Você está na página 1de 10

DASAR PEMIKIRAN ALIRAN MURJI”AH DAN KELOMPOKNYA

Oleh: Edi Suriaman

Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Usman dan Ali, yaitu
disaat terjadinya pergolakan-pergolakan politik dikalangan umat Islam.
Perjuangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibingkai dengan ajaran
agama, sebagai payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk
mempertahankan kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang
lawan-lawan politiknya. Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fikih dan
aliran-lairan teologi dalam Islam lahir dari konflik politik yang terjadi di
kalangan umat Islam sendiri, untuk kepentingan dan mendukung politik masing-
masing kelompok, ulama dari kedua kelompokpun memproduksi hadits-hadits
palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa keberpihakan.
Adanya keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi
Thalib, memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi
terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka
mengganggap perang saudara ini sebagai seuatu fitnah (bencana) lalu mereka
berdiam diri, atau mereka bimbang untuk menetapkan haq dan kebenaran pada
kelompok yang ini atau itu1.
Aliran Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak
sepaham dengan Khowarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang
dengan Khowarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman
atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak
mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak
menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT,
sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap
diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan
lahir bersamaan dengan kemunculaan syi’ah dan khawarij2. Pada mulanya kaum
Murji’ah merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-

1
Abul A’la Al-Maududi. Khilafah dan Kerajaan, Penerbit Kharisma, Bandung, 2007. Hal: 253
2
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia,Bandung, 2007. Hal: 56

1
pertentangan yang terjadi ketika itu dan menyerahkan penentuan hukum kafir atau
tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan3.
Lebih lanjut kelompok ini menganggap bahwasanya pembunuhan dan
pertumpahan darah yang terjadi di kalangan kaum muslimin sebagai suatu
kejahatan yang besar. Namun mereka menolak menimpakan kesalahan kepada
salah satu di antara kedua kelompok yang saling berperang4.
Pada mulanya kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya
persoalan khalifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah
Usman bin Affan mati terbunuh. Munculnya permasalahan ini perlahan-lahan
menjadi permasalahan tentang ketuhanan. Oleh karena itu, akan membahas
tentang Murji’ah dan perkembangan pemikirannya dalam mewarnai pemahaman
ketuhanan dalam Agama Islam.

1.1 Awal Kemunculan Kelompok Murjia’h


Asal usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab
yaitu:
1. Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim
(arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok
Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya
keluar dari Ali yakni Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan
dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah.
Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar,
dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuata dosa besar yang lain5.
Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah
penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya.
Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin
Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka
merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah6.

3
Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta,
1986. Hal: 22
4
Abul A’la Al-Maududi. Op. cit. 2007. Hal: 254
5
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit. 2007. Hal: 57
6
Harun Nasution. Op. Cit. 1986. Hal: 22

2
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang
ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang
terjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang
bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar
dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa
sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian
persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan7.
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan
tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian
politik dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme8.
2. Permasalahan Ke-Tuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada
permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan
kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi
mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang
membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin9.
Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar
oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut
Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir,
sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya
atau tidak10.
Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang
terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah
yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang
melakukan dosa besar masih di anggap mukmindi hadapan mereka. Orang
mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain
bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan

7
Ibid..,
8
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit. 2007. Hal: 56
9
Harun Nasution. Op. Cit. 1986. Hal: 23
10
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit. 2007. Hal: 57

3
dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang
tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir 11.
Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kata Murji’ah itu sendiri
yang berasal dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan,
mengakhirkan dan memberikan pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa
mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau
memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan
disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dan
mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau
amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata
menangguhkan, dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum
bagi orang-orang yang melakukan dosa di hadapan Tuhan12.
Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah
yang diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan
hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan
kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat
kedua dari iman, tetapi karena mereka memberi pengaharapan bagi orang yang
berdosa besar untuk masuk surga13.

1.2 Pembagian Kelompok Murji’ah


Pada umunmnya kaum Murji’ah di golongkan menjadi dua golongan
besar, yaitu Golongan Moderat dan golongan Ekstrim.
1. Golongan Moderat
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah
kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai
dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa tuhan
akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama
sekali14.

11
Abuddin Nata. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tassawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1995.
Hal: 33
12
Ibid.., Hal: 34
13
Harun Nasution. Op. Cit. 1986. Hal: 24
14
Ibid.., Hal: 25

4
Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad
Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits.
Menurut golongan ini, bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap
mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberikan definisi iman sebagai
berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya
dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam
perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, tidak ada
perbedaan manusia dalam hal iman15.
Dengan gambaran serupa itu, maka iman semua orang islam di anggap
sama, tidak ada perbedaan antara iman orang islam yang berdosa besar dan iman
orang islam yang patuh menjalankan perintah-perinyah Allah. Jalan pikiran yang
dikemukakan oleh Abu Hanifah itu dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan
kurang penting dibandingkan dengan iman16.

2. Golongan Murji’ah Ekstrim


Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah,
Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap
kelompok ini dapat dijelaskan sebagi berikut:

1. Kelompok Al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan dan
pengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam
yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan,
tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian
tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa
orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan
ajaran-ajaran agama Yahudi degan menyembah berhala atau Kristen degan
menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah

15
Abuddin Nata. Op. Cit. 1995. Hal: 34
16
Ibid..,

5
menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah17. Dan orang
yang demikian bagi Allah merupakan mukmin yang sempurna imannya 18.

2. Kelompok Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui
Tuhan dan Kufr adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka
sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah
iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan19.Begitu pula zakat, puasa dan haji
bukanlah ibadah melainkan sekedar mengamabrkan kepatuhan20.

3. Kelompok Al-Yunusiyah dan Kelompok Al-Ubaidiyah


Melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat
tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-
perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.
Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak
atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politheist) 21.
Kaum Yunusiyah yaitu pengikut- pengikut Yunus ibnu ’Aun an Numairi
berpendapat bahwa ”iman” itu adalah mengenai Alla, dan menundukkan diri
padanya dan mencintainya sepenuh hati. Apabila sifat-sifat tersebut sudah
terkumpul pada diri seseorang, maka dia adalah mukmin. Adapun sifat-sifat
lainnya, seperti ”taat” misalnya, bukanlah termasuk iman, dan orang yang
meninggalkan bukanlah iman, dan orang yang meninggalkan ketaatan tidak akan
disiksa karenanya, asalkan saja imannya itu benar-benar murni dan keyakinannya
itu betul- betul benar22.

4. Kelompok Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu tuhan melarang makan
babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing

17
Ibid.., Hal: 35
18
Harun Nasution. Op. Cit. 1986. Hal: 26
19
Ibid.., Hal: 27
20
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit. 2007. Hal: 61
21
Ibid.., Hal: 61
22
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II, PT Pustaka Al-Husa baru, Jakarta. 2003.
Hal: 296

6
ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang
mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak
tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian juga tetap
mukmin23.

1.3 Doktrin Pemikiran Kelompok Mur’jiah


Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin
irja’ atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan
politik maupun persoalan teologis. Dibidang politik, doktrin irja’
diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu
diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah di kenal
pula dengan The Queitists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi
jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik24.
Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang
independen, sebagai dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut25:
1. Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan
Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu
keharusan bagai adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap
dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang
difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa
besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman
dihati, maka setiap maksiat tidak akan mendatangkan mudharat
ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan
pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik
dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau
amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian menngkat pada pengertian bahwa,
hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak
mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal

23
Harun Nasution. Op. Cit. 1986. Hal: 27
24
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit. 2007. Hal: 58
25
Abul A’la Al-Maududi. Op. cit. 2007. Hal: 254

7
ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain;
selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada
dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang
tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah
iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan
tidak merusak iman seseorang26.
Berkaitan dengan Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai
berikut27:
1. Penangguhan keputusan Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya
di akhirat.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-
Khalifah Ar-Rasyidin.
3. Pemberian harapan (giving hope) terhadap orang muslim yang berdosa
besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis
dan empiris dari kalangan Helenis.
Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin
teologi Murji’ah yaitu28:
1. Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan
Abu Musa Al-Asy’ ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada
Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa
besar.
3. menyerahkan meletakkan iman dari pada amal.
4. Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sedangkan doktrin pemikiran Murji’ah yang lain, seperti batasan kufur,
para pengikut Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Secara garis besar
pemikiran dapat dijelaskan menurut kelompok Jahamiyah: bahwa kufur

26
Harun Nasution. Op. Cit. 1986. Hal: 23
27
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Op. Cit. 2007. Hal: 58
28
Ibid…, Hal: 59

8
merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati ataupun, dimana hati tidak
mengenal (jahl) terhadap Allah SWT29.
Pada golongan yang lainnya, menyatakan bahwa kufur itu merupakan
banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, misalnya tidak
mengenal (jahl) terhadap Allah SWT, membenci dan sombong kepadanya,
mendustakan Allah dan rasul-Nya sepenuh hati dan secara lisan, begitu pula
membangkang terhadap-Nya, mengingkari-Nya, melawan-Nya, menyepelekan
Allah dan dan rasulnya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih
dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut,
baik dengan hati maupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun
dengan iman30.
Mereka beranggapan bahwa seseorang yang membunuh ataupun menyakiti
Nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh
ataupun menyakiti semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Tetapi, kalau
seseorang mengahalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga
orang-orang muslim, niscaya diapun disebut kufur31.

1.4 KESIMPULAN
Kemunculan aliran Murji’ah dalam sejarah perkembangan ilmu teologi
dalam islam, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik pada masa itu,
yang dimulai dari pertentangan Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Aliran
Murji’ah merupakan aliran yang berusaha bersikap netral atau nonblok dalam
proses pertentangan yang terjadi antara kaum Khawarij dengan kaum Syi’ah yang
telah masuk pada permasalahan kafir mengkafirkan.
Dan dalam perkembangannya Murji’ah ikut memberikan tanggapan dalam
permasalahan ketentuan Tuhan dalam menetapkan seseorang telah keluar Islam
atau masih mukmin. Tipe pemikiran yang dikembangkan oleh kaum Murji’ah
adalah bahwa penentuan seseorang telah keluar dari Islam tidak bisa ditentukan
oleh manusia tapi di tangguhkan sampai nanti di akhirat. Pembagian golongan

29
Abul Hasan Isma’il Al-Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, CV Pustaka Setia,
Bandung, 1998. Hal: 205
30
Ibid..,
31
Ibid..,

9
Murji’ah dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu, golongan Murji’ah
moderat dan golongan Murji’ah ekstrem.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asy’ari, Abul Hasan Isma’il. 1998. Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi


Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-Maududi, Abul A’la. 2007. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Penerbit
Kharisma. Penerjemah: Muhammad Al-baqir.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Syalabi, A. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II. Jakarta: PT Pustaka Al-
Husa baru.
Nata, Abuddin. 1995. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tassawuf. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka
Setia.

10

Você também pode gostar