Você está na página 1de 8

STUDY ETHNOMATHEMATICS SEBAGAI SOLUSI ALTERNATIF PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN BUDAYA DI ACEH

Asep Saeful Ulum Nilah Karnilah Roni Galih Mustika


* ** ***

dan Salwa Nursyahida

****

Mahasiswa Pendidikan Matematika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia * ulumisme@yahoo.co.id **nilah.karnilah@yahoo.co.id ***ronigalih@gmail.com ****salwa.nursyahida@gmail.com Abstrak Tulisan ini mengkaji pentingnya pengembangan pendidikan dan budaya di Aceh. Pada bagian awal tulisan, ada kekhawatiran bahwa pasca gempa bumi dan tsunami 2004, budaya Aceh semakin terkikis dan proses pewarisan budaya melalui pendidikan menjadi terhambat. Pendidikan matematika, melalui study ethnomathematics disajikan untuk menjembatani antara pendidikan (khususnya pendidikan matematika) dengan budaya yang ada di Aceh. Pada bagian pertengahan, dikemukakan pentingnya pengembangan pendidikan matematika berbasis budaya karena matematika adalah tulang punggung peradaban manusia. Di bagian akhir akan disajikan langkahlangkah untuk pengimplementasian study ethnomathematics di Aceh. Beberapa perspektif matematika dalam budaya yang diadopsi dalam tulisan ini menggunakan perspektif ethnomathematics. Kata kunci: Aceh, Budaya, Study Ethnomathematics

Permasalahan Pengembangan pendidikan menjadi hal yang penting dalam menghadapi permasalahan budaya yang timbul seiring dengan perubahan zaman. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif dalam mengembangkan kualitas dan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik, sehingga dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya bangsa [1]. Pendidikan juga dibutuhkan sebagai sarana untuk mentransmisi budaya suatu kelompok masyarakat, atau dengan kata lain merupakan solusi guna mencegah masalah terkikisnya keutuhan suatu budaya. Gempa bumi dan tsunami tahun 2004 silam meninggalkan permasalahan pada struktur dan infrastruktur di Nanggroe Aceh Darussalam, salah satunya dalam bidang pendidikan dan budaya. Banyak situs budaya, para budayawan dan guru-guru yang hilang sehingga secara langsung proses pendidikan dan enkulturasi mengalami gangguan yang cukup signifikan. Dilaporkan bahwa Aceh membutuhkan 12.000 guru guna mengatasi kekurangan tenaga pengajar di semua tingkatan pendidikan pasca terjadinya bencana alam gempa dan tsunami, 26 Desember 2004 [2]. Selain itu, perubahan perilaku terjadi pada masyarakat Aceh terutama kalangan remaja pasca tsunami yang merupakan salah satu indikasi bahwa telah terjadi pengikisan nilai-nilai budaya Aceh [3]. Oleh karena itu pembangunan pada bidang pendidikan dan budaya di Aceh memiliki permasalahan-permasalahan struktural yang mungkin merupakan permasalahan jangka panjang.

Jauh sebelum itu, bahkan di tahun 1958 A. Hasjmy selaku Gubernur Aceh sempat mengeluhkan bahwa masyarakat Aceh mulai menyia-nyiakan kebudayaannya. Tahun 1971, berdasar laporan penelitian Fakultas Keguruan Universitas Syiah Kuala, sebagian besar remaja Aceh sudah tidak tahu apa-apa tentang hikayat dan sastra Aceh. Tahun 1996, penyelenggaraan muatan lokal untuk sekolah-sekolah di Aceh mengalami kemacetan, bahkan di SLTP dan SLTA materi pelajaran itu sama sekali tidak berjalan. Para tokoh pendidikan di sana mengungkapkan bahwa ini disebabkan ketiadaan dana untuk pengadaan buku materi pelajaran [4]. Kehidupan remaja Aceh sekarang telah jauh bergeser dari ciri remaja Aceh di masa lampau. Indikasi itu terlihat dari aktivitas ketika di luar rumah, dari segi penampilan dan tata krama, dan mengeluhnya para orang tua terhadap anak-anaknya [5]. Bila tidak segera dilakukan pembenahan, maka warisan budaya Aceh akan semakin tenggelam. Hal ini memiliki korelasi positif dengan gagasan yang telah dikemukakan oleh para pengambil kebijakan di Aceh. Sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Aceh bahwa perlu ada gerakan dan kepedulian seluruh elemen masyarakat untuk menyelamatkan warisan budayanya [6]. Salah satu upaya untuk melahirkan kepedulian dari seluruh elemen masyarakat adalah melalui pendidikan. Alternatif solusi yang telah ada saat ini adalah kebijakan pemerintah dalam kurikulum pendidikan sekolah yaitu pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif [7]. Pengembangan pendidikan tersebut menekankan pada kemampuan seorang pendidik mengemas kegiatan pembelajaran melalui metodologi pembelajarannya, namun belum mencapai kepada substansi materi pelajaran. Dengan kata lain, siswa secara tidak langsung mengalami kontak budaya, dan hal ini sangat dipengaruhi besar oleh faktor pendidik. Matematika sebagai tulang punggung pembangunan manusia. Selama ini, matematika dipandang sebagai sesuatu yang jauh dari aktivitas kehidupan manusia, dan tidak terkait sama sekali dengan budaya. Urbiratan DAmbrosio adalah salah seorang ahli pendidikan matematika yang menolak akan hal tersebut. DAmbrosio, pada tulisannya yang berjudul The Program Ethnomathematics: A Theoretical Basis of the Dynamics of Intra-Cultural Encounters mengungkapkan bahwa matematika adalah aktor penting sekaligus tulang punggung dari peradaban manusia modern. Sejarah mencatat bahwa matematika telah terintegrasi dengan sangat baik ke dalam dunia industri, teknologi, militer, ekonomi, dan sistem politik. Tidak ada yang memungkiri akan hal tersebut. Namun, sebuah tulang punggung yang sempurna dan indah, yakni matematika justru kini terbungkus dalam sebuah wadah (peradaban manusia) yang arogan, licik, kumuh, dan penuh dengan konflik. Dia pada akhirnya mempertanyakan bagaimanakah peranan matematika dalam kebudayaan manusia [8]. Melalui pemikiran DAmbrosio tersebut, sebuah studi dalam pendidikan matematika kini telah dikembangkan untuk membawa proses pembelajaran ke arah yang optimal sekaligus menjaga warisan kebudayaan masyarakat setempat. Studi tersebut dinamakan dengan study ethnomathematics dengan harapan bahwa peradaban manusia, seperti halnya tulang punggungnya, lahir menjadi peradaban yang indah, adil, dan bermartabat. Dari permasalahan yang telah diungkapkan pada bagian awal muncul indikasi bahwa nampaknya matematika di Aceh memiliki tugas ganda. Tugas yang pertama adalah

matematika harus menjadi tulang punggung peradaban yang tidak melupakan kebudayaan. Tugas yang kedua diharapkan matematika menjadi pioneer (contoh) untuk pengembangan arah pendidikan di Aceh, sehingga peran pendidikan (secara keseluruhan) dapat kembali direvitalisasi sebagai wahana pelestarian kebudayaan. Study ethnomathematics dipandang dapat menjembatani antara budaya dan pendidikan sehingga keduanya dapat saling berperan dalam pengembangan satu sama lain. Pengertian Study Ethnomathematics Study ethnomathematics adalah suatu kajian yang meneliti cara sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis. Sebagaimana dikemukakan oleh Barton bahwa Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from other cultures understand, articulate and use concepts and practices which are from their culture and which the researcher describes as mathematical [9]. Secara praktis, study ethnomathematics berarti melakukan dengan cara dua hal: (1) menginvestigasi aktivitas matematika yang terdapat dalam kelompok budaya tertentu; (2) mengungkap konsep matematis yang terdapat dalam aktivitas tersebut [9]. Gerdes memaparkan perkembangan-perkembangan ethnomathematics sebagai berikut [10]. yang ada pada study

1. Para peneliti ethnomathematics dalam penelitiannya menggunakan dan mengadopsi konsep umum matematika berupa menghitung, menempatkan, mengukur, merancang, memainkan, dan menjelaskan; 2. Para peneliti ethnomathematics telah mengkaji dan menganalisis pengaruh faktor sosial budaya dalam pengajaran, pembelajaran, dan pengembangan matematika; 3. Para peneliti ethnomathematics pada akhirnya berpendapat bahwa cara-cara dan kebenaran-kebenaran dalam matematika adalah hasil dari budaya (cultural product), hal ini memaksa setiap orang, di budaya manapun, untuk mengembangkan bentuk matematikanya sendiri; 4. Para peneliti ethnomathematics berkeyakinan bahwa hal-hal yang dimasukkan dalam kurikulum matematika sekolah selama ini asing dari tradisi-tradisi dan budaya-budaya yang ada di Asia, Afrika, atau Amerika Selatan; 5. Para peneliti ethnomathematics juga memandang bahwa elemen lain dari budaya dan aktivitas-aktivitasnya adalah suatu hal yang dapat dijadikan sebagai titik awal untuk mengajarkan dan mengelaborasi matematika di dalam kelas (sekolah); 6. Pada konteks pendidikan, para peneliti ethnomathematics secara umum melihat bahwa sudut pandang sosial budaya dan interpretasi terhadap pendidikan matematika, keduanya, akan mampu mendorong siswa untuk sadar dan melakukan refleksi diri terhadap realita dimana mereka tinggal, dan memotivasi mereka untuk mengembangkan dan menggunakan matematika

dalam cara-cara yang mungkin saja tidak diduga oleh para matematikawan sebelumnya. Manfaat Dan Kegunaan Suryadi mengatakan bahwa interaksi merupakan salah satu bagian penting dalam membangun pemahaman pada pembelajaran (termasuk pembelajaran matematika), baik interaksi antar guru-siswa, guru-materi, siswa-siswa, maupun siswa-materi [11]. Interaksi sosial yang berkualitas ternyata mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk mengoptimalkan proses belajarnya [12]. Namun interaksi yang berkualitas tidak akan terjadi apabila material-material yang dilibatkan dalam pembelajaran adalah sesuatu yang masih terasa asing atau belum dikenali oleh siswa. Satu hal yang menjamin bahwa material tersebut tidaklah asing adalah material-material yang berasal dari budaya para siswa itu sendiri. Kealamian serta kualitas sosial dan budaya siswa itu sendirilah yang mampu menjadikan situasi pembelajaran tersebut bersifat membangun, dan menuju kepada hasil yang optimal [13]. Oleh karena itu, perlu untuk memasukkan unsur-unsur budaya ke dalam pembelajaran demi menciptakan pembelajaran yang berkualitas. Hal tersebut dapat dilakukan melalui study ethnomathematics. Kini sekolah tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai tempat untuk memamerkan atau memajangkan hal-hal yang sifatnya artifisial dari budaya. Melalui study ethnomathematics, budaya dapat masuk ke dalam setiap proses pembelajaran agar budaya terasosiasikan dalam dunia pendidikan sehingga secara otomatis keberadaannya pun tetap terjaga. Dengan kata lain, study ethnomathematics menciptakan simbiosis mutualisme antara budaya dan pendidikan. Kebutuhan budaya akan pendidikan yaitu menjaga keutuhan budaya itu sendiri dapat terpenuhi. Kebutuhan pendidikan akan budayanya yaitu dalam mengoptimalkan pembelajaran juga dapat sekaligus terpenuhi. Kegunaan dan manfaat Ethnomathematics telah dirasakan oleh anak-anak suatu kelompok masyarakat di Afrika. Peneliti Ethnomathematics yaitu Maffei dan Favilli, membuat sebuah unit desain didaktis beserta media pembelajarannya (dalam bentuk software komputer) untuk memperkenalkan konsep Greatest Common Divisor (Faktor Persekutuan Terbesar atau FPB) yang terdapat pada sona (budaya orang Afrika, menggambar di pasir). FPB terlalu sering diperkenalkan oleh para guru dengan cara-cara yang algoritmik dan teknikal. Kebanyakan siswa kesulitan untuk mendapat makna dan manfaat dari konsep ini, sehingga mereka menjadi tidak berminat dan minim perhatian pada konsep FPB [14]. Pada proposal desain didaktis tersebut, tahap demi tahap para siswa diberikan kesempatan untuk mendekati dan mengkonstruksi konsep FPB, baik secara individu maupun secara kolaboratif, para siswa juga diberikan kesempatan untuk menghubungkan aspek-aspek geometri dengan notasi aritmatik. Peran guru adalah untuk memediasi interaksi yang terjadi antar siswa dan membimbing mereka untuk menginstitusionalisai ide (konsep) matematis yang ada secara bertahap, hingga di akhir proses para siswa mendapatkan gagasan tentang FPB.

Gambar desain sona. [14] Sona sebenarnya dilakukan oleh orang-orang yang bercerita (dalam suatu acara adat Afrika) dan proses penggambaran pada pasir dilakukan si pencerita agar deskripsi tentang cerita yang sedang diceritakan menjadi lebih atraktif. Kegiatan budaya itu tanpa mereka sadari mengandung unsur matematika yang berguna dalam pembelajaran. Seperti halnya sona, kebudayaan-kebudayaan Aceh pun mengandung unsur-unsur matematis yang mungkin dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran. Misalnya dalam tarian Saman, secara sekilas kita dapat melihat bahwa tarian Saman sangat kental dengan unsur-unsur matematis, baik dalam perhitungan ketukan nada dan ketepatan gerakan, maupun aspek geometris dalam gerakan dan formasi tariannya. Contoh lain dapat dikaji aspek geometris pada senjata tradisional aceh seperti Rencong, Keketuk Layer, Siwah dan Tambo. Dalam permainan alat musik tradisional Aceh pun seperti Arbab, Canang, Rapai, dan lain-lain mungkin dapat ditemukan sesuatu. Unsur-unsur matematika dalam bangunan, pakaian, hikayat, sastra, kerajinan tangan, bahkan hukum adat bisa dijadikan objek studi dalam penelitian Ethnomathematics. Meski hal-hal tersebut di atas kini masih dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari pembelajaran matematika, dan mungkin pula bagi pembelajaran lainnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa budaya-budaya tersebut kaya akan material yang dapat dimasukkan demi menciptakan proses pembelajaran yang lebih baik. Dengan study ethnomathematics, pengalaman ketiadaan buku pelajaran muatan lokal dalam pembelajaran tidak akan menjadi sesuatu yang harus dipandang sebagai kendala. Secara tersirat buku-buku pelajaran itu telah tersebar luas pada budaya. Langkah Pengimplementasian Seperti telah dikemukakan di atas secara praktis, langkah pengimplementasian dapat ditempuh melalui dua tahap. Tahap pertama mengungkap aktivitas matematika yang dilakukan oleh masyarakat Aceh. Tahap kedua yaitu mengungkap konsep-konsep matematis yang terdapat pada aktivitas tersebut untuk kemudian dimasukkan ke dalam proses pembelajaran matematika di Aceh. Ketika pengimplementasian tahapan yang pertama, seperti dikemukakan oleh Gerdes [10] seorang guru matematika hendaknya menggunakan teori Alan J. Bishop tentang aktivitas dasar matematika yang terdapat pada budaya. Menurut Bishop, terdapat enam aktivitas dasar matematika yang terdapat pada budaya, yaitu menghitung, menempatkan, mengukur, merancang, memainkan, dan menjelaskan. Kesemuanya dipandang sebagai akar-akar budaya matematika. Pada tahap pertama ini, yang menjadi fokus utama adalah orang per orang (pelaku budaya). Tahapan kedua dimaksudkan untuk mengungkap konsep matematis yang pada saatnya nanti akan dimasukkan ke dalam proses pembelajaran. Berbeda dengan

tahapan pertama, pada tahapan ini seorang guru matematika dapat memanfaatkan produk dari aktivitas yang telah teridentifikasi pada tahapan pertama. Tidak semua pihak dapat melihat bahwa terdapat ide (konsep) matematika dalam ragam aktivitas budaya. Tugas seorang guru matematika-lah untuk mengungkap ide (konsep) matematika tersebut. Dengan mengingat bahwa selama ini matematika dipandang sebagai sesuatu yang tidak terkait sama sekali dengan budaya, study ethnomathematics akan menjadi inspirasi bagi pembelajaran-pembelajaran bidang studi lain, induknya mungkin saja berupa ethnopedagogics. Alan J. Bishop dalam Gerdes [10] menjelaskan bahwa ada tiga pendekatan yang kerap digunakan oleh Para peneliti ethnomathematics dalam mengidentifikasi dan mengkaji berbagai bentuk matematika yang ada dalam budaya. Ketiga pendekatan tersebut adalah: 1. Investigating in traditional cultures. Pendekatan ini sering digunakan oleh para antropolog yang tertarik dengan keunikan pengetahuan-pengetahuan penting dan praktis dalam budaya. Bahasa menjadi faktor yang sangat utama dalam melakukan kajian dengan pendekatan ini, hal ini karena bahasa mengandung nilai dan norma-norma dari suatu komunitas adat budaya. 2. Investigating in non-western societies. Pendekatan ini sering digunakan terutama ketika menggali aspek sejarah yang berkembang pada komunitas adat yang ada. Aspek kesejarahan tersebut berpotensi mengkonstruksi ide (konsep) matematis yang ada. 3. Investigating in different group. Pendekatan ini fokus kepada elaborasi bagaimana pengetahuan matematika yang utama berasosiasi (terpraktikkan) dalam kegiatan nyata sehari-hari oleh suatu komunitas yang diteliti. Dalam konteks budaya Aceh, pendekatan pertama dapat dilakukan pada kelompok masyarakat Aceh yang masih mempertahankan kelestarian penggunaan bahasa daerah. Aceh memiliki sembilan bahasa daerah, yaitu Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil, Haloban, dan Simeuleu [15]. Salah satu objek yang dapat dikaji adalah tentang sistem numerasi yang dimiliki dan diungkapkan berdasarkan bahasa masing-masing. Bagaimana setiap bahasa unik menyampaikan konsep-konsep matematika dalam pemecahan masalah matematis, baik secara lisan maupun tulisan yang berupa simbol-simbol khusus yang digunakan. Bahasa juga dalam pendekatan ini digunakan sebagai sarana untuk menggali pengetahuan matematis dalam pola pikir masyarakat Aceh. Salah satu objek yang dapat diteliti melalui pendekatan kedua adalah hikayat, dilaporkan bahwa Aceh kaya akan kisah-kisah hikayat, seperti Hikayat Asay Pade, Hikayat Banta Ahmat, Hikayat Burung Pinggai, dan Hikayat Cabe Rawit [16]. Pada setiap hikayat, tentu memiliki ragam konflik, alur, dan istilah-istilah adat. Seorang guru matematika perlu cermat mengkaji setiap hikayat yang ada sehingga dapat dihubungkan dalam proses pembelajran. Konsep matematika yang mungkin untuk dikembangkan (terutama pada hikayat cabe rawit) adalah sistem aljabar. Peninggalan sejarah seperti situs-situs sejarah Aceh, hukum yang mengatur silsilah keluarga kerajaan Aceh, benda-benda pusaka dan lain sebagainya yang merupakan aspek sejarah dapat dikaji dengan pendekatan kedua ini.

Dalam penggunaan pendekatan ketiga, mungkin akan banyak sekali objek-objek kebudayaan Aceh yang dapat diteliti. Budaya yang masih dilibatkan dalam keseharian masyarakat Aceh, seperti pakaian Adat yang digunakan dalam acara pernikahan dan acara-acara lainnya, alat-alat musik khas Aceh, atau tarian-tarian Aceh [17]. Dalam pakaian adat saja masih banyak jenis dan detailnya, yang disertai dengan aksesoris atau perhiasan khas Aceh. Belum lagi jenis-jenis tarian yang dilengkapi berbagai macam gerakan yang dinamis dan selaras. Salah satu contohnya seorang guru matematika (melalui study ethnomathematics) dapat mengkaji aspek-aspek geometri yang terdapat pada Kopiah Meukotop, Batik Aceh, Kerawang Gayo, atau Kain Songket Aceh yang nantinya dapat digunakan sebagai material geometri yang tak asing bagi siswa-siswa di Aceh. Pengimplementasian tersebut dapat diterapkan oleh para guru, dan study ethnomathematics sebenarnya mengingatkan para pendidik bahwa dalam proses pembelajaran, guru tidak lagi harus menjadi pusat (teacher-center). Seorang guru perlu menjadi seorang peneliti (dalam hal ini meneliti bagaimana kebudayaan yang ada di sekitar peserta didiknya), dan menjadi seorang murid (pembelajar). Dengan menjadi seorang peneliti, guru matematika akan menginvestigasi unsur-unsur matematika apa saja yang terdapat dalam aktivitas budaya yang pada gilirannya nanti akan berperan dalam pewarisan kebudayaan tersebut. Dengan menjadi seorang pembelajar, guru matematika akan lebih memahami ide (konsep) matematis dengan mudah apabila ide (konsep) tersebut telah terlihat keterhubungannya dengan ragam aktivitas budaya yang ada di sekitar mereka. Kesimpulan Aceh kaya akan kebudayaan. Proses transmisi kebudayaan di Aceh terancam terhambat, terutama pasca gempa bumi dan tsunami. Pendidikan diharapkan mengambil peranannya dalam pelestarian warisan yang tak ternilai tersebut. Matematika yang selama ini dipandang sebagai bidang studi yang jauh dari aktivitas budaya, melalui study ethnomathematics diharapkan menjadi pioneer bagi lahirnya pembelajaran pada bidang studi lain yang juga berbasis budaya, demi terjaganya proses enkulturasi di Aceh. Selain itu, matematika telah terintegrasi dengan sangat baik ke hampir semua bidang yang berperan dalam menciptakan peradaban manusia yang modern. Study ethnomathematics adalah jembatan bagi lahirnya peradaban manusia modern yang berbasis budaya. Referensi
[1] Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Bahan Pelatihan, 2010), 1-2. [2] Information on http://www.merdeka.com/pernik/pasca-tsunami-aceh-butuhkan-12-ribuguru-92ncna5.html [3] N. Hartini, Remaja Nangroe Aceh Darussalam Pasca Tsunami, (Pracetak, Universitas Airlangga, 2011). [4] Information on bangkit-kembali/ http://tambeh.wordpress.com/2012/06/07/sastra-aceh-mungkinkah-

[5] Information on http://fajarbenteng-agama.blogspot.com/2012/10/kehidupan-remaja-acehsekarang.html [6] Information on http://beritasore.com/2012/06/20/sekda-perlu-gerakan-penyelamatanwarisan-budaya-aceh/ [7] Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Bahan Pelatihan, 2010), 4-5.

[8] DAmbrosio, The Program Ethnomathematics: A Theoretical Basis of the Dynamics of Intra-Cultural Encounters, The Journal of Mathematics and Culture. 6 (2006), 1-7. [9] Barton, Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in Mathematics (Ph.D. Thesis, University of Auckland, 1994). [10] Gerdes, Ethnomathematics and Mathematics Education in International Handbook of Mathematics Education, (eds.) Alan J. Bishop et al., Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 1996, 909-943. [11] D. Suryadi, Model Student Center Learning dalam Pembelajaran Matematika (Pracetak, Universitas Pendidikan Indonesia, 2010). [12] D. Suryadi, Pendidikan Matematika (Pracetak, Universitas Pendidikan Indonesia, 2010). [13] P. Cobb, Contructivism in Mathematics and Science Education: Educational Researcher. 23 (1994), [14] L. Maffei and F. Favilli, Piloting the Software SonaPlygonals_1.0: A Didactic Proposal for the GCD, in Ethnomathematics and Mathematics Education, edited by F. Favilli, th Proceedings of the 10 International Congress of Mathematics Education, Tipografia Editrice Pisana, Pisa, 2004, 99-118. [15] Information on http://acehpedia.org/Macam_bahasa_aceh [16] Information on http://acehpedia.org/Kategori:Hikayat [17] Information on http://acehpedia.org/Kategori:Budaya

Você também pode gostar