Você está na página 1de 11

TINJAUAN FILSAFAT HUKUM ADAT TERHADAP PELAKSANAAN ASAS GOTONG ROYONG DALAM MASYARAKAT DI BALI

Dewa Putu Tagel NIM : 0990561036 KONSENTRASI : HUKUM DAN MASYARAKAT

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang. Banjar sebagai salah satu lembaga tradisonal masyarakat Bali memiliki karakteristik yang berlandaskan agama hindu, adat dan budaya, merupakan salah satu sistem kemasyarakat adat di Bali yang diwadahi awig-awig.

Karena awig-awig merupakan hukum adat yang menyangkut tentang aturan kehidupan masyarakat dibidang agama, pendidikan, sosial dan budaya yang disusun dan ditetapkan oleh anggota banjar berdasarkan musyawarah mufakat.1 Adat Bali selalu mengusahakan keseimbangan antara tuhan, manusia dan alam yang dikonsepsikan ke dalam ajaran tri hita karana. Masyarakat Bali

sesungguhnya adalah masyarakat yang saling menghargai dan memiliki toleransi tinggi, salah satu penyangga kreatifitas masyarakat Bali adalah

gotong royong yang diaktualisasikan dalam gerak kehidupan bermasyarakat Gotong royong bukanlah hal yang aneh bagi masyarakat Bali pada umumnya, atau krama banjar khususnya. Karena pada hakekatnya pelaksanaan kehidupan masyarakat adat Bali ditopang oleh dua aktivitas penting yaitu urunan (pewedalan) dan gotong royong (ayah-ayahan).2 Peranan banjar

sebagai organisasi kemasyarakatan dimana rasa kekeluargaan masih tinggi dengan prinsip utama saling memberi dan menerima sangatlah penting dalam

Lanang Rai, 2008, Awig-awig wadah sistem kemasyarakatan adat Bali, available from : URL : http://www. lobarbangkit.com/web/p=22 2 Adiputra, 2004, Semangat Gotong Royong dan Ngayah, Majalah Taksu, Edisi Juni No 128

mengimplementasikan

prinsip-prinsip gotong royong. Banjar memiliki

kedudukan ganda yaitu bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan Tatanan masyarakat adat Bali sangat kental dengan perikatan kekerabatan, sehingga terwujud suatu ketergantungan satu sama lain. Adat istiadat merupakan sistem nilai dari suatu pranata sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan salah satu unsur dari adat istiadat tersebut adalah gotong royong. Gotong royong dipandang sebagai ekspresi

masyarakat Bali sebagai perwujudan dari pikiran dan perasaan, merupakan bagian dari tatanan masyarakat adat Bali. Kekuatan manusia pada hakekatnya tidak hanya terletak pada kemampuan fisiknya atau kemampuan psikisnya semata, tetapi terletak pada kemampuannya untuk bekerja sama dengan manusia lainnya. Gotong royong merupakan nilai atau adat istiadat dari tingkah laku masyarakat. Keterikatan masyarakat Bali dengan sistem yang terkait agama dan adatnya sangat kuat, akan tetapi dalam realita Bali yang terjadi saat ini bahkan ada kecendrungan gaya hidunya sudah mengarah pada sentralistik dan individualime. Masyarakat Bali tidak lagi sepenuhnya murni mengusung budaya gotong royong , karena secara nyata sebagaian dari masyarakat sudah tidak peduli dengan kondisi tersebut karena dituntut untuk bekerja dalam menyambung hidup. Sementara dipihak lain adat yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali sangat kental dengan nuansa gotong royong, sepenuhnya mengapresiasikan dipertahankan. tidak lagi

gotong royong sebagai tradisi yang perlu

Gotong royong

merupakan modal positif yang perlu untuk

dipertahankan, akan tetapi sebagai bagian dari peradaban global masyarakat adat Bali tidak dapat terlepas dari arus globalisasi. Konsekuensinya adalah terjadinya pergeseran-pergeseran nilai. Dalam perkembangan sekarang banjar mulai bertambah fungsi dimana sebelumnya hanya mengurus kepentingan interen krama banjar, namun sekarang banjar juga mengurus masalah administrasi pemerintahan. Semua itu tentu akan berimplikasi terhadap prilaku dan pola pikir masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong seperti menurunya semangat gotong royong dalam banja

1.2 Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam karya tulis ini adalah Apakah faktor-faktor penyebab menurunnya semangat gotong royong dalam kehidupan krama banjar?

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Menurunnya semangat gotong royong dalam kehidupan krama banjar Kodrat manusia adalah sebagai mahluk individu dan sekaligus mahluk sosial, sebagai mahluk individu mimiliki ciri dan sifat yang khusus untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimiliki, sedangkan sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat hidup dan tidak dapat berkembang tanpa bantuan dari orang lain. Gotong royong merupakan bentuk kerja sama yang spontan, yang telah membudaya serta mengandung unsur-unsur timbal balik yang bersifat sukarela yang telah melembaga dalam masyarakat adat Bali sejak jaman kerajaan. Pada hakekatnya dalam gotong royong ada nilai-nilai yang terkandung antara lain3 : 1. 2. 3. 4. 5. Terciptanya suasana kekeluargaan. Adanya rasa saling menghormati, Mengembangkan sikap tenggang rasa. Rela berkorban untuk kepentingan bersama. Merasa ikut memiliki, ikut bertanggung jawab dan tidak memaksakan kehendak. 6. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.

Rangkuti, Sofia, 2002, Manusia dan Kebudayaan Indonesia Teori dan konsep, Trimedia, Jakarta, hal 51

Selain itu prinsip gotong royong dalam masyarakat Bali juga memiliki konskuensi berupa kewajiban-kewajiban. Dalam kaitanya dengan kewajibankewajibannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu4 : a. Kewajiban religius, terutama yang berkaitan dengan pura. b. Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan sosiokultural banjar adat Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai kaidah atau norma yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tentram. Dalam pergaulan tersebut manusia mendapatkan pengalaman tentang bagaimana mengembangkan diri untuk saling bergotong royong atau tolong menolong. Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai yang positif maupun negatif, sehingga manusia mempunyai konsep abstrak mengenai apa yang baik dan harus dijalani dan mana yang buruk dan harus dihindari dan sistem nilai sangat berpengaruh pada pola pikir mayarakat. Pola pokir masyarakat mempengaruhi sikap yang merukapan

kecendrungan untuk melakukan sesuatu, kemudian sikap masyarakat membentuk kaidah karena cendrung ingin hidup teratur. Di satu pihak kaidah tersebut ada yang mengatur pribadi manusia yang bertujuan agar manusia memiliki budi pekerti atau hati nurani yang bersih, sementara di pihak lain kaidah yang mengatur kehidupan masyarakat terdiri dari kaidah kesopanan dan kaidah hukum. Kaidah kesopanan bertujuan agar pergaulan berlangsung dengan menyenangkan, sementara kaidah hukum dalam hal ini hukum adat bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan. Kedamaian tersebut akan tercapai dengan menciptakan keserasian antara ketertiban dan
4

Arwata, Ngurah, 2003, Kesmestaan Gaya Bali, Majalah Sadar, edisi 38/Mei 2003

ketentraman dengan mengembangkan sikap tenggang rasa yang merupakan salah satu nilai yang terkandung dalam asas gotong royong 5. Gotong royong sebagai salah satu asas dalam tatanan masyarakat adat Bali dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut, antara lain : 2.1.1 Adanya sifat individualisme. asas gotong royong sangat bertolak belakang dengan tingkat independensi manusia dalam suatu kehidupan masyarakat adat, karena semakin menjadi independen sebagai ciri manusia yang memiliki sifat indivudualis, meraka semakin terlepas dari budaya gotong royong. Dengan menonjolkan sifat individualisme sikap, tradisi, budaya dan prinsip-prinsip gotong royong mulai meluntur dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat perkotaan maupun pedesaan agar tidak kalah bersaing harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, akibatnya mereka kurang punya waktu untuk bersosialisasi dengan tetangga mereka dikarenakan mereka sibuk untuk mencari nafkah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin menjadi mandirinya anggota masyarakat maka mereka juga menjadi individualistik yang berpengaruh terhadap menurunnya semangat gotong royong.

2.1.2 Masuknya pengeruh budaya asing.

Supriyadi. Gering, Tri Guno, 1993, Falsafah Gotong Royong suatu konsep, Yunaco, Jakarta, hal 36

Setiap lapisan kebudayaan

masyarakat sudah barang tentu memiliki

masing-masing yang berbeda, namun dari sifat dan

hakekatnya berlaku secara umum yaitu adanya hasil pemikiran manusia, sebagai wujud tingkah laku mencakup aturan yang bersifat dinamis untuk melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lain. Hal ini yang menyebabkan setiap nilai-nilai yang terkandung dalamnya menciptakan keserasian dalam pergaulan masyarakat dan selalu diikuti oleh perkembangan kebudayaan masyarakat dimana mereka hidup, karena nilai-nilai atau kaidah-kaidah merupakan budaya yang hidup dalam masyarakat tersebut. Berkaitan dengan kehidupan suatu masyarakat tidak akan mungkin dihindari terjadinya pengaruh budaya lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain bahwa budaya suatu masyarakat pasti akan bersentuhan dengan budaya masyarakat lain diluar wilayah negara, dan apabila terjadi secara terus menerus maka tidak menutup kemungkinan budaya luar akan ditiru oleh budaya masyarakat yang bersangkutan. Adanya pengaruh budaya luar yang diawali dengan masuknya tehnologi asing sebagai budaya luar, sudah barang tentu menimbulkan berbagai permasalahan. 3.2.3 Degradasi nilai sosial budaya masyarakat. Di setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat sudah barang tentu perubahan selalu terjadi, karena perubahan dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari karena akibat dari adanya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dengan 8

adanya perubahan maka yang diperlukan adalah kesiapan masyarakat akan penerimaan dari perubahan tersebut yaitu dengan menebalkan rasa saling hormat menghormati, saling menghargai sebagai nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong. Namun apabila masyarakat belum siap menerima perubahan yang terjadi maka akan berakibat pada menurunnya nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong seperti menebalnya rasa

individualisme seseorang yang tidak lagi menghargai nilai-nilai pergaulan yang hidup dalam masyarakat. Maka terjadilah sikap memaksakan kehendak untuk mencari jalan pintas dalam mencapai tujuan tanpa mempedulikan dampak yang ditimbulkan dan

mengabaikan rasa tanggung jawab dalam kebersamaan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain. Dengan menonjolkan kekuatan egoisme sehingga mengakibatkan pertikaian dan bentrokan sesama warga. Maka yang terjadi adalah adanya degradasi nilai sosial budaya masyarakat yang berakibat menurunnya semangat gotong royong dalam tatanan

masyarakat adat Bali.

BAB III 9

KESIMPULAN Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Gotong royong merupakan salah satu asas dalam tatanan masyarakat adat Bali didalamnya tertanam nilai-nilai yang terkandung seperti tidak memaksakan kehendak dan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain. Perubahan dalam setiap masyaraakat merupakan suatu hal yang normal sebagai cermin dari tatanan masyarakat itu sendiri. Setiap perubahan senantiasa adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, demikian halnya dengan menurunnya asas gotong royong dalam tatanam masyaraakat adat Bali. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain : Adanya sifat Individualisme, dimana semakin mandirinya anggota masyarakat maka mereka juga menjadi individualistik yang berakibat pada menurunya budaya gotong royong. Pengaruh budaya luar yaitu dengan adanya kontak budaya suatu masyarakat dengan budaya masyarakat luar maka dapat mempengaruhi terjadinya perubahan dalam tatanan masyarakat tersebut termasuk termasuk salah satunya budaya gotong royong itu sendiri. Degradasi nilai sosial budaya masyarakat dimana adanya sikap memaksakan kehendak untuk mencari jalan pintas dalam mencapai tujuan tanpa mempedulikan dampak yang ditimbulkan dan mengabaikan rasa tanggung jawab dalam kebersamaan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain. DAFTAR PUSTAKA

10

Arwata, Ngurah, 2003, Kesemestaan Gaya Bali, Majalah Sadar, edisi 38/Mei 2003 Adiputra, 2004, Semangat Gotong Royong dan Ngayah, Majalah Taksu, Edisi Juni No 128/Tahun 2004 Lanang Rai, 2008, Awig-awig wadah sistem kemasyarakatan adat Bali, available from : URL : http://www. lobarbangkit.com/web/p=22 Supriyadi. Gering, Tri Guno, 1993, Falsafah Gotong Royong suatu konsep, Yunaco, Jakarta Rangkuti, Sofia, 2002, Manusia dan Kebudayaan Indonesia Teori dan konsep , Trimedia, Jakarta

11

Você também pode gostar