Você está na página 1de 15

Sosiologi agama Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

1. Sosiologi agama mempelajari peran agama di dalam

masyarakat; praktik, latar sejarah, perkembangan dan tema universal suatu agama di dalam masyarakat.
2. Ada penekanan tertentu di dalam peran agama di seluruh

masyarakat dan sepanjang sejarah.


3. Sosiologi agama berbeda dari theologi (Studi agama, ajaran

agama dalam penganut agama tertentu), filsafat agama (perilku individu dalam beragama) karena tidak menilai kebenaran kepercayaan agama, meski proses membandingkan dogma yang saling bertentangan membutuhkan apa yang disebut Peter L. Berger sebagai "ateisme metodologis" yang melekat.
4.

Sementara sosiologi agama berbeda dengan teologi dalam mengasumsikan ketidakabsahan supernatural, para teoris cenderung mengakui keabsahan sosial budaya dalam praktik keagamaan. dalam studi tingkat bunuh diri Durkheim tahun 1897 dan etika protestan (protestant ethict) di antara penduduk Katolik dan Protestan, sebuah karya mendasar dari penelitian sosial yang ditujukan untuk membedakan sosiologi dari ilmu disiplin lain seperti psikologi.

5. Sosiologi akademik modern dimulai dengan analisis agama

6. Karya Karl Marx dan Max Weber menekankan hubungan

antara agama dan ekonomi atau struktur sosial masyarakat. Perdebatan kontemporer lebih memusat pada masalah seperti sekularisasi, agama sipil, dan kepaduan agama dalam konteks globalisasi dan multikulturalisme.
7. Sosiologi agama kontemporer juga dapat mencakup sosiologi

ketiadaan agama (contohnya dalam analisis sistem kepercayaan Humanis Sekuler).

Sosiologi Agama Durkheim oleh Mohamad Zaki Hussein


II.1.1.

A. Definisi Agama Menurut Durkheim

1. Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem

kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal."
2. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi

syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama.
3. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu

mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas.
4. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan

dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
II.1.2.

B. Sifat Kudus Dari Agama

1. Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan

pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis


2.

Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.
2

3. Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada

4. Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu

totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat.
5. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki

sifat yang kudus. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana.
6. Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak

menghilangkan sifat kudus daripada moralitasnya sendiri.


7. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada

moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional tersebut.
8. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa

"kudus" seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral.
9. Dengen demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi

suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat.


10. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu tidak

tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.
II.1.3.

C. Ritual Agama

Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau laranganlarangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang
3

positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya. Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.
II.1.4.

D. Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat

Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari
4

adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompokkelompok analog. Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep "kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan individu-individu. Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas. Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian
5

perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.
II.1.5.

E. Moralitas Individual Modern

Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang melibatkan pembagian kerja yang semakin kompleks-- seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama ke moralitas individual yang rasional. Walaupun begitu, moralitas individual itu, seperti yang juga telah disebutkan di atas, menyimpan satu ciri khas dari agama yaitu "kekudusan". Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu tidak bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan" yang dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut. Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan "kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme. Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar menukar informasi.

Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern. Sumber Acuan: Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986. Aliran-aliran dalam sosiologi agama
1. Pengkajian terhadap kehidupan bersama yang disebut

masyarakat manusia tidak dapat memberikan penjelasan lengkap danmemuaskan, jikalau orang hanya menggunakan cara pendekatan dari sosiologi umum saja. Karena system social
7

yang multi kompleks mengandung bagian-bagian tertentu yang emmpunyai corak tersendiri, yang disebut dengan fenomena agama. Fenomena tersebut tidak akan menjadi jelas hanya dengan sorotan sosiologi umum. Penjelasan yang memuaskan atau terperinci dan lengkap tentang masalah tersebut hanya dapat diharapkan secara wajar dari suatu studi khusus yang disebut sosiologi agama. Dengan kata lain, tidak ada penjelasan yang dapat dikatakan lengkap dan memuaskan mengenai fenomena agama jika fenomena ini tidak dipelajari dari sudut pandang sosiologis. Karena agama seperti yang terwujud dalam masyarakat adalah sungguh fakta social.
2.

Sosiologi agama merupakan suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri danmasyarakat luas pada umunya. Jadi antara sosiologi agama dengan sosiologi umum sangat berbeda. Kalau sosiologi umum bertugas mencapai hukum kemasyarakatan yang berlaku seluas mungkin bagi kehidupan masyarakat pada umunya sedangkan sosiologi agama bertugas mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama pada umunya. Kalau dilihat dari keterangan diatas kita dapat mengetahui bahwa sosiologi agama dan sosiologi umum terdapat perbedaan. Mulai dari pengertian fungsi dan lain sebagainya. Baik sosiologi umum maupun sosiologi agama masing-masing mempunyai aliran-aliran yang berbeda juga. Dan disini kami sebagai pemakalah berusaha membahas masalah aliran-aliran yang ada dalam sosiologi agama. Sosiologi agama tidak merupakan satu kesatuan yang seragam. Dalam forum sosiologi agama sendiri terdapat bermacammacam aliran sesuai dengan macam aliran sosiologi umum. Adanya perbedaan jenis sosiologi dengan ciri-cirinya tersendiri karena terdapat perbedaan visi atas realitas masyarakat, terutama mengenai kekuatan tertentu yang dianggap memainkan peranan dominan atas kehidupan masyarakat.
8

3.

Selain itu akibat dari perbedaan visi itu digunakan pula metode dan pendekatan yang berbeda juga untuk mempelajari masyarakat. Dan sudah pasti tiap-tiap aliran memakai metode yang dianggap paling kena untuk mengungkapkan keistimewaan realitas masyarakat itu
4. Aliran Klasik

Aliran ini muncul pada pertengahan abad ke 19 dan belahan pertama abad ke 20, yang ditopang oleh sejumlah sarjana (kecuali Durkheim dan weber, masih dapat ditambah dengan toqueville, marks, tennis, simmel, pareto, spencer dll). Karya tulis para sarjana tersebut masih tetap akan di baca dankiranya tidak pernah akan ditinggalkan sama seklai. Karya mereka lebih bercorak sosiologi dasar dari pada sosiologi agama, dengan pengecualian Durkheim dan weber. Bagi mereka kedudukan sosiologi (agama) sangat dekat dengan sejarah dan filsafat dan merupakan suatu refleksi dan analisis sistematis terhadap masyarakat kebudayaan dan agama sebagai proyek manusia. Tujuanya hendak mengungkapkan pola-pola social dasar dan perananya dalam menciptakan masyarakat. Instansi pemerintah dan kalangan agama yang berkonsultasi dengan pendukung aliran tersebut, akan mendapat jawaban yang berupa esai panjang tentang sejarah dari masyarakat agama yang bersangkutan yang menganalisis sejarah masyarakat (organisasi itu). Didalamnya ditunjukkan kekuatankekuatan (social) yang mendorong berdirinya, unsure-unsur budaya yang menopang kelangsungnya hidupnya, dibandingkan dengan tuntutan-tuntutan modern dalam situasi yang sudah berubah, lantas mempersilakan instansi yang berkepentingan untuk mengadakan perubahan yang sesuai atau tidak mengadakanya.
5. Aliran Positivisme

Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Aliran ini mengikuti sosiologi yang empiris-positivistis dan menjajarkan masyarakat (dan masyarakat agama) sama dengan
9

benda-benda alamiah. Ia menyibukkan diri dengan kuantifikasi dari dimensi masyarakat yang kualitatif dengan metoda pengukuran yang eksak dan menarik kesimpulan yang dibuktikan dengan fakta-fakta. Dengan kata lain kesimpulan yang sifatnya netral tanpa diwarnai pertimbangan teologis atau filosofis, dilepas dari konteks sejarah perkembangan yang dialami masyarakat itu dalam waktu yang lampau. Cara penganalisisian demikian itu dipegang ketat dan konsekuen demi tercapainya hasil yang diinginkan, yaitu hasil yang se-obyektif mungkin. Instansi (pemerintahan atau keagamaan) yang akan minta bantuan dari aliran positivistis ini untuk mengadakan penelitian mengenai lembaganya atau organisasinya akan mendapat keterangan banyak tentang struktur organiasinya, tentang keadaan system peraturanya, mengenai kualitas kepemimpinanya dan reaksi (yang positif dan negative) dari anggota-anggota lembaganya. Instansi yang berkonsultasi akan diyakinkan mengenai pentingnya keterangan (ilmiah) itu, tetapi kepadanya diserahkan sepenuhnya untuk menentukan sendiri bagaimana ia akan menggunakan informasi itu.
6. Aliran Teori Konflik

Dalam pandangan ahli sosiologi aliran ini masyarakat yang baik (sehat) ialah masyarakat yang hidup dalam situasi konfliktual. Masyarakat yang disebut dalam keadaan keseimbangan (equilibrium) dianggapnya sebagai masyarakat yang tertidur dan berhenti dalam proses kemajuanya. Karena konflik (bentrokan) social dianggapnya sebagai kekuatan social utama dari perkembangan masyarakat yang ingin maju kepada tahap-tahap yang lebih sempurna. Gagasan konfliktual ini (yang skemanya diciptakan oleh filsuf hegel sebagai tesis-anti tesis-sintetis) didukung oleh karl marx, F oppenheimer, a weber dan w sombart, sebagai sarana mutlak (yang diberikan oleh alam sendiri) untuk memajukan masyarakat manusia. Aliran teori konflik ini tidak sependapat dengan para ahli aliran fungsionalisme, yang mendapat equilibrium social masyarakat sebagai bentuk hidup social yang ideal, karena dianggap kurang menyadari, atau membiarkan adanya kekuarangan dan ketidak adilan yang dibungkam oleh struktur kekuasaan yang bertahan.
10

Dari sisi lain sosiologi aliran teori konflik ini (yang juga disebut sosiologi kritis) tidak dapat menyetujui metoda kuantitatif dari aliran positivism, karena dianggapnya sebagai suatu arus yang mengasingkan orang dari masyarakat. Lebih jauh sosiologi kritis ini merasa tidak dapat memusatkan perhatianya pada problem mikro saja. Sebab pengkajian masalah yang kecil akan mengundang segera persoalan yang lebih besar dan mendorong kepada pengkajian bentrokanbentrokan yang implicit terkandung didalam system social seluruhnya. Dan yang tidak boleh dalam analisisnya ialah usaha menempatkan situasi yang dihadapi dalam kurun sejarah perkembangan yang telah dilewati yang tidak dapat dilepaskan dari masalah baru yang hendak dicari pemecahanya. Dari sudut pandangan ini dapat dikatakan bahwa sosiologi kritis (konfliktual) ini mempunyai titik persamaan dengan sosiologi klasik yang selalu tertarik kepada problem-problem makro, dan masalah-masalah mikro hanya diperhatikan sejauh itu dapat memberikan keterangan bagi pemecahan masalah yang lebiuh besar. Apabila pihak-pihak yang berkepentingan (instantsi pemerintah dan keagamaan ) berkonsultasi dengan sosiologi kritis ini maka mereka akan mendapat seperangkat penjelasan tentang unsureunsur pertentangan yang aad dalam tubuh organisasinya, dan yang berhasil digali dari kesadaran kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Lalau diberikanya seberkas resep yang dipandang tepat untuk mengatasi bentrokan-bentrokan yang sangat berguna itu menuju kepada suatu sintesis baru yang pada giliranya akan menumbuhkan dinamika baru, yang pada dasarnya mengandung benih konflik-konflik baru.
7. Aliran Fungsionalisme

Pendukung-pendukungnya bertolak dari pendirian dasar bahwa masyarakat itu suatu system perimbangan, dimana setiap kelompok memberikan sumbanganya yang khas melalui perananya masing-masing yang telah ditentukan demi lestarinya system perimbangan sebagai keseluruhan. Arti dan makna dari sebuah kegiatan social hanya dimengerti dengan baik apabila orang dapat menemukan setepatnya tempat dan fungsinya dan dalam keseluruhan system social. Dalam kerangka pemikiran itu timbulnya suatu bentrokan dalam organisasi dipandang
11

berfungsi korektif untuk membetulkan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam sub bagian yang tidakberjalan dengan baik. Penelitian yang diadakan sebagian besar ditujuakan untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang berfungsi baiknya peranan atau tugas yang dilaksanakan semua bagian disemua lapisan baik dari pemegang pimpinan maupun yang dipimpin. Dalam kerangka penegakan seluruh system masyarakat sebagai suatu neraca keseimbangan yang harmonis, aliran fungsionalisme ini dapat menerima prinsip kerja yang memperkecil lingkungan penelitianya pada suatu problem mikro, yang dianggap berguna sebagai sampel untuk mengetahui keadaan keseluruhan sebagai system keseimbangan. Apabila aliran fungsionalisme ini dimintai bantuanya untuk meneliti suatu wilayah keagamaanatau suatu lembaga religius demi kepentingan instansi yang bersangkutan, maka perhatian khusus akan dicurahkan untuk memperoleh penjelasan mengenai dua hal yitu bagian-bagian mana dari lembaga yang berfungsi dengan baik dan bagian-bagian mana yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dari data itu akan diberikan petunjuk atau anjuran supaya bagian-bagian lembaga yang tidak sanggup memberikan sumbangan kepada terwujudnya keseimbangan dari seluruh system harus diubah. KESIMPULAN Penyebab terjadinya beberapa aliran dalam sosilogi agama adalah karena terdapat perbedaan visi atas realitas masyarakat, selain itu juga karena penggunaan metode dan pendekatan yang berbeda juga untuk mempelajari masyarakat Aliran klasik sosiologi agama sangat dekat dengan sejarah dan filsafat dan merupakan suatu refleksi dan analisis sistematis terhadap masyarakat kebudayaan dan agama sebagai proyek manusia. Dengan tujuanya hendak mengungkapkan pola-pola social dasar dan perananya dalam menciptakan masyarakat. Aliran positivism menjajarkan masyarakat (dan masyarakat agama) sama dengan benda-benda alamiah. Ia menyibukkan diri dengan kuantifikasi dari dimensi masyarakat yang kualitatif dengan metoda pengukuran yang eksak dan menarik kesimpulan yang dibuktikan dengan fakta-fakta Aliran teori konflik menganggap konflik (bentrokan) social dianggapnya sebagai kekuatan social utama dari perkembangan
12

masyarakat yang ingin maju kepada tahap-tahap yang lebih sempurna. Aliran teori fungsionla menganggap arti dan makna dari sebuah kegiatan social hanya dimengerti dengan baik apabila orang dapat menemukan setepatnya tempat dan fungsinya dan dalam keseluruhan system social REFERENSI Hendropuspito, Drs, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1983 Thomas F Odea, Sosiologi Agama : Suatu Pengenalan Awal, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996 Prof Ahmad Tafsir, Filsafat Umum : Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000 PLURALISME TINAUAN SOSIOLOGI AGAMA Tulisan ini akan berangkat dari dua premis (1) Pluralisme bukan suatu aliran agama dan (2). Perbedaan itu rahmat. Pernyataan pertama mengandung arti bahwa pluralisme mencerminkan suatu kajian ilmu sosiologi-antropologi. Konsep pluralisme awalnya dikemukan oleh Christian Wolf dan Immanuel Kant sebagai filosof pencerahan yang menekankan pada doktrin tentang adanya kemungkinan pandangan-pandangan dunia dikombinasikan dengan kebutuhan untuk mengadopsi sudut pandang universal penduduk dunia. Berikut ini beberapa pengertian pluralisme. Pertama, menurut sosiologi fungsional, pluralisme adalah diferensiasi (perbedaan) masyarakat yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi peran, pada level organisasional sebagai kompetisi organisasi-organisasi formal, dan pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan terhadap fungsi institusi. Kedua, dalam wacana ilmu sosial, pluralisme dalam arti pengakuan terhadap keragaman dalam masyarakat dan berbagai prasyarat bagi pilihan dan kebebasan individu, dihadapkan pada dua ekstrem yang berlawanan. (1) pluralisme berhadapan dengan berbagai monisme, seperti teokrasi, negara absolut, monopoli, masyarakat total, kesadaran terasing, dan kebudayaan monolitik, (2) pluralisme mengimplikasikan struktur yang dapat diidentifikasi. Di mana pluralisme dapat secara simultan dihadapkan pada sesuatu
13

tanpa bentuk seperti anarki, anomie dalam arti kognitif maupun normatif, relativisme epistimologis, dan posmodernisme yang tidak koheren. Dengan kalimat lain, pluralisme menekankan pengertian deskriptif dan evaluatif, di satu sisi, konsep pluralisme berarti kesadaran akan banyaknya subentitas, sebaliknya di sisi lain mengungkapkan pengakuan positif terhadap pluralisme. Dari beberapa definisi tentang pluralisme di atas, adapun yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah adanya pengakuan bahwa seluruh manusia di bumi ini tidak hanya menganut satu agama tetapi menganut banyak agama. Pluralisme manjadi situasi nyata sebagai masalah yang harus dihadapi oleh manusia. Sebagai reaksi terhadap pluralisme yang menekan, ada beberapa macam reaksi yang timbul, yaitu: (1) Fundamentalis, yaitu reaksi menolak pluralisme dan memperkukuh posisi sendiri; (2) Proselitisme, yaitu usaha mentobatkan pengikut agama lain agar masuk agama sendiri dengan cara-cara yang tidak wajar; (3) Sinkretisme, yaitu reaksi kompromis dengan cara mencampur adukkan kedua keyakinan agama yang bertemu. Munculnya fenomena pluralisme agama yang dapat ditelusuri dari tiga mazhab teori besar dalam sosiologi agama diantaranya teori fungsionalisme (Emile Durkheim), kognitivisme (Max Webber) dan teori kritis (Karl Marx). Pandangan tiga mazhab teori itu tentang agama misalnya fungsionalisme melihat bahwa agama sebagai institusi yang dibangun demi integrasi sosial. Kognitifisme memandang agama sebagai pandangan dunia yang memberi makna bagi individu dan kelompok. Sementara teori kritis menginterpretasikan agama sebagai ideologi yang melegetimasi struktur kekuasaan masyarakat. Fenomena pluralisme seperti yang dikemukakan oleh Talcot Parson (1967) adalah sebagai pembedaan sistematik pada semua level, baik itu level pembedaan peran maupun level pembedaan sosial dan budaya. Bagi kaum kognitivis, seperti yang diwakili oleh Peter L. Berger mengemukakan fenomena pluralisme sebagai gejala sosio-struktural yang pararel dengan sekularisasi kesadaran (Berger, 1967:127). Menurut Berger, sekularisasi membawa pada demonopolisasi tradisitradisi agama dan pada peningkatan peran rakyat jelata. Sementara di kalangan teoritisi kritis seperti yang diwakili oleh Houtart, Habermas atau Bourdieu menganalisis pluralisme agama bukan suatu tema yang
14

menarik perhatian, karena dalam tradisi Marxis, agama bukanlah penyebab penting bagi perubahan struktural dan emansipasi manusia. Saat ini pluralisme yang dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian manusia adalah pluralisme semu (pseudo pluralism). Di mana pluralisme hanya sebatas dan belum sepenuhnya menjadi entitas yang harus disadari dan diakui sebagai kenyataan sosial dalam masyarakat. Pluralisme semu adalah bentuk pengakuan terhadap keragaman masyarakat (toleransi) yang terdiri dari budaya, suku, dan agama yang berbeda-beda, namun tidak bersedia menyikapi dan menerima suatu keberagaman sebagai kenyataan sejarah (historical necessity) dan kenyatan sosio-kultural (socio-cultural necessity). Dengan kalimat lain, pluralisme semu merupakan bentuk pengakuan atas perbedaan yang ada, namun penerimaan akan adanya suatu perbedaan belum sepenuhnya nampak dari sebagian sikap sebagian manusia. Sikap mendua atau standar ganda (double standard) dapat berimplikasi pada keretakan hubungan antarumat beragama, yang lambat laun berpotensi melahirkan konflik agama. Semestinya, pluralisme harus dipahami sebagai bentuk kesedian menerima kelompok lain secara sama sebagai suatu kesatuan. Adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu harus diperlakukan sama oleh negara. Di sinilah konsep pluralisme memberikan kontribusi nyata terhadap agenda demokrasi dan antidiskriminasi. Perhatian yang besar terhadap persamaan (equality) dan anti-diskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan pluralisme dengan demokrasi. Dua kondisi inilah yang diperjuangkan oleh Cak Nur dan Gus Dur. Jadi, Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (suku atau etnik, bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda. Akan tetapi, pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala keperbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.

15

Você também pode gostar