Você está na página 1de 23

I.

HUBUNGAN MASYARAKAT (PUBLIC RELATIONS)


Humas merupakan kependekan dari hubungan masyarakat. Hal ini seringkali disederhanakan sebagai sebuah terjemahan dari istilah Public Relations (PR). Sebagai ilmu pengetahuan, PR masih relatif baru bagi masyarakat Indonesia. PR sendiri merupakan gabungan berbagai imu dan termasuk dalam jajaran ilmu-ilmu sosial seperti halnya ilmu politik, ekonomi, sejarah, psikologi, sosiologi, komunikasi dan lain-lain. Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini PR mengalami perkembangan yang sangat cepat. Namun perkembangan PR dalam setiap negara itu tak sama baik bentuk maupun kualitasnya.Proses perkembangan PR lebih banyak ditentukan oleh situasi masyarakat yang kompleks. Karena peran dan fungsi PR di perusahaan, badan pemerintahan, dll semakin komplit dan kompleks, diperlukan suatu kode etik untuk menjaga agar para humas tetap bekerja dalam jalan yang benar. Sehubungan dengan masih begitu banyaknya kritikan, kecurigaan dan terutama sekali sikap masa bodoh terhadap keberadaan profesi humas, maka kode etik kehumasan tersebut mutlak perlu ditegakkan. Tentu saja penegakan kode etik takkan sanggup sepenuhnya menghapus semua perilaku menyimpang. Namun sedikit banyak, seperti juga yang dialami oleh berbagai bidang profesi lainnya, pendisiplinan kode etik itu pasti membawa manfaat yang berarti. Ada berbagai macam jenis kode etik humas. Hal ini dikarenakan banyak instansi humas yang ada di dunia sehingga tiap instansi merasa perlu untuk mengeluarkan kode etik yang khas menjadi idenditas diri mereka dan setiap humas yang bergabung di dalamnya. Bahkan untuk dunia internasional pun, tidak hanya ada satu instansi yang mengeluarkan kode etik. Ada beberapa kode etik internasional, namun di antaranya ada 1 kode etik yang paling terkenal dan umum di dunia internasional. Kode etik kehumasan ini dikeluarkan oleh IPRA (International Public Relations Accosation) di Athena pada tahun 1965 dan kemudia disempurnakan lagi di Teheran, Iran, pada tahun 1968. Di Indonesia pun hampir serupa. Meskipun ada lebih dari 1 instansi yang mengeluarkan kode etik kehumasan, namun ada kode etik kehumasan yang paling diakui secara nasional seperti dari Perhumas atau APRI (Asosiasi Public Relation Indonesia). Dalam makalah ini, akan dipaparkan kode etik dari 1 instansi humas internasional dan kode etik dari 2 instansi nasional.

A. IPRA (International Public Relation Assocation)


Kode etik IPRA yang disahkan pada tahun 2011, merupakan penegasan etika profesional dari anggota the International Public Relations Association dan

direkomendasikan kepada praktisi public relations di seluruh dunia. Kode etik ini merupakan penyempurnaan dari Code of Venice tahun 1961, Code of Athens tahun 1965 dan Code of Brussels tahun 2007. Isi kode etik kehumasan IPRA : (a) MENGINGAT Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa yang menentukan untuk menegaskan kembali iman dalam hak asasi manusia, martabat dan nilai pribadi manusia; (b) MENGINGAT Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 khususnya mengingat Artikel Nomor 19; (c) MENGINGAT bahwa public relations, dengan mendorong terciptanya informasi terbuka, memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan; (d) MENGINGAT bahwa pekerjaan public relations dan public affairs merupakan ungkapan kebebasan berpendapat kepada pejabat publik; (e) MENGINGAT bahwa praktisi public relations melalui kemampuan komunikasinya dapat memberikan pengaruh yang luas perlu mematuhi kode etik profesi dan prilaku yang beretika; (f) MENGINGAT bahwa saluran komunikasi seperti internet dan media digital lain dapat menimbulkan informasi yang menyesatkan yang dapat disebarluaskan dan tidak tertandingi, diperlukan perhatian khusus dari praktisi public relations untuk tetap menjaga kepercayaan dan kredibilitas; (g) MENGINGAT bahwa internet dan digital media lain perlu mendapat perhatian khusus yang berkenaan dengan kerahasiaan pribadi dari seseorang, klien,

majikan dan rekan sejawat;

Dalam tindakannya, praktisi public relations harus: 1. Ketaatan Mentaati prinsip prinsip dalam Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; 2. Integritas Bertindak secara jujur dengan penuh integritas setiap saat untuk menyakinkan dan mempertahankan kepercayaan mereka dengan siapa saja praktisi berhubungan; 3. Dialogue Berusaha membentuk moral, kultural dan intelektual untuk melakukan dialog, dan mengakui hak semua pihak yang terlibat untuk mengemukakan pendapatnya; 4. Keterbukaan Berlaku Jujur dan terbuka dalam mengungkapkan nama, organisasi dan kepentingan yang diwakili; 5. Konflik Menghindari konflik kepentingan dan mengungkapkan konflik tersebut kepada pihak pihak yang terkait jika diperlukan; 6. Kerahasiaan Menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan kepada mereka; 7. Ketepatan Melakukan langkah langkah yang wajar untuk meyakinkan kebenaran dan ketepatan dari semua informasi yang diberikan; 8. Kebohongan Mengupayakan dengan segala cara untuk tidak menyampaikan berita yang salah atau menyesatkan, melakukan secara hati-hati untuk menghindari hal tersebut dan memperbaiki secepatnya jika ternyata terdapat kesalahan; 9. Penipuan Dilarang mendapatkan informasi dengan cara menipu atau tidak jujur; 10. Pengungkapan Dilarang membentuk atau menggunakan organisasi apapun sebagai suatu wahana terbuka yang sebenarnya mengandung kepentingan tersembunyi;

11. Keuntungan Dilarang menjual dokumen kepada pihak ketiga salinan dokumen yang diperoleh dari pejabat publik; 12. Remunerasi Dalam memberikan jasa professional, dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan jasa dari seseorang selain dari pihak yang terkait; 13. Pembujukan Dilarang baik secara langsung atau tidak langsung menawarkan atau memberikan imbalan dalam bentuk uang atau yang lain kepada pejabat pemerintah atau media, atau pihak lain yang berkepentingan; 14. Pengaruh Dilarang menawarkan atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum untuk hal yang dapat mempengaruhi pejabat publik, media dan pihak lain yang berkepentingan; 15. Persaingan Dilarang melakukan hal hal yang secara sengaja untuk merusak reputasi praktisi yang lain; 16. Pemburuan Dilarang mengambil klien dari praktisi lain dengan cara cara yang tidak jujur; 17. Pekerjaan Ketika mempekerjakan seseorang dari pejabat publik atau pesaing perlu memperhatikan aturan dan kerahasiaan yang disyaratkan oleh organisasi tersebut; 18. Rekan sejawat Mengamati Kode etik ini dengan sikap hormat terhadap anggota IPRA dan praktisi public relations di seluruh dunia. Anggota IPRA harus menjunjung tinggi Kode etik ini, setuju mematuhi dan menegakkan tindakan disiplin terhadap setiap pelanggaran kode etik dari the International Public Relations Association ini.

B. PERHUMAS (Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia)


KODE ETIK PROFESI PERHUMAS INDONESIA Dijiwai oleh Pancasila maupun UUD 1945 sebagai landasan tata kehidupan nasional; Diilhami oleh Piagam PBB sebagai landasan tata kehidupan internasional; Dilandasi oleh Deklarasi Asean (8 Agustus 1967) sebagai pemersatu bangsa-bangsa Asia Tenggara; dan dipedomi oleh cita-cita, keinginan dan tekad untuk mengamalkan sikap dan perilaku kehumasan secara professional; kami para anggota Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia PERHUMAS INDONESIA sepakat untuk mematuhi Kode ETik Kehumasan Indonesia, dan bila terdapat bukti-bukti diantara kami dalam menjalankan profesi kehumasan ternyata ada yang melanggarnya, maka hal itu sudah tentu mengakibatkan diberlakukannya tindak organisasi terhadap

pelanggarnya. Pasal 1 KOMITMEN PRIBADI Anggota PERHUMAS harus : 1. Memiliki dan menerapkan standar moral serta reputasi setinggi mungkin dalam menjalankan profesi kehumasan 2. Berperan secara nyata dan sungguh-sungguh dalam upaya memasyarakatan kepentingan Indonesia 3. Menumbuhkan dan mengembangkan hubungan antar warga Negara Indonesia yang serasi daln selaras demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa Pasal II PERILAKU TERHADAP KLIEN ATAU ATASAN Anggota PERHUMAS INDONESIA harus: 1. Berlaku jujur dalam berhubungan dengan klien atau atasan 2. Tidak mewakili dua atau beberapa kepentingan yang berbeda atau yang bersaing tanpa persetujuan semua pihak yang terkait 3. Menjamin rahasia serta kepercayaan yang diberikan oleh klien atau atasan, maupun yang pernah diberikan oleh mantan klien atau mantan atasan

4. Tidak melakukan tindak atau mengeluarkan ucapan yang cenderung merendahkan martabat, klien atau atasan, maupun mantan klien atau mantan atasan 5. Dalam memberi jasa-jasa kepada klien atau atasan, tidak akan menerima pembayaran, komisi atau imbalan dari pihak manapun selain dari klien atau atasannya yang telah memperoleh kejelasan lengkap 6. Tidak akan menyerahkan kepada calon klien atau calon atasan bahwa pembayaran atau imbalan jasa-jasanyaharus didasarkan kepada hasil-hasil tertentu, atau tidak akan menyetujui perjanjian apapun yang mengarah kepada hal yang serupa Pasal III PERILAKU TERHADAP MASYARAKAT DAN MEDIA MASSA Anggota PERHUMAS INDONESIA harus: 1. Menjalankan kegiatan profesi kehumasan dengan memperhatikan

kepentingan masyarakat serta harga diri anggota masyarakat 2. Tidak melibatkan diri dalam tindak memanipulasi intergritas sarana maupun jalur komunikasi massa 3. Tidak menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan 4. Senantiasa membantu untuk kepentingan Indonesia Pasal IV PERILAKU TERHADAP SEJAWAT Praktisi Kehumasan Indonesia harus: 1. Tidak dengan sengaja merusak dan mencemarkan reputasi atau tindak professional sejawatnya. Namun bila ada sejawat bersalah karena melakukan tindakan yang tidak etis, yang melanggar hukum, atau yang tidak jujur, termasuk melanggar Kode Etik Kehumasan Indonesia, maka bukti-bukti wajib disampaikan kepada Dewan Kehormatan PERHUMAS INDONESIA 2. Tidak menawarkan diri atau mendesak klien atau atasan untuk menggantikan kedudukan sejawatnya 3. Membantu dan berkerja sama dengan sejawat di seluruh Indonesia untuk menjunjung tinggi dan mematuhi Kode Etik Kehumasan ini.

C. ASOSIASI PERUSAHAAN PUBLIC RELATIONS INDONESIA


KODE ETIK PROFESI ASOSIASI PERUSAHAAN PUBLIC RELATIONS INDONESIA PASAL 1 Norma norma Perilaku Profesional Dalam menjalankan kegiatan profesionalnya, seorang anggota wajib menghargai kepentingan umum dan menjaga harga diri setiap anggota masyarakat. Menjadi tanggung jawab pribadinya untuk bersikap adil dan jujur terhadap klien, baik yang mantan maupun yang sekarang, dan terhadap sesama anggota Asosiasi, anggota media komunikasi serta masyarakat luas. PASAL 2 Penyebarluasan Informasi Seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak bertanggung jawab, informasi yang paIsu atau yang menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban untuk menjaga integritas dan ketepatan informasi. PASAL 3 Media Komunikasi Seorang anggota tidak akan melaksanakan kegiatan yang dapat merugikan integritas media komunikasi. PASAL 4 Kepentingan yang Tersembunyi Seorang anggota tidak akan melibatkan dirinya dalam kegiatan apa pun yang secara sengaja bermaksud memecah belah atau menyesatkan, dengan cara seolah olah ingin memajukan suatu kepentingan tertentu, padahal sebaliknya justru ingin memajukan kepentingan lain yang tersembunyi. Seorang anggota berkewajiban untuk menjaga agar kepentingan sejati organisasi yang menjadi mitra kerjanya benar-benar terlaksana secara baik.

PASAL 5 Informasi Rahasia Seorang anggota (kecuali apabila diperintahkan oleh aparat hukum yang berwenang) tidak akan menyampaikan atau memanfaatkan informasi yang diberikan kepadanya, atau yang diperolehnya, secara pribadi dan atas dasar kepercayaan, atau yang bersifat rahasia, dari kliennya, baik di masa Ialu, kini atau di masa depan, demi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau untuk keuntungan lain tanpa persetujuan jelas dari yang bersangkutan. PASAL 6 Pertentangan Kepentingan Seorang anggota tidak akan mewakili kepentingan kepentingan yang saling bertentangan atau yang saling bersaing, tanpa persetujuan jelas dari pihak-pihak yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu mengemukakan fakta fakta yang terkait. PASAL 7 Sumber sumber Pembayaran Dalam memberikan jasa pelayanan kepada kliennya, seorang anggota tidak akan menerima pembayaran, baik tunai atau pun dalam bentuk lain, yang diberikan sehubungan dengan jasa jasa tersebut, dari sumber manapun, tanpa persetujuan jelas dari kliennya. PASAL 8 Memberitahukan Kepentingan Keuangan Seorang anggota, yang mempunyai kepentingan keuangan dalam suatu organisasi, tidak akan menyarankan klien atau majikannya untuk memakai organisasi tersebut atau pun memanfaatkan jasa jasa organisasi tersebut, tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepentingan keuangan pribadinya yang terdapat dalam organisasi tersebut. PASAL 9 Pembayaran Berdasarkan Hasil Kerja Seorang anggota tidak akan mengadakan negosiasi atau menyetujui persyaratan dengan calon majikan atau calon klien, berdasarkan pembayaran yang tergantung pada hasil pekerjaan PR tertentu di masa depan.

PASAL 10 Menumpang tindih Pekerjaan Anggota Lain Seorang anggota yang mencari pekerjaan atau kegiatan baru dengan cara mendekati langsung atau secara pribadi, calon majikan atau calon langganan yang potensial, akan mengambil langkah langkah yang diperlukan untuk mengetahui apakah pekerjaan atau kegiatan tersebut sudah dilaksanakan oleh anggota lain. Apabila demikian, maka menjadi kewajibannya untuk memberitahukan anggota tersebut mengenai usaha dan pendekatan yang akan dilakukannya terhadap klien tersebut. (Sebagian atau seluruh pasal ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghalangi anggota mengiklankan jasa jasanya secara umum). PASAL 11 Imbalan kepada Karyawan Kantor kantor Umum Seorang anggota tidak akan menawarkan atau memberikan imbalan apa pun, dengan tujuan untuk memajukan kepentingan pribadinya (atau kepentingan klien), kepada orang yang menduduki suatu jabatan umum, apabila hal tersebut tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat luas. PASAL 12 Mengkaryakan Anggota Parlemen Seorang anggota yang mempekerjakan seorang anggota Parlemen, baik sebagai konsultan ataupun pelaksana, akan memberitahukan kepada Ketua Asosiasi tentang hal tersebut maupun tentang jenis pekerjaan yang bersangkutan. Ketua Asosiasi akan mencatat hal tersebut dalam suatu buku catatan yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut. Seorang anggota Asosiasi yang kebetulan juga menjadi anggota Parlemen, wajib memberitahukan atau memberi peluang agar terungkap, kepada Ketua, semua keterangan apa pun mengenai dirinya. PASAL 13 Mencemarkan Anggota anggota Lain Seorang anggota tidak akan dengan itikad buruk mencemarkan nama baik atau praktek profesional anggota lain.

PASAL 14 Instruksi/Perintah Pihak pihak Lain Seorang anggota yang secara sadar mengakibatkan atau memperbolehkan orang atau organisasi lain untuk bertindak sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan kode etik ini, atau turut secara pribadi ambil bagian dalam kegiatan semacam itu, akan dianggap telah melanggar Kode ini. PASAL 15 Nama Baik Profesi Seorang anggota tidak akan berperilaku sedemikian rupa sehingga merugikan nama baik Asosiasi, atau profesi Public Relations. PASAL 16 Menjunjung Tinggi Kode Etik Seorang anggota wajib menjunjung tinggi Kode Etik ini, dan wajib bekerja sama dengan anggota lain dalam menjunjung tinggi Kode Etik, serta dalam melaksanakan keputusan keputusan tentang hal apa pun yang timbul sebagai akibat dari diterapkannya keputusan tersebut. Apabila seorang anggota, mempunyai alasan untuk berprasangka bahwa seorang anggota lain terlibat dalam kegiatan kegiatan yang dapat merusak Kode Etik ini, maka ia berkewajiban untuk memberitahukan hal tersebut kepada Asosiasi. Semua anggota wajib mendukung Asosiasi dalam menerapkan dan melaksanakan Kode Etik ini, dan Asosiasi wajib mendukung setiap anggota yang menerapkan dan melaksakan Kode Etik ini. PASAL 17 Profesi Lain Dalam bertindak untuk seorang klien atau majikan yang tergabung dalam suatu profesi, seorang anggota akan menghargai Kode Etik dari profesi tersebut dan secara sadar tidak akan turut dalam kegiatan apa pun yang dapat mencemarkan Kode Etik tersebut.

CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK KEHUMASAN


Peristiwa retaknya badan pesawat Adam Air 737-300 Rabu, 21 Februari 2007 pesawat Adam Air 737-300 dengan nomor penerbangan KI172 dengan mengangkut 148 orang penumpang diberitakan mengalami keretakan badan pesawat di bandara Juanda, Surabaya. Media mengabarkan bahwa Manajemen Adam Air tidak berterus terang mengenai keretakan badan pesawat tersebut, melainkan membantah pernyataan mengenai keretakan pesawat Adam Air 737-300. Pihak Adam Air sendiri terbukti melalui gambar yang tersebar di media bahwa telah mengecat seluruh badan pesawat menjadi warna putih dan menutup retakan dibelakang sayap pesawat menggunakan kain berwarna putih. Dari sejumlah bukti yang telah tersebar dimedia, PR Adam Air tetap membantah mengenai keretakan pesawat yang dialami oleh pesawat Adam Air 737-300, dan memilih tidak memberikan komentar mengenai berita pengecatan tersebut. Dari kasus tersebut ditemukan bahwa PR Adam Air telah melanggar kode etik kehumasan, yaitu : a. IPRA (International Public Relation Association) Code of Condut ; Dalam IPRA Code of Conduct butir C disebutkan bahwa lembaga kehumasan tidak diperkenankan untuk menyebarkan secara sengaja informasi yang palsu atau menyesatkan.. PR Adam Air dapat dikatakan melanggar kode etik karena terbukti tidak berterus terang perihak kejadian retaknya badan pesawat. b. Kode Etik Kehumasan (KEKI) ; Dalam salah satu butir ketentuan KEKI pasal III disebutkan bahwa anggota perhumasan tidak boleh menyebarkan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan. Selain memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan kepada publik, dari tindakan pengecatan pesawat tersebut pihak Adam Air juga telah melanggar UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, yaitu pasal 34 ayat 2 yaitu siapa pun dilarang merusak, menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian-bagian pesawat atau barang lainnya yang tersisa akibat kecelakaan, sebelum dilakukan penelitian terhadap penyebab kecelakaan itu. Ancaman hukuman bagi pelanggarnya adalah enam bulan kurungan serta denda Rp 18 juta.

Kasus lumpur Lapindo Brantas Lebih dari lima tahun kasus lumpur Lapindo belum usai. Lapindo yang dimiliki oleh Bakrie Group ini memang memiliki sumberdaya politik ekonomi yang dapat perpengaruh di Indonesia, bahkan Bakrie Group dapat menciptakan opini public mengenai lumpur Lapindo itu sendiri melalui media yang dimiliki. Pada 22 Oktober 2008 Lapindo Brantas mengadakan siaran pers mengenai hasil para ahli geologi di London. Pada konfrensi tersebut Lapindo menyewa perusahan Public Relation untuk

mengabarkan bahwa peristiwa tersebut bukan dari kesalahan Lapindo. Lapindo, melalui PR-nya, mengeluarkan statement bahwa kejadian tersebut akibat dari bencana alam, akan tetapi sejumlah ahli geolog dan LSM yang peduli terhadap kasus lumpur Lapindo ini tetap menganggap bahwa kejadian pengeboran Lapindo yang menjadi pemicu tragedy tersebut. Lapindo terus menutupi fakta dengan berbagai cara termasuk membuat iklan serta memecah belah warga memalui masalah ganti rugi hal tersebut dilakukan untuk mengarahkan pada opini public. Dari kasus tersebut, maka PR Lapindo Brantas dapat dinyatakan telah melanggar kode etik profesi Public Relation, yaitu : a. Pasal 2 mengenai Penyebaran informasi ; seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak bertanggungjawab, informasi yang palsu atau yang meyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban menjaga dan ketepatan informasi.. Lapindo dikatakan melanggar pasal tersebut karena Lapindo menyebarkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta. b. Pasal 3 mengenai Media Komunikasi ; seorang anggota tidak akan melaksanakan kegiatan yang dapat merugikan integritas media komunikasi. Lapindo dapat dikatakan melanggar pasal berikut karena Lapindo yang merupakan milik Bakrie Group dapat menciptakan opini public sendiri mengenai lumpur Lapindo itu sendiri melalui media yang dimiliki sehingga informasi yang diberikan meskipun tidak sesuai dengan kenyataan tetapi tidak menjatuhkan citra Lapindo.

II. JURNALISTIK
Menjadi jurnalis, di era demokrasi seperti sekarang, bukan lagi menjadi sebuah hobi, tetapi sudah menjadi sebuah profesi. Dengan kata lain, menjadi seorang jurnalis adalah menjadi profesional. Dalam menjalankan kewajibannya, seorang jurnalis harus sadar dengan tugas, hak, kewajiban, dan fungsinya yakni mengemukakan apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan, jurnalis harus sanggup bekerja menghadapi bahaya untuk mendapatkan karya jurnalisitik yang bernilai. Karena sering dituntut untuk bekerja cepat dan karena unsur manusia tidak sempurna, maka tidak heran kalau jurnalis pun sering melakukan kesalahan ketika melakukan kegiatan-kegiatan sebagai jurnalis. Apalagi seorang wartawan. Banyak tantangan yang menuntut wartawan agar bekerja secara profesional. Karena itu, perlu dibuat peraturan sebagai standar bagi wartawan dan jurnalis lainnya agar para jurnalis dapat bekerja dengan baik dan meminimalisir, bahkan jika mungkin, mampu menghilangkan kesalahan dalam melakukan kegiatan jurnalis. Untuk meningkatkan profesionalitas, para jurnalis pun sepakat untuk membuat peraturan. Dan seperti di kode etik humas, jurnal pun memiliki kode etik yang berbeda di tiap tempat. Di Indonesia pun seperti itu. Ada 2 instansi yang mengeluarkan kode etik jurnalistik dan kedua kode etik itu diakui secara nasional. Yaitu kode etik yang dikeluarkan oleh PWI (Perhimpunan Wartawan Indonesia) dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen)

A.PERHIMPUNAN WARTAWAN INDONESIA (PWI)

PEMBUKAAN
Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara RepublikIndonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak.

Mengingat Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, seluruh wartawan menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan

pers yangbertanggungjawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila. Maka atas dasar itu, demi tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutu kewartawanan Indonesia serta bertumpu pada kepercayaan masyarakat, dengan ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia.

KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK BAB I KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS Pasal 1 Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila , taat kepada Undang-Undang Dasar Negara, Ksatria, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi pada kepentingan bangsa dan negara serta terpecaya dalam mengemban profesinya. Pasal 2 Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan berita, tulisan atau gambar, yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan dan keyakinan suatu golongan yang dilindumgi oleh Undang-undang.

Pasal 3 Wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan. Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak. KODE ETIK JURNALISTIK BAB II CARA PEMBERITAAN Pasal 5 Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya. Pasal 6 Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau perasaan Pasal 7 Wartawan Indonesia dalam pemberitaan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum dan atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang. Pasal 8 Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila tidak menyebut nama dan identitas korban. Penyebutan nama dan identitas pelaku kejahatan yang masih dibawah umur, dilarang. Pasal 9 Wartawan Indonesia menulis judul yang mencerminkan isi berita. susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.

KODE ETIK JURNALISTIK BAB III SUMBER BERITA Pasal 10 Wartawan Indonesia menempuh cara yang sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan berita, gambar, atau tulisan dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita. Pasal 11 Wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi kesempatan hak jawab serta proporsional kepada sumber dan atau obyek berita. Pasal 12 Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita. Pasal 13 Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip berita, tulisan, atau gambar tanpa menyebut sumbernya. Pasal 14 Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini. Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan. Pasal 15 Wartawan Indonesia menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimasukkan sebagai bahan berita serta atas kesepakatan dengan sumber berita tidak menyiarkan keterangan off the record.

KODE ETIK JURNALISTIK BAB IV KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK Pasal 16 Wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa penataan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing. Pasal 17 Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI. Tidak satu pihak pun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.

B. ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI)


KODE ETIK JURNALISTIK KODE ETIK AJI (ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN) Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan

keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen. Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo. Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya. Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi. Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan. Catatan: yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.

Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.

Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.

CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK JURNALISTIK


1. Kasus wawancara fiktif terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin M Top. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas. Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut palsu alias fiktif karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Istri Nurdin M Top kala itu sedang sakit tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua dengan istri orang yang disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali. Wartawan dalam kasus di atas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan Pasal 4. Pasal 2 berbunyi: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan tersebut tidak menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Wawancara dan berita yang dipublikasikannya merupakan kebohongan. Tentu ini merugikan konsumen media. Pembaca mengkonsumsi media untuk memperoleh kebenaran, bukan kebohongan. Kredibilitas harian tempat wartawan tersebut bekerja juga sudah tentu menjadi diragukan. Penyelesaiannya adalah pemimpin redaksi memberi sanksi dan hukuman terhadap wartawan tersebut, karena wartawan tersebut tidak menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Hukuman tersebut misalnya memberi skorsing beberapa minggu.

2. Kasus bentrok saptol PP dengan warga memperebutkan makam Mbah Priok belum usai. Banyak hal bisa dilihat dari kasus ini, di antaranya soal bagaimana televisi menyiarkan kasus ini. Saat terjadi bentrok, banyak televisi menyiarkan secara langsung. Adegan berdarah itupun bisa disaksikan dengan telanjang mata tanpa melalui proses editing. Penyiaran langsung gambar korban bentrokan di Koja, Tanjung Priok, merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.Gambar korban berdarah-darah dikategorikan sebagai berita sadis, dan tidak semua konsumen media dapat menerimanya. Pihak keluarga korban yang kebetulan sedang menonton televisi pun bisa menerima dampak psikologis atau traumatis jika melihat kerabatnya mengalami luka yang mengenaskan. Penyelesaiannya adalah pemimpin redaksi media tersebut harus peka terhadap kejadian kasus tersebut. Wartawan yang menayangkan berita tersebut di televisi mendapatkan peringatan terlebih dahulu apabila kajadian ini terulang lagi di media yang sama, maka wartawan dilaporkan dan dikenai hukuman pidana.

DAFTAR PUSTAKA
http://daniq-isnaa.blogspot.com/2013/05/tiga-contoh-kasus-pelanggaran-etika.html http://fuadmje.wordpress.com/2011/11/06/kode-etik-jurnalistik/ http://fikom-jurnalistik.blogspot.com/2011/05/kode-etik-jurnalistik.html http://ipra.org/images/Indonesian.pdf http://www.perhumas.or.id/?page_id=24 http://rumakom.wordpress.com/2008/02/22/kode-etik-profesi-appri/

PENDAHULUAN
Apa yang pertama kali melintas di kepala ketika mendengar public relations, wartawan, dan jurnalis? Apakah yang terpikirkan adalah ketiga profesi ini adalah profesi yang membutuhkan kehalian berkomunikasi? Atau apakah yang terpikirkan itu ketiga profesi ini adalah profesi yang berhubungan dengan media dan masyarakat? Atau malah yang terpikirkan itu ketiga profesi ini Cuma profesi yang mengejar kehebohan dan popularitas? Menjadi seorang public relations officer dan jurnalis adalah sebuah profesi yang menuntut keahlian untuk bergerak cepat dan tangkas membaca situas. Ya, karena pekerjaan ini bisa menuntut ketepatan membentuk strategi komunikasi atau strategi mendapatkan liputan atau karya jurnalis yang bernilai mahal. Public relations officer dan jurnalis harus mampu memegang kendali atas situasi dan kondisi dirinya sendiri agar tidak terpengaruh lingkunga yang dapat menurunkan efektivitas pekerjaan karena menjadi public relations dan jurnalis, artinya harus pandai, cepat, dan tepat menganalisa karakter komunikasi yang ada pada komunikan. Namun, ternyata kesalahan pun tidak dapat dihindari. Ya, karena manusia ditakdirkan untuk menjadi makhluk yang tidak sempurna, maka public relations officer dan jurnalis pun dapat melakukan kesalahan ketika bekerja. Ada yang lalai menjaga rahasia, menerima sogokan karena tuntutan kebutuhan hidup, atau malah ada yang berbohong dan malah menutupi fakta karena takut perusahaan atau dirinya sendiri malah menjadi turun eksistensi dirinya turun di mata masyarakat. Dan fakta itu disadari oleh orang-orang yang berprofesi sebagai public relations officer dan jurnlais itu sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya aturan dalam dunia kerja public relations officer dan jurnalis untuk mendukung profesionalitas public relations officer dan jurnalis. Perlu adanya etika kerja untuk menjaga agar para public relations officer dan jurnalis, ketika bekerja, tetap ada di jalur yang seharusnya. Kode etik juga berfungsi sebagai kaca dan reminder bagi para public relations officer dan jurnalis ketika mereka melakukan kesalahan agar mereka tau di mana letak kesalahannya dan di hari kemudian berusaha sebaik-baiknya agar tidak mengulangi kesalahan lagi. Karena itu, para penulis, sebagai mahasiswa ilmu komunikasi, menulis mengenai kode etik humas dan jurnalis agar dapat menjadi pembelajaran bagi kami. Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Terima kasih

Você também pode gostar