Você está na página 1de 30

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Secara umum dapat dikatakan bahwa ketergantungan anak pada tayangan televisi sudah sangat tinggi dan mencapai titik yang mengkhawatirkan. Selain itu menonton televisi juga perlu mendapat perhatian serius karena mempunyai pengaruh negatif terhadap aktivitas fisik seperti perilaku merokok, perilaku agresif, tingkah laku pengguna alkohol dan obat terlarang, hubungan seksual bebas, pola makan yang salah, obesitas, gangguan tidur, serta penurunan prestasi akademik, terutama apabila ada televisi di kamar anak (Matheson dkk, 2004). Selain itu waktu menonton televisi sangat perlu diperhatikan, dimana American Academy of Pediatric (AAP) telah merekomendasikan agar anak tidak menonton televisi lebih dari 2 jam sehari. Menurut Kaiser Family Foundation didapati anak usia 8 sampai 18 tahun menonton televisi lebih dari 3 jam sehari, bahkan di Amerika Serikat anak usia 2 sampai 18 tahun menghabiskan waktu 6 jam 32 menit sehari untuk menonton televisi, bermain komputer dan video game (Pediatrics, 1999). Fakta tentang pertelevisian Indonesia pada tahun 2002 bahwa jam tonton televisi anak-anak 5-8 jam/hari atau 1.560-1.820 jam/tahun, sedangkan jam belajar SD umumnya kurang dari 1.000 jam/tahun; 85% acara televisi tidak aman untuk anak, karena banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistik yang berlebihan dan terbuka. Terdapat 800 judul acara anak dengan 300 kali tayang selama 160 jam/minggu pada hal satu minggu hanya ada 24 jam x 7 hari = 168 jam; 40% waktu tayang di isi iklan yang jumlahnya 1.200 iklan/minggu, jauh di atas rata-rata dunia 561 iklan/minggu (Majid, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan dr. Hardiono D. Pusponegoro, spesialis anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2006 memaparkan hasil penelitiannya terhadap anak di bawah 3 tahun dan 3 5 tahun yang menonton televisi. Dalam penelitian itu, anak di bawah 3 tahun melihat layar

itu rata-rata 2 jam sehari dan anak 3 5 tahun rata-rata 3 jam sehari (Rahman, 2007). Siaran televisi memberikan informasi yang cukup banyak, salah satunya adalah informasi dalam bentuk iklan makanan yang menarik, yang umumnya mengandung kadar energi, sehingga mendorong anak untuk mengkonsumsi produk yang ditawarkan. Hal ini akan merubah perilaku dan kebiasaan makan anak (Pujilestari, P, dkk, 1996). Hasil penelitian yang dilaporkan Journal Pediatric, terbitan Amerika Serikat, mengemukakan adanya hubungan antara kebiasaan menonton

televise dan kecenderungan obesitas pada anak dan remaja. Penelitian ini mengemukakan bahwa tiap penambahan alokasi waktu menonton televisi satu jam akan meningkatkan obesitas sebesar 2%. Penemuan mereka menegaskan bahwa terlalu banyak menonton televisi menyisakan hanya sedikit waktu untuk kegiatan fisik. (Yahya, L.KS,1999). Sebuah pengkajian yang dilakukan di Amerika pada tahun 1991 atas 6000 orang mengungkapkan bahwa mereka yang menonton televisi selama tiga jam sehari menghadapi kemungkinan dua kali lebih gemuk dari pada orang yang menonton kurang dari satu jam (Chen, M,1996). Sampai saat ini belum ada data yang akurat tentang pengaruh lamanya menonton televisi terhadap obesitas pada anak usia sekolah. Oleh karena itu peneliti merasa penting untuk melakukan penelitian ini agar dapat memberikan masukan dan informasi terutama bagi orangtua dan masyarakat luas agar lebih waspada terhadap dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari menonton televisi yang terlalu lama pada anak usia sekolah.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada hubungan durasi menonton televisi dengan obesitas pada anak usia sekolah di SDN 2 Ngemplak ?

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan durasi menonton televisi dengan obesitas pada anak usia sekolah di SDN 2 Ngemplak.

1.4. Manfaat Penelitian 1.1.1. Bagi Mahasiswa Mahasiswa dapat memahami masalah tentang pengaruh menonton televisi dan pengaruhnya terhadap obesitas. 1.1.2. Bagi Fakultas Kedokteran Data dan informasi hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan masukkan bagi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia dalam pendidikan kepada mahasiswa terkait obesitas karena dampak negatif televisi. 1.1.3. Bagi Peneliti a. Dapat mengembangkan kemampuan di bidang penelitian serta mengasah kemampuan analisis peneliti. b. Dapat meningkatkan pengetahuan tentang obesitas dan hubungannya dengan durasi menonton televisi. 1.1.4. Bagi Bidang Lain a. Sebagai masukan bagi penyusun perencanaan program gizi tentang obesitas pada anak sekolah. b. Sebagai masukan bagi pengelola televisi dalam mengelola periklanan agar lebih selektif dan mengarah kepada peningkatan pengetahuan yang lebih baik. c. Sebagai masukan dan informasi bagi pendidik dan orang tua dalam

mengantisipasi terjadinya obesitas yang merupakan dampak negatif dari televisi.

1.5. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan penelitian ini, yaitu : 1. Ramadhani (2010) Hubungan Antara Lama Menonton Televisi Dan Prestasi Akademik Anak Usia Sekolah. Penelitian ini merupakan studi cross sectional pada anak usia 6 sampai 12 tahun selama di SD Shafiyyatul Amaliyyah, Medan selama bulan November 2009 dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh orangtua. Didapatkan hasil korelasi negatif yang lemah namun bermakna antara lama menonton televisi dengan prestasi akademik pada anak (r = - 0.205, P = 0.001). Namun tidak ada hubungan yang bermakna antara prestasi akademik dengan lama belajar, lama tidur, lama bermain game, lama bermain PS, usia awal menonton televisi dan jumlah ekstrakurikuler. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada variabel yang diteliti.
2. Barus (2011) Kebiasaan Menonton Televisi, Aktivitas Belajar Dan

Prestasi Belajar Siswa Kelas Vi Sd Negeri 101791 Patumbak Kabupaten Deli Serdang, Penelitian ini menggunakan metode deskriptif penelitian ini adalah desain deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebiasaan menonton televisi dan aktivitas belajar siswa kelas VI SD Negeri 191791 Patumbak, sebanyak 30 orang dengan menggunakan tehnik simple random sampling. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 September 2010. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Didapatkan hasil semakin meningkat kebiasaan menonton televisi bagi siswa maka akan semakin menurun aktivitas belajarnya. Perbedaan dengan penelitian ini adalah terdapat pada metode penelitian dan variabel yang di teliti. 3. Hayati (2009), Faktor-faktor Perilaku yang Berhubungan Dengan Kejadian Obesitas di Kelas 4 dan 5 SD Pembangunan Jaya Bintaro, Tangerang Selatan Tahun 2009. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional. Dari variabel-variabel yang diteliti, yang memiliki hubungan yaug bermakna dengan kejadian obesitas

adalah variabel kebiasaan makan fast food (tingkat keseringan makan fast food). Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu diadakannya penyuluhan terhadap orang tua dan anak akan bahaya fast food. Selain itu, berkaitan dengan cukup tingginya angka kejadian obesitas di sekolah ini, perlu diaktifkan kembali UKS yang sesuai dengan fungsinya (preventif), diantaranya dengan melakukan penimbangan berat dan tinggi badan murid secara berkala oleh sekolah. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada variabel yang diteliti. 4. Rahmawati (2009), Aktifltas Fisik, Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fastfood) dan Keterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain yang Berhubungan dengan Kejadian Obesitas Pada Siswa SD Islam Al-Azhar 1 Jakarta Selatan Tahun 2009. Sampel pada penelitian ini adalah siswa SD Islam Annajah bemsia 7-12 tahun, teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling. Rancangan penelitian adalah croos sectional dan bersifat deskriptif. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 145 siswa. Dilakukan uiji chi-square untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik, kebiasaan konsumsi serat dan tingkat kesukaan terhadap serat dengan kejadian obesitas pada siswa (p < 0.05). Siswa yang aktivitas fisiknya rendah berpeluang 3,043 kali mengalami obesitas jika dibandingkan dengan yang memiliki aktivitas fisik tiuggi. Variabel yang lain yang berhubungan adalah kebiasaan konsumsi serat dan tingkat kesukaan terhadap (p < 0,005). Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada variabel yang diteliti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Televisi 2.1.1. Definisi Televisi Televisi adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision ; yang mempunyai arti jauh (tele) dan tampak (vision). Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini mampu mengubah peradaban dunia. Di Indonesia televisi secara tidak formal disebut dengan televisi, tivi, teve atau tipi (Prasetya, 2007). Menurut Arsyad (2002) dalam Wahiddien (2008), yang dimaksud dengan televisi adalah sistem elektronik yang mengirimkan gambar dalam dan gambar hidup bersama suara melalui kabel. Sistem ini menggunakan peralatan yang mengubah cahaya dan suara ke dalam gelombang elektrik dan

mengkonversikannya kembali ke dalam cahaya yang dapat dilihat dan suara yang dapat didengar. Dewasa ini televisi dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan dengan mudah dapat dijangkau melalui siaran dari udara ke udara dan dapat dihubungkan melalui satelit. Apa yang disaksikan pada layar televisi semuanya merupakan unsur gambar dan suara. Jadi ada dua unsur yang melengkapinya yaitu unsur gambar dan unsur suara. Rekaman suara dengan gambar yang dilakukan di stasiun televisi berubah menjadi getaran-getaran listrik. Getaran-getaran listrik ini diberikan pada pemancar, pemancar mengubah getaran-getaran listrik tersebut menjadi gelombang elektromagnetik, gelombang elektromagnetik ini ditangkap oleh satelit. Melalui satelit, gelombang elektromagnetik dipancarkan sehingga masyarakat dapat menyaksikan siaran televisi (Arsyad, 2007). 2.1.2. Fungsi Televisi Fungsi televisi sama dengan fungsi media massa lainnya (surat kabar, majalah, tabloid, dan radio siaran) yakni memberi informasi, mendidik,

menghibur dan membujuk. Tapi fungsi menghibur lebih dominan pada media televisi. Karakteristik televisi yang utama adalah audio-visual, yakni dapat dilihat dan sekaligus dapat didengar. Jadi dari segi pengaruh atau efek kepada masyarakat jelas sedikit lebih kuat ketimbang efek yang ditimbulkan media massa cetak (Prasetya, 2007). 2.1.3. Durasi Menonton Televisi Meskipun Childrens Television Act of 1990 telah membatasi program televisi untuk anak 10.5 menit/jam dalam satu minggu dan 12 menit/jam pada akhir minggu, namun banyak anak yang menonton televisi hampir 16 menit/jam. Setiap anak menghabiskan total 6 jam sehari untuk menonton televisi, bermain video game, mendengarkan musik atau membaca majalah, namun sebagian besar orangtua tidak menanggapi hal ini dengan serius (Pediatrics, 2006). Masih dijumpai pertambahan waktu menonton televisi dari waktu yang telah direkomendasikan oleh AAP dan masih dijumpai anak kurang dari 2 tahun yang menonton televisi. Menonton televisi pada usia dini ini berhubungan dengan gangguan memusatkan perhatian pada usia 7 tahun. Sehingga tidak dianjurkan menonton televisi pada anak usia dini. Dalam hal ini diperlukan langkah preventif untuk menghindari pengaruh negatif televisi terhadap anak (Jordan dkk, 2006). Menonton televisi pada saat ingin tidur juga tidak dianjurkan karena terbukti dapat mengganggu pola tidur dan tidur anak tidak lelap (Owens dkk, 1999). 2.1.4. Rekomendasi AAP tentang Menonton Televisi American Academy of Pediatric telah merekomendasikan tentang panduan menonton televisi pada anak, antara lain (Commetee on Public Education, 2001): 1. Dokter anak sebaiknya memberikan bimbingan tentang bahaya televisi dan membuat jadwal menonton televisi untuk pasiennya. 2. Dokter anak sebaiknya mengajukan pertanyaan tentang program televisi yang ditonton oleh pasiennya secara rutin dan memberikan nasihat kepada orangtua, meliputi hal di bawah ini: Berhati-hati memilih program televisi yang akan ditonton anak Mendiskusikan tentang program televisi yang ditonton

Mengajarkan kemampuan dari program yang ditonton Membatasi waktu menonton televisi Memilih peranan tokoh televisi dengan selektif Menyediakan aktivitas yang lain selain menonton televisi Tidak menempatkan televisi di ruang tidur anak Menghindari penggunaan televisi oleh pengasuh anak.

3. Dokter anak harus mendorong orangtua untuk menghindari anaknya yang berusia di bawah 2 tahun untuk tidak menonton televisi. Hal ini disebabkan usia di bawah 2 tahun merupakan masa awal pertumbuhan otak 4. Dokter anak sebaiknya menganjurkan tokoh televisi yang sesuai untuk anak dan membatasi waktu menonton televisi, video serta tidak meletakkan televisi di kamar tidur anak 5. Dokter anak sebaiknya waspada dan memberikan edukasi pada orangtua, anak, remaja, guru, tentang pengaruh negatif televisi. Namun perlu juga diberi tahu manfaat dari televisi terhadap pendidikan anak 6. Dokter anak harus bekerja sama dengan orangtua, guru, pihak sekolah dan masyarakat untuk mempromosikan televisi sebagai media edukasi 7. Dokter anak sebaiknya melibatkan anak dengan kegiatan umum di lingkungannya serta mendorong stasiun televisi untuk menambah program pendidikan di televisi 8. Dokter anak sebaiknya mendorong pemerintah untuk memerintahkan dan mendanai stasiun televisi dalam membuat program pendidikan dan mendemonstrasikan program televisi ini di sekolah 9. Dokter anak sebaiknya mendorong pemerintah dan yayasan lainnya untuk melakukan penelitian terhadap media edukasi dan penelitian lainnya yang berkaitan dengan pengaruh negatif televisi. 2.1.5. Keuntungan Media Televisi Dalam beberapa dekade, AAP telah merekomendasikan keunggulan media massa untuk anak dan remaja, salah satunya adalah televisi. Adapun keunggulan

televisi adalah televisi dapat menyediakan program pendidikan untuk anak usia sekolah, menambah kreativitas dan pengetahuan anak. Namun selain televisi mempunyai keunggulan, televisi juga mempunyai pengaruh negatif bagi anak dan remaja (Thakkar dkk, 2006). Tidak semua program televisi mengandung makna negatif bagi anak dan remaja. Program televisi berupa media pendidikan justru dapat mengurangi efek negatif televisi lainnya. Media ini mampu menguraikan tujuan dan pesan dari tayangan televisi sehingga anak dapat mengerti dan memahami pesan serta gambar yang dilihatnya di televisi dan memudahkan anak serta orangtua untuk memutuskan apakah mereka perlu menonton suatu tayangan televisi (Thakkar dkk, 2006). Dengan adanya media edukasi orangtua dapat membuat keputusan yang tepat seperti memilih tayangan yang kreatif untuk anak, membangun pikiran yang kritis, menambah kemampuan dan memahami masalah politik, sosial, ekonomi. Program televisi edukasi juga berhasil menambah pengetahuan anak usia prasekolah, memperbaiki perilaku dan menambah imajinasi (Thakkar dkk, 2006). 2.1.6. Televisi di Kamar Anak Anak-anak di Amerika serikat tumbuh bersama media komunikasi dalam lingkungan mereka dan rata-rata mempunyai televisi di kamar mereka karena media dan teknologi sebenarnya dapat menjadi media bermain bagi anak (Vandewater dkk, 2007). Namun dengan adanya televisi di kamar anak dapat memperbesar frekuensi anak menonton televisi, dilaporkan anak remaja yang di kamarnya ada televisi lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi. Anak yang mempunyai televisi di kamar juga cenderung menonton televisi lebih dari 5 jam sehari dibandingkan anak yang tidak mempunyai televisi di kamarnya (Barr-Anderson dkk, 2008). Adanya televisi di kamar anak juga membuat anak mempunyai sikap bermalas-malasan dan cenderung makan saat menonton televisi sehingga meningkatkan risiko overweight. Hal ini menyebabkan perlu dilakukan edukasi pada orang tua untuk membatasi lamanya menonton televisi dan tidak

menempatkan televisi di kamar anak (Matheson dkk, 2004). Memindahkan televisi dari ruang anak merupakan langkah pertama untuk mengurangi waktu menonton televisi serta mengurangi perilaku buruk yang berhubungan dengan sering menonton televisi (Barr-Anderson dkk, 2008). 2.1.7. Pengaruh Iklan Makanan terhadap Pengetahuan Anak Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam pemilihan makanan antara lain karena menyukai rasa, tekstur, bau dan penampilan makanan. Pemilihan makanan tersebut disebabkan juga karena tertarik terhadap iklan makanan dalam majalah atau televisi (Suharjo, dkk. 1997). Iklan televisi akan menambah pengetahuan anak sehingga berpengaruh terhadap kebiasaan makan anak. Anak cenderung memilih makanan yang pernah dilihatnya di televisi yang pada umumnya banyak mengandung energi dan lemak tinggi. Hal ini akan berakibat buruk pada anak karena energi yang masuk akan disimpan dalam bentuk lemak. Penumpukan lemak dalam tubuh nantinya akan menyebabkan keiebihan berat badan pada anak (Pujilestari, P.dkk. 1996). 2.1.8. Kegiatan Anak Saat Menonton Televisi Kegiatan yang dilakukan anak saat menonton televisi adalah cenderung memakan makanan kecil (Snack) seperti permen, kue-kue yang gurih dan manis serta es krim. Biasanya makanan yang dimakan untuk snack mengandung energi dan lemak tinggi berupa makanan basah (seperti rati, bolu) dan makanan ringan seperti kacang-kacangan. (Pujilestari, P,dkk, 1996). 2.1.9. Saran untuk Orangtua Untuk mencegah pengaruh negatif menonton televisi orangtua harus meningkatkan kewaspadaan terhadap anak, menanyakan acara televisi apa saja yang mereka tonton, menyediakan aktivitas seperti olah raga, mendiskusikan pengaruh-pengaruh negatif televisi, program televisi apa saja yang dapat ditonton oleh anak sesuai usianya, sehingga orangtua juga dapat mengusulkan pada stasiun televisi untuk membuat rating acara televisi mana yang sesuai untuk ditonton untuk anaknya (Commetee on Public Education, 2001).

2.2. Obesitas 2.2.1. Definisi Obesitas Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebih (WHO, 2000). Obesitas berbeda dengan overweight, perbedaannya adalah bahwa obesitas berhubungan langsung dengan deposit lemak dalam badan, sedangkan overweight adalah berat badan naik dari yang seharusnya. Kelebihan di jaringan adiposa juga dipandang sebagai gangguan antara energi yang masuk dan yang dikeluarkan. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), obesitas pada anak merupakan keadaan indeks massa tubuh (IMT) anak yang berada di atas persentil ke-95 pada grafik tumbuh kembang anak sesuai jenis kelaminnya. Definisi ini relatif sama dengan Institute of Medicine (IOM) di AS, sementara Center for Disease Control (CDC) AS mengkategorikan anak tersebut sebagai overweight. Namun CDC berpendapat bahwa seorang anak dikategorikan obesitas jika mengalami kelebihan berat badan di atas persentil ke-95 dengan proporsi lemak tubuh yang lebih besar dibanding komponen tubuh lainnya. 2.2.2. Prevalensi Obesitas pada Anak Obesitas pada anak merupakan salah satui masalah kesehatan publik yang cukup serius pada abad 21. Masalah ini secara global terus-menerus mempengaruhi banyak negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah, temtama pada daerah perkotaan. Prevalensnya meningkat sangat cepat. Pada tahun 2007 diperkirakan 22 juta anak di bawah usia lima tahun menderita over-weight. Lebih dari 75% anak-anak yang ovenveight dan obes tinggal di negara-negara yang tingkat pendapatannya rendah dan menengah (WHO, 2009). Prevalensi obesitas pada anak-anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir meningkat dari 7,6-10,8% menjadi 13-14%. Prevalens obesitas pada anak usia 6-8 tahun di Rusia adalah 10%, di Cina 3.4%, di Inggris 10-17%. bergantung pada umur dan jenis kelamin. Prevalens obesitas pada anakanak usia sekolah di Singapura meningkat dari 9-19%. Prevalens obesitas pada anak usia 5-12 tahun di Thailand meningkat dari 12,2% menjadi 15-16% hanya

dalam 2 tahun (Sjarif, 2005). Dubois (2006) menemukan prevalens obesitas pada anak laki-laki preschool lebih tinggi dibandingkan perempuan (OR 1.501; 1,0312,186). Di Indonesia, prevalens obesitas pada balita menurut Susenas meningkat baik di desa maupun di perkotaan. Pada tahun 1992, prevalens obesitas pada daerah perkotaan didapatkan 6.3% pada laki-laki dan 8% pada perempuan. Di tahun 1995, prevalens obesitas di 27 propinsi adalah 4,6%. Di DKI Jakarta, prevalens obesitas meningkat dengan bertainbalinya umur. Pada umur 6-12 tahun ditemukan obesitas sekitar 4%, pada anak remaja 12-18 tahun ditemukan 6,2%, dan pada umur 17-18 tahun 11,4%. Pada penelitian oleh Djer (1998) prevalens obesitas pada sebuah Sekolah Dasar Negeri di kawasan Jakarta Pusat sebesar 9,6%. Penelitian oleh Meilany (2002). menunjukkan prevalens obesitas anak di tiga SD swasta di kawasan Jakarta Timur sebesar 27,5%. Menurut data rekam medik, kasus bam obesitas yang datang di poliklinik Gizi Anak Bagian IKA FKUI-RSCM dalam periode tahun 1995-2000 adalah sebanyak 100 pasien, dan 35% diantaranya adalah balita (Sjarif, 2005). 2.2.3. Cara Menentukan Obesitas Banyak teknik yang digunakan untuk menentukan akumulasi lemak yang ada di dalam tubuh seseorang, antara lain (Sjarif, 2005): a. Mengukur dan menghubungkan berat badan dengan tinggi badan menggunakan Body Mass Index (BMI). b. Pengukuran leinak subkutan dengan inengukur tebal lipatan kulit. c. Variasi lingkar badan, biasanya merupakan rasio dari pinggang dan panggul. Untuk menentukan seseorang menderita obesitas atau tidak, cara yang paling banyak digunakan adalah menggunakan Body Mass Index (BMI). BMI ditunjukkan dengan perhitungan kilogram per meter kuadrat (kg/m2), berkorelasi dengan lemak yang terdapat dalam tubuh. Rumus menentukan BMI adalah: BMI = Berat badan (kg) ------------------------------[Tinggi Badan (m)]2

Klasifikasi obesitas untuk orang dewasa meuumt kriteria Asia Pasifik tertuang pada tabel berikut ini (Shidartawan, 2006); Tabel 1. Klasifikasi obesitas untuk orang dewasa meuumt kriteria Asia Pasifik Klasifikasi Underweight Normal Ch'erweight Obesitas I Obesitas II IMT (kg/m2) < 18,5 18,5-22,9 > 23,0-24,9 25,0-29,9 >30,0

Untuk anak-anak pada masa tumbuh kernbang, penentuan obesitas ditentukan menggunakan grafik CDC 2000. Dengan memasukkan data ke grafik, dapat ditentukan posisi persentilnya. Untuk persentil 86-94 dikategorikan dalam overweight dan untuk persentil > 95 dikategorikan dalam obesitas (Sjarif, 2005). Grafik CDC 2000 dapat dilihat pada gambar berikut ini;

Gambar 1. Grafik Penentuan IMT berdasarkan Usia CDC 2000, Untuk Anak Laki-Laki usia 2 20 Tahun.

Gambar 1. Grafik Penentuan IMT berdasarkan Usia CDC 2000, Untuk Anak Laki-Laki usia 2 20 Tahun. Terjadinya obesitas menurut jumlah sel lemak dibagi menjadi dua yaitu jumlah sel lemak normal, tetapi terjadi hipertrofi dan jumlah sel lemak meningkat dan juga terjadi hipertrofi. Penambahan dan pembesaran sel lemak paling cepat pada masa anak-anak dan mencapai puncaknya pada masa dewasa. Obesitas yang terjadi pada masa anak selain meningkatnya jumlah sel lemak juga terjadi hipertrofi. Obesitas pada anak terjadi jika intake kalori berlebihan, terutama pada tahun pertama kehidupan (Soetjiningsih, 1995). 2.2.4. Gejala Obesitas Anak yang obesitas tidak hanya lebih berat dari anak seusianya, tetapi juga lebih cepat matang pertumbuhan tulangnya. Anak yang obesitas relatif lebih tinggi pada masa remaja awal, tetapi pertumbuhan memanjangnya selesai lebih cepat, sehingga hasil akhirnya mempunyai tinggi badan relatif lebih pendek dari

anak sebayanya. Bentuk muka anak yang obesitas tidak proporsional, hidung dan mulut relatif lebih kecil, dagu ganda. Terdapat timbunan pada daerah payudara, dimana pada anak laki-laki sering merasa malu karena payudaranya seolah-olah tumbuh. Perut menggantung, alat kelamin pada anak laki-laki seolah-olah kecil karena adanya timbunan lemak pada daerah pangkal paha. Paha dan lengan atas besar, jari-jari tangan relatif kecil dan runcing. Sering terjadi gangguan psikologis, baik sebagai penyebab ataupun sebagai akibat dari obesitasnya. Anak lebih cepat mencapai masa pubertas. Kematangan seksual lebih cepat, pertumbuhan payudara, menarche, pertumbuhan rambut kelamin dan ketiak juga lebih cepat (Soetjiningsih, 1995). Menurut gejala klinisnya obesitas dibagi menjadi: a. Obesitas sederhana Terdapatnya gejala kegemukan saja tanpa disertai hormonal/ mental/ fisik lainnya, obesitas ini terjadi karena faktor nutrisi b. Bentuk khusus obesitas 1. Kelainan endokrin Sering disebut sindrom Cushing, pada anak sensitif terhadap pengobatan dengan hormon steroid 2. Kelainan somatodismorfik Obesitas dengan kelainan ini sering disertai retardasi mental dan kelainan ortopedi 3. Kelaianan hipotalamus Kelainan pada hipotalamus yang mempengaruhi nafsu makan dan berakibat terjadinya obesitas (Soetjiningsih, 1995) 2.2.5. Penyebab Obesitas Keadaan obseitas terjadi jika makanan sehari-harinya mengandung energi yang melebihi kebutuhan anak yang bersangkutan. Obesitas pada anak dapat terjadi pada segala umur. Aspek modernisasi yang berupa perubahan pola makan dan aktivitas sehari-hari jelas memberikan pengaruh dalam meningkatnya kejadian obesitas. Penyebab obesitas pada anak bersifat multifaktor. Namun ada

beberapa faktor yang diketahui memiliki peran besar untuk meningkatkan risiko terjadinya obesitas pada anak, yaitu: a. Faktor genetik Kecenderungan menjadi gemuk pada keluarga tertentu telah lama diketahui berdasarkan fakta adanya perbedaan kecepatan metabolisme tubuh anatara satu individu dengan individu laninya. Individu yang memiliki kecepatan metabolisme lebih lambat memiliki resiko yang lebih besar mengalami obesitas (Wahyu, 2009). Bila salah satu diantara kedua orang tuanya menderita kegemukan maka 40% dari anak-anaknya menjadi gemuk dan kemungkinan bertambah menjadi 80% apabila kedua orang tuanya menderita kegemukan (Soetjiningsih, 1995). Berdasarkan pengamatan Gam dan Clark (1976) pada pasangan orang tua terhadap anak yaitu orang tua yang kurus, sedang, dan obesitas. Ternyata pada usia 17 tahun seorang anak dari pasangan orang tua yang obesitas mempunyai berat badan 3 kali lipat dari pada seorang anak dari pasangan orang tua kurus. Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagai gen, tetapi juga pola makan dengan kebiasaan gaya hidup yang bisa mendorong terjadinya obesitas, biasanya anak cenderung meniru kebiasaan makan dan gerak yang salah dari orang tuanya (RSCM dan Persagi, 2003). Gen obese merupakan sutau protein yang dikenal dengan nama leptin dan diproduksi oleh sel-sel lemak (adipositas) yang disekresikan dalam darah. Leptin berfungsi sebagai duta dari jaringan adiposa yang memberikan informasi ke otak mengenai ukuran massa lemak. b. Pola makan Pola makan dapat menggambarkan frekuensi makan anak dalam sehari, dan hal ini berhubungan dengan kebiasaan makan anak di rumah. Masyarakat Indonesia biasanya mempunyai pola makan 3 kali dalam sehari, dibagi menjadi makan pagi, makan siang, dan makanan malam (Rijanti, 2002 dalam Pangaribuan, 2003). Gangguan pola makan adalah adanya pola makan yang berbeda dari sekelompok orang mempunyai kebiasaan makan normal dalam tingkat gizi, sosial, ekonomi, dan lingkungan budaya yang sama.

Kebiasaan makan yang tinggi kalori dan lemak, serta minimnya serat juga berperan besar dalam meningkatkan resiko terjadinya obesitas pada anak. Makanan seperti ini sering ditemukan pada tempat makan cepat saji yang menyediakan makanan junk food. Biasanya makanan junk food kerap kali menjadi alternatif pengganti dalam pemilihan makanan. Jika hal ini terus berlangsung dalam jangka waktu lama, maka resiko obesitas pada anak akan semakin meningkat. Anak usia sekolah harus mendapatkan makanan yang cukup, baik dari segi kualitas dan kuantitas (Apriadji, 1986). Obesitas pada anak sekolah diakibatkan karena konsumsi energi, protein, dan lemak yang melebihi kebutuhan. Makanan dan minuman yang padat kalori, rendah kandungan zat gizi (mineral dan vitamin) yang dikonsumsi berlebihan (Damayanti dan Muhilal, 2006 ). Perilaku dalam konsumsi pangan pada dasarnya merupakan bentuk penerapan kebiasaan makan, yang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap dalam pemilihan makanan. Hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh lingkungan rumah dan keluarga (WHO, 2000) c. Lingkungan Pola makan dan nutrisi yang baik pada anak sekolah dipengaruhi oleh lingkungan yang kompleks dimana mereka tinggal sehari-hari. Rumah dan keluarga, sekolah dengan guru dan penyediaan pelayanan makanan, semua bentuk media, pelayanan kesehatan, pengembangan makanan fast food, dan kelompok teman sebaya, semuanya mempengaruhi pemilihan makanan anak, pengaruhnya dapat positif atau negatif yang secara menyeluruh berpengaruh terhadap kesehatan anak-anak terutama dalam masalah obesitas (Sphore, 1996) d. Kebiasaan Makan Cemilan Saat Nonton TV
Cemilan dikatakan buruk jika mengandung gula, garam dan lemak yang berlebihan namun rendah protein, vitamin dan mineral. Worthington (2000) mengatakan menonton TV pada anak juga berhubungan dengan kebiasaan makan cemilan. Sering menonton TV berkorelasi positif dengan perilaku ngemil. Para pembuat lklan mencoba menggunakan anak-anak untnk mempengaruhi perilaku pemilihan makanan orang tua mereka, dan senng mempengaruhi untuk mengkonsumsi produk makanan yang kaya akan gula. Dietz (1985) menemukan efek buruk TV, yakni semakin sering menonton TV

semakin besar resiko obesitas. Selain itu, selama menonton TV biasanya anak makan lebili banyak makanan yang diiklankan di TV dalam jumlah besar.

Menurut Darmoutomo (2007), TV dapat berdampak pada fisik anak. Semakin lama anak menonton TV makin besar angka kejadian obesitas pada anak. Anak yang menonton TV lebih dari 1 jam akan meningkatkan resiko obesitas sebesar 2%. Dengan menonton TV lebih dari 1 jam, anak cenderung mengunyah cemilan yang gurih dan manis tanpa diimbangi dengan gerak yang cukup. Tidak berbeda dengan TV, temyata komputer dan video games juga turut andil dalam kejadian obesitas pada anak. Meskipun beberapa komputer dan video games memiliki komponen mendidik, namun kebanyakan jauh dari aktivitas pembakaran lemak. Keduanya menjadi berbahaya karena termasuk dalam aktifitas sedentary. Ketika bermain video games, anak-anak biasanya memilih untuk makan cemilan tanpa berfikir panjang dan mereka tidak melakukan interaksi dengan ank-anak lain di luar rumah atau melakukan aktifitas yang menguras energi. Beberapa dokter menyatakan bahwa TV sedikit lebih berbahaya dari video games, karena komputer dan video games mendorong anak-anak untuk melakukan aktivitas yang banyak menggunakan koordinasi tangan-mata dan gerak motorik lainnya. Gerakan ini menghasilkan lebih bayak pembuangan energi daripada duduk berdiam diri di depan TV (Kimberly, 2006). e. Keterpaparan Iklan Anak sekolah usia 5-10 tahun lebih teliti melihat iklan-iklan di televisi dibandingkan anak sekolah usia 11-12 tahun. Anak sekolah usia 11-12 tahun lebih sadar terhadap iklan-ikaln di televisi yang mempunyai tujuan koinersial, tujuan penjualan produk dan sebagai sponsor. Pada akhir pekan seperti hari sabtu atau minggu pagi biasanya program televisi untuk anak-anak menayangkan lebih dari 56% iklan tentang makanan, dari iklan makanan itu sekitar 44% makanan yang mengandung lemak, minyak dan makanan mengandung gula. Frekuensi yang paling sering adalah iklan makanan yang mengandung tinggi gula (Robert & William, 2000). Televisi dapat menayangkan program siaran yang mampu menarik perhatian kelornpok audien tertentu yang nienjadi target promosi suatu target

promosi suatu produk tertentu pula. Siaran iklan selalu rnenjadi pusat perhatian audien pada saat iklan itu ditayangkan. Iklan di televisi dapat menggunakan kekuatan personalitas manusia untuk menjual produknya. Televisi merupakan media yang paling baik daripada media yang lainnya karena dapat menunjukkan cara bekerjanya suatu produk pada saat digunakan (Morissan, 2005). Banyak sekali cara yang digunakan oleh pihak perusahaan makanan untuk memasarkan produknya. Misalnya pada sampul buku sekolah terdapat logo perusahaan makanan atau gambar makanan dari merk terkenal serta menjadi sponsor dalam kegiatan sekolah. Ada juga cara yang digunakan oleh perusahaan makanan dengan menampilkan produknya digunakan oleh tokoh film yang digemari anak-anak. Hampir setengah dari seluruh iklan komersial berisi pesan tentang makanan ditayangkan pada saat acara anak-anak berlangsung. Sebagian besar iklan yang ditayangkan di televisi menayangkan makanan tinggi lemak, gula dan garam Pesan yang disampaikan dalam iklan tersebut biasanya tidak

memperhatikan sedikit pun kandungau zat gizi dari produk makanan yang ditayangkan.

2.2.3 Akibat Obesitas Akibat dari obesitas dilihat dari segi fisik yaitu naiknya berat badan, meningkatnya glukosa darah dan insulin, meningkatnya tekanan darah, menurunya kemampuan belajar serta aktivitas motorik, meningkatkan timbulanya penyakit degeneratif, gangguan pernapasan pada waktu tidur, gangguan pencernaan. Dari segi psikologis anak yang banyak beraktivitas pasif kalah dibandingkan anak yang melakukan aktivitas sedang. Perkembangan otak dan gerak anak yang obesitas kalah dibandingkan anak dengan berat badan seimbang. Anak obesitas cenderung mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut jantung sekitar 20-30% menderita hipertensi (Syarif, 2003). Pada anak obes juga sering dijumpai kejadian obstructive sleep apnea, kejadian ini terjadi pada 1/100 anak dengan gejala mengorok. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak didaerah dinding dada dan perut yang menggangu pergerakkan

dinding dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatnya beban kerja otot pernapasan. 2.3. Konsumsi Energi Anak Sekolah 2.3.1 Kebutuhan Energi Anak Sekolah Kebutuhan energi anak sekolah berbeda untuk masing-masing kelompok umur. Kelompok umur 10-12 tahun kebutuhan energi relatif lebih besar daripada kebutuhan kelompok umur 7-9 tahun, karena pertumbuhannya lebih cepat, terutama pertumbuhan tinggi badan. Untuk kelompok umur 10-12 tahun, kebutuhan energi anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini disebabkan karena anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik, yang membutuhkan energi yang relatif banyak (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, 1992). 2.3.2. Kecukupan Energi Anak Sekolah Pengukuran kecukupan energi seseorang dilakukan dengan menggunakan daftar kecukupan gizi yang dianjurkan ataupun dengan menghitung kecukupan energi atau zat gizi lainnya per orang, yang mencakup semua orang sehat. (Karyadi, D, 1996). Untuk anak sekolah kecukupan energi berbeda untuk tnasing-masing kelompok umur yaitu kelompok uraur 7-9 tahun sebesar 1900 Kilokalori. Kelompok umur 10-12 tahun sebesar 2000 Kilokalori untuk anak laki-laki dan 1900 Kilokalori untuk anak perempuan ( Departemen Kesehatan RI, 1995) Menurut Depkes RI (1995), Ratio dari konsumsi zat-zat gizi, termasuk energi, dengan kecukupan gizi yang dianjurkan, dapat dibedakan sebagai berikut: < 85% standar 85 -94% standar 95 105% standar 106- 115% standar > 115% standar : sangat rendah : rendah : cukup/sesuai standar : tinggi : sangat tinggi

2.3.3. Metode Menghitung Konsumsi Energi a. Recall 24jam Cara memlai konsunisi makanan dengan metode recall 24 jam adalah meminta responden untuk menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam sebelum wawancara dilakukan. Unfuk lebih mudah dalam mengingat ukuian atau porsi makanan biasanya penelili menggunakan alat bantu berupa foodmodel dan alat ukur rumah tangga (URT). Dalam melaknkan recall biasanya menggunakan patokan waktu makan agar dapat membantu lesponden mengingat makanan yang dikonsumsinya. Patokan waktu yang digunakan sepeiti setelah bangun tidur, pada saat sekolah, pulang sekolah, sore sampai malam hah menjelang tidur. Dengan melakukan recall beberapa hah maka biasanya dapat membehkan gambaran tentang konsunisi sesungguhnya dari orang yang diperiksa (Gibson, 1990). b. Food Frequency Questionnaire (FFQ) Pada metode ini bertujuan untuk mendapatkan data kualitatif yang membehkan infonnasi tentang pola makan. Daftar pertanyaan berisi tentang dua komponen, yaitu daftar makanan dan frekuensi makan dalam penode waktu tertentu sepeiti hah, minggu, bulan dan tahun. Kelebihan metode mi adalah daftar pertanyaan dapat diisi sendiri oleh responden, biaya lebih murah, lebih sensitif untuk kebiasaan atau pola makan. Sedangkan kelemahannya adalah tidak ada porsi makanan, tidak menilai konsumsi zat gizi sebenamya. FFQ sering digunakan untuk studi epidemiologi yang berkaitan dengan kebiasaan makan dan penyakit (Acheson & Doll, 1964; Hankin et al, 1970; Hirayama, 1981 dalam Gibson. 1990). 2.4. Kerangka Teori
Menurut WHO (2000), banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas pada anak yaitu ketidakseimbangan energi, kebiasaan makan, aktivitas fisik, menonton TV lama yang menyebabkan kurangnya aktifitas fisik, lingkungan sosial, genetik/keturunan, dan non genetik. Sedangkan menurut model modifikasi Apriadji (1986) dan Call&Levinson (1977) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi status

gizi yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas adalah promosi produk makanan, pengetahuan gizi, daya beli, dari segi psikologi, pola konsumsi makan, genetik, hormonal, aktivitas fisik. Berikut ini adalah modifikasi WHO, Apriadji, dan Call&Levinson faktor-faktor yang berhubungan dengan obesitas:

Status Ekonomi Pengetahuan Gizi Menonton Televisi

Pendapatan

Pemberian Makan Keluarga Kebiasaan Makan

Daya Beli Keluarga

Ngemil saat Menonton TV Keterpaparan Iklan Aktifitas Fisik kurang Ketidak seimbangan Energi

Konsumsi Makanan

OBESITAS Genetik Hormon Status Kesetahan Lingkungan Sosial

Sanitasi / Pelayanan Kesehatan

Non Genetik - Umur - Jenis Kelamin - Jumlah Anak

Gambar 3. Kerangka Teori

2.5. Kerangka Konsep

MENONTON TELEVISI

Keuntungan - Menambah pengetahuan dan kreativitas - Anak dapat mudah memahami pesan yang disampaikan melalui gambar - Membangun pikiran kritis - Menambah kemampuan memahami masalah politik, sosial dan ekonomi - Memperbaiki perilaku - Menambah imajinasi

Pengaruh Negatif - Aktifitas Fisik Menjadi Berkurang - Keterpaparan Iklan (promosi) produk makanan - Memakan Camilan saat nonton TV - Pola makan yang salah

OBESITAS

Pengaruh Negatif Lain - Berkurangnya waktu membaca dan mengikuti kegiatan sekolah - Kurang konsentrasi - Menurunkan kemampuan memori verbal - Mengurangi semangat belajar - Mempengaruhi kebiasaan belajar dan tingkah laku di sekolah - Perilaku agresif - Perilaku merokok - Hubungan seksual bebas - Pengguna alkohol & obat terlarang

= Variabel yang diteliti

Gambar 4. Kerangka Konsep 2.6. Hipotesis Penelitian Ada hubungan antara durasi menonton televisi dengan obesitas pada anak usia sekolah di SD XXX

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental menggunakan pendekatan kuantitatif. Rancangan pada penelitian ini menggunakan cross

sectional yaitu rancangan studi yang mempelajari hubungan penyakit dengan paparan melalui proses pengamatan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat serentak pada individu-individu dari populasi tunggal pada suatu saat atau periode (Notoatmodjo, 2002).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksakan di Sekolah Dasar Negeri 2 Ngemplak pada bulan September tahun 2013. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peniliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2008). Populasi pada penelitian ini adalah siswa/siswi SDN 2 Ngemplak dan memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: 1. Siswa kelas 4, 5 dan 6 SDN 2 Ngemplak. Tidak diikutkannya siswa kelas 1, 2 dan 3 karena untuk mengurangi bias pada hasil penelitian serta siswa tersebut biasanya tidak terlalu memperhatikan makanan yang

dikonsumsinya masih tergantung orangtua atau pengasuhnya.


2. Berstatus sebagai siswa aktif di SDN 2 Ngemplak.

3. Bersedia untuk diikutkan menjadi sampel dalam penelitian ini. Kriteria eksklusi debagai berikut: 1. Pada saat dilakukan pengukuran antropometri, anak tersebut absen atau tidak lagi terdaftar sebagai siswa-siswi di sekolah tersebut.

2.

Responden tidak bersedia mengikuti pengukuran antropometri.

3. Memiliki penyakit khusus seperti Hipotiroid, Tuberculosis Paru, Sindrom Nefrotik. Teknik pengambilan sampel pada penelitan ini menggunakan total sampling, sedangkan besar sampling minimal adalah sebagai berikut

(Notoatmodjo, 2002) : n= N
2

1 + N (d ) N= besar populasi n= jumlah sampel d= tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan. Perhitungan jumlah sampel: Diketahui : N = 120 d = 0,05 Maka besarnya sampel (n) adalah :

n
n

N 1 N (d 2 )
120 1 120 (0,05 2 )

120 1 0,3

n = 92,31 (Dibulatkan menjadi 93) Jumlah sampel yang diperoleh dari rumus di atas berjumlah sekitar 93 siswa. 3.4 Variabel Penelitian Terdapat dua variabel pada penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah durasi menonton televisi pada siswa SDN 2 Ngemplak. Sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah obesitas pada siswa SDN 2 Ngemplak.

3.5 Definisi Operasional Tabel 2. Definisi Operasional No . 1. Variabel Definisi Penelitian Pernyataan responden tentang Nonton kebiasaannya menonton TV setiap TV
hari yang kuisioner. dinyatakan

Kategori
1. Lebih, Jika menonton TV 2 jam 2. Cukup, Jika menonton TV < 2 jam 1. Ya, jika mengkonsumsi cemilan saat menonton TV 2. Tidak 1. Obes ( 95th persentil) 2. Nonobes a. Normal (5th <85th persentil) b. Overweight (>85th - <95th persentil) c. Underweight (<5th persentil)

Skala

dengan

Ordinal

2.

Kebiasaan Makan Cemilan Saat Nonton TV

3.

Obesitas

Pernyataan responden tentang kebiasaannya megkonsunsumsi makanan cemilan saat menonton TV setiap hari yang dinyatakan dengan kuisioner. Keadaan responden yang dinilai dari penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan yang diukur dengan perbandiagaa IMT | U yang dibedakan meuurut jenis kelanrin. Diukur dengan timbangan injak dan meteran. IMT : Indeks Massa Tubuh (BB ITB2) U : Umur responden saat pengambilan data dalam satuan bulan.

Ordinal

Ordinal

4 5

Jenis Kelamin Usia

Karakteristik biologis khas pada manusia yang membedakan antara laki-laki dan perempuan Lamanya waktu hidup anak yang dihitung sejak lahir sampai saat penelitian.

1. 2. 1. 2.

Laki-Laki Perempuan 7 9 Tahun 10 12 Tahun

Nominal Ordinal

3.6 Instrumen Penelitian 1. Kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang data demografi responden dan kebiasaan menonton TV serta data antropometri responden. 2. Alat pengukur BB yaitu timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg 3. Alat pengukur TB yaitu mirotoice dengan ketelitian 0,1cm

3.7 Rencana Analisis Data Analisis data pada penelitian ini adalah dengan analisis deskriptif dan analisis bivariat. Analisis bivariat dengan menggunakan SPSS 17. Uji yang dilakukan pada analisis bivariat adalah Uji Chi Square. 3.8 Tahap Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitan Persiapan penelitian yang dilakukan adalah menyusun proposal penelitian, menyiapkan kuesioner serta melakukan izin penelitian. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Pada pelaksaan penelitian dilakukan pengambilan data menggunakan kuesioner dan pengukuran antropometri pada seluruh siswa SDN 2 Ngemplak. 3. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian Tahap akhir setelah data terkumpul adalah melakukan penyusunan laporan penelitian. 3.9 Jadwal Penelitian Tabel 9. Jadwal Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tahap Penelitian Penyusunan dan Revisi Proposal Penelitian Seminar Proposal Pelaksanaan Penelitian Rekapitulasi Data Penyusunan Laporan Seminar Hasil dan Revisi Laporan Bulan (pada tahun 2013) September Oktober V V V V V V

DAFTAR PUSTAKA

Apriadji, W. Harry. 1986. Gizi Keluarga. Jakarta: Penebar Swadaya Arsyad, Azhar M.A., (2007). Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Barr-Anderson DJ, Van den Berg P, Sztainer DN, Story M. Characteristics associated with older adolescents who have a television in their bedrooms. Pediatrics. 2008; 121:718-24 Chen, M, Anak-anak dan Televisi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996 Committee on communications. Children, adolescents and advertising Pediatrics. 2006; 118:2563-9 Committee on public education. Media education. Pediatrics. 1999; 104:341-3
Damayanti, didit, Dr. Muhilal. 2006. Gizi Seimbang Untuk Anak Usia Sekolah Dasar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta. Dietz, W H. Childhood Obesity: Textbook of Pediatrics Nutrition Second Edition. New York: Raven Press. 1995. Dubois L, Girard M, Kent MP. Breakfast eating and overweight in a preschool population: is there a link? Public Health Nutrition. 2006;9:436-442. Gibson. 1990. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University Press. New York. Jordan AB, Hersey JC, McDivitt JA, Heitzler DC. Reducing children's televisionviewing time: a qualitative study of parents and their children. Pediatrics. 2006; 118:1303-10

Majid, A., (2009). Pengaruh Televisi Terhadap Anak. Tanggal 11 Agustus 2013. http://www.majidbsz-wordspress.com. Matheson DM, Killen JD, Wang Y, Varady A, Robinson TN. Childrens food consumption during television viewing. Am J Clin Nutr. 2004; 79:1088-94. Morissan, 2005. Pemasaran Media Penyiaran., Media Penyiaran.

Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Radina Prakarsa. Notoadmojo, S., 2005. Metodologi Penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Owens J, Maxim R, McGuinn M, Nobile C, Msall M. Television viewing habits and sleep disturbance in school children. Pediatrics. 1999; 104:1-8 Pangaribuan, Shinta Romauli. 2003. Gamabaran Kejadian Gizi Lebih dan FaktorFaktor yang Berhubungan Pada Anak SD Don Bosco II di Pulo Mas Jakarta Timur 2003. [Skripsi] FKM-UI Prasetya, A.B., (2007). Pengertian Televisi, Komunitas Orang Terpelajar dan Pintar. Jakarta. Pujilestari, P; Wirakusumah, E.S; Tanziha, I, Hubungan Aktivitas Menonton Televisi Dengan Kecenderungan Terjadinva Qbesitas Pada Anak. Media Gizi Dan Keluarga, Tahun XX No. 2, GMSK Fakultas Pertanian- IPB, Bogor, 1996 Rahman, A., (2007). Televisi Matikan Benda Itu atau Dia Akan Menerkam. Tanggal 11 Agustus 2013. http://www.chowvidkeren.blogspot.com. Roberts. B. W. & William. S., 2000. Nutrition Throughout the life Cycle. Fourth Edition. The McGraw-Hill Companies. RSCM dan Persagi, 2003. Penunutun Diit Anak. Gramedia. Jakarta. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Persagi, Penuntun Diit Anak, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992. Sidhartawan, S. 2006. Obesitas. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S editors. Bukii ajar ilmu penyakit dalarn jilid n edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sjarif DR. 2005. Obesitas pada anak dan permasalahannya. Dalam: Trihono PP. Purnamawati S, Sjarif DR. Hegar B, Gunardi H, Oswari H, et al, ed. Hot topics in pediatrics H Jakarta: FKUI Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC Spohrer, Gail C Frank. 1996. Community Nutrition Applying Epidemiology to Contemporary Practice. Maryland: Aspen Publishers, Inc, Gaitnesburg. Sugiyono., 2005. Statistika Untuk Penelitian. CV Alfabeta: Bandung. Suharjo; Hardinsyah dan Riyadi, H. 1997. Survei Konsumsi Pangan. Pustaka Antar Universitas, IPB, Bogor. Syarif, D.R. 2003. Childhood Obesity: Evaluation ang Management. Surabaya. Thakkar RR, Garrison MM, Christakis DA. A systematic review for the effects of television viewing by infants and preschoolers. Pediatrics. 2006; 118:2025-31 Vandewater EA, Rideout VJ, Wartella EA, Huang X, Lee JH. Digital childhood: electronic media and technology use among infants, toddlers and preschoolers. Pediatrics. 2007; 119:1006-15 Wahiddien, A., (2008). Makalah Psikologi Tentang Pengaruh Televisi Terhadap Anak. Jakarta. Wahyu, Genis Ginanjar. 2009. Promosi Kesehatan Keluarga: Gaya Hidup Sehat Bermula Dari Sini. Dari:http://www.pestagagasan.blogspot.com pada tanggal 13 September 2013. WHO. 2000. Obesity: Preventing ang Managing The Global Epidmic. Geneva. WHO. 2009. Childhood overweight and obesity. [Diakses tanggal 11 September 2013]. Diunduh dari:

http://www.who.int/dietphysicalactivity/childhood/en. Worthington B, Williams RSR. 2000. Nutrition Trought out the life Cycle, Fourth Edition. Boston: Mc Graw Hill Companies. Yahya, L.R.S, Kumpulan Artikel Psikologis Anak 2. Mari Diet TV Keluarga, Intisari, cetakan I, Jakarta, 1999.

Você também pode gostar