Você está na página 1de 0

Technical Report of ITB Research Grant 2006 No. 057/K01.

14/PL/ 2007 1

Eksplorasi Azadirachta indica A. Juss (Nimba) dan Tamarindus indica
(Asem Jawa) sebagai Bahan Baku Biodiesel

1
Rosy Rofianty &
1
Rina Ratnasih
1
Program Studi Biologi, Sekolah ilmu dan Teknologi Hayati ITB
Contact Person:
Rina Ratnasih
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung
Jalan. Ganesha No. 10 Bandung 40125, Telp. (022) 2500258
E-mail : rina@sith.itb.ac.id

Abstrak. Pada penelitian ini dilakukan eksplorasi terhadap Azadirachta indica A. J uss dan Tamarindus
indica L. dengan Jatropha curcas L. sebagai pembanding untuk menentukan spesies tumbuhan yang lebih
berpotensi sebagai bahan baku biodiesel. Biji A. indica, T. indica dan J. curcas mengandung minyak
secara berurutan sebesar 44.5, 14.24 dan 30.62 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa biji A. indica lebih
berpotensi untuk dijadikan bahan baku biodiesel. Pada tahap selanjutnya dilakukan penentuan persentase
kandungan minyak biji A. indica yang berasal dari Dangdeur, Sindang dan Kalijati. Biji A. indica yang
berasal dari Dangdeur memiliki persentase kandungan minyak tertinggi, yaitu 52.58 % dibandingkan
dengan A. indica yang berasal dari Sindang (36.51 %) dan Kalijati (43.85 %). Hal tersebut menunjukkan
adanya pengaruh antara variasi kondisi lingkungan terhadap tinggi-rendahnya kandungan minyak biji A.
indica. Pada analisis selanjutnya diketahui bahwa minyak biji A. indica memiliki angka asam,
penyabunan dan iodium secara berurutan sebesar 34.16 mg KOH/g, 149.31 mg KOH/g dan 68.42 g I
2
/100
g. Angka penyabunan dan iodium minyak A. indica telah memenuhi standar spesifikasi biodiesel di
Indonesia, tetapi angka asam belum memenuhi standar. Oleh karena itu, minyak biji A. indica belum
dapat dipastikan kelayakannya untuk dijadikan bahan baku biodisel sehingga masih diperlukan analisis
lebih lanjut.
Kata kunci: angka asam, angka iodium, angka penyabunan, Azadirachta indica A. Juss., biodiesel, Jatropha
curcas L., Tamarindus indica L., persentase kandungan minyak, variasi faktor fisik lingkungan.
1 Pendahuluan
Pada skala global, tingkat ketersediaan sumber energi konvensional yang berasal dari minyak bumi
dan batu bara semakin menipis karena sejak awal tahun 70-an, produksi bahan bakar relatif konstan
dan sulit untuk ditingkatkan. Padahal, kebutuhan energi akan terus meningkat karena jumlah penduduk
yang terus bertambah (Meyer dan Rask, 1984). Pemerintah Indonesia telah mengimpor bahan
bakar mesin diesel sebesar tujuh milyar liter per tahun. Angka tersebut diperkirakan setara
dengan 30% dari total kebutuhan nasional terhadap bahan bakar mesin diesel. Angka impor
solar yang sangat tinggi tersebut menunjukkan ketersediaan bahan bakar solar di Indonesia
yang semakin langka (Soerawidjaja et al., 2005). Permasalahan lain yang harus dihadapi oleh
masyarakat dunia selain kelangkaan sumber energi adalah permasalahan lingkungan yang timbul
akibat penggunaan bahan bakar fosil. Pada skala global telah dihasilkan sekitar 20.000.000 ton
senyawa karbondioksida setiap tahunnya yang berasal dari asap hasil pembakaran mesin kendaraan
dan industri. Hal tersebut mengarah pada terjadinya efek rumah kaca (Sonnino, 1994).
Salah satu bahan bakar alternatif yang sedang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan tersebut
adalah biodiesel. Secara ilmiah, biodiesel didefinisikan sebagai bahan bakar alternatif mesin diesel
yang terbuat dari sumber daya hayati atau biomassa seperti minyak tumbuhan dan lemak hewan yang
bersifat renewable, tidak beracun dan memiliki kadar emisi yang rendah (Krawczyk, 1996). Namun
secara industri, biodiesel didefinisikan sebagai bahan bakar mesin diesel yang terdiri atas senyawa
ester monoalkil dari asam-asam lemak tumbuhan (Soerawidjaja, 2005).Beberapa keunggulan yang
dimiliki biodiesel adalah dapat diperbarui, bahan baku tersedia di alam, tidak beracun, bebas dari
unsur sulfur bebas dan gugus aromatik serta memiliki kadar emisi gas NO dan CO yang rendah.
Konsentrasi sulfur yang terkandung di dalam biodiesel adalah sekitar 0,00011% (1 ppm), sedangkan
konsentrasi sulfur yang terkandung di dalam solar adalah 0,02 % (200 ppm). Biodiesel yang hanya
mengandung sedikit unsur sulfur bebas dan gugus aromatik menyebabkan kadar emisi hasil
pembakaran akan berkurang serta terbebas dari senyawa karsinogenik (Schumacher et al., 1993).
2 Rosy Rofianty & Rina Ratnasih
Azadirachta indica A. J uss (Meliaceae) biasa tumbuh di daerah berketinggian 1-300 m di atas
permukaan laut (Backer, 1963). Pohon A. indica tumbuh dengan baik di daerah yang memiliki kisaran
temperatur antara 9.5- 37
o
C tetapi dapat mentoleransi temperatur udara hingga mencapai 50
o
C.
Namun, A. indica tidak dapat mentoleransi temperatur udara dan tanah yang terlalu rendah maupun
kondisi tanah yang mengandung kadar garam tinggi dan tergenang oleh air. (J oker dan Schmidt, 2000;
Stoney, 1997). Setiap bagian dari pohon A. indica telah diteliti mengandung beberapa jenis senyawa
kimia yang berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Senyawa-senyawa yang
terkandung di dalam setiap pohon A. indica kini telah diperhitungkan sebagai salah satu produk alam
yang sangat bermanfaat bagi perkembangan bidang kesehatan dan industri (Biswas, 2002). Menurut
Azam et al. (2005), minyak biji Azadirachta indica merupakan bahan baku biodiesel yang paling
cocok karena telah memenuhi spesifikasi standar biodiesel di Amerika Serikat, J erman dan Eropa.
Sementara itu, minyak A. indica memiliki nilai angka penyabunan, iodium dan angka setan secara
berurutan adalah 201.1 mg KOH/g, 69.3 g I
2
/100 g dan 57.83 (Azam et al., 2005).
Tamarindus indica L. (Caesalpiniaceae) merupakan jenis pohon tropis yang dapat mentoleransi
temperatur hingga 47 C. T. indica dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dan iklim yang
bervariasi. Pada umumnya, T. indica tumbuh di daerah berketinggian 1000-1500 m dan memiliki
curah hujan sekitar 500-1500 mm curah hujan/ tahun tetapi, T. indica pun dapat tetap tumbuh di
daerah bercurah hujan 350 mm curah hujan/ tahun. Pada daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi,
perbungaan dan buah T. indica menjadi berkurang (J oker, 2000). Beberapa bagian tumbuhan T. indica
telah dimanfaatkan untuk keperluan pangan dan medis. Daging buah T. indica digunakan sebagai
bahan baku pembuatan obat-obatan herbal, sedangkan bunga dan daun T. indica biasa dikonsumsi
sebagai sayuran (Tsuda et al., 1994). Sementara itu, biji T. indica yang mengandung asam tartarat
hanya digunakan sebagai bahan baku kue dan roti. Minyak biji T. indica sangat cocok untuk
membuat minyak pernis dan cat lukis (Coronel, 1991). Minyak biji T. indica memiliki nilai angka
penyabunan, iodium dan asam secara berurutan adalah 221.1 mg KOH/g, 37.5 g I
2
/100 g dan 6.4 mg
NaOH/ g (Ajayi et al., 2006).
Jatropha curcas L. merupakan tumbuhan perdu yang termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae dan
memiliki tinggi sekitar 3-5 m. Biji J. curcas mengandung sekitar 35-40 % minyak non edible yang
sedikit memiliki nilai ekonomis. Namun saat ini, minyak biji J. curcas telah dimanfaatkan sebagai
bahan baku biodiesel. Berdasarkan data yang dikoleksi oleh Pramanik (2005), minyak biji J. curcas
terdiri atas 21% asam lemak jenuh dan 79% asam lemak tak jenuh. Selain itu, minyak biji J. curcas
memiliki nilai angka asam, penyabunan dan iodium secara berturut-turut adalah 38.2 mg KOH/g, 195
mg KOH/g dan 101.7 I
2
/100 g. Sementara itu, komposisi asam lemak yang terkandung di dalam
minyak biji J. curcas adalah 4.2 % asam palmitat, 6.9 % asam stearat, 43.1 % asam oleat, 34.3 % asam
linoleat dan 1.4 % asam lainnya (Pramanik, 2005).
Minyak nabati yang akan dijadikan bahan baku biodiesel harus memenuhi standar spesifikasi
biodiesel. Beberapa standar spesifikasi yang harus dipenuhi oleh suatu bahan baku biodiesel
mencakup nilai angka iodium, asam dan penyabunan. Angka iodium adalah ukuran empirik
banyaknya ikatan rangkap dua di dalam asam-asam lemak penyusun biodiesel dan dinyatakan dalam
sentigram iodium yang diabsorpsi per gram contoh biodiesel (AOCS, 1997). Angka asam (acid value)
adalah banyaknya jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas yang
terkandung di dalam 1 g sampel minyak (AOCS, 1997). Angka penyabunan (saponification number)
adalah banyaknya jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan asam lemak bebas di dalam
1 g sampel minyak (Onyeike dan Oguike, 2003).
Kandungan minyak biji dipengaruhi oleh kultivar dan lingkungan. Namun, faktor lingkungan lebih
mempengaruhi kandungan minyak biji daripada kultivar (Loubser dan Hammes, 2000). Loubser dan
Hammes (2000) telah melakukan penelitian terhadap bunga matahari yang ditanam di beberapa lokasi
Eksplorasi Azadirachta indica A. juss (Nimba) dan Tamarindus indica (Asem J awa)
sebagai Bahan Baku Biodiesel 3

Biji J. curcas memiliki persentase kandungan minyak paling maksimal, yaitu sebesar 45% pada
ketinggian lokasi 400-600 m.
Pada penelitian ini dilakukan tahap skrining awal, yaitu dengan cara menentukan persentase
kandungan minyak biji Azadirachta indica A. J uss dan Tamarindus indica L. serta
membandingkannya dengan persentase kandungan minyak biji Jatropha curcas L. Tahap ini bertujuan
untuk menentukan salah satu dari kedua spesies tersebut yang lebih berpotensi untuk dijadikan bahan
baku biodiesel. Spesies tumbuhan yang terpilih kemudian akan dianalisis lebih lanjut meliputi analisis
pengaruh variasi faktor lingkungan terhadap persentase kandungan minyak untuk menentukan ada atau
tidaknya pengaruh variasi faktor fisik lingkungan. Selain itu, pada penelitian ini pun dilakukan analisis
angka asam, iodium dan penyabunan terhadap minyak biji spesies tumbuhan yang terpilih pada tahap
skrining awal. Analisis ini bertujuan untuk menentukan kelayakan minyak tersebut untuk dijadikan
bahan baku biodiesel.
2 Metode Penelitian
2.1 Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan pada tahap skrining awal adalah biji Azadirachta indica A. J uss,
Tamarindus indica L. dan Jatropha curcas L. Biji Azadirachta indica dan Jatropha curcas yang
digunakan pada penelitian ini didapatkan dari Balai Pembibitan Tanaman di Bogor, sedangkan biji
Tamarindus indica didapatkan dari J awa Timur.
Bahan penelitian yang digunakan pada tahap selanjutnya adalah biji Azadirachta indica yang berasal
dari tiga lokasi yang berbeda. Lokasi pertama terletak di Dangdeur, Kabupaten Subang, yang memiliki
koordinat geografis 107
o
44 03 BT dan 06
o
32 50.9 LS serta memiliki ketinggian 123 m dpl.
Lokasi kedua terletak di sepanjang jalan raya Sindang, Indramayu, yang memiliki koordinat geografis
108
o
18 19.9 BT dan 06
o
21 36.5 LS serta memiliki ketinggian 26 m dpl. Lokasi ketiga terletak di
Kalijati, Subang, yang memiliki koordinat geografis 107
o
39 47.9 BT dan 06
o
30 56.6 LS serta
memiliki ketinggian 136 m dpl.
2.2 Metode Kerja
2.2.1 Tahap Skrining Awal

Tahap skrining awal dilakukan di Laboratorium Instrumen Analisis Prodi Teknik Kimia ITB dengan
menggunakan unit hidrolisis dan ekstraksi Buchi. Biji A. indica, J. curcas dan T. indica dipotong
kecil-kecil hingga berukuran sekitar 1 mm, lalu ditimbang sebanyak 5 g dan sampel biji pun siap
untuk dihidrolisis dan diekstraksi. Sampel biji dihidrolisis di dalam larutan HCl 4 N selama dua jam
menggunakan unit hidrolisis Buchi. Proses hidrolisis kemudian dilanjutkan dengan proses ekstraksi
sampel di dalam larutan heksan selama satu jam menggunakan unit ekstraksi Buchi.
2.2.2 Tahap Lanjut
Biji A. indica dikoleksi dari tiga lokasi yang berbeda, yaitu Dangdeur, Sindang dan Kalijati. Biji
kemudian dicuci bersih, dijemur, dikuliti dan dipotong-potong hingga berukuran sekitar 0,1 1 mm.
Persentase kandungan minyak sampel biji A. indica yang berasal dari setiap lokasi ditentukan melalui
cara yang sama dengan tahap skrining awal. Setelah dilakukan penentuan persentase minyak,
dilakukan pengambilan sampel minyak biji dengan cara mengekstraksi sampel biji selama sekitar
tujuh jam di dalam larutan heksan menggunakan unit soxhlet. Proses ekstraksi biji menggunakan
soxhlet kemudian dilanjutkan dengan proses distilasi.
2.2.3 Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan di Tiga Lokasi yang Berbeda
Faktor fisik lingkungan yang diukur meliputi temperatur udara dan tanah, kelembapan udara dan tanah
serta intensitas cahaya. Temperatur udara dan kelembapan udara diukur menggunakan psychrometer
4 Rosy Rofianty & Rina Ratnasih
sling. Temperatur tanah diukur menggunakan termometer air raksa biasa. Kelembapan tanah diukur
menggunakan soil tester. Sementara itu, intensitas cahaya diukur menggunakan lux meter. Pengukuran
faktor fisik lingkungan di setiap lokasi dilakukan secara triplo pada pagi, siang dan sore hari. Selain
itu, pada tahap ini pun dilakukan pengambilan sampel tanah dari setiap lokasi untuk dianalisis lebih
lanjut di laboratorium. Analisis sampel tanah yang dilakukan mencakup analisis tekstur, pH,
kandungan unsur C, N, C/N, P dan K.
2.2.4 Analisis Kimia Sampel Minyak
Analisis kimia sampel minyak yang dilakukan mencakup uji angka asam, penyabunan dan iodium. Uji
angka asam dan penyabunan dilakukan di Laboratorium Analisis Biota SITH ITB, sedangkan uji
angka iodium dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Kimia LIPI. Uji angka asam dilakukan
sesuai dengan metode FBI-A01-03. Uji angka penyabunan dilakukan sesuai dengan metode FBI-A03-
03, sedangkan uji angka iodium dilakukan sesuai dengan metode SNI-01-2902-1992. Ketiga uji
tersebut dilakukan secara triplo.
3 Hasil dan Pembahasan
3.1 Tahap Skrining Awal
Pada tahap skrining awal diketahui bahwa biji A.indica memiliki persentase rata-rata kandungan
minyak tertinggi, yaitu 44.55 5.44 % daripada J. curcas (30.62 5.71 %), dan T. indica (14.24
3.75 %). Hasil tersebut menunjukkan bahwa biji A. indica lebih berpotensi untuk dijadikan bahan baku
biodiesel, sehingga A. indica dinyatakan sebagai spesies tumbuhan terpilih yang akan dianalisis lebih
lanjut. Persentase rata-rata kandungan minyak biji A. indica, T. indica dan J. curcas dapat
dilihat pada Gambar 1. Sementara itu, sampel minyak biji A. indica, T. indica dan J. curcas
dapat dilihat pada Gambar 2.


Gambar 1. Persentase rata-rata kandungan minyak biji ketiga spesies


Eksplorasi Azadirachta indica A. juss (Nimba) dan Tamarindus indica (Asem J awa)
sebagai Bahan Baku Biodiesel 5


Gambar 2. Sampel minyak biji A. indica, T. indica dan J. curcas
Persentase rata-rata kandungan minyak biji A. indica yang diperoleh pada tahap skrining awal sama
dengan data yang dikoleksi oleh Azam et al. (2005), sedangkan persentase kandungan minyak biji T.
indica dan J. curcas yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan beberapa
hasil penelitian sebelumnya. Menurut Azam et al. (2005), persentase kandungan minyak yang
terkandung di dalam endosperma biji A. indica adalah sekitar 44.5 %, sedangkan menurut Pant et al.
(2006), biji J. curcas mengandung minyak sekitar 38 - 40%. Sementara itu, menurut Ajayi et. al
(2006), endosperma biji T. indica mengandung minyak sekitar 7.2 %.
Perbedaan persentase kandungan minyak biji pada setiap spesies dapat disebabkan oleh beberapa
faktor. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi persentase kandungan minyak biji adalah variasi
faktor lingkungan tempat tumbuh setiap spesies yang digunakan dalam penelitian ini. Pernyataan
tersebut didukung oleh hasil penelitian Loubser dan Hammes (2000) yang menganalisis kandungan
minyak dan protein pada biji bunga matahari yang ditanam di beberapa lokasi yang berbeda. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa biji bunga matahari yang ditanam di setiap lokasi yang
berbeda memiliki persentase kandungan minyak dan protein yang sangat bervariasi. Oleh karena itu,
pada tahap selanjutnya akan dilakukan analisis pengaruh variasi faktor fisik lingkungan terhadap
persentase kandungan minyak biji A. indica.
3.2 Analisis Pengaruh Faktor Fisik Lingkungan terhadap Persentase Kandungan
Minyak Biji A. indica
3.2.1 Analisis Faktor Fisik Lingkungan di Ketiga Lokasi
Data hasil pengukuran faktor fisik lingkungan di ketiga lokasi pada pagi, siang dan sore hari dapat
dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa lokasi Dangdeur, Sindang dan
Kalijati memiliki kisaran nilai faktor fisik lingkungan yang berbeda. Lokasi Dangdeur memiliki batas
kisaran temperatur udara (25.5 29.4
o
C) dan temperatur tanah (24.4 29.4
o
C) yang paling rendah
tetapi memiliki kisaran kelembapan tanah (54 80 %) yang paling tinggi apabila dibandingkan dengan
dua lokasi lainnya. Lokasi Sindang memiliki batas kisaran temperatur tanah (33 34
o
C) yang paling
tinggi tetapi memiliki kisaran kelembapan tanah (4 50 %) yang paling rendah apabila dibandingkan
dengan dua lokasi lainnya. Sementara itu, lokasi Kalijati memiliki nilai kisaran temperatur tanah (28
31) dan kelembapan tanah (40 72 %) yang cenderung sedang apabila dibandingkan dengan dua
lokasi lainnya.
Tabel 1. Kisaran Nilai Beberapa Faktor Fisik Lingkungan di Ketiga Lokasi

6 Rosy Rofianty & Rina Ratnasih
3.2.2 Analisis Fisik dan Kimia Sampel Tanah Ketiga Lokasi
Analisis sampel tanah yang dilakukan mencakup analisis karakteristik fisik dan kimia tanah. Analisis
karakteristik fisik tanah yang dilakukan mencakup penentuan persentase komposisi partikel pasir,
debu dan liat serta pH tanah. Sementara itu, analisis kimia tanah yang dilakukan mencakup penentuan
jumlah unsur C, N, P dan K yang terkandung di dalam setiap sampel tanah. Hasil analisis sampel tanah
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Sampel Tanah yang Berasal dari Ketiga Lokasi

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa sampel tanah yang berasal dari ketiga lokasi memiliki
tekstur, pH serta kandungan senyawa C, N, P dan K yang berbeda. Sampel tanah yang berasal dari
setiap lokasi tersusun atas pasir, debu dan tanah liat dengan persentase yang berbeda-beda. Sampel
tanah yang berasal dari Dangdeur tersusun oleh pasir, debu dan tanah liat dengan perbandingan
4:13:33. Sampel tanah yang berasal dari Sindang tersusun oleh pasir, debu dan tanah liat dengan
perbandingan 3:9:88, sedangkan sampel tanah yang berasal dari Kalijati tersusun oleh pasir, debu dan
tanah liat dengan perbandingan 59:18:24. Berdasarkan komposisi partikel penyusun tanah tersebut
dapat ditentukan bahwa sampel tanah yang berasal dari Dangdeur dan Sindang cenderung didominasi
oleh tanah liat, sedangkan sampel tanah yang berasal dari Kalijati cenderung didominasi oleh jenis
pasir.
Sampel tanah yang berasal dari Dangdeur, Sindang dan Kalijati memiliki nilai pH yang berbeda. Nilai
pH sampel tanah Dangdeur, Sindang dan Kalijati secara berturut-turut adalah 5.1, 5.7 dan 7.
Tanah yang memiliki nilai pH 7 atau lebih besar dari 7 disebut sebagai tanah alkali. Sementara itu,
tanah yang memiliki nilai pH kurang dari 7 disebut sebagai tanah asam (Beckman et al., 2005).
Berdasarkan hasil analisis pH tanah, dapat diketahui bahwa Dangdeur dan Sindang memiliki tanah
yang cenderung asam, sedangkan tanah Kalijati cenderung netral. Perbedaan nilai pH tanah tersebut
akan mempengaruhi ketersediaan nutrisi yang terkandung di dalam tanah. Hal tersebut ditunjukkan
dengan adanya perbedaan kandungan unsur P pada setiap sampel tanah. Sampel tanah lokasi Kalijati
mengandung unsur P tertinggi karena lokasi tersebut memiliki pH tanah 7. Selain unsur P, unsur K
yang terkandung dalam sampel tanah ketiga lokasi pun menunjukkan perbedaan yang cukup besar.
Sampel tanah lokasi Dangdeur mengandung unsur K tertinggi dibandingkan dengan dua lokasi
lainnya. Sementara itu, unsur C dan N yang terkandung di dalam setiap sampel tanah tidak
menunjukkan perbedaan yang cukup besar.


Eksplorasi Azadirachta indica A. juss (Nimba) dan Tamarindus indica (Asem J awa)
sebagai Bahan Baku Biodiesel 7

3.2.3 Penentuan Persentase Kandungan Minyak Biji A. indica yang Berasal dari
Ketiga Lokasi
Persentase kandungan minyak biji A. indica yang berasal dari lokasi Dangdeur, Sindang dan Kalijati
dapat dilihat pada Gambar 3. Sementara itu, sampel minyak biji A. indica yang berasal dari ketiga
lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan grafik pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa
biji A. indica yang berasal dari lokasi Dangdeur, Sindang dan Kalijati memiliki persentase rata-rata
kandungan minyak biji yang berbeda, yaitu sebesar 52.58 8.86, 36.51 2.54 dan 43.85 0.02 %.
Perbedaan persentase kandungan minyak biji A. indica yang berasal lokasi Dangdeur, Sindang dan
Kalijati disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi faktor fisik lingkungan di setiap lokasi. Pernyataan
tersebut didukung oleh Loubser dan Hammes (2000) yang telah melakukan penelitian terhadap bunga
matahari yang ditanam di beberapa lokasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa biji bunga matahari yang ditanam di lokasi berbeda memiliki
persentase kandungan minyak dan protein yang sangat bervariasi. Selain itu, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Pant et al. (2006), ketinggian lokasi memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kandungan minyak biji beberapa tumbuhan, khususnya Jatropha curcas.


Gambar 3. Persentase kandungan minyak sampel biji A. indica dari setiap lokasi



Gambar 4. Sampel minyak biji A. indica yang berasal dari ketiga lokasi
Pada penelitian ini pun telah diketahui bahwa sampel biji A. indica yang berasal dari Dangdeur
memiliki persentase kandungan minyak tertinggi, yaitu sebesar 52.58 8.86 % apabila dibandingkan
dengan sampel biji A. indica yang tumbuh di Sindang dan Kalijati. Tingginya persentase kandungan
minyak biji A. indica yang berasal dari Dangdeur dipengaruhi oleh kondisi lokasinya yang memiliki
kisaran kelembapan tanah tertinggi (54 80 %), memiliki kisaran temperatur tanah yang terendah
(24.4 29.4
o
C) dan memiliki kisaran temperatur udara yang terendah (25.5 29.4
o
C) apabila
dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Sementara itu, Sindang memiliki kisaran nilai faktor fisik
lingkungan yang berbanding terbalik dengan kisaran faktor fisik lingkungan di lokasi Dangdeur.
Kondisi tersebut menyebabkan sampel biji A. Indica yang berasal dari lokasi Sindang memiliki
persentase kandungan minyak yang paling rendah. Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan bahwa
faktor fisik lingkungan yang paling berpengaruh terhadap persentase kandungan minyak biji A. indica
adalah temperatur udara, temperatur tanah dan kelembapan tanah. Pengaruh temperatur terhadap
8 Rosy Rofianty & Rina Ratnasih
persentase kandungan minyak tumbuhan khususnya tumbuhan Japanesse mint (Mentha arvensis L.)
telah diteliti oleh Duriyaprapan et al. (1986). Duriyaprapan et al. (1986) telah memelihara tumbuhan
Japanese mint pada beberapa temperatur yang berbeda dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
tumbuhan Japanese mint memiliki kandungan minyak paling optimum pada temperatur 30
o
C.
Selain itu, berdasarkan hasil analisis fisik dan kimia sampel tanah dapat diperkirakan bahwa unsur
yang berpengaruh terhadap persentase kandungan minyak biji A. indica adalah konsentrasi unsur K
dalam tanah. Hal tersebut disebabkan oleh sampel tanah lokasi Dangdeur memiliki ketersediaan unsur
K tertinggi daripada dua lokasi lainnya. Sementara itu, unsur C dan N tidak dapat diperkirakan
pengaruhnya terhadap persentase kandungan minyak biji A. indica karena tingkat ketersediaan kedua
unsur tersebut dalam setiap sampel tanah tidak jauh berbeda.
3.3 Hasil Analisis Kimia Sampel Minyak Biji A. indica
Pada penelitian ini dilakukan pula analisis karakteristik minyak biji A. indica yang meliputi analisis
angka asam, penyabunan dan iodium. Analisis karakteristik minyak tersebut bertujuan untuk
menentukan kualitas minyak biji A. indica sehingga minyak tersebut dapat ditentukan kelayakannya
untuk dijadikan bahan baku biodiesel. Standar spesifikasi biodiesel yang dijadikan acuan adalah SNI-
04-7182-2006, standar tentatif biodiesel Indonesia.

Tabel 4. Hasil analisis kimia sampel minyak biji A. indica



Eksplorasi Azadirachta indica A. juss (Nimba) dan Tamarindus indica (Asem J awa)
sebagai Bahan Baku Biodiesel 9

Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa sampel minyak biji A. indica memiliki angka asam rata-rata
sebesar 34.16 mg KOH/g. Sementara itu, batas angka asam yang harus dimiliki oleh suatu biodiesel
menurut standar tentatif biodiesel di Indonesia adalah maksimal 0.8 (Soerawidjaja, 2005). Hal tersebut
menunjukkan bahwa angka asam minyak biji A. indica yang didapatkan pada penelitian ini berada
jauh di luar batas kisaran angka asam yang harus dimiliki oleh biodiesel. Perbedaan angka asam yang
cukup tinggi tersebut disebabkan oleh perbedaan jenis minyak yang dianalisis. Pada penelitian ini,
sampel yang dianalisis berupa minyak mentah (crude oil) dari biji A. indica sedangkan, pada standar
tentatif digunakan angka asam pada sampel berupa biodiesel (FAME), yaitu minyak mentah yang telah
ditransesterifikasi.
Oleh karena itu, angka asam minyak biji A. indica pada penelitian ini akan dibandingkan dengan
angka asam minyak biji J. curcas yang dilaporkan oleh Pramanik (2005). Minyak biji J. curcas
dijadikan sebagai pembanding karena minyak biji J. curcas telah dikenal sebagai salah satu bahan
baku biodiesel yang paling produktif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pramanik (2005),
minyak biji J. curcas memiliki angka asam sebesar 38.2 mg KOH/g. Angka asam minyak biji A.
indica tidak terlalu jauh berbeda dengan angka asam minyak J. curcas. Hal tersebut secara tidak
langsung menunjukkan bahwa tingginya angka asam suatu minyak bahan baku biodiesel dapat diatasi
melalui proses transesterifikasi crude oil menjadi FAME.
Parameter kedua yang dianalisis adalah angka penyabunan. Hasil analisis angka penyabunan
menunjukkan bahwa sampel minyak biji A. indica memiliki angka penyabunan rata-rata sebesar
149.31 mg KOH/ g. Namun, di dalam standar tentatif biodiesel Indonesia tidak tercantum batas
kisaran angka penyabunan biodiesel. Oleh karena itu, hasil analisis angka penyabunan minyak biji A.
indica yang dilakukan pada penelitian ini akan dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya.
Berdasarkan data yang dikoleksi oleh Azam et al. (2005), angka penyabunan minyak biji A. indica
adalah 201.1 mg KOH/g. Perbedaan angka penyabunan antara data hasil penelitian ini dengan data
hasil penelitian yang dikoleksi oleh Azam et al. (2005) dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi angka penyabunan adalah faktor lingkungan khususnya
kandungan nutrisi tanah lokasi tumbuh A. indica. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sawan
et al. (2006), perbedaan kandungan nutrisi di dalam tanah (khususnya unsur N dan K) akan
mempengaruhi angka penyabunan minyak tumbuhan, khususnya pada minyak biji kapas.
Parameter ketiga yang dianalisis adalah angka iodium. Hasil analisis angka iodium menunjukkan
bahwa sampel minyak biji A. indica memiliki angka iodium rata-rata sebesar 68.2 g I
2
/ 100 g.
Sementara itu, batas angka iodium suatu biodiesel menurut standar tentatif biodiesel di Indonesia
adalah maksimal 115 (Soerawidjaja., 2005). Angka iodium sampel minyak biji A. indica berada di
dalam kisaran tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa sampel minyak biji A. indica mengandung
asam lemak tak jenuh dalam batas yang cukup aman untuk dijadikan bahan baku biodiesel. Sementara
itu, berdasarkan data yang dikoleksi oleh Azam et al. (2005), minyak biji A. indica memiliki angka
iodium sebesar 69.3 g I
2
/ 100 g. Angka iodium minyak biji A. indica yang didapatkan pada penelitian
ini tidak terlalu jauh berbeda dengan data yang dikoleksi oleh Azam et al. (2005). Namun, angka
iodium dapat dipengaruhi oleh kandungan nutrisi tanah. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Sawan et al. (2006) yang meneliti pengaruh pemberian konsentrasi unsur N dan
K yang berbeda terhadap angka iodium, asam dan penyabunan pada minyak biji kapas. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian unsur N dan K dengan konsentrasi yang berbeda akan
mempengaruhi nilai iodium pada minyak biji kapas.
Berdasarkan hasil analisis angka asam, penyabunan dan iodium terhadap sampel minyak biji A. indica
dapat diketahui bahwa minyak biji A. indica belum dapat ditentukan kelayakannya sebagai bahan baku
biodiesel. Hal tersebut disebabkan oleh angka asam yang cenderung tinggi. Namun, permasalahan
angka asam minyak A. indica yang tinggi dapat diatasi dengan cara memproses minyak tersebut
melalui reaksi transesterifikasi (Soerawidjaja, 2005).

10 Rosy Rofianty & Rina Ratnasih
4 Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan

a. Pada tahap skrining awal didapatkan hasil bahwa persentase kandungan minyak rata-rata biji
Azadirachta indica A. J uss, Tamarindus indica L. dan Jatropha curcas L. secara berturut-turut
adalah 44.5 5.44, 14.24 3.75 and 30.62 5.71 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa biji
Azadirachta indica lebih berpotensi untuk dijadikan bahan baku biodiesel daripada biji
Tamarindus indica.
b. Variasi faktor fisik lingkungan berpengaruh terhadap tinggi-rendahnya persentase kandungan
minyak biji Azadirachta indica. Biji A. indica yang berasal dari Dangdeur memiliki persentase
kandungan minyak tertinggi, yaitu sebesar 52.58 8.86 % dibandingkan dengan A. indica
yang tumbuh di Sindang (36.51 2.54 %) dan Kalijati (43.85 0.02 %).
c. Minyak biji Azadirachta indica memiliki angka asam, penyabunan dan iodium sebesar 34.16
mg KOH/g, 149.31 mg KOH/g dan 68.42 gI
2
/100 g. Namun, minyak biji A. indica belum
dapat ditentukan kelayakannya sebagai bahan baku biodiesel karena memiliki angka asam
yang belum memenuhi standar spesifikasi biodiesel di Indonesia.
4.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini, saran yang dianjurkan bagi para peneliti lain yang akan melakukan
penelitian yang berkaitan dengan eksplorasi bahan baku biodiesel adalah sebaiknya dilakukan analisis
parameter lain seperti angka setan, titik kabut, residu karbon, uji Halphen dan temperatur distilasi 90
% terhadap minyak biji A. indica. Semakin banyak jumlah parameter yang dianalisis maka akan
semakin mempermudah penentuan kelayakan minyak biji A. indica untuk dijadikan sebagai bahan
baku biodiesel.
5 Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini dibiayai oleh Riset ITB No: 057/ K01. 14/ PL/ 2007
6 Daftar Pustaka
1. Ajayi, I.A., Oderinde, R.A., Kajogbola, D.O. & Uponi, J .I. 2006. Oil Content and Fatty Acid
Composition of Some Underutilized Legumes from Nigeria. Food Chemistry, 99 : 115120.
2. AOCS. 1999. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist,
Washington DC.
3. Azam, M.M., Amtul, W. & Nahar, N.M. 2005. Prospect and Potential of Fatty Acid Methyl Esters
of Some Non-Traditional Seed Oils for Use as Biodiesel in India. Biomass and Bioenergy, 29 :
293-302.
4. Backer, C.A. & Bakhuizen Van den Brink J r, R.C. 1965. Flora of Java Vol. II. Wolters-
Noordhoff, Groningen.
5. Beckman, J ., Kettering, Q.M. & Albrecht, G. 2005. Soil pH for Field Crops. Agronomy fact Sheet
Series, 5 : 204-208.
6. Biswas, K., Chattopadhyay, I., Banerjee, R.K. & Bandyopadhyay, U. 2002. Biological Activities
and Medicinal Properties of Neem (Azadirachta indica). Current Science, 82 (11) : 1336-1345.
7. Coronel, R.E. 1991. Edible Fruits and Nuts. Plant Resources of South-East Asia No.2. PROSEA
Foundation, Netherland.
8. Duriyaprapan, S., Britten, E.J . & Basford, K.E. 1986. The Effect of Temperature on Growth, Oil
Yield and Oil Quality of Japanese Mint. Thailand Institute of Scientific and Technological
Research Bang Khen, Bangkok, Thailand.
9. J oker, D. 2000. Seed Leaflet: Tamarindus indica L. Danida Forest Seed Center, Denmark.
10. J oker, D & Schimdt, L. 2000. Seed Leaflet : Azadirachta indica A. J uss. Danida Forest Seed
Center, Denmark.
Eksplorasi Azadirachta indica A. juss (Nimba) dan Tamarindus indica (Asem J awa)
sebagai Bahan Baku Biodiesel 11

11. Krawczyk, T. 1996. Biodiesel-Alternative Fuel Makes in Roads but Hurdles Remain. INFORM, 7
: 801-829.
12. Loubser, N. & Hammes. 2000. Effects of Environmental and Cultivar on Seed Yield and Quality.
University of Pretoria.
13. Meyer R.L. & Rask, N. 1984. Major Food and Energy Crops: Trends and Prospects. Handbook of
Plant Cell Culture, 2 (1) : 19-46.
14. Onyeike, E.N. & Oguike, J .U. 2003. Influence of Heat Processing Methods on The Nutrient
Composition and Lipid Characterization of Groundnut (Arachis hypogaea) Seed Pastes. Jurnal
Biochemistry,1 (12) : 34-43.
15. Pant, K.S., Khosla, V., Kumar, D. & Gairola, S. 2006. Seed Oil Content Variation in Jatropha
curcas Linn. in Different Altitudinal Ranges and Site Conditions in India. Lyonia: A Journal of
Ecology and Application, 11 (22) : 23-26.
16. Pramanik, K. 2003. Properties and Use of Jatropha Oil and Diesel Fuel Blends in Comparison
Ignition Engine. Renewable Energy, 28 (1) : 239 248.
17. Sawan, Z.M., Hafez, S.A., Basyony, A.E. & Alkassas, A. 2006. Cottonseed, Protein, Oil Yields
and Oil Properties as Affected by Nitrogen Fertilization and Foliar Application of Potassium and a
Plant Growth Retardant. Agricultural Sciences, 2 (1) : 56-65.
18. Schumacher, L.G., Borgelt, S.C. & Hires, W.G. 1993. Soydiesel Petroleum Blend Research.
Winter Meeting of American Society of Agricultural Engineers, St. J oseph, MI.
19. Soerawidjaja, T.H., Brodjonegoro, T.P. & Reksowardojo, I.K. 2005. Prospek, Status dan
Tantangan Penegakan Industri Biodiesel di Indonesia. ITB, Bandung.
20. Soerawidjaja, T.H. 2005. Biodiesel dan Bioetanol serta Penelitian dan Pengembangannya di ITB.
ITB, Bandung.
21. Sonnino, A. 1994. Agricultural Biomass Production as an Energy Option for The Future.
Renewable Energy, 5 ( 2) : 857-865.
22. Stoney, C. 1997. Azadirachta indica, Neem, A Verile Tree for The Tropics and Subtropics. FACT
Net, Arkansas.
23. Tsuda, T., Watanabe, M., Ohshima, K., Yamamoto, A., Kawakishi, S. & Osawa, T. 1994.
Antioxidative Componen Isolated from The Seed of Tamarind (Tamarindus indica L.).
Agricultural Food Chemical, 42 : 2671-2674.

Você também pode gostar

  • Wartegg Tesst
    Wartegg Tesst
    Documento2 páginas
    Wartegg Tesst
    Jaffarudin Janu Wahyudi
    Ainda não há avaliações
  • D3 03
    D3 03
    Documento2 páginas
    D3 03
    Jaffarudin Janu Wahyudi
    Ainda não há avaliações
  • D3 04
    D3 04
    Documento2 páginas
    D3 04
    Jaffarudin Janu Wahyudi
    Ainda não há avaliações
  • Teknik Pemurnian Etanol
    Teknik Pemurnian Etanol
    Documento3 páginas
    Teknik Pemurnian Etanol
    Jaffarudin Janu Wahyudi
    Ainda não há avaliações
  • Kritik Dan Saran Mahasiswa
    Kritik Dan Saran Mahasiswa
    Documento3 páginas
    Kritik Dan Saran Mahasiswa
    Jaffarudin Janu Wahyudi
    Ainda não há avaliações
  • Esterifikasi
    Esterifikasi
    Documento15 páginas
    Esterifikasi
    Jaffarudin Janu Wahyudi
    Ainda não há avaliações