Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
1 of 6
Tuesday, June 24, 2008
Home Postur Kotama Majalah Forum Gallery Pengumuman Lain-Lain Mail e-Proc Search
Situs Terkait
Artikel Cakrawala TNI AL
DEPHAN
MABES TNI
Current Articles | Categories | Search | Syndication
TNI AD
TNI AU
ANALISIS HUKUM KELEMBAGAAN BAKORKAMLA MABES POLRI
Artikel Terbaru
- Apa rasio legis atau dasar filosofi perlunya di-bentuk kelembagaan Bakorkamla dalam rangka
pe-negakan hukum di laut oleh instansi sektoral? se-dangkan mengenai penegakan kedaulatan tidak
Untuk menganalisis ketiga isu hukum tersebut di atas digunakan pendekatan perundang-undangan.
Dikaitkan dengan kegunaan lembaga Bakor-kamla dan manfaat adanya lembaga Bakorkamla bagi
instansi sektoral penegak hukum di laut, perlu dipertanyakan, apakah instansi sektoral penegak
hukum di laut tersebut merasakan adanya manfaat hadirnya lembaga Bakorkamla? apakah lembaga
Bakorkamla tersebut berguna bagi instansi sektoral penegak hukum di laut itu?. Untuk menjawab
per-tanyaan tersebut perlu adanya kejujuran dari instansi sektoral itu? dan jangan-jangan instansi
sektoral pe-negak hukum di laut itu beranggapan bahwa hadirnya lembaga Bakorkamla akan
mengganggu system penegakan hukum di laut, yang seharusnya hu-kum ditegakkan secara benar,
jujur dan adil, dengan adanya koordinasi dari lembaga Bakor-kamla akan merusak system tersebut.
- Bakorkamla adalah lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai karakter dari lembaga Bakorkamla dapat dilihat dari Bab II
(Kedudukan, tugas, dan fungsi) Bakorkamla yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan
Pasal 4 Peraturan Presiden No.81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut, sebagai
berikut :
Pasal 2 Per Pres No. 81 Tahun 2005 Menentukan : "Badan Koordinasi Keamanan Laut, yang
selanjutnya dalam Peraturan Presiden ini dise-but Bakorkamla, adalah lembaga non struktural yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden".
Pasal 3 Per Pres No. 81 Tahun 2005 Menentukan: "Bakorkamla mempunyai tugas mengkoordinasikan
penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan operasi keamanan laut secara terpadu".
Pasal 4 Per Pres No. 81 Tahun 2005 Menentukan: "Dalam melaksanakan tugas seba-gaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Bakorkamla menyelenggarakan fungsi" :
b. Koordinasi kegiatan dan pelaksanaan tugas di bidang keamanan laut yang meliputi kegiatan
penja-gaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan
pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan peme-rintah di wilayah Perairan Indonesia;
Dilihat dari tugas dan fungsi Bakorkamla terse-but di atas dan dikaitkan dengan maksud pelaksa-naan
pembentukan lembaga Bakorkamla sebagai-mana diatur di dalam ketentuan Pasal 24 ayat (3) berikut
penjelasannya UU No. 6 Tahun 1996 tersebut di atas, tugas dan fungsi Bakorkamla telah
menyim-pang dari amanat sebagaimana dimaksud di dalam ketentuan Pasal 24 ayat (3) berikut
penjelasannya UU No. 6 Tahun 1996, yaitu pembentukan badan koordinasi dalam rangka
mengkoordinasikan mengenai pelaksanaan penegakan hukum di laut yang dilaksanakan oleh berbagai
instansi sektoral (instansi terkait). Dengan demikian seharusnya pem-bentukan lembaga Bakorkamla
dengan tugas utama-nya adalah mengkoordinasikan pelaksanaan pene-gakan hukum di laut bukan
mengkoordinasikan pelak-sanaan kegiatan operasi keamanan laut secara terpadu.
Terdapat perbedaan yang cukup jelas antara pelaksanaan kegiatan penegakan hukum di laut de-ngan
pelaksanaan kegiatan operasi keamanan laut secara terpadu. Pelaksanaan kegiatan penegakan hukum
di laut dilaksanakan oleh instansi sektoral, yaitu Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepolisian
Negara RI, Depertamen Perhu-bungan, Depertemen Pertanian (sekarang Departemen Kela-utan dan
Perikanan), Departemen Keu-angan, dan Departe-men Kehakiman, se-suai dengan wewe-nang
masing-masing instansi tersebut dan berdasarkan keten-tuan peraturan perun-dang-undangan
na-sional maupun hukum internasional, se-dangkan pelaksana-an kegiatan operasi keamanan laut
meru-pakan tugas pokok TNI AL atau dengan kata lain instansi yang berwenang mengada-kan operasi
keamanan laut adalah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) berdasarkan ketentuan
Pasal 10 ayat (3) huruf "c" Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, di-mana
Tentara Nasional Indonesia bertugas melak-sanakan kebijakan Pertahanan Negara untuk
melak-sanakan Operasi Militer Selain Perang, diantaranya Operasi Militer Keamanan Laut (bagi TNI
AL).
Dapat dikatakan bahwa secara politis pembentuk-an Bakorkamla untuk mendukung tugas-tugas
operasi militer khususnya pelaksanaan tugas pokok TNI AL, yaitu melaksanakan operasi mili-ter
keamanan laut secara terpadu, bukan sebagai lembaga koordinasi pelaksanaan penegakan hukum di
laut yang dilaksanakan oleh berbagai instansi sektoral (instansi terkait) sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (3) berikut penje-lasannya UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Na-sional.
Makna dari kata-kata "secara terpadu" ber-arti pelaksanaan kegiatan operasi militer keamanan laut
melibatkan instansi lain, melibatkan instansi lain inilah yang memerlukan adanya koordinasi. Semakin
jelaslah bahwa hadirnya lembaga Bakorkamla dengan tugas pokoknya adalah mengkoordinasikan
dengan instansi lain dalam rangka TNI AL melak-sanakan tugasnya mengadakan operasi militer
keamanan laut secara terpadu.
Timbullah pertanyaan hukum: "Apakah pelak-sanaan operasi militer keamanan laut secara terpadu
termasuk didalamnya pelaksanaan penegakan hukum di laut" ? Berdasarkan tugas pokok Bakor-kamla
di dalam Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut tidak
merumuskan secara tegas bahwa operasi militer keamanan laut secara terpadu termasuk didalamnya
pelaksanaan penegakan hukum di laut. Tugas pokok Bakorkamla sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 3 Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2005 murni melaksanakan tugas
mengkoordinasikan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan operasi keamanan laut secara
terpadu, tidak ter-masuk mengkoordinasikan pelaksanaan penegakan hukum di laut yang
dilaksanakan oleh instansi sektoral (instansi terkait).
Sebagai ilustrasi contoh dilihat dari tugas pokok TNI AL yang telah dirumuskan secara tegas di dalam
ketentuan Pasal 9 berikut Penjelasannya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia, sebagai berikut :
c. melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar
negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
d. melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut;
Penjelasan Pasal 9 huruf "b" UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI: "Yang dimaksud dengan
menegakkan hukum dan menjaga keamanan adalah segala bentuk kegiatan yang berhubungan
dengan penegakan hukum di laut sesuai dengan kewe-nangan TNI AL (constabulary function) yang
berlaku secara universal dan sesuai dengan ketentuan per-undang-undangan yang berlaku untuk
mengatasi an-caman tindakan kekerasan, ancaman navigasi, serta pelanggaran hukum di wilayah laut
yuridiksi nasional. Menegakkan hukum yang dilaksanakan oleh TNI AL di laut, terbatas dalam lingkup
pengejaran, penang-kapan, penyelidikan, dan penyidikan perkara yang selanjutnya diserahkan kepada
Kejaksaan, TNI AL tidak menyelenggarakan pengadilan".
Nah timbullah pertanyaan apakah TNI AL dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
menegak-kan hukum di laut memerlukan adanya badan koor-dinasi? ternyata aturan hukum positif
yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan TNI AL tidak terdapat satu pasalpun yang
mengaharuskan TNI AL dalam melaksanakan tugas dan kewenangan-nya memerlukan adanya badan
koordinasi, demikian juga instansi sektoral lainnya dalam melaksanakan kewenangannya menegakkan
hukum di laut tidak memerlukan adanya badan koordinasi. Koordinasi itu perlu sejauh terkit dengan
pelaksanaan kewe-nangan penegakan hukum, tetapi tidak melalui badan koordinasi, melainkan
koordinasi secara langsung kepada instansi sektoral terkait dengan pelaksanaan kewenangan
penegakan hukum di laut. Hal inilah yang menyebabkan badan koordinasi keamanan laut yang sejak
dahulu dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tahun 1972 sampai saat ini tidak
berfungsi, karena kehadiran badan koordinasi itu tidak jelas siapa/instansi mana yang
membutuh-kan? terlebih lagi badan koordinasi itu dibentuk dengan kalimat "apabila diperlukan"
berarti harus adanya fakta hukum yang memerlukan adanya badan koordinasi itu, disini fakta
hukumnya saja tidak jelas? sehingga pembentukan badan koordinasi itu pun tidak jelas untuk siapa
dan siapa yang memerlukannya?
Sebagai contoh fakta hukum yang timbul dari penegakkan hukum di laut yang dilakukan oleh instansi
sektoral, seperti penegakkan hukum di laut terjadi benturan kepentingan antar instansi sektoral
karena penegakan hukum di laut merupakan lahan basah, sehingga menjadi rebutan tiap-tiap instansi
sektoral untuk meraup keuntungan pribadi maupun keuntungan instansinya. Jika hal ini menjadi fakta
hukumnya dan yang menjadi dasar utama dibentuk-nya badan koordinasi berarti setiap instansi
sektoral dalam menegakkan hukum di laut perlu diper-tanyakan: instansi penegak hukum justru
melanggar hukum, dengan demikian tidak layak untuk menjadi penegak hukum.
Rasio legis atau dasar filosofi dibentuknya badan koordinasi (Bakorkamla) dapat dilihat pada
Penjelas-an ketentuan Pasal 24 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996 dan Diktum Menimbang huruf "a"
Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2005 tentang Bakorkamla.
Pada Penjelasan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996, yaitu badan koordinasi diben-tuk
dalam rangka mengkoordinasikan mengenai pelaksanaan penegakkan hukum di laut yang dilakukan
oleh instansi sektoral, yaitu Tentara Nasi-onal Indonesia Angkatan Laut, Kepolisian Negara RI,
Depertamen Perhubungan, Depertemen Pertanian (sekarang Departemen Kelautan dan Perikanan),
Departemen Keuangan, dan Depar-temen Kehakiman. Disini diperlukan adanya fakta hukum terlebih
dahulu baru dapat dibentuk badan koordinasi. Fakta hukumnya saja belum jelas badan koordinasi
telah terbentuk?
Pada Diktum Menimbang huruf "a" Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2005 tentang Bakorkamla, yaitu:
"bahwa penegakkan hukum dan keamanan di Perairan Indonesia dilaksanakan oleh berbagai instansi
pemerintah sehingga perlu dikoordinasikan agar berdaya guna dan berhasil guna". Anehnya tugas
pokok Bakorkamla yang terdapat di dalam Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2005 itu justru bukan
untuk mengkoordinasikan penegakan hukum di Perairan Indonesia yang dilakukan oleh berbagai
instansi penegak hukum di laut (instansi sektoral) melainkan tugas pokok Bakorkamla adalah
mengko-ordinasikan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan operasi keamanan di laut
secara terpadu yang nota bene itu merupkan tugas pokok TNI AL mengadakan operasi militer
keamanan di laut.
Ini salah satu bentuk penyusunan peraturan yang tidak jelas sehingga menyulitkan dalam
implementasi pelaksanaannya. Setelah diteliti secara substansial Peraturan Presiden No. 81 Tahun
2005 diilhami oleh Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara RI, utamanya Ke-menterian Koordinator. Kementerian
Koordinator merupakan unsur pelaksana pemerintah dan merupakan pembantu utama Presiden dalam
mengkoordinasikan perencanaan dan penyusunan kebijakan. Kementerian Koordinator tidak
mem-punyai kewenangan administratif berbeda dengan kementerian yang memimpin departemen
yang mempunyai kewenangan administratif. Penyusunan Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2005
tersebut tanpa memperhatikan atauran hukum lainnya terutama Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Berdasarkan rasio legis atau dasar filosofi diben-tuknya badan koordinasi (Bakorkamla) menunjukkan
adanya indikasi bahwa penegakan hukum di laut yang dilakukan oleh berbagai instansi sektoral
tersebut mengharuskan tunduk dan patuh kepada TNI AL sebagai salah satu lembaga penegak hukum
di laut dibawah koordinasi Bakorkamla. Jika hal itu dikehendaki perlu dipertanyakan "apakah instansi
sektoral lainnya yang mempunyai kewenangan yang sama selaku penegak hukum di laut mau tunduk
dan patuh kepada instansi TNI AL? mengingat masing-masing instansi sektoral tersebut mempunyai
ke-wenangan yang sama dan dibentuk berdasarkan aturan hukum yang sama, yaitu Undang-Undang.
Jika memang demikian tepatlah kiranya apa yang saya sampaikan di depan para pejabat Bakorkamla
pada tanggal 14 Februari 2007 di kantor Bakorkamla Jakarta dengan topik "
a. Bakorkamla mau jadi lembaga penegak hukum atau sekedar lembaga koordinasi? jika mau
dijadikan sebagai lembaga penegak hukum harus namanya jangan ada kata-kata koordinasi, karena
pengertian koordinasi mengandung makna sekedar pemberitahuan tanpa adanya
kewenangan-kewe-nangan. Jadi sebagai usul namanya adalah Badan Penegak Hukum Di Laut.
b. Badan Penegak Hukum Di Laut harus dibentuk dengan aturan hukum legislasi, yaitu
Undang-Undang tidak dibentuk dengan aturan hukum regulasi. Hal ini terkait dengan dua hal,
pertama: larangan yang diatur di dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, dimana segala susuatu yang berkaitan dengan hak asasi manusia harus diatur
c. Aturan hukum Badan Penegak Hukum Di Laut melebur beberapa kewenangan dari beberapa
instansi penegak hukum di laut (saat ini kewenangan tersebut ada pada instansi sektoral) dan
selanjutnya di dalam aturan hukum itu adanya pembagian/pembatasan kewenangan secara jelas
dengan mekanisme kerja yang pasti serta dilengkapi dengan on line integrated system artinya salah
satu instansi melakukan penangkapan pelang-garan di laut terdeteksi oleh instansi lainnya. Contoh :
TNI AL sebagai penegak hukum di laut hanya dibatasi/diberi kewenangan untuk penang-kapan
terhadap Tindak Pidana/Pelanggaran yang berkaitan dengan pelanggaran kedaulatan Negara (sesuai
dengan tugas pokok TNI AL). Kepolisian sebagai penegak hukum di laut dibatasi/diberi kewenangan
penangkapan terhadap Tindak Pidana/Pelanggaran di laut pada wilayah laut kewenangan
Propinsi/Kabupaten/Kota. PPNS DKP melebur dengan Badan Penegak Hukum Di Laut untuk
melakukan penyidikan/pemberkasan (BAP) selauruh hasil tangkapan TNI AL/Kepolisian, selanjutnya
menyerahkannya kepada Kejaksaan. Dengan demikian tidak akan terjadi konflik kewenangan seperti
yang terjadi di UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
d. Aturan hukum Badan Penegak Hukum Di Laut mengatur penegakan hukum administrasi,
kepidanaan, dan keperdataan jangan seperti UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang hanya
mengatur penegakan hukum kepidanaan. Hal ini terkait dengan kewenangan pemberian izin
pemanfaatan sumber daya laut, dimana instansi yang memberikan izin berwenang untuk mencabut
izin sebagai penegakan hukum administrasi. Hendaknya seluruh perizinan pemanfaatan sumber daya
laut dilakukan secara terpadu ada dibawah bakorkamla. Tindak Pidana/Pelanggaran hukum di laut
kadangkala berkalitan dengan rusaknya lingkungan yang harus mengganti kerugian atau pemulihan
lingkungan, dalam hal ini mengatur penegakan hukum keperdataan.
e. Mempertajamnya konflik antar nelayan dalam penangkapan ikan, tidak terlepas dari adanya konflik
norma hukum antara UU Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Perikanan. UU Pemerin-tahan
Daerah menggunakan pendekatan konsep kewilayahan sementara UU Perikanan mengguna-kan
pendekatan konsep kekuatan kapal perikanan dan/atau gross tonnage kapal perikanan.
f. Tingginya illegal fishing yang merugikan Negara Rp. 30-40 Triliyun Pertahunnya disamping
disebab-kan oleh konflik kewenangan antar aparat penegak hukum, juga disebabkan adanya aturan
hukum yang memberikan kemudahan khusus keimigrasian (Dahsuskim) kepada nelayan asing yang
menang-kap ikan di wilayah laut Indonesia, dimana nelayan asing bebas untuk turun ke darat untuk
pendaftaran dan sidik jari, bebas dari keharusan memiliki Izin Masuk dan Visa, sehingga orang asing
bebas keluar masuk ke dan dari wilayah laut Indonesia. Tidak heran apabila nelayan asing
beranggapan bahwa menangkap ikan di wilayah laut Indonesia tidak dilarang (hasil penelitian disertasi
kasus kapal perikanan menunjukkan hal itu).
Akhirnya kepentingan negaralah yang harus kita utamakan kita kesampingkan kepentingan
departe-men/instansi sektoral demi terselamatkannya kekayaan alam sumber daya laut kita. Demikian
ide-ide untuk kuatnya Bakorkamla, semoga bermanfaat untuk bangsa dan Negara Indonesia.
Dosen Fakultas Hukum UHT adalah Doktor lulusan Universitas Airlangga Surabaya dengan keahlian
hukum laut otonomi daerah khususnya hukum perikanan. Judul Disertasinya adalah Wewenang
Daerah Mengelola Sumber Daya Perikanan.