaan Lembaga Pendidikan 8. Pengembangan Anak Terpadu dan Koordinasi Pelayanan 9. Peranserta Keluarga dan Masyarakat 10. Keamanan, Nutrisi dan Kesehatan Anak 11. Pengembangan Diri (Komunikasi, Kerjasama)

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

27

REGULASI
Sebaran kompetensi dan indikatornya sebagaimana tersebut di atas tidak diperuntukkan bagi satu jenis tenaga kependidikan saja, melainkan ditujukan untuk seluruh tenaga kependidikan yang terlibat dalam proses pendidikan anak dini usia. Jenisjenis tenaga kependidikan yang dimungkinkan memiliki sebagian dari sebaran kompetensi di atas antara lain pendidik/guru (TK, Kelompok Bermain, Penitipan Anak), pengasuh, orang tua/keluarga/ibu rumah tangga, pengelola lembaga pendidikan/kepala sekolah, supervisor, dan konselor di bidang pendidikan anak usia dini. Dengan membandingkan antara sebaran kompetensi dan jenis-jenis tenaga kependidikan yang teridentifikasi, pada indikator kompetensi yang sama sekali tidak masuk dalam salah satu jenis tenaga kependidikan, indikator dimaksud bisa didrop. Sebaliknya kita bisa memasukkan indikator yang diperlukan untuk salah satu jenis tenaga kependidikan yang belum teridentifikasi. Standarisasi Kompetensi Sebaran kompetensi yang telah dicoba untuk dirumuskan merupakan bahan untuk menstandarisasikan kompetensi tenaga kependidikan anak dini usia oleh sebuah Tim Pengembang Kompetensi yang melibatkan berbagai macam keahlian dan kalangan praktisi, dilengkapi dengan para administrator. Beberapa profesional yang bisa terlibat dalam Tim Pengembang Kompetensi ini antara lain ahli pendidikan anak usia dini, psikolog, administrator, dan sebagainya. Langkahlangkah yang dapat dilakukan Tim Pengembang Kompetensi: (1) menyusun landasan dan prinsip-prinsip penyusunan kompetensi; (2) menyusun Kompetensi Umum yang perlu dimiliki oleh seluruh jenis tenaga kependidikan anak usia dini; dan (3) sesuai minat, kemampuan dan pengalamannya membentuk komite atau kelompok-kelompok kecil untuk menyusun Kompetensi Khusus bagi setiap jenis tenaga kependidikan dalam pendidikan anak usia dini Dalam penyusunan kompetensi atau lebih jauh standarisasi kompetensi diperlukan usaha dan pengembangan oleh berbagai keahlian, dengan menyatukan persepsi dan konsep tentang kompetensi itu sendiri. Berbekal ini barulah dapat dihasilkan landasan dan prinsipprinsip penyusunan/ standarisasi kompetensi. Atas dasar kesepakatan-kesepakatan dalam Tim Pengembang Kompetensi ini disusun kompetensi berbagai jenis jabatan tenaga kependidikan untuk pendidikan anak usia dini. Sertifikasi Profesi Kepentingan jangka panjang mengenai keberadaan tenaga kependidikan dalam menghadapi era perdagangan bebas (AFTA), kemampuan saing tenaga kependidikan pada pendidikan anak usia dini perlu mendapatkan perhatian yang serius. Sertifikasi profesi tenaga kependidikan tingkat nasional maupun internasional akan memberikan perlindungan bagi tenaga kependidikan dalam negeri dari serbuan masuknya tenaga kependidikan dari luar negeri. Pada saat kesepakatan AFTA telah dimulai, pada saat itu pemerintah tidak dapat melindungi tenaga profesional dalam negeri yang tidak memenuhi standar nasional maupun internasional. Hal-hal yang perlu disiapkan dalam rangka sertifikasi profesi tenaga kependidikan adalah: (1) Penyusunan Standar Mutu Tenaga Kependidikan per jenis tenaga kependidikan; (2) Memperkuat/ memberdayakan asosiasi profesi tenaga kependidikan; (3) Pelaksaan Uji Kompetensi berdasarkan Standar Mutu oleh asosiasi profesi dan penerbitan sertifikat profesi/ keahlian. Peningkatan Profesionalisme Peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan pada pendidikan anak usia dini, disamping berdampak pada peningkatan kemampuan tenaga kependidikan itu sendiri, berdampak secara luas pada peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Oleh karena itu, peningkatan profesi-

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

28

REGULASI
onalisme tenaga kependidikan harus terusmenerus diupayakan untuk dilaksanakan secara berkesinambungan, baik melalui pelatihan-pelatihan yang terstruktur, mulai dari pelatihan pra-job sampai dengan in-service training, sampai dengan kegiatan-kegiatan yang tidak terstruktur, seperti kegiatan seminar, lokakarya, workshop dan studi banding. Dalam kerangka peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan, asosiasi profesi tenaga kependidikan perlu semakin diberdayakan, dengan memperkuat asosiasi profesi yang telah ada maupun memfasilitasi terbentuknya asosiasi profesi tenaga kependidikan yang belum ada. Pemberdayaan asosiasi profesi lebih diarahkan pada upaya independensi kelembagaan untuk mendapatkan pengakuan internasional.

Wassalamu Alaikum Wr Wb. Penulis

Kegiatan Orientasi Teknis Pengelolaan PAUD Nonformal, Provinsi Kalimantan Selatan

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

Foto: Dokumentasi Dit. PAUD

29

REGULASI
Prof, Dr. Endang Ekowati1

Kegiatan pengasuhan dan pendidikan yang dapat memberikan rangsangan perkembangan motorik kasar dan halusbagi anak usia dini

I.

PENDAHULUAN

Standar Nasional PAUD memuat Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan yang berisi kaidah tumbuh kembang anak, bahwa anak tumbuh dan berkembang melalui tahapan-tahapan perkembangan yang berlangsung secara berurutan dan berkesinambungan. Tingkat perkembangan yang dicapai anak usia dini menjadi dasar pencapaian per-kembangan pada tahap berikutnya. Standar Nasional PAUD ini mencakup tingkat perkembangan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Setiap anak diharapkan mencapai tingkat perkembangan yang optimal sehingga diperlukan cara pengasuhan dan pendidikan yang dapat memberikan rangsangan perkembangan motorik kasar dan halus, kognitif, bahasa, sosial-emosional, pemahaman moral dan agama. Seluruh aspek tersebut berkembang secara integratif, saling berkaitan dan tidak terpisahkan. Tingkat perkem-bangan yang dicapai bukanlah merupakan suatu tingkat pencapaian kecakapan akademik sebagaimana dipersyaratkan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL), tetapi lebih merupakan aktualisasi potensi semua aspek perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada setiap tahap perkembangannya. Tingkat pencapaian perkembangan secara integratif tersusun dalam urutan tahapan usia, dan akan meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif pada tahap berikutnya. Dengan demikian, Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak merupakan Standar

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Selama ini masyarakat telah menunjuk-kan kepedulian terhadap masalah pengasuhan dan pendidikan anak usia dini dengan berbagai jenis layanan sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada. Untuk memberi-kan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan anak, maka disusunlah Standar Nasional PAUD sebagai acuan dasar.
1

Dosen Fakultas Psikologi, UGM, DI Yogyakarta

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

Foto: Untung S

30

REGULASI
Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) dalam PAUD. Peran pendidik dan tenaga kependidikan sangat menunjang tingkat pencapaian perkembangan di samping faktorfaktor penunjang lainnya. Oleh karena itu, diperlukan pendidik dan tenaga kependidikan PAUD yang memiliki kompetensi memadai untuk melaksanakan pengasuhan dan pendidikan anak usia dini. Kualifikasi akademik dan kompetensi guru telah ditetapkan secara garis besar pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, dan dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas RI) Nomor 16 Tahun 2007. Merujuk pada peraturan tersebut di atas, jumlah pendidik PAUD yang memenuhi kriteria sangat sedikit, sedangkan jumlah lulusan guru PAUD dari LPTK tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan satuan PAUD yang ada. Mengingat standar guru PAUD telah ditetapkan, maka diperlukan transisi untuk memenuhi tenaga guru sesuai kriteria Permendiknas tersebut, dengan menambahkan pendidik PAUD yang disebut tutor PAUD dan pengasuh PAUD. Selanjutnya, Standar Nasional PAUD ini memuat Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUD. Dalam standar dijabarkan jenis tenaga dan kualifikasi tenaga pendidik yang disebut tutor PAUD dan pengasuh PAUD, dan kualifikasi tenaga kependidikan PAUD yang disebut pengelola. Standar Nasional PAUD juga memuat Standar Program PAUD yang meliputi perencanaan, pelaksanaan/ proses, dan penilaian yang holistik/menyeluruh, meliputi aspek kesehatan, gizi, pengasuhan, pendidikan, dan perlindungan, dilaksanakan secara terintegrasi/ terpadu sesuai dengan kebutuhan anak. Keterpaduan tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai moral, agama, budaya, keluarga, dan masyarakat, yang dalam penerapannya menjadi tanggung-jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Perencanaan dalam standar program meliputi kegiatan me-rencanakan tujuan, isi, jumlah anak didik, pendidik, tenaga kependidikan, metode pelaksanaan, penilaian, dan Alat Permainan Edukatif (APE). Pelaksanaan/proses menjabarkan tentang penerapan metode, pengelolaan kegiatan, dan keterlibatan orang tua dalam proses kegiatan. Proses kegiatan pengasuhan dan pen-didikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, variatif, kreatif, menyenangkan, menyehatkan, dan memotivasi anak untuk ber-partisipasi aktif. Penilaian memuat metode, teknik pelaksanaan dan pemanfaatan hasil penilaian. Penilaian dilaksanakan melalui pengamatan dan pencatatan terhadap perkembangan anak selama dalam pengasuhan dan pendidikan di tempat pelayanan PAUD secara berkesinambungan. Untuk mendukung ter-selenggaranya layanan PAUD yang berkualitas, dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan kemampuan Satuan Lembaga PAUD yang bersangkutan. Dalam Standar Nasional PAUD dijabarkan Standar Layanan yang mencakup komponen sarana, prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. Sarana berupa segala fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang proses pengasuhan dan pendidikan melalui bermain yang menyenangkan. Komponen sarana meliputi perabotan, peralatan pendidikan, media pendidikan, kesehatan serta bahan-bahan habis pakai. Prasarana merupakan tempat pelaksanaan pengasuhan dan pendidikan yang dapat berlangsung di dalam ataupun di luar ruangan. Komponen pra-sarana meliputi bangunan dan halaman. Pengelolaan mencakup kegiatan manajemen Satuan Lembaga PAUD yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pengasuhan dan pendidikan. Pembiayaan meliputi pengelolaan sumber dana dan pemanfaatannya untuk

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

31

REGULASI
menjamin kelangsungan dan konsistensi penyelenggaraan pengasuhan dan pendidikan, yang meliputi biaya investasi, personal, dan operasi-onal. Komponen sarana prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan pengasuhan dan pendidikan yang berkualitas, aman, nyaman, sehat, dan menyenangkan, disesuaikan dengan kebutuhan anak ber-dasarkan kelompok usia. Pertumbuhan dan perkem-bangan anak membutuhkan partisipasi, kerjasama dan keterlibatan orang tua, keluarga, masyarakat dan instansi/lembaga yang terkait dengan tumbuh kembang anak seperti Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Agama, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Lembaga Swadaya Masya-rakat (LSM). Semuanya meru-pakan bagian yang tidak terpisahkan dari sumbangan pemikiran mengenai pentingnya Standar Nasional PAUD. Standar Nasional PAUD disusun berdasarkan kelompok usia anak yaitu 0 - < 2 tahun, 2 - < 4 tahun. dan 4 - 6 tahun; terdiri atas : 1. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan 2. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan 3. Standar Program 4. Standar Layanan. Setiap standar disusun ke dalam kom-ponen, elemen, dan indikator. Komponen adalah subbagian utama masing-masing standar nasional PAUD. Elemen merupakan sub-bagian dari komponen. Indikator me-nunjukkan hasil yang dicapai yang dapat diamati dan dinilai dalam layanan PAUD. II. STANDAR TINGKAT PENCAPAIAN PERKEMBANGAN

Tingkat pencapaian per-kembangan menjabarkan tentang pertumbuhan dan perkembangan yang berhasil dicapai anak pada suatu tahap tertentu. Pertumbuhan dan perkembangan yang dicapai merupakan integrasi aspek fisik (motorik kasar dan halus), kognitif, bahasa, sosial-emosional, pemahaman moral dan agama, kondisi kesehatan serta gizi anak. Perkembangan anak ber-langsung secara kontinum, tingkat perkembangan yang dicapai pada suatu tahap diharapkan meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif pada tahap selanjutnya. Perkembangan anak berbeda satu sama lain karena adanya faktor internal dan eksternal sehingga setiap anak memiliki karakter yang unik. Meskipun demikian, perkembangannya tetap berdasarkan atas pola perkembangan umum. Untuk mencapai tingkat perkembangan yang optimal dibutuhkan keterlibatan orang tua dan orang dewasa untuk memberikan rangsangan atau stimulasi. Rangsangan yang bersifat holistik dan terpadu meliputi pendidikan, kesehatan, dan gizi yang diberikan secara konsisten dan berulangulang.

Stimulasi holistik dan terpadu melalui kegiatan kebersihan kesehatan mencuci tangan

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

32

Foto: Untung S

REGULASI
Tingkat pencapaian perkembangan disusun berdasarkan kelompok usia anak: 0 < 2 tahun, 2 < 4 tahun dan 4 6 tahun. Pengelompokan usia 0 < 1 tahun dilakukan dalam rentang tiga bulanan karena pada tahap usia ini, perkembangan anak berlangsung sangat pesat. Pengelompokan usia 1 < 2 tahun dilakukan dalam rentang enam bulanan karena pada tahap usia ini, perkembangan anak berlangsung tidak sepesat usia sebelumnya. Untuk kelompok usia selanjutnya, pengelompokkan dilakukan dalam rentang waktu pertahun. A. Pengelompokkan Usia Anak 1. Tahap usia 0 - < 2 tahun, terdiri dari kelompok usia: a. < 3 bulan b. 3 - < 6 bulan c. 6 - < 9 bulan d. 9 - < 12 bulan e. 12 - < 18 bulan f. 18 - < 24 bulan 2. Tahap usia 2 < 4 tahun, terdiri dari kelompok usia: a. 2 < 3 tahun b. 3 < 4 tahun 3. Tahap usia 4 6 tahun, terdiri dari kelompok usia: a. 4 < 5 tahun b. 5 6 tahun
Kelompok usia anak 2 s.d. < 4 tahun

Kelompok usia anak 0 s.d. < 2 tahun

Foto: Untung S

Kelompok usia anak 4 s.d. < 6 tahun Pengelompokan kegiatan disesuaikan dengan tahap perkembangan usia anak

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

33

REGULASI
B. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

34

REGULASI

Indikator anak akan menangis apabila tidak mendapatkan yang diinginkan

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

35

REGULASI

Menstimulasi anak menumpahkan benda dari wadah dan memasukkannya kembali

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

36

REGULASI

Seorang anak menunjukkan respon emosi melalui memperhatikan atau mengamati teman-temannya yang beraktivitas

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

37

REGULASI

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

38

REGULASI

Pada usia 2 s.d. 4 tahun, anak mulai menunjukkan sikap toleran, berbagi, membantu dan bekerjasama

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

39

REGULASI

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

40

REGULASI

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

41

REGULASI
III. STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN A. Kualifikasi dan kompetensi Pendidik PAUD 1. Kualifikasi dan kompetensi guru PAUD Kualifikasi dan kompetensi guru PAUD didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007. 2. Kualifikasi Tutor PAUD Tutor PAUD adalah tenaga profesional yang memiliki tugas membimbing, memotivasi, menstimulasi, memfasilitasi kegiatan pengasuhan dan pendidikan anak usia dini dengan kualifikasi: Pendidikan: minimal lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dan mengikuti pelatihan/pendidikan/ kursus PAUD Usia: minimal 18 tahun

Pendidik anak usia dini adalah tenaga profesional yang memiliki kompetensi untuk menjalankan tugas dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai program serta membimbing, memotivasi, memfasilitasi kegiatan pengasuhan dan pendidikan anak didik. Pendidik PAUD bertugas di berbagai jenis layanan baik formal maupun non formal seperti KB, TK/RA, TPA dan satuan PAUD sejenis lainnya. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pengasuhan dan pendidikan anak usia dini. Sebagaimana tersebut di atas, pendidik PAUD terdiri atas Guru PAUD, Tutor PAUD, dan Pengasuh PAUD.

Tenaga Pendidik PAUD dengan kualifikasi usia minimal 18 tahun

Tenaga Pendidik PAUD berkompetensi dalam kegiatan pendidikan dan pengasuhan anak usia dini

3. Kualifikasi Pengasuh PAUD Pengasuh PAUD adalah tenaga pendidikan yang bertanggungjawab membantu tugas-tugas guru dan tutor PAUD dalam kegiatan pengasuhan dan pendidikan anak usia 0 2 tahun, dengan kualifikasi: Pendidikan: minimal Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat dan mengikuti pelatihan atau kursus PAUD, menekankan pada keperawatan. Usia: minimal 18 tahun.

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

Foto: Untung S

42

REGULASI
4. Kompetensi Tutor PAUD

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

43

REGULASI

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

44

REGULASI

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

45

REGULASI
B. Kualifikasi dan Kompetensi Tenaga Kependidikan PAUD Untuk membantu anak usia dini mencapai perkembangan potensinya, layanan PAUD harus dikelola dengan baik. Setiap satuan PAUD harus memiliki penanggungjawab yang bertugas merencanakan, melaksanakan, mengelola administrasi dan biaya, serta mengawasi pelaksanaan program. Tenaga kependidikan PAUD terdiri dari kepala sekolah, pengelola dan petugas kebersihan. 1. Kualifikasi dan kompetensi kepala sekolah Kualifikasi dan kompetensi kepala sekolah merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2007 tentang Kepala Sekolah/ Madrasah 2. Kualifikasi dan kompetensi pengelola PAUD Pengelola PAUD adalah penanggungjawab dalam satuan PAUD yang belum memenuhi kualifikasi kepala sekolah TK/RA dengan kualifikasi: Pendidikan: minimal Sekolah Menengah Atas atau sederajat dan telah mengikuti pelatihan/ magang/kursus pengelola PAUD. Usia: minimal 21 tahun. 3. Kualifikasi dan kompetensi petugas kebersihan Kualifikasi dan kompetensi tenaga kebersihan merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2007 Adapun kompetensi pengelola adalah sebagai berikut: PAUD

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

46

REGULASI
IV. STANDAR PROGRAM V. STANDAR LAYANAN

Standar program memuat standar tentang kegiatan pengasuhan dan pendidikan di lembaga satuan PAUD. Standar program meliputi perencanaan, pelaksanaan/proses dan penilaian dalam upaya melaksanakan rangsangan/stimulasi sesuai dengan kebutuhan dan usia anak untuk memperoleh tingkat pencapaian perkembangan. Perencanaan program dilakukan oleh guru/tutor PAUD yang mencakup tujuan, isi, dan rencana pengelolaan program, yang disusun dalam Rencana Kegiatan Harian/ Mingguan/Tahunan. Pelaksanaan program berisi tentang proses kegiatan pengasuhan dan pendidikan yang dirancang berdasarkan pengelompokan usia anak, dengan mempertimbangkan karakteristik perkembangan anak dan jenis layanan PAUD yang diberikan. Penilaian merupakan rangkaian kegiatan pengamatan, pencatatan, dan pengolahan data perkembangan anak dengan menggunakan metode dan instrumen yang sesuai. Pelaksanaan standar program mempertimbangkan potensi dan kondisi setempat, sehingga dimungkinkan terjadinya perbedaan kegiatan dan pelaksanaan pengasuhan dan pendidikan di lapangan. Perbedaan dapat terjadi karena adanya: (1) keragaman bentuk layanan PAUD (Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal, Taman Penitipan Anak, dan Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Sejenis (SPS)), yang menerapkan program paruh waktu dan program penuh waktu; (2) perbedaan kelompok usia yang dilayani (antara anak usia 0 - < 2 tahun dengan anak usia 2 - < 4 tahun serta 4 - 6 tahun), maupun (3) perbedaan kondisi lembaga. Kegiatan pengasuhan dan pendidikan memerlukan keterlibatan orangtua/keluarga anak baik secara langsung atau pun tidak langsung dalam berbagai bentuk partisipasi untuk menunjang tingkat pencapaian perkembangan anak.

Standar layanan berisi tentang acuan fasilitas dan aktivitas yang mendukung terlaksananya seluruh kegiatan pengasuhan dan pendidikan anak usia dini sehingga membantu anak mencapai tingkat pencapaian perkembangannya. Standar layanan meliputi sarana dan prasarana, pengelolaan, serta pembiayaan. Sarana adalah perlengkapan untuk proses pengasuhan dan pendidikan yang dapat dipindah-pindah. Prasarana adalah lahan atau ruang yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan pengasuhan dan pendidikan. Sarana dan prasarana lebih mengutamakan ketersediaan peralatan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak. Ukuran ruang atau kelas lebih ditujukan untuk menjamin kesehatan, kenyamanan, dan keamanan anak. Jenis dan bentuk sarana dan prasarana disesuaikan dengan dengan situasi sosial dan budaya berdasar pada prinsip realistik, terjangkau, dan sesuai dengan keadaan lokal. Pengadaan sarana dan prasarana perlu disesuaikan dengan jumlah anak, situasi sosial, budaya, dan jenis layanan PAUD seperti TK/RA, KB, TPA, dan Satuan PAUD sejenis. Standar Layanan diaplikasikan secara fleksibel untuk mendukung kesehatan, keselamatan dan kemajuan perkembangan anak. Pengelolaan dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak dan kebutuhan anak, serta kesinambungan pelaksanaan Pendidikan Anak Usia Dini. Pembiayaan diselenggarakan untuk menjamin kesinambungan layanan pengasuhan dan pendidikan anak usia dini yang memenuhi syarat kesehatan, keamanan, dan kenyamanan anak. Setiap pengelola PAUD hendaknya memperhatikan kebijakan yang berkaitan dengan :

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

47

REGULASI
1) Perencanaan, pemenuhan dan pendayagunaan sarana dan prasarana pengasuhan dan pendidikan 2) Pemeliharaan sarana dan prasarana agar tetap berfungsi untuk mendukung proses pengasuhan dan pendidikan 3) Kelengkapan fasilitas pengasuhan dan pendidikan pada setiap tempat kegiatan anak usia dini. 4) Penyusunan skala prioritas pengembangan fasilitas pengasuhan dan pendidikan sesuai dengan tujuan pengasuhan dan pendidikan dan program masing-masing jenis dan tempat kegiatan PAUD. 5) Pemeliharaan semua fasilitas program dan peralatan dengan memperhatikan kesehatan dan keamanan lingkungan. 6) Melakukan sosialisasi program pengelolaan sarana dan prasarana kepada pendidik dan anak didik. Standar Layanan PAUD

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

48

REGULASI

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

Foto: Untung S

Kegiatan pembelajaran di Lembaga PAUD NAKULA, Tangerang

49

WAWASAN
Syaid Jafar1

C.

Konsep dasar PAUD

Foto: Untung S

Mendalami konsep dasar PAUD yang terkandung dalam amanat UndangUndang RI No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam dalam Bab I Pasal 1 butir 14, berbunyi : Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut Dari pernyataan di atas, ada beberapa point penting yang perlu kita pahami, yaitu; a. PAUD adalah suatu UPAYA PEMBINAAN b. Sasaran PAUD adalah ANAK SEJAK LAHIR SAMPAI 6 TAHUN c. Cara melaksanakan PAUD adalah melalui PEMBERIAN RANG-SANGAN PENDIDIKAN d. Tujuan PAUD adalah untuk MEM-BANTU PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN JASMANI DAN ROHANI ANAK e. Hasil yang diharapkan melalui PAUD adalah AGAR ANAK SIAP MEMASUKI PENDIDIKAN LEBIH LANJUT

Stimulasi pendidikan membantu pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini agar siap memasuki pendidikan lebih lanjut A. Renungan....:

a. Salam semakin jarang diucap dalam keluarga b. Gengsi mengucap kata maaf c. Enggan mengucap terima kasih d. Siswa sering tawuran dan terlibat kriminalitas serta Narkoba e. TV dan Handphone cendrung mengalihkan perhatian orang tua terhadap anak B. Asumsi: Hal-hal di atas terjadi akibat dari lemahnya penanaman akidah/ olah hati, olah rasa, dan olah raga terhadap anak sejak usia dini. Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini lebih banyak berpihak kepada keinginan orangtua anak untuk lebih memper-banyak layanan olah pikir agar anaknya cepat bisa membaca, menulis dan berhitung meskipun penanaman akidah-nya lemah.

Pemerhati Pendidikan Propinsi Jambi

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

50

WAWASAN
D. Penyamaan persepsi Disamping itu terdapat pula hal yang sangat menarik untuk dikaji, yaitu sasaran PAUD adalah anak SEJAK LAHIR sampai USIA 6 TAHUN. Ini menimbulkan berbagai persepsi keraguan, bagaimana memberikan rangsangan pendidikan kepada anak sejak lahir tersebut, sedang sang anak belum bisa melihat dan mendengar apalagi memberi respon. Oleh karena itu, penulis ingin memaparkan beberapa konsep berpikir untuk menyamakan persepsi sebagai berikut ;

1. PAUD dapat ditempuh dalam 3 (tiga) fase, yaitu; fase keluarga, fase dalam masyarakat dan fase melalui lembaga pendidikan. 2. PAUD bukan proses belajar mengajar, tetapi upaya pembinaan yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan 3. Rangsangan pendidikan dapat dilakukan melalui kegiatan Bermain Sambil Belajar, bukan melalui aktivitas belajar mengajar 4. PAUD tidak mengisi otak akan tetapi memperkokoh otak melalui stimulasi kecerdasan jamak 5. Kegiatan Bermain Sambil Belajar merupakan bingkai layanan kecerdasan jamak yang difokuskan pada 3 jenis main, yaitu Main Sensori Motor, Main Peran dan Main Pembangunan. 6. Kegiatan Bermain Sambil Belajar yang benar bagi anak PAUD lebih dominan dilakukan melalui proses Olah Hati, Olah Rasa dan Olah Raga, seraya meletakkan konsep dasar Olah Pikir. 7. Bermain Sambil Belajar hendaklah banyak diwarnai dengan gerak dan lagu, bertutur, dan berdongeng (untuk merangsang berbagai kecerdasan anak).

Kegiatan stimulasi kecerdasan anak sejak usia dini dilakukan dalam keluarga

E. Rangsangan PAUD dalam keluarga dan dalam masyarakat Untuk memperkuat terwujudnya rangsangan PAUD secara holistik, perlu dihidupkan kembali beberapa stimulasi/rangsangan yang dapat dilakukan dalam keluarga dan masyarakat sebagai berikut; 1. Rangsangan Pendidikan dalam keluarga yang perlu dilakukan hingga akhir masa menyusui (2 tahun) ; a. Mengumandangkan azan dan qamat ketika anak lahir b. Membelai dengan kasih sayang diiringi kata-kata pujaan terhadap anak c. Bermain ciluk ba dengan anak untuk merangsang refleksitas anak d. Berkomunikasi dengan anak secara verbal ketika menyusui, memandikan, memasang baju dan memberi makan. e. Menyanyikan lagu-lagu spritual atau fatwa-fatwa pengantar tidur f. Sering mengucapkan kata-kata, atau kalimat toyibah secara lugas dan jelas kepada anak (tidak berucap telo/pelat kepada anak)

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

51

Foto: Untung S

WAWASAN
g. Mengenalkan anak situasi rumah dan alam sekitar h. Berceloteh dengan anak ketika dalam perjalanan i. Mebiasakan anak mengucap kata maaf, terima kasih dan permisi j. Berdongeng/bertutur ketika ada waktu luang k. Memberikan penjelasan kepada anak saat menonton TV l. Memperhatikan ketika anak memerlukan bantuan 2. Rangsangan PAUD dalam masyarakat/lingkungan (sejak usia anak layak main keluar rumah) tapi tetap memerlukan pengawasan dan pembinaan; a. Bermain sesama teman sebaya b. Bermain perang-perangan c. Bermain kejar-kejaran d. Bermain mobil-mobilan e. Bermain layangan f. Bermain Congklak g. Bermain Patok Lele h. Bermain Bola i. Bermain masak-masakan, dll F. KESIMPULAN Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas diharapkan agar semua pembaca khususnya orangOrang tua hendaknya meluangkan waktu untuk banyak berinteraksi dan tua (Ibu/Ayah) dapat memahami berkomunikasi dengan anak pesan berikut ; a. Mulailah untuk terus memberikan g. Karakter seorang anak ditentukan rangsangan pendidikan kepada anak seberapa banyak penanaman akidah yang sesering mungkin mereka peroleh sejak lahir hingga usia b. Tidak melarang anak untuk bermain 8 tahun ( Imam Al-Ghazali) dengan teman sebaya dikarenakan takut h. Belajar diwaktu kecil laksana mengukir mainannya rusak atau takut anak-anak diatas batu, belajar ketika dewasa laksana berkelahi. mengukir di atas air
Foto: Dokumen Dit. PAUD

c. Lakukan pembinaan dan pengawasan ketika anak bermain dengan temantemannya d. Perankan diri kita sebagai fasilitator ketika anak bermain dengan teman-temannya e. Luangkan waktu untuk banyak berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak f. PAUD bukan segala-galanya, tapi segalagalanya berawal dari PAUD

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

52

WAWASAN
Munif Chatib

Kedisiplinan pada dasarnya adalah daya tahan atau KELANGGENGAN sebuah peraturan di jalankan oleh anak kita. Sedangkan peraturan tersebut dapat berupa instruksi lisan atau tertulis. Banyak orangtua yang merasa puas dan merasa berhasil mendisiplinkan anaknya jika anaknya sudah KETAKUTAN, menurut dan Anak yang merasa ketakutan dengan penerapan disiplin dari orang tua melaksanakan semua peraturan yang sudah diberlakukan oleh orangtua. Anak Inget lho pesen mama yajangan jajan, awas merasa ketakutan dengan penenrapan disiplin kalo ketahuan, mama hukum nanti. Apa yang dari orang tua dan menjadi penurut apa yang terjadi ketika Iza sudah di sekolah dan melihat diperintahkan oleh orangtua memang masih teman-temannya ramai-ramai membeli jajan. menjadi indikator keberhasilan disiplin. Iza ragu-ragu untuk mendekat. Takut ancaman dari mamanya. Tiba-tiba seorang temannya mengajak Iza untuk ikut membeli jajan. Namun apa benar demikian? Spontan Iza menolak. Gak boleh ama mama. Si teman tidak mau kalah. Mamamu kan gak Coba bandingkan dua kondisi berikut ini. ada sekarang, jadi gak mungkin tahu, ayo enak lho jajannya! Iza langsung menoleh ke Kondisi pertama, sebut saja si Iza, seorang kanan ke kiri, begitu dia yakin mamanya tidak putri cantik sekolah di TK yang centil, Iza ada di sekitarnya, maka dengan senyum diperingati oleh mamanya dengan cara yang bahagia Iza menuruti temannya untuk membeli keras, penuh tekanan dan ancaman untuk jajan yang telah dilarang oleh mamanya. tidak membeli makanan (jajan) di sekolah Dalam kondisi seperti Iza rapuh dalam sebab tidak sehat. Dengan penuh ketakutan kedisiplinannya. Iza masih DAPAT Iza mengangguk-angguk tanda setuju terhadap DIPENGARUHI OLEH LINGKUNGANNYA. peraturan tersebut. Sampai detik terakhir Disiplin seperti ini adalah disiplin yang tidak berpisah, sang mama tersebut sempat berhasil. memberi peringatan disiplin kepada anaknya.

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

53

WAWASAN
Kondisi kedua, Ela didudukkan dengan manis oleh mamanya, dan diberitahu kalau jajan di luar itu tidak sehat. Jenis-jenis jajanan yang tidak sehat juga diberitahukan oleh sang mama, bahkan ditulis atau ditunjukkan bungkus makanannya. Lalu Ela mendapat informasi juga dari mamanya kenapa makanan/jajan ini tidak sehat. Sang mama memberitahu juga akibat ekstrem apabila anak-anak sering makan jajanan tersebut. Penyakit yang mungkin timbul, penderitaan anak pada saat sakit, kesulitan orangtua pada saat anaknya sakit, dan lain-lain. Bahasa yang disampaikan kepada anak juga lembut, santun dan sangat informatif. Tidak ada paksaan dan dilakukan dalam kondisi si anak santai atau dalam kondisi alfa. Apa yang terjadi pada saat Ela berada di sekolahnya dan teman-temannya merayu Ela untuk jajan yang sudah di larang oleh mamanya. Ela dengan santainya menjawab, Aku gak boleh jajan itu ama mamaku, sebab kata mamaku jajanan itu gak sehat, bisa sakit, aku sudah diceritain susahnya kalo sakit, ihhh sedih gitu. Kamu juga kalo bisa gak usah beli jajanan itu. Kalo jajanan yang ada di kantin sekolah itu baru sehat. Kalo di luar ini tidak sehat. Lalu beberapa teman Ela melongo, menganggukangguk dan mengikuti nasihat Ela. Dalam kondisi seperti ini Ela MAMPU MEWARNAI LING-KUNGANNYA dengan kedisiplinannya. Dan disiplin inilah yang berhasil. Dua Macam Keberhasilan Disiplin Ada dua macam keberhasilan disiplin, yaitu: 1. Disiplin SEMENTARA Yaitu upaya disiplin yang mempunyai rentan waktu sementara, setelah itu disiplin akan hilang. Kasus Iza adalah termasuk disiplin sementara. Iza berjanji akan menuruti perintah orangtuanya pada saat keberadaan orangtuanya ada di sekitarnya. Begitu di luar itu, disiplin akan hilang. Penyebab disiplin sementara ini antara lain: a. Model pemberian peraturan kepada anak yang salah.

Anak usia golden age (0 sampai 7 tahun) model pemberian aturannya dengan learning by doing dan learning by example. Artinya anak belajar disiplin dengan cara melihat perilaku orangtuanya dan mengambil contoh atau teladan dari orangtuanya. Apabila dua hal penting ini tidak sesuai dengan apa yang sudah menjadi peraturan anak, maka secara otomatis anak akan menghindari kedisiplinan. Anak usia 8 tahun ke atas, peraturan dibuat dalam model-model peraturan tertulis, lisan dengan berbagai macam format yang sangat luwes.

b. Cara pemberlakukan peraturan kepada anak yang salah.

Cara pemberlakuan disiplin yang terlalu bebas, akan mengakibatkan kekuatan peraturan untuk ditaati menjadi lemah. Peraturan yang sudah dibuat sama sekali tidak efektif. Anak tidak akan menghargai peraturan apapun yang berasal dari orangtua nya dan orang lain.

Disiplin yang terlalu bebas, akan mengakibatkan kekuatan peraturan untuk ditaati menjadi lemah, kurang menghiraukan segi keamanan dan kesehatan anak

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

54

WAWASAN

Cara pemberlakuan disiplin yang terlalu keras dan kaku, juga akan berdampak negatif pada anak. Perasaan tertekan, takut, anak mudah kehilangan kepercayaan diri, tidak punya peluang untuk tumbuh dan berkembang, kepribadian, emosi, akhlak dan rasa kemanusiaannya niscaya tidak akan terbentuk. Selain itu potensi dan bakatnya tidak akan muncul.

c. Tidak adanya apresiasi ketika disiplin tersebut telah dijalankan oleh anak.

Setiap anak yang melakukan upaya disiplin seyogyanya orangtuanya memperhatikan hal itu dan memberikan respon berupa apresiasi. Apresiasi dapat berupa pujian terhadap perbuatan disiplinnya, sentuhan emosi positif, seperti memeluk, mencium, mengusap rambut dan lain-lain. 2. Disiplin PERMANEN

Yaitu upaya disiplin yang mempunyai rentan waktu relatif panjang. Kasus Ela adalah disiplin yang permanen. Disiplin inilah yang berhasil. Anak mempunyai kedisiplinan internal dalam dirinya. Bahkan mampu menjelaskan kenapa harus disiplin dan mampu menarik orang lain untuk juga melakukan upaya disiplin Nah para orangtua, seyogyanya kita semua dapat melihat atau melakukan cek, apakah disiplin yang kita terapkan kepada anak kita termasuk yang SEMENTARA atau TETAP. Perilaku kita sebagai orangtua dalam menerapkan disiplin kepada anak ternyata menjadi kunci utamanya. Semoga menjadi pengetahuan yang berguna.

Perasaan tertekan, takut, anak mudah kehilangan kepercayaan diri, tidak punya peluang untuk tumbuh dan berkembang

Cara pemberlakukan disiplin yang seimbang. Anak diberi pendahuluan pengetahuan kenapa harus ada peraturan yang dimaksud. Peraturan hanya membatasi dan mengatur kebebasan anak. Anak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan-pilihan. Dengan disiplin yang seimbang ini, maka anak akan tumbuh menajdi pribadi yang berkembang, bertanggung jawab, menghargai orang lain dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi.

Surabaya, 25 Februari 2009

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

55

WAWASAN

DR.Dr.Theodorus Immanuel SETIAWAN1


1 Theodorus Immanuel SETIAWAN. Dokter, S3 Pendidikan, S 3 Psikiatri. Praktek dokter. Pengajar di Program S 1 Bimbingan-Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta; di Program S 2 Psikologi Universitas Indonesia, dan di Program S 3 Universitas Negeri Jakarta. Alamat e mail: thisetiawan@cbn.net.id

Lingkungan, atau konteks, seperti keluarga, teman sebaya, dan guru, sangat besar pengaruhnya untuk anak-anak, terutama mereka yang berusia dini

I.

Batasan

ABSTRACT Cognitive-Behavioral Therapy. The Cognitive-Behavioral Therapy model has shown to be a promising approach to ameliorating the psychological problems of older children; and, more recently, to do the same of preschool children. Although much more work needs to be done to extend the model further downward and outward to culturally diverse groups, the hard work of various groups (counselors, clinicians, other related experts and professionals) has come together in a confluence which has an enormous positive impact on the course of mental health treatment of young children. Key words : Classical conditioning, operant conditioning, social learning theory.

Konsep kerja Terapi Kognitif-Perilaku didasarkan pada gabungan (Compton, et al., 2004; Krain dan Kendall, 1999) dari prinsipprinsip perilaku seperti pembiasaan-awal (classical conditioning) dan pembiasaankemudian (operant conditioning) dengan konsep teori belajar dalam masyarakat (social learning theory) (Friedberg dan McClure, 2002). Terapi Kognitif-Perilaku menekankan peran berpikir (sebagai satu bentuk kegiatan kognitif) yang berinteraksi timbal-balik dengan tiga aspek lain, yaitu, perilaku, emosi, dan reaksi-reaksi fisik (Beck, 2001, Clark, 2007, Greenberger, 2005). Dalam kaitan dengan itu, perlu diingat bahwa tiap orang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan, atau konteks, seperti keluarga, teman sebaya, dan guru, sangat besar pengaruhnya untuk anak-anak, terutama mereka yang berusia dini (Greenberger, 2005).

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

56

WAWASAN
II. Beberapa Faktor Penting dalam Terapi Kognitif-Perilaku Sehubungan dengan faktor-faktor yang penting dalam Terapi Kognitif-Perilaku, dua hal perlu dikemukakan di sini. Pertama, kognisi bukanlah konsep mengenai suatu kegiatan tunggal, melainkan mengenai suatu sistem pemrosesan informasi (Kendall, et al., 2003; Beck, 2006), yang terdiri dari tingkat-tingkat yang berbeda dari berpikir, berbagai struktur dan berbagai proses yang meliputi berpikir otomatis, pengetahuan perantara (seperti peraturan, sikap, pengandaian), skema, dan berbagai strategi untuk kompensasi (Kendall, et al., 2003; Beck, 2005; Clark,2006). Berpikir otomatis adalah kegiatan berpikir yang paling mudah/sering dilakukan, misalnya berupa pendapatpendapat atau pengetahuan-pengetahuan sekilas yang melintasi otak kita dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Pengetahuan perantara biasanya berupa syarat dan memperlihatkan adanya pengandaian atau peraturan yang dimanfaatkan anak untuk mengorganisasi pengalamannya. Misalnya, seorang anak yang hanya dipuji bila menolong ibunya, akan berpendapat, Bila saya menolong ibu, baru ibu memuji saya. Skema atau keyakinan, seperti, Saya tidak disayang, biasanya dianggap mutlak oleh anak. Perlu waktu yang tidak sebentar bagi terapis untuk menyadarkan anak bahwa hal itu tidak mutlak dan dapat diubah. Strategi untuk kompensasi adalah perilaku anak untuk membantunya menyesuaikan diri dengan keyakinannya. Sehubungan dengan contoh skema di atas, strategi kompensasi adalah perilaku yang harus dilakukan anak supaya memperoleh sayang yang diinginkannya itu. Di sini tampaknya pembiasaan-kemudian (operant conditioning) lebih berperan dibandingkan pembiasaan-awal (classical conditioning) dalam pembentukan perilaku anak; juga tampak jelas berlakunya konsep belajar dalam masyarakat (social learning theory) dalam praktek. Kedua, Clark (2006) mengemukakan, pada gangguan-gangguan/reaksi-reaksi ter-tentu, isi pengetahuan memperlihatkan berbagai situasi yang khas. Misalnya, gangguan/reaksi kecemasan (anxiety disorder) ditandai oleh adanya isi pengetahuan yang berkaitan dengan suatu situasi ancaman, sedangkan reaksi depresi ditandai isi pengetahuan yang berkaitan dengan suatu situasi kehilangan. Dalam hal ini peran berpikir anak (sebagai satu bentuk kegiatan kognitif) berinteraksi timbalbalik dengan tiga aspek lain, yaitu, perilaku, emosi, dan reaksi-reaksi fisik (Beck, 2001, Clark, 2007, Greenberger, 2005). III. Garis Besar Langkah-Langkah Terapi Kognitif-Perilaku Berikut ini adalah garis besar langkahlangkah dari salah satu bentuk Terapi KognitifPerilaku yang banyak digunakan (Reinecke, et al., 2005). 1) Terapis (orang yang melakukan terapi) menggali informasi berkenaan dengan pengembangan gejala-gejala yang spesifik, jangka waktu berlangsungnya, dan faktor penentu yang tergantung situasi, yang mungkin berpengaruh. Data obyektif dan subyektif mengenai hakekat masalah dikumpulkan dari berbagai sumber. 2) Disusun daftar tujuan yang akan dicapai bersama anak, orang tua, dan/atau terapis lain. Formulasi terapi kognitifperilaku dan rencana terapi dibicarakan dengan anak dan orang tua. 3) Dicari pada anak adanya kepercayaan/keyakinan, sikap, dugaandugaan, harapan-harapan, berbagai label yang dikenakan pada diri sendiri (oleh anak), sasaran-sasaran, dan pikiranpikiran otomatis yang menjadi dasar

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

57

WAWASAN
masalah. Anak dilatih memantau pikiranpikiran dan emosinya yang negatip atau tidak sesuai. Diberikan penghagaan untuk usaha anak memantau diri sendiri. Dicari adanya kekurangan pada ketrampilan perilaku tertentu dan kekurangan pada ketrampilan interpersonal. Dicari adanya faktor-faktor kedokteran, sosial, dan lingkungan yang membuat gejala gangguan pada anak tetap ada. Faktor lingkungan adalah misalnya kejadian dalam kehidupan anak seharihari yang menimbulkan stres (mayor dan minor, jangka pendek dan menahun), atau contoh dan pengulangan gejala oleh orang lain dalam kehidupan anak. Bentuk terapi kognitif-perilaku dipilih dan diberikan berdasarkan pada kebutuhan spesifik anak. 8) Keberhasilan terapi dinilai melalui pemeringkatan pemeringkatan (ratings) yang obyektif, pengamatan perilaku, dan laporan subyektif. 9) Dilakukan tindakan untuk mencegah kambuhnya gejala/masalah. 10) Disusun rencana untuk pertemuan lanjutan atau pertemuan penguatan.

4)

5)

Kepustakaan Beck,A.T. (2006). Cognitive Therapy and the Emotional Disorders. New York: International University Press. Clark,D.A. (2006). Frontiers of Cognitive Therapy. New York: Guilford. Compton,S.N., et al. (2004). Cognitivebehavioral psychotherapy for anxiety and depressive disorders in children and adolescents: An evidence-based medicine review. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2004; 43(8): 930-959. Kendall,P.C., et al. (2003). CognitiveBehavioral Procedures in Child Therapy. New York: Guilford. Krain,A.L., Kendall,P.C. (1999). Cognitivebehavioral therapy. In: Russ,S.W., Ollendick,T.H., eds. Handbook of Psychotherapies with Children and Families. New York: Plenum Publishers, 1999: 121-135. Friedberg,R.D., McClure,J.M. (2002). Clinical Practice of Cognitive Therapy with Children and Adolescents: The Nuts and Bolts. New York: Guilford. Reinecke,M.A., et al. (2005). CognitiveBehavioral Therapy for School and Preschool Children: A Casebook for Clinical Practice, 2nd ed.New York: Guilford.

6)

Bentuk terapi berdasarkan pada kebutuhan spesifik anak dengan mewarnai bentuk gambar yang diminati

7)

Diberikan pekerjaan rumah. Anak berlatih ketrampilan kognitif dan/atau ketrampilan perilaku selama berada bersama terapis. Dilakukan usaha-usaha untuk memastikan bahwa bentuk terapi dipahami dengan jelas, bahwa anak tertarik untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan bahwa anak, orang tua, dan pihak lain yang berkepentingan percaya bahwa terapi itu akan berhasil. Dicari tahu adanya faktor-faktor yang dapat mengganggu penyelesaian yang sukses dari pekerjaan rumah yang diberikan itu; bila ada, faktor-faktor itu dibicarakan.

Buletin PAUD Volume 8, No.2, Juni 2009

58

ARTI LOGO:
1. Gambar Segi Lima Lambang Segi Lima (Pancasila) sebagai landasan dasar sikap dan peranan keluarga dalam pendidikan, pemberian gizi dan pemeliharaan kesehatan anak serta penanaman sikap moral bermasyarakat, bermasyarakat berbangsa dan bernegara Orang Tua Menuntun Dua Anak Lambang Dwi Fungsi Tunggal orang tua yang mengayomi anak dengan memberi kebebasan, namun tetap dalam tuntunan orang tua (Tut Wuri Handayani) Dua Anak lambang kemitrasejajaran anak laki-laki laki dan perempuan memperoleh asuhan tumbuh-kembang yang optimal Bulat di Perut lambang peran orang tua turut menentukan masa depan anak sedini mungkin sejak dalam kandungan Tiga Buku a. melambangkan aspek keimanan, moral, emosional anak b. melambangkan unsur kesehatan, kesehatan gizi, pendidikan sebagai unsur yang tidak terpisahkan dalam menentukan kualitas anak c. melambangkan usia intelegensi, pertumbuhan dan perkembangan anak dalam periode kritis; 0 - 1 tahun, 2 3 tahun, 4 6 tahun.

2.

3.

4.

5.

Você também pode gostar