Você está na página 1de 13

PENDAHULUAN

Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Moral secara eksplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati serta nasihat, dll. Moral dan iman harus selalu disandingkan, tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Moral yang benar adalah moral yang dilandaskan dan merupakan ungkapan iman. Demikian halnya tindakan harus selalu bersanding dengan nilai-nilai moral. Suatu tindakan dianggap tersesat jika bertentangan dengan visi utama moral yakni melakukan kehendak Allah. Oleh karena itu, tindakan semau gue, bertentangan dengan nilai-nilai moral. Karena prinsip ini akan menggiring seseorang ke lembah keegoisan dan kesombongan. Seseorang yang menganut prinsip semau gue akan bertindak tanpa kontrol, tidak bertanggungjawab. Percampuran dan pertukaran ilmu pengetahuan telah merangsang manusia untuk berpikir lebih imajinatif dan kreatif. Daya berpikir inilah yang memampukan manusia menemukan disiplin ilmu baru: manusia tidak hanya stagnan pada keberhasilan-keberhasilan para pendahulunya. Namun, ketika manusia mampu mencipta dan daya berpikirnya semakin canggih, manusia kadangkala jatuh ke lembah kesombongan; saat itulah nilai-nilai moral dan norma-norma tradisional semakin digusur. Akhir-akhir ini, tatanan moral semakin tidak dihiraukan. Semakin banyak manusia yang hidup seolah Tuhan tidak ada. Akibatnya, manusia menjadi tuhan bagi dirinya sendiri, sehingga segalanya boleh dilakukan (permisif). Sebagian masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya, menjadi begitu kejam: yang diusung dalam menyelesaikan masalah adalah kekerasan dan bukan dialog yang dilandasi cinta.

ETIKA DAN MORALITAS


Banyak teolog Kristen yang membedakan etika dengan moralitas. Richard C. Sparks mengatakan bahwa di antara para teolog yang berbeda pendapat itu, ada yang mengatakan bahwa etika berhubungan erat dengan teori moral; sedangkan moralitas berhubungan erat dengan praktek moral. Seseorang bisa saja sangat fasih dalam tataran teori moral, namun ia kurang mampu mengaktualisasikannya dalam tindakannya maksud teori moral yang ia pahami itu. Oleh karena itu, Richard mengatakan mengetahui sesuatu tidak selamanya identik dengan melakukan sesuatu: knowing about something and actually doing it are not always synonymous. Walaupun demikian, kata Richard, yang perlu digaris-bawahi adalah bahwa etika dan moralitas saling berkaitan. Maka, Richard berkesimpulan : morality is the human values, choices, and actions that are studied in a formal way in an ethics class or by someone trained as an ethicist. Dari pengertian di atas, moral sangat berhubungan erat dengan pendidikan nilai yang selalu berhadapan dengan aktualisasi, pilihan dan kebebasan yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.

KEKHASAN MORALITAS KRISTIANI


Berkaitan dengan pengertian moral di atas, bagaimana dan apa jawaban kita, sebagai orang Kristen jika ditanya oleh non-Kristen atau umat Kristiani sendiri: apakah ada moralitas khas Kristen (Katolik)? Tentu, dengan tegas kita mengatakan bahwa moralitas khas Kristiani itu ada. Moral Kristiani adalah moral iman tanpa syarat, dalam artian tidak menghitung-hitung prestasi (tidak do ut des, tidak resiprokal, tidak mempertimbangkan rugi atau tidak, tanpa pamrih).[4] Oleh karena itu, hidup orang Kristen adalah pengabdian (bdk. Rm 12:1-2; Flp 2:17). Moralitas Kristiani adalah moralitas hidup mengikuti Yesus serta meniru cara-Nya. Sebab, Yesus adalah pemenuh (baca: penggenap) seluruh hukum, bahkan Dialah hukum baru bagi setiap orang yang mau hidup sempurna: Yesus adalah jalan, hidup dan kebenaran (Yoh 14: 6-7). Ajaran dan tindakan Yesus merupakan tindakan Allah sendiri (Yoh 7: 16-17).

MORAL PANGGILAN
DALAM PRIBADI YESUS KRISTUS Selain menjadi figur peletak paradigma moralitas Kristiani, Kristus juga menjadi pusat teologi moral Kristiani. Oleh karena itu, tindakan Kristus menjadi asas moral Kristiani. Menurut Konsili Vatikan II, moral Kristiani itu berdasarkan pribadi Kristus, Allah yang menjelma dan datang ke dunia. Panggilan dalam Kristus pertama-tama adalah anugerah dan rahmat; namun pada waktu yang sama merupakan perintah untuk hidup sebagai manusia yang ditebus. Oleh karena itu, mereka yang dipanggil seharusnya hidup sesuai dengan citra Kristus. Dalam panggilan ini, peran Roh Kudus sangat menonjol. Sekarang dan di sini, kita mewujudkan hidup kita sesuai dengan tuntunan Roh Kudus itu. Kristus sendiri membantu manusia untuk mengerti bagaimana Roh-Nya bekerja dalam situasi hidup manusia. Karya Roh Kristus dalam diri manusia mengandaikan iman yang berbuah dalam cinta kasih sebagai kekhasan hidup Kristiani. Yang dikehendaki oleh Roh Kristus adalah penyerahan diri manusia kepada Bapa di surga. Setiap manusia dipanggil untuk mencapai kesempurnaan. Jadi, diharapkan agar citra Kristus hidup terus-menerus dalam diri orang yang dipanggil oleh Yesus Kristus. [7] Bagi orang Kristen, iman berarti mengenakan Kristus dan hidup dalam Kristus, itulah yang diserukan oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose: saudara -saudara sudah menerima Kristus sebagai Tuhan. Sebab itu hendaklah kalian hidup bersatu dengan Dia, dan berakar di dalam Dia. Hendaklah kalian membangun hidupmu dengan Kristus sebagai dasarnya (bdk. Kol 2: 6 -7).

Moralitas Kristiani: Diwujudkan dalam Tindakan


Moralitas menjadi benar ketika ia merupakan ungkapan iman; karena tindakan manusia terkait juga bagaimana manusia itu sendiri menghayati imannya. Orang beriman tentu bertindak atas dasar kehendak Allah dan bukan semata-mata kehendak manusiawinya. Upaya manusia untuk menerapkan keputusan asasi dalam hidupnya terjadi berkat dinamisme tindakan keimanan manusia. Jadi, antara iman dan tindakan tidak boleh dipisahkan.[12] Kesalingterkaitan antara iman dan tindakan (perbuatan) mendapat penegasannya dalam Injil Matius 7: 21, bukan setia p orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Surga melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga.

HUKUM MORAL DAN DOSA


DALAM PERSPEKTIF KRISTIANI A. Dalam Perjanjian Lama Sepuluh Perintah Allah (dekalog) merupakan hukum moral khas Perjanjian Lama. Perintah Allah yang dimaksud, yakni: 1) Aku Allah, Tuhanmu, jangan memuja berhala, berbaktilah kepada-Ku saja dan cintailah Aku lebih daripada segala sesuatu; 2) Jangan menyebut nama Allah, Tuhanmu dengan tidak hormat; 3) Kuduskanlah hari Tuhan; 4) Hormatilah ibu-bapamu; 5) Jangan membunuh; 6) Jangan berbuat cabul; 7) Jangan mencuri; 8) Jangan bersaksi dusta terhadap sesamamu manusia; 9) Jangan ingin berbuat cabul; 10) Jangan ingin akan milik sesamamu manusia secara tidak adil.[15] Dekalog ini kemudian, dirangkum oleh Yesus menjadi Hukum Cinta Kasih. Keputusan manusia pada hakikatnya lebih dari sekadar ya atau tidak terhadap aturan yang ditetapkan. Adalah simplifikasi berlebihan dan agak melenceng kalau kita memahami Allah sebagai seorang pemberi hukum yang membebankan manusia dengan sebuah kitab yang penuh aturan dan undang-undang yang harus mutlak ditaati. Dewasa ini, Allah lebih dipahami sebagai seorang perencana yang memberi tugas-tugas yang harus dipenuhi. Tugas yang diberikan Allah itu mempunyai tujuan khusus tetapi detail pelaksanaan tugas itu dipercayakan kepada manusia yang menjalankannya. Manusia harus melaksanakan tugas itu seturut pengetahuan dan keterbukaan, serta sesuai dengan situasi yang selalu berubah dan seturut tuntutan akibat perubahan situasi itu. Allah meletakkan tanggung jawab di pundak manusia dan mengharapkan bahwa manusia melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.[22] Dari kutipan di atas, yang mau ditekankan adalah bahwa keputusan moral menuntut kesiagaan untuk mendengarkan kehendak Allah; dengan seksama dan tekun mengikuti dan menginternalisasikan petunjuk-petunjuk yang datang kepada manusia sesuai kehendak Allah. B. Dalam Perjanjian Baru

Dalam Kitab Perjanjian Baru (PB), yang menjadi paradigma moralitas Kristiani adalah Yesus sendiri. Yesus adalah model dan teladan serta sumber inspirasi bagi umat Kristiani untuk bertindak. Oleh karena itu, yang menjadi paradigma dan tolak ukur pengajaran gereja pun mesti bertitik tolak dari pengajaran yang telah digulirkan oleh Yesus sendiri. Sebab, semua tindakan Yesus selama ia bersama para murid dan umat Allah (orang banyak) di dunia ini, selalu mencerminkan tindakan BapaNya yang telah mengutus-Nya. Pernyataan ini diafirmasi juga oleh Patrick Hannon dengan menulis:
The paradigm of the churchs preaching is preaching of Jesus: The Kingdom of God is at hand; repent and believe the Gospel.There is a moral dimension: Gods love asks ours, and we do not love Him if we do not love the neighbour. In fact we often fail, so the call to love is a call to repent, to gather ourselves up and begin again. The church is a community fashioned in that faith. It is herald of the reign of God, servant of the gospel of Jesus, sacrament of Gods action in the world, presage of coming glory.

Oleh karena moralitas Kristiani (dalam PB) selalu menjadikan Yesus sebagai paradigma utama, maka hukum moral Perjanjian Baru umumnya langsung dikaitkan dengan perintah cinta kasih dari Yesus Kristus (Mat 22:34-40; Mrk 12:28-34; Luk 10:25-28; Yoh 13:34-35): hukum yang pertama dan utama adalah kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwa dan akal budimu. Sedangkan hukum yang kedua adalah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum ini tergantung seluruh Hukum Taurat dan Kitab para nabi (Mat 22: 40). Dalam pernyataan Yesus ini, semakin jelas bagi kita bahwa Yesus meneruskan ajaran religius (Israel)

sebagaimana yang terdapat di dalam dekalog. Yesus membentuk dan membaharui perintah ini sesuai dengan visi-Nya dan dengan demikian Dia memberikan perhatian khusus pada hidup moral.

MORALITAS KRISTIANI
DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI Moralitas berasal dari kata Moral artinya, ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap kewajiban, budi pekerti dan susila. Moralitas juga dapat diartikan kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah berdisiplin. Isi hati atau keadaan perasaan sebagai mana terungkap dalam perbuatan. Moralitas Kristiani artinya, sopan, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat istiadat atau adat sopan santun yang didasarkan atas ajaran Agama Kristen yang bersumber dari Alkitab.

IMAN SEBAGAI SUMBER MORALITAS KRISTIANI Sebagaimana sudah dijelaskan di dalam pengertian moralitas diatas maka untuk menghadapi kecenderungan negatif dan upaya pencegahannya diperlukan kualitas moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Kualitas moral yang dimaksud ialah Moralitas Kristiani yang bersumber dari iman Kristen, itu artinya apabila seorang Kristen sungguh-sungguh memegang teguh imannya dalam hidup maka pasti terhindar dari berbagai pelanggaran. Dengan demikian seluruh realitas kehidupan dalam pelaksanaannya merupakan implementasi dari imannya sehingga sesuai dengan firman Tuhan Bekerja lah untuk Tuhan dan bukan untuk manusia Iman itu harus disertai dengan perbuatan karena tanpa perbuatan pada hakekatnya mati. Iman itu bukan hanya sebagai sebuah keyakinan akan Tuhan yang abstrak justru iman yang kelihatan abstrak itu harus mampu mengontrol dan mengendalikan seluruh aspek pikiran, perilaku dan perbuatan sehari-hari. Iman Kristiani harus menjadi dasar berpikir dan bertindak dalam kehidupan orang Kristen.

PEMAHAMAN MORALITAS KRISTEN SECARA APLIKATIF Bagi orang Kristen memiliki moralitas yang bersumber dari imannya pasti menyadari bahwa iman itu bersumber dari Firman Tuhan. Iman Kristiani tidak bermanfaat apabila tidak diaplikasikan secara nyata dalam hidup sehari hari. Beberapa contoh bagaimana aplikasi iman berdasar Firman Tuhan di dalam Alkitab: a. Amsal 12;24. Tangan orang rajin memegang kekuasaan tetapi kemalasan mengakibatkan kerja paksa. Orang yang rajin itu akan bekerja dengan sungguh-sungguh dengan demikian ia akan mendapatkan kedudukan dan kekuasaan. Sebaliknya orang yang malas cenderung mengalami kesulitan. b. Amsal 6:6. Hai pemalas pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak. Bagi mereka yang tidak mau bekerja dengan rajin harus belajar dai semut yang begitu aktif dan kreatif juga rajin agar mereka sadar dan memperbaiki diri. c. Yeremia 37:9a. Beginilah Firman Tuhan : janganlah kamu membohongi dirimu sendiri

KEMEROSOTAN MORAL
Tidak adanya pemimpin nasional yang baik dan beriman (raja) mengakibatkan kemerosotan moral yang luar biasa. Sikap terhadap perselingkuhan amat toleran (19:2-3). Hubungan homoseksual diadopsi dari kebiasaan kafir (19:22, perkataan "kami pakai" menunjuk kepada hubungan seks). Menurut standar Perjanjian Lama, bila terjadi perzinahan antara seorang pria dengan istri sesamanya, keduanya harus dihukum mati (Imamat 20:10). Dalam bacaan hari ini, si gundik yang berzinah bukan hanya tidak dihukum mati, tetapi dia bisa pergi ke rumah ayahnya (meninggalkan suaminya), dan suaminyalah yang menyusul dan membujuk gundiknya untuk kembali (19:2-3). Jelas bahwa standar moral telah sangat diturunkan pada zaman itu. Praktik homoseksual juga merupakan praktik yang amat terlarang di Israel yang diancam dengan hukuman mati (Imamat 18:22; 20:13). Praktik homoseksual itulah salah satu dosa yang membuat Allah menghancurkan kota Sodom dan Gomora (Kejadian 19, perkataan "kami pakai" dalam ayat 5 sama dengan perkataan yang dipakai dalam Hakim-hakim 19:22). Cara memprovokasi umat Israel dengan memotong-motong tubuh sang gundik dan mengirimkannya ke seluruh daerah Israel (19:29-30) juga menunjukkan kekejian dan kelicikan dari si orang Lewi dalam kisah ini. Pada masa kini, kita juga masih bisa menjumpai orang-orang yang mengaku Kristen, tetapi hidup semaunya sendiri. Misalnya, ada orang yang mengaku Kristen, tetapi melakukan korupsi, penyelundupan, bermabuk-mabukan, memakai jimat, mempraktikkan homoseksualitas, dan sebagainya. Orang Kristen semacam itu tidak lebih baik daripada orang-orang pada zaman para hakim dan kehidupan mereka menjadi penghalang bagi orang non-Kristen untuk datang kepada Kristus. [P]
1 Korintus 6:9b-10 "Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah."

PANDANGAN ALKITAB
TENTANG KEJAHATAN Selama berabad-abad, masalah kejahatan dan penderitaan telah dipakai sebagai senjata dan bukti penolakan terhadap eksistensi Allah. Para skeptis seperti David Hume, H.G. Well, Bertrand Russel telah menyimpulkan berdasarkan observasi mereka mengenai kejahatan dan penderitaan bahwa Allah itu tidak ada. David Hume mengungkapkan Adakah Allah berkeinginan mencegah kejahatan, tetapi tidak mampu? Maka Ia tidak mahakuasa. Apakah Ia dapat namun tidak ingin? Maka Ia jahat. Bila Ia dapat maupun ingin: bagaimana bisa ada kejahatan? Jauh sebelum David Hume mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, filsuf Epicurus mengajukan pertanyaan yang sama hampir tiga ratus tahun sebelum Kristus lahir. Dan, orang-orang skeptis ini terus mengajukan pertanyaan yang sama ini hingga kini, hanya untuk berusaha membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Formula logis yang dipakai untuk melawan Theisme Kristen, menurut John M. Frame adalah sebagai berikut: Premis 1: Jika Allah Mahakuasa, Ia akan dapat mencegah kejahatan. Premis 2: Jika Allah Mahabaik, Ia akan berkehendak untuk mencegah kejahatan. Kesimpulan: Jadi, jika Allah Mahakuasa dan Mahabaik, maka tidak akan ada kejahatan. Premis 3: Tetapi kejahatan ada. Kesimpulan: Oleh karena itu, tidak ada Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik. Selanjutnya, Frame mengamati bahwa problem kejahatan ini merupakan keberatan terhadap Teisme Kristen yang paling serius dan paling kuat. Bahkan menurut Frame, Profesor Walter Kaufmann.. selalu memaksudkan problem ini sebagai argumentasinya yang kuat untuk melawan Kekristenan.. Bagi dia realita kejahatan adalah penolakan yang sempurna terhadap teisme populer. Realita yang dapat dilihat di sekitar kita tentang penderitaan, kekerasan, penindasan, perang, diskrimiasi, sakit penyakit, kematian, gempa bumi, badai, tsunami, dan lain-lain seolah-olah mendukung pendapat para skeptis tersebut. Bahkan setiap orang Kristen, mungkin pernah bertanyatanya tentang masalah ini mengapa Tuhan yang baik mengijinkan kejahatan?. Karena itu adakah jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut? Dan bagaimana orang Kristen menanggapinya? Masalah kejahatan dalam relasinya dengan keberadaan Allah adalah misteri yang tidak terpecahkan secara sempurna dalam kehidupan ini. Bahkan Alkitab tidak menjawab pertanyaan ini dengan tuntas. John M. Frame menyatakan kita tidak mungkin menemukan jawaban yang sempurna bagi semua pertanyaan-pertanyaan ini. Selanjutnya Frame mengatakan kita dapat memberikan sejumlah jawaban dalam pengertian yang lain. Jika yang Anda inginkan kekuatan untuk tetap percaya di tengah penderitaan, Alkitab dapat memberikannya, dan bahkan memberikannya sevara berlimpah. Jika anda ingin ditolong agar tetap yakin kepada Tuhan walaupun kejahatan tidak dapat dijelaskan, ya, kita dapat menolong. Walaupun jawaban tentang hal ini sulit dan pastilah menyisakan misteri hal ini tidak membebaskan kita untuk mempelajari dan menelitinya berdasarkan Alkitab.

BERBAGAI PANDANGAN
MENGENAI KEJAHATAN Masalah kejahatan dapat dipandang dalam bentuk yang paling sederhana sebagai konflik yang melibatkan tiga konsep, yaitu: kuasa Tuhan, kebaikan Tuhan, dan kehadiran kejahatan di dalam dunia. Penggunaan akal pikiran memberitahu kita bahwa ketiga hal tersebut sepertinya tidak mungkin benar pada saat yang bersamaan. Jawaban terhadap masalah kejahatan biasanya melibatkan modifikasi atau bahkan penolakan terhadap satu atau lebih dari tiga konsep yang ada, yaitu: membatasi kuasa Tuhan, membatasi kebaikan Tuhan, atau memodifikasi keberadaan kejahatan dengan menyebutnya sebagai ilusi. Sebagai akibat dari keinginan manusia mendapatkan jawaban yang pasti mengenai masalah kejahatan ini, berbagai pandangan telah ditawarkan sebagai solusi dari pertanyaan-pertanyaan diatas, antara lain sebagai berikut: Pertama, pandangan yang mendefinisikan kembali kejahatan sebagai kebaikan. Pandangan ini mengajarkan bahwa Tuhan menyebabkan semua hal terjadi, termasuk kejahatan. Karena segala sesuatu yang Tuhan lakukan itu baik, setiap peristiwa yang terjadi di bumi pada akhirnya harus menjadi baik. Pandangan ini bahkan tidak ragu-ragu memakai istilah determinisme (teologi takdir) untuk menggambarkan kenyataan bahwa Allah merupakan penyebab segala sesuatu yang terjadi, termasuk tindakan-tindakan manusia. Pandangan ini dianut oleh Gordon H. Clark, seorang penganut Calvinik ekstrim. Kedua, pandangan yang menyimpulkan bahwa Tuhan tidak berbuat banyak untuk mengatasi kejahatan di dunia karena Ia tidak mampu. Pandangan ini mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan sebuah dunia yang benar-benar memberikan kebebasan bagi para penghuninya. Kebebasan yang tidak akan dilanggarNya. Tuhan juga mengambil risiko besar dalam menciptakan dunia ini, sebab menurut pandangan ini, Tuhan memilih untuk tidak tahu persis apa yang akan terjadi. Tuhan tidak menetapkan berbagai kejadian yang berlangsung di bumi. Sebaliknya, segala sesuatu yang terjadi merupakan konsekuensi yang timbul dari hukumhukum fisika dan kebebasan manusia yang Tuhan masukan ke dalam dunia ini. Tuhan akan melakukan sesuatu tentang kejahatan dan penderitaan jika Dia bisa. Namun, sistem yang telah diciptakanNya, dan masa depan yang Dia sendiri tidak dapat pastikan, membuatnya tidak dapat melakukan apa-apa. Pandangan ini juga menyimpulkan Allah ingin orang-orang benar hidup bahagia, tetapi kadang Ia tidak dapat merealisasikannya. Ada hal-hal di mana Allah memang tidak dapat mengendalikannya. Allah itu baik, tetapi Ia tidak cukup berkuasa untuk mendatangkan hal-hal yang baik yang Ia inginkan. Pendek kata, Allah itu terbatas. Pandangan ini dipegang oleh Edgar S. Brightman, profesor filsafat dari Universitas Boston, dan juga dipegang oleh Rabbi Harold Kushner. Ketiga, pandangan yang menyimpulkan bahwa kejahatan itu hanyalah ilusi. Pandangan ini menolak sama sekali realitas dari kejahatan. Pandangan ini berargumen bahwa masalah kejahatan, penyakit, dan kematian itu tidak nyata dan hanya merupakan ilusi dari pikiran yang fana. Pandangan ini anut oleh Marry Baker Eddy pendiri dari Christian Science.

PENUTUP
Bagaimana seharusnya orang Kristen bersikap menghadapi dekadensi moral dan etika dalam masyarakat seperti yang anda maksud? Kita tidak usah menyalahkan situasi. Keadaan itu tidak bisa kita sangkal. Itu adalah penyakit klasik sama seperti yang disaksikan Nabi Yunus pada zamannya. Itulah penyakit malas, korupsi, kolusi dan suka jalan pintas. Tapi dalam situasi dan kondisi seperti ini orang Kristen harus tetap punya integritas moral Kristen sejati yang tidak tergoyahkan oleh arus yang mayoritas itu. Sebaliknya kita harus mengalahkan semua itu Kalau orang percaya tidak ada bedanya dengan yang lain apa artinya Kekristenan itu? Jadi kita harus konsisten untuk mempraktekkan pola hidup Kristen. Dalam era globalisasi ini, kontribusi Kristen adalah memberi landasan moral dan etika pada semua sektor kehidupan dimana kita terlibat. Mewujudkan hal ini tentu tidak semudah mengucapkannya. Namun, bila kita bicara mission atau core religion, memang ada hal-hal yang beyond ratio yang justru harus tetap memberikan conviction kepada kita untuk melayani dunia dimana Kristen sejati itu memang minoritas.

DAFTAR REFERENSI
Boice, James M., 2011. Fondations Of The Christian Faith: A Comprehensive And Readable Theology. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta. Conner, Kevin J., 2004. The Fondation of Christian Doctrine. Terjemahan, Pernerbit Gandum Mas: Malang. Cornish, Rick., 2007. Five Minute Theologian. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung. Cornish, Rick., 2007. Five Minute Apologist. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung. Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, 2 jilid. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. Enns, Paul., 2000. Approaching God, 2 jilid. Terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam. Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. 3 Jilid. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang. Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 2009. New Dictionary Of Theology. jilid 2, terjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. Frame, John M., 2010. Apologetics To The Glory Of God: An Introduction. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta. Geisler, Norman & David Geisler., 2010. Conversational Evangelism. Terjemahan, Yayasan Gloria: Yogyakarta. Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House : Grand Rapids, Michigan. Grudem, Wayne., 2009. Christian Beliefs. Terjemahan, Penerbit Metanonia Publising: Jakarta. Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung. Ryrie, Charles C., 1991. Basic Theology. 2 Jilid, Terjemahan, Penerbit Andi Offset : Yoyakarta. Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. ** Strobel, Lee., 2005. The Case For Faith. Terjemahkan, Penerbit Gospel Press : Batam.* Tabb, Mark, ed., 2011. Theology. Terjemahan, Penerbit Yayasan Gloria : Yogyakarta.* Tabb, Mark, ed., 2011. Worldview. Terjemahan, Penerbit Yayasan Gloria : Yogyakarta.** Tidball, Derek J., 1995. Skillful Shepherds. Terjemahan, Yayasan Penerbit Gandum Mas: Malang. ** Thiessen, Henry C., 1992. Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.** Williamson, G.I., 2012. Westminster Confession Of Faith. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.*** Zacharias, Ravi, ed., 2006. Who Made God? Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.**

DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia
http://ekklesiaonnetwork.blogspot.com/2012/12/pandangan-alkitab-tentang-kejahatan.html http://gkysydney.org/renungan-gema-2010/kemerosotan-moral.html

http://www.uksw.edu/renunganhariankampus/?p=3824 http://filsafat-pendidikan.blogspot.com/2007/11/telaah-teologis-kekhasan-moralitas_29.html

Você também pode gostar