Você está na página 1de 29

ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI KUSIMPAN KAU DALAM PUISI KARYA AHMAD SAHIDE A.

Pengantar Makna merupakan wilayah isi sebuah puisi. Makna tersebut pada umumnya berkaitan dengan pengalaman dan permasalahan yang dialami dalam kehidupan manusia. Ada yang berhubungan dengan persoalan cinta asmara, cinta sufistis, kemiskinan, pemujaan terhadap tanah air maupun tokoh-tokoh tertentu. (Wiyatmi, 2009:73) Ahmad Sahide juga demikian, tokoh penyair muda alumni UMY ini juga mengangkat persoalan yang hampir sama. Namun, kebanyakan karyanya dalam antologinya bertemakan tentang cinta asmara yang disajikan dengan kentalnya. B. Pembahasan Ahmad Sahide. Lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Seorang alumni Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan saat ini kembali menjadi mahasiswa Kajian Timur Tengah, Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Tidak hanya antologi yang berjudul Kusimpan Kau dalam Puisi ini saja, Ahmad Sahide juga menggarap beberapa buku antara lain berjudul HMI: Keabadian dan Inovasi Gerakan, kemudian Kebebasan dan Moralitas, dan sebuah novel yang ia beri judul Panggil Ia Gie. Aktivitasnya saat ini adalah sebagai pegiat di Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta. Ahmad Sahide adalah salah satu penyair muda dari sekian penyair muda di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, khususnya. Dalam bukunya kali ini Ahmad Sahide mengangkat tema keagamaan dan cinta kasih yang terbungkus rapi dalam bait-pait puisi yang ia torehkan di dalamnya. Seperti puisi berikut ini: Istana Cinta Kepada jiwa yang kuberi kebebasan Berkelana menyeberangi lautan

Terbang tinggi ke angkasa Menyapa penjaga sudut-sudut bumi Mencari dan menemukan istana Kedamaian cinta Menyatu dengan sang ratu jiwa Dalam hidup Yogyakarta, 8 Maret 2011 Dalam puisi tersebut sangat kental akan aroma kisah cintanya. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, Ahmad Sahide melukiskan sosok tokoh yang berkelana dalam dunia kisah cinta dengan tujuan mencari tempat yang tepat untuk tokoh tersebut bersandar dan berharap itulah jodoh yang telah digariskan untuknya. Perjalanan tokoh tersebut dapat diibaratkan dengan berkelana menyeberangi lautan, mencari dan menemukan istana. Puisi berikutnya adalah: Goresan Pena Kepadamu yang merasakan Kehadiranku dalam ketiadaan Kuantarkan kepergianmu dengan Goresan penaku Begitulah aku mencintaimu Cinta yang kekal abadi Mengabadi bersama keabadian Goresan penaku Yogyakarta, 13 Maret 2011 Dalam bait puisi di atas masih dengan suasana cinta kasih yang diangkat oleh Ahmad Sahide. Puisi tersebut mengisahkan tentang tokoh yang memiliki cara tersendiri mencintai kekasihnya yang dapat diibaratkan dengan

goresan pena sebagai pengatar kepergiannya. Namun, dalam puisi tersebut juga mengisahkan bahwa tokoh merelakan kekasihnya pergi dengan alasan tertentu. Sepertinya dalam puisi ini ditaburi bumbu kisah-kisah tentang Siti Nurbaya, karena sepertinya tokoh terpaksa melepaskan kekasihnya tersebut. Dan begitulah cara tokoh mencintai kekasihnya dengan maksud tidak ingin melihat kekasihnya bermuram durja. Puisi selanjutnya adalah: Kehampaan Kicauan burung tak lagi menghibur diriku Cahaya bintang-bintang tak lagi menerangi jiwaku Tiupan angin malam tak lagi menyejukkan qalbuku Petuah-petuah tak lagi memberiku kekuatan Adakah yang lebih hening dari kesendirian? Jiwaku sedang berkelana ke alam kehampaan Melangkah jauh menuju ketiadaan Membawa remuk-remuk kegoncangan jiwa Mencari sesuatu yang tiada Mengharapkan kemustahilan Masihkah kau di situ Tuhan? Dengan setangkai mawar tanda Kau mencintaiku Jangan kau tanamkan cinta dalam jiwaku Bila ia akan menuntunku ke alam kehampaan Jangan Kau beri aku ruang untuk berharap Jika Engkau tidak mengabulkannya Jangan bawa aku ke dalam mimpi-mimpi indah Bila ia tidak akan mewujud nyata Janganlan beri aku cinta selain cinta kepada-Mu Jika itu akan menyiksaku

TUHAN! Kepada-Mulah aku mengadu Engkaulah tempat bersandar Berilah aku cinta yang dapat menenangkan, menyejukkan jiwaku Menentramkan hatiku, menjernihkan pikiranku Menemaniku melangkah kepada kepastian Yogyakarta, 25 Januari 2011 Bait puisi di atas adalah satu dari beberapa judul bertema keagamaan atau ketuhanan di dalam bukunya tersebut. Dalam bait tersebut nampak bahwa Ahmad Sahide mengisahkan tentang seorang tokoh yang berdoa atau meminta petunjuk kepada Tuhannya untuk urusan dunia fana yang terlihat dalam bait ketiga puisi tersebut. Dalam puisi tersebut tokoh digambarkan oleh Ahmad Sahide dengan watak seorang yang taat pada agama dan ikhlas yang dapat dilihat dalam bait terakhir puisi tersebut. Ketiga puisi di atas adalah beberapa judul dari sekian banyak yang ada di buku antologinya yang berjudul Kusimpan Kau dalam Puisi. Dalam bukunya juga, sebenarnya ada satu puisi yang Ahmad Sahide tujukan kepada temannya yang telah meninggal dunia pada 6 April 2011 silam. Seperti Sobat, dengan Puisi Aku Mengabadikanmu, Salam untuk Bunga yang Terbaring, Selamat Jalan Sahabat, Kau yang Jauh Di Sana, Jalan dan Saksi, serta Singgasana Terakhir.

ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI LUKA SEBUAH NEGERI KARYA M. JUNUS MELALATOA A. Pengantar Makna sebuah puisi, pada umumnya baru dapat dipahami setelah seorang pembaca membaca, memahami arti tiap kata dan kiasan yang dipakai dalam puisi, juga memperhatikan unsur-unsur puisi lain yang mendukung makna. (Wiyatmi, 2009:73) Sama halnya dengan antologi puisi etnografi milik M. Junus Malalatoe ini, beliau membungkus kata demi katanya dengan manis. Beliau mengangkat tema tentang kekhasan dan keragaman di setiap daerah dan suku bangsa di nusantara ini. B. Pembahasan Muhammad Junus Melalatoe, laki-laki kelahiran Takengon 26 Juli 1932 ini meraih gelar doctor antropologi dari Universitas Indonesia pada tahun 1983. Di Universitas Indonesia beliau mengabdi hampir selama 47 tahun. Namun, pada tanggal 13 Juni 2006 dunia antropologi di Indonesia mendung. Karena salah satu ilmuwan terbaik mereka telah kembali kepada Sang Khalik tepat diusia 74 tahun. Ketika itu beliau masih aktif mengajar di Program Diploma III Pariwisata, Program Sarjana dan Pascasarjana Antropologi, Departemen Antropologi FISIP UI hingga akhir tahun 2005. Berikut beberapa puisi karya beliau: Bocah-bocah Mahakam Kalian pernah kelaparan? Matanya bersinar Mereka: menggeleng kepala Kalian pernah bertanya Makna sebuah kelaparan? Matahari bersinar

Mereka: mengangguk Kalian tahu Masih penuhkah lumbung Di seberang rumah panjang itu Matanya menatap ladang Mereka: menganga Kalian berjalan ke ladang Pulang bawa kelelahan Mereka: tersenyum Mereka menggeleng ketika Harus mengangguk Mereka menganga Lalu tersenyum Salah satu puisi beliau di atas mengisahkan tentang kehidupan di sekitar daerah Mahakam. Mengisahkan tentang kehidupan penduduk di sana melalui pengibaratan pertanyaan yang ada di bait puisinya. Sebenarnya dalam puisi tersebut, beliau menggambarkan seberapa makmurnya penduduk itu yang serba kekurangan ditutupinya dengan ketercukupan. Mengingat bahwa sumber penghidupan mereka kurang mencukupi dan hanya senyum saja yang mereka keluarkan untuk menghibur diri mereka atas kerja keras mereka membanting tulang. Puisi berikutnya adalah: Ibu Iren Apa yang kau pikirkan Ketika menyisil kacang tanah Yang kau panen dari lading

Apa yang kau pikirkan Ketika suami menugal Menjaga burung, babi hutan Yang menggerayangi ladang Apa yang kau impikan Ketika anakmu yang lucu Merangkak-rangkak di ruang Amin kecil yang kecil rumah panjang Apa yang kau impikan Ketika burung berkicau di kejauhan Yang kemudian menclok di bubungan Rumahmu yang kekar Apa yang kau impikan Ketika orang datang dari jauh Dengan salamnya yang takzim Bu Iren penuh adab Merentangkan jawaban Lalu diakhirinya dengan senyum Masih berkutat dengan kekhasan dan kebudayaan daerah. Dalam puisi di atas, beliau mengisahkan tentang sosok ibu yang bersahaja dan sosok ibu yang santun murah senyum yang digambarkan lewat bait terakhirnya. Sosok ibu yang memiliki nafas kesabaran yang hebat serta sosok ibu yang begitu kental dengan adat istiadat daerahnya yang terlihat pada bait pertama sampai kelima.

Karya beliau selanjutnya adalah: Cipayung Petang


Buat: Sahabat Sdd

Mana lebih bahagia Memandang petani Dari balik kaca Atau berkaca pada petani Tentang diri kita Cipayung, 1987 Pada puisi tersebut, M. Junus Melalatoe mengisahkan tentang pandangan orang lain terhadap diri sendiri. Beliau mengibaratkan tentang kehidupan petani. Dengan cara kita belajar pada kehidupan yang lain atau kehidupan lain yang akan mengkritik kita. Ketiga puisi di atas adalah beberapa dari sekian puisi yang termuat dalam buku antologi karya M. Junus Melalatoe yang berjudul Luka Sebuah Negeri yang mengangkat tema kekhasan dan kebudayaan yang tersebar di tanah air tercinta ini. Sepeninggalnya beliau, hanya kata-kata beliaulah yang abadi. Seperti puisi-puisi yang beliau torehkan dalam buku ini.

ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI PATAH KARYA RAHMAT JABARIL A. Pengantar Citraan (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata (Pradopo, 1987). Citraan tersebut meliputi beberapa bagian sesuai dengan indra yang dimiliki manusia, seperti citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan rabaan, citraan pencecapan, citraan penciuman, dan citraan gerak. (Wiyatmi, 2009:68) Menurut Clive Bell, getaran puisi dalam hal ini keindahan puisi hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya mempunyai pengalaman yang bisa mengenali wujud bermaknna dalam satu karya seni tertentu dengan getaran/rangsangan keindahan. (Rahmat, 2008) B. Pembahasan PATAH, sebuah judul antologi puisi karya Rahmat Jabaril. Sosok penyair kelahiran Bandung tepatnya 17 Agustus 1968 silam. Sosok yang berkonsep kesenian, mengkaji ulang kembali pada setiap persoalan baik menyangkut politik, sosial, ekonomi, budaya, agama,maupun pada kesenian itu sendiri. Sosok penyair yang juga aktif dalam aktivitas kesenian dari tahun 1985 sampai tahun 2007 serta seorang yang berpengalaman dalam berorganisasi yang telah berhasil mendirikan beberapa komunitas sejak 1985 sampai 2005. Di dalam buku tersebut, Rahmat Jabaril mengusung kisah yang tak luput dari kehidupan manusia seperti perjuangan, cinta kasih, dan lain sebagainya. Seperti puisinya berikut ini: Pagi yang Sibuk Orang-orang sibuk Memecah Jalan Supadio Jalan Ciroyom Memikul beban

Mendengus resah Dikejar ambisi Dan waktu menyempit Suara pabrik menderu Membangunkan hati yang terkubur tergesa! Memijakkan kaki, diburu waktu Dikejar sengat mentari Makin cepat diburu waktu Ribuan kaki berpijak dengan sibuk Mengangkangi tanah leluhurnya Menerobos gua ketergantungan Menghembus nafas Di tahi industry 10 Juli 1988 Dalam puisi tersebut Rahmat Jabaril mengisahkan tentang kehidupan pagi dimana orang-orang mulai berbondong-bondong beraktivitas dengan membawa tanggung jawab masing-masing. Melewati gua ketergantungan, orang-orang yang dimaksud sedang memenuhi jalan-jalan protocol yang dipenuhi gedung-gedung pencuci uang dimana mereka menyelesaikan tanggung jawab mereka. Puisi berikutnya adalah: Keyakinanku Aku tidak punya cukup waktu Untuk bersedu sedan itu! Sebab Di tanganku penuh batu, pada Keyakinan semati tugu, aku

10

Pelempar batu di rumah-rumah Kaca para jenderal itu! Sebab Mereka pelanggar pertama Kesepakatan kita 7 Maret 1998 Dalam puisi di atas mengisahkan tentang kekecewaan mendalam yang dialami tokoh. Dengan sudut pandang orang pertama, Rahmat menggambarkan kekecewaan yang begitu besar. janji yang diingkari kemudian murka menuntut kembali atas janji-janji yang telah terpatri sebelumnya yang juga diibaratkan dalam kalimat akulah pelempar batu di rumah-rumah kaca para jenderal itu!. Jika dibandingkan dengan keadaan zaman sekarang, tokoh yang berada dalam puisi tersebut sedang mendemo para pembuat janji. Menagih segala omongan yang telah diberikan sebagai janji. Tokoh tidak menginginkan janji itu hanya sebuah wacana saja, melainkan bukti yang membuat kehidupan mereka sejahtera dan merdeka. Mereka pelanggar pertama kesepakatan kita, merupakan kalimat pembuktinya. Kemudian, puisi selanjutnya berjudul: Cermin Lihat! Cermin ini Berwajah lagi Mukanya Penuh Peluru dan batu 2005

11

Ketika

tokoh

mulai

geram

sebab

kesedihan

menyelimuti

kehidupannya. Sesak di dada mulai meledak seperti yang dilukiskan dalam kisah puisi di atas. Puisi tersebut mengisahkan tentang amarah seorang tokoh yang menginginkan pandangan tentang apa yang telah terjadi dengan bukti tergeletaknya mayat-mayat yang mati akibat puluru dan juga batu yang menghujaninya. Seperti pahlawan yang ingin memerdekakan umatnya, namun gugur dalam medan pertempuran. Mengingat tema yang diusungoleh Rahmat Jabaril, ketiga puisi di atas adalah perwakilan puisi yang diambil dari sekian banyak puisi yang ada di dalam buku antologi puisi yang berjudul Patah. Dimana dalam buku ini mengisahkan tentang perjuangan, cinta kasih, kepedulian, dan sebagainya. Seperti halnya manusia, buku ini bisa merasakan asam manis kehidupan dunia manusia yang mana goresan pena yang ada dalambuku ini adalah curahan unek-unek penyair.

12

ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI PERCAKAPAN LILIN KARYA RIKI DHAMPARAN PUTRA A. Pengantar Penyair adalah orang yang berkesadaran bahwa anugerah dan hikmah kehidupannya bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain juga. Kesadaran personalnya juga berangkat dari penghayatan sosial karena penyair selalu melakukan apa yang disebut transpersonalisasi atau transubjektivikasi kehidupan. (Sayuti, 2002:8) Percakapan Lilin, sebuah judul buku antologi puisi terpilih karya Riki Dhamparan Putra. Melahirkan karya-karya yang nilai estetisnya mampu mengundang banyak pembaca. Tema yang diangkatnya pun tidaklah begitu jauh dari kehidupan sehari-hari, kebudayaan, dan kekhasan suatu daerah. Seorang penyair yang menulis tanpa banyak bagai serta seorang penyair pada dasarnya tidak ingin muluk-muluk dicatat sebagai sastrawan atau penyair besar. B. Pembahasan Riki Dhamparan Putra, penyair berdarah penduduk Sumatra ini lahir 1 Juli 1975 di sebuah dusun di kaki gunung Talamau, Sumatra Barat. Riki mulai menulis kreatif ketika masih duduk di bangku SMA pada tahun 1991. Karya-karyanya seperti cerpen dan puisi kerap dimuat di beberapa media lokal. Sosok Riki ketika SMA pernah diskors sekolah karena dituduh sebagai pembangkang kesenian dan sejak saat itu Riki memutuskan untuk meninggalkan sekolah. Kemudian pada tahun 1994, dia merantau ke Bali. Dimana di sanalah Riki merasa dilahirkan kembali dan di Bali pula adalah titik awal kekayaan pengalaman pengetahuan yang luar biasa Riki dapat. Tidak hanya sebagai penulis saja, Riki Dhamparan Putra adalah sosok pendiri beberapa komunitas dan juga aktivis pendukung beberapa komunitas lain.

13

Berikut beberapa puisi karya Riki Dhamparan Putra: Gadis Buruh di Kintamani Luh Sukerti Atau siapapun namamu Kenalkan aku pada air dan tanah Pada musim yang mengirim jeruk Dan segarnya sayur mayur Yang selalu kau pikul Ketika matahari jatuh Di atas dadamu subur Karena aku sudah tak memilikinya lagi Semenjak segala yang kucintai tenggelam Saat di dasar gerimis aku mencoba mengayuh jam Bawalah aku pada siang di tanah lapang pada kebun-kebun yang luas kala di situ tanganmu harum menebar pupuk Sehingga mataku fana Dan kulitku mulai meragu Pada cahaya Mungkin engkaulah cahaya Mungkin kaulah yang membuat pondokpondok menjadi persinggahan yang kekal

14

Dimana kita harus bangun Untuk berangkat bersama hari yang penuh daun penuh daun Maka kenalkan aku padanya Pada air dan tanah ini Pada bisu pegunungan Dimana kepundan sajakku abadi 2001 Dalam puisi di atas, sosok Riki mengisahkan tentang aktivitas yang dilakukan oleh perempuan-perempuan di Bali terutama tokoh yang sedang dikisahkan di atas. Lewat puisi tersebut penulis ingin belajar tentang memaknai dan menikmati hidup setelah penulis merasa sesuatu yang berharga hilang seperti yang diibaratkan dengan maka kenalkan aku padanya, pada air, pada bisu pegunungan, dimana kepundan sajakku abadi. Penulis menganggap bahwa tokoh adalah pencerah dalam kehidupannya, sebagai pandangan hidup bagaimana manis pahitnya kehidupan. Puisi selanjutnya adalah: Orang Pulang Seperti ikan Aku pulang membawa tulang dan insang Hanya tulang dan insang. Dengan sepasang mata es yang kehausan Ambillah wahai Ibuku Inilah yang paling indah yang bisa kubawa untukmu Sebab ikan-ikan adalah binatang ajaib

15

ketika semua cermin pecah oleh mereka yang pergi mengadu nasib 2000 Dalam puisi tersebut, penulis masih mengangkat tema tentang kehidupan sehari-hari. Dimana penulis mengibaratkan seekor ikan adalah seorang anak yang rindu akan tanah kelahiran. Seperti yang dilukiskan dalam puisi di atas, penulis ingin mengatakan bahwa penulis merindukan tanah kelahiran yang penulis cintai. Namun, posisi tokoh dalam puisi di atas dikondisikan sebagai sosok yang biasa-biasa saja. Sebab ikan adalah binatang ajaib kalimat ini diibaratkan sebagai seorang perantau yang mengadu nasib. Dan seperti ikan pula perantau digambarkan, karena ikan akan kembali ke sarang dimana ikan itu pertama kali menatap dunia. Keluar sarang berwujud seekor ikan dan pulang tetaplah seekor ikan, tetapi membawa sebuah kedewasaan dan bekal hidup yang lebih matang. Karya Riki Dhamparan Putra selanjutnya adalah: Surat Kepada Ibu Selalu kutanyakan Beberapa ngarai lagi mesti kugali Agak terlerai gelombang ini, Ibunda Kapal-kapal terus berlayar Helai tangimu yang hanyut Membawaku karam Dalam Pinta demi pinta Beribu camar telah kulepas Jauh dalam sujud Dalam kabut Yang menggenang

16

Di teba-teba jalan Entah berapa lautan lagi Selamatkan aku, Ibunda Beribu hilal telah berganti Aku tak tergambar di dalamnya 1997 Puisi Surat Kepada Ibu menggambar sosok tokoh yang sedang terhimpit suatu masalah. Kepada sosok ibu, tokoh menceritakan kehidupan yang sedang dialaminya, lewat doa yang tokoh panjatkan tersimpan keluh kesah pula yang juga terbukti dalam bait terakhir dalam puisi di atas. Tokoh ingin segera terlepas dari keributan yang menyelimutinya yang entah sampai kapan akan berakhirnya belum terlihat jalan terangnya. Ketiga puisi karya Riki Dhamparan Putra tersebut mewakili dari sekian puisi yang diusung dalam buku berjudul Percakapan Lilin. Tidak hanya tema yang diangkat dalam ketiga puisi di atas saja, melainkan ada beberapa lagi tema yang diangkat oleh Riki Dhamparan Putra. Seperti agama, politik, dan cinta kasih berkolaborasi dalam buku yang berjudul Percakapan Lilin ini.

17

ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI ADA WAKTU BUAT KITA KARYA RINA EKLESIA A. Pengantar Pemanfaatan bahasa dalam puisi memang berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Hal ini secara instingtif disadari atau dirasakan oleh kebanyakan pembaca, bahkan oleh pembaca tak terpelajar sekalipun. Bahasa puisi seolah-olah memiliki semacam tata bahasa khusus yang terkadang tampak sangat menyimpang, apalagi jika dilihat dari segi tata bahasa normatif. Akan tetapi, penyimpangan tersebut dilakukan dengan maksud pencapaian tujuan estetis. (Sayuti, 2002:23) Rina Eklesi dalam bukunya, Bagi saya puisi adalah jiwa, dimana saat saya menulis puisi-puisi ini, roh saya lebur di dalamnya. Dan puisi-puisi saya adalah sahabat sejati saya. Yang paling memahami dan menerima saya apa adanya, tanpa saya harus merubah diri. Kebenaran terlihat dengan apa yang dikatakan Rina Eklesi dalam bukunya tersebut. Puisi adalah sesuatu yang menjadi tempat kita bernaung, melukiskan segala emosi dalam kehidupan. Seperti buku harian, namun dengan tata bahasa yang berbeda. Puisi adalah sosok yang paling bersahabat, mengetahui, dan paling memahami jati diri kita. Karena puisi sebenarnya adalah diri kita, tetapi dalam rupa yang berbeda. B. Pembahasan Ada Waktu Buat Kita, seperti itulah judul buku antologi puisi karya Rina Eklesi. Rina Eklesi adalah sosok penulis yang telah menamatkan studynya di University of Toronto dengan gelar Master of Hospitality Management. Kini Rina Eklesi mengabadikan hidupnya dalam pekerjaannya sebagai pekerja sosial di sebuah yayasan Gita Eklesia yang didirikannya tahun 2000. Panti asuhan ini adalah medianya dalam menyatakan kasih dan rasa syukurnya kepada Tuhan. Tidak hanya sebagai pekerja sosial di panti asuhannya saja, Rina adalah seorang konsultan di sebuah hotel tempatnya

18

bekerja juga. Buku miliknya ini adalah sebuah tulisan yang kesekian dari beberapa tulisannya, seperti: Selamat Pagi, Novelet Tahun 1986, Gerhana, Novel Tahun 1999, Cerita Hati Kumpulan Puisi, Tahun 2003, Perahu Jingga, Novel Tahun 2009. Ada Waktu Buat Kita karya Rina Eklesi ini begitu kental dengan kisah romannya. Kisah cinta kasih dimana-mana, mulai dari asamnya cinta kasih sampai manisnya cinta kasih berkolaborasi dalam satu bingkai. Beberapa diantaranya adalah puisi berikut ini: Dalam Rindu Kasih datanglah! Saat ini aku haus belaimu Kini aku terbaring Lihatlah dalam gairah jamahmu tubuhku bergelora menanti dekapmu Kasih datanglah! Aku lapar akan kecupmu Pengharapan begitu terasa, tokoh yang menanti kedatangan

kekasihnya seperti permintaannya dalam puisi tersebut kasih datanglah!. Dimana penulis meletakkan tokoh dalam kondisi sedang terjatuh dan terselimuti kerinduan yang begitu dalam yang dilukiskan dalam kalimat kini aku terbaring. Terjatuh karena kerinduan yang begitu mendalam, menguras habis pikiran. Puisi selanjutnya: Di Ujung Senja

19

Di ujung senja ini, Sekilas hati bergetar, Manatap apa yang terpapar, Oh, betapa indah cintamu, Kau beriku arti bahagia, Bukan bukan, Bukan bahagia yang semu, Tapi bahagia sebab kau buat ku bermakna, Bahagia saat kumampu hayati perih, Dan bahagiaku saat kurasa indahnya sunyi, Di ujung senja ini, Tak henti kubersenandung, Satu nada yang kau cipta, Tentang indahnya dicinta (terima kasih tulusku kepadamu yang membuatku ada di tempat kini, dan memberiku sebuah hati) Rasa hati berbunga-bunga ketika merasakan cinta hadir dalam kehidupan. Menemukan pelabuhan hati, tentunya. Kebahagiaan begitu kental dalam puisi tersebut, tokoh diposisikan sangat menikmati cinta kasihnya. Saling percaya antara satu sama lain terlihat juga begitu kental. Terlihat dalam sepenggal kalimat terakhir dalam puisi tersebut. Serenada lantunan cinta kasih yang terbungkus rapi dengan tata bahasa yang begitu khas dibuatnya. Tentang indahnya cinta tulus diberikan. Amazinng Karyanya selanjutnya berjudul: Selamat Jalan Saat terdiam dalam perenungan Saat menghitung detik yang pernah berdetak

20

Bahkan saat mimpi mulai kembali dirajut Dan saat asa mulai ditebar Dalam setiap doa yang terucap Engkau menghentak Menorehkan sejarah baru Ya, kepergianmu menyadarkan negeri Bahwa engkau pernah ada Membuat bangsa penuh warna Sayang, Kami baru menghargaimu Saat semua menjadi kenangan (selamat jalan pahlawan bangsa: Gus Dur) Berwujud pujian sekaligus mengisahkan tentang gerak juang. Puisi ini satu diantara sekian puisi dengan tema yang berbeda. Tema yang diangkat untuk mengenang salah satu tokoh di negeri ini, Indonesia. Dalam setiap doa yang terucap penulis mengisahkan tentang sebuah gambaran tentang gerak juang Gus Dur membuat sebuah kisah baru. Membuat warna baru. Rina Eklesi penulis karya sastra romance, membungkus kata demi kata dengan sebuah bingkai indah bertubuh prosa. Lekuk karyanya begitu indah dirasakan, seperti Di Ujung Senja yang menjebak pembaca Dalam Rindu dan seolah-olah tidak ingin mengucapkan Selamat Jalan untuknya.

21

ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI AKU BUKAN MASA DEPAN KARYA SHINTA FEBRIANY A. Pengantar Bahasa puisi cenderung mengitegrasikan satuan-satuan ekspresi dari tahapan arti secara mimesis ke tahapan makna secara semiosis. Jadi, makna merupakan praksis transformasi yang memang dilakukan secara sadar oleh pembaca. (Sayuti, 2002:348) Aku Bukan Masa Depan karya Shinta Febriany adalah sebuah buku antologi puisi yang menjadi sebuah langkah lain dalam dunia sastra Indonesia yang dibuat oleh penyair perempuan. Langkah yang menjelaskan berlangsungnya pemaknaan gender antara teks perempuan dengan teks lakilaki. Dimana kelamin teks ini tidak hanya membawa konsekuensi terhadap pilihan kata, konsep, dan pesan. Melainkan juga kerja metaforik yang dilakukan, termasuk pelaksanaan terhadap ruang, waktu, dan gerak. B. Pembahasan Shinta Febriany Sjahrir, lahir di Palopo pada 5 Januari 1979. Dibesarkan di beberapa kota di Sulawesi, seperti Palopo, Soppeng, Toraja, dan Makasar. Puisi buah tangannya lebih banyak dibacakan untuk anggota keluarganya sendiri juga teman-teman terdekatnya dengan sebuah lingkungan kecil yang Shinta kenal. Hasil karya Shinta pernah dimuat di beberapa buku antologi juga. Kegiatannya adalah seorang aktivis teater pada tahun 1996 ketika bergabung dengan komunitas kesenian Sanggar Merah Putih Makasar. Sosok Shinta juga menjadi salah satu pendiri komunitas bernama Angkatan Muda Perempuan Indunesia (AMPUNI) yang memperjuangkan penghapusan kekerasan pada tahun 1999.

22

Berikut adalah hasil karya Shinta Febriany dalam bukunya: Buatlah Kalimat dari Kata Perpisahan Apa yang lelaki harapkan setelah sebuah ciuman, cinta? Sebuah rumah dengan jendela yang menabur daundaun gugur di atas tempat tidur. Sebuah pertanyaan tentang apa yang lelaki dapat ketika bersama pasangannya. Dalam puisi tersebut mengisahkan sosok perempuan yang bertanya-tanya tentang sosok lelaki. Perjalanan cinta yang sulit untuk dicerna. Sebuah makna dimana kekandasan perjalanan cinta diibaratkan dengan daundaun yang gugur. Dan kisah kasih antara keduanya diibaratkan dengan sebuah rumah dengan jendela. Puisi selanjutnya adalah: Hujan dalam Kamar Hujan menerpa jendela kamar. Hujan semakin lama semakin lebat, seperti padian yang ditabur menjelang musim panen. Langit amat gelap dan jendela berkabut. Jendela dari kaca membentuk rambut yang pecah-pecah menjadi sapu ijuk, tetapi sapu ijuk tak mampu mengeringkan wajah yang basah. Wajah tempatnya tumbuh dan berbunga. Tak ada lampu yang menyala di dalam kamar, tetapi mengapa selalu ada hujan? Seperti halnya puisi sebelumnya, puisi ini masih bertemakan tentang kisah kasih yang menyelimuti tokoh. Namun, dalam puisi ini tokoh dikondisikan sedang menangis yang diibaratkan dengan hujan. Emosi kejiwaan tokoh juga digambarkan melalui wajah adalah tempat tumbuh dan berbunga yang dapat diartikan manusia adalah sosok yang berkembang dan murah senyum. Kemudian juga dikisahkan ketika tokoh merasa seolah-olah

23

sudah tidak menemukan jawaban tentang keadaannya tersebut yang diibaratkan dengan sebuah pertanyaan tentang hujan yang selalu ada dalam kamarnya. Karya Shinta berikutnya berjudul: Opera Kanak-kanak Aku selalu menyangka kalau cinta kita layaknya dongeng masa kanak-kanak, menderas sejenak lantas mengeras di setiap detak waktu. Dalam puisinya kali ini, penulis mengibaratkan kisah kasihnya seperti sebuah opera kanak-kanak. Dimana ketika masih awal merajut kisah mereka selalu bersama kemanapun mereka melangkah. Namun, ketika mereka telah merasakan manisnya sebuah kisah kasih, mereka terjatuh merasakan pahitnya sebuah hubungan yang penulis ibaratkan dengan kalimat menderas sejenak lantas mengeras di setiap detak waktu. Kalimat tersebut juga dapat diartikan bahwa keduanya berpisah dan menutup kisah mereka untuk selama-lamanya.

24

ANALISIS KARYA SASTRA KUMPULAN PUISI BERABAD-ABAD SETELAH PEREMPUAN BERSEMBUNYI DALAM TUBUHKU KARYA NANOQ DA KANSAS A. Pengantar Ciri utama puisi adalah kesatuannya, baik kesatuan semantis maupun kesatuan formal. Hal ini bisa dipahami karena puisi merupakan hasil dari intensifikasi dan konsentrasi, baik dilihat dari perspektif ekspresif, objektif, imitative, maupun konatif. (Sayuti, 2002:350) Dalam bukunya ini, puisi yang disajikan terlahir dari tempat-tempat yang tak terduga. Seperti di kebun, di jalanan setapak, juga di sebuah kampung yang tidak begitu besar. Penulis yang membuat karyanya tanpa mencamtumkan kapan penulis mulai menulis karyanya, karena penulis selalu berharap bahwa karyanya selalu berjalan sejalan dengan waktu. B. Pembahasan Wayan Udiana adalah nama sebenarnya dari Nanoq da Kansas. Penulis ini lahir pada Desember 1965 dari sebuah keluarga petani di Dusun Moding, Candikusuma, Jembrana, Bali. Pada awalnya Nanoq belajar sastra secara otodidak, namun kemudian berguru kepada Umbu Landu Paranggi. Karya-karyanya juga pernah dimuat di media-media yang tersebar di Indonesia. Nanoq da Kansas juga seorang pendiri sebuah komunitas teater yang dinamakannya Teater Kene pada tahun 1988. Kemudian mendirikan Bali Eksperimental Teater (BET). Tidak hanya itu, Nanoq juga seorang aktivis dalam bidang seni serta sosok yang memprakarsai penerbitan jurna Kertas Budaya.

25

Berikut puisi-puisinya: Cahaya Waktu


- kepada ayah

Aku berteduh di gigir isyaratmu Tapi aku jatuh cinta pada gunung Yang mengingatkan kemarau pada keheningan O, air sungai! Maka seluas misterikah hatimu? Rinduku hanyut dalam dahaga zaman Lalu di gelombang kasihmu Aku terdampar jadi puisi Aku berteduh di gigir isyaratmu, adalah sebuah pengibaratan tentang tokoh yang patuh terhadap apa yang orang tuanya katakan. Namun suatu ketika, tokoh lepas dari kedua orang tuanya yang mengakibatkan sebuah boomerang bagi kehidupannya. Kerinduan yang dia miliki telah hilang dalam perjalanannya. Cinta yang Sederhana Siapakah yang menyemaikan terang Ketika kabut demi kabut purba Dalam hatiku dalam hatimu Menjadi ladang-ladang harapan Senantiasa harapan Siapakah yang mengerjakan cinta Meniup gumpalan demi gumpalan rindu Dalam hatiku dalam hatimu Menjadi musim-musim pelangi

26

Yang mematangkan kita Dan kepompong itu pun membuka rahasia Ketika hidup menyerahkan kepercayaannya Pada kekuatan sayap kupu-kupu Untuk kesempurnaan cahaya semesta Lalu bunga-bunga menjadi senyum bumi Dan aku, bolehkah jadi kupu-kupu? Bait pertama dalam puisi ini, mengibaratkan seorang tokoh yang sedang jatuh cinta. Melalui sajak seperti ini, tokoh memberikan sebuah lampu hijau untuk pasangannya yang kemudian diikuti bait kedua. Dalam bait kedua ini adalah kelanjutan cerita mereka yang lebih dalam. Dan kepompong itu pun membuka rahasia, hati manusia diibaratkan sebagai kepompong membuka rahasia hati tentang perasaannya kepada pasangannya yang kemudian memberikan kepercayaan kepada pasangannya. Dan tokoh ingin menjadi sosok kupu-kupu, karena kupu-kupu dalam puisi tersebut disimbolkan sebagai ungkapan isi hati yang tersimpan di dalam sebuah kotak rahasia dalam hatinya. Karya berikutnya adalah: Di manakah Tempat Anak-anak Bermain Diperingatkan iklan, Anak-anak menjadi musuh bagi dunianya Kesepian pada kelengangan usia merdeka Mereka disembunyikan para babu di layar televisi Dibebaskan dari kecup kasih lantai Bunga-bunga dijauhkan dari jangkauan Karena jamban Kristal dialiri insektisida Sementara pada orang tuanya pun mereka tak dapat

27

waktu untuk sedikit dekap dan kecup di manakah tempat anak-anak bermain? Begitu meraba hati, puisi di atas mengisahkan tentang kehidupan seorang anak yang tidak dapat menikmati masa kecilnya dengan sempurna seperti terlihat pada bunga-bunga dijauhkan dari jangkauan. Sementara itu, anak-anak itu juga hampir tidak merasakan bagaimana kehangatan kedua orang tua mereka. Dan televisi diibaratkan sebagai penjara kehidupan seorang anak, karena lebih menghipnotis mereka dengan tawaran hiburan yang bermacam-macam.

28

DAFTAR PUSTAKA Junus, M. Melalatoe. 2006. Luka Sebuah Negeri. Jakarta: Yayasan Obor Jabaril, Rahmat. 2008. Patah. Bandung: Ultimus Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Sahide, Ahmad. 2011. Kusimpan Kau dalam Puisi. Yogyakarta: The Phinisi Pers Putra, Riki Dhamparan. 2004. Percakapan Lilin. Yogyakarta: AKYPRESS Eklesia, Rina. 2004. Ada Waktu Buat Kita. Malang: Kedai Buku Sinau Febriany, Shinta. 2003. Aku Bukan Masa Depan. Yogyakarta: Bentang Budaya Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media Da Kansas, Nanoq. 2005. Berabad-abad Setelah Perempuan Bersembunyi dalam Tubuhku. Bali: PANAKOM

29

Você também pode gostar