Você está na página 1de 5

Antara Berbakti kepada Orang Tua dan Taat kepada Suami

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda: Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, Hadits ini hasan. Atau HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Hasan Shahih. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya: niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka. (HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan AlImam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud) Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya. (HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nuaim dalam Ad-Dalail (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.) Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah radhiyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda: Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya. (HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dhaif Ibnu Majah.) Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu anhu, ia berkata: Tatkala Muadz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau menegur Muadz, Apa yang kau lakukan ini, wahai Muadz? Muadz menjawab, Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya. (HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam AlAlbani rahimahullahu dalam Shahih Ibnu Majah, Hasan Shahih. Lihat pula AshShahihah no. 1203.) Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Taala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Taala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga. (HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.) 13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan. 14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah. 15 Lafadz: (( )) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Lian, bab Ma Jaa fil Mukhtaliat)

Dalam hadits yang lain: Istri-istri yang minta khulu17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik. (HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan AlImam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Lian, bab Ma Jaa fil Mukhtaliat) Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Taala, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya. Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa Taala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah Subhanahu wa Taala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq. (19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam taliqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, Isnadnya shahih.) Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Taala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. (Majmuatul Fatawa, 16/381-383).

Berbakti kepada Orang Tua


Anak kepada orang Tua Dari Abu Abdulrahman, Abdullah bin Masud, ia menceritakan: Aku pernah bertanya pada Rasulullah, tentang prbuatan apakah yang paling dicintai Allah? Jawab beliau : yaitu shalat pada waktunya. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Jawab beliau: berbuat baik kepada orang tua. Aku bertanya lagi: Kemudian apa lagi? Beliau menjawab: Jihat fisabilillah. ( HR. Bukhari dan Muslim Riyadhush Shalihin 3/315) Berkorban untuk orang tua Dari Abdullah Ibnu Amar al-Ash Radliyallaahu anhu bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: Keridloan Allah tergantung kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua. Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Atau dari Abu Hurairah menuturkan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Belumlah dinamakan seorang anak membalas orang tua, sebelum dia mendapatkan orang tuanya itu tertawan menjadi budak, lalu ia tebusnya kemudian memerdekakanya. ( HR. Muslim Riyadhush Shalihin 4/316 ) Berdasarkan hadits tersebut, maka seorang anak dituntut untuk memberikan pengorbannan yang sebesar-besarnya demi kepentingan orang tua. Dan itulah yang dinamakan birrul walidain yang sejati. (Majid Hasyim Husaini A.,Syarah : Riyadhush Shalihin Jilid 2,1993,PT Bina Ilmu, Surabaya. Hal. 4) Mengutamakan ibu: Abu Hurairoh juga meriwayatkan, bahwa ada seorang lelaki menghadap Rasulullah SAW. Untuk menayakan siapakah orang yang lebih patut dilakukan persahabatan dengan baik? Maka jawab Rasulullah SAW. Ibumu. Kemudian ia pun bertanya lagi : lalu siapa lagi? Jawab beliau tetap : Ibumu. Lalu ia bertanya lagi: Lalu siapa lagi: Maka kali ini jawab beliau: Ayahmu ( HR. Bukhari dan Muslim Riyadhush Shalihin 9/319 ) Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-Ash Radliyallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: Termasuk dosa besar ialah seseorang memaki orang tuanya. Ada seseorang bertanya: Adakah seseorang akan memaki orang tuanya. Beliau bersabda: Ya, ia memaki ayah orang lain, lalu orang lain itu memaki ayahnya dan ia memaki ibu orang lain, lalu orang itu memaki ibunya. (Muttafaq Alaihi)

Sopan Santun Anak kepada Orang Tua: Dan dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Beliau bersabda: Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orangtunya berusia lanjut, salah satunya atau kedua duanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk surga ( HR. Muslim Syarah Riyadhush Shalihin juz 2 halaman 10/320 ) Berbakti pada orang tua yang sudah meninggal: Abi Usaid, Malik bin Rabiah as-Saidi r.a;. mengatakan ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW. Tiba tiba ada seorang lelaki dari bani Salamah menghadap Rasulullah seraya berucap : Ya Rasulullah apakah masih ada kebaikan yang harus saya tunaikan terhadap kedua orang tua ku sepeninggal mereka? Jawab Rasulullah SAW. : Ya, masih ada, yaitu engkau mendoakanya, meminta ampun kepada Allah untuk mereka, melaksanakan janji mereka sesudah mereka itu meninggal dunia, menyambung kekeluargaan dimana kekeluargaan itu tidak akan bisa bersambung melainkan dengan sebab orang tua tersebut dan menghormati kawan kawan kedua orang tua. ( HR. Abu Daud ) Dari hadist diatas dapat kita ambil pelajaran bahwa setelah orang tua kita meninggal ternyata masih ada yang dapat dilakukan anak untuk berbakti kepada orang tua. Diantaranya : [1] mendoakannya [2] menshalatkan ketika orang tua meninggal [3] selalu memintakan ampun untuk keduanya. [4] membayarkan hutang-hutangnya [5] melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syariat. [6] menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya Salah satu cara kita sebagai anak dalam mempraktikan ajaran ajaran yang ternukil di Al- Quran dan hadits Nabi adalah dengan cara berbakti kebada orang tua. Karena untuk mendapatkan ridho Allah kita harus bisa mendapatkan ridho dari kedua orang tua. Orang tua sudah berkorban banyak untuk membesarkan anaknya . ini harus di balas oleh anaknya dengan cara berbakti kepada orang tua, baik mereka yang masih hidup atupun mereka sudah meninggal dunia. Bahkan tanggung jawab anak sebagai ahli waris justru lebih bertambah setelah orang tuanya meninggal. Wallahu alam bish-shawab.. Maaf pak, Saya belum menemukan Hadits tentang Boleh sujud kepada orang Tua. InsyaAllah. Kalau saya dapat, saya akan kasih tahu.. Terima kasih..

Você também pode gostar