Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
i
= + u
i
i =1, 2, ..., N
Dimana adalah random effect term. Secara esensial, kita ingin
mengatakan bahwa Cross-section yang masuk ke dalam sampel
diambil dari populasi yang lebih besar dan semua memiliki rata-rata
yang sama untuk intercept setiap Cross-section yang dapat
direfleksikan dalam error term u
i.
Dengan demikian persamaan diatas dapat dituliskan kembali
menjadi:
Yit =
i
+
1
X
1
it +
2
X
2
it +
3
X
3
it +
4
X
4
it +ui +it
Yit =
i
+
1
X
1
it +
2
X
2
it +
3
X
3
it +
4
X
4
it +Wit
Error term kini adalah Wit yang terdiri dari ui dan eit. ui adalah
cross-section (random) error component, sedangkan eit adalah
combined error component. Untuk alasan inilam REM sering disebut
juga error component model (ECM).
69
b. Pemilihan Model
Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu
dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk
memperoleh dugaan yang efisien.
1) Uji F atau Uji Chow
Uji ini dilakukan untuk mengetahui model Pooled Least Square
(PLS) atau FEM yang akan digunakan dalam estimasi.
PLS merupakan restricted model dimana ia menerapkan intercept
yang sama untuk seluruh individu. Terkadang asumsi bahwa setiap
unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak
realistis mengingat dimungkinkan saja setiap unit cross section
memiliki perilaku yang berbeda. Untuk mengetahuinya digunakan
restricted F test untuk menguji hipotesis:
Ho : model PLS (restricted)
H1 : model fixed effect (unrestricted), dimana :
F =(Rur
2
-Rr
2
) / m
(1-Rur
2
) / df
Dimana Rr
2
didapat dari persamaan model PLS dan Rur
2
didapat
dari persamaan model FEM, merupakan jumlah restricted dan df for
numerator. H0 ditolak jika Fhitung >Ftabel.
Sebagai alternative dapat pula menggunakan uji Chow. Dasar
penolakan terhadap hipotesa nol tersebut adalah dengan menggunakan
F statistic seperti perumusan Chow sebagai berikut :
70
CHOW =(RRSS-URSS)/ (N-1)
URSS / (NT-N-K)
Dimana :
RRSS = Restricted Residual Sum Square yang diperoleh dari
estimasi data panel dengan metode pooled least square.
URSS = Unrestricted Residual Sum Square yang diperoleh dari
estimasi data panel dengan metode fixed effect.
N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series
K = Jumlah variabel penjelas.
J ika nilai CHOW statistic (F - stat) hasil pengujian >F - tabel ,
maka cukup bukti untuk melakukan penolakan H0, sehingga model
yang digunakan adalah FEM, dan begitu pula sebaliknya.
2) Uji Hausman
Uji ini dilakukan untuk menentukan penggunaan FEM atau
penggunaan REM. Ide dasar Hausman test adalah adanya hubungan
yang berbanding terbalik antara model yang bias dan model yang
effisien. Pada FEM, hasil estimasi tidak bias dan tidak efisien,
sebaliknya pada REM hasil estimasi bias dan efisien. Persamaan uji
Hausman adalah :
W =X2 [K] =(b- ) [(var (b) var ( ))]
-1
(b- )
W adalah nilai tes Chi-square hitung.
71
Hipotesis :
H0 =ada gangguan antar individu (random efek)
H1 =tidak ada gangguan antar individu (fixed efek)
J ika nilai statistik hausman lebih besar dari nilai kritisnya atau
hasil dari hausman test signifikan, maka H0 ditolak,berarti model
yang tepat adalah FEM, sebaliknya apabila nilai statistik hausman
lebih kecil dari nilai kritisnya maka model yang tepat adalah REM.
Selain menggunakan spesifiasi Hausman diatas, pertimbangan
memilih model FEM atau REM juga dapat menggunakan
pertimbangan sebagai berikut (Judge, et. al. 1980 dalam Modul Data
Panel Laboraturium FE UI, 2006: 11-12) :
1. Bila t (time series) besar dan n (cross section) kecil maka hasil
fixed effect dan Random effect tidak jauh berbeda sehingga dapat
dipilih pendekatan yang lebih mudah dihitung, yaitu fixed effect.
2. Apabila n besar dan t kecil, hasil estimasi kedua pendekatan akan
berbeda jauh. Apabila kita meyakini bahwa cross section yang
digunakan diambil secara acak maka harus random effect.
Sebaliknya, apabila kita yakin cross section yang dipilih tidak
diambil secara acak maka kita harus menggunakan fixed effect.
3. Apabila komponen error individual berkorelasi dengan variabel
bebas maka parameter yang diperoleh dengan fixed effect tidak
bias.
72
4. Apabila n besar dan t kecil dan apabila asumsi yag mendasari
random effect dapat terpenuhi maka random effect lebih efisien dari
fixed effect.
3) Uji Langrange Multiplier
LM Test atau lengkapnya The Breusch-Pagan LM Test digunakan,
jika hasil estimasi model menunjukkan penggunaan FEM. Maka perlu
dilakukan uji LM untuk memilih estimator struktur heterokedasitas
atau homokedasitas, dengan hipotesis :
H0 :
1
2
=
2
struktur homokedasitas
H1 :
1
2
2
struktur heterokedasitas
Pengujian dilakukan dengan rumus :
LM = ~
(n-1; )
Dimana :
T = Jumlah observasi
n = jumlah individu
= varian residual persamaan ke-i
= varian residual persamaan sistem
J ika nilai LM hasil perhitungan lebih besar dari
2
- Tabel, maka
cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol,
sehingga model yang digunakan adalah model random effect, dan
begitu pula sebaliknya.
73
Apabila terjadi heterokedasitas maka cara untuk mengatasi
heterokedasiti tersebut dapat dilakukan dengan model kuadrat terkecil
tertimbang (WLS) ataupun (GLS).
c. Test of Goodness Fit (Uji Kesesuaian)
1) Koefisien Determinasi (R-Square)
Koefisien determinasi (R-Square) dilakukan untuk melihat
seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersama
mampu memberi penjelasan terhadap variabel dependen.
2) Uji t-statistik
Uji t-statistik merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk
mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau
tidak terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel
lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai berikut:
Ho : bi =b
Ha : bi b
Dimana bi adalah koefisien variabel independen ke-i nilai
parameter hipotesis, biasanya b dianggap = 0. Artinya tidak ada
pengaruh variabel Xi terhadap Y. Bila nilai t-hitung >t-tabel maka
tingkat kepercayaan tertentu Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel
independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap
variabel dependen.
74
Nilai t-hitung diperoleh dengan :
t* =(bi-b)
Sbi
Dimana :
bi = koefisien variabel ke-i
b = nilai hipotesis nol
Sbi = simpangan baku dari variabel independen ke-i
Kriteria Pengambilan Keputusan :
Ho : = 0 Ho diterima (t*<tabel) artinya variabel
Independen secara parsial tidak berpengaruh nyata
terhadap variabel dependen.
Ha : 0 Ha diterima (t*>ttabel) artinya variabel
independen secara parsial berpengaruh nyata
terhadap variabel dependen
H0 diterima
Ha diterima Ha diterima
Kurva Uji t-statistik
75
3) Uji F-Statistik
Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar
pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel
independen. Untuk pengujian ini digunakan hipotesa sebagai berikut :
Ho :
1
,
2
,
3
,
4
=0 Ho diterima (Prob F-statistic signifikan
pada = 5%), artinya variabel independen secara bersama-sama
tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
Ha :
1
,
2
,
3
,
4
0 Ha diterima (Prob F-statistic tidak
signifikan pada = 5%), artinya variabel independen secara
bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
d. Uji Asumsi Klasik
Menurut Gujarati (2006: 183), untuk memperoleh model yang baik,
regresi harus memenuhi asumsi regresi klasik, dimana model harus
terbebas dari masalah-masalah dalam regresi yaitu multikolinearitas,
heterokedastisitas, dan autokorelasi.
1) Normalitas
Uji ini adalah uji yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
apakah suatu variabel mmpunyai distribusi data yang normal maupun
medekati normal atau tidak. Pengujian didasari dari data dengan mean
dan standar deviasi yang sama.
Uji normalitas digunakan jika sampel kurang dari 30, karena jika
sampel lebih dari 30 maka error term akan terdistribusi secara normal.
76
menurut Gujarati (dalam winarno, 2009: 5.37), penelitian dengan
sampel lebih besar atau sama dengan 30 (n30) akan berkemungkinan
besar untuk berdistribusi normal.
Untuk menguji normalitas data dalam penelitian menggunakan
Jarque Bera Test. Uji Jarque Bera didistribusi dengan
2
dengan
derajat kebebasan (degree of freedom) sebesar 2, dimana
2
-hitung <
2
-tabel menunjukkan data berdistribusi normal.
2) Multikolinearitas
Uji ini berguna untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
(korelasi) yang sempurna atau hampir sempurna di antara beberapa
atau semua variabel bebas. Analisis regresi yang baik bilamana tidak
terdapat korelasi antar variabel bebas.
Gujarati (2006: 68), mengatakan bahwa multikolinearitas dapat
dideteksi dengan beberapa indikator sebagai berikut :
a. R
2
relatif tinggi (0,70 1,00) tetapi hanya sebagian kecil atau
bahkan tidak ada variabel bebas yang signifikan menurut t-test,
maka diduga terdapat multikolinearitas.
b. Koefisien korelasi parsial (r
2
) relatif tinggi (lebih tinggi dari R
2
),
maka cenderung terdapat multikolinearitas.
Salah satu cara lain dalam mendeteksi gejala multikolinearitas
adalah dengan menghitung koefisien korelasi sederhana (simple
correlation) antara sesama variabel bebas, jika terdapat koefisien
77
korelasi sederhana yang mencapai atau melebihi 0,8 maka hal tersebut
menunjukkan terjadinya masalah multikolinearitas dalam regresi.
3) Heteroskedastis
Dalam regresi linear ganda, salah satu asumsi yang harus
dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah
Var (ui) =
2
(konstan), semua varian mempunyai variasi yang sama.
Pada umumnya, heteroskedastisitas diperolah pada data cross section.
Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi
tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten.
Heteroskedasitas dapat dideteksi dengan metode grafik (Gujarati,
2006 : 89-91 ), yakni:
a. J ika terdapat pola tertentu pada penyebaran titik-titik variabel
gangguan, maka telah terjadi heteroskedasitas.
b. Sebaliknya, jika tidak terdapat pola yang jelas, titik-titik variabel
gangguan menyebar di atas dan di bawah 0 (nol), maka tidak terjadi
heterokedasitas.
Dalam pengolahan data panel dalam Eviews 6, menggunakan
metode General Least Square (Cross Section Weights), untuk
mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan
Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Squared
Resid Unweighted Statistics. J ika Sum Square Resid pada Weighted
Statistics < Sum Squared Resid Unweighted Statistics, maka terjadi
78
heteroskedastisitas. Perlakuan untuk pelanggaran tersebut adalah
dengan mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity.
4) Autokorelasi
Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya.
Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai
Durbin-Watson (DW) dalam Eviews. Untuk mengetahui ada atau
tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-
statistik dengan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi
terangkum dalam Tabel 3.1 berikut :
Tabel 3.1 Nilai Durbin Watson dalam Eviews
Nilai DW Hasil
DW <dl Tolak H0, Korelasi serial positif
dl <DW <du Hasil tidak dapat ditentukan
du <DW <4-dl Terima H0, tidak ada korelasi positif atau negatif
4-du <DW <4-dl Hasil tidak dapat ditentukan
DW <4-dl Tolak H0, korelasi serial negatif
Sumber : Nachrowi, 2006
Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang
berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola
random error dari hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan
dalam model, jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi
tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Perlakuan untuk
pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR (1) atau AR (2) dan
seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model
regresi yang kita gunakan.
79
2. Estimasi efek waktu (time effect)
Untuk menangkap gejala ekonomi yang ada pada masa observasi, maka
dalam penelitian ini juga dilakukan time effect yang merupakan dummy
waktu terhadap gejala ekonomi yang timbul pada masa tersebut. Dalam
penelitian ini time effect yang digunakan adalah periode otonomi daerah.
Periode otonomi daerah berkenaan dengan kebijakan pemerintah dalam
memerikan sebagian kewenangan kepada daerah yang lebih luas, nyata dan
bertanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan daerah guna
terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang lebih berarti.
Sebagaimana yang kita ketahui, otonomi daerah mulai diterapkan sejak
tahun 2000. Oleh karena itu dummy waktu yang digunakan adalah : (i)
sebelum otonomi daerah, yaitu 1994-1999 dan (ii) pada saat otonomi
daerah, yaitu tahun 2000-2008.
Diharapkan bahwa dengan dummy ini diperoleh informasi perbedaan
pertumbuhan ekonomi dimana pada periode sebelum otonomi daerah
terdapat suatu fase ekonomi yang terkenal, yaitu krisis ekonomi, sehingga
diharapkan bahwa hasil dari penelitian ini adalah negative pada saat
sebelum otonomi daerah diberlakukan.
3. Model Umum Penelitian
Untuk tujuan penelitian, analisis regresi data panel dapat
diformulasikan sebagai berikut :
Y
i,t
= +
1
X
1i,t
+
2
X
2i,t
+
3
X
3i,t
+
4
D
4i,t
+
i,t
80
Untuk mnstandarkan data, model diatas kemudian
ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan berikut :
Log(Y
i,t
) = +
1
Log(X
1i,t
) +
2
Log(X
2i,t
) +
3
X
3i,t
+
4
D
4i,t
+
i,t
Dimana :
Y = PDRB propinsi
t = Tahun
i = Propinsi di Pulau J awa
= Intercept/Konstanta
1
,
2
,
3
,
4
= Koefisien regresi
X
1
= Kapasitas Fiskal
X
2
= Investasi Swasta
X
3
= Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
D
4
= Dummy Otonomi daerah
= Error Term
E. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel Bebas (Independent Variabels)
a. Kapasitas Fiskal
Merupakan tingkat kemampuan suatu daerah dalam menghimpun
dana dan untuk membiayai kegiatan dan pembangunan daerahnya
sendiri. Formulasinya disesuaikan dengan Peraturan Presiden RI No.59
tahun 2009, bahwa kapasitas fiskal diperoleh dari penjumlahan antara
81
PAD dengan DBH pajak dan non-pajak. Diukur secara tahunan dalam
satuan juta rupiah.
b. Investasi Swasta
Terdiri dari PMDN, yang merupakan besarnya penanaman modal
oleh sektor swasta dalam negeri di propinsi di Pulau J awa. Dan PMA,
yang merupakan besarnya penanaman modal oleh sektor swasta luar
negeri di propinsi di Pulau J awa. Diukur secara tahunan dalam satuan
juta rupiah.
c. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
Adalah Persentase dari total angkatan kerja yang bekerja yang dalam
kurun waktu penelitian dapat diserap atau dapat ikut serta secara aktif
dalam kegiatan perekonomian suatu wilayah atau negara. Diukur secara
tahunan dalam satuan ribu jiwa.
d. Dummy Variabel
Dalam penelitian ini, variabel otonomi daerah adalah variabel
dummy dengan kriteria nilai 0 untuk data sebelum periode sebelum
otonomi daerah dan nilai 1 untuk periode setelah otonomi daerah.
2. Variabel terikat/tergantung (Dependent Variabels)
Pertumbuhan Ekonomi regional
Merupakan PDRB antar propinsi di Pulau J awa per tahun (atas dasar
harga konstan 2000), Diukur secara tahunan dalam satuan juta rupiah.
82
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
1. DKI Jakarta
a. Lokasi dan Keadaan Geografis
Propinsi DKI J akarta berada di bagian barat Indonesia. Propinsi DKI
J akarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan satu Kabupaten
administratif, yaitu : Kota administrasi J akarta Pusat dengan luas 47,90
km
2
; J akarta Utara dengan luas 142,20 km
2
; Jakarta Barat dengan luas
126,15 km
2
; Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km
2
dan Kota
administrasi J akarta Timur dengan luas 187,73 km
2
, serta Kabupaten
Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km
2
.
Di sebelah utara membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi
tempat bermuaranya 13 sungai dan 2 kanal.
b. Kondisi Demografi
Laju pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1980-1990 sebesar
2,42 persen per tahun, menurun pada periode 1990-2000 dengan laju 0,16
persen. Pada periode 2000-2005, laju pertumbuhan penduduk sebesar
1,06 persen per tahun. Sepanjang periode 2002-2006 angka kematian
bayi turun secara signifikan, yaitu dari 19,0 per 1000 kelahiran hidup
tahun 2002 menjadi 13,7 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2006.
Dengan penurunan angka kelahiran total dari 1,56 pada tahun 2000
83
menjadi 1,53 pada tahun 2006, maka terlihat faktor dominan yang
mempengaruhi pertambahan jumlah penduduk adalah turunnya angka
kematian bayi disamping migrasi dalam jumlah yang cukup besar karena
pengaruh daya tarik Kota J akarta sebagai pusat administrasi
pemerintahan, ekonomi, keuangan, dan bisnis.
Dilihat dari struktur umur, penduduk J akarta sudah mengarah ke
penduduk tua, artinya proporsi penduduk muda yaitu yang berumur
0-14 tahun sudah mulai menurun. Bila pada tahun 1990, proporsi
penduduk muda masih sebesar 31,9 persen, maka pada tahun 2006
proporsi ini menurun menjadi 23,8 persen. Sepanjang tahun 2002-2006,
proporsi penduduk umur muda tersebut relatif stabil, yaitu sekitar 23,8
persen. Sebaliknya proporsi penduduk usia lanjut (65 tahun ke atas) naik
dari 1,5 persen pada tahun 1990, menjadi 2,2 persen pada tahun 2000.
Tahun 2006, proporsi penduduk usia lanjut mengalami kenaikan menjadi
3,23 persen. Kenaikan penduduk lansia mencerminkan adanya kenaikan
rata-rata usia harapan hidup, yaitu dari 72,79 tahun pada tahun 2002
menjadi 74,14 tahun pada tahun 2006.
c. Potensi Wilayah
J akarta dengan kondisi geografis lautan yang lebih luas dari daratan
memiliki potensi sumber daya laut yang cukup besar, yaitu berupa
sumber daya mineral dan hasil laut. Sumber daya mineral yang
dihasilkan, tepatnya di Pulau Pabelokan, Kepulauan Seribu, berupa
84
minyak bumi dan gas mulai dieksploitasi sejak tahun 2000 dengan rata-
rata kapasitas produksi sekitar 4 juta barel per tahun.
Kekayaan laut yang dapat dieksploitasi berupa ikan konsumsi dan
ikan hias. Selama lima tahun terakhir, tiap tahunnya rata-rata produksi
ikan konsumsi mencapai 123 ribu ton dan produksi ikan hias mencapai
59,86 juta ekor.
2. Jawa Barat
a. Lokasi dan Keadaan Geografis
Propinsi J awa Barat berada di bagian barat Pulau Jawa. Wilayahnya
berbatasan dengan Laut J awa di utara, J awa Tengah di timur, Samudra
Hindia di selatan, serta Banten dan DKI J akarta di barat.
Kawasan pantai utara merupakan dataran rendah. Di bagian tengah
merupakan pegunungan, yakni bagian dari rangkaian pegunungan yang
membujur dari barat hingga timur Pulau J awa. Titik tertingginya adalah
Gunung Ciremay, yang berada di sebelah barat daya Kota Cirebon.
b. Kondisi Demografi
Penduduk asli J awa Barat adalah suku Sunda, J awa Barat merupakan
wilayah berkarakteristik kontras dengan dua identitas; masyarakat urban
yang sebagian besar tinggal di wilayah J ABOTABEK (sekitar J akarta)
dan masyarakat tradisional yang hidup di pedesaan yang tersisa.
Pada tahun 2002, populasi J awa Barat mencapai 37.548.565 jiwa,
dengan rata-rata kepadatan penduduk 1.033 jika/km persegi.
85
Dibandingkan dengan angka pertumbuhan nasional (2,14% per tahun),
Propinsi J awa Barat menduduki peringkat terendah, dengan 2,02% per
tahun.
c. Potensi Wilayah
Propinsi J awa Barat memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi untuk
manufaktur termasuk diantaranya elektronik, industri kulit, pengolahan
makanan, tekstil, furnitur dan industri pesawat. Juga panas bumi, minyak
dan gas, serta industri petrokimia menjadi andalan J awa Barat.
Penyumbang terbesar terhadap PDRB J awa Barat adalah sektor
manufaktur (36,72%), hotel, perdagangan dan pertanian (14,45%),
totalnya sebesar 51,17%. Terlepas dari adanya krisis, J awa Barat masih
menjadi pusat dari industri tekstil modern dan garmen nasional, berbeda
dengan daerah lain yang menjadi pusat dari industri tekstil tradisional.
J awa Barat menyumbangkan hampir seperempat dari nilai total hasil
produksi Indonesia di sektor non Migas. Ekspor utama tekstil, sekitar
55,45% dari total ekspor jawa Barat, yang lainnya adalah besi baja, alas
kaki, furnitur, rotan, elektronika, komponen pesawat dan lainnya.
J awa Barat dikenal sebagai salah satu 'lumbung padi' nasional,
hampir 23 persen dari total luas 29,3 ribu kilometer persegi dialokasikan
untuk produksi beras. Tidak dipungkiri lagi, J awa Barat merupakan
'Rumah Produksi' bagi ekonomi Indonesia, hasil pertanian Propinsi Jawa
Barat menyumbangkan 15 persen dari nilai total pertanian Indonesia.
86
Hasil tanaman pangan Jawa Barat meliputi beras, kentang manis,
jagung, buah-buahan dan sayuran, disamping itu juga terdapat komoditi
seperti teh, kelapa, minyak sawit, karet alam, gula, coklat dan kopi.
Perternakannya menghasilkan 120.000 ekor sapi ternak, 34% dari total
nasional.
J awa Barat berhadapan dengan dua sisi lautan J awa pada bagian
utara dan samudera Hindia di bagian selatan dengan panjang pantai
sekitar 1000 km. Berdasarkan letak inilah Propinsi J awa Barat memiliki
potensi perikanan yang sangat besar. Suatu perencanaan terpadu tengah
dilaksanakan untuk pengembangan Pelabuhan Cirebon, baik sebagai
pelabuhan Pembantu Tanjung Priok J akarta, maupun sebagai pelabuhan
perikanan J awa Barat yang dilengkapi dengan industri perikanan.Untuk
potensi perairan darat, tidak hanya dari sejumlah sungai yang mengalir di
J awa Barat, Tetapi potensi ini juga diperoleh dari penampungan air /
DAM saguling di Cirata dan DAM J atiluhur yang selain menghasilkan
tenaga listrik juga berguna untuk mengairi area pertanian dan industri
perikanan air tawar. Minyak dapat ditemukan di sepanjang Laut J awa,
utara J awa Barat, sementara cadangan geothermal (panas bumi) terdapat
di beberapa derah di J awa Barat.
Tambang lain sepert batu gamping, andesit, marmer, tanah liat
merupakan pertambangan mineral yang dapat ditemukan, termasuk
mineral lain yang cadangan depositnya sangat potensial, Emas yang
87
dikelola PT. Aneka Tambang, potensinya sebesar 5,5 million ton, dan
menghasilkan 12,1 gram emas per ton.
3. Jawa Tengah
a. Lokasi dan Keadaan Geografis
J awa Tengah sebagai salah satu Propinsi di J awa, letaknya diapit
oleh dua Propinsi besar, yaitu J awa Barat dan J awa Timur. Propinsi ini
berbatasan dengan Propinsi J awa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia
dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di
sebelah timur, dan Laut J awa di sebelah utara. Luas wilayahnya 32.548
km, atau sekitar 25,04% dari luas pulau J awa.
Secara administratif Propinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29
Kabupaten dan 6 Kota. Luas Wilayah Jawa Tengah sebesar 3,25 juta
hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas pulau Jawa (1,70% luas
Indonesia). Luas yang ada terdiri dari 1,00 juta hektar (30,80%) lahan
sawah dan 2,25 juta hektar (69,20 persen) bukan lahan sawah.
b. Kondisi Demografi
Jumlah penduduk Propinsi J awa Tengah adalah 30.775.846 jiwa.
Kabupaten/ kota dengan jumlah penduduk terbesar adalah Kabupaten
Brebes (1,767 juta jiwa), Kabupaten Cilacap (1,644 juta jiwa), dan
Kabupaten Banyumas (1,603 juta jiwa). Sebaran penduduk umumnya
terkonsentrasi di pusat-pusat kota, baik kabupaten ataupun kota.
Kawasan permukiman yang cukup padat berada di daerah Semarang
88
Raya (termasuk Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten Demak dan
Kendal), Solo Raya (termasuk sebagian wilayah Kabupaten Karanganyar,
Sukoharjo, dan Boyolali), serta Tegal-Brebes-Slawi.
Pertumbuhan penduduk Propinsi J awa Tengah sebesar 0,67% per
tahun. Pertumbuhan penduduk tertinggi berada di Kabupaten Demak
(1,5% per tahun), sedang yang terendah adalah Kota Pekalongan (0,09%
per tahun). Dari jumlah penduduk ini, 47% diantaranya merupakan
angkatan kerja. Mata pencaharian paling banyak adalah di sektor
pertanian (42,34%), diikuti dengan perdagangan (20,91%), industri
(15,71%), dan jasa (10,98%).
c. Potensi Wilayah
Struktur daratan Propinsi J awa Tengah adalah bergunung-gunung
yang membujur sejajar dengan arah panjang pulau J awa, baik di bagian
tengah maupun daerah pantai utara dan pantai selatan, dan terdapat
beberapa gunung yang masih aktif. Banyaknya daerah pegunungan
dengan tanah yang cukup subur tersebut sangat cocok untuk budi-daya
tanaman hortikultura. Selain itu, di antara barisan pegunungan terdapat
dataran subur karena dialiri oleh 7 (tujuh) sungai yang memberikan
kehidupan terutama pada tanaman padi. Dengan luas lahan persawahan
yang ada, produksinya mampu mendukung pemenuhan kebutuhan beras
di J awa Tengah, bahkan mampu mendukung pemenuhan kebutuhan beras
nasional.
89
Meskipun demikian, ada beberapa wilayah J awa Tengah yang
memiliki tanah yang kering dan tandus, seperti daerah-daerah Jawa
Tengah bagian timur serta bagian tenggara J awa Tengah. Di beberapa
daerah bahkan memiliki tanah tandus dan berkapur sehingga cocok untuk
pertambangan kapur dan semen. Hasil tambang dan bahan galian antara
lain adalah tanah liat, silica, marmer, dan pasir besi. Di beberapa wilayah
J awa Tengah sumber tambang relatif melimpah dan seluruhnya dapat
digali dan dimanfaatkan. Bahan tambang seperti emas, tembaga, andesit
dan pasir besi yang sudah diusahakan, relatif masih sedikit. Sedangkan
bahan galian golongan C sudah banyak diusahakan dan telah dapat
memberikan sumbangan pada penerimaan pendapatan daerah di wilayah
J awa Tengah.
Potensi air permukaan terdapat di Satuan Wilayah Sungai (SWS)
J awa Tengah terdiri atas Cimanuk, Citanduy, Pemali Comal, Serayu,
J ratunseluna, dan Bengawan Solo dengan potensi air sebesar 94.752,82
ribu m3 per tahun. Di samping itu terdapat potensi air bawah tanah yang
dapat digunakan untuk air minum/air bersih, irigasi, dan keperluan
lainnya. Sementara itu, luas hutan di J awa Tengah sekitar 647.596,81 ha,
yang terdiri dari 573.241,63 ha hutan produksi, 73.477,88 ha hutan
lindung, dan 877,30 ha merupakan hutan wisata dan suaka alam.
90
4. D.I Yogyakarta
a. Lokasi dan Keadaan Geografis
Propinsi DIY yang merupakan propinsi terkecil kedua di Indonesia
setelah Propinsi DKI J akarta. Secara geografis, di sebelah selatan DIY
berbatasan dengan Samudera Indonesia dan dibatasi dengan garis
panjang pantai sepanjang 110 km. Di sebelah utara menjulang tinggi
gunung paling aktif di dunia, Merapi (2.968 m) yang pada pertengahan
tahun 2006 masih menunjukkan aktivitasnya, dan tahun ini november
2010 baru meletuskan lagi laharnya. Di sebelah barat mengalir sungai
Progo yang berawal dari Propinsi J awa Tengah. Sedangkan di sebelah
timur mengalir sungai Opak yang bersumber dari Puncak Merapi dan
bermuara di laut Jawa.
Luas keseluruhan DIY adalah 3.185,80 km2 atau kurang dari 0,5%
luas daratan Indonesia dengan ibukota Propinsi adalah Kota Yogyakarta.
Secara administratif DIY terbagi dalam 5 wilayah daerah tingkat II,
yaitu: Kotamadya Yogyakarta dengan luas 32,5 km2 ; Kabupaten Bantul
dengan luas 506,85 km2 ; Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36
km2 ; Kabupaten Kulonprogo dengan luas 586,27 km2 ; Kabupaten
Sleman dengan luas 574,82 km2.
b. Kondisi Demografi
Penduduk DIY tercatat sebanyak 3.220.808 jiwa (Susenas, BPS,
2004) dengan persentase yang hampir berimbang antara penduduk
perempuan dan laki-laki yaitu masing-masing sebesar 50,81% dan
91
49,19%. Pertumbuhan penduduk pada tahun 2004 adalah 0,42%,
pertumbuhan tertinggi terjadi di Kota Yogyakarta yakni sebesar 1,79%,
diikuti oleh Kabupaten Sleman (0,42%), Kabupaten Kulonprogo
(0,19%), Kabupaten Gunungkidul (0,16%) dan Kabupaten Bantul
(0,07%).
Kota Yogyakarta yang memiliki luas paling kecil, justru memiliki
kepadatan penduduk tertinggi yaitu 12.246 jiwa per km2. Sedangkan
Kabupaten Gunungkidul dengan luas terbesar menduduki peringkat
terakhir kepadatan penduduk yaitu 462,33 jiwa per km2. Kepadatan
penduduk Kabupaten lainnya adalah Kabupaten Sleman 1.642 jiwa per
km2 , Kabupaten Bantul 1.610 jiwa per km2 dan Kabupaten Kulonprogo
641 jiwa per km2.
c. Potensi Wilayah
Gunung Api Merapi dan lereng gunung api, terletak di bagian utara
DIY pada ketinggian 500 m hingga 2.911 m. Dataran Aluvial,
terletak di bagian tengah membentang ke selatan DIY hingga Samudra
Indonesia. Wilayah ini mempunyai topografi datar-hampir datar,
sehingga merupakan lahan yang baik untuk permukiman dan pertanian.
Pegunungan Kulon Progo yang terletak di bagian barat DIY dengan
batas bagian timur adalah lembah progo dan bagian selatan dibatasi oleh
dataran aluvial pantai. Wilayah ini mempunyai lereng curam-hingga
sangat curam sehingga proses erosi dan longsor sering terjadi dan perlu
tindakan konservasi tanah. Dataran Tinggi Gunungkidul, yang meliputi
92
bagian tenggara DIY. Bagian utara daerah ini dibatasi oleh pegunungan
Batur Agung dengan garis yang terjal dan memanjang. Bagian tengah
merupakan ledok Wonosari dengan topografi datar bergelombang dan
pada bagian selatan merupakan perbukitan karst yang disebut Gunung
Sewu. Lereng perbukitan karst tersebut curam dan merupakan lahan
kritis.
Secara umum, sungai-sungai yang berasal dari gunung Merapi
mempunyai debit yang relatif sinambung sepanjang tahun dibanding
sungai-sungai di daerah Gunungkidul dan Kulon Progo.
Berdasarkan kondisi akifernya, ketersediaan air tanah dari yang
terbaik hingga terburuk di DIY secara berututan adalah: Kabupaten
Sleman; Kabupaten Bantul; Kabupaten Kulon Progo; dan Kabupaten
Gunungkidul.
Kondisi hutan di Propinsi DIY adalah terdiri dari Hutan Negara
seluas 17.064,364 hektar (5,36 %) dari luas wilayah DIY. Tingkat
pemanfaatan potensi produksi dan lahan masih relatif rendah (24.47 %),
sehingga kemungkinan pengembangannya untuk peningkatan produksi
perikanan masih cukup besar. Sebagai penunjang dari kegiatan budidaya
ikan baik laut, payau maupun tawar adalah ketersediaan benih ikan dalam
jumlah, mutu, waktu dan ukuran yang memadai.
Secara umum pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan belum
optimal. Pada tahun 2001, pemanfaatan potensi baru 9.0 % yaitu dengan
93
tercapainya produksi ikan konsumsi sebesar 6.618,6 ton/ekor atau
menurun 3.62 % dari produksi tahun 2000 sebesar 6.935,30 ton/ekor.
Jumlah nelayan meningkat sebanyak 21,19 %. Armada perikanan
naik sebanyak 55,70 %. Kegiatan penangkapan ikan ini masih didominasi
oleh penangkapan ikan pantai sehinggga ikan lepas pantai dan samudera
belum tergarap.
Produksi ikan konsumsi menurun rata-rata 2,41 % per tahun,
produksi benih ikan/udang meningkat 56,72 % per tahun, ikan hias 53,31
% per tahun. Konsumsi ikan rata-rata selama 5 tahun mengalami
kenaikan sebesar 0,84 % per tahun.
5. Jawa Timur
a. Lokasi dan Keadaan Geografis
J awa Timur adalah sebuah propinsi di bagian timur Pulau J awa. Luas
wilayahnya 47.922 km, dan jumlah penduduknya 37.070.731 jiwa
(2005). J awa Timur memiliki wilayah terluas di antara 6 propinsi di
Pulau J awa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di
Indonesia setelah J awa Barat. J awa Timur berbatasan dengan Laut Jawa
di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Propinsi
J awa Tengah di barat. Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Madura,
Pulau Bawean, Pulau Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut
J awa dan Samudera Hindia(Pulau Sempu dan Nusa Barung).
94
J awa Timur dikenal sebagai pusat Kawasan Timur Indonesia, dan
memiliki signifikansi perekonomian yang cukup tinggi, yakni
berkontribusi 14,85% terhadap Produk Domestik Bruto nasional.
b. Kondisi Demografi
Jumlah penduduk J awa Timur pada tahun 2005 adalah 37.070.731
jiwa, dengan kepadatan 774 jiwa/km2. Kabupaten dengan jumlah
penduduk terbanyak adalah Kabupaten Malang, sedang kota dengan
jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Surabaya. Laju pertumbuhan
penduduk adalah 0,59% per tahun (2004).
c. Potensi Wilayah
Karakteristik J awa timur atas dasar struktur, sifat dan persebaran
jenis tanahnya diidentifikasi merupakan daerah subur, sebagian besar
wilayah J awa Timur di aliri sungai, 2 buah sungai yang besar adalah kali
Brantas sepanjang 317 Km dan Bengawan Solo sepanjang 540 Km.
Keberadaan sungai-sungai tersebut selain untuk pengairan dan prasarana
transportasi antar daerah juga didayagunakan untuk bendungan,
pembangkit energi, perikanan dan wisata. Selain dari sungai-sungai
tersebut, keadaan hidrologis Jawa Timur juga ditentukan oleh adanya
rawa - rawa maupun telaga, bendungan, waduk, mata air dan sumur bor.
Menurut pola penggunaan kawasan hutan di J awa Timur ada
berbagai macam, diantaranya untuk cagar alam, hutan wisata, calon
taman nasional, hutan lindung, reboisasi, tumpang sari serta hutan
produksi, sedangkan produksi hutan di Jawa Timur merupakan salah satu
95
komoditas ekspor non migas. J awa Timur mempunyai potensi perikanan
darat diantaranya tambak, kolam, sawah tambak, menanam padi keramba
dan perairan umum. Areal perikanan laut Jawa Timur merupakan areal
penangkapan ikan yang potensial.
Propinsi J awa Timur merupakan daerah produksi ternak, yaitu 40%
dari seluruh jenis ternak di Indonesia. Hasil utama produksi peternakan
adalah daging, telur dan susu, sedangkan hasil produksi perternakan yang
diekspor adalah kulit, tulang dan bulu bebek. Termasuk dalam kawasan
ini antara lain kawasan pertambangan, kawasan tersebut khusus untuk
mineral mengikuti pola persebaran bantuan induknya. Sementara itu
wilayah sungai juga merupakan kawasan penggalian pasir seperti di
sungai Lesti, Brantas dan sebagainya. Kawasan yang secara khusus
digunakan untuk pembangkit energi antara lain, Waduk Sutami, Paiton,
Senguruh dan sebagainya.
B. Hasil dan Pembahasan
1. Analisa Deskriptif
a. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah indikator yang
lazim digunakan untuk mengukur kondisi perekonomian suatu wilayah
dalam tingkat propinsi/ kabupaten, dan Produk Domestik Bruto (PDB)
untuk tingkat nasional. Dalam penelitian ini, PDRB yang digunakan
adalah PDRB yang dihitung atas dasar harga konstan tahun 2000, yaitu
96
semua produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit
kegiatan ekonomi yang ada di wilayah tersebut dinilai berdasarkan harga
pasar pada tahun yang bersangkutan.
Fluktuasi laju perkembangan PDRB lima propinsi di pulau Jawa itu
sendiri dapat dilihat pada gambar 4.1
(Dalam Juta Rupiah)
Sumber : BPS, diolah.
Gambar 4.1 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Lima Propinsi di
Pulau J awa tahun 1994 2008
Dapat dilihat pada gambar diatas, bahwa laju perkembangan PDRB
lima propinsi di Pulau Jawa sangat berfluktuatif, hal ini dapat disebabkan
oleh berbagai macam aspek, baik dari segi stabilitas keamanan daerah
dan atau nasional yang berdampak pada kegiatan ekonomi daerah
tersebut, kemampuan suatu seluruh unit ekonomi dalam mengoptimalkan
produktifitasnya dalam kegiatan ekonomi.
0.00
50,000,000.00
100,000,000.00
150,000,000.00
200,000,000.00
250,000,000.00
300,000,000.00
350,000,000.00
400,000,000.00
DKI
Jawa barat
Jawa tengah
DIY
Jawa timur
97
Seperti yang kita ketahui bahwa saat memasuki pertengahan tahun
1997, situasi moneter berubah drastis. Rupiah mendapatkan tekanan-
tekanan depresiatif yang sangat besar. Hal tersebut berawal dari krisis
nilai tukar Thailand dan kemudian menyebar ke ASEAN lainnya
termasuk Indonesia dan Korea Selatan. Penyebab utama tekanan nilai
tukar tersebut adalah menurunnya kepercayaan investor asing terhadap
perekonomian Indonesia. J ika dilihat dari sisi permintaan, menurunnya
pertumbuhan ekonomi pada tahun 1997 terutama diakibatkan oleh
melemahnya permintaan domestik, khususnya konsumsi rumah tangga
dan investasi swasta.
Konsumsi rumah tanggayang merupakan cerminan dari daya beli
masyarakat yang menurun, terutama terjadi pada sekitar pertengahan
tahun 1997, sebagai akibat dari peningkatan laju inflasi yang disertai
dengan menurunnya kegiatan pada sektor pertanian mendorong kenaikan
harga barang dan jasa secara umum.
Sementara itu melemahnya kegiatan investasi swasta yang mulai
terlihat sejak pertengahan 1997 merupakan dampak dari melemahnya
permintaan yang disertai dengan peningkatan biaya produksi dan
kesulitan keuangan yang dihadapi sektor usaha sehubungan dengan
merosotnya nilai nukar rupiah. Disamping itu, dalam tahun laporan
(1997/1998), suku bunga mengalami kenaikan tajam sejalan dengan
langkah pengetatan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia
sehingga mendorong melemahnya kegiatan investasi. Sehingga dapat kita
98
lihat PDRB hampir seluruh propinsi penelitian menurun pada tengah
tahun 1997.
PDRB J awa Timur pada tahun 2006 memperlihatkan penurunan
yang signifikan, seperti yang telah kita ketahui bahwa pada Mei 2006
telah terjadi fenomena alam yang cukup menggemparkan dan merugikan
khususnya di propinsi Jawa timur, yaitu meluapnya lumpur lapindo yang
mengakibatkan stabilitas perekonomian J awa timur terganggu yang
berhubungan langsung dengan tingkat konsumsi masyarakatnya serta
ketertarikan para investor untuk berinvestasi sehingga mempengaruhi
PDRB Jawa timur kepada arah yang negatif.
Hal lainnya sangat berpengaruh adalah dikarenakan industri rokok
yang memiliki pangsa cukup besar di subsektor di Jawa Timur diduga
mengalami kendala pertumbuhan akibat kenaikan cukai rokok yang
dilakukan beberapa kali pada tahun 2006 dan adanya penutupan beberapa
perusahaan rokok tanpa cukai oleh pemerintah. Selain itu, perlambatan
pertumbuhan pada kelompok industri rokok ini adalah akibat kenaikan
harga cengkeh hingga 75% pada bulan Februari 2006 serta pemindahan
produksi makanan-minuman ke Cina. Sehingga cukup signifikan
menurunkan PDRB J awa Timur.
Pertengahan tahun 2007 kondisi perekonomian J awa timur membaik,
terjadinya penurunan inflasi yang sempat meningkat pada tahun 2006
yang mencapai 14,06%. Seluruh komponen tumbuh meningkat,
konsumsi rumah tangga yang memiliki pangsa terbesar dalam PDRB
99
tumbuh lebih cepat dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Konsumsi
Pemerintah juga tumbuh seiring dengan meningkatnya pengeluaran rutin
berupa kenaikan gaji PNS yang terjadi pada triwulan laporan. Sementara
itu, kegiatan ekspor-impor mencatatkan peningkatan pertumbuhan
signifikan, yang merupakan cerminan aktifnya kegiatan perdagangan
J awa Timur dengan daerah lain/negara lain. (Kajian Ekonomi Regional,
2007: 1)
PDRB yang terlihat paling signifikan dimiliki oleh DKI J akarta,
kenaikan yang signifikan terlihat pada sepuluh tahun terakhir yang terus
mengalami kenaikan. Sedangkan PDRB terendah dimiliki oleh DIY.
Tetapi secara keseluruhan PDRB propinsi-propinsi di Pulau J awa ini
selalu mengalami peningkatan, sehingga dapat dikatakan tingkat
kemandiriannya pun dapat berangsur-angsur meningkat, sehingga
tercapainya tujuan dari otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia.
b. Perkembangan Kapasitas Fiskal
Kapasitas Fiskal merupakan salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk melihat tingkat kemandirian suatu daerah, terdapat
berbagai macam rumus yang digunakan untuk menghitung kapasitas
fiskal suatu daerah, dalam hal ini, peneliti menggunakan rumusan yang
terdapat pada Peraturan Presiden RI No.53 Tahun 2009, dimana kapasitas
fiskal didapat melalui penjumlahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
Dana Bagi Hasil baik pajak maupun non-pajak.
100
Kapasitas fiskal lima propinsi dipulau jawa dalam kurun waktu lima
belas tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 4.2, dimana pada kurun
waktu tersebut telah diberlakukannya otonomi daerah.
(Dalam Juta Rupiah)
Sumber : Statistik Keuangan daerah, BPS, diolah, 1994-2008
Gambar 4.2 Kapasitas Fiskal lima propinsi di Pulau J awa tahun
1994-2008
Kapasitas fiskal kelima propinsi di Pulau J awa ini terus mengalami
peningkatan, terutama pada propinsi DKI J akarta, dapat dilihat pada
gambar 4.2, bahwa kapasitas fiskal propinsi DKI J akarta meningkat
tajam, hal ini dapat terjadi dikarenakan salah satu keuntungan propinsi
DKI Jakarta adalah Ibu kota negara dimana segala kebijakan-kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan tujuan meningkatkan
penerimaan daerah dapat dengan cepat diterima dan segera direalisasikan
dengan lebih cepat oleh pemerintah propinsi DKI J akarta, salah satu
contohnya adalah perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
pusat untuk menghimbau pemerintah daerah dalam memudahkan
0.00
2,000,000.00
4,000,000.00
6,000,000.00
8,000,000.00
10,000,000.00
12,000,000.00
14,000,000.00
16,000,000.00
18,000,000.00
20,000,000.00
DKI
Jawa Barat
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
101
perizinan penanaman usaha oleh pihak swasta, sejak tahun 2006, baru
DKI J akarta yang mengeluarkan kebijakan tersebut, sehingga hasilnya
baru telihat dan unggul pada propinsi DKI J akarta yaitu pada bidang
investasi seperti yang akan dibahas pada Gambar 4.3.
Otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk dapat
meningkatkan pembangunannya sendiri sehingga pemerintah daerah
seoptimal mungkin harus dapat meningkatkan penerimaan daerahnya.
meskipun DKI J akarta memiliki sumber daya alam (SDA) yang tidak
begitu banyak, daerah-daerah seperti DKI J akarta memiliki sumber daya
manusia yang besar. Sehingga tetap memiliki pendanaan yang besar,
terutama dari pajak.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah daerah DKI J akarta
dengan seoptimal mungkin pada kebijakan-kebijakan untuk
meningkatkan pajak dalam tahap yang wajar diiringi dengan peningkatan
mutu dan kualitas fasilitas masyarakatnya.
Berdasarkan Kajian Ekonomi Regional J akarta dan Banten 2006,
mengemukakan bahwa APBD propinsi DKI J akarta meningkat secara
signifikan seiring dengan pertumbuhan ekonomi wilayahnya, hal tersebut
dimungkinkan oleh adanya program intensifikasi dan ekstensifikasi
pajak/retribusi daerah. Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun
2006, Komponen PAD terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan
Lain-Lain PAD Yang Sah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, tarif Pajak Daerah
102
diatur sebagai berikut : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air 5%; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air 10%; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%; Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
20%; Pajak Hotel 10%; Pajak Restoran 10%; Pajak Hiburan 35%; Pajak
Reklame 25%; Pajak Penerangan J alan 10%; Pajak Pengambilan Bahan
Galian Golongan C 20%; Pajak Parkir 20%.
Beberapa dari hal tersebut yang menyebabkan propinsi DKI J akarta
memiliki kapasitas fiskal yang signifikan setelah berlangsungnya
otonomi daerah. Tetapi secara keseluruhan, jika kita amati kelima
propinsi dipulau J awa ini kapasitas fiskalnya selalu mengalami
peningkatan secara pasti, walau tidak terlalu signifikan. Dapat dilihat
pada gambar IV.2 bahwa setelah tahun 2000 yaitu setelah
diberlakukannya otonomi daerah, terlihat peningkatan grafik yang cukup
signifikan, yang menandakan bahwa sepanjang tahun penelitian, otonomi
daerah memberikan pengaruh yang positif terhadap kapasitas fiskal.
c. Perkembangan Investasi Swasta
Investasi swasta dibedakan menjadi dua, yaitu investasi PMA
(Penanaman Modal Asing) dan investasi PMDN (Penanaman Modal
Dalam Negeri, yang membedakan hanyalah pada sumber modalnya.
Indonesia menyetujui adanya investasi swasta, dengan tujuan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik nasional maupun daerah.
103
Karena dengan adanya investasi swasta, selain menyerap tenaga kerja
lokal, juga memberikan kontribusi pada meningkatnya pendapatan
daerah yang bersangutan.
Perkembangan investasi swasta di lima propinsi di pulau Jawa, dapat
dilihat pada gambar 4.3.
(Dalam Juta Rupiah)
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat, diolah.
Gambar 4.3 Perkembangan Investasi swasta (PMDN dan PMA) lima
propinsi di pulau J awa tahun 1994-2008
Dapat kita lihat pada gambar 4.3, bahwa pertumbuhan investasi
swasta di DKI adalah yang paling signifikan diantara propinsi-propinsi
penelitian yang lain, hal ini sebenarnya merupakan hasil dari upaya
pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam mengembangkan dan
memudahkan pihak swasta untuk dapat menanamkan modalnya di
Indonesia. Salah satunya adalah upaya perbaikan untuk memulai usaha
lainnya telah dilakukan pemerintah dengan pengurangan jumlah
0.00
20,000,000.00
40,000,000.00
60,000,000.00
80,000,000.00
100,000,000.00
120,000,000.00
DKI
Jawa Barat
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
104
prosedur dan waktu pengurusan dokumen, serta pengurangan biaya yang
harus dikeluarkan. Berbagai penyederhanaan ini tertuang dalam
peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, diantaranya adalah yang
dikeluarkan oleh DKI Jakarta yaitu Penerbitan Peraturan Gubernur
Provinsi DKI J akarta tanggal 6 Juni 2008 No. 53 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang
Penanaman Modal.
Selain kebijakan memulai usaha, pemerintah juga mengupayakan
kemudahan dalam pengurusan perijinan. Mengingat pengurusan perijinan
terutama telah dilakukan oleh pemerintah daerah, maka kebijakan yang
dikeluarkan terutama bertujuan agar pemerintah daerah melayani
perijinan dengan lebih mudah dan dengan biaya yang rendah. Untuk itu,
telah diterbitkan beberapa peraturan baik di pusat maupun di daerah.
Peraturan yang dikeluarkan oleh daerah baru oleh DKI J akarta, yaitu
Penerbitan Peraturan Gubernur Provinsi DKI J akarta tanggal 10
September 2007 No. 112 tentang PTSP Bidang Penanaman Modal dan
penerbitan Peraturan Gubernur Provinsi DKI J akarta tanggal 6 J uni 2008
No. 53 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan PTSP ( Pelayanan
Terpadu Satu Pintu ) Bidang Penanaman Modal.
(http://www.indomedia.com.au/innerpage.php?page=kilasberita&ArticleI
D=103 )
105
Hal ini yang paling memungkinkan menjadikan penanaman investasi
di DKI J akarta yang paling signifikan pada tahun penelitian, dikarenakan
peraturan oleh pemerintah daerah tentang pemudahan dalam penanaman
modal oleh pihak swasta baru dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan
DKI J akarta sebagai daerah Ibu kota Jakarta yang paling dekat dan
mudah dalam berinteraksi dengan pemerintah pusat, yang merupakan
suatu keuntungan dari DKI J akarta. Karena keputusan oleh pemerintah
pusat ini terbilang baru, maka implementasinya terhadap daerah-daerah
membutuhkan waktu, dan bukan tidak mungkin daerah-daerah di
Indonesia yang lain akan mengalami peningkatan pada investasi swasta
seperti DKI J akarta dalam jangka panjang.
Hal lain yang memacu meningkatnya investasi di DKI Jakarta adalah
meningkatnya pengeluaran pembangunan oleh pemerintah sehubungan
dengan beberapa proyek besar yang menimbulkan dampak lanjutan yaitu
meningkatnya pengeluaran dunia usaha oleh swasta yang berkaitan
dengan proyek tersebut. Investasi dalam bentuk prasarana terdapat di
J akarta seperti proyek Transportasi Massal, Banjir Kanal Timur (multi
years) serta pembangunan pelabuhan khusus otomotif di dekat pelabuhan
Tanjung Priok.
Selain itu faktor yang mendorong investasi swasta pada triwulan
selanjutnya antara lain didorong oleh pencabutan 38 Perda DKI, yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pencabutan tersebut sebagian menyangkut perda di bidang industri dan
106
perdagangan yang ditujukan untuk meningkatkan investasi daerah. Selain
itu sebagai kelanjutan dari Inpres No. 3/2006 tentang Paket Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi dan sejalan dengan semangat otonomi daerah,
dikeluarkan pula kewenangan bagi Pemda untuk mengeluarkan izin
investasi penanaman modal bagi PMDN sepanjang ketentuannya
mengacu kepada ketentuan investasi BKPM (KER , 2006 : 50-51).
Pada tahun 2008 investasi DI Yogyakarta mengalami peningkatan
yang signifikan dari tahun sebelumnya, Nilai riil Investasi pada triwulan
II-2008 tumbuh 6,44% atau lebih cepat dari pertumbuhan triwulan yang
sama tahun sebelumnya yang mencapai 3,28% dan lebih cepat dibanding
triwulan I-2008 yang tumbuh negatif sebesar 1,69%. Nilai riil investasi di
DIY diukur dari nilai tambah Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
(PMTB) mengalami ekspansi sebesar 11,11% pada kwartal II-2008 dan
9,61% pada kwartal III-2008.
Ekspansi pertumbuhan investasi ini pada triwulan ini, diduga terkait
dengan mulai datangnya investor dari luar yang tertarik untuk
berinvestasi di DIY. Investor asal Jepang, Shimizu misalnya, akan
mendirikan instalasi penangkap gas metan di Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Piyungan, Kabupaten Bantul. Selain itu juga akan dibangun pabrik
pupuk kompos. Hal ini juga sejalan dengan peningkatan kredit investasi
perbankan DIY yang mengalami ekspansi sebesar rata-rata 4,17%
perkwartalnya pada tahun 2008.
107
Dengan kondisi tersebut di atas, pangsa investasi terhadap total
PDRB DIY pada tahun 2008 diperkirakan terus mengalami peningkatan
dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam satu tahun, peningkatan tersebut
rata-rata sebesar 3% perkwartalnya secara signifikan. (KER DIY, 2008
kwartal II: 55, kwartal III: 12)
Investasi J awa timur terus mengalami peningkatan, peningkatan ini
banyak ditanamkan pada industri rokok, dimana salah satu sumber
terbesar dari J awa timur adalah penjualan rokok, hingga pada tahun
2002, menurun signifikan, salah satu sebabnya karena terjadinya inflasi
pada tahun tersebut yang menyebabkan perubahan biaya input tenaga
kerja, input sektor pertanian dan pengolahan daun tembakau. Biaya input
yang meningkat menyebabkan petani mengalokasikan waktu dan
investasinya lebih sedikit pada tembakau. Sehingga ouput baik untuk
daun tembakau maupun rokok menurun.
Secara keseluruhan perkembangan investasi di lima propinsi dipulau
J awa, baik PMDN maupun PMA sangat fluktuatif. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal lain, seperti stabilitas keamanan nasional,
besarnya potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah dan seberapa besar
kemampuan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan dan
mempublikasikan potensi yang tersedia di wilayah tersebut untuk
menarik minat para investor untuk berinvestasi didaerah yang
bersangkutan.
108
d. Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Tenaga kerja mutlak diperlukan dalam kegiatan pembangunan suatu
wilayah, karena tenaga kerja merupakan penggerak dan pelaksana
pembangunan ekonomi tersebut. Sumber daya manusia yang berkualitas
serta memiliki keinginan untuk berusaha merupakan modal utama bagi
terciptanya pembangunan yang aktif terhadap perekonomian.
Semakin banyak tenaga kerja yang berpartisipasi dalam kegiatan
ekonomi, semakin terpenuhinya kebutuhan produksi oleh pasar. Semakin
banyak tenaga kerja yang bekerja, semakin tinggi tingkat kebutuhannya
pula akan konsumsi, sehingga baik langsung maupun tidak langsung,
bepengaruh terhadap pertumbuhan PDRB.
Tetapi pada negara berkembang seperti Indonesia umumnya, dan
lima propinsi penelitian di pulau jawa khususnya yang memiliki jumlah
penduduk yang padat dan memiliki kota besar, terpenuhinya kebutuhan
akan tenaga kerja masih terganjal oleh hal-hal dimana pertumbuhan
angkatan kerja lebih pesat dari pada pertumbuhan kesempatan kerja,
ditambah lagi dengan imigran dari daerah yang lebih terpencil yang ingin
mengadu nasib di kota-kota besar, sehingga masih banyak angkatan
kerja yang tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi
dikarenakan kurangnya ketersediaan lapangan kerja, terkecuali jika
mereka dapat berwiraswasta. Tetapi hal itu pun terkadang terbatas oleh
dan usaha yang dibutuhkan.
109
Perkembangan tingkat partisipasi angkatan kerja di lima propinsi di
pulau Jawa enam tahun terahir dapat dilihat pada gambar 4.4.
(Dalam Persen (%))
Sumber : Statistik Indonesia, BPS, 2002-2008, diolah
Gambar 4.4 Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di
lima propinsi di pulau J awa tahun 1994-2008.
Perkembangan Tingkat partisipasi angkatan kerja di lima propinsi di
pulau J awa secara keseluruhan mengalami peningkatan, hanya
dibeberapa tahun saja mengalami penurunan, seperti pada propinsi Jawa
Timur yang mengalami penurunan pada tahun 2000, dan J awa barat pada
tahun 2001. Menurut pakar ekonomi hal tersebut masih dalam batas
wajar, dimana hal tersebut dapat diakibatkan oleh belum mampunya
pemerintah daerah dalam menyeimbangkan antara ketersediaan lapangan
pekerjaan dengan penawaran tenaga kerja, Perkembangan yang terjadi
dalam jumlah Angkatan Kerja (AK) tidak bisa dilepaskan dari
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
DKI
Jawa Barat
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
110
perkembangan jumlah penduduk di suatu wilayah. Perkembangan
tersebut bisa disebabkan oleh faktor kelahiran & kematian, migrasi
(masuk maupun keluar) juga pergeseran usia karena waktu. Besarnya
TPAK menggambarkan dari seluruh penduduk usia kerja (15-64 tahun di
suatu wilayah yang siap dan bersedia untuk bekerja. Sementara yang
lainnya lebih memilih untuk melakukan aktivitas lain seperti bersekolah,
mengurus rumah tangga, dan lainnya. Tinggi rendahnya angka TPAK
yang terjadi tergantung dari prioritas pilihan penduduk usia kerja akan
aktivitas yang akan dilakukan, antara lain bekerja, bersekolah, mengurus
rumah tangga atau aktivitas lainnya.
Menurunnya TPAK dapat juga terjadi akibat kebijakan-kebijakan
yang diberlakukan oleh pemerintah dalam sistem pendidikan yang
meningkatkan standar kelulusan dalam rangka penekanan supply tenaga
kerja, dan kebijakan perusahaan yang meningkatkan standar kualifikasi
karyawan, sehingga mempersulit penerimaan karyawan baru pada
perusahaan yang bersangkutan, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi
fluktuatif partisipasi angkatan kerja di lima propinsi di pulau jawa pada
tahun penelitian.
2. Hasil Estimasi Model Data Panel
Pada penelitian ini, penelitian menggunakan regresi data panel sebagai
alat estimasi, dalam pengujian pada regresi data panel, terdapat tiga
pemodelan yang dapat digunakan, tentunya disesuaikan dengan ketentuan-
111
ketentuan yang sesuai dengan sifat masing-masing model, yaitu pooled,
fixed effect, dan random effect. Untuk mengetahui model yang manakah
yang paling tepat digunakan dari ketiga model tersebut, adalah dengan
melakukan beberapa pengujian. Hal pertama yang dilakukan adalah dengan
mengestimasi model kedalam tiga permodelan, yaitu PLS, FEM dan REM.
Adapun hasil regresi terhadap model estimasi dari ketiga model, dapat
dilihat pada table 4.1 sebagai berikut :
Tabel 4.1 Hasil Analisis Terhadap Model Estimasi
Variabel terikat : Pertumbuhan ekonomi regional LOG(PDRB?), untuk periode 1994-2008
Metode PLS Metode FEM Metode REM
Variabel Coefficient prob. Coefficient prob. Coefficient prob.
C
LOG(KF?)
LOG(IS?)
TPAK?
OTDA?
15.29861 0.0000
0.232613 0.0000*
-0.004143 0.6191
0.004040 0.0812***
-0.239699 0.0000 *
14.84397 0.0000
0.272743 0.0000*
-0.003905 0.6744
0.002942 0.1990
-0.305320 0.0000*
0.973699 0.0000*
0.122741 0.0482**
0.065020 0.0000*
-1.860404 0.0000*
R-Squared
F-statistic
Prob (F-statistic)
0.726436 0.996342
2246.952
0.000000
0.678302
36.89880
0.000000
Keterangan :
* Signifikan pada = 1%
** Signifikan pada = 5%
*** Signifikan pada = 10%
Sumber : Lampiran 2, 3 dan 5, diolah.
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.1 diatas, metode dengan
menggunakan Fixed Effect Model (FEM) menunjukkan hasil yang paling
baik dibandingkan dengan Pooled Least Square ataupun Random Effect
Model. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien regresi masing-masing
variabel bebasnya dan secara statistik berpengaruh signifikan terhadap
dependen variabel. Selain itu, nilai R-Square terlihat lebih baik pada FEM.
112
Untuk lebih memastikan model mana yang paling tepat pada model
penelitian, akan dilakukan beberapa uji, yaitu Uji Chow dan Uji Hausman
(Modul Data Panel Laboraturium FE UI, 2006: 9-12). Kedua Uji tersebut
dapat diestimasi dengan menggunakan Eviews. Hasil pengujian sebagai
berikut :
a. Uji Chow
Untuk menentukan model manakah yang paling tepat diantara
pooled Least Squre atau fixed effect Model maka dilakukan uji chow. Uji
Chow akan memberikan penilaian dengan menggunakan F statistik dan
membandingkannya dengan F tabel. Hasil uji Chow dapat dilihat pada
tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2 Hasil Uji Chow
Redundant Fixed Effect Test
Test cross-section fixed effects
Effects Effect Statistic d.f Prob.
Cross-section F
Cross-section Chi-square
789.998894
291.700661
(4,66)
4
0.0000
0.0000
Sumber : Lampiran 4, data diolah.
Berdasarkan hasil uji Chow diperoleh nilai F statistik sebesar
789.998894 dengan d.f (4,66), menggunakan F tabel = 5%, diperoleh
nilai sebesar 2.51, yang berarti menolak hipotesis untuk menggunakan
Pooled Least Squared dan menerima hipotesis untuk menerima fixed
effect Model.
113
b. Uji Hausman
Setelah melakukan Pengujian model dengan Uji Chow dan diperoleh
hasil bahwa model yang paling tepat digunakan adalah FEM
dibandingkan dengan PLS. Model diuji kembali dengan Uji Hausman,
Pengujian kali ini adalah untuk menentukan model paling tepat
digunakan diantara FEM dengan REM. Uji Hausman memberikan
penilaian dengan menggunakan Chi-Square statistic sehingga keputusan
pemilihan model dapat ditentukan dengan tepat. Hasil pengolahan
dengan uji hausman dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut :
Tabel 4.3 Hasil Uji Hausman
Correlated Random Effects-Hausman Test
Test cross-section randomeffects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f Prob.
Cross-section random 60.711664 4 0.0000
Sumber : Lampiran 6, data diolah.
Berdasarkan Uji hausman yang dilakukan, didapatkan Chi-Sq
Statistik sebesar 60.711664 dengan probabilitas 0.001 dan d.f 4
(18.46683). Dikarenakan chi-hitung lebih besar daripada chi-tabel maka
Ho ditolak. Dapat disimpulkan bahwa model terbaik yang dapat
digunakan untuk model penelitian adalah Fixed Effect Model.
114
3. Analisis Estimasi
a. Uji Kesesuaian Model
1) Koefisien Determinasi (R-Square)
Koefisien determinasi dari model penelitian ini adalah sebesar
0.9998 atau 99,98%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel
independen kapasitas fiskal, investasi swasta, tingkat partisipasi
angkatan kerja dan dummy otonomi daerah mampu menjelaskan
terhadap variabel dependen yaitu PDRB yang merupakan indikator
dari pertumbuhan ekonomi regional sebesar 99,98%. Sedangkan
sisanya yaitu 0,02% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
disebutkan dalam model estimasi.
2) Uji t-Statistik (Uji Parsial)
Pengujian model dengan uji t-Statistik adalah untuk mengetahui
apakah variabel-variabel independen individu berpengaruh
signifikan terhadap variabel dependen. Dengan hipotesis sebagai
berikut:
Ho : i = 0 adalah tidak berpengaruh signifikan
Ha : i 0 adalah berpengatruh signifikan
Dari hasil analisis diperoleh nilai t-hitung adalah 3.013997
untuk kapasitas fiskal; 2.167737 untuk investasi swasta; -3.237221
pada TPAK dan t-hitung otonomi daerah adalah 1.410225. J ika nilai
t-hitung pada variabel independen dibandingkan dengan t-tabel 0.05
(1.99394), Hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.5.
115
Ha diterima Ha diterima
Ho diterima
-3.23(TPAK) -1.99 1.41(OTDA) 1.99 2.16(IS) 3.01(KF)
Gambar 4.5 Uji t-statistik
Dapat dilihat pada Gambar 4.5, bahwa nilai t-hitung variabel
kapasitas fiskal, investasi swasta dan TPAK berada dilingkungan Ha,
yang berarti variabel-variabel tersebut mampu menjelaskan secara
parsial terhadap variabel dependennya. Sedangkan variabel TPAK
berada didalam lingkungan Ho diterima, yang berarti bahwa TPAK
tidak mampu menjelaskan secara parsial hubungannya terhadap
PDRB.
3) Uji F-Statistik (Uji Simultan)
Uji F-Statistik berguna untuk pengujian signifikansi seberapa
besar pengaruh variabel independen (KF, IS, TPAK, dan OTDA)
secara simultan atau bersama-sama terhadap variabel dependen
(PDRB). Dengan kriteria pengambilan keputusan :
Ho :
1
,
2
,
3
,
4
=0 Ho diterima (Prob F-statistic
signifikan pada = 5%), artinya variabel independen secara
bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel
dependen.
116
Ha :
1
,
2
,
3
,
4
0 Ha diterima (Prob F-statistic tidak
signifikan pada = 5%), artinya variabel independen secara
bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
Prob F-statistic (lampiran 9) menunjukkan nilai 0.000000, yang
signifikan pada = 5%. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dinyatakan bahwa kapasitas fiskal, investasi swasta, TPAK dan dummy
otonomi daerah secara bersana-sama berpengaruh nyata terhadap
PDRB.
b. Uji Asumsi Klasik
Menurut Gujarati (2006 :183), untuk memperoleh model yang baik,
regresi harus memenuhi asumsi regresi klasik, yaitu harus terbebas dari
masalah-masalah dalam regresi yaitu normalitas, multikolinearitas,
heterokedastisitas, dan autokorelasi.
1) Normalitas
Pengujian Normalitas dalam penelitian ini dengan menggunakan
Jarque Bera Test. Uji Jarque Bera didistribusi dengan
2
dengan
derajat kebebasan (degree of freedom) sebesar 2, dimana
2
-hitung <
2
-tabel menunjukkan data berdistribusi normal (Winarno, 2009:
5.37). Hasil Jarque-Bera test dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut.
117
Tabel 4.4 Hasil Jarque Bera Test
DKI
J akarta
J awa Barat
J awa
Tengah
DI
Yogyakarta
J awa Timur
J B Prob J B Prob J B Prob J B Prob J B Prob
LOG(PDRB) 1.10 0.57 1.14 0.56 1.13 0.56 0.92 0.63 1.90 0.38
LOG(KF) 1.64 0.43 1.70 0.42 1.66 0.43 1.71 0.42 1.72 0.42
LOG(IS) 0.48 0.78 1.12 0.56 0.15 0.92 5.02 0.08 1.60 0.44
TPAK 1.77 0.41 2.91 0.23 0.50 0.77 2.22 0.32 5.69 0.05
OTDA 2.50 0.28 2.50 0.28 2.50 0.28 2.50 0.28 2.50 0.28
Dapat dilihat bahwa seluruh data dianggap berdistribusi normal
dengan asumsi J B hit <
2
tabel 5% pada df 2 (5,99) dan nilai
probabilitas berada diatas 5%. Maka dapat disimpulkan bahwa data
dalam model ini terdistribusi normal.
2) Multikolinearitas
Untuk melihat ada atau tidak adanya gejala multikolinearitas,
dapat dilihat dari nilai probabilitas t-statistik dan nilai probabilitas F-
statistik. Dari hasil regresi awal, terdapat dua variabel bebas, yaitu
KF, dummy OTDA yang berpengaruh secara signifikan terhadap
PDRB pada tingkat = 5% dan nilai probabilitas F-statistik senilai
0.000000, pada hasil regresi, minimal ada satu variabel bebas yang
berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga asumsi adanya
multikolinearitas boleh diabaikan.
3) Heterokedastisitas
Masalah heterokedastisitas pada data panel menggunakan
perangkat lunak Eviews 6, dapat dilihat dengan terlebih dahulu
mengestimasi model ke GLS (Cross section weight), kemudian
membandingkan nilai Sum Squared Resid pada Weighted Statistic
118
dengan Sum Resid Unweighted Statistic. Jika Sum Resid pada
Weighted Statistic lebih kecil dari Sum Resid Unweighted Statistic,
maka terjadi heterokedastisitas.
Pada hasil regresi (lampiran 8) didapatkan bahwa Sum Squared
Resid pada Weighted Statistic bernilai 0.331696 sama besar
dibandingkan dengan nilai Sum Resid pada Unweighted Statistic
yang berniai 0.331698. Maka dari itu, diduga regresi memiliki tidak
masalah heterokedastisitas.
4) Autokorelasi
Kemudian untuk masalah Autokorelasi dapat dilihat nilai
Durbin-Watson statistik yaitu sebesar 0.942923, dimana DW
(0.932923) < dL (1.5151) yang berarti menolak Ho, dan data
berkorelasi serial positif, sehingga model ini memiliki autokorelasi.
Untuk menanggulanginya adalah dengan mengestimasi model
dengan cross-section SUR.
Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan hasil regresi yang stabil,
penulis melakukan iterasi terhadap model regresi. Metode iterasi menduga
nilai koefisien regresi dengan mencoba-coba berbagai kemungkinan
koefisien regresi (trial and error method) hingga ditemukan yang
memberikan kuadrat error sum of square sekecil mungkin (Modul Data
Panel Laboraturium FE UI, 2006: 12).
Sehingga hasil estimasi terakhir dari model dengan menggunakan
metode Fixed Effect Model (FEM) dapat dilihat pada tabel 4.5.
119
Tabel 4.5 Hasil Estimasi Perbaikan
Variabel terikat : Pertumbuhan ekonomi regional LOG(PDRB?), untuk
periode 1994-2008
Metode : Pooled EGLS (Cross-section SUR) model FEM
Variable Coefficient Prob
C
LOG(KF?)
LOG(IS?)
TPAK?
OTDA?
17.93939
0.051747
0.003354
-0.002071
0.056108
0.0000
0.0037**
0.0338**
0.0019**
0.1632
R-Square
F Statistic
Prob (F statistic)
0.999837
50636.06
0.000000
Keterangan
*signifikan pada = 1%
**signifikan pada = 5%
***signifikan pada = 10%
Sumber : Lampiran 9, data diolah.
Hasil estimasi terakhir, setelah mengatasi penyakit pada heterokedastis
dan autokorelasi, maka didapatkan hasil yang signifikan pada tiga variabel
independen pada tingkat signifikansi = 5%, yaitu KF, IS dan TPAK.
Sedangkan untuk variabel dummy OTDA tidak signifikan.
Dari hasil analisis dengan model FEM pada metode GLS, maka
diperoleh nilai koefisien determinasi R
2
adalah sebesar 0.999837,
mengartikan bahwa secara keseluruhan variabel bebas (KF, IS, TPAK dan
variabel dummy OTDA) dapat menjelaskan variabel terikat (PDRB)
sebanyak 99,98% dan sisanya yaitu 0,02% dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak dimasukkan kedalam model persamaan atau dijelaskan oleh
error term ().
Hasil estimasi ini diperkuat dengan nilai probabilitas F-Statistik yang
signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen dengan tingkat = 1 persen
yaitu sebesar 0.000000, yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang
120
berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah
layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi.
Pada variabel-variabel penelitian memiliki besaran pengaruh yang
berbeda-beda untuk tiap masing-masing daerahnya, dapat kita lihat pada
tabel 4.6 berikut.
Tabel 4.6 Koefisien Fixed Effet Model (Cross)
Fixed effect (Cross) Coefficient
C 17.93939
_DKI--C
0.676747
_JABAR--C 0.615691
_JATENG--C 0.066681
_DIY--C -1.976168
_JATIM--C 0.617048
Sumber : Lampiran 9, data diolah.
Pada tabel 4.6, dapat kita lihat bahwa pada masing-masing daerah
memiliki koefisien fixed effect Model yang berbeda-beda, yang berarti
bahwa untuk setiap daerah memiliki kenaikan PDRB yang berbeda-beda
pula untuk setiap perubahan tingkat daripada kapasitas fiskal, investasi
swasta, TPAK dan fenomena otonomi daerah.
DKI J akarta
Nilai koefisien Fixed Effect pada propinsi DKI J akarta adalah
0.676747sedangkan C adalah 17.93939, ini mengartikan bahwa, bila
terdapat perubahan pada tingkat kapasitas fiskal, investasi swasta, TPAK
dan fenomena otonomi daerah maupun waktu, maka daerah DKI J akarta
akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB sebesar
18.616137%.
121
J awa Barat
Nilai koefisien Fixed Effect pada propinsi Jawa barat adalah
0.615691 sedangkan C adalah 17.93939, ini mengartikan bahwa, bila
terdapat perubahan pada tingkat kapasitas fiskal, investasi swasta, TPAK
dan fenomena otonomi daerah maupun waktu, maka daerah DKI J akarta
akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB sebesar
18.555081%.
J awa Tengah
Nilai koefisien Fixed Effect pada propinsi J awa tengah adalah
0.066681 sedangkan C adalah 17.93939, ini mengartikan bahwa, bila
terdapat perubahan pada tingkat kapasitas fiskal, investasi swasta, TPAK
dan fenomena otonomi daerah maupun waktu, maka daerah DKI J akarta
akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB sebesar
18.006071%.
DI Yogyakarta
Nilai koefisien Fixed Effect pada propinsi Jawa barat adalah
-1.976168 sedangkan C adalah 17.93939, ini mengartikan bahwa, bila
terdapat perubahan pada tingkat kapasitas fiskal, investasi swasta, TPAK
dan fenomena otonomi daerah maupun waktu, maka daerah DKI J akarta
akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB sebesar
15.963222%.
122
J awa Timur
Nilai koefisien Fixed Effect pada propinsi Jawa barat adalah
0.617048 sedangkan C adalah 17.93939, ini mengartikan bahwa, bila
terdapat perubahan pada tingkat kapasitas fiskal, investasi swasta, TPAK
dan fenomena otonomi daerah maupun waktu, maka daerah DKI J akarta
akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB sebesar
18.556438%.
Dalam hasil regresi perbaikan akhir pada tabel 4.4, terdapat tiga
variabel independen yang berpengaruh terhadap PDRB, yaitu KF, IS dan
TPAK, sedangkan OTDA tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
PDRB dalam tingkat kepercayaan 95%.
Dapat kita lihat bahwa setiap propinsi memiliki nilai individual effect
yang berbeda-beda, hal ini dikarenakan setiap propinsi memiliki keunggulan
serta keadaan perekonomian yang berbeda-beda, dan setiap variabel
independen memiliki besaran pengaruh yang berbeda-beda pula terhadap
PDRB nya pada setiap propinsi. Perbandingan besarnya pengaruh tiap
variabel independen yang signifikan dalam penelitian ini yaitu KF, IS dan
TPAK terhadap dependennya (PDRB) pada tiap propinsi tersebut disajikan
dalam tabel 4.7 berikut.
123
Tabel 4.7 Koefisien variabel independen (KF, IS dan TPAK) terhadap
PDRB Pada tiap Cross-section
variabel x
Wilayah KF IS TPAK
DKI Jakarta 0,72849 0,68010 0,67468
Jawa Barat 0,66744 0,61905 0,61362
Jawa Tengah 0,11843 0,07004 0,06461
DI Yogyakarta -1,92442 -1,97281 -1,97824
Jawa Timur 0,66880 0,62040 0,61498
Lampiran 9, data diolah
Dapat kita lihat pada tabel, terdapat perbedaan besaran pengaruh antar
variabel independen (KF, IS dan TPAK) terhadap variabel dependen
(PDRB) pada masing-masing wilayahnya.
DKI J akarta
Nilai koefisien kapasitas fiskal, Investasi swasta dan TPAK berturut-
turut pada DKI J akarta adalah 0,72849; 0,68010; 0,67468. Hal tersebut
menunjukkan bahwa bila terdapat perubahan pada tingkat kapasitas
fiskal, Investasi swasta dan TPAK berturut-turut antar waktu, maka DKI
J akarta akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB dari
masing-masing variabel sebesar 0,72849%; 0,68010% dan 0,67468%.
Sehingga dapat disimpulkan, variabel independen yang paling
berpengaruh terhadap PDRB DKI J akarta adalah kapasitas fiskal dengan
nilai koefisien tertinggi, yaitu 0,72849 atau 0,73%
J awa Barat
Nilai koefisien kapasitas fiskal, Investasi swasta dan TPAK berturut-
turut pada J awa Barat adalah 0,66744; 0,61905 dan 0,61362. Hal tersebut
menunjukkan bahwa bila terdapat perubahan pada tingkat kapasitas
124
fiskal, Investasi swasta dan TPAK berturut-turut antar waktu, maka Jawa
barat akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB dari masing-
masing variabel sebesar 0,66744%; 0,61905% dan 0,61362%. Sehingga
dapat disimpulkan, variabel independen yang paling berpengaruh
terhadap PDRB J awa Barat adalah kapasitas fiskal dengan nilai koefisien
tertinggi, yaitu 0,66744 atau 0,67%
J awa Tengah
Nilai koefisien kapasitas fiskal, Investasi swasta dan TPAK berturut-
turut pada J awa Tengah adalah 0,11842; 0,07003 dan 0,06461. Hal
tersebut menunjukkan bahwa bila terdapat perubahan pada tingkat
kapasitas fiskal, Investasi swasta dan TPAK berturut-turut antar waktu,
maka J awa Tengah akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB
dari masing-masing variabel sebesar 0,11842%; 0,07003% dan
0,06461%. Sehingga dapat disimpulkan, variabel independen yang paling
berpengaruh terhadap PDRB Jawa Tengah adalah kapasitas fiskal dengan
nilai koefisien tertinggi, yaitu 0,11842 atau 0,12%
DI Yogyakarta
Nilai koefisien kapasitas fiskal, Investasi swasta dan TPAK berturut-
turut pada DI Yogyakarta adalah -1,924421; -1,972814 dan -1,978239.
Hal tersebut menunjukkan bahwa bila terdapat perubahan pada tingkat
kapasitas fiskal, Investasi swasta dan TPAK berturut-turut antar waktu,
maka DI Yogyakarta akan mendapatkan pengaruh individu terhadap
PDRB dari masing-masing variabel sebesar -1,92442%; -1,97281% dan -
125
1,97823%. Sehingga dapat disimpulkan, variabel independen yang paling
berpengaruh terhadap PDRB DI Yogyakarta adalah kapasitas fiskal
dengan nilai koefisien tertinggi, yaitu -1,92442 atau -1,92%
J awa Timur
Nilai koefisien kapasitas fiskal, Investasi swasta dan TPAK berturut-
turut pada J awa Timur adalah 0,62040; 0,66879 dan 0,614977. Hal
tersebut menunjukkan bahwa bila terdapat perubahan pada tingkat
kapasitas fiskal, Investasi swasta dan TPAK berturut-turut antar waktu,
maka J awa Timur akan mendapatkan pengaruh individu terhadap PDRB
dari masing-masing variabel sebesar 0,66879%; 0,62040% dan
0,614977%. Sehingga dapat disimpulkan, variabel independen yang
paling berpengaruh terhadap PDRB J awa Barat adalah kapasitas fiskal
dengan nilai koefisien tertinggi, yaitu 0,66789 atau 0,67%
4. Interpretasi Model
Hasil dari estimasi yang menggunakan fixed effect pada tabel 4.4,
terdapat tiga variabel penjelas berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel terikat pada tingkat signifikan 5%. Variabel kapasitas fiskal edan
investasi swasta berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap PDRB,
sedangkan TPAK berpengaruh signifikan tetapi secara negatif terhadap
PDRB. Untuk variabel dummy otonomi daerah, ditunjukkan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB.
126
a. Variabel Kapasitas Fiskal (KF)
Kapasitas Fiskal menunjukkan tingkat kemandirian suatu daerah
sesuai dengan tujuan otonomi daerah di Indonesia, yaitu besarnya
kemampuan suatu daerah untuk dapat membiayai pembangunan
daerahnya sendiri. Pada hasil penelitian ini, diperoleh bahwa kapasitas
fiskal berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% dan berhubungan
positif dengan nilai probabilitas 0.0037. Nilai koefisien yang diperoleh
sebesar 0.051747, yang berarti bahwa apabila kapasitas fiskal naik
sebesar 1%, maka nilai PDRB akan meningkat pula sebesar 0.051747%,
hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa kapasitas fiskal berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional (PDRB).
Korelasi yang positif dan signifikan antara kapasitas fiskal dengan
PDRB sesuai dengan hipotesis peneliti,. Dengan adanya peningkatan
pada kapasitas fiskal yang merupakan jumlah dari PAD dengan dana bagi
hasil pajak dan bukan pajak, maka akan meningkatkan pendapatan
nasional, dengan meningkatnya pendapatan nasional maka porsi
anggaran dari APBD untuk pembangunan akan meningkat pula yang
berarti akan meningkatkan kegiatan ekonomi suatu daerah yang berakibat
meningkatkan PDRB suatu daerah tersebut.
b. Variabel Investasi Swasta (IS)
Dalam penelitian ini, investasi swasta yang terdiri dari PMDN dan
PMA berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% dan berhubungan
127
positif terhadap PDRB dengan nilai probabilitas 0.0338. Nilai koefisien
yang diperolah sebesar 0.003354, yang menyatakan bahwa apabila
investasi swasta naik sebesar 1%, maka akan meningkatkan nilai PDRB
sebesar 0.003354%. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis peneliti yang
menyatakan bahwa investasi swasta dapat menyokong pertumbuhan
ekonomi regional (PDRB).
Peran investasi swasta di Indonesia cukup penting mengingat
Indonesia adalah masih negara sedang berkembang yang tidak hanya
dapat mengandalkan modal pemerintah untuk melakukan pembangunan,
tetapi juga peran serta masyarakat dan pihak swasta domestik maupun
asing. Dimana penanaman modal yang dilakukan oleh pihak swasta dapat
membantu meningkatkan kegiatan perekonomian suatu daerah, menyerap
tenaga kerja lokal, meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai hasil
dari penyerapan tenaga kerja lokal tersebut, dan pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
c. Variabel Tingkat Partispasi Angkatan Kerja (TPAK)
Tenaga kerja yang diwakili oleh tingkat partisipasi angkatan kerja
berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% terhadap PDRB dengan nilai
probabilitas 0.0019 dan memiliki korelasi yang negatif. Koefisien TPAK
yang diperoleh sebesar -0.002071, yang berarti bahwa untuk setiap
kenaikan pada TPAK sebesar 1%, maka akan menurunkan nilai PDRB
sebesar 0.002071%.
128
Hal tersebut bertolak belakang dengan hipotesis peneliti dimana
TPAK dapat memacu pertumbuhan PDRB. Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan peneliti pada tahun obeservasi, pengaruh negatif TPAK
terhadap PDRB dapat disebabkan salah satunya adalah pemerintah,
dalam hal ini pemerintah daerah di lima propinsi pulau J awa belum
mampu memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan yang diharapkan.
Dimana pertumbuhan penduduk terus meningkat, bahkan sempat atau
masih sering terjadi peledakan penduduk khususnya di daerah terpencil
yang masih jauh dari keinginan untuk menggalakan program KB, hal
tersebut menjadikan meningkatnya TPAK yang merupakan indikator dari
jumlah tenaga kerja yang tersedia di wilayah peneltian tanpa diiringi
dengsn bertambahnya lapangan kerja. Meningkatkan pengangguran, yang
secara langsung menurunkan pendapatan perkapita dan berdampak pada
menurunnya PDRB.
Hal lainnya, di Indonesia kini sebagai dampak dari meningkatnya
tenaga kerja diikuti dengan kurangnya manajemen dan perhitungan sutu
perusahaan dalam mempekerjakan buruh/karyawan, yaitu semakin
banyaknya pengangguran terselubung pada perusahaan-perusahaan.
David Ricardo mengemukakan pendapat dengan Law of
Deminishing Return, dimana perusahaan akan terus meningkatkan
pekerja dengan tujuan untuk meningkatkan output, hingga mencapai titik
optimal, tetapi tanpa perhitungan masih terus menambah pekerja, yang
129
berati menambah input perusahaan. Hal tersebut malah akan menurunkan
output perusahaan sehingga berdampak pada PDRB.
Kemudian jika dilihat dari keadaan pada tahun penelitian sempat
terjadi inflasi yang cukup tinggi, menggeser titik aman perekonomian
dan iklim usaha kearah yang kurang aman, sehingga banyak perusahaan/
investor baik swasta domestik maupun asing yang mempersempit
wilayah usahanya dan mengurangi pekerja bahkan sampai gulung tikar.
Hal tersebut berdampak pada meningkatnya pengangguran, maupun
menurunkan output hasil dari berkurangnya kegiatan ekonomi yang
menurunkan PDRB.
d. Variabel Dummy Otonomi Daerah (OTDA)
Diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia dengan tujuan untuk
meningkatkan kemampuan suatu daerah dalam membangun daerahnya
sendiri, pada penelitian kali ini dirasa belum berhasil dan tidak sesuai
dengan tujuan negara dalam memberlakukan otonomi daerah, serta
bertentangan dengan hipotesis peneliti. Hal ini dapat dilihat pada hasil
regresi yang didapat bahwa otonomi daerah tidak berpengaruh signifikan
terhadap PDRB, dimana nilai koefisiennya adalah 0.1632.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahun
observasi, pada awalnya, tujuan awal Indonesia menyelenggarakan
sistem otonomi daerah adalah agar masing-masing propinsi dapat
mengoptimalkan usahanya untuk meningkatkan penerimaan daerah yang
pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
130
mandiri, yang terjadi dewasa ini justru sebaliknya yaitu daerah makin
bergantung terhadap alokasi transfer dari Pemerintah Pusat terutama
DAU. Banyak penelitian terdahulu menunjukkan suatu fakta yang sangat
memprihatinkan yaitu hampir di semua daerah di Indonesia rasio DAU
terhadap Total Pendapatan Daerah melebihi angka 50%.
Kendala terbesar dari belum mampunya daerah untuk mandiri adalah
daerah belum tahu bagaimana cara mereka untuk mengembangkan
potensi diri atau alam, sehingga tercipta suatu pola kemandirian daerah
yang selain memajukan daerah itu sendiri sekaligus mensejahterakan
masyarakatnya. Terlebih, daerah belum siap untuk tidak terlepas dari
kekurangan diberlakukannya otonomi daerah, yaitu kesempatan untuk
melakukan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme yang lebih besar dan
luas dibandingkan dengan sistem pemerintahan terpusat. Hal tersebutlah
yang menyebabkan otonomi daerah tidak berperan dalam rangka
mendorong pertumbuhan PDRB sebagai indikator dari pertumbuhan
ekonomi daerah.
5. Pengujian Hipotesis Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah
Pada analisis sebelumnya yang merupakan hasil estimasi dengan
menggunakan data keseluruhan periode (1994-2008) menunjukkan bahwa
variabel dummy otonomi daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi regional antar propinsi di pulau J awa.
131
Pada sub bab ini, peneliti akan menganalisis periode sebelum otonomi
daerah (1994-2000) dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah (2001-
2008). Pembagian ini dilakukan dengan maksud mengetahui keadaan
pertumbuhan ekonomi antar propinsi sebelum dan sesudah diberlakukannya
kebijakan otonomi daerah.
a. Sebelum Otonomi Daerah
Periode sebelum diberlakukannya otonomi daerah ini adalah tahun
1994-2000, berikut hasil estimasi dari besaran pengaruh kapasitas fiskal,
investasi swasta dan TPAK terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
Disajikan pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hasil Estimasi Model SebelumOtonomi Daerah
Variabel terikat : Pertumbuhan ekonomi regional LOG(PDRB?), untuk
periode 1994-2000
Metode : Pooled EGLS (Cross-section SUR) model FEM
Variable Coefficient Prob
C
LOG(KF?)
LOG(IS?)
TPAK?
Fixed Effects (Cross)
_DKIC
_JABARC
_JATENGC
_DIYC
_JATIMC
16.46326
0.051747
0.003354
-0.002071
0.537249
0.714661
0.024813
-1.870298
0.593576
0.0000
0.0000*
0.0000*
0.0000*
R-Square
F Statistic
Prob (F statistic)
0.999478
7389.390
0.000000
Sumber: Lampiran 10
Pada hasil estimasi tabel 4.8, didapatkan hasil yang signifikan pada
seluruh variabel independen pada tingkat signifikansi = 5%, yaitu
kapasitas fiskal(KF), Investasi Swasta (IS) dan TPAK. Nilai koefisien
determinasi R
2
adalah sebesar 0.999478, mengartikan bahwa secara
132
keseluruhan variabel bebas dapat menjelaskan variabel terikat sebanyak
99,94% dan sisanya yaitu 0,06% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
dimasukkan kedalam model persamaan atau dijelaskan oleh error term
().
Pada periode sebelum diberlakukannya otonomi daerah, nilai F
hitung (7389,390) > F tabel (3,39), sehingga Ho ditolak, dan dapat
disimpulkan bahwa seluruh variabel independen secara bersama-sama
mampu mempengaruhi variabel independennya.
b. Sesudah Otonomi Daerah
Periode setelah diberlakukannya otonomi daerah ini adalah tahun
2001-2008, berikut hasil estimasi dari besaran pengaruh kapasitas fiskal,
investasi swasta dan TPAK terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
Disajikan pada tabel 4.9.
Tabel 4.9 Hasil Estimasi Model SebelumOtonomi Daerah
Variabel terikat : Pertumbuhan ekonomi regional LOG(PDRB?), untuk
periode 2001-2008
Metode : Pooled EGLS (Cross-section SUR) model FEM
Variable Coefficient Prob
C
LOG(KF?)
LOG(IS?)
TPAK?
Fixed Effects (Cross)
_DKIC
_JABARC
_JATENGC
_DIYC
_JATIMC
13.28869
0.336235
-0.002766
0.007377
0.313548
0.552321
0.076850
-1.471083
0.528364
0.0000
0.0000
0.2995
0.0000
R-Square
F Statistic
Prob (F statistic)
0.999853
31135.49
0.000000
Sumber: Lampiran 11
133
Pada hasil estimasi tabel 4.9, didapatkan hasil yang signifikan pada
dua variabel independen pada tingkat signifikansi = 5%, yaitu kapasitas
fiskal (KF) dan TPAK, sedangkan Investasi Swasta (IS) tidak
berpengaruh signifikan. Nilai koefisien determinasi R
2
adalah sebesar
0.999853, mengartikan bahwa secara keseluruhan variabel bebas dapat
menjelaskan variabel terikat sebanyak 99,98% dan sisanya yaitu 0,02%
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan kedalam model
persamaan atau dijelaskan oleh error term ().
Pada periode setelah diberlakukannya otonomi daerah, nilai F hitung
(31135,49) >F tabel (3,25), sehingga terima Ha, dan dapat disimpulkan
bahwa seluruh variabel independen secara bersama-sama mampu
mempengaruhi variabel dependennya.
Perbandingan antar periode
Setelah melakukan estimasi pada kedua periode, yaitu tabel 4.8
adalah kondisi perekonomian daerah sebelum diberlakukannya
kebijakan otonomi daerah, dan tabel 4.9 yaitu kondisi dimana
kebijakan otonomi daerah telah diberlakukan, dapat dilihat bahwa
pada periode sebelum otonomi daerah, kapasitas fiskal, investasi
swasta dan TPAK memiliki pengaruh yang signifikan pada tingkat
signifikansi 5%, dengan nilai C 14,46326, yang menyatakan bahwa
pada periode sebelum otonomi daerah, jika terdapat perubahan
kapasitas fiskal, investasi swasta dan TPAK akan mempengaruhi nilai
PDRB DKI Jakarta, J awa Barat, J awa Tengah, DI Yogyakarta dan
134
Jawa Timur berturut-turut sebesar 17,00%; 17,17%; 16,48%; 14,59%
dan 17,05%.
Apabila dibandingkan pada periode setelah otonomi daerah,
kapasitas fiskal dan TPAK mampu mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi tetapi investasi swasta tidak mampu mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi daerah pada tingkat =5%, dan nilai C
13,28869 yang menyatakan bahwa jika terdapat perubahan kapasitas
fiskal, investasi swasta dan TPAK akan mempengaruhi nilai PDRB
DKI Jakarta, J awa Barat, J awa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa
Timur berturut-turut hanya sebesar 13,60%; 13,84%; 13,36%; 11,81%
dan 13,81%, lebih kecil pengaruh variabel independen terhadap PDRB
wilayahnya dibandingkan dengan periode sebelum otonomi daerah.
Dapat disimpulkan, bahwa dari perbandingan tersebut diatas
sesuai dengan penelitian pada keseluruhan periode, bahwa
diberlakukannya otonomi daerah belum mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi regional antar propinsi di Pulau J awa.
Perubahan dalam sistem pemerintahan membuat kondisi
Indonesia menjadi kurang stabil, sehingga para investor swasta lebih
memilih berinvestasi di negara yang bersifat kerajaan karena
perekonomian yang stabil. Selain itu, Belum mampunya pemerintah
daerah dalam melihat dan mengolah potensi yang ada di daerah yang
bersangkutan diduga sebagai salah satu alasan belum terwujudnya
tujuan dari diberlangsungkannya otonomi daerah.
135
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Besarnya kapasitas fiskal suatu daerah bergantungkepada porsi anggaran
yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan.
Semakin tinggi kapasitas fiskal suatu daerah, semakin besar pula jumlah
uang dari porsi anggaran yang akan diberikan untuk pembangunan.
Pembangunan meningkat, kegiatan ekonomi masyarakat akan lebih efisien
yang berarti mampu mendorong pertumbuhan PDRB. Berdasarkan hasil
regresi, menunjukkan bahwa kapasitas fiskal antar lima propinsi di pulau
Jawa memiliki pengaruh yang positif terhadap PDRB yang merupakan
indikator dari pertumbuhan ekonomi regional.
2. Pada tahun penelitian, menunjukkan bahwa Investasi swasta memiliki
pengaruh yang signifikan dan positif terhadap PDRB. Investasi swasta,
apalagi di propinsi dari negara yang masih berkembang, tidak hanya dapat
mengandalkan pembangunan oleh pemerintah saja, tetapi juga
membutuhkan kerja sama pihak swasta dalam menanamkan modalnya yang
dapat meningkatkan kegiatan perekonomian. Selain itu, investasi swasta
juga mampu menyerap tenaga kerja lokal sehingga kesejahteraan
masyarakat daerah tersebut dapat meningkat.
3. Tingkat partisipasi angkatan kerja memberikan pengaruh yang signifikan
tetapi memiliki hubungan yang negatif terhadap PDRB. Tingginya tingkat
135
136
partisipasi angkatan kerja tidak akan menambah keuntungan suatu daerah
tanpa diimbangi dengan tercukupinya lapangan kerja yang dibutuhkan
untuk melakukan kegiatan perekonomian yang dapat meningkatkan
pendapatan perkapita masyarakatnya.
4. Diberlakukannya otonomi daerah ternyata belum mampu mendorong antar
propinsi dipulau J awa ini kearah kondisi perekonomian yang lebih baik
secara signifikan. Belum mampunya pemerintah daerah dalam melihat dan
mengolah potensi yang ada di daerah yang bersangkutan diduga sebagai
salah satu alasan belum terwujudnya tujuan dari diberlangsungkannya
otonomi daerah, malah menjadikan propinsi antar pulau J awa ini
khususnya, selaku daerah penelitian, semakin ketergantungan terhadap
dana alokasi umum (DAU) yang diberikan pemerintah sebagai tahap awal
diberlakukannya otonomi daerah. Hal tersebut ditunjukkan pada hasil
estimasi bahwa otonomi daerah tidak mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap PDRB.
5. Berdasarkan hasil regresi, sesuai dengan pertanyaan peneliti dapat
disimpulkan bahwa, dari membandingkan ketiga variabel penelitian yang
signifikan, yang paling signifikan dan berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi regional adalah kapasitas fiskal pengaruhnya
terhadap PDRB sebesar 0.052%.
137
B. Saran
1. Baiknya pemerintah daerah lebih memberikan perhatian atas APBD kepada
porsi anggaran untuk pembangunan, sebagai modal untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi regional (PDRB).
2. Peran investasi swasta sangat penting bagi peningkatan pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah, dengan diimbangi oleh kemampuan, kecermatan
serta kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakatnya dalam meningkatkan iklim usaha dan menciptakan keadaan
ekonomi, politik dan hukum yang kondusif, mampu meningkatkan minat
para investor untuk menanamkan modalnya diwilayah yang bersangkutan
dalam rangka meningkatkan serta memberi pengaruh yang positif terhadap
PDRB.
3. Khususnya bagi pemerintah daerah, untuk lebih mengoptimalkan
daerahnya, baik dari segi lahan, sumber daya dan dana anggaran
pembangunan daerah untuk membuka atau memperluas lapangan pekerjaan
sehingga dapat mengimbangi laju pertumbuhan tenaga kerja di daerah yang
bersangkutan sehingga dapat meminimalisir terjadinya peningkatan
pengangguran.
4. Diharapkan disiplin, keadilan, kerjasama pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat yang baik serta kesadaran akan tanggung jawab atas
masyarakat akan membawa Indonesia kepada negara yang lebih baik dan
meminimalisir kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme yang
138
merupakan penyakit dari diberlakukannya sistem desentralisasi, sehingga
tujuan dari otonomi daerah dapat tercapai secara maksimal.
5. Dikarenakan hasil regresi yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa
variabel kapasitas fiskal yang paling berpengaruh, maka sebagai masukkan
bagi pemerintah maupun pusat maupun daerah untuk lebih memberikan
perhatian dan mengoptimalkan penerimaan daerah yang merupakan ukuran
dari kapasitas fiskal untuk kembali digunakan lebih kearah pengeluaran
yang bersifat pembangunan dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya.
139
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Arsyad, Lincolin. Ekonomi Pembangunan, Edisi 5, STIE YKPN, Yogyakarta, 2010.
Bank Indonesia. Kajian Ekonomi Regional Propinsi DI Yogyakarta Kwartal II-2008, Kantor
Bank Indonesia DIY, 2008.
_____________. Kajian Ekonomi Regional Propinsi DI Yogyakarta Kwartal III-2008, Kantor
Bank Indonesia DIY, 2008.
____________. Kajian Ekonomi Regional Propinsi Jawa Timur Vol.2 No.1 Triwulan I-2006,
Kantor Bank Indonesia Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Biro Kebijakan
Moneter, 2007.
____________. Kajian Ekonomi Regional Propinsi Jawa Timur Triwulan II-2007, Kantor
Bank Indonesia Surabaya, 2007.
BKPM Pusat. Perkembangan Realisasi Investasi Indonesia J akarta, 2009.
BPS. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Propinsi, J akarta. 1994-2008.
____. Statistik Indonesia, J akarta. 1994-2008.
____. PDRB Menurut Lapangan Usaha, J akarta. 1994-2008.
____. Propinsi Dalam Angka, J akarta. 1994-2008.
Gujarati, D. Dasar-dasar Ekonometri. Edisi III, J ilid 1, Erlangga, J akarta, 2006.
Gujarati, D. Dasar-dasar Ekonometri. Edisi III, J ilid 2, Erlangga, J akarta, 2006.
J hingan, M.L.Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Raja Grafindo, J akarta, 2004.
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Makro Ekonomi, Edisi ketiga, Raja Grafindo Persada,
J akarta, 2004.
Sukirno, Sadono. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan, Edisi 2,
Kencana, J akarta, 2007.
Suparmoko, M. Ekonomika Pembangunan, BPFE, J akarta, 2002.
140
Winarno, Wing wahyu. Analisis Ekonometrika dan Statistik Dengan Eviews. Edisi kedua,
UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 2009.
LaboraturiumIlmu Ekonomi FE UI, Sesi VIII Modul Panel, Kampus UI Depok, 2006.
Jurnal dan penelitian terdahulu :
Akpan, Patrick L. Governance and Gross Domestic Investment In Developing Economies :
Issues In Exchange Rate Instability In Nigeria, Cross River University of Technology,
2009.
Athukorala, P.P.A Wasantha. The Impact of Foreign Direct Investment for Economic Growth :
A Case Study in Sri Lanka, Matara, Sri Lanka, 2003.
Dwirandra, A.A.N.B. Efektivitas dan Kemandirian Keuangan Keuangan Daerah Otonom
Kabupaten/ Kota di Propinsi Bali Tahun 2002-2006, Universitas Udayana, Bali, 2007.
Faras, Reyadh Y. dan Khalifa H. Ghali, Foreign Direct Investment and Economic Growth: The
Case of the GCC Countries, Interbational Research J ournal of Finance and Economics,
2009.
Haryanto, Joko Tri. Kemandirian Daerah Sebuah Perspektif Dengan Metode Path Analysis.
J akarta, 2006.
Parhah, Siti. Kontribusi Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(Analisis Data Cross-Section Tahun 2002). 2002.
Purbadharmaja, Ida Bagus Putu , Implikasi Variabel Pengeluaran dan Investasi Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Bali, Denpasar, 2006.
Sitompul, Novita Linda. Analisis Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja Terhadap PDRB
Sumatera Utara, USU, Medan, 2007.
Sodik, J amzani dan Didi Nuryadin Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi Regional (Studi Kasus
Pada 26 Propinsi di Indonesia, Pra dan Pasca Otonomi), Jurnal Ekonomi Pembangunan,
Yogyakarta, 2005.
Yendrik, Yon. Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten Dairi, USU, Medan, 2009.
141
Website:
http://en.wikipedia.org/wiki/J arque-Bera_test
http://id.wikipedia.org/wiki/ jawa
http://file.upi.edu/Direktori/L%20%20FPEB/PRODI.%20EKONOMI%20DAN%20KOPERASI/
SITI%20PARHAH/KONTRIBUSI%20DESENTRALISASI%20FISKAL%20TERHADAP%20
PERTUMBUHAN%20EKONOM.pdf
http://www.indomedia.com.au/innerpage.php?page=kilasberita&ArticleID=103
http://www.eurojournals.com/finance.htm
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Anna Amelia
2. Tempat & tgl. Lahir : Jakarta, 25 Februari 1989
3. Tinggal di : Jakarta
4. Alamat : Gardenia Estate blok A1 No.10
J l. R.E. Martadinata, Ciputat 15411
5. Telepon : 0856-8239996
II. PENDIDIKAN
1. SD : SDN Pondok Labu 05 Pagi
2. SMP : SMP N 85 Jakarta
3. SMA : SMA N 46 Jakarta
4. S1 : Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
III. PENGALAMAN BERORGANISASI
1. BEM : - BEM JURUSAN IESP 2006-2007, Divisi
Orseni (anggota)
- BEM JURUSAN IESP 2007-2008, Divisi
Orseni (anggota)
- BEM JURUSAN IESP 2008-2009,
Koordinator Bidang Kemahasiswaan
2. DLL : - 2006 s/d 2010 SEIS DANCE (Saman
traditional dance)
ii
IV. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Ir. Muhammad Arsyad
2. Tempat & Tgl. Lahir : Lhoksemauwe, 23 Oktober 1949
3. Alamat : Komplek Timah No.G-42
Pangkalan Jati baru, Jakarta selatan.
4. Telepon : 021-769 4865
5. Ibu : Andrie Mediana
6. Tempat & Tgl. Lahir : Prabumulih, 29 April 1962
7. Alamat : Komplek Timah No.G-42
Pangkalan Jati baru, Jakarta selatan.
8. Anak Ke dari : 2 dari 4 bersaudara
iii
ABSTRACT
Steady increase of economics growth is government target, both local
government and central government. High economic growth describes the state of
social conditions and also high levels of society welfare.
There are some major factors that influence the economic growth. This
research analyzes the regional economic growth in the provinces in Java using
some factors, such as fiscal capacity (KF), private investment (IS) and labor force
participation rate (TPAK), before and after regional autonomy is implemented,
during the period 1994-2008.
Research of this panel data regression using the Chow and the Hausman
Test in choosing the best model for the method of the General Least Square
(GLS). The result of the test show that the Fixed Effects Model (FEM) is the best
model in this research.
Based on this estimation indicates that the variable of fiscal capacity (KF)
and private investment (IS) give significant and positive influence statistically on
the regional economic growth (PDRB), while the variable labor force
participation rate (TPAK) has a significant but negative influence on the regional
economic growth. Dummy variable for regional autonomy (OTDA) indicates no
significant effect on the regional economic growth.
iv
ABSTRAK
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah tujuan dari seluruh
pemerintahan, baik suatu daerah maupun suatu negara. Karena pertumbuhan
ekonomi yang tinggi mampu menggambarkan kondisi sosial serta tingkat
kesejahteraan masyarakatnya yang tinggi pula.
Terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Penelitian ini menganalisis pertumbuhan ekonomi regional di propinsi
dipulau Jawa menggunakan beberapa faktor, diantaranya kapasitas fiskal,
investasi swasta dan tingkat partisipasi angkatan kerja, sebelum dan sesudah
otonomi daerah, selama kurun waktu 1994-2008.
Penelitian regresi data panel ini menggunakan uji Chow dan Hausman
dalammemilih model terbaik untuk metode General Least Square (GLS). Hasil
uji menunjukkan bahwa Fixed Effects Model (FEM) merupakan model terbaik
dalampenelitian ini.
Berdasarkan hasil estimasi tersebut menunjukkan bahwa variabel kapasitas
fiskal (KF) dan Investasi swasta (IS) berpengaruh signifikan dan positif secara
statistik terhadap pertumbuhan ekonomi regional (PDRB), sedangkan variabel
tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) berpengaruh negatif signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi regional. Untuk variabel dummy otonomi daerah (OTDA),
ditunjukkan tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
regional.
v
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan
skripsi saya dengan judul Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal, Investasi Swasta
dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Regional Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Studi Kasus: Antar Propinsi di
Pulau Jawa).
Skripsi ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan pada jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
S1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas IslamNegeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalammenyusun Skripsi ini, penulis memperoleh bantuan, bimbingan dan
pengarahan serta dorongan semangat dari berbagai pihak, oleh karena itu pada
kesempatan ini, dengan kerendahan hati, penulis ucapkanrasa terimakasih yang
sebesasr-besarnya kepada semua pihak, terutama kepada :
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Abdul Hamid, MS, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Lukman, M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Bapak Pheni Chalid, SF., MA., Ph.D, Dosen Pembimbing I yang penuh
perhatian dan kesabaran dalammemberikan bimbingan yang hingga saat ini
menjadi motivasi saya untuk menjadi sukses.
5. Ibu Utami Baroroh, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang cantik dan
sangat baik hati yang telah memberikan arahan dan petunjuk dalampenulisan
skripsi kapanpun beliau ada waktu.
vi
6. Prof. Dr. Ahmad Rodoni dan Drs. Lukman, M.Si, selaku dosen penguji ahli
yang telah memberikan arahan dan masukan dalampenulisan skripsi.
7. Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberi bekal ilmu yang tidak ternilai
harganya selama belajar di Jurusan Ekonomi Pembangunan.
8. Mama dan papa yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada saya,
mbahti mbahkung serta kakak dan adik-adikku yang telah memberikan
dorongan baik moril maupun materiil untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Moh. Prabu Brangbeh, yang selalu setia membantu dan mendengarkan keluh
kesah saya dalampembuatan skripsi ini.
10. Ayu Zakya Lestari selaku training motivator pribadi, Resnawati, Amalia
Octaryna, Ahmad Lapananrang, M. Fauzi Herliansyah, Adam Raditya
Marendra yang merupakan semangat hidup saya sejak pertama kuliah di UIN
syahid Jakarta.
11. Teman-teman KKN 78 yang sudah seperti keluarga; Andrie Dwi Utomo,
Aditya Prasetya dan sepuluh lainnya.
12. Chairanti Maulika dan Villy Yelita sahabat saya sejak SMA.
13. Teman-teman semua di kelas Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan angkatan
2006 yang telah memberikan motivasi dalampembuatan skripsi ini.
14. Semua pihak yang terkait yang telah membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga semua pihak yang telah membantu dalampenyusunan skripsi ini
mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT. Kritik dan saran dari semua pihak
senantiasa dapat diterima dengan senang hati. Akhirnya semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak.
Tangerang,
Penulis