Você está na página 1de 17

I.

PENDAHULUAN Metode kontrasepsi hormonal pada pria belum banyak kita kenal dan belum memasyarakat sebagai salah satu metode kontrasepsi, dibandingkan metode kontrasepsi pada wanita yang sudah dikenal dan diterima secara luas. Walaupun penelitian-penelitian sudah banyak dilakukan tentang kontrasepsi hormonal pada pria, disamping kontrasepsi dengan memakai kondom atau dengan melakukan vasektomi.
1,2

Pria merupakan fokus baru untuk program KB yang selama ini belum banyak diperhatikan. Kontrasepsi pria mempunyai harapan perkembangan yang cukup luas di masa datang, dengan ditemukannya hasil penelitian baru. WHO sebagai badan kesehatan dunia telah membentuk suatu Task Force untuk mencari atau mengembangkan metode pengaturan kesuburan pria yang aman, efektif, reversibel dan dapat diterima, serta memonitor keamanan dan efektifitas metode yang ada.
2,3

Secara garis besar cara kontrasepsi pria dapat dibagi menjadi cara mekanis dan cara medikamentosa. Secara mekanis dengan pemakaian kondom dan secara operatif dengan vasektomi. Salah satu cara pengaturan kesuburan pria dengan cara medikamentosa adalah dengan hormon. Sampai saat ini telah diketahui beberapa hormon yang dapat menekan produksi spermatozoa, antara lain analog gonadotropin releasing hormon (GnRH), hormon steroid seperti androgen, progestin dan estrogen. Beberapa jenis androgen yang mudah diperoleh dan diketahui dapat menekan spermatogenesis, misalnya testosteron enanthate (TE) dan 19 nortestosteron (nandrolon).
1,2,3,4

Kadar testosteron yang normal dalam darah berfungsi memelihara dan mempertahankan spermatogenesis. Sebaliknya kadar testosteron yang tinggi diatas kadar fisiologis akan menghambat spermatogenesis. Akibatnya terjadi oligozoospermia atau azoospermia. Hal ini menjadi dasar pemikiran perkembangan kontrasepsi pada pria.
2

Kontrasepsi hormonal pria lebih sulit dilakukan untuk menekan produksi sperma dibandingkan dengan kontrasepsi hormonal pada wanita. Secara teori lebih mudah menekan ovulasi pada wanita sebulan sekali dari pada menekan produksi sperma yang diproduksi terus menerus. Produksi sperma tergantung dari stimulasi gonadotropin terus menerus, bila ingin menekan sekresi gonadotropin diperlukan dosis steroid seks yang tinggi.
1,4

Tujuan penulisan referat ini untuk dapat memberikan informasi menyebabkan azoospermia dan oligozoospermia pada pria normal.

dan

pengetahuan arah pengembangan kontrasepsi testosteron yang dapat

II.

SPERMATOGENESIS Di dalam testis terjadi proses spermatogenesis yaitu proses terbentuknya spermatozoa sel primordial. Di dalam proses spermatogenesis termasuk pula proses spermiogenesis yaitu perubahan dari spermatid menjadi spermatozoa. Proses spermatogenesis ini terjadi
5,6

di

dalam

tubulus

semineferus.

Spermatogenesis yang baik juga tergantung pada bentuk, besar, konsistensi dan kedudukan testis dalam skrotum. Tubulus semineferus yang berbentuk kumparan-kumparan terdiri atas sejumlah besar epitel germinal yang disebut dengan spermatogonia, terletak didua sampai tiga lapisan sepanjang perbatasan luar epitel tubulus. Jaringan diantara tubulus mengandung jaringan ikat yang berisi pembuluh darah, limfe dan sel Leydig. Bagian tepi tubulus semineferus tersusun oleh jaringan epitel yang berasal dari sel primordial pada masa embrio, dan sel-sel Sertoli yang berfungsi sebagai penyokong dan pemelihara.
5,6

Gambar 1: Potongan tubulus seminiferus testis manusia. Dikutip dari Rosenfield

Pada masa puber seorang pria mulai terjadi proses spermatogenesis secara teratur. Sel primordial yang bersifat diploid mengalami pembelahan miotik dan menjadi besar dinamakan spermatogonium. Spermatogonium akan tumbuh menjadi spermatocyt I yang segera mengalami pembelahan miotik menjadi spermatocyt II yang haploid, dan selanjutnya akan menghasilkan 4 buah spermatid pada akhir proses miosis.
5,6

Setelah mengalami proses spermiogenesis (deferensiasi dan maturasi) lebih lanjut spermatid akan menjadi spermatozoa. Jadi dari satu sel spermatogenium yang 2 n pada akhir spermatogenesis akan menghasilkan 4 buah spermazoa yang 1 n. proses ini terjadi secara teratur dan membutuhkan waktu kurang lebih 74 5 hari.
5,6

Gambar 2: Diagram pembentukan spermatozoa dari 1 spermatogonium. Dikutip dari Rosenfield


9

III. PERAN HORMON PADA SPERMATOGENESIS Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh organ hipothalamus, hipofise dan testis sendiri. Hormon yang terlibat adalah testosteron, hormon lutein (LH), hormon perangsang folikel (FSH: follicle lainnya. hormon stimulating
6,7,8,9

hormone),

estrogen,

dan

hormon

pertumbuhan

Testis selain sebagai organ penghasil sperma juga menghasilkan hormonseperti testosteron, dihydrotestosteron, estradiol, estrone, 17-hyroxy pregnenolone, 17-hydroxypregnenolone, 5-androstenadiol,

progestrone dan progestrone. Hormon-hormon ini selain testosteron tidak jelas apakah diproduksi oleh sel Leydig seminiferus.
6,7,8,9

atau oleh sel-sel dari tubulus

Gambar 3: Kontrol endokrin pada spermatogenesis. Dikutip dari Speroff

A. Testosteron Sekresi hormon ini oleh sel-sel Leydig yang terletak diintersisium testis. Hormon ini memegang peranan penting pada satu tahap penting proses pembelahan sel-sel germinal untuk pembentukan sperma, terutama pembelahan miosis untuk membentuk spermatosit sekunder. Hormon ini

mengontrol perkembangan organ reproduksi pria dan tanda seks sekunder pada pria berupa pembesaran laring, perubahan suara, pertumbuhan rambut ketiak,pubis, dada, kumis dan jenggot. Juga untuk pertumbuhan otot dan tulang. B. Hormon Lutein Hormon ini disekresikan oleh sel karminofil dari kelenjar hipofisis bagian anterior. Berperan dalam stimulasi C. FSH Dihasilkan oleh sel basofil lobus anterior hipofise. Pada testis hormon ini mengakibatkan terpacunya adenyl cyclase di dalam sel sertoli yang berperan dalam meningkatkan produksi cyclic AMP, memacu produksi androgen binding protein (ABP) di dalam tubuli semeniferus dan di dalan epididymis. Dengan demikian FSH bekerja menyiapkan kadar androgen yang cukup untuk sel germinal dan memacu pendewasaan spermatozoa di dalam epididymis. D. Estrogen Dibentuk oleh sel-sel sertoli ketika sedang distimulasi oleh FSH. Hormon ini kemungkinan diperlukan pada proses spermiasi. Sel-sel sertoli juga mengsekresikan suatu protein pengikat androgen. Yang mengikat baik testosteron dan estrogen maupun keduanya ke dalam cairan tubulus seminiferus, yang diperlukan untuk maturasi sperma. E. Hormon pertumbuhan lainnya Seperti juga pada sebagian besar hormon lainnya diperlukan untuk mengatur latarbelakang fungsi metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara khusus meningkatkan pembelahan awal spermatogenesis. sel-sel Leydig untuk meproduksi testosteron, juga menyebabkan dihasilkannya estradiol.

IV. PERANAN TESTOSTERON PADA SPERMATOGENESIS

5,6,9

Pada pria testorsteron merupakan androgen utama dalam system peredaran. Biosintesis testosteron berlangsung dalam sel Leydig di jaringan inter tubuler, sedangkan proses spermatogenesis berlangsung dalam epitel tubulus semineferus. Di dalam tubulus semineferus , testosteron berfungsi dalam mengontrol proses spermatogenesis pada pembelahan miosis dan proses spermiogenesis. Hormon lain yang berhubungan dengan spermatogenesis adalah FSH dan LH. FSH bekerja langsung pada epitel germinal atau melalui sel Sertoli, sedangkan LH berpengaruh pada sel Leydig untuk memproduksi testosteron. GnRH dari hipotalamus merangsang hipofisis untuk melepaskan FSH dan LH. FSH bekerja pada sel germinal untuk memulai proliferasi dan diferensiasi serta meningkatkan sensitifitas sel Leydig terhadap LH untuk memproduksi testosteron (steroidogenesis). Testosteron dan FSH secara sinergis diperlukan secara normal untuk proses spermatogenesis. Testosteron bekerja pada sel sertoli untuk menghasilkan zat gizi yang diperlukan dalam proliferasi dan diferensiasi sel germinal untuk membentuk spermatozoa yang fungsional. Disamping itu testosteron yang berdifusi ke sel peritubuler diperlukan untuk menghasilkan faktor pemacu sel sertoli (P-modS) yang penting untuk meningkatkan aktifitas sel sertoli untuk menghasilkan zat-zat gizi bagi sel germinal.

V.

TESTOSTERON

SEBAGAI

ALTERNATIF

PENGEMBANGAN

KONTRASEPSI PRIA Metoda kontrasepsi hormonal bertujuan untuk mengurangi atau mencegah produksi spermatozoa secara reversibel yaitu hambatan sekresi gonadotropin sehingga kadar testosteron intra-testikuler menjadi rendah. Pemberian testosteron dari luar ditambah dengan produksi hormon testosteron dari tubuh menyebabkan testosteron dalam darah tinggi. Hal ini akan menyebabkan mekanisme umpan balik negatif terhadap hipofisis sehingga produksi LH dan FSH menurun. Penurunan kadar FSH dan LH akan menghambat proses spermatogenesis. Oleh karena itu testosteron dapat diharapkan sebagai bahan kontrasepsi karena sangat efektif untuk menginduksi terjadinya azoospermia dan oligozoospermia.
10

Meskipun produksi spermatozoa turun 95% pada relawan yang mendapat injeksi testosteron dosis suprafisiologis, tetapi tidak semua relawan menjadi azoospermia. Hasil penelitian dari berbagai tempat menunjukkan azoospermia dicapai setelah pemberian TE. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan testosteron plasma 40% di atas normal. Untuk lebih meningkatkan efektifitas testosteron menurunkan produksi sperma sampai mencapai azoospermia, digunakan kombinasi androgen/ testosteron dengan progesteron. Progestron digunakan untuk kontrasepsi wanita karena dapat menekan gonadotropin. Mekanisme kerja inilah yang dipakai pada kontrasepsi pria untuk menekan gonadotropin, sehingga dapat menekan produksi sperma.
10

VI. KEAMPUHAN TESTOSTERON SEBAGAI KONTRASEPSI Penelitian pendahuluan dengan menggunakan injeksi testosteron propionat dengan dosis 25 mg perhari telah diteliti oleh Reddy dan Rao. Mereka mempelajari dengan penyuntikan tersebut dapat menjadikan pria menjadi oligozoospermia sampai menjadi azoospermia. Berbagai penelitian lainnya telah dilakukan sejak tahun 1970-an untuk menekan produksi sperma dengan menggunakan testosteron. Pada tahun 1990 WHO mempublikasikan hasil penelitian keampuhan TE untuk kontrasepsi hormon pada pria. Peneltian dilakukan di 10 pusat penelitian andrologi di 7 negara dengan menyuntikkan 200 mg TE tiap minggu pada 271 relawan. Pria fertile yang disuntik TE mencapai azoospermia selama 6 bulan dan diteruskan selama 1 tahun fase keampuhan. Dari 157 pria azospermia yang memasuki fase keampuhan ternyata 1 orang pasangan mereka yang hamil (0,8%). Hal ini menunjukkan bahwa bila pemberian testosteron menyebabkan azospermia keampuhannya lebih besar daripada kontrasepsi wanita, tetapi hanya 70% pria yang menjadi azospermia.
10,11,12

Untuk mengetahui apakah penurunan sperma sehingga mencapai kurang dari 5 juta/ml, ampuh sebagai kontrasepsi pria, WHO mengkoordinasikan penelitian selanjutnya. Pada tahun 1996 WHO mempublikasikan hasil penelitian keampuhan TE sebagai kontrasepsi pria yang dilakukan oleh 15 pusat penelitian andrologi di 9 negara, yaitu 6 pusat penelitian di Asia dan 9 pusat penelitian di Eropa. Amerika dan Australia. Pada penelitian multisenter ini ternyata jika penyuntikan 200 mg TE tiap minggu menyebabkan penurunan konsentrasi < 5 juta/ml. Pada konsentrasi sperma < 5 juta/.ml, terjadi kehamilan pasangannya 15,9 %, sehingga keampuhan kontrasepsi ini lebih kecil dibandingkan kondom karena pemakaian kontrasepsi kondom kehamilan yang terjadi 12%. Sebagian besar kehamilan terjadi pada suami yang mempunyai konsentrasi sperma 4-5 juta/ml. Oleh karena itu nilai dasar

10

keampuhan diturunkan dari 5 juta/ml ke konsentrasi sperma , 3 juta/ml . Hal ini dilakukan supaya keampuhan TE sebagai kontrasepsi pria sebanding dengan kontrasepsi wanita. Perlu ditambahkan bahwa suatu kontrasepsi dikatakan ampuh bila angka kegagalan dimana terjadi kehamilan kurang dari 3%.
12

Ternyata jika konsentrasi sperma mencapai 3 juta/ml, keampuhan TE sebagai kontrasepsi lebih besar dari pada kontrasepsi wanita, terutama kontrasepsi hormonal secara oral. Dengan rincian kehamilan 1,4% pada pemakaian TE dan 3% dengan kontrasepsi hormonal pada wanita secara oral. Namun jika dibandingkan dengan antara TE sebagai kontrasepsi pria ternyata keampuhannya lebih kecil dibandingkan dengan pemakaian IUD sebagai kontrasepsi wanita (kegagalan 1%). Pada penelitian multisenter di 98% pria relawan mancapai konsentrasi sperma <3 juta/ml. Kehamilan pada pasangannya sekitar 1,4% pada pria yang mencapai azospermia dan oligozoospermia dengan konsentrasi sperma 0-3 juta/ml. Dengan perincian jika terjadi azospermia kehamilan 0% dan bila konsentrasi sperma antara 0-3 juta/ml kehamilan sekitar 8,1%.
12

Pada penelitian multisenter tersebut menunjukkan bahwa pria dari Asia berbeda dengan pria non Asia, dalam responnya terhadap testosteron. Pada pria Asia azospermia terjadi lebih cepat dibandingkan dengan non Asia, yaitu 91 hari (nilai median) dihitung dari penyuntikan TE pertama kali sedangkan pria non Asia 112 hari. Tetapi terjadi oligozoospermia lebih lama pada pria Asia (77 hari) diandingkan dengan non Asia (57 hari), untuk konsentrasi sperma 3 juta/ml. Pria fertile yang disuntik TE menjadi azospermia pada pria Asia 109 dari 115 pria (95%) dan pria non Asia 159 dari 134 (68%).
12

11

Untuk terjadi peningkatan sperma kembali konsentrasi normal 20 juta/ml antara pria Asia dan prioa non Asia ada perbedaan. Pada pria Asia setelah 1 tahun fase keampuhan dan dihentikan penyuntikan TE, terjadi peningkatan sperma kembali lebih lambat dari pria Asia yaitu 126 hari, sedangkan pria non Asia 105 hari. Pada pria relawan akan terjadi kenaikan berat badan, hemoglobin, kreatinin, estradiol serta penurunan ukuran testis, tetapi hal ini kembali lagi pada ukuran semula setelah penyuntikan dihentikan. Dengan melihat hasil penelitian multisenter ini penyuntikan TE setiap minggu sekali ternyata cukup efektif untuk pria Asia, sehingga penggunaan TE sebagai kontrasepsi untuk pria Asia akan lebih efektif karena terjadi nya azospermia pada pria Asia lebih besar dibandingkan dengan pri non Asia. Sehingga pada pemakaian kontrasepsi TE di Indonesia kadar keampuhannya lebih besar.
12,14

Kontrasepsi pria yang ideal adalah aman, efektif, reversibel dan dapat diterima. Pemakaian TE dapat dikatakan aman karena mempunyai efek samping yang minimum. Penyuntikan TE sebagai penurunan kesuburan pria adalah efektif dengan angka kegagalan terjadi kehamilan pada pasangannya <3%. Sehingga keampuhannya sebanding dengan kontrasepsi wanita. Bila penyuntikan TE dihentikan akan terjadi peningkatan sperma kembali sampai konsentrasi >20 juta/ml. Sehingga penyuntikan TE bersifat reversible. Hanya sayangnya penyuntikan tiap minggu tidak praktis untuk dipakai sebagai kontrasepsi pria sehingga belum dapat diterima masyarakat. Pada pemberian regimen secara oral dengan menggabungkan cyproterone asetat dengan testosterone undecanoate telah diteliti oleh Meringgiola, dkk di bagian Obstetrik dan Ginekologi, unit reproduktif kedokteran, Universitas Bologna, Italia pada tahun 1997. Mereka meneliti terhadap delapan pria kulit putih fertil dengan usia antara 25-42 tahun dengan pemberian 80 mg T

12

undecanoate dengan dosis 2 kali sehari dan cyproteron asetat 12,5 mg 2 kali sehari. 1 orang pria menjadi azoospermia pada minggu ke sepuluh sampai dihentikannya pemberian regimen oral ini. Sedangkan 5 pria lainnya menghasilkan 0,1 sampai 2,5 juta/ml, dan dua lainnya mempunyai konsentrasi azoosperma 5 dan 6 juta/ml. Mereka juga meneliti tentang pengaruh hormon terhadap kadar LH, FSH dan testosteron. Dimana didapatkan penurunan kadar hormon-hormon tersebut secara bermakna.
14

Gambar: Konsentrasi sperma dengan pemberian kontrasepsi oral kombinasi cyproterone asetat dengan testosterone undecanoate. Dikutip dari Meriggiola
13

Pada penelitian ini didapatkan efektifitas dari kontrasepsi oral dengan menggunakan kombinasi cyproterone asetat dengan testosteron undecanoate pada pria cukup bermakna menekan produksi sperma. Semua pria yang mengikuti penelitian ini menunjukkan kadar sperma yang menurun, walaupun hanya satu pria yang menjadi azoospermia.

13

Gambar: Rata-rata serum LH, FSH dan Testosteron. Dikutip dari Meriggiola

13

Untuk mengetahui adanya efek samping dari kombinasi kontrasepsi oral ini dilakukan pemeriksaan hematologik sebelum, selama dan sesudah pemberian regimen. Hasilnya tidak ada perbedaan bermakna secara statistik perubahan hasil pemeriksaan tersebut. Juga tidak ada perubahan bermakna terhadap berat badan, tetapi volume testis menurun pada semua subyek penelitian. Sayangnya penelitian ini tidak melakukan penelitian lanjutan mengenai efek

14

samping jangka panjang terhadap efek metabolik termasuk metabolisme tulang, kekuatan otot, dan beberapa aspek fungsi seksual. Hasil penelitian ini memberikan harapan yang luas untuk pemakaian kombinasi kontrasepsi oral pada pria. Hal ini perlu mendapat perhatian terhadap perkembangannya dengan ditemukannya efektifitas yang cukup tinggi dan tidak ditemukannya efek samping yang berbahaya. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk melihat efek jangka panjang dan untuk pengembangan kontrasepsi tersebut sehingga bisa diterima oleh masyarakat secara luas. VII. PENGGUNAAN TESTOSTERON DENGAN DAYA KERJA JANGKA PANJANG Karena penyuntikan TE tiap minggu dipandang tidak praktis untuk penggunaan kontrasepsi pria, maka perlu dicari testosteron dengan daya kerja jangka panjang. Salah satu testosteron dengan daya kerja jangka panjang yang sedang dikembangkan adalah testosteron busiklat. Testosteron ini telah digunakan untuk pengobatan pria dengan hipogonadisme yang hasilnya menunjukkan bahwa injeksi dosis tunggal 600 mg dapat meningkatkan kadar androgen plasma secara bermakna, dan dipertahankan pada kadar normal selama 12 minggu., Dari analisis farmakokinetik terlihat bahwa waktu paruh testosteron busiklat dalam uji klinik 29,5 hari dan bioaktifitasnya rata rata 65 hari.
12,14

Pada penelitian pria di Indonesia dengan penyuntikan tiap bulan depotmedroxyprogesteron acetat (DMPA, 200 mg atau 100 mg) dan testosteron enanthate (250 mg atau 100 mg) dapat menyebabkan supresi spermatogenesis sampai azoospermia pada 19 dari 20 pria Indonesia. Pada lima senter penelitian telah dibandingkan dua androgen yaitu testosteron enanthane dan long acting 19-nortestosteron-hexyl-oxyphenylpropionate yang dikombinasi

15

dengan

DMPA. Penelitian ini meperlihatkan kedua androgen tersebut

menyebabkan azoospermia lebih 97% selama enam bulan pemberian obat. Penggunaan kombinasi testosteron/androgen dengan progestrone telah diteliti, tetapi hanya 70% pria non Asia yang mencapai azospermia selama 6 bulan. Namun penelitian pada 20 orang Indonesia selama 3 bulan dengan penyuntikan kombinasi TE dan DMPA tiap bulan memakai dosis tinggi dan rendah, semua pria tersebut mencapai azospermia. Dari penelitian selanjutnya yang telah dilakukan membuktikan bahwa penyuntikan TE dan DMPA dosis tinggi tiap bulan dapat mempertahankan azospermia pada pria Indonesia selama lebih dari 1 tahun dan bersifat reversible. Penggunaan testosteron dengan daya kerja jangka panjang lainnya ialah testosteron implan, dikenal sebgai metode lepas lambat. Disini terjadi pelepasan testosteron kedalam sirkulasi darah secara bertahap, sehingga kadar testosteron yang tinggi dapat dipertahankan lebih lama. Walaupun testosteron implan lebih efektif untuk mencapai azospermia tetapi dalam pemakaiannya masih sulit diterima. Testosteron jangka panjang jenis lain adalah testosteron undecanoate (TU). Penelitian tentang TU sedang dilakukan di negara Jerman dan Cina dan akan dilakukan di Indonesia.
1,10

Kontrasepsi dengan metode implan ini telah diteliti dengan menggunakan peneltian pendahuluan pada tikus dan kelinci percobaan. Dapat digunakan sebagai kontrasepsi yang efektif, non toksik, dapat menekan fertilitas dan bersifat reversibel. Pada penelitian kepada pria dewasa sehat yang fertil dengan pemberian 7-methyl-19-nortestosterone secara transdermal dapat diberikan sebagai kontrasepsi pada pria tanpa mempengaruhi libido dan karakteristik seks sekunder.

16

VIII. KEAMANAN METODE KONTRASEPSI HORMONAL PRIA Penggunaan kontrasepsi hormonal pada pria perlu mendapat perhatian untuk keamanan pemakaiannya seperti juga pada kontrasepsi pada wanita. Seleksi testosteron enanthate selama 30 tahun pengalaman klinik sebagai kontrasepsi hormonal pada pria yang aman. Dengan pemberian yang hati-hati dan monitoring dengan pemeriksaan laboratorium klinik dilakukan untuk mengetahui status pasien secara keseluruhan, merupakan suatu protokol pemberian kontrasepsi hormonal pada pria. Pengaruh terhadap libido dan karakteristik sex sekunder harus diperhatikan. Kadang-kadang pada keadaan tertentu dimana diperlukan pemeriksaan khusus dengan prosedur tertentu termasuk ukuran prostat dengan ultrasound atau pemeriksaan antigen prostat spesifik.
1,10

IX. RINGKASAN 1. Pria merupakan fokus baru untuk program KB yang selama ini belum banyak diperhatikan. Kontrasepsi pada pria selain dengan metode mekanik yaitu dengan metode hormonal sudah banyak dilakukan penelitian. 2. Testosteron dan FSH secara sinergis diperlukan secara normal untuk proses spermatogenesis. Pada kadar yang tinggi di dalam darah menyebabkan terjadi umpan balik negatif sehingga terjadi penekanan produksi sperma. Dasar inilah yang dipakai pada metode kontrasepsi hormonal pada pria. 3. Kontrasepsi pria dengan suntikan depot-medroxyprogesteron acetat (DMPA, 200 mg atau 100 mg) dan testosteron enanthate (250 mg atau 100 mg) dapat menyebabkan supresi spermatogenesis sampai azoospermia. 4. Pemakaian testosteron implan dengan daya kerja jangka panjang masih sulit diterima sebagai metode kontrasepsi pada pria, walaupun memiliki efektifitas yang cukup tinggi.

17

5. Kontrasepsi pria dengan secara oral dengan menggunakan cyproterone asetat dengan testosterone undecanoate juga sudah dibuktikan baik untuk kontrasepsi hormonal pada pria tetapi penelitian jangka panjang mengenai efek samping perlu dilaksanakan. X. RUJUKAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Baziad A. Kontrasepsi hormonal. Edisi pertama. Jakarta, Bina Pustaka 2002:98-102 Handelsman DJ. A hormonal male contraceptive: from wish to reality. Med Journ of Aust 2000;176:204-205 Wu FC, Farley TM, Peregoudov A, Waites GM. Effects of testosterone enanthate in normal men: experience from a multicenter contraceptive efficacy study. Fertility and Sterility 1996;65:626-635 Waites GMH. Male contraception: recent developments. Special programme research, development and research training in human reproduction. Switzerland, WHO. 1996:1-8 Arsyad KM. Reproduksi. Dalam: Gadjahnata KHO. Biologi Kedokteran. Bogor, Lembaga Sumber Daya IPB. 1989:229-277 Guyton AC. Fungsi reproduksi dan hormonal pria. Jakarta, EGC. 1994: 309-324 Malley BW, Strofat CA. Steroid hormon: metabolism and mechanism of action. In: Yen rd SC, Jaffe RB. Reproductive endocrinology. 3 ed. Philadelphia, Saunders WB 1991: th Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical gynecologic endocrinology and infertility. 6 ed. Philadelphia, William and Wilkins L. 1999:1075-1096 Rosenfiel A, Fathalla MA. Reproductive physiology. New Jersey, The Parthenon publishing group. 1997 ; 1:55-69 Reddy PR. Hormonal contraception for human males: prospects. Asian J Androl 2000; 2: 46-50 Handelsman DJ, Farley TMM, Waites GMH. Factors in nonuniform induction of azoospermia by testosteron enanthate in normal men. Fertility and Sterility 1995; 63: 125-133 Wu FC, Aitken RJ. Suppression of sperm function by depot medroxyprogesterone acetate and testosterone ananthate in steroid male contraception. Fertility and Sterility 1989; 51: 691-697 Meriggiola MC, Bremner WJ, Constantino A, et all. An oral regimen of cyproterone acetate and testosterone undecanoat for spermatogenic suppression in men. Fertility and Sterility 1997; 68: 844-850 Houten ME, Gooren LJ. Differences in reproductive endocrinology between asian man and Caucasian men : a literature review. Asian J Androl 2000; 2: 13-20

Você também pode gostar