Você está na página 1de 30

http://www.indosiar.com/banner/klik_banner.htm?

id=2456&inc=12&home=okRe
porter : Lenasari Aristianti
Juru Kamera : Rudi Asmoro
Segmen I
indosiar.com Kuningan, - Cigugur, desa yang terletak di kaki Gunung Ciremai,
berjarak sekitar 3 kilometer dari kota Kuningan, Jawa Barat, banyak menyimpan
budaya yang unik dan patut dilestarikan. Selain situs purbakala yang ada di daerah
Cipari, Cigugur juga terkenal dengan acara Seren Taun, dan sebuah aliran
kepercayaan terhadap ajaran leluhur mereka yang beretnis Sunda. Adat cara
karuhun urang.

Sesaat lagi akan berlangsung perkawinan masyarakat penghayat di Cigugur.


Masyarakat Penghayat adalah mereka yang meyakini ajaran leluhur dan tidak
memeluk satupun agama di Indonesia. Di Cigugur, Kuningan, kepercayaan yang
dianut kebanyakan warganya dikenal dengan sebutan agama Djawa Sunda atau
adat cara Karuhun Urang.
Ini adalah pernikahan putri Pangeran Djatikusumah, tokoh Penghayat yang
disegani di Kuningan. Dalam pernikahan putrinya, Djatikusumah juga bertindak
sebagai penghulu. Karena dalam masyarakat Penghayat, cukup sang ayah dari
calon mempelai perempuan yang menjadi penghulu sekaligus mensahkan
perkawinan itu.
Uniknya, perkawinan ini juga dihadiri tokoh dari 5 agama untuk mendoakan sang
mempelai. Acara ini disebut Wastu Jatuk Krami. Secara keseluruhan, upacara
perkawinan kaum Penghayat tidak berbeda dengan perkawinan penganut agama
lain, yang berlatar belakang etnis Sunda. Siraman dan Ngeuyeuk Seureuh juga
dilakukan sebagai bagian dari ritual perkawinan.
Ngeuyeuk Seureuh, salah satu bagian dari rangkaian upacara perkawinan adat
Sunda, sebelum kedua mempelai disahkan sebagai pasangan suami istri. Disini,
kedua mempelai diberi wejangan, dan ajaran dari pihak keluarga yang dituakan.
Seputar kesiapan, dan bekal dalam menjalani bahtera rumah tangga. Tidak hanya
dengan kata-kata, dalam Ngeuyeuk Seureuh, wejangan atau nasihat, juga
diwakilkan dengan benda-benda, antara lain, buah kelapa, beras, umbi-umbian,
dan sapu lidi, yang tentunya mengandung makna.

Setelah melaksanakan upacara pra nikah selama dua hari berturut-turut tersebut,
tibalah hari pernikahan. Kedatangan calon mempelai pria, yang didampingi kedua
orang tua, disambut keluarga calon mempelai perempuan, dengan tarian Pang
bage’, tarian penyambutan untuk pengantin pria.

Kini sudah tidak banyak lagi masyarakat penghayat di Desa Cigugur. Tidak
diakuinya perkawinan mereka di mata negara, akhirnya membuat kebanyakan dari
mereka, memilih untuk memeluk agama yang diakui di Indonesia. Dalam
peraturan negara, hingga saat ini hanya ada lima agama yang diakui.
Karena itu, berdasarkan hukum negara, sahnya sebuah pernikahan pun haruslah
berdasarkan agama yang diakui negara tersebut. Tapi bagi para Penghayat,
peraturan itu bertentangan dengan hak tiap manusia sebagai warga negara. Mereka
merasa, perkawinan adat yang selama ini dilaksanakan, telah memenuhi peraturan
yang ada, serta tata cara adat di nusantara ini.

Di sisi lain, bagi kantor catatan sipil, tempat calon mempelai yang berbeda agama
bisa mendaftarkan pernikahan mereka, pernyataan Djatikusumah itu, tidak dapat
menjadi patokan untuk mensahkan sebuah perkawinan. Sebagai salah satu
lembaga pemerintahan, catatan sipil, tentunya harus mengikuti peraturan yang
ditetapkan pemerintah.
Selama kepercayaan yang diyakini kaum Penghayat, tidak termasuk dalam agama
yang ada di Indonesia, maka catatan sipil tidak dapat mengeluarkan akte
perkawinan. Hingga kini, belum ada satupun masyarakat Penghayat yang
disahkan perkawinannya, dan dibuatkan akte pernikahan, oleh Catatan Sipil
Kuningan. Selama undang-undang perkawinan masih belum berubah, masyarakat
Penghayat kepercayaan hanya bisa pasrah terhadap status perkawinan mereka.
Segmen II

Adalah Kiai Madrais, tokoh agama, yang pertama kali menciptakan aliran
kepercayaan adat cara Karuhun Urang. Kiai Madrais, yang hidup pada abad ke 19,
merupakan keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah
Cirebon Timur. Akibat serangan yang dilakukan pihak Hindia Belanda saat itu ke
daerah Gebang, Kiai Madrais diungsikan ke daerah Cigugur.
Kiai Madrais tumbuh sebagai seorang spiritual. Dan di Cigugur, Kiai Madrais,
yang punya nama lain Pangeran Sadewa Alibasa, mendirikan pesantren dengan
mengajarkan agama Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, sang kyai
menganjurkan untuk menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yang baginya
adalah Jawa-Sunda.

Ajaran warisan Kyai Madrais, yang tumbuh subur di Kuningan ini sekarang
diteruskan sang cucu, Pangeran Djatikusumah. Melihat ajarannya, walaupun Kyai
Madrais memiliki akar keislaman, ajaran Djawa-Sunda yang sering disebut adat
cara Karuhun Urang atau adat yang dilakukan para leluhur ini, tidak mengacu
pada agama Islam. Misalnya saja khitanan tidak diwajibkan, penguburan jenazah
pun harus pakai peti.

Negara memang mengakui keberadaan masyarakat Penghayat kepercayaan,


namun untuk urusan dokumen resmi kelihatannya masih mendua. Anak-anak
Pangeran Djatikusumah yang memilih tetap jadi Penghayat polos atau tidak
memeluk agama apapun misalnya, tidak memiliki akte pernikahan. Sehingga bila
anak mereka lahir pun, akte kelahirannya dibuat seperti anak yang dianggap lahir
di luar nikah.

Anak lelaki satu-satunya, Gumirat Barna Alam, secara khusus disiapkan


Djatikusuma untuk meneruskan ajaran ini. Dalam ajaran Kiai Madrais, dikatakan,
anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara
anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain,
selama itu bertujuan menghayati ajaran Ketuhanan, bukan sekedar seremonial.
Walaupun terasa kian sulit mempertahankan eksistensi ajaran Kiai Madras, tapi
Gumirat Barna Alam, sang penerus, tidak merasa khawatir bila nantinya pengikut
ajaran Kiai Madrais ini lambat laun akan punah.

Sebagai Penghayat, Gumirat sadar benar konsekuensi hidup yang ia pilih. Dari sisi
sosialisasi, ia merasa tak pernah ada masalah berarti. Ketika menempuh
pendidikan formal, Gumirat tetap mengikuti peraturan dan prosedur yang berlaku
di sekolah. Dalam hal ini pelajaran agama, ia tetap mengikuti.
Kesulitan berarti yang pernah ia alami, dan sampai kini belum selesai, adalah
ketika mengajukan pembuatan akte perkawinan. Akibatnya, ayah tiga anak ini
sempat mengajukan gugatan terhadap Catatan Sipil Jakarta Timur, ke Pengadilan
Tata Usaha Negara. Lagi-lagi Penghayat polos ini, menemui kendala, karena
permohonannya tetap tidak disetujui.

Bagi Pegawai Negeri Sipil, tidak memiliki akte perkawinan, berarti tidak akan
mendapatkan tunjangan untuk keluarga. Itulah yang dialami Rusman, Pegawai
Negeri Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di Kabupaten Kuningan.

Di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais inilah


Djatikusumah meneruskan ajaran leluhurnya. Paseban Tri Panca Tunggal ini juga
telah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional sejak tahun 1970-an. Setiap tahun,
bangunan yang didirikan tahun 1860 ini menampung ratusan orang bahkan lebih,
yang akan ikut rangkaian acara Seren Taun.
Sebuah ungkapan rasa syukur mereka atas hasil panen. Acara Seren Taun yang
merupakah ungkapan syukur masyarakat agraris Sunda terhadap Sang Maha
Pencipta, atas hasil panen mereka ini pernah dilarang pemerintah karena dianggap
sebagai acara ritual aliran kepercayaan yang tidak diperbolehkan.
Segmen III
Seren Taun yang diadakan setiap tanggal 22 Rayagung, penanggalan Sunda ini,
selalu dipadati masyarakat, baik itu dari Cigugur, maupun dari luar Kabupaten
Kuningan. Seren Taun merupakan upacara mengucap syukur kepada Tuhan, atas
apa yang telah diberikan.

Acara budaya ini sempat menjadi sasaran kecurigaan pemerintah, karena khawatir
jadi ajang penyebaran kepercayaan adat cara Karuhun Urang. Sehingga hampir
selama 17 tahun, sempat dilarang pelaksanaannya. Namun seiring perkembangan
zaman, anggapan itu berubah. Akhirnya tahun 1999 acara yang melibatkan banyak
orang ini bisa dilaksanakan kembali.

Dalam acara ini, Pangeran Djatikusumah selalu mengundang masyarakat lain,


yang memiliki agama, dan kepercayaan berbeda. Sebut saja Dayak Indramayu,
Aceh Gayo, Suku Baduy, dan komunitas Sumedang Larang. Mereka datang tidak
hanya sekedar menonton, tapi juga mengisi rangkaian acara, yang telah
diselenggarakan 3 hari secara berturut-turut, hingga acara Seren Taun
berlangsung.
Acara yang diselenggarakan persis di depan gedung Paseban Tri Panca Tunggal,
Jalan Raya Suka Mulya, Cigugur ini, sarat dengan berbagai kesenian daerah.
Seperti Tarian Buyung, ciptaan istri Pangeran Djatikusumah, Emilia. Juga ada
permainan alat musik bambu dari Suku Baduy Kanekes.

Seren Taun memang bisa dibilang sebagai acara budaya yang cukup besar.
Hadirnya Menteri Perindustrian, Andung A. Nitimiharja, mantan Presiden RI,
Abdurahman Wahid, dan istri, serta pejabat pemerintah lainnya, membuktikan
bahwa kini Seren Taun telah diakui keberadaannya, sebagai suatu budaya yang
patut dilestarikan.

Rombongan orang membawa bermacam hasil bumi, adalah inti dari Seren Taun.
Padi-padian yang dibawa, akan ditumbuk beramai-ramai dalam lesung yang telah
tersedia. Ratusan orang seolah tumpah di sini. Tanpa membedakan suku, ras,
agama.
Bergotong-royong, menumbuk padi menjadi beras. Sesaat, kegalauan si anak tiri
seolah sirna, lebur bersama hangatnya suasana Seren Taun. Tapi sesungguhnya,
galau itu masih ada.
(Sup)http://www.indosiar.com/v2/culture/culture_read.htm?id=30902&tp=terop
ong
Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda
Oleh DADAN WILDAN

Ti meletuk datang ka meletek


ti segir datang ka segir deui
lamun dirobah buyut kami
lamun hujan liwat ti langkung
lamun halodo liwat ti langkung
tangsetna lamun buyut dirobah
cadas malela tiis
buana larang, buana tengah, buana nyungcung
pinuh ku sagara (Pikukuh Baduy)
AJARAN Islam di Tatar Sunda selain telah mengubah keyakinan seseorang dan
komunitas masyarakat Sunda juga telah membawa perubahan sosial dan tradisi
yang telah lama dikembangkan orang Sunda. Penyesuaian antara adat dan syariah
seringkali menunjukkan unsur-unsur campuran antara Islam dengan kepercayaan
sebelumnya. Hal tersebut dapat dipahami karena para penyebar Islam dalam tahap
awal menggunakan strategi dakwah akomodatif dengan mempertimbangkan
sistem religi yang telah ada sebelumnya.
Masuknya Islam ke Tatar Sunda
Abad pertama sampai keempat hijriyah merupakan fase awal proses kedatangan
Islam ke Nusantara. Hal ini antara lain ditandai kehadiran para pedagang Muslim
yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatra sejak permulaan abad ke-7
Masehi. Proses Islamisasi di tatar Sunda terjadi dan dipermudah karena adanya
dukungan dari kedua belah pihak yakni orang-orang Muslim pendatang yang
mengajarkan agama Islam dan golongan masyarakat yang menerimanya.
Di tatar Sunda, menurut naskah "Carita Parahiyangan" diceritakan seorang
pemeluk agama Islam yang pertama kali di tatar Sunda adalah Bratalegawa putra
kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora
penguasa kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar; biasa
berlayar ke Sumatra, Cina, India, Srilangka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia
menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti
Muhammad. Melalui pernikahan dengan seorang Muslimah ini, Bratalegawa
memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan mendapat julukan Haji
Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan
Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa.
Bila kedatangan Haji Purwa di tanah Sunda tahun 1337 Masehi dijadikan titik
tolak masuknya Islam ke tatar Sunda, hal ini mengandung arti bahwa pertama,
agama Islam yang pertama kali masuk ke tatar Sunda berasal dari Makah yang
dibawa pedagang (Bratalegawa); dan kedua, pada tahap awal kedatangannya,
agama ini tidak hanya menyentuh daerah pesisir utara Jawa bagian Barat, tetapi
diperkenalkan juga di daerah pedalaman. Akan tetapi, agama itu tidak segera
menyebar secara luas di masyarakat disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak
dan pengaruh Hindu dari Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap
masyarakat setempat masih kuat.
Sementara itu, di Karawang terdapat sebuah pesantren di bawah pimpinan Syekh
Hasanuddin yang dikenal dengan sebutan Syekh Quro sebagai penyebar dan guru
agama Islam pertama di daerah Karawang pada abad ke-15 sekira tahun 1416
sezaman dengan kedatangan Syekh Datuk Kahpi yang bermukim di
Pasambangan, bukit Amparan Jati dekat Pelabuhan Muarajati, kurang lebih lima
kilometer sebelah utara Kota Cirebon. Keduanya lalu menjadi guru agama Islam
dan mendirikan pesantren masing-masing. Pesantren di Muara Jati semakin
berkembang ketika datangnya Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati
dari Mesir. Ia masih keturunan Prabu Siliwangi bermukim di Cirebon sejak tahun
1470 dan mulai menyebarkan syiar Islam ke seluruh wilayah tatar Sunda mulai
dari Cirebon, Kuningan, Majalengka, Ciamis, Bogor, hingga Banten. Atas
perjuangannya, penganut kepercayaan animisme, dinamisme, agama Hindu, dan
Budha beralih menjadi Muslim, sedangkan penganut ajaran Sunda Wiwitan
merupakan agama asli orang Sunda tersisihkan ke pedalaman Baduy.
Pada tahap awal, sebagaimana dilakukan Bratalegawa, penyebaran agama Islam
rupanya baru berlangsung secara terbatas di lingkungan tempat tinggal para tokoh
agama tersebut. Seiring terbentuknya pesantren-pesantren sebagai tempat
pembentukan kader ulama atau para guru agama yang mendidik para santri, syiar
Islam mulai berkembang pesat di tatar Sunda sejak pertengahan abad ke-15.
Dari Sunda Wiwitan ke Sunda Islam
Pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda
menerima sepenuhnya, di beberapa tempat terdapat komunitas yang bertahan
dalam ajaran leluhurnya seperti komunitas masyarakat di Desa Kanekes
Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang dikenal dengan masyarakat
Baduy. Mereka adalah komunitas yang tidak mau memeluk Islam dan
terkungkung di satu wilayah religius yang khas; terpisah dari komunitas Muslim
Sunda dan tetap melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan
yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan
kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa)
yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa
Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana
Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan
ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar
(dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki
keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan; titik
awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan
dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan. (Garna, 1992:5).
Menurut ajaran Sunda Wiwitan, perjalanan hidup manusia tidak terpisah dari
wadah tiga buana, yaitu (1) Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau
Ambu Luhur; tempat bersemayam Sang Hyang Keresa di tempat paling atas; (2)
Buana Panca Tengah atau Ambu Tengah yang dalam dunia pewayangan sering
disebut Mayapada atau Arcapada tempat hidup manusia dan mahluk lainnya; dan
(3) Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu handap yaitu tempatnya
neraka. Manusia yang hidup di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui
Buana Akhir yaitu Buana Larang, sedangkan proses kelahirannya ditentukan di
Buana Luhur. Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18
lapisan alam yang tersusun dari atas ke bawah, lapisan teratas disebut Bumi Suci
Alam Padang atau Kahyangan tempat Sunan Ambu dan para pohaci bersemayam.
Pada pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di Kanekes, tradisi religius diwujudkan
dalam berbagai upacara yang pada dasarnya memiliki empat tujuan utama: yaitu
(1) menghormati para karuhun atau nenek moyang; (2) menyucikan Pancer Bumi
atau isi jagat dan dunia pada umumnya; (3) menghormati dan menumbuhkan atau
mengawinkan Dewi Padi; dan (4) melaksanakan pikukuh Baduy untuk
mensejahterakan inti jagat. Dengan demikian, mantra-mantra yang diucapkan
sebelum dan selama upacara berisikan permohonan izin dan keselamatan atas
perkenan karuhun, menghindari marabahaya, serta perlindungan untuk
kesejahteraan hidup di dunia damai sejahtera.
Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas
penganut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang menganut Islam.
Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang
khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan Pakuan
Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung, Dewa
Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng dalam lakon Pajajaran
Seureun Papan.
Secara sadar, masyarakat Kanekes dengan tegas mengakui perbedaan mereka
dengan masyarakat Sunda lainnya di luar Kanekes hanyalah dalam sistem religi,
bukan etnis. Menurut Djatisunda (1992;2-3) mereka menyebut orang Sunda di
luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang Sunda yang beragama Islam)
dan dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Arti dari istilah urang are atau
dulur are dikemukakan Ayah Kaiti bekas seurat Tangtu Cikeusik bahwa: harti
urang are ta, ja dulur are. Dulur-dulur na mah, ngan eslam hanteu sabagi kami di
dieu (arti urang are yaitu dulur are. Saudara sih saudara, tetapi menganut agama
Islam tidak seperti saya di sini). Ungkapan tersebut memperjelas pengakuan
kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang
membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam.
Madrais dan aliran perjalanan
Berbeda dengan masyarakat Baduy yang bertahan dengan tradisinya akibat
desakan pengaruh Islam, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dalam
komunitas lain malah melahirkan kepercayaan baru seperti yang dikembangkan
Madrais di Cigugur Kabupaten Kuningan dan Mei Kartawinata di Ciparay
Kabupaten Bandung.
Madrais semula dibesarkan dalam tradisi Islam kemudian melahirkan ajaran baru
yang mengajarkan faham Islam dengan kepercayaan lama (pra-Islam) masyarakat
Sunda yang agraris dan disebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau Madraisme
pada tahun 1921. Ia menetapkan tanggal 1 Sura sebagai hari besar seren taun yang
dirayakan secara besar-besaran antara lain dengan ngagondang (menumbukkan
alu pada lesung sambil bernyanyi). Menurut ajarannya, Dewi Sri atau Sanghyang
Sri adalah Dewi Padi yang perlu dihormati dengan upacara-upacara religius daur
ulang penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar
hidup selamat. Di pihak lain, ia pun memuliakan Maulid Nabi Muhammad, tetapi
menolak Alquran dengan anggapan bahwa Alquran yang sekarang tidak sah sebab
Alquran yang sejati akan diturunkan menjelang kiamat.
Ajaran Madraisme ini, setelah Madrais meninggal dunia tahun 1939 dilanjutkan
anaknya bernama Pangeran Tejabuana, serta cucunya Pangeran Jati Kusumah
yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU)
mengharuskan para pengikutnya untuk melestarikan ajaran karuhun Sunda dan ke
luar dari agama Islam.
Sementara itu, Mei Kartawinata (1898-1967) seorang tokoh kebatinan mendirikan
aliran kepercayaan perjalanan yang dikenal dengan "Agama Kuring" (Agamaku)
dan pendiri Partai Permai di Ciparay Kabupaten Bandung. Kisahnya, 17
September 1927, di Subang ia mendapat wangsit untuk berjuang melalui
pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui perkumpulan Perjalanan yang
mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan
bermanfaat sepanjang jalan. Dia menulis buku "Budi Daya" tahun 1935 yang
dijadikan 'kitab suci' oleh para pengikutnya. Ajaran ini memadukan sinkretisme
antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Budha, dan Islam.
Perjumpaan Islam dengan tradisi Sunda
Perjumpaan Islam dengan Budaya Sunda tidak melanggengkan tradisi lama
seperti Sunda Wiwitan dan tidak memunculkan ajaran baru seperti Agama Djawa
Sunda dan aliran kepercayaan Perjalanan adalah adaptasi antara Islam sebagai
ajaran agama dengan tradisi budaya yang melekat di masyarakat. Hal ini dapat
dipahami karena umumnya dalam tradisi budaya masyarakat Muslim di tanah
Jawa oleh Mark R. Woodward disebut Islam-Jawa, adaptasi unsur-unsur tradisi
dengan Islam tampak sekali, misalnya adaptasi budaya dalam penamaan bulan.
Bulan-bulan dalam tradisi Jawa---termasuk juga Sunda---sebagian mengadaptasi
bulan Hijriah yaitu Sura (Muharram), Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awwal),
Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir
(Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya'ban), Puasa (Ramadan), Sawal
(Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah).
Penyesuaian yang bijaksana atas sistem kalender Jawa Kuno (tahun Saka) ke
dalam sistem kalender Islam dibuat tahun 1663 Masehi oleh Sultan Agung dari
kerajaan Mataram yang menetapkan tahun 78 Masehi sebagai titik awal tahun
Saka. Dengan sistem penanggalan baru tersebut, bulan pertama dalam kalender
Jawa disamakan dengan bulan pertama kalender Islam yang sekarang menginjak
tahun 1936 Saka (1424 H). Hal ini---menurut Bekki (1975) dalam "Socio Cultural
Changes in a Traditional Javanese Village"---dimungkinkan dalam kehidupan
beragama di Jawa, karena sikap lentur orang Jawa terhadap agama dari luar.
Meskipun kepercayan animisme sudah mengakar sejak zaman dahulu, orang Jawa
dengan mudah menerima agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, lalu 'men-
jawa-kan' semuanya.
Islamisasi di tatar Sunda selain dibentuk oleh 'penyesuaian' juga dibentuk melalui
media seni yang digemari masyarakat. Ketika ulama masih sangat jarang, kitab
suci masih barang langka, dan kehidupan masih diwarnai unsur mistis,
penyampaian ajaran Islam yang lebih tepat adalah melalui media seni dalam
upacara-upacara tradisi.
Salah satu upacara sekaligus sebagai media dakwah Islam dalam komunitas Sunda
yang seringkali digelar adalah pembacaan wawacan dalam upacara-upacara
tertentu seperti tujuh bulanan, marhabaan, kelahiran, dan cukuran. Seringnya
dakwah Islam disampaikan melalui wawacan ini melahirkan banyak naskah yang
berisi tentang kisah-kisah kenabian, seperti Wawacan Carios Para Nabi, Wawacan
Sajarah Ambiya, Wawacan Babar Nabi, dan Wawacan Nabi Paras yang ditulis
dengan huruf Arab, berbahasa Sunda dalam bentuk langgam pupuh, seperti Pupuh
Asmarandana, Sinom, Kinanti, Dangdanggula, dan Pangkur. Untuk mengikat
pendengar yang hadir, si pembaca naskah menguncinya dengan membaca sebuah
kalimat: Sing saha jalma anu maca atawa ngadengekeun ieu wawacan nepi ka
tamat bakal dihampura dosa opat puluh taun. Dengan khidmat, si pendengar
menikmati lantunan juru pantun yang berkisah tentang ajaran Islam ini dari
selepas isya hingga menjelang subuh.
Sejak agama Islam berkembang di Tatar Sunda, pesantren, paguron, dan
padepokan yang merupakan tempat pendidikan orang-orang Hindu, diadopsi
menjadi lembaga pendidikan Islam dengan tetap menggunakan nama pasantren
(pasantrian) tempat para santri menimba ilmu agama. Pesantren ini biasanya
dipimpin seorang ulama yang diberi gelar "kiai". Gelar kiai ini semula digunakan
untuk benda-benda keramat dan bertuah, tetapi dalam adaptasi Islam dan budaya
Sunda, gelar ini melekat dalam diri para ulama sampai sekarang. Di pesantren ini
jugalah huruf dan bahasa Arab mendapat tempat penyebaran yang semakin luas di
kalangan masyarakat Sunda dan menggantikan posisi huruf Jawa dan Sunda yang
telah lama digunakan sebelum abad ke-17 Masehi.
Dalam sejumlah doktrin dan ritus tertentu, di Tatar Sunda pun berkembang ajaran
Islam yang mengadopsi unsur tapa dalam agama Hindu dan diwarnai aspek-aspek
mistis dan mitologis. Dari banyak unsur tradisi Hindu-Jawa yang tetap bertahan
adalah kesaktian, praktik tapa, dan tradisi Wayang yang terakomodasi dalam jalan
orang-orang yang mencari kesalehan normatif sekaligus melestarikan ajaran
kebatinan.
Dalam bidang arsitektur, pembangunan arsitektur masjid dan rancang bangun
alun-alun dan keraton diwarnai perpaduan antara budaya Sunda dengan Islam. Di
setiap alun-alun kota kecamatan dan kabupaten sejak Sunan Gunung Jati berkuasa
(1479-1568) dibangun Masjid Agung yang terletak di sebelah barat alun-alun, di
samping pasar, keraton, serta penjara dengan penyesuaian fungsi dan posisinya
sebagai bangunan pusat pemerintahan kerajaan berdasarkan Islam dengan masjid
(bale nyungcung) sebagai simbol utama. Simbol bale nyungcung ini
mengisyaratkan adaptasi tempat Sanghyang Keresa bersemayam di Buana
Nyungcung (buana atas) dalam ajaran Sunda Wiwitan.
Beberapa contoh di atas, perjumpaan Islam dengan budaya Sunda telah
melahirkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, pertumbuhan kehidupan masyarakat Islam dengan adat, tradisi, budaya
yang mengadaptasi unsur tradisi lama dengan ajaran Islam melalui pola budaya
yang kompleks dan beragam telah melahirkan pemikiran, adat-istiadat, dan
upacara ritual yang harmoni antara Islam dan budaya Sunda.
Kedua, berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya masjid
(bale nyungcung), keraton, dan alun-alun telah mengadaptasi rancang bangun dan
ornamen lokal termasuk pra Islam ke dalam rancang bangun arsitektur Islam.
Ketiga, berkembangnya seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-
karya kaligrafi Islam yang khas, kesenian genjring dan rebana yang berasal dari
budaya Arab, dan berbagai pertunjukkan tradisional bernapaskan Islam dengan
mudah merasuki kesenian orang Sunda yang seringkali muncul dalam pentas seni
dan pesta-pesta perkawinan.
Keempat, pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran
keislaman di pesantren-pesantren telah melahirkan karya-karya sastra dalam
bentuk wawacan, serat suluk, dan barzanji yang sebagian naskahnya tersimpan di
keraton-keraton Cirebon, museum, dan di kalangan masyarakat Sunda, dan
Kelima, berbagai upacara ritual dan tradisi daur hidup seperti upacara tujuh
bulanan, upacara kelahiran, kematian, hingga perkawinan yang semula berasal
dari tradisi lama diwarnai budaya Islam dengan pembacaan barzanji, marhabaan,
salawat, dan tahlil.
Karena itulah, tidak bisa dimungkiri bahwa perjumpaan Islam dengan budaya dan
komunitas masyarakat di wilayah tatar Sunda telah melahirkan tiga aspek
religiusitas yang berbeda. Pertama, terkungkungnya satu wilayah religius yang
khas dan terpisah dari komunitas Muslim Sunda di Kanekes (Baduy) yang
melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan; kedua lahirnya tradisi, budaya, dan religi
baru yang mencampurbaurkan antara ajaran Islam dengan tradisi sebelumnya
seperti yang dikembangkan dalam Ajaran Djawa Sunda di Cigugur Kuningan dan
aliran kebatinan Perjalanan di Ciparay Kabupaten Bandung; dan ketiga
terciptanya kehidupan harmoni dan ritus keagamaan yang berasal dari Islam
dengan tradisi yang telah ada dan satu sama lain saling melengkapi.
Terlepas dari itu semua, pemahaman pelaksanaan adaptasi dan harmoni antara
Islam sebagai ajaran agama dengan tradisi Sunda sebagai adat istiadat warisan
budaya lama disadari akan menimbulkan pemaknaan yang berbeda. Di satu pihak
ada yang menganggap bahwa berbagai upacara tradisi itu adalah adat istiadat yang
perlu tetap dilestarikan dan sejalan dengan agama Islam, bahkan menjadi 'sunah',
sebaliknya di pihak lain ada yang beranggapan bahwa ajaran Islam yang diwarnai
oleh tradisi dan budaya Sunda adalah bentuk perbuatan bidah.
Penulis adalah staf pengajar FKIP Universitas Galuh Ciamis.
Artikel ini Dimuat di Harian Pikiran Rakyat Rabu, 26 Maret 2003
http://arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=178
Seren Taun pada Tahun Pusaka Nusantara 2003: Ekspresi
Syukur, Identitas Kebangsaan dan Publikasi
Posted by: tajid.yakub on Mar 07, 04 | 4:58 pm | Profile
Artikel dari yoshua tumada [joshua_kurnia@yahoo.com], berikut pengantarnya
via e-mail ..
Ini artikel dibuat 1 tahun yang lalu... tapi ga ada kayaknya ga ada konteks waktu
deh yang gw sisipkan dalam artikel ini. mungkin jid, kalo ada tahun tanggalnya,
ga perlu untuk di hilangkan juga yah... tapi takutnya kelihatan basi sama
mapokaler yang lain. disni gw sertakan juga dua buah foto hasil jepretan gw...

Dengan mempergelarkan beberapa kesenian klasik dari berbagai daerah di tanah


Sunda, pergantian tahun Sunda 1935-1936 saka ini dirayakan oleh berbagai
kalangan masyarakat Cigugur, Kuningan, dan juga kalangan lainnya.
“Ngarayakeun kaagungan nu Maha Agung” upacara yang merayakan kebesaran
Tuhan atas kebaikanNya lewat hasil panen. Atmosfer ini memenuhi Cigugur.
Misa di Gereja Katholik Cigugur melalui ritualnya juga menghadirkan sebuah
ungkapan Syukur dalam bentuk perpaduan antara ke-lokal-annya dengan tata
ibadah agama yang diakui secara sah oleh pemerintah ini. Seren Taun telah ada
beratus-ratus tahun sebelum VOC menginjak tanah sunda dan membawa pengaruh
Katholik. Seren Taun 22 Raya Agung (nama bulan dalam penaggalan Sunda)
merupakan bentuk ekspresi syukur yang diyakini dalam bentuk Kepercayaan
“Agama Djawa Sunda” dan hal ini tercermin sampai kehidupan beragama di
Cigugur.

Juga terekspresikan melalui kesenian-kesenian tradisional dalam rangkain acara


Seren Taun. Salah satunya adalah Jentreng Tarawangsa. Dengan kombinasi antara
alat musik sejenis gitar “jentreng” yang hanya menggunakan dua buah kawat
sebagai senarnya dengan alunan kecapi yang berkawat tujuh menghasilkan irama
yang membawa penari badaya dalam keadaan trance. Kesenian ini berasal dari
daerah Rancakalang Kab. Sumedang.
Ada juga kesenian yang berasal dari Kanekes, Baduy yaitu kesenian
Ngareremokeun mengawinkan padi sebelum masa penanaman benih padi ke
permukaan bumi. Sebuah refleksi keseharian ritualisasi masyarakat agraris.
Melekat oleh atribut-atribut jati diri kebangsaan seperti: aksara, kala, dan sejarah.
Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh-tokoh budaya Sunda, kaum akademisi
sosial-budaya, wartawan media cetak dan elektronik, dan berbagai lembaga
pemerhati kebudayaan.

Kesemuanya menyoroti acara besar yang bersifat lokal ini dengan berbagai latar
belakang kepentingan. Upacara adat yang lokal ini muncul di tengah-tengah
situasi nasional (politik, sosial-kebudayaan, ekonomi) yang sedang bergejolak.
Suasana hangat otonomi daerah merasuk dan membuka kesadaran akan otonomi
kepercayaan dan keyakinan, serta otonomi cara hidup yang diinginkan.

Dengan melihat keterkaitan fenomena gejala sosial ini (Upacara Seren Taun)
dengan berbagai situasi luar yang menyertainya maka lokalnya acara ini tidaklah
terlalu lokal. Keterhubungan berbagai pihak mulai dari pemerintah, keamanan,
pers, pemerhati kebudayaan, kaum akademisi, dan sampai masyarakat setempat
(mulai dari strata paling tinggi sampai terendah) yang sedang berekspresi ini
memperlihatkan cakupan definisi Upacara Seren Taun yang lebih luas. Lebih dari
sekedar kebangsaan dan spritualitas, acara ini memerlukan pengakuan akan
eksistensi kebudayaanya lewat berbagai akses ke ‘dunia luar’.

Tanpa terlepas dari hal ini Cigugur tetap merupakan sebuah kesatuan komuniti
yang hidup di sawah-sawah. Sesosok desa yang ada di punggungan gunung
Ceremai, kesejukan udaranya dan kabut tipis yang menyelimuti malam kala bulan
bersinar terang menyelimuti kalbu dengan ketenangan. Dengan masyarakat yang
sedang membuka diri, membiarkan jati dirinya “dipotret” pada satu waktu dalam
sejarah panjangnya bersama ‘orang luar’.
http://mapalaui.info/pm/comments.php?id=A74_0_1_0_C
CORAK DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
S. Budhisantoso
Universitas Indonesia
Banyak orang bicara tentang kebudayaan, akan tetapi pengertian yang dipakai
oleh setiap pembicara belum tentu sama. Sementara orang menggunakan istilah
kebudayaan untuk menyatakan hasil karya manusia yang indah-indah atau dengan
lain perkataan terbatas pada kesenian. Dilain pihak orang menggunakan istilah
kebudayaan untuk menyatakan ciri-ciri yang nampak pada sekelompok anggota
masyarakat tertentu sehingga dapat dipergunakan untuk membedakan dengan
kelompok masyarakat yang lain. Ada pula yang menggunakan istilah kebudayaan
untuk menyatakan tingkat kemajuan teknologi yang didukung oleh tradisi
tertentu untuk membedakan kebudayaan yang belum banyak menggunakan
peralatan mesin dan teknologinya masih terbelakang. Timbul pertanyaan apakah
sesungguhnya yang dimaksud dengan kebudayaan apabila orang membicarakan
tentang kebudayaan Indonesia, tentang nilai-nilai budaya yang perlu "diwariskan",
ataupun tentang kebudayaan yang merupakan daya tarik utama guna
meningkatkan devisa pariwisata
Satu hal yang pasti, kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya
mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf
kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-
sumber alam yang ada disekitarnya. Kebudayaan boleh dikatakan sebagai
perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi
dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Manusia
menyumbangkan peralatan dan cara-cara pengendaliannya untuk menyambung
keterbatasan jasmaninya. Dengan demikian kehidupan manusia dipermudah
dengan kebudayaan yang mereka kembangkan. Akan tetapi kebudayaan yang
mula-mula mereka kembangkan itu pada gilirannya akan menciptakan lingkungan
baru dengan segala tantangannya. Akhirnya manusia mengembangkan
kebudayaan bukan semata-mata terdorong oleh karena tantangan dan kebutuhan
yang timbul dari lingkungannya, tetapi juga harus menanggapi tantangan dari
lingkungan buatan yang bersifat kultural. Tidaklah mengherankan apabila di dunia
ini berkembang beranekaragam kebudayaan, walaupun pada dasarnya
beragamnya kebudayaan itu berkembang sebagai hasil upaya manusia dalam
mempermudah usahanya untuk memenuhi kebutuhan pokok (biologis) yang
bersifat universal. Akan tetapi pemenuhan kebutuhanpokok itu sendiri
menimbulkan berbagai kebutuhan sampingan (denved needs) yang jauh lebih
banyak ragamnya. Karena lingkungan buatan memerlukan perlunya organisasi
tertentu maupun teknologi yang perlu dikembangkan di lingkungan setempat.
Keadaan seperti itu tidaklah berarti bahwa di dunia ini ada kebudayaan yang statis
seperti apa yang orang sangkakan terhadap kebudayaan orang Asia, kecuali orang
Jepang. Lambat atau cepat, kebudayaan Asia, akan berkembang baik melalui
penemuan-penemuan teknologi setempat (local discoveries dan inventions)
maupun lewat difusi kebudayaan. Lebih-lebih setelah teknologi di bidang
perhubungan maju dengan pesatnya, tukar menukar dan persebaran unsur-unsur
kebudayaan semakin pesat. Apa yang hendak ditekankan pada uraian ini ialah
bahwa setiap kelompok sosial atau masyarakat manusia mengembangkan
kebudayaan sebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang timbul pada individu
anggota masyarakat baik sebagai mahluk biologis maupun mahluk budaya.
Tanggapan yang berwujud kebudayaan itu merupakan upaya yang untuk
sementara paling cocok untuk dilaksanakan, sehingga tidak ada alasan yang
menyatakan suatu kebudayaan lebih rendah atau primitif dari pada kebudayaan
yang lain, kecuali kalau kita bicara soal teknologi. Dalam kebudayaan yang maju,
kemajuan teknologinya seringkali tidak diimbangi dengan organisasi sosial atau
khususnya pengendalian sosial yang lebih baik daripada apa yang terdapat dalam
kebudayaan yang teknologinya masih terbelakang.
Faktor lain yang perlu diingat ialah bahwa walaupun setiap masyarakat
mengembangkan kebudayaan sebagai perwujudan upaya menanggapi kebutuhan
hidup sesuai dengan tantangan lingkungan serta keterbatasan kemampuan masing-
masing, di dunia ini tidak ada kebudayaan yang asli dalam arti belum terkena
pengaruh dari luar. Lebih-lebih setelah kemajuan teknologi pendukung seperti
teknologi komunikasi dan perhubungan semakin tumbuh dengan pesatnya. Tukar-
menukar dan penyebaran kebudayaan lewat kekerasan seperti perang dan
penindasan atas bangsa-bangsa lain bukan hal yang luar biasa. Barangkali, seperti
apa yang dikatakan Ralph Linton (1936), sarjana Antropologi kenamaan, kalau
ada bangsa yang ingin menghitung keaslian unsur kebudayaan paling banyak ia
akan menemukan 15 persen bagian kebudayaan yang masih asli, selebihnya
adalah hasil pengembangan dan perpaduan unsur-unsur kebudayaan asing dalam
suatu kebudayaan yang secara langsung merubah kebudayaan sebagai kerangka
acuan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Masing-masing
masyarakat akan menanggapi, menerima, mengolah dan menyerap unsur-unsur
kebudayaan asing dalam kerangka acuan yang menguasai mereka selama ini.
Kalau demikian, fungsi kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakat
pendukungnya itu merupakan alat penyambung non jasmaniah yang
mempermudah upaya manusia memenuhi kebutuhan pokok maupun dalam
usahanya memahami lingkungan dimana mereka merupakan bagiannya. Tidaklah
mengherankan pula kalau suatu masyarakat pendukung suatu kebudayaan tertentu
dapat menyatakan diri mereka berbeda dengan kelompok sosial lainnya, oleh
karena mereka dilahirkan dan dibesarkan serta dibiasakan dengan kerangka acuan
yang berbeda. Oleh karena itu pula kebudayaan dapat dipergunakan sebagai ciri
yang membedakan suatu kelompok sosial tertentu terhadap kelompok sosial
pendukung kebudayaan yang lain
Dalam kaitannya dengan masyarakat bangsa Indonesia yang terdiri atas beratus-
ratus suku bangsa, maka kebudayaan yang berkembang di Indonesia pun beraneka
ragam sebagaimana tercermin dalam ungkapan "Bhinneka Tunggal Ika". Masing-
masing suku bangsa mengembangkan kerangka acuan yang dapat dipergunakan
sebagai ciri pengenal yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang
lainnya. Kerangka acuan itu terwujud dan tercermin dalam tujuh unsur
kebudayaan yang universal. Adapun unsur-unsur kebudayaan yang universal itu
ialah: bahasa, organisasi sosial, ekonomi, pengetahuan, teknologi kesenian dan
religi. Betapapun kehidupan suatu kelompok manusia, pasti ia mengembangkan
bahasa sebagai sistem lambang. Untuk mempermudah sesama anggota
menyampaikan pengalaman, pemikiran dan perasaan. Karena kemampuan
manusia mengembangkan lambang-lambang yang penuh makna itulah maka ia
dapat menempatkan diri sebagai mahluk yang tertinggi derajatnya.Unsur yang lain
ialah sistem organisasi kemasyarakatan
Unsur kebudayaan lainnya ialah sistem religi yang memberikan pedoman pada
anggota masyarakat dalam memahami lingkungan semesta dan hubungannya
dengan kekuatan gaib. Sistem pengetahuan ini sangat penting artinya sebagai
pedoman dalam menanggapi tantangan yang timbul dan harus dihadapi dalam
proses penyesuaian masyarakat terhadap lingkungannya dalam arti luas. Sistem
teknologi yang memberikan pedoman anggota masyarakat dalam usahanya
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan cara memanfaatkannya demi
kesejahteraan bersama, merupakan unsur universal yang lain. Sedang sistem
kesenian merupakan unsur kebudayaan yang memberikan pedoman bagi anggota
masyarakat yang bersangkutan untuk menyatakan rasa keindahan yang dapat
dinikmati secara bersama. Betapapun wujud kebudayaan yang beraneka ragam
yang dikembangkan oleh suku-suku bangsa di Indonesia ketujuh unsur
kebudayaan tersebut selalu terkandung di dalamnya
Kebudayaan Suku Bangsa
Indonesia yang majemuk ini sangat kaya dengan kebudayaan. Bahkan kebudayaan
yang beraneka ragam itu merupakan modal utama yang dapat dipasarkan lewat
pariwisata untuk meningkatkan penghasilan devisa. Namun demikian tidaklah
banyak orang yang mampu menjelaskan dengan jelas dan baik dimana
kebhinekaan serta ketunggalan kebudayaan Indonesia yang tersebar dari Sabang
sampai Merauke
Sesungguhnya apa yang dibanggakan oleh kebanyakan orang bahwa masyarakat
bangsa Indonesia mempunyai aneka ragam kebudayaan yang berkembang di
kepulauan Nusantara, memang tidak jauh dari kebenaran. Masyarakat bangsa
Indonesia yang terdiri dari suku-suku bangsa yang besar maupun yang kecil itu
masing-masing mengembangkan kebudayaan sebagai perwujudan berbangsa aktif
mereka terhadap lingkungan pendukungnya masing-masing. Demikian aneka
ragam kebudayaan yang berkembang di kepulauan Nusantara itu dihayati sebagai
kerangka acuan dalam bersikap dan menentukan tindakan, serta sebagai ciri
pengenal yang membedakan diri dari kelompok suku bangsa yang lain
sebagaimana tercermin dalam hasil sensus yang pertama dan yang terakhir yang
memuat tentang suku bangsa penduduk di Indonesia, yaitu sensus yang
diselenggarakan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1930.

Di dalam Lepas dari kebenaran ataupun tingkat konsistensinya penggunaan


ukuran dalam mengkategorikan penduduk di Indonesia ke dalam suku bangsa-
suku bangsa sebagaimana tercermin dalam sensus 1930, kesadaran akan adanya
perbedaan kebudayaan diantara penduduk di kepulauan Nusantara ternyata cukup
tebal. Setidak-tidaknya mereka menyadari akan adanya perbedaan bahasa suku
bangsa maupun beberapa adat istiadat yang menjadi kerangka acuan dalam
kegiatan sosial mereka sehari-hari. Adanya aneka ragam kebudayaan yang
didukung oleh suku bangsa-suku bangsa menyederhanakan beratus-ratus
kelompok pendukung kebudayaan yang berbeda itu, ia membaginya ke dalam
enam wilayah persebaran, tidak termasuk Irian Jaya.
Sementara Clifford. Geertz (1963), mencoba menyederhanakan aneka ragam
kebudayaan yang berkembang di Indonesia ke dalam dua tipe yang berbeda
berdasarkan ekosistemnya, yaitu kebudayaan yang berkembang di "Indonesia
dalam" (Jawa, Bali) dan kebudayaan yang berkembang di "Indonesia luar", yaitu
di luar Pulau Jawa dan Bali. Kebudayaan yang berkembang di "Indonesia dalam"
itu ditandai oleh tingginya intensitas pengolahan tanah secara teratur dan telah
menggunakan sistem pengairan dan menghasilkan pangan padi yang ditanam di
sawah. Dengan demikian, kebudayaan di Jawa yang menggunakan tenaga kerja
manusia dalam jumlah besar disertai peralatan yang relatif lebih kompleks itu
merupakan perwujudan upaya manusia yang secara lebih berani merubah
ekosistemnya untuk kepentingan masyarakat yang bersangkutan. Sementara itu
kebudayaan di luar Jawa, kecuali di sekitar Danau Toba, dataran tinggi Sumatera
Barat dan Sulawesi Barat Daya, berkembang atas dasar pertanian perladangan
yang ditandai dengan jarangnya penduduk yang pada umumnya baru beranjak dari
kebiasaan hidup berburu ke arah hidup bertani. Oleh karena itu mereka cenderung
untuk menyesuaikan diri mereka dengan ekosistem yang ada, demi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan berimigrasi,
kebudayaan pantai yang diwarnai kebudayaan alam, dan kebudayaan masyarakat
peladang serta pemburu yang masih sering berpindah tempat. Adapun yang
dimaksud dengan kebudayaan masyarakat petani berpengairan adalah seperti yang
berkembang di PulauJawadan Bali. Sama halnya dengan apa yang dikemukakan
oleh Clifford Geertz, kebudayaan tersebut berkembang atas dasar pertanian yang
sifatnya padat karya di daerah yang paling padat penduduknya. Hildred Geertz
menambahkan bahwa kebudayaan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hinduisme,
dimana masyarakatnya sangat kuat orientasinya pada status disamping
mengembangkan kesenian yang sangat tinggi, terutama di pusat-pusat kekuasaan
(keraton) yang sekaligus merupakan pusat peradaban pada masa itu. Selanjutnya,
kebudayaan di Pulau Jawa mulai mengalami pergeseran terutama sejak masuknya
pengaruh kebudayaan Islam dan penjajah Belanda.
Kategori kebudayaan di pantai ditandai dengan pengaruh Islam yang kuat serta
kegiatan dagang yang menonjol. Kebudayaan tersebut tersebar sepanjang pantai
Sumatera dan Kalimantan yang didukung oleh orang-orang Melayu, dan orang-
orang Makasar dari Sulawesi Selatan. Oleh karena kegiatan mereka berdagang,
mereka menduduki pusat-pusat perdagangan sepanjang pantai dan bersama-sama
dengan pedagang yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Mereka
mengembangkan kebudayaan yang berorientasi pada perdagangan dan sangat
mengutamakan pendidikan agama dan hukum, serta mengembangkan bentuk tari,
musik dan kesusastraan sebagai unsur pemersatu utamanya. Beberapa pusat
perdagangan diluar pulau Jawa berkembang menjadi pusat-pusat kekuasaan
dengan sistem pemerintahan yang relatif modern dan ditunjang oleh
meningkatnya kemajemukan penduduk yang berasal dari berbagai suku bangsa
maupun mereka yang mempunyai lapangan keahlian yang mengkhusus. Bentuk
kebudayaan kategori ke tiga mencakup aneka ragam kebudayaan yang tidak
termasuk ke dalam dua kategori terdahulu. Kategori ke tiga itu meliputi
kebudayaan orang Toraja di Sulawesi Selatan, orang Dayak di pedalaman
Kalimantan, orang Halmahera, suku-suku di pedalaman Seram, di kepulauan Nusa
Tenggara, orang Gayo di Aceh, orang Rejang di Bengkulu dan Lampung di
Sumatera Selatan. Pada umumnya kebudayaan mereka itu berkembang di atas
sistem pencaharian perladangan ataupun penanam padi ladang, sagu, jagung
maupun akar-akaran. Dengan demikian kategori tersebut, sesuai dengan apa yang
oleh Clifford Geertz dapat digolongkan sebagai kebudayaan tipe "Indonesia luar"
yang merupakan perwujudan kecerdikan masyarakat menyesuaikan diri dengan
ekosistemnya. Penduduk di daerah tersebut menduduki tempat yang kurang
menguntungkan dalam kontak-kontak kebudayaan dan sejarah perkembangan
kebudayaan apabila dibandingkan dengan penduduk di "Indonesia dalam".
Sementara itu ikatan kekerabatan masih kuat apabila dibandingkan dengan ikatan
wilayah ataupun ikatan politik yang feodal. Namun demikian, dikatakan oleh
Hildred Geertz, bahwa intensifikasi sistem administratif pemerintah mulai
mengendorkan kesatuan sosial yang berlandaskan ikatan kekerabatan. Keluarga
luas yang biasanya memiliki tanah pusaka, benda-benda upacara yang disucikan
maupun gelar-gelar kedudukan sosial sebagai kestuan sosial yang terpenting mulai
hancur.
Apabila para ahli yang disebutkan terdahulu lebih banyak menyoroti keaneka
ragaman kebudayaan di Indonesia, maka tidaklah demikian halnya dengan J.B.P
de Josselin de Jong yang besar minatnya terhadap ketunggalan kebudayaan
Indonesia. Lepas dari setuju atau tidak dengan cara dan kesimpulan yang ditarik,
Josselin de Jong (1935) sampai pada perumusan sociale struktuur yang menjadi
prinsip kebudayaan kuno yang tersebar di kepulauan Nusantara. Pada hakekatnya,
menurut Josselin de Jong, kebudayaan yang tersebar di Indonesia itu mempunyai
landasan antara lain:
Bahwa pada masa lampau masyarakat Indonesia itu terdiri dari beberapa
persekutuan yang berlandaskan ikatan kekerabatan yang menganut garis
keturunan secara unilineal, baik melalui keibuan maupun kebapakan
Diantara persekutuan kekerabatan itu terjalin hubungan kawin secara tetap,
sehingga terjelma tata hubungan yang mendudukkan kelompok kerabat pemberi
pengantin wanita lebih tinggi daripada kedudukan kelompok kerabat yang
menerima pengantin wanita.
Seluruh kelompok kekerabatan yang ada biasanya terbagi dalam dua puluh
masyarakat yang dikenal dengan istilah antropologis "Moiety" yang satu sama
lain ada dalam hubungan saling bermusuhan maupun dalam berkawan, sehingga
nampaknya persaingan yang diatur oleh adat.
Keanggotaan setiap individu, karenanya bersifat ganda dalam arti bahwa setiap
orang bukan hanya menjadi anggota kelompok kerabat yang unilineal, melainkan
juga anggota kesatuan paruh masyarakat atau moiety.
Pembagian masyarakat dalam dua paruh masyarakat itu mempengaruhi pengertian
masyarakat terhadap isi semesta ke dalam dua kelompok yang seolah-olah saling
mengisi dalam arti serba dua yang dipertentangkan dan sebaliknya juga saling
diperlukan adanya.
Akibatnya juga tercermin dalam sistem penilaian dalam masyarakat yang
bersangkutan. Ada pihak yang baik dan sebaliknya adapula pihak yang jahat atau
busuk.
Seluruh susunan kemasyarakatan itu erat dihubungkan dengan sistem kepercayaan
masyarakat yang bersangkutan, terutama yang berkaitan dengan kompleks
totemisme yang didominasi denganu pacara-upacara keagamaan dalam bentuk
rangkaian upacara inisiasi dan diperkuatdengan dongeng- dongeng suci baik yang
berupa kesusastraan ataupun tradisi lisan.
Sifat serba dua juga tercermin dalam tata susunan dewa-dewa yangmenjadi pujaan
masyarakat yang bersangkutan. Walaupun dikenalIebih dari dua dewa, mereka
menggolongkan ke dalam dua golongandewa yang baik dan dewa yang buruk.
Dewa yang tergolong burukatau busuk biasanya mempunyai sifat ganda, sebab
disatu pihak iadigambarkan sebagai anggota masyarakat Dewa yang mewakili
golongan atas dan yang dipuja.
Tata susunan masyarakat Dewa itu ternyata mempengaruhi tata susunan
kepemimpinan masyarakat dalam kehidupan politik yang seringkali merupakan
pencerminan tentang kepercayaan yang berpangkal pada kehidupan dewata
Mengingat kenyataan kebudayaan yang berkembang di Indonesia kini beraneka
ragam, walaupun pada dasarnya mempunyai asal usul yang berstruktur sosial
sama, maka Josselin de Jong sampai pada pendapat bahwa kepulauan Melayu
(baca Nusantara) ini merupakan "Enthnologisch-Studieveldt" yang ideal untuk
melakukan studi perbandingan kebudayaan
Sesungguhnya disamping struktur sosial yang dianggap seragam itu,
ternyatabahwa kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di Indonesia itu mempunyai
keseragaman dalam bahasa. Walaupun pada lahirnya di Indonesia ini berkembang
lebih dari dua ratus lima puluh bahasa yang berbeda, namun mereka itu masih
serumpun, yaitu rumpun bahasa Malayo Polinesia, disamping rumpun bahasa
Halmahera Utara dan rumpun bahasa Papua Melanesian yang tersebar di Irian
Jaya maupun pulau-pulau di sekitarnya
Sementara itu rumpun bahasa Malayo-Polinesia yang berkemhang di kepulauan
Nusantara, dapat diperinci ke dalam sekurang-kurangnya 16 kelompok bahasa,
sesuai dengan daerah persebarannya (lihat peta bahasa Malayo Polinesia).
Sementara itu B.Z.N. Ter Haar dalam bukunya yang berjudul Beginselen en
Stelsel Van Het Adatrecht (1946) menyederhanakan lingkungan kebudayaan di
Indonesia ke dalam 19 rechtsringen yang sesungguhnya dapat diperinci lebih
lanjut. Sesungguhnya apa yang disebut sebagai lingkungan hukum adat itu tidak
berbeda dengan pengertian lingkungan kebudayaan yang pernah dikembangkan di
Amerika Serikat, yaitu kesatuan lingkungan kebudayaan yang lebih luas ke dalam
blok-blok buatan atas dasar persamaan organisasi kemasyarakatan dan khususnya
dalam sistem hukum adat yang juga sejajar dengan daerah persebaran bahasa.
Sudah barang tentu sebagaimana halnya pembagian wilayah kebudayaan ke dalam
lingkungan-lingkungan kebudayaan secara dibuat-buat itu mengadung banyak
kelemahan dan dalam hal ini justru lingkungan hukum adatlah yang seolah-olah
hanya mengutamakan apa yang seharusnya (ideal) dan mengabaikan kenyataan
sosial yang berlaku sehari-hari.
Kebudayaan Daerah atau Lokal
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu kebudayaan cenderung untuk
berkembang sesuai dengan kebutuhan serta perkembangan masyarakat
pendukungnya. Di kota-kota besar ataupun dilain daerah dimana pergaulan antar
suku berlansung, diperlukan sistem referensi atau kebudayaan yang memadai.
Bukan tidak mungkin disamping kebudayaan-kebudayaan suku bangsa yang
bersangkutan berkembang, juga berkembang kebudayaan baru yang dapat
dipergunakan sebagai referensi dalam tindakan sosial masing-masing anggota
masyarakat suku bangsa yang terlibat. Barangkali ada benarnya apa yang
dikatakan Selo Sumardjan bahwa kebudayaan suku bangsa di kota-kota besar
tidak dapat berkembang lagi karena terdesak oleh kebudayaan pasar atau daerah
yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Sementara orang Betawi berusaha
melestarikan kebudayaan mereka dengan pembentukan Lembaga Kebudayaan
Betawi, sebagian orang Betawi berusaha memperluas kebudayaan suku bangsa
Betawi menjadi kebudayaan daerah (khusus Ibukota) Jakarta yang akan didukung
oleh anggota masyarakat yang lebih luas, yang mempunyai latar belakang
kebudayaan yang beraneka ragam. Kemungkinan berkembangnya kebudayaan-
kebudayaan pasar atau daerah itu bukan tidak ada, lebih-lebih kalau kita lihat
kebudayaan orang Betawi yang menurut sejarahnya merupakan hasil
pencampuran banyak kebudayaan yang dibawa oleh pendukung- pendukungnya
yang kemudian menetap di Batavia pada masa lampau.
Kebudayaan Nasional
Proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia sebagai pernyataan politik,
ternyata menimbulkan dampak sosial budaya yang amat besar artinya dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang tersebar di kepulauan Nusantara hidup
dalam kelompok-kelompok perkauman, kesukuan, kebahasaan, keagamaan dan
ras yang masing-masing berdiri sendiri, maka dengan proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, mereka meleburkan diri dan membentuk satu kelompok sosial yang
lebih besar, yaitu masyarakat bangsa.
Walaupun cita-cita kemerdekaan dan tekad bersatu untuk membentuk satu bangsa
yang merdeka dan bebas dari segala bentuk penindasan sudah diikrarkan dalam
Sumpah Pemuda pada tahun 1928, namun pelaksanaannya tidak sesederhana
bunyi sumpah pemuda itu sendiri. Dalam kenyataan Proklamasi Kemerdekaan
yang telah berhasil mempersatukan segenap penduduk di kepulauan Nusantara
dengan mewujudkan masyarakat majemuk dengan latar bilakang kebudayaan
yang beraneka ragam. Untuk mempersatukan masyarakat sedemikian itu
diperlukan adanya kesepakatan dan pengembangan suatu sistem ideologi yang
mengikat seluruh rakyat Indonesia dalam bentuk cita-cita dan nilai budaya
tertentu (safa, 1965)
Pada awal perkembangannya, masyarakat Indonesia yang telah berhasil
menumbangkan dominasi kolonial dan menggantikannya dengan sistem politik
yang mewakili rakyat yang dikukuhkan dengan ideologi baru yaitu Pancasila.
Akan tetapi dalam membina persatuan dan kesatuan bangsa, timbul berbagai
kebutuhan yang antara lain adalah kebutuhan akan organisasi yang tidak hanya
mengikat kelompok-kelompok sosial budaya yang berbeda, melainkan juga harus
dapat mematahkan ikatan-ikatan kelompok kecil-kecil yang ada sehingga benar-
benar terlibat langsung dalam pengendalian sistem politik yang lebih luas (Adam,
1946:6). Kenyataan ini seringkali dilupakan orang dalam upaya mengukuhkan
persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya di negara yang kebetulan
masyarakatnya majemuk seperti Indonesia. Kurangnya perhatian terhadap
kemajemukan masyarakat upaya pembangunan bangsa itu seringkali
menimbulkan kesenjangan perkembangan (asymmetry of development) yang
justru menghambat tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa (G.M. Smith,
1960).
Kenyataan tersebut dapat dipahami karena seringkali masyarakat yang
bersangkutan dihadapkan pada pilihan dalam melaksanakan pembangunan bangsa
yang baru lahir. Pada umumnya masyarakat yang baru merdeka mendahulukan
pembangunan dalam bidang politik untuk memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa dan harus menghadapi sisa-sisa kekuasaan "asing". Dalam kaitan ini orang
lebih mengutamakan perhatiannya pada usaha meningkatkan peran masyarakat
dalam kehidupan politik, serta mengembangkan fungsi dan pelayanan pemerintah
Sementara itu ada pula negara yang lebih mengutamakan pengembangan sektor
perekonomian yang dianggap sebagai sarana yang akan dapat memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa yang sedang berkembang. Oleh karena itu mereka
lebih mengutamakan pengembangan sistem mata uang dan perbankan,
pengembangan perdagangan, pengangkutan dan perhubungan pendukung
pengembangan bangsa.
Sedemikian jauh perhatian terhadap perkembangan perangkat nilai atau ethos
budaya bangsa yang dapat mengikat dan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa seringkali ditunda kalau tidak dilupakan sama sekali. Dalam masyarakat
majemuk seperti Indonesia, proses pembangunan bangsa atau integrasi nasional
justru menuntut perubahan, pergeseran, dan penyesuaian nilai-nilai budaya.
Perkembangan yang terjadi dalam perkembangan sosial budaya di Indonesia itu
oleh C. Geertz disebut sebagai revolusi integratif itu mengandung arti bahwa
ikatan kelompok primordial yang dilandasi oleh hubungan kerabat, keagamaan,
dan kebahasaan meluas ke arah kelompok yang lebih besar dalam masyarakat
bangsa. Dengan demikian maka keberhasilan pembangunan bangsa atau integrasi
nasional dalam masyarakat majemuk seringkali diartikan sebagai pergeseran
ikatan primordial yang tradisional dan bersifat lokal ke arah identitas nasional
yang baru (Deutch, 1961). Anggapan itu tercermin dalam berbagai ungkapan dan
pernyataan yang timbul dalam masyarakat yang mengkhawatirkan pelestarian dan
perkembangan kebudayaan daerah dalam proses pengembangan kebudayaan
nasional sebagai kerangka acuan baru yang; berlaku secara nasional.
Arah Perkembangan
Sesungguhnya dalam rangka pembangunan bangsa di Indonesia nampaknya para
pendiri negara sejak awal mula telah menyadari akan arti pentingnya
pengembangan kerangka nilai atau ethos budaya yang dapat mempersatukan
masyarakat Indonesia yang majemuk. Kesadaran itu dituangkan dalam UUD
1945, pasal 32 yang berbunyi:
"Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia".
Sesungguhnya dengan ataupun tanpa keikutsertaan pemerintah, kebudayaan suatu
bangsa itu akan tetap berkembang dengan sendirinya. Penemuan-penemuan dan
perekaan setempat yang dirangsang oleh berbagai macam kebutuhan yang timbul
sebagai akibat perkembangan masyarakat, kemajuan teknologi, serta perubahan
lingkungan akan menimbulkan berbagai pembaharuan di segala bidang.
Pembaharuan itu akhirnya akan memperkembangkan kebudayaan masyarakat
yang bersangkutan. Dalam proses perkembangan kebudayaan itu tidak terkecuali
adanya kemungkinan penyerapan unsur kebudayaan asing yang bersifat
merangsang maupun melengkapi serta mempercepat proses perkembangan
kebudayaan yang bersangkutan. Akan tetapi jumlah orang yang mampu berpikir
secara cemerlang dalam mengembangkan penemuan atau perekaan yang dapat
diterima dan dilembagakan dalam kehidupan masyarakat sangat terbatas. Oleh
karena itu cepat atau lambatnya perkembangan suatu kebudayaan. lebih banyak
dipacu oleh kontak-kontak kebudayaan. Melalui kontak-kontak kebudayaan itulah
akan terbawa serta pemikiran, pola-pola tingkah laku, serta teknologi yang sesuai
dengan tingkat kebutuhan serta minat masyarakat yang bersangkutan. Atas dasar
kenyataan tersebut, tidaklah mengherankan kalau di kepulauan Nusantara yang
amat luas ini terbentang di sepanjang khatulistiwa itu berkembang aneka ragam
kebudayaan daerah sebagai perwujudan kemampuan masyarakat menanggapi dan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara aktif. Aneka ragam kebudayaan
yang berkembang di daerah-daerah Indonesia itu mencerminkan keberagaman
pengaruh kebudayaan asing serta besar kecilnya kontak-kontak kebudayaan yang
melanda. Karena itu kebudayaan daerah berkembang dengan pesat dan mencapai
tingkat peradaban. Sebaliknya, ada pula kebudayaan-kebudayaan yang kurang
beruntung dan lambat perkembangannya. Bahkan ada kebudayaan-kebudayaan
daerah yang seolah-olah mandeg dan masih bertumpu pada peralatan teknologi
zaman batu. Keberagaman kebudayaan daerah secara vertikal maupun horizontal
sedemikian itulah yang nampaknya melandasi tersusunnya pasal 32 UUD 1945
yang mengamanatkan perkembangan kebudayaan nasional Indonesia, disamping
kebutuhan akan perangkat pemikiran yang dapat memperkokoh persatuan dan
kesatuan Bangsa.
Sebagai suatu bangsa yang baru lahir, sesungguhnya masyarakat Indonesia belum
mempunyai kebudayaan nasional yang berlaku secara umumdan menjadi
kerangka acuan bagi segenap penduduk melintasi lingkungansosial budaya yang
beragam. Sungguhpun sejak Kebangkitan Nasional diawal abad 20 dan Sumpah
Pemuda pada tahun 1928 bangsa Indonesia telahmempunyai cita-cita untuk
bersatu membentuk masyarakat bangsa yang merdeka. Apa yang dimiliki bangsa
Indonesia diawal kemerdekaan ialah kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang
tersebar di kepulauan nusantara.
Persatuan dan kesatuan bangsa yang terwujud dari sejumlah suku bangsa yang
semula merupakan masyarakat yang berdiri sendiri dan mendukung kebudayaan
yang beraneka ragam itu perlu diperkokoh dengan kerangka acuan yang bersifat
nasional, yaitu kebudayaan nasional. Suatu kebudayaan yang mampu memberi
makna bagi kehidupan berbangsa dan berkepribadian, akan dapat dibanggakan
sebagai identitas nasional. Akan tetapi dalam masyarakat majemuk dengan
keragaman latar belakang kebudayaan seperti yang terjadi di Indonesia tidaklah
mudah untuk mengembangkan suatu kebudayaan nasional hanya dengan
mengandalkan pada kemampuan dan kemapanan masyarakat semata-mata. Oleh
karena itu kebudayaan nasional yang hendak dikembangkan itu telah ditetapkan
landasan dan arah tujuannya yang dituangkan dalam penjelasan pasal 32 UUD 45
yang berbunyi.
"Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia
seluruhnya. Kebudayaan- kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha
kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia".
Berdasarkan penjelasan tersebut, nyatalah bahwa perkembangan kebudayaan
bangsa yang hendak dimajukan itu tidak mungkindibiarkan terselenggara tanpa
ketentuan arah serta tanpa memperhatikan keberagaman masyarakat dengan
segala kebutuhan yang timbul dalam proses perkembangan masyarakat bangsa.
Penjelasan pasal 32 memberikan empat ketentuan arah dan tujuan pengembangan
kebudayaan nasional Indonesia. Pertama kebudayaan nasional yang hendak
dikembangkan itu harus benarbenar merupakan perwujudan hasil upaya dan
tanggapan aktif masyarakat Indonesia dalam proses adaptasi terhadap
lingkungannya dalam arti luas. Kedua, kebudayaan nasional itu merupakan
perpaduan puncak-puncak kebudayaan daerah, sehingga mewujudkan konfigurasi
budaya bangsa. Ketiga, pengembangan kebudayaan nasional itu harus menuju ke
arah kemajuan adab yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Keempat, tidak menutup kemungkinan untuk menyerap unsur-unsur kebudayaan
asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya kebudayaan nasional, serta
mempertinggi kemanusiaan bangsa indonesia.
Ketentuan pertama menunjukkan betapa dalam pengembangan kebudayaan
nasional harus diperhatikan oleh masyarakat pendukungnya yang mempunyai
latar belakang aneka ragam kebudayaan daerah. Yang dihayati sebagai kerangka
acuan menjadi penting bukan hanya bagi para pendukungnya melainkan juga
sebagai sumber landasan pengembangan kebudayaan nasional dengan pendukung
yang sama. Karena fungsi ganda tersebut, maka pelestarian kebudayaan daerah
tidak dapat diabaikan. Usaha pengembangan kebudayaan nasional Indonesia
bersifat ganda. Pengembangan tersebut, bukan semata-mata diselenggarakan
untuk menggali puncak-puncak kebudayaan daerah untuk memperkaya dan
memberikan corak kepribadian kebudayaan nasional, tetapi juga melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan daerah. Dengan cara demikian kebudayaan nasional
tidak hanya akan kuat berakar pada kebudayaan lama dan asli melainkan juga
terjamin kelestariannya karena menjadi milik para pendukung kebudayaan daerah
yang merasa ikut mengembangkan dengan sumbangan unsur-unsur kebudayaan
daerah masing-masing.
Ketentuan kedua mengandung pengertian bahwa di dalam upaya memajukan
kebudayaan nasional Indonesia harus dapat mewujudkan konfigurasi budaya yang
merupakan perpaduan antar puncak-puncak kebudayaan di daerah. Konfigurasi
budaya itu amat penting artinya sebagai inti penggerak yang akan menjiwai,
memberi makna serta mengarahkan kehidupan berbangsa dan bernegara di
kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam masyarakat sedemikian itu
diperlukan suatu kerangka acuan yaitu kebudayaan yang dapat menjembatani
pergaulan antar suku dan golongan secara nasional. Namun demikian kebudayaan
"pasar" sebagaimana pernah berkembang dan berfungsi sebagai kerangka acuan
lintas suku bangsa dan daerah dimana sebelum kemerdekaan tidak cukup. Selain
keterbatasan arena sosial yang terliput (khususnya arena perniagaan) kebudayaan
"pasar" tersebut tidak mempunyai daya pengikat yang kuat untuk mempersatukan
mereka yang terlibat dalam pergaulan pasar dengan tujuan terbatas. Kerangka
acuan yang dapat bertahan dan dapat memperoleh dukungan aktif dari masyarakat
secara nasional ialah kebudayaan yang tidak hanya berfungsi dalam situasi dan
lokasi serta keterbatasan jangkauan sosial, melainkan kerangka acuan yang dapat
memberikan makna dan arah kehidupan berbangsa serta memberi kebanggaan
bagi para pendukungnya. Itulah sebabnya sejak awal mula, para pendiri negara
telah menyatakan perlunya pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia yang dapat memenuhi fungsi dan memperkokoh persatuan dan
kesatuan, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa. Untuk keperluan
tersebut, maka perlu dikembangkan konfigurasi budaya sebagai perpaduan
puncak-puncak kebudayaan daerah, sehingga mudah diterima, dikukuhkan dan
dihayati sebagai pengikat kesatuan bangsa.
Ketentuan lainnya ialah bahwa kebudayaan nasional Indonesia itu harus
dikembangkan menuju abad, budaya dan persatuan bangsa. Hal ini berarti bahwa
sekalipun kita harus memperhatikan keberadaan kebudayaan lama dan asli serta
puncak-puncak kebudayaan daerah, tidak berarti bahwa kebudayaan itu harus
mandeg dan mengabaikan tuntutan kemajuan teknologi, perubahan lingkungan,
serta perkembangan masyarakat Indonesia sendiri. Dalam penjelasan pasal 32
jelas dinyatakan betapa upaya itu harus ditujukan ke arah peradaban, tanpa
mengabaikan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu selain harus
memperhatikan puncak-puncak kebudayaan daerah, dalam pengembangan
kebudayaan nasional Indonesia tidak tertutup kemungkinan usaha pembaharuan
yang mengandalkan pada penemuan-penemuan serta perekaan setempat, maupun
melalui tukar-menukar dan pinjam meminjam unsur-unsur kebudayaan asing. Apa
yang perlu diperhatikan dalam upaya pembaruan itu ialah kepentingan nasional,
yang dalam kaitan itu perlu dipegang teguh wawasan Nusantara untuk
menghindarkan kesenjangan sosial yang dapat memperlemah persatuan dan
kesatuan bangsa yang mungkin timbul sebagai akibat kesenjangan pemahaman
dan penghayatan kebudayaan nasional di daerah-daerah. Hal itu berarti bahwa
dalam upaya memperkembangkan kebudayaan nasional yang sesuai dengan
perkembangan jaman perlu pula diperhatikan kenyataan adanya kesenjangan
perkembangan daerah yang masih berfungsi sebagai acuan lokal.
Sementara itu pengaruh kebudayaan asing tidak boleh diabaikan dalam upaya
pengembangan kebudayaan nasional. Kenyataan di dunia ini hampir tidak ada
suatu kebudayaan yang bebas dari pengaruh kebudayaan asing. Bahkan boleh
dikatakan kontak-kontak kebudayaan itu merupakan salah satu unsur pendukung
yang dapat mempercepat perkembangan suatu kebudayaan karena keterbatasan
penemuan dan perekaan setempat. Apa yang perlu diperhatikan adalah
kemampuan masyarakat untuk menyerap kebudayaan asing yang diperlukan dan
tidak bertentangan dengan nilai inti Pancasila. Kenyataan tersebut disadari
sepenuhnya oleh para pendiri negara Republik Indonesia sebagaimana tercermin
dalam penjelasan pasal 32 khususnya ketentuan yang keempat. Upaya
pengembangan kebudayaan nasional Indonesia tidak tertutup kemungkinan untuk
menyerap unsur-unsur kebudayaan asing yang dapat memperkaya dan
memperkembangkan kebudayaan bangsa. Dalam menyerap unsur-unsur
kebudayaan asing, perlu diperhatikan patokan-patokan untuk memilah- milah
unsur-unsur mana yang sepatutnya diambil alih, yaitu unsur-unsur yang dapat
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa.
perwujudan kebudayaan Nasional
Tanpa disadari kebudayaan nasional Indonesia telah berkembang sejalan dengan
dinamika masyarakat Indonesia dalam menanggapi tantangan zaman. Disamping
ideologi Pancasila sebagai landasan filsafat negara yang dikembangkan untuk
meruntuhkan sisa-sisa kekuatan kolonial, masyarakat Indonesia juga
mengembangkan sistem politik dan pemerintahan yang disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat yang majemuk. Berbagai peraturan yang menata kehidupan
sosial politik di Indonesia yang diterbitkan oleh pemerintah sejak maklumat No. X
1945, menunjukkan betapa dinamika dalam masyarakat majemuk itu menuntut
kemantapan organisasi sosial yang mantap dalam kebudayaan nasional. Demikian
pula sistem pemerintahan yang dikembangkan di Indonesia senantiasa mengalami
perkembangan untuk menampung persepsi dan aspirasi yang hidup dalam
masyarakat. Secara lambat akan tetapi pasti sistem pemerintahan dalam kerangka
organisasi sosial di Indonesia berkembang dan melembaga sebagai salah satu
unsur kebudayaan nasional
Disamping sistem politik dan pemerintahan, di Indonesia juga telah berkembang
sistem perekonomian nasional. Sekurang-kurangnya sistem mata uang sebagai alat
penukar dan satuan nilai yang memperlancar distribusi barang dan jasa, telah
berlaku secara nasional. Demikian pula sistem perbankan dan perdagangan yang
telah dapat dikendalikan melintasi batas-batas wilayah kesukuan dan kedaerahan.
Semuanya itu merupakan unsur kebudayaan nasional yang amat penting artinya
sebagai sarana pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. dan melembaga sebagai
salah satu unsur kebudayaan nasional Sementara itu bidang pertahanan dan
keamanan telah berkembang nilai-nilai dan pranata sosial yang menjadi pedoman
dan pegangan dalam mengatur ketertiban bermasyarakat dan bernegara, terutama
apabila dihadapkan pada ancaman yang datang dari luar. Sistem pertahanan dan
keamanan yang sejak awal perang kemerdekaan dikembangkan penduduk.
secara lokal dan spontan, secara lambat laun kini telah disempurnakan dalam
sistem pertahanan dan keamanan nasional. Berbagai pranata sosial dikembangkan
secara nasional untuk membina ketahanan nasional dalam sistem bela negara.
Demikian pula kesatuan-kesatuan perlawanan rakyat setempat ataupun kelompok-
kelompok sosial tertentu telah dikembangkan dalam keterpaduan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dengan Kepolisian dan ketiga angkatan bersenjatanya. Semuanya
itu merupakan perwujudan perkembangan kebudayaan nasional dibidang
pertahanan dan keamanan.
Di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan, perkembangan kebudayaan nasional
Indonesia tidak kalah pesat lajunya. Tanpa mengabaikan tradisi yang ada,
masyarakat Indonesia telah mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan
yang memangdiperlukan untuk meningkatkan derajat kemanusiaan bangsa sesuai
dengan amanat UUD 1945. Sesungguhnya pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional tidak dapat
mengabaikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat universal.
Oleh karena itu tidaklah mudah bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandiri, melainkan penerapannya yang
disesuaikan dengan nilai-nilai budaya norma-norma sosial dan pandangan hidup
yang Pancasilais. Sebagaimana diketahui perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di manapun sangat erat kaitannya dengan industrialisasi atau proses
produksi massal yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Akibat
sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam industrialisasi ialah
perkembangan masyarakat industri dengan perangkat nilai budayanya.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu tidak
mungkin tercapai tanpa pengembangan sistem pendidikan nasional yang
mendukungnya. Oleh karena itu pengembangan kebudayaan nasional senantiasa
dibarengi dengan pengembangan sistem pendidikan nasional.
Arti pentingnya pendidikan nasional di Indonesia bukan semata-mata sebagai
sarana pembinaan nalar yang menjadi dasar pengembangan ketrampilan dan
keahlian, melainkan juga sebagai sarana pembinaan kepribadian yang amat
diperlukan dalam pembangunan bangsa Disamping itu pengembangan sistem
pendidikan nasional dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional sangat
penting artinya sebagai sarana integrasi. Di sekolah generasi muda diperkenalkan
dengan lambang negara bendera pusaka dan lagu kebangsaaan sebagai sarana
persatuan dan kesatuan bangsa. Di sekolah pula generasi muda diperkenalkan
dengan wilayah negara Republik Indonesia dan kemajemukan masyarakat dan
keanekaragam kebudayaan Indonesia. Bahkan di sekolah pula generasi muda
sebagai penerus diajarkan Pancasila dan Wawasan Nusantara sebagai pandangan
hidup yang dilandasi kepribadian mereka.
Sistem pendidikan nasional tidak terbatas menata kegiatan pendidikan di sekolah,
melainkan lebih meluas mencakup pendidikan dalam lingkungan keluarga,
lingkungan kerja dan di lingkungan masyarakat luas. Karena itu pengembangan
sistem pendidikan nasional boleh dikatakan sebagai keberhasilan masyarakat dan
pemerintah mengembangkan sistem reproduksi sosial dalam sistem organisasi
sosial sebagai unsur kebudayaan nasional.
Sesungguhnya tanpa disadari masyarakat Indonesia telah berhasil
mengembangkan kesenian nasional walaupun perkembangan kesenian daerah atau
suku bangsa tertentu seringkali lebih menonjol. Beberapa bentuk kesenian daerah
yang merupakan puncak-puncak kebudayaan, telah diterima sebagai kebudayaan
nasional dan menjadi kebanggaan dan bahkan identitas di luar negeri. Di samping
itu berbagai bentuk kesenian yang menggunakan lambang-lambang yang sangat
komunikatif dengan mudah berkembang melintasi batas-batas lingkungan
kebudayaan daerah maupun suku bangsa. Seni sastra, seni lukis, seni musik dan
beberapa bentuk seni tari telah mewujudkan dan menyatakan perasaan keindahan
yang berlaku secara nasional. Berbagai ungkapan dan pernyataan keindahan
lainnya sedang berkembang dan mencari bentuknya yang dapat diterima secara
Nasional.
Perlu disadari bahwa ungkapan dan pernyataan rasa keindahan itu tidak bebas dari
pengaruh unsur-unsur kebudayaan lainnya. Karena itu keberadaan dan
kemandirian kebudayaan-kebudayaan daerah diakui oleh UUD 1945, maka
keberadaan dan perkembangan bentuk-bentuk kesenian daerah pun harus
diperhatikan. Dengan lain perkataan, walaupun kini telah berkembang bentuk-
bentuk kesenian nasional, kelestarian kesenian daerah perlu diperhatikan.
Dalam sistem religi, kebudayaan nasional Indonesia telah berhasil membina
semangat dan kebesaran jiwa masyarakat Indonesia yang berpedoman pada
prinsip ke Tuhanan Yang Maha Esa. Jiwa dan semangat ke Tuhanan Yang Maha
Esa itu tercermin dalam sikap dan pola tingkah laku yang berkembang dalam
masyarakat yang memuliakan kebesaran Tuhan dan tenggang rasa dalam
pergaulan antara sesama umat beragama, maupun penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di samping perkembangan pesat agama dan
Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, di Indonesia juga
berkembang kebudayaan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dalam rangka perkembangan kebudayaan nasional.
Akhirnya salah satu unsur kebudayaan nasional yang amat penting akan tetapi
seringkali dilupakan orang ialah bahasa Indonesia.
Sejak Sumpah Pemuda 1928, kehadiran akan bahasa nasional sebagai sarana
permersatu secara tegas telah diungkapkan. Dan sejak itu bahasa Indonesia yang
memang sejak semula merupakan bahasa penghubung dalam pergaulan lintas
suku bangsa dan daerah dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan
nasional secara resmi. Perkembangan bahasa nasional sebagai unsur kebudayaan
nasional bukan sekedar karena diperlukan sebagai bahasa pengantar, melainkan
lebih penting lagi sebagai sarana pendidikan dalam arti luas. Bahasa Indonesia
yang berkembang sebagai bahasa nasional itu tidak hanya merupakan rangkaian
kata sebagai sarana pergaulan akan tetapi ia juga mencerminkan nilai-nilai
budaya, norma-norma sosial dan pandangan hidup yang mempunyai kekuatan
memerintah. Karena itu pengembangan kebudayaan nasional secara keseluruhan
tidak mungkin terlaksana tanpa dukungan bahasa Indonesia yang lebih demokratis
dengan segala dinamikanya. Sungguhpun kebudayaan nasional telah berkembang
dalam ketujuh unsurnya yang universal, namun perkembangan di daerah-daerah
ataupun di lingkungan masyarakat suku bangsa belum seluruhnya merata. Ada
sementara masyarakat daerah dan suku bangsa yang lebih cepat menyerap unsur-
unsur universal di bidang religi, ataupun ekonomi, sebaliknya ada pula yang lebih
kuat menyerap unsur-unsur univeral di bidang organisasi sosial ataupun teknologi.
Penyerapan dan penghayatan kebudayaan nasional itu tergantung pada intensitas
pergaulan nasional maupun minat dan kebutuhkan masyarakat. Oleh karena itu,
disamping kesenjangan dalam penyerapan dan penghayatan kebudayaan nasional
di kalangan masyarakat terasing, nampak pula adanya kesenjangan antara
masyarakat kota dan pedesaan.
Kesenjangan penyerapan dan penghayatan kebudayaan nasional dalam
masyarakat majemuk itu seringkali menimbulkan ketegangan dan pertentangan
sosial sebagai akibat salah pengertian budaya. Oleh karena itu pendidikan
kebudayaan sangat penting dalam rangka pemerataan penyerapan dan
penghayatan di samping pengembangan kebudayaan nasional yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945. Berbagai sarana dan kegiatan pendidikan dalam arti
luas, termasuk pendidikan dalam lingkungan keluarga perlu digalakkan untuk
menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai Pancasila yang akan menjadi
perangkat acuan dalam pengembangan kebudayaan nasional selanjutnya
.
Kepustakaan
Adam, R. (1964). "The Latin American Community in Revolution and
Development: Occasional Publication No. 3. Counter of Latin American Studies.
Kansas: University of Kansas.
Barry, J. (1983). Sleepers, Wake: Technology and The Future Work. Melbourne:
Oxford University Prass
Deutsch, KW. (1961). "Social Mobilization and Political Development" in
America Political Science Review No 55.
Galtung, J. (1978). Toward A New International Technological Order, Paperfor
WOWP Conference. G. Smith.
Geertz, C. (1960). "The Integrative Revolution, Primordial and Civil Politics in
New States" dalam Old Scienties and New States, C. Geertz (ed). New York: The
Free Press.
Safa, H.I. (1968). "Education, Modemization, and the Process of National
Integration" dalam Wase (ed).
http://pk.ut.ac.id/jsi/1Buhdi.htm
AGAMA DJAWA SUNDA

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Studi Masyarakat Indonesia

Disusun oleh:

Saryeliza M. (011565)
Sri Gustini Maryam (043818)
Fitriyadi Mukhlis (043837)
Eros Roswati (045540)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2005
Ringkasan

1. Pengertian dan Pemahaman tentang Bangsa dan Negara


a. Pengertian Bangsa
Bangsa adalah orang-orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat,
bahasa dan sejarah serta pemerintahan sendiri. Bangsa adalah kumpulan
manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah
tertentu di muka bumi (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua,
Depdikbud, hal 89). Dengan demikian, Bangsa Indonesia adalah
sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan
menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu
wilayah, yaitu Nusantara/Indonesia.
b. Pengertian dan Pemahaman Negara
1) Pengertian Negara
a) Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa
kelompok manusia yang bersama-sama mendiami satu wilayah
tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus
tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok
manusia tersebut.
b) Negara adalah satu perserikatan yang melaksanakan satu
pemerintahan melalui hukum yang mengikat nasyarakat dengan
kekuasaan untuk memaksa untuk ketertiban sosial. Masyarakat
ini berada dalam satu wilayah tertentu yang membedakannya dari
kondisi masyarakat lain di luarnya.
2) Teori Terbentuknya Negara
a) Teori Hukum Alam
b) Teori Ketuhanan
c) Teori Perjanjian
3) Proses Terbentuknya Negara di Zaman Modern
Proses tersebut dapat berupa penaklukan, peleburan (fusi), pemisahan
diri, dan pendudukan atas negara atau wilayah yang belum ada
pemerintahan sebelumnya.
4) Unsur Negara
a) Bersifat Konstitutif
b) Bersifat Deklaratif
5) Bentuk Negara
Sebuah negara dapat berbentuk negara kesatuan (unitary state) dan
negara serikat (federation).

Komentar
a. Pengertian Bangsa
Menurut pemahaman saya, bangsa merupakan persatuan dari sekelompok
manusia yang terikat karena kesamaan asal keturunan, adat, sejarah, dan wilayah
sehingga menyatakan dirinya sebagai satu bangsa. Maka, pada intinya bangsa
merupakan sekelompok manusia yang berusaha berinteraksi dengan sesamanya
sehingga mencoba menemukan kesamaan yang mereka miliki dan mencoba
mengembangkan segala yang mereka miliki yang akhirnya menjadikan mereka
bersatu dengan kebudayaan yang dihasilkannya.
b. Pengertian dan Pemahaman Negara
1) Pengertian Negara
Sebenarnya, unsur-unsur penting yang membentuk suatu negara yaitu wilayah,
penduduk, pemerintah, dan kedaulatan. Sehingga, untuk memahami dan
mengartikan negara sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan sesuai dengan unsur-
unsur pembentuknya tersebut. Negara adalah suatu organisasi yang mencakup
wilayah tertentu dan sejumlah penduduk yang mendiaminya dengan pemerintah
yang berdaulat mengatur segala aspek kehidupan di negaranya.
2) Teori Terbentuknya Negara
a) Teori Hukum Alam. Pemikiran Plato dan Aristoteles yang
menyatakan bahwa kondisi alam telah menunjang tumbuhnya
manusia sehingga berkembanglah suatu negara, menurut saya, lebih
menekankan kepada bagaimana asal usul perkembangan manusia
baik secara biologis maupun secara sosial. Karena mereka
menekankan terhadap alam yang mempengaruhi tumbuhnya manusia,
maka dilihat alamlah yang memfasilitasi manusia untuk terus hidup
kemudian berkembang, berkelompok, berkebudayaan sehingga
manusia pun mencoba untuk membentuk suatu pemerintahan yang
akan mengatur kehidupan mereka, kemudian memilih pemimpin yang
tepat sehingga terbentuklah suatu negara.
b) Teori Ketuhanan
Bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan merupakan pernyataan
yang benar yang diyakini manusia. Sehingga negara pun merupakan
hasil ciptaan Tuhan yang terbentuk melalui tangan manusia sebagai
salah satu makhlukNya yang paling sempurna dengan kemampuan
akalnya.
c) Teori Perjanjian
Perjanjian membentuk suatu negara sebagai upaya untuk menghadapi
tantangan zaman secara bersama-sama merupakan pernyataan yang
tidak dapat dipungkiri. Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa
hanya berdiri sendiri, akan tetapi membutuhkan manusia lainnya
untuk terus bertahan hidup dan semakin besar tantangan maka
manusia pun membutuhkan tatanan yang mampu mengatur segala
aspek kehidupannya, secara individual maupun sosial, sehingga
terbentuklah suatu negara.
3) Proses Terbentuknya Negara di Zaman Modern
Seperti yang terlihat dalam sejarah, suatu negara biasanya terbentuk
karena proses penaklukan, peleburan (fusi), pemisahan diri, dan
pendudukan atas negara atau wilayah yang belum ada pemerintahan
sebelumnya.
4) Unsur Negara
a) Bersifat Konstitutif, berarti negara terdiri dari suatu wilayah yang
didiami oleh rakyat atau masyarakat yang diatur oleh pemerintahan
yang berdaulat.
b) Bersifat Deklaratif, berarti suatu negara memiliki unsur-unsur yang
dapat mendeklarasikan dirinya sebagai suatu negara yang berdaulat,
seperti tujuan negara, undang-undang, serta pengakuan dari negara
lain secara “de jure” dan “de facto”.
5) Bentuk Negara
Sebuah negara dapat berbentuk negara kesatuan (unitary state) dan negara
serikat (federation).

Você também pode gostar