Você está na página 1de 69

PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP


ANAK DI KOTA MAKASSAR



Oleh :
SURIYADI
040 290057

Skripsi ini di ajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Muslim Indonesia


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013

PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN TERHADAP
ANAK DI KOTA MAKASSAR









Oleh :
SURIYADI
040 290 057

Skripsi ini di ajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Muslim Indonesia


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013

PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa Skripsi tersebut di bawah ini:
Nama Mahasiswa : SURIYADI
Nomor Stambuk : 040 290 057
Program Study : Ilmu Hukum
Bagian : Hukum Pidana
Judul Skripsi : PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG
DILAKUKAN TERHADAP ANAK DI KOTA
MAKASSAR
Dasar Penetapan : SK DEKAN .NO.092/H.05/FH-UMI/VII/2012
Telah diperiksa dan dapat disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi di Fakultas
Hukum Universitas Muslim Indonesia.


Makassar, 2013




Pembimbing I Pembimbing II




( H. Iwan Akil, SH, MH., ) ( A.Mutia Farida, SH, MH,)




Mengetahui
Ketua Bagian Hukum Pidana




( H. Iwan Akil, SH, MH. )

PERSETUJUAN UNTUK UJIAN SKRIPSI

Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia memberikan
persetujuan untuk mengikuti ujian skripsi kepada:

Nama Mahasiswa : SURIYADI
Stambuk : 040 290 057
Program Studi : Ilmu Hukum
Bagian : Hukum Pidana
Judul Skripsi : PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG
DILAKUKAN TERHADAP ANAK DI KOTA
MAKASSAR


Makassar, 2013
Dekan Fakultas
Hukum


H. Hasbi Ali, SH. MS





PENGESAHAN SKRIPSI

Di terangkan Bahwa Skripsi tersebut di bawah ini:
Judul : PENERAPAN PIDANA TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN YANG
DILAKUKAN TERHADAP ANAK DI KOTA
MAKASSAR
Nama Mahasiswa : SURIYADI
Nomor Stambuk : 040 290 057
Program Study : Ilmu Hukum
Bagian : Hukum Pidana
Dasar Penetapan : SK.NO.092/H.05/FH-UMI/VII/2012
Telah dipertahankan dihadapan majelis Ujian Skripsi pada tanggal
.. 2013 dan dinyatakan lulus oleh Tim penguji:

1) H. Iwan Akil, SH, MH. (.........................................................)

2) A. Mutia Farida, SH, MH. (.........................................................)

3) ............................................ (.........................................................)

4) ............................................. (.........................................................)





KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr.Wb.
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah
dan Rahmatnya penulis diberikan inspirasi, pengetahuan, kemudahan dan
kesehatan dalam menyelesaikan skripsi ini , salam dan sholawat tercurah kepada
Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan bagi seluruh
umat manusia di dunia termasuk penulis.
Tujuan dari Skripsi yang berjudul Penerapan Pidana terhadap pelaku
tindak pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di kota Makassar
adalah untuk memenuhi persyaratan akhir akademik una memperoleh gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.
Rampungnya skripsi ini penulis Dedikasikan untuk kedua orang tua
penulis La Mamma dan Hj. Mukarramah atas segala doa, dukungan secara moril
dan Materi serta kasih sayang yang tiada hentinya, yang INSYAALLAH akan
mengantarkan kegerbang kesuksesan. Serta sanak saudara dan anggota keluarga
lainnya.
Sebelumnya Penulis menghaturkan permohonan maaf jika di dalam skripsi
ini terjadi kesalahan atau kekeliruan yang tanpa penulis sengaja. Atas dasar
tersebut penulis berlapang dada dalam menerima setiap saran ataupun kritikan yan
pada dasarnya bersifat membangun.
Dalam penyelesaian Skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
penyelesaian Skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Pembimbing 1 H.Iwan Akil, SH,.MH, dan A. Mutia Farida, SH,.MH,
selaku pembimbing II yang selama ini memberikan bimbingan dalam
pembuatan Skripsi ini.
2. Pengadilan Negeri Makassar dan Polrestabes yang telah banyak membatu
dalam pengumpulan data untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, H. Hasbi Ali, S.H.,
yang selama ini menjadi komando Fakultas Hukum Universitas Muslim
Indonesia.
4. Para Bapak/Ibu Dosen pengajar dan segenap Civitas Akademik Fakultas
Hukum Universitas Muslim Indonesia yang telah banyak membantu
selama proses perkuliahan sampai proses penyusunan Skripsi.
5. Kawan - kawan seperjuangan angkatan 2009 teman-teman dari
KOMAHUM, Study Club, kader PERMAHI, sahabatku
Azhar,Eka,Mirsan,dan Irwan, teman teman FH UMI beserta teman-teman
lain yang tidak sempat disebutkan.
6. bapak Nathan Lambe,SH,.MH (Hakim PN Makassar), bapak Mustari
(panitera PN Makassar) yang telah banyak membantu dalam penumpulan
data.
7. sahabat kecilku sampai sekarang Reski dan Hendra yang telah menjadi
seperjuangan dari sejak SD s/d sekarang
8. Bapak kost dan Ibu kos, teman teman kost Pondok Miraj, serta warga
Tamamaung yang selama ini menjadi tetangga yang banyak mengajarkan
saya tentang realita kehidupan dan menerima saya sebagai warga disana.
9. kepada seluruh staf dan tenaga pengajar di Pesantren Darul muchlisin UMI
yang telah mengajarkan saya tentang arti Islam sesungguhnya.
10. Teman-teman KKPH di Pengadilan Agama Makassar yang banyak
membantu dalam proses Praktek disana.
11. Seluruh keluarga yang telah mendukung saya selama ini dan memberikan
saya motivasi.

Untuk semua itu, penulis tidak mempunyai sesuatu untuk membalasnya,
kecuali hanya harapan dan doa, mudah-mudahan segala bantuan yang telah
diberikan mendapatkan imbalan dan pahala yang setimpal dari Allah Subhanahu
Wataala, Amin Ya Rabbal Alamin.

Makassar, Februari 2013




SURIYADI

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................. i
Halaman Persetujuan Pembimbing ................................................................ ii
Halaman Persetujuan Untuk Ujian Skripsi ................................................... iii
Halaman Pengesahan Skripsi ......................................................................... iv
Kata Pengantar ................................................................................................ v
Daftar Isi ........................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian ...................................................................................................12
1. Pidana dan pemidanaan .........................................................................12
2. Anak . ....................................................................................................21
3. Tindak Pidana Pemerkosaan terhadap Anak .........................................23
4. Ancaman pidana pelaku pemerkosaan anak .........................................25
B. Perlindunan Hukum terhadap anak ..............................................................27
1. Perlindungan anak ................................................................................28
2. Tanggung jawab perlindungan anak ....................................................32
3. Hukum perlindungan anak ...................................................................34
C. Pidana Penjara .............................................................................................37

D. Eksistensi pidana denda dalam sistem pidana ............................................40
E. Putusan Hakim ............................................................................................46
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian .......................................................................................... 50
B. Jenis dan Sumber Data ................................................................................. 50
C. Teknik Pengumpulan Data.......................................................... ................. 51
D. Analisis Data ................................................................................................ 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Penerapan Pidana terhadap pelaku tindak pidana
Persetubuhan dengan anak dari dua sampel perkara
di pengadilan Negeri Makassar................................................................. .....53
B. Masalah persetubuhan terhadap anak dan Penerapan
Pidana terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak
di kota Makassar ......................................................................................68
C. Eektivitas Pidana denda yang menyertai pidana penjara
Dalam perkara persetubuhan terhadap anak
di bawah umur ............................................................................................. 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 79
B. Saran .............................................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 82
LAMPIRAN ...................................................................................................... 84



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan atau tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan dalam
tata kehidupan sosial karena mengganggu ketenangan individu, kelompok atau
dalam tingkatan tertentu dapat menciptakan suasana kehidupan nasional yang
dapat atau Negara tidak stabil. Setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya, hal ini seiring dengan semakin majunya perkembangan yang
beraneka ragam dalam kebutuhan hidup manusia serta perkembangan diri manusia
indonesia. Mengutip dari pernyataan Sahetapy (Sianturi, 1992, hal. 12) bahwa
kejahatan erat hubungannya dan bahkan menjadi sebahagian hasil dari budaya
sendiri, yang berarti semakin tinggi tingkat budayanya semakin modern suatu
bangsa, semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara
pelaksanaannya. Perkembangan itu di ikuti dengan semakin meningkatnya angka
kriminalitas terhadap jenis kejahatan tersebut dapat berasal dari berbagai tingkat
usia, status ekonomi, jenis kelamin dan lain sebagainya.
1. Berdasarkan tingkatan usianya maka secara garis besar korban kejakatan
dapat digolongkan sebagai anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua.
2. Berdasarkan pada status ekonomi sosial ekonominya korban kejahatan
dibagi atas masyarakat dengan ekonomi bawah, menengah dan atas.
3. Berdasarkan jenis kelamin maka korban kejahatan dapat digolongkan atas
Pria dan wanita.
Manusia kadang-kadang gagal mencegah dirinya dari kecenderungan untuk
berbuat deviatif (menyimpang) dan jahat karena faktor ekonomi, tuntutan biologis
dan harga diri. Padahal diketahui bersama bahwa kejahatan yang diperbuatnya
merupakan bentuk peningkaran terhadap norma-norma dan nilai-nilai
kemanusiaan. Anak sebagai korban kejahatantentunya memerlukan perhatian
yang serius dari semua pihak, mengingat bahwa anak merupakan generasi
penerusa bangsa yang akan memegang estapet pemerintahan nantinya. Salah satu
jenis kejahatan yang sering dialami oleh anak adalah kekerasan seksual seperti

tindakan persetubuhan baik yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak
maupun tinakan tersebut yang diakukan oleh anak.
Negara Indonesia sendiri adalah Negara yang mayoritas penduduknya
adalah muslim sehingga Hukum Islam sendiri termasuk Hukum Yang diakui dan
diterapkan sebagai Hukum Positif, contoh kecilnya Nangroe Aceh Darussalam
yang menerapkan Hukum Islam sebagai Hukum positif. Dalam hubungannya
dengan Agama Islam Persetubuhan atau dalam islam termasuk dalam kategori
Zina adalah Perbuatan Bersenggama antara laki-laki dan wanita yang tidak terikat
hubungan pernikahan. Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua,
yaitu pezina muhshan dan ghayru muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang
sudah memiliki pasangan sah (menikah), sedangkan pezina ghayru muhshan
adalah pelaku yang belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah.
Masalah Zina sendiri dibahas dalam Al Quran Surah Al Israa 17:32 ,dan An
Nur 24:26. Berikut uraian ayat yang menerangkan tentang Zina :
Q.S Al Israa Ayat (32)
4 W-O+4O^> -OE+@O- W
+O^^) 4p~E LO4= 47.Ec4
1EO):Ec ^@g
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.


Q.S An Nur Ayat (26)
e1O)lC^- 4-g1O)lECUg
]O1O)lEC^-4
ge1O)lECUg W
e4:jO-C-4
4-):jO-CUg
4pO+lj1-C-4
ge4:jO-CUg _ Elj^q
]+7OEN` Og` 4pO7O4C W
_ E4Og^E` -^ejO4
_C@O ^gg

Artinya : Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-
laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-
laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).
mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh

mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang
mulia (surga).
Di dalam kehidupan bermasyarakat, tindak pidana persetubuhan terhadap
anak menimbulkan trauma gangguan mental serta psikis dari anak tersebut. Anak
sendiri mudah sekali menjadi korban kejahatan dikarenakan orang beranggapan
seorang anak masih kecil, belum mengerti apa-apa ditambah lagi belum mampu
untuk melakukan perlawanan saat menjadi sasaran kejahatan yang memudahkan
pelaku untuk menjadikannya korban kejahatan.
Pada dasarnya tindak pidana persetubuhan adalah bentuk kejahatan
primitif yang kita semua tahu terdapat pada masyarakat manapun juga. Gejala
sosial kejahatan merupakan salah satu tantangan yang harus dipikirkan secara
serius karena akibat yang ditimbulkan bukan hanya anak namun juga akan
menimbulkan ketakutan dalam masyarakat (fear of society). Anggota masyarakat
yang memiliki anak gadis misalnya pasti akan merasa was-was akibat adanya
kemungkinan ancaman kejahatan yang sewaktu-waktu bisa menimpa anaknya.
Kejahatan yang menyangkut kesusilaan khususnya kejahatan
persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur telah diatur dalam
KUHP yang terdapat dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi Barang
siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun,
atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawini, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Di samping dalam KUHP
dalam memberi jaminan perlindunan terhadap anak pemerintah mengeluarkan
regulasi tentang perlindungan anak dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002.
berdasarkan asas lex spesialis derogat Lex Generalis yang berarti bahwa aturan
yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang umum.
Dalam undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
diatur lebih khusus dalam Pasal 81 :
1) setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain,dipidana dengan pidana penjara
paing lama lima belas tahun dan paling singkat tiga tahun denda
paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2) ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengan orang lain.


Menurut penjelasan Pasal 287 ayat (1) KUHP, kejahatan persetubuhan
merupakan delik aduan absolut , maksudnya ialah delik (peristiwa pidana) yang
selalu hanya dapat dituntut apabila pengaduan dilakukan oleh si korban , jika tidak
ada pengaduan maka si pelaku bebas dari tuntutan. Ada beberapa permasalahan
hukum yang berhasil diinvetarisir beachman dan peterboster yang diikuti oleh
Romli atmasasmita :
a. Pelaku tidak ditangkap dan ditahan karena tidak ada pengaduan dari
korban.
b. Banyak pelaku kekerasan seksual yang ditangkap atau ditahan tidak
dituntut atau dituntut untuk adanya pelanggaran ringan karena sering
terjadi justru korban kemudian berbalik menjadi terdakwa dan diadili
karena bukti yang dianggap kurang kuat sehinga pelaku bebas dan si
korban baik dituntut karena diangap melakukan pencemaran nama baik.
c. Banyak pelaku kekerasan seksual justru sebaliknya adalah kenaan korban
misalnya : pacarnya, tetangga, sehingga tidak dillihat sebagai suatu
perkosaan.
Menurut Suparman Marzuki, dalam bukunya Otot dan Pelecehan Seksual,
, Yogyakarta, 1995, hal. 44 ada beberapa faktor pendorong terjadinya tindak
pidana persetubuhan antara lain :
1. Adanya kelainan seksual (pedofilia) gairah seksual seorang laki-laki
kepada anak-anak.
2. Faktor ekonomi : tingkat pendapatan masyarakat yang rendah sempitnya
lapangan pekerjaan yang tersisa sehingga banyak pengangguran.
3. Tingkat pendidikan yang rendah berakibat kurangnya pengetahuan,
khususnya tentang hukum, sehingga pelaku dapat melakukan perbuatannya
hanya didasarkan pada nafsu.

4. Kemerosotan moral.
5. Kemajuan teknologi.
6. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku relatif ringan sehingga tidak
membuat pelaku jera.
Di lihat dari faktor diatas dan dalam kenyataan hidup sehari-hari jumlah
korban persetubuhan terhadap anak di bawah umur semakin meningkat, hal ini
terjadi karena anak belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, belum bisa menjaga diri sendiri dan masih mudah terpengaruh bujuk rayu.
Tujuan hukum pidana Indonesia juga melindungi korban suatu tindak pidana
persetubuhan, terutama dalam bentuk pemidanaan terhadap pihak yang dinyatakan
bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman yang dijatuhkan pada
pelaku ini merupakan salah satu hak yang di tuntut oleh pihak korban. Korban
yang sudah dirugikan secara fisik dan psikologis menuntut para penegak hukum
untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku. Meskipun
sudah kelihatan cukup ideal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, namun tujuan
itu masih lebih memihak pada kepentingan pelaku, sedangkan kepentingan
masyarakat seperti pihak-pihak yang menjadi korban tindak pidana persetubuhan
kurang mendapatkan perhatian nyata. Hal ini dapat terbaca melalui pasal-pasal
yang terumus dalam KUHP sendiri, yang secara normatif kurang memberikan
perlindungan terhadap kepentingan atau hak-hak asasi korban.

Maraknya kasus kejahatan persetubuhan terhadap anak, merupakan
cerminan kegagalan penegakan hukum dalam menempatkan hukum sebagai
kekuatan supremasi. Hukum tidak dijadikan sebagai kekuatan yang mampu
memprevensi dan menindak para pelanggar dan penjahat, termasuk para pelaku
persetubuhan terhadap anak. Keadilan yang diberikan oleh penerapan hukum
melalui penjatuhan sanksi hukum kepada pelaku belum dapat mengobati
penderitaannya, apalagi jika sanksi hukum yang dijatuhkan pada pelaku tidak adil
atau tidak sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya. Ketidakadilan hukum inilah
yang disebut-sebut dapat menjauhkan masyarakat yang tertimpa musibah
(menjadi korban) untuk bersedia berurusan dengan dunia peradilan. Penjatuhan
hukuman yang cukup ringan terhadap pelaku kejahatan persetubuhan terhadap
anak itu di nilai dapat mendorong oknum-oknum sosial untuk melakukan praktik-
praktik peniruan perbuatan tersebut. Mereka di beri angin segar oleh kalangan
penegak hukum untuk berprilaku menyimpang melalui cermin lemahnya
penegakan hukum. Belum ada keberanian moral-profetis dikalangan penegak
hukum, khususnya hakim untuk menjatuhkan vonis secara maksimal.

Ditinjau dari aspek yuridis, eksistensi KUHP terdapat kelemahan
mendasar, sehingga sulit diharapkan dapat diimplementasikan secara maksimal
guna menanggulangi pelaku kejahatan persetubuhan. KUHP yang dijadikan acuan
untuk menjaring pelaku kejahatan persetubuhan mengandung kekurangan secara
substansial dalam hal melindungi korban kejahatan, salah satunya adalah ancaman
pidananya yang di nilai relatif ringan terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak
sehingga di anggap kurang memenuhi rasa keadilan bagi korbannya. Oleh karena
itu, dengan diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan anak yang merupakan
lex spesialis dari ketentuan yang mengatur tentang kesusilaan yang terdapat dalam
KUHP sebagai lex generalis di nilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum
bagi anak korban persetubuhan, yang akan mengatur lebih luas tentang
perlindungannya. Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, ternyata dalam praktek peradilannya masih ada
hakim yang menerapkan ketentuan KUHP terhadap kasus tersebut, sehingga asas
(lex specialis derogat lex generalis) tidak secara maksimal diterapkan yang
mengakibatkan kurang terpenuhinya rasa keadilan dalam penegakan hukum.
Mengingat tindak pidana persetubuhan terhadap anak menimbulkan kerugian
yang cukup besar baik dalam bentuk fisik maupun kejiwaan. Oleh sebab itu,
hakim diharapkan dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku hendaklah
sebanding dengan perbuatannya. Adapun ancaman pidana sebagaimana termaktub
dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP setinggi-tingginya adalah 9 tahun penjara ,
sedangkan menurut Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
persetubuhan terhadap anak dengan melakukan kekerasan maupun dengan
ancaman kekerasan di ancam dengan pidana penjara 15 tahun dan paling singkat 3
tahun, denda paling banyak Rp. 300 Juta dan paling sedikit Rp. 60 Juta. Dalam
Pasal 81 ayat (2), persetubuhan yang dilakukan dengan tipu muslihat dan
rangkaian kebohongan membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain, juga di ancam dengan pidana yang sama. Dari perkara
tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang telah diputuskan oleh hakim.
Berikut uraian putusan hakim yang dijatuhkan berdasarkan Pasal 287 ayat
(1) KUHP :
Kasus dengan nomor registrasi ( nomor 125/Pid.B/2010/PN.MKS ) dalam
kasus ini terdakwa yang bernama Muh.Fajri alias Razid alias Panji Bin H.Darwis,
umur 20 tahun, alamat jl.Komplek Perhubungan Hj.Banca II Batangase, Maros,
jenis kelamin laki-laki, pekerjaan sopir. Penuntut umum menutut terdakwa dengan
dakwaan Pertama primair Pasal 286 KUHPidana Subsider Pasal 287 ayat (1)
KuhPidana atau kedua Pasal 81 ayat (1) undang-undang nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak.
Setelah dilakukannya pemeriksaan sidang pengadilan dan memperhatikan
pertimbangan hukum yang dihubungkan dengan fakta-fakta persidangan,

menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan melakukan tindak
pidana sebagaimana dakwaan pertama primair
1. Membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama primair tersebut
2. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana berdasarkan Pasal 287 ayat (1)
3. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2
(dua) Tahun 3 (tiga) bulan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut, tentang penerapan pidana terhadap pelaku
tindak pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak, maka penulis
merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Penerapan Hukum terhadap pelaku tindak Pidana persetubuhan
terhadap anak di kota Makassar ?
2. Bagaimanakah efektivitas Pidana denda yang menyertai Pidana Penjara dalam
perkara Kasus persetubuhan terhadap anak di kota Makassar ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian tentanmg penerapan ketentuan pidana dalam kasus
persetubuhan terhadap anak adalah :
a. Untuk mengetahui dan menganilisis penerapan Hukum terhadap pelaku
tindak pidana persetubuhan terhadap anak di kota Makassar.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaku tindak pidana persetubuhan
yang dillakkukan terhadap anak.

2. Manfaat
Nilai suatu penulisan ditentukan oleh kegunaan atau manfaat yang dapat
diperoleh.
a. Secara teoritis, penulisan ini dimaksudkan untuk pengembangan ilmu
hukum khususnya masalah penerapan ketentuan pidana terhadap kasus
persetubuhan dengan anak.
b. Secara praktis, penuisan ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi
terhadap penerapan ketentuan pidana dalam kasus persetubuhan terhadap
anak.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
1. Pidana dan Pemidanaan
Sebelum membicarakan jenis-jenis pidana yang dikenal orang dalam
Hukum Pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu

tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu
sendiri.
Menurut Van Hammel ( Lamintang, 1984:47) arti Pidana atau straf
menurut hukum positif dewasa ini adalah:
Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk
menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung
jawab dan ketertiban hukum umum bagi seseorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah
melanggar suatu peraturan hukum harus ditegakkan oIeh
Negara.

Menurut Simons (Lamintang, 1984 : 48), pidana atau straf adalah:
Suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah
dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang
dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang
yang bersalah.


Dari dua rumusan mengenai pidana diatas dapat diketahui, bahwa pidana
itu hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. ini berarti
bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuari dan tidak mungkin dapat
mempunyal tujuan ( Lamintang, 1984:49).
Adapun unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Dwidja Priyatno
(2006:7) ialah sebagai berikut:
a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi)
yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Setelah dijelaskan mengenai pengertian pidana kemudian akan dijelaskan
pengertian pemidanaan sendiri. Menurut Sudarto ( Lamintang, 1984:49),
perkataan Pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan
penghukuman. Yang beliau jelaskan sebagai berikut:
Penghukuman itu berasal dan kata dasar hukum, sehingga
dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau
memutuskan tentang hukumnya. Penetapkan hukum untuk

suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum
pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. OIeh karena
tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tesebut
harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam
perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan
atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.

Adapun dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan (Hermien Hadiati
Koeswati ,1995) pada umumnya dibagi dalam 3 (tiga) kelompok teori,
yaitu:
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)
Tokoh-tokoh terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara
lain adalah Kant dan Kegel. Mereka menganggap bahwa hukuman itu
adalah suatu akibat dilakukannya suatu kejahatan. Sebab, melakukan
kejahatan maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat
mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang
berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Manfaat
hukuman bagi masyarakat bukanlah hal yang menjadi pertimbangan
tetapi hukuman harus dijatuhkan.
Utrecht (1967 :159-160) mengemukakan bahwa:
Kejahatanlah yang memuat anasir-anasir yang menuntut
hukuman dan yang membenarkan hukum yang dijatuhkan
(demisdaad zeif bevat de elementen die starf else en straft
rechtvaardigen), jadi hukuman tidak mencapai suatu praktis
(De straft becogt niet en practisch doel te verwezenlijken ).
Sebagai contoh, memperbaiki penjahat jadi suatu maksud
praktis tertentu itulah yang dalam pertimbangan
menjatuhkan hukuman. Yang dengan sendirinya ada sebagai
konsekuensi dari dilakukannya kejahatan. Hukuman itu
adalah sesuatu res absuluta abefetectu futoro apakah
hukuman itu bermanfaat pada akhirnya, itu bukan soal yang
dipertimbangkan secara primer (pokok).


Kant menambahkan (Lamintang 1984:25) bahwa:
Dasar pembenaran dari suatu pidana terdapat didalam apa
yang disebut kategorishen imperatif menghendaki agar
setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu
keharusan yang bersifat mutlak, sehingga setiap
pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata
didasarkan pada suatu tujuan itu harus dikesampingkan.


Dari teori tersebut diatas, Nampak jelas bahwa pidana merupakan
suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana.
Sajalan dengan itu, Polak ( Andi Hamzah, 1993 32) menjelaskan
bahwa: Menurut etika Spinoza, tiada seorang pun boleh mendapat
keuntungan karena kejahatan yang telah dilakukan (ne malis ex pediat
esse malos).
Selanjutnya Polak (Andi Hamzah, 1993:33) menambahkan bahwa
pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat:
1) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan
yang bertentangan dengan etika, yaitu sah bertentangan dengan
kesusilaan dan tata hukum obyektif.
2) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi.
3) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan berat delik, ini
perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.
Dari pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa dasar dijatuhkannya
hukuman itu tidak lain kerana kejahatan itu sendiri. Adapun akibat
positif maupun negatif dan pemidanaan itu bukanlah merupakan
tujuan. Tujuan yang sebenarnya adalah penjara atau penderitaan.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Para pengajar teori relatif ini tidak melihat hukuman itu sebagai
pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukurnan itu
sendirilah yang menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu
adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang daripada pemidanaan itu
sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk
melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukan
tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran
hukum. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat,
yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. dengan prevensi
umum, orang akan menahan diri untuk melakukan kejahatan.
Sedangkan pada prevensi khusus, para penganjurnya menitikberatkan
bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah
dijatuhi hukuman untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Selanjutnya bagi mereka yang hendak melakukan pelanggaran akan
mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.

Menurut Feurbach (Andi Hamzah 1993:141) dalam bukunya
(Iehrbuch des peinlichen Rechts 1801) bahwa yang dimaksud teori
paksaan psikologis ancaman pidana bekerja sebagai ancaman
psikologis. Ancaman itu akan menakut-nakuti untuk meIakukan
delik.
Tentang kejahatan, (Andi Hamzah 1993 : 26-27) berpendapat bahwa:
Pembinaan suatu kejahatan adalah hal yang wajar, akan
tetapi harus dipersoakan apakah manfaat bagi masyarakat
atau penjahat, kita tidak bisa melihat pada masa lalu
melainkan juga pada masa depan. Oleh karena harus ada
tujuan Iebih dahulu pada sekedar menjatuhkan pidana
belaka.

Van Bemmelen ( van bemmelen 1987: 27-28) memberi 3 teori relatif
yaitu sebagai berikut:
1) Prevensi umum, tujuan pemerintah menjatuhkan pidana adalah
untuk mencegah rakyat pada umumnya melakukan kejahatan.
Adapun fungsinya adalah:
a) Menegakkan wibawa pemerintah,
b) Menegakkan hukum,
c) Membentuk norma.
2) Prevensi khusus, pidana adalah pembenaran yang terpenting dari
pidana itu sendiri. Pelaku menyadari akibat dari perbuatannya
menimbulkan penderitaan. Jadi pidana berfungsi mendidik atau
memperbaiki.
3) Fungsi perlindungan, bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan
selama waktu tertentu,masyarakat telah terhindar dari sasaran
kejahatan, yang mungkin dilakukan jika seandainya Ia tidak
dihukum.
c. Teori Gabungan / Modern ( Vereningings Theorien)

Teori gabungan atau teori modern merupakan kombinasi teori absolut
dan teori retatif. Teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain
memberikan penderitaan jasmani juga psikologis dan terpenting adalah
memberikan pemidanaan dan pendidikan.
Teori ini diperkenalkan oIeh Prins, Van Hammel, Van List, (Djoko
Prakoso, 1984:47) pandangan sebagai berikut:
1) Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai
suatu gejala masyarakat.
2) Ilmu hukum pidana dan dan perundang-undangan pidana harus
memperhatikan basil studi antropologis dan sosiologis.
3) Pidana ialah satu yang paling efektif yang dapat digunakan
pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-
satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan dalam
bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya.
Keseluruhan teori dan pandangan dan para pakar, realitas di
masyarakat menunjukkan dalam kondisi dan komunitas tertentu
instrument pidana tidak dapat memberi fungsi prevensi diduga dari
kejadian tindak pidana yang menjadi faktor pemicu terjadinya
pelanggaran.
Masalah pokok yang dihadapi yakni belum adanya rumusan baku
tentang tujuan pemidanaan. Rumusan tujuan pemidanaan baru tampak
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional
(RKUHPN 1972 Djoko Prakoso, 1982:42) berbunyi sebagai berikut:
1) Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman
(Perlindungan) Negara dan Penduduk.
2) Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berguna.
3) Untuk menghilangkan noda-noda oleh tindak pidana.
Dari konsep tersebut diatas, mendapat perubahan-perubahan yang
tertuang dalam Konsep Rancangan Undang-Undang (KUHP) tahun

1982/1983 dalam Pasal 3 ayat (1) (Djoko Prakoso, 1988 : 48)
menyatakan bahwa:

Tujuan Pidana dan Pemidanaan adalah:
1) Pemidanaan bertujuan untuk:
a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menekankan
norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikan orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk
hidup bermayarakat.
c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan kesinambungan, dan mendatangkan rasa damal
dalam masyarakat.
d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Rancangan konsep pidana dan pemidanaan tersebut diatas nampaknya
memberikan suatu arah yang jelas bagi tujuan yang hendak dicapai
dari pidana dan pemidanaan di Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Sahetapy (Djoko Prakoso, 1984:42-43) yang berorintasi kepada
pandangan lilosofis pancasila menyatakan bahwa:
Pemidanaan sebaiknya bertujuan pembebasan dijelaskan
selanjutnya bahwa makna pembebasan menghendaki agar si
pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pemikiran yang
jahat, keliru melainkan Ia harus pula dibebaskan dalam
kenyataan sosial di mana ia terbelengu.
Dan pendapat tersebut di atas, nampak jelas bahwa sasaran utama yang
dituju oleh pidana adalah si pelaku (penjahat) dalam pengertian
pembebasan, disini sedemikian rupa sehingga si penjahat terbebas dan
kenyataan sosial yang membelenggu (Djoko Prakoso, 1984:43) Sejalan
dengan pandangan di atas, (Lamintang 1984 - 23) menyatakan bahwa:

Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang
ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:
1) Untuk memperbaiki pribadi dan penjahat itu sendiri.
2) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan,
dan
3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu
untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat
yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Hamzah dan Sumangelipu (Djoko Prakoso 1984:14-15) menguraikan
pendapat tentang tujuan pemidanaan sebagai berikut:
Tujuan pemidanaan adalah bentuk untuk memperbaiki penjahat,
sehingga dapat menjadi warga Negara yang baik, sesuai jika
terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama bagi
delik tanpa korban (Victumless Crime) seperti homo seks, asas
kemanusiaan yang adil dan beradab, maka sulit untuk
menghilangkan sifat penjeraan (derent) pidana yang akan
dijatuhkan, begitu pula sifat pembalasan (revenge) suatu pidana.

2. Anak
Anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Tetapi dalam
kenyataanya, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia
anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan
mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya
diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih terus
mengalami kekerasan. Hal ini dapat dipahami karena anak adalah manusia
yang belum memiliki kematangan sosial, pribadi dan mental seperti orang
yang telah dewasa. Adapun perbedaan anak dengan orang dewasa terlihat
dengan adanya perbedaan umur dan tingkah laku. Berikut ini pengertian
anak yang termuat dalam beberapa perundang-undangan yang terkait
dengan hal tersebut, yaitu:
a. Pengertian Anak Menurut KUHPidana:
Anak dalam Pasal 45 KUHPidana adalah anak yang umurnya belum
mencapai 16 (enam belas) tahun.

b. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata:
Pasal 330 KUHPerdata mengatakan, orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur 21 (dua satu) tahun dan tidak lebih
dahulu kawin.
c. Pengertian Anak Menurut UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak terdapat dalam Pasal I ayat (1):
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
d. Pengertian Anak didalam UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1):
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.
e. Pengertian Anak didalam UU Nomor 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2):
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun.
f. Menurut UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (5) sebagai berikut:
Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
g. Pengertian Anak menurut Konvensi Tentang Hak-hak Anak
(convention on the right of the child) tahun 1989 sebagai berikut:
Anak adalah setiap manusia dibawah umur 18 (delapan betas) tahun
kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan
dicapai lebih awal.
Diantara sekian banyak pengertian anak yang telah dikemukakan, maka
dalam tulisan ini pengertian anak yang digunakan adalah pengertian anak
menurut Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Dimana dalam undang-undang ini menjamin dan

melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dan kekerasan dan
diskriminasi.

3. Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak.
Pemerkosaan dalam kamus hukum adalah memperkosa, perempuan yang
bukan istrinya, bersetubuh dengan dia. Pemerkosaan terhadap anak
biasanya dilakukan dimana pelakur memaksa untuk melakukan hubungan
seksual dengan mengancam dan memperlihatkan kekuatannya kepada
anak. Tetapi perlu ditekankan pemerkosaan terhadap anak bukan hanya
karena ada unsur pemaksaan tetapi dapat juga karena adanya unsur suka
sama suka.
Secara garis besar terdapat 5 (lima) tipe tindak pidana pemerkosaan,
(Bagong Suyanto, 2003:14) yaitu:
a. Sadictic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas dan
agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati
kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksualnya melainkan
serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban.
b. Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau
sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan
amarah yang tertekan. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap
siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan,
frustasi, dan kekecewaan hidupnya.
c. Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku
menunjukan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap
perempuan dengan tujuan utama pemakhlukan seksual.

d. Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang
yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan
untuk membatasi keintiman personal, dan sampai batas-batas tettentu
bersikap permissive (membolehkan) perilaku pelaku asalkan tidak
sampai melakukan hubungan seksual. Namun karena pelaku
beranggapan bahwa perempuan pada umumnya membutuhkan paksaan
dan tanpa itu dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan.
e. Exploitation rape, yaitu perkosaan yang terjadi karena diperolehnya
keuntungan atau situasi di mana perempuan bersangkutan dalam posisi
tergantung padanya secara ekonomi dan sosial.

4. Ancaman Pidana Pelaku Pemerkosaan Anak
Kejahatan yang dimaksudkan diatas adalah dirumuskan dalam KUHP
Pasal 287 yang selengkapnya sebagal berikut:
a. Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar
perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa
umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas,
bahwa Ia belum waktunya untuk kawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
b. Penuntutan hanya dilakukan atas pangaduan, kecuali jika perempuan
itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada satu hal berdasarkan
Pasal 291 dan Pasal 294.
Apabila rumusan Pasal 287 ayat 1 dirinci, terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Unsur-unsur objektif:

1) Perbuatannya: bersetubuh
Artinya pemerkosaan terhadap anak terjadi karena ada
persetubuhan yang terjadi baik diluar kehendak korban maupun
didalam kehendak korban sendiri (suka sama senang). Atas dasar
suka sama senang korban anak tersebut tidak dipidana kecuali anak
tersebut mengetahui bahwa pelaku sudah brsuami, sehingga anak
tersebut dapat dipidana dengan 284 KUHP (Adami Chazawi
2005:71)
2) Objek: dengan perempuan di luar kawin.
Artinya perempuan diluar kawin
3) Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas dan
belum waktunya untuk kawin.
Adapun indikator anak yang belum waktunya disetubuhi ini ada pada
bentuk fisik dan psikis. Bentuk fisik terlihat pada wajah dan tubuhnya
yang masih anak-anak, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum
tumbuh buah dada atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau
mungkin belum datang haid. Adapun bentuk psikis dapat dilihat pada
kelakuannya, misalnya masih senang bermain seperti pada umumnya
anak belum berumur lima belas tahun.
b. Unsur Subjektif:
a) Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum
15 tahun.
Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur kesalahannya, yang berupa:
Kesengajaan, yakni diketahuinya umurnya belum lima belas tahun
dan kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya umurnya belum
lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya
untuk kawin.
Adapun ancaman pidana kejahatan pemerkosaan terhadap anak
dibawah umur menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Nomor 23 Tahun 2002 diatur dalam Pasal 81 ayat (2) sebagai
berikut:
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (Jima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam
puluh juta rupiah)
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan
dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya
masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat
perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi
berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar
pertimbangan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.
1. Perlindungan Anak
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita
luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan
sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat
kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar
baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan
usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagal
kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi
nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang
pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya
menggantikan generasi terdahulu.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar
baik secara fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan
perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. dengan demikian
perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa
akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan
perlindungan anak.
Arif Gosita (1989:35) mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu
diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan
mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak
diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu
sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat
negatif. Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggung jawab dan
bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang etektif dan efisien.
Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibakan matinya inisiatif,
kreatifitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada
orang lain dan berperilaku tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki
kemampuan dan kemampuan menggunakan hak-haknya dan
melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu sebagai
berikut:
a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi
perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum
keperdataan.
b. Perlindungari anak yang bersifat non yuridis, yang meliputi:
perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan, bidang
pendidikan.
Pasal 1 angka 2 UU No.23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi.
Secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan
anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk
mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak
perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat
menjamn kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wjar,
baik fisik, mental, dan sosialnya.
Arif Gosita (1989:52) berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu
usaha untuk melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya.
Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha
dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak,
pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan
golongan yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan
anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial.
Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta
pemerintahnya, maka koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu
diadakan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan
perlindungan anak secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal ini, Abdul
Hakim Garuda. Nusantaran mengatakan (1986:22):
Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu
sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia.
Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi
perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.

Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah sebagai berikut:
1) Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang
kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta
dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.
2) Dasar Etis ; pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika
profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam
pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan
perlindungan anak.

3) Dasar Yuridis ; pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada
UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan Iainnya yang
berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu
penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari
berbagai bidang hukum yang berkaitan.
Perlindungan anak dapat dilakukan secara Iangsung maupun tidak
Iangsung. Secara Iangsung maksudnya kegiatannya Iangsung ditujukan
kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti
ini dapat berupa antara lain dengan cara melindungi anak dan berbagai
ancaman dan luar dan dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi
anak dengan berbagai cara, mencegah anak kelaparan dan mengusahakan
kesehatannya dengan berbagai cara, menyediakan sarana pengembangan
diri dan sebagainya. Perlindungan anak secara tidak Iangsung yaitu
kegiatan tidak Iangsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang
melakukan /terlibat dalam usaha perlindungan anak. Usaha perlindungan
demikian misalnya dilakukan oleh orang tua atau yang terlibat dalam
usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar
ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina,
mendampingi anak dengan berbagai cara, mereka yang terlibat mencegah
anak kelaparan, mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan
berbagai cara, mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri
anak dan sebagainya, mereka yang terlibat dalam pelaksanaan Sistem
Peradilan Pidana.

2. Tanggung jawab Perlindungan Anak
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orangtua, keluarga,
masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 UU No. 23 Tahun 2002
menentukan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan
orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak.
Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota
masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha
dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga Negara ikut
bertanggungjawab terhadap dilaksanakannya perlindungan anak demi
kesejahteraan anak. Kebahagiaan anak merupakan kebahagiaan bersama
kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi. Tidak

ada keresahan pada anak karena perlindungan anak dilaksanakan dengan
baik, anak menjadi sejahtera.
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 yaitu:
a) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etik budaya, dan bahasa, status
hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental
(Pasal 21).
b) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22).
c) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang
secara umum bertangung jawab terhadap anak dan mengawasi
penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23).
d) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 2).
Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak
dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2002). Kewajiban dan
tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak
diatur dalam Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2002, yaitu:
a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
b) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya.
c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Dalam hal orang tua tidak ada, dan atau tidak diketahui keberadaannya
atau karena suatu sebab, tidak dapat dilaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Hukum Perlindungan Anak
Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kepentingan sendiri, yang
tidak hanya sama, tetapi juga kadang-kadang bertentangan, untuk itu
diperlukan aturan hukum dalam menata kepentingan tersebut, yang
menyangkut kepentingan anak diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum
yang berkaitan dengan perlindungan anak, yang disebut dengan Hukum
Perlindungan Anak.
Arif Gosita (1989:35) mengatakan bahwa Hukum Perlindungan Anak
adalah hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-
benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.
Bismar Siregar (1986:22) mengatakan bahwa aspek hukum perlindungan
anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang belum dibebani
kewajiban.
Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan
kewajiban anak, Hukum Perlindungan Anak berupa: hukum pidana,
hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang
menyangkut anak. Perlindungan anak, menyangkut berbagai aspek
kehidupan dan penghidupan, agar anak benar-benar dapat tumbuh dan
berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya.
Bismar Siregar (1986:22) mengatakan bahwa masalah perlindungan
hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk
melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa
didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang Iebih luas, yaitu
ekonomi, sosial, dan budaya.
Aris Gosita (1989:35) memberikan beberapa rumusan tentang hukum
perlindungan anak sebagai berikut:
1) Hukum Perlindungan Anak adalah suatu permasalahan manusia yang
merupakan suatu kenyataan sosial. Apabila dilihat menurut proporsi
yang sebenarnya secara dimensional, Hukum Perlindungan Anak
beraspek mental, fisik, dan sosial (hukum). ini berarti, pemahaman dan
penerapannya secara integratif.
2) Hukum Perlindungan Anak adalah suatu hasil interaksi antar pihak-
pihak tertentu, akibat ada suatu interaksi antara fenomena yang ada dan

saling mempengaruhi. Perlu diteliti, dipahami, dan dihayati yang
terlibat pada eksistensi Hukum Perlindungan Anak tersebut. Selain itu
juga diteliti, dipahami, dan dihayati gejala yang mempengaruhi adanya
Hukum Perlindungan Anak tersebut (antara lain individu dan lembaga-
lembaga sosial). Hukum Perlindungan Anak merupakan suatu
permasalahan yang sulit dan rumit.
3) Hukum Perlindungan Anak merupakan suatu tindakan individu yang
dipengaruhi unsur-unsur sosial tertentu atau masyarakat tertentu,
seperti kepentingan(dapat menjadi motifasi), lembaga-lembaga sosial
(keluarga, sekolah, pesantren, pemerintah, dan sebagainya).
Memahami dan menghayati secara tepat sebabsebab orang membuat
Hukum Perlindungan Anak sebagai suatu tindakan individu (sendiri-
sendiri atau bersama-sama), dipahami unsur-unsur sosial tersebut.
4) Hukum Perlindungan Anak dapat menimbulkan permasalahan hukum
(yuridis) yang mempunyai akibat hukum, yang harus diselesaikan
dengan berpedoman dan berdasarkan hukum.
5) Hukum Perlindungan Anak tidak dapat melindungi anak, karena
hukum hanya merupakan alat atau sarana yang dipakai sebagai dasar
atau pedoman orang yang melindungi anak. Jadi yang penting disini
adalah para pembuat undang-undang yang berkaitan dengan
perlindungan anak. Sering diajarkan/ditafsirkan salah, bahwa hukum
itu dapat melindungi orang. Pemikiran itu membuat orang salah harap

pada hukum dan menganggap hukum itu selalu benar, tidak boleh
dikoreksi, diperbaharui, dan sebagainya.
6) Hukum Perlindungan Anak ada dalam berbagai bidang hukum, karena
kepentingan anak ada dalam berbagai bidang kehidupan kelurga,
bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

C. Pidana Penjara
1. Pengertian Pidana Penjara
Pidana penjara ialah pidana pencabutan kemerdekaan. Pidana penjara
dilakukan dengan menempatkan terpidana dalam sebuah penjara, dengan
mewajibkan orang tersebut untuk menaati semua peraturan tata tertib yang
berlaku dalam penjara.
Menurut Roeslan Saleh (1 987:62) menyatakan bahwa:
Pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana kehilangan
kemerdekaan. Pidana penjara dapat dijatuhkan untuk seumur
hidup atau sementara waktu.

Barda Namawi Arif (1996:44) menyatakan bahwa:
Pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan
kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap
hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan
itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya juga
kehidupan seksual yang normal dan seseorang, sehingga sering
terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan
terpidana.

Berdasarkan uraian diatas pada prinsipnya bahwa pidana penjara berkaitan
erat dengan pidana perampasan, kemerdekaan yang dapat memberikan cap
jahat dan dapat menurunkan derajat dan harga diri manusia apabila
seseorang dijatuhi pidana penjara.
2. Efektivitas Pidana Penjara
Menurut Barda Nawawi Arief (2002: 224), efektivitas pidana penjara
dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek
perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Yang dimaksud
dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah,

mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan
keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan komflik,
mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan,
menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di
dalam masyarakat); sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si
pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan
memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan
sewenang-wenang di luar hukum.
a. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perlindungan
Masyarakat.
Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu
pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat
mencegah atau mengurangi kejahatan. Jadi, kriteria efektivitas dilihat
dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain,
kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum
(general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga
masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.
b. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perbaikan si Pelaku.
Dilhat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak
pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dan pidana. Jadi,
ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara)
mempunyai pengaruh terhadap si pelaku/terpidana.
Berdasarkan masalah-masalah metodologis yang dikemukakan diatas
dapatlah dinyatakan, bahwa penelitian-penelitian selama ini belum
dapat membuktikan secara pasti apakah nidana penjara itu efektif atau
tidak. Terlebih masalah efektivitas pidana sebenarnya berkaitan
dengan banyak faktor (Barda Nawawi Arief, 2002: 225, 229, 230).

D. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana
Ternyata menurut penelitian yang pernah dilakukan, efektifitas pidana denda
masih jauh dari tujuan pemidanaan. Faktor yang berhubungan dengan
turunnya nilai mata uang, dalam hal ini pengadilan jarang sekali menjatuhkan
pidana denda karena masih dirasakan tidak efektif.
Pidana denda juga bisa dipandang sebagai alternatif pidana pencabutan
kemerdekaan. Sebagai sarana dalam politik kriminal, pidana ini tidak kalah
efektifnya dari pidana pencabutan kemerdekaan. Berdasarkan pemikiran ini
maka pada dasarnya sedapat mungkin denda itu harus dibayar oleh terpidana

dan untuk pembayaran itu ditetapkan tenggang waktu. Kalau keadaan
mengizinkan, denda yang tidak dibayar itu dapat dikembalikan dari kekayaan
atau pendapatan terpidana sebagai gantinya. Pengganti itu tidak mungkin,
maka pidana penjara pengganti dikerjakan kepadanya. Ketentuan agar
terpidana sedapat mungkin membayar dendanya harus diartikan bahwa
kepadanya diberi kesempatan oleh hakim untuk mengangsur dendanya.
Mengingat tujuan pemidanaan yang tidak berupa pembalasan, maka dalam
penjatuhan pidana denda hakim harus memperhatikan kemampuan terpidana
secara nyata.
1. Hakikat dan tujuan pidana denda
Tindakan terhadap kejahatan dengan penyitaan terhadap milik atau
pembayaran denda telah terdapat disebagian besar masyarakat. Tetapi
sangat banyak ragamnya dalam menitkberatkan soalnya dalam sistem ini.
Perkembangannya adalah mengikuti perkembangan tindakan masyarakat
yang berupa penghukuman. Ketika seseorang dirugikan oleh yang lain
maka Ia boleh menuntut penggantian rugi atas kerugiannya. Jumlahnya
tergantung dan besarnya kerugian yang diderita dan posisi sosialnya dan
yang dirugikan Itu. Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dan
pembayaran ini atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan
pemerintah dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap yang
membuat gangguan.
Cara penghukuman denda memberikan banyak segi-segi keadilan
diantaranya adalah
a. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat direvisi apabila ada
kesalahan, dibanding dengan jenis hukuman Iainnya, seperti penderaan
atau penjara yang sukar dimaafkan.
b. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah
karena tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa disertai dengan
penjara untuk yang tidak sanggup membayar.

c. Pidana denda dapat dilihat, dapat diatur untuk tidak melanjutkan
pelanggar dan keadaan Iainnya dengan Iebih mudah dibanding dengan
jenis hukuman Iainnya.
d. Pidana denda membawa atau tidak mengakibatkan nama tercela
kurang hormat seperti yang dialami terhukum penjara.
e. Tidak merintangi pelanggar untuk memperbaiki hidupnya
f. Pidana denda akan menjadi penghasilan bagi negara daerah dan kota.
2. Efektivitas Penjatuhan Pidana Denda
Efektivitas pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang
ingin dicapai dengan adanya pemidanaan. Suatu pemidanaan dikatakan
efektif apabila tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu
tercapai.
Dalam rangka efektivitas yang menyangkut segi pelaksanaan (eksekusi),
maka harus dibuang jauh-jauh suatu pemikiran bahwa kriteria efektif dan
tidaknya pidana denda diukur dari besarnya uang yang didapat
dikumpulkan oleh eksekutor (Jaksa) dari pidana denda yang dijatuhkan,
dan dengan uang tersebut dapat digunakan sebagai andil dalam
pembangunan bangsa dan Negara.
Untuk memaksa atau menimbulkan tekanan agar orang yang dijatuhi
pidana denda mau membayar denda, maka dapat ditempuh jalan yaitu
sebagai berikut :
a. Mengaktifkan fungsi Kejaksaan sebagai eksekutor, yang juga
merupakan Pengacara Negara untuk melakukan gugatan perdata
terhadap orang yang tidak mau membayar denda. Sehingga dalam
fungsi dan kedudukan sebagai penggugat dapat memohon
dilakukannya conservatoir beslaag terhadap barang-barang milik
terdakwa (sebagai tergugat) tidak terbatas terhadap barang-barang

terkait Iangsung dengan kejahatan atau peIangaran yang dilakukan
akan tetapi juga terhadap barang-barang Iainnya milik terdakwa.
b. Melaksanakan secara konsekuen pidana, yang dalam KUHP berupa
pidana pengganti denda, yang dalam KUHP sekarang berupa pidana
kurungan atau dalam konsep Rancangan KUHP berupa pidana
pengawasan atau pidana kerja sosial.
Ditinjau dari segi efektivitasnya maka pidana menjadi kurang efektif
apabila ditinjau dan segi penjeraanya terhadap terpidana. Hal ini
disebabkan karena pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain.
Sedangkan dalam hal pidana penjara tidak mungkin diwakilkan oleh orang
lain. Disamping itu terpidana dapat saja mengumpulkan uang dan mana
saja untuk melunasi/membayar denda tersebut.
Sejauh ini inflasi merupakan faktor yang menjadi penghambat sehingga
nilai ancaman pidana denda yang diatur didalam perundang-undangan
pidana tidak mempunyai arti lagi. Sedangkan untuk melakukan perubahan
dengan mengalikan jumlah denda seperti yang pernah dilakukan terhadap
KUHP akan mengalami kesulitan. Hal tersebut adalah disebabkan oleh
adanya perubahan-perubahan yang tidak konsisten antara aturan pidana
yang satu dengan aturan pidana lainnya. Di beberapa aturan pidana,
ancaman pidana denda masih memberlakukan atau memakai ukuran yang
lama. Sedangkan dalam perundang-undangan pidana Iainnya telah
diancamankan dengan pidana denda menurut ukuran yang baru. Itulah
sebabnya sehingga sulit untuk melakukan perubahan secara menyeluruh.
Sedangkan apabila diubah saW per satu setiap aturan pidana, tentunya
akan niemakan waktu dan tenaga yang banyk sekali.
Faktor Iainnya yang dapat mempengaruhi efektivitas dad pada
pelaksanaan pidana denda adalah divergensi antara pidana denda yang
diancantan dengan pidana denda yang dijatuhkan. Rendahnya penjatuhan
pidana denda akan mengakibatkan melemahnya pemetuhan hukum.
Meskipun disadari bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana khususnya
pidana denda selalu akan memperhatikan kemampuan terdakwa. Bahkan
tidak jarang dalam kasus-kasus tertentu di mana hakim tidak bisa tidak
harus menjatuhkan putusan berupa pidana denda, sedangkan terpidananya

sama sekali tidak mampu untuk membayarnya sehingga jaksanya yang
membayar denda yang dijatuhkan oleh pengadilan tersebut.
3. Pidana denda dalam pemidanaan
Dalam menjatuhkan pidana, peranan hakim sangat penting. Setelah
mengetahui tujuan pemidanaan, hakim wajib mempertimbangkan keadaan-
keadaan yang ada disekitar pembuat tindak pidana, apa dan bagaimana
pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan. perngaruh pidana yang
dijatuhkan bagi si pembuat pidana di masa mendatang, pengaruh tindak
pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu
mendapatkan perhatian dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana. Semuanya ini merupakan pedoman pemidanaan.
Pemidanaan seperti yang telah dijelaskan, merupakan suatu proses. Hakim
dalam menerapkan pidana penjara disamping mempertimbangkan tujuan
dan pedoman pemidanaan, juga memperhatikan keadaan-keadaan yang
kiranya dapat menghindari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan
(pidana penjara), seperti misalnya:
a. Faktor usia si pembuat tindak pidana,
b. Perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali,
c. Kerugian terhadap korban,
d. Sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya.
Melihat pada banyaknya faktor yang menjadi perhatian dan pertimbangan
hakim dalam proses pemidanaan dan penerapan pidana perampasan
kemerdekaan (pidana penjara), kiranya eksistensi pidana tidak perlu
diragukan dan dicemaskan Iagi.
Ada suatu ketentuan bahwa dalam hal seseorang melakukan tindak pidana
yang hanya diancam dengan pidana penjara, namun apabila hakim
berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah
memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang menjadi tujuan
pemidanaan, pedoman pemidanaan serta pedoman penerapan pidana
penjara, maka hakim dapat menjatuhkan pidana denda.
Disini sikap memilih pidana denda benar-benar atas pertimbangan hakim
secara cermat, objektif dan praktis daripada pidana perampasan

kemerdekaan (pidana penjara) atau karena memperhitungkan untung rugi
pidana denda dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan.

E. Putusan Hakim
1. Pengertian dan Bentuk-bentuk Putusan
Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek
penting dan diperlukan untuk menyeIesaikan perkara pidana. Dengan
demikian, dapatlah dikonklusikan Iebih jauh bahwasannya putusan
hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum
(rechtszeketheids) tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan
Iangkah berikutnya terhadap putusan tersebut tersebut dalam artian dapat
berupa: menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding atau
kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila
ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah
mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran
hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan,
mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dan
hakim yang bersangkutan.
Pada hakikatnya, secara teoretik dan praktik putusan akhir ini dapat
berupa:
a. Putusan Bebas (Vrijspraak/Acquittal)
Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan
meyakinkan tidak cukup terbukti menurut penilaian atas dasar
pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum
acara pidana ini.
b. Putusan Pelepasan Terdakwa dan Segala Tuntutan (Onslag van alle
Rechtsvervolging)
Secara fundamental terhadap putusan pelepasan dan segala tuntutan
hukum (Onslag van alle Rechtsvesvolging) diatur dalam ketentuan
Pasal 191 ayat (2) KUHAP dengan redaksional bahwa:
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu

tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum.
c. Putusan Pemidanaan (Veroordeling)
Pada dasarnya putusan pemidanaan/veroordeling diatur oleh ketentuan
Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Apabila dijabarkan Iebih intens, detail,
dan mendalam, terhadap putusan pemidanaan dapat terjadi jika :
1) Dari hasil pemenksaan di depan persidangan.
2) Majelis hakim beroendapat, bahwa :
a) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa penuntut
umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum;
b) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang Iingkup tindak
pidana (kejahatan/misdrijved atau peIanggaran/overtredingen):
dan
c) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di
persidangan (PasaI 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP).
3) OIeh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan
pemidanaan (veroordeling) kepada terdakwa.
2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan.
Konsekuensi dengan adanya hukum adalah keputusan hakim harus
mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak akan berhenti
dengan pertimbangan hukum semata-mata, melainkan persoalan keadilan
biasanya selalu dihubungkan dengan kepentingan individu para pencari
keadilan, dan ini berarti keadilan menurut hukum sering diartikan dengan
sebuah kemenangan dan kekalahan oleh pencari keadilan. Penting kiranya
untuk memberikan pemahaman bahwa sebuah keadilan itu bersifat abstrak,
tergantung dari sisi mana kita memandangnya. OIeh karena itu dalam
rangka memaksimalkan tujuan hukum maka kita tidak hanya memenuhi
rasa kepastian hukum tetapi juga memenuhi rasa keadilan.

Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan
pertimbangan yuridisnya tetapi terdapat juga pertimbangan sosiologisnya,
yang mengarah pada latar belakang terjadinya kejahatan atau yang Iebih
urgen lagi adalah pertimbangan nasib korban kejahatan sebagai subjek
hukum yang terkena dampak Iangsung akibat kejahatan yang dilakukan
sebagai seseorang sehingga, hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan
dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah
serta, menciptakan hukum sendiri yang bersendikan keadilan yang
tentunya tidak bertentangan dengan pancasila sebagai sumber dari segala
hukum.


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini berlokasi di Wilayah Regional kota
Makassar yang merupakan ibukota dari Provinsi Sulawesi Selatan, lokasi
penelitian yaitu mengambil lokasi pada lembaga diantaranya seperti Pengadilan
Negeri Makassar, Polrestabes, LSM yang bergerak di bidang perlindungan
Anak. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian adalah karena banyak anggapan
termasuk penulis sendiri yang menganggap masalah Perlindungan Anak dari
perbuatan Pidana terkhusus masalah anak yang menjadi korban Persetubuhan
di kota makassar masih kurang efektif baik dari segi Penerapan Hukum bagi
Pelaku maupun dari segi pencegahan dan perlindungan. Dari alasan tersebut
penulis termotivasi untuk melakukan kegiatan penelitian di daerah kota
Makassar.

B. Jenis dan sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian Hukum secara Empiris Dimana Data diperoleh langsung dari
lapangan disamping juga dapa yang diperoleh dari kepustakaan dan dokumen,
terutama buku-buku yang berkaitan dengan judul peneitian. Adapun sumber
data terbagi atas dua yaitu :
a. Data primer
Adalah data yang diperoleh dari lapangan, yaitu penelitian dilakukan dengan
cara mengambil data dari instansi yang berkaitan dengan pembahasan dalam
penulisan Proposal ini serta wawancara.

b. Data sekunder
Adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan yaitu penelitian kepustakaan,
yaitu dimana dengan membaca buku buku yang ada hubungannya dengan
objek yang sesuai dengan judul proposal ini diantaranya :
- KUH PIDANA
- KUHA PIDANA
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak

- Kamus Hukum
- Buku Literatur

C. Teknik Pengumpulan Data
Data di dapatkan dengan menggunakan Bahan hukum yang berkaitan
dengan Masalah Persetubuhan yang dilakukan terhadap anak. Data yang
diperoleh dari bahan Hukum yaitu :
1. Data Primer
Data primer, yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh dari
Instansi yang berkaitan dengan judul dan melakukan wawancara.
2. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan,
membaca dan menelaah buku-buku atau literatur dan dokumen yang ada
kaitannya dengan penulisan ini, serta peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan yang di bahas.

D. Analisis Data
Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data dan mengolah data
tersebut, maka dilanjutkan dengan menganalisis data yang diperoleh baik dari
bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dan membahas
permasalahannya. Dengan penganalisaan data primer dan data sekunder secara
kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data primer dan data sekunder yang
diperoleh dari penelitian telah disusun dengan teratur dan sistematis, kemudian
dianalisa untuk mendapatkan suatu kesimpulan.





BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Analisa Penerapan Pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan
dengan anak dari dua sampel perkara di pengadilan Negeri Makassar


1. Kasus pertama Perkara Nomor :125/Pid.B/2010/PN.MKS
a. Kronologi kasus
Kasus ini terjadi pada jumat tanggal 13 november 2009 sekitar jam 23.00
WITA bertempat di jalan tol Reformasi Makassar atau setidak-tidaknya
bertempat di wilayah Pengadilan Negeri Makassar, telah bersetubuh di luar
perkawinan, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya, yang dilakukan oleh terdakwa. Berawal ketika saksi
korban Melati dengan Terdakwa bertemu pada tanggal 13 november setelah
saksi korban pulang dari acara pramuka di sekolahnya, saksi korban dan
terdakwa bertemu dan dibawa ke rumah Kost saksi Muliadi teman terdakwa
dengan dengan alasan minta tolong. Saksi korban dan terdakwa menginap di
kamar tersebut berdua, saat saksi korban hendak keluar terdakwa menghalangi
dan memegang tangan saksi korban dan memberikan air minum yang
membuat saksi korban merasa pusing dan tidak sadarkan diri, lalu kemudian
terdakwa menggunakan kesempatan itu dengan menciumi tubuh serta
membuka celana saksi korban, lalu memasukkan alat kelamin terdakwa ke
dalam alat kelamin saksi korban sehinna terdakwa merasa nikmat dan
akhirnya menumpahkan sperma di luar kelamin saksi korban.akibat perbuatan
terdakwa yang telah melakukan kekerasan untuk bersetubuh dengan saksi
korban sehingga diadukan ke pihak kepolisian.
b. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
1. Menyatakan terdakwa terbuki secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak yaitu saksi korban melakukan
persetubuhan demngannya sebagaimana diatur dan diancam pidana
Pasal 81 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
dalam dakwaan kedua ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa penjara selama 4 tahun
denan dikurangi masa tahanan sementara dan dengan perintah
terdakwa tetap ditahan ;

3. Menetapkan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
2.000,- (dua ribu rupiah) ;
c. Putusan
1. Menyatakan secara terdakwa Muh. Fajri Razid alias Panji bin
H.Darwis tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan pertama primair;
2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan pertama primair teserbut;
3. Menyatakan terdakwa Muh. Fajri Razid alias Panji bin H.Darwis
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal
diketahuinya ata sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya
untuk dikawini;
4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muh. Fajri Razid alias Panji bin
H.Darwis tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2
(dua) tahun dan (tiga) bulan ;
5. Menetapkan masa penahanan ang telah dijalanai terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Menetapkan terdakwa tetap berada di dalam tahanan;
7. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1.000,-
(seribu rupiah) ;
d. Fakta yuridis
Berdasarkan dakwaan pertama terhadap dakwaan primair yaitu Pasal 286
KUHP yang mempunyai unsur-unsur :

1. Unsur barang siapa : dalam hal ini menunjuk kepada subyek hukum
perseorangan, suatu kelompok atau korporasi selaku subyek hukum
pemangku hak dan kewajiban yang mampu dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya di depan hukum , yang dimaksud dalam perkara ini
adalah terdakwa;
2. Bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan : yang
dimaksud dengan persetubuhan di sini adalah perpaduan antara
kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasanya dijalankan untuk
mendapatkan anak, dimana kelamin laki-laki harus masuk ke dalam
kemaluan perempuan. Berdasarkan pemeriksaan di persidangan
terungkap fakta terdakwa melakukan tindakan tersebut ang dibenarkan
oleh saksi korban serta hasil visum et refertum. Dimana terdakwa
menyetubuhi korban yang tidak memiliki ikatan dengannya.
3. Padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya : yang dimaksud yait keadaan dimana seseorang tidak
memliliki kemampuan fisik untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan
keterangan para saksi bahwa unsur ini tidak terpenuhi
Dakwaan kedua subsidair yaitu Pasal 287 KUHP yang unsur-unsurnya
diuraikan :
1. Barang siapa : dalam hal ini menunjuk kepada subyek hukum
perseorangan, suatu kelompok atau korporasi selaku subyek hukum
pemangku hak dan kewajiban yang mampu dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya di depan hukum , yang dimaksud dalam perkara ini
adalah terdakwa;

2. Unsur bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, pada
dakwaan sebelumnya unsur ini telah dibahas maka dari itu unsur ini
terpenuhi;
3. Unsur padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas
bahwa belum waktunya untuk dikawini, berdasarkan pemeriksaan
pengadilan terungkap fakta bahwa korban belum berusia 15 tahun,
berdasarkan dari beberapa pertimbangan maka unsur ini terpenuhi ;
e. Pandangan Penulis
Berdasarkan putusan pengadilan terhadap kasus persetubuhan yang
dilakukan terhadap anak dengan terdakwa Muh.Fajri dan setelah
dilakukannya proses persidangan melalui pemeriksaan saksi-saksi, surat,
petunjuk serta keterangan terdakwa sehingga hakim menjatuhkan pidana
penjara terhadap terdakwa selama 2 (dua) tahun dengan memperhatikan
Pasal 287 ayat 1 KUH Pidana. Dengan pertimbangan bahwa untuk
menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana maka
perbuatan tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur dari tindak
pidana yang didakwakan kepadanya dari pertimbangan tersebut maka
aturan yang sesuai terhadap perkara ini adalah Pada Pasal 287 ayat 1 KUH
Pidana.
Penjatuhan hukuman 2 tahun penjara dinilai relatif ringan jika berdasar
pada pasal 287 yang ancaman maksimalnya adalah 9 Tahun Penjara tanpa
mengabaikan hal-hal yang meringankan. hal ini menunjukkan keragu-raguan
bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bagi terdakwa yang terbukti secara jelas
telah melakukan perbuatan yang dilarang itu, Karena perbuatan yang dilakukan
terdakwa akan memberikan efek trauma yang mendalam kepada saksi korban
yang bisa mempengaruhi kondisi Psikis dan beban yang harus ditanggung saksi
korban atas cap kotor oleh masyarakat yang masih banyak berpikir Primitif.
walaupun hakim mempunyai kebebasan dalam memilih mengenai berat
ringannya pidana yang akan di jatuhkan terhadap terdakwa. Mengenai bentuk
penjatuhan pidana yang di berikan kepada terdakwa dalam kasus tersebut di
atas, yang di berikan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam KUHP adalah
dengan di jatuhkannya pidana penjara, yang dalam ketentuan dalam KUHP
bersifat imperatif (keharusan).

Seperti yang diketahui dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa,
pertimbangan akan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan dan tujuan pemidanaan itu, yang semuanya terdapat di dalam
putusan sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa akan berdampak negatif bagi masa depan saksi
korban yang masih muda.
2. Perbuatan terdakwa bisa menyebabkan trauma yang mendalam pada
saksi korban yang akan berpengaruh pada kondisi psikisnya.
3. Perbuatan terdakwa mengakibatkan cap buruk bagi saksi korban dari
masyarakat yang kehilangan keperawanan dimana keperawanan adalah
hal yang sakral bagi kaum perempuan.
4. pembuatan terdakwa bertentangan dengan norma agama, kesusilaan
dan adat istiadat dan budaya khususnya daerah Makassar yang
mayoritas adalah suku bugis yang menjunjung tinggi budaya siri/malu.

Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa mengakui perbuatannya
2. Terdakwa bersedia menikahi saksi korban
3. Terdakwa belum pernah dihukum
4. Terdakwa masih tergolong masih muda, sehingga masih dapat
diharapkan memperbaiki kelakuannya.
Menurut kesimpulan penulis penjatuhan pidana penjara 2 (dua) tahun 3
(tiga) bulan oleh Majelis terhadap terdakwa kurang relevan jika
memperhatikan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa
yang akan berdampak sangat besar bagi korban dalam menjalani hari-
harinya kedepan setelah kejadian yang oleh masyarakat indonesia adalah
hal yang sangat memalukan.



2. Kasus kedua perkara Nomor : 324/Pid.B/2011/PN.MKS.
a. Kronologi Kasus
Kejadian ini bermula pada hari sabtu tanggal 27 November 2010 sekitar
jam 19.00 WITA bertempat di jalan perintis kemerdekaan tepatnya di
depan mall M.TOS kecamatan Tamalanrea Makassar, terdakwa hendra
mengajak pergi saksi korban Anneke Alias mey dengan cara menelpon
saksi korban untuk bertemu (diamana diketahui korban waktu itu masih
berusia 15 Tahun) dan ajakan terdakwa disanggupi. Tanpa seizin orang tua
skasi korban terdakwa membawa pergi saksi korban untuk jalan-jalan
dengan menggunakan motor. Setelah putar-putar kemudian terdakwa
membawa saksi korban menuju ke rumahnya di jalan malino mawang
perumahan Griya Reski Abadi Kab Gowa dan bermalam di rumahnya.
Kemudian pada hari senin tanggal 29 November 2010 sekita pukul 03.00
WITA terdakwa mengajak saksi korban untuk melakukan hubungan badan
layaknya suami istri, namun korban menolaknya dan akhirnya terdakwa
terus memaksanya sehingga saksi korban tidak berdaya kemudian
terdakwa membuka paksa pakaian saksi korban dan menyuruhnya untuk
membungkuk lalu terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat
kelamin saksi korban sehingga alat kelamin terdakwa mengeluarkan air
sperma di dalam alat kelamin saksi korban. Selama saksi korban menginap
di rumahnya hal tersebut dilakukan terdakwa sebanyak 2 (dua) kali.
Kemudian terdakwa mengajak saksi korban untuk menikah.
b. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
1. Menyatakan terdakwa Hendra alias Enda terbukti secara sah menurut
hukum bersalah melakukan tindak pidana memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak pada dakwaan pertama.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Hendra alias Enda dengan pidana
penjara selama 5 tahun dipotong masa tahanan dengan perintah

terdakwa tetap berada dalam tahanan Rutan Makassar dan denda
sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 2 (dua)
bulan kurungan.
3. Menyatakan agar terdakwa Hendra alias Enda dibebani membayar
biyaa perkara sebesar Rp. 2000,- (Dua Ribu Rupiah).
4. Menyatakan barang bukti terdakwa Hendra alias Enda berupa :
- 1 (satu) lembar surat keterangan dilampirkan dalam berkas perkara.
c. Putusan
1. Menyatakan Terdakwa Hendra alias Enda terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sengaja
melakukan atau mengancam kekrasan memaksa anak untuk
melakukan persetubuhan dengannya;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 4 (empat) Tahun, dan denda Rp.
60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), dan jika denda tersebut
tidak dapat dibayar maka diganti dengan hukuman kurungan
selama 1 (satu) bulan ;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang diajtuhkan ;
4. Memerintahkan supaya terdakwa tetap ditahan ;
5. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) lembar surat keterangan
tetap berada dalam berkas ;

6. Membebabnkan kepada terdakwa agar membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) ;
d. Fakta Yuridis
Berdasarkan dakwaan pertama yaitu Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dapat diuraikan :
1. Unsur setiap orang : bahwa yang dimaksud barang siapa adalah
siapapun juga yang menajdi subyek hukum dan memapu bertanggung
jawab secara hukum dalam hal ini adalah pelaku yaitu Hendra alias
Enda.
2. Unsur dengan sengaja : berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan baik dari keterangan para saksi, terdakwa dan barang
bukti, bahwa terdakwa menelpon korban untuk bertemu dan tanpa
seizin orang tua korban mengajaknya jalan-jalan setelah itu membawa
korban ke rumahnya dan mengajaknya untuk berhubungan badan
dengan cara memaksa korban untuk mengikuti keinginannya. Dari
uraian dia atas unsur dengan sengaja secara sah dan menurut hukum
telah terpenuhi.
3. Unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan : berdasarkan
keterangan para saksi, terdakwa dan barang bukti bahwa terdakwa
membawa korban ke rumahnya dan mengajaknya untuk berhubungan
badan dengan cara memaksa korban dan setelah itu korban dinikahi
secara paksa oleh terdakwa fakta ini juga diperkuat dengan barang
bukti Visum Et Refertum. Dalam hal ini unsur melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan terpenuhi dan sah menurut hukum.

4. Unsur memaksa anak melakukan Persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain : seperti yang telah diuraikan diatas sebelumnya cara
terdakwa melakukan paksaan melakukan persetubuhan dengannya
dengan membuka paksa pakaian korban dan memasukkan alat
kelaminnya ke dalam alat kelamin korban yang diperkuat oleh barang
bukti berupa Visum Et Refertum. Dengan demikian unsur untuk
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain secara sah dan menurut hukum terpenuhi.
e. Pendapat penulis
Berdasarkan putusan Hakim terhadap kasus persetubuhan yang
dilakukan terhadap anak dengan terdakwa HEDRA setelah
dilakukannya Proses persidangan melalui pemeriksaan saksi-saksi,
petunjuk, keterangan terdakwa dan barang bukti, Hakim menjatuhkan
Pidana Penjara selama 4 (empat) Tahun dan denda Rp. 60.000.000,-
(enam puluh juta rupiah) dengan memperhatikan Pasal 81 ayat 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Hakim dalam memeriksa perkara pidana berusaha mencari dan
membuktikan kebenaran materil berdasarkan fakta yang terungkap
dalam persidangan, serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan
dalam surat dakwaan penuntut umum.
Berdasarkan posisi kasus sebagaimana telah diuraikan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa putusan dalam perkara tersebut diatas
telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun
hukum pidana materil dan syarat dapat dipidananya seorang terdakwa,
hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan, dimana alat
bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, termasuk di
dalamnya keterangan saksi yang saling bersesuaian ditambah dengan
keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang
dilakukannya. OIeh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Makassar menyatakan bahwa unsur perbuatan terdakwa telah
mencocoki rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 81 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan
demikian perbuatan terdakwa merupakan yang bersifat melawan

hukum dan tidak terdapat alasan pembenar. Terdakwa juga adalah
orang yang menurut hukum mampu bertanggung jawab dan dia
melakukan perbuatan dengan sengaja serta tidak ada alasan pemaaf.
Sehingga dengan demikian putusan majelis hakim yang memberikan
pemidanaan sudah tepat.
Majelis Hakim juga telah mempertimbangkan penjatuhan pidana
secara komulatif pidana penjara dengan denda dengan mendasarkan
pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak.
Seperti yang diketahui dalam menjatuhkan pidana kepada
terdakwa, yang harus diperhatikan oleh para hakim hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang meringankan dan tujuan pemidanaan
itu, yang semuanya terdapat di dalam putusan sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa akan berdampak negatif bagi masa depan saksi
korban kedepannya seperti pengucilan dalam masyarakat.
2. Perbuatan terdakwa bisa menyebabkan trauma yang mendalam
pada saksi korban yang akan berpengaruh pada kondisi psikisnya.
3. pembuatan terdakwa bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan dan adat istiadat dan budaya khususnya daerah
Makassar yang mayoritas adalah suku bugis yang menjunjung
tinggi budaya siri/malu.
4. Terdakwa sama sekali tidak menunjukkan rasa penyesalan atas
perbuatan yang dilakukannya tersebut.
Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa mengakui perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi.
2. Terdakwa bersedia menikahi saksi korban

3. Terdakwa belum pernah dihukum
4. Terdakwa masih tergolong masih muda, sehingga masih dapat
diharapkan memperbaiki kelakuannya.
Berdasarkan hasil analisis penulis, bahwa dalam setiap
menjatuhkan putusan perkara pidana, Majelis Hakim selalu
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan hukuman bagi terdakwa, dengan berdasarkan fakta
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka pihak
penuntut umum berhak untuk menjalani eksekusi sesuai dengan
putusan pengadilan.
Seseorang yang dengan sungguh-sungguh ingin memperbaiki
kerusakan akibat perbuatannya, dapat dipandang sebagai mempunyai
sesuatu yang patut mendapat penghargaan. Penghargaan ini berupa
peringanan ancaman pidana yang dikenakan terhadap tindak pidana
yang dilakukan olehnya. Sedangkan hal-hal yang memberatkan pidana
tersebut dapat dijadikan bahan perbandingan dan kajian agar untuk
masa yang akan datang dapat mengacu kepada hal-hal tersebut diatas.
Hal ini juga Oleh Hakim yang saya wawancara, bahwa:
Maksud pidana perampasan kemerdekaan adalah dengan pidana itu
dapat dilakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga setelah
terpidana selesai menjalani pidananya diharapkan menjadi orang yang
lebih baik dan sebelumnya. Namun, dalam kenyataannya makin lama
pidana penjara dijalani, maka kecenderungan untuk menjadi
narapidana secara sempurna, memiliki kecenderungan untuk
melakukan tindak pidana lebih lanjut setelah dia keluar dan penjara.
Sedangkan, Pidana denda yang apabila dihubungkan dengan tujuan
pemidanaan, lebih diutamakan dalam delik-delik terhadap harta benda.
Sehingga harus dicari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan
oleh suatu tindak pidana dengan besarnya pidana denda yang harus
dibayar oleh terpidana. OIeh karena itu harus dipertimbangkan dengan
seksama, minimum maupun maksimum pidana denda yang
diancamkan terhadap suatu tindak pidana.
Berdasarkan putusan perkara pidana Nomor
:324/Pid.B/2011/PN.MKS , menyatakan bahwa terdakwa Hendra
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

melakukan kekerasan, memaksa anak bersetubuh dengannya.
Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda
sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), dengan ketentuan
apabila denda itu tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) bulan.
Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan,
peranan Hakim penting sekali. Ia mengkonkretkan sanksi pidana yang
terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan bagi terdakwa.
Jadi pidana yang jatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik
atau pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia, merupakan
pemberian makna kepada pidana dalam sistem hukum Indonesia.
Meskipun pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu nestapa,
namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Hakim dalam menerapkan pidana penjara, disamping
mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan, juga
memperhatikan keadaan-keadaan yang kiranya dapat menghindari
penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan ( pidana penjara ),
seperti:
1. Faktor usia si pembuat tindak pidana,
2. Perbuatan tindak pidana apakah untuk pertama kali,
3. Kerugian terhadap korban,
4. Sudah adakah ganti rugi, dan sebagainya.
E. Masalah persetubuhan terhadap anak dan Penerapan Pidana terhadap
pelaku persetubuhan terhadap anak di kota Makassar
Masalah persetubuhan terhadap anak oleh orang dewasa sekarang ini
khususnya di kota Makassar sudah menjadi sesuatu yang banyak kita dengar
atau kita temukan di masyarakat, akan tetapi sangat jarang kita temukan
perkara tersebut sampai kepada pengadilan. Di samping karena budaya siri
(malu) yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat kota Makassar
yang mayoritas adalah suku bugis, juga karena masalah Persetubuhan bisa
menjadi suatu aib bagi keluarga si korban sehingga pertimbangan ini menjadi

salah satu faktor kuat penyebab perkara persetubuhan terhadap anak jarang
untuk dibawa ke pengadilan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota kepolisian
Polrestabes Makassar dan Hakim di Pegadilan Negeri Makassar , dapat
penulis tarik kesimpulan Beberapa faktor yang menyebabkan perkara
persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak jarang untuk
dilimpahkan ke ranah Hukum disebabkan beberapa hal yaitu :
1. Rasa malu dari pihak keluarga korban persetubuhan yang menganggap hal
tersebut sebagai aib.
2. Adanya upaya damai berupa pernikahan.
3. Beban psikologis anak sebagai korban.
Masalah penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan
oleh orang dewasa terhadap anak dalam realitanya jarang sekali kita temukan
seorang pelaku dijatuhkan pidana maksimum, bahkan lebih banyak pelaku
dijatuhkan pidana kurang dari setengah dari ancaman pidana maksimum yang
sudah diatur dalam undang-undang. Hal ini mengindikasikan bahwa peran
lembaga peradilan dalam memberikan efek jera kepada pelaku masih
setengah-tengah, hal ini juga yang kemudian menjadi salah satu penyebab
banyak orang yang merasa tidak takut melakukan kejahatan asusila terhadap
anak seperti tersebut di atas.
Dari data di Polrestabes Makassar mengenai perkara Persetubuhan
terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa Pasal 287 ayat 1 KUHP,
Pasal 81 Ayat(1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan Anak :
TAHUN DICABUT DILANJUTKAN
2007 3 2
2008 1 -
2009 2 -
2010 4 2
2011 3 1


Dari data statistik perkara di pengadilan Negeri Makassar antara tahun
2007-2011 mengenai kasus perkara persetubuhan dapat kita lihat di kolom di
bawah ini :
TAHUN WANITA ANAK
2007 1 2
2008 1 -
2009 2 -
2010 1 2
2011 2 1

Dari tabel di atas dapat kita simpulkan bahwa perkara mengenai
persetubuhan terhadap anak adalah perkara yang langka di pengadilan negeri
Makassar, padahal mungkin sudah menjadi rahasia masyarakat jika masalah
persetubuhan terhadap anak banyak terjadi, akan tetapi dengan berbagai
alasan sehingga masalah tersebut cenderung untuk disembunyikan dan
diselesaikan secara kekeluargaan, sebab anggapan sebagian masyarakat yang
mencap hal tersebut mereka menganggapnya sebagai aib yang sangat
memalukan baik dari pihak keluarga korban maupun dari pihak keluarga
pelaku, sehingga para pihak lebih memilih upaya damai .
Dari keseluruhan kasus mengenai persetubuhan terhadap anak dari tabel
di atas khususnya yang diatur dalam Pasal 81 ayat (1) undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, 90% penjatuhan hukuman kepada
pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak kurang dari setengah
ancaman maksimal yang di atur dalam undang-undang. Masalah tersebut
mengindikasikan bahwa upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana persetubuhan terhadap anak cenderung kurang berpihak kepada anak
sebagai korban, tentunya tanpa mengesampingkan dari sisi kemanusiaan
tentang hak-hak pelaku.
Dari hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Makassar
dikatakan bahwa dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku kita tidak
boleh semata-mata menjatuhkan hukuman atas dasar untuk membalas
dendam dengan cara menjatuhkan hukuman yang mengkin bisa
menghancurkan, akan tetapi hukuman itu bagaimana bisa agar menjadi
pembelajaran untuk memperbaiki dan memberikan efek jera dan menjadi
sesuatu yang membuat orang tidak akan melakukannya, demikianlah
sehingga perlu adanya upaya untuk memberikan kesempatan untuk

memperbaiki dirinya, tentunya yang penting dalam menetapkan vonis juga
harus dipertimbangkan efek dari perbuatan pelaku tehadap korban.
Seseorang yang dengan sukarela menyerahkan diri kepada yang berwajib
atau dengan sukarela memberi ganti kerugian yang layak atau memperbaiki
kerusakan akibat perbuatannya, dapat dipandang sebagai mempunyai sesuatu
yang patut mendapat penghargaan. Penghargaan ini berupa peringanan
ancaman pidana yang dikenakan terhadap tindak pidana yang dilakukan
olehnya. Sedangkan hal-hal yang memberatkan pidana tersebut dapat
dijadikan bahan perbandingan dan kajian agar untuk masa yang akan datang
dapat mengacu kepada hal-hal tersebut diatas.
Hal ini juga dikatakan oleh Nathan Lambe (Hakim di Pengadilan Negeri
Makassar) dalam wawancara :
Maksud pidana perampasan kemerdekaan adalah dengan pidana itu dapat
dilakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga setelah terpidana selesai
menjalani pidananya diharapkan menjadi orang yang lebih baik dan
sebelumnya. Namun, dalam kenyataannya makin lama pidana penjara
dijalani, maka kecenderungan untuk menjadi narapidana secara sempurna,
memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana lebih lanjut setelah
dia keluar dan penjara. Sedangkan, Pidana denda yang apabila dihubungkan
dengan tujuan pemidanaan, lebih diutamakan dalam delik-delik terhadap
harta benda. Sehingga harus dicari keserasian antara kerugian yang
ditimbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besarnya pidana denda yang
harus dibayar oleh terpidana. OIeh karena itu harus dipertimbangkan dengan
seksama, minimum maupun maksimum pidana denda yang diancamkan
terhadap suatu tindak pidana.
Masalah penerapan hukum tidak bisa lepas dari aparat penegak hukum itu
sendiri, kalau memang supremasi hukum ingin ditegakkan maka harus ada
upaya tegas dan konkret untuk menerapkan undang-undang itu dalam hal ini
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak
Khususnya pada Pasal 81 ayat (1) , sebagaimana mestinya dari para penegak
hukum tidak hanya sebatas retorika semata, harus ada sinergi antara pihak
kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam menegakkan supremasi hukum.
Tentunya dengan mengedepankan keadilan tanpa mengesampingkan hak-hak
para pihak, Dalam kaitannya denan penerapan pidana terhadap pelaku tindak
pidana persetubuhan yang dilakukan terhadap anak, seharusnya penegakan
aturan hukum itu janganlah bersifat setengah-tengah agar tujuan dari Hukum
itu sendiri bisa tercapai. Dari fakta dilapangan yang menunjukkan bahwa
penjatuhan sanksi pidana hampir semua di bawah dari setengah ancaman

maksimal. padahal dalam al Qur an Surah An Nisa ayat 58 dan Surah An
Nahl ayat 90 dijelaskan mengenai peringatan tentang penegakan Hukum :
QS An Nisa ayat 58 :
Ep) -.- 7NON`4C p
W-1E> ge4L4`-
-O) E_)Uu- -O)4
+;EO 4u-4 +EEL- p
W-O7^4` ;E^) _
Ep) -.- +gg^ 7Og4C
gO) Ep) -.- 4p~E
OgE- -LOO4 ^)g
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.
QS An Nahl ayat 90 :
Ep) -.- NON`4C
;E^) ^}=O;Oe"-4
^<.4-C)4 OgO
_.O^- _OeuL4C4 ^}4N
g7.4=E^-
@OE:4^-4 +/^4l^-4
_ 7Og4C :^UE
]NO-EO> ^_
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

F. Eektivitas Pidana denda yang menyertai pidana penjara dalam
perkara persetubuhan terhadap anak di bawah umur

Berdasarkan hasil penelitian penulis, bahwa dalam menjatuhkan pidana,
peranan Majelis Hakim sangat penting. Setelah mengetahui tujuan
pemidanaan, Majelis Hakim wajib mempertimbangkan keadaan-keadaan
yang ada di sekitar si pembuat tindak pidana, apa dan bagaimana pengaruh
dari perbuatan pidana yang dilakukan, pengaruh pidana yang dijatuhkan bagi
si pembuat pidana di masa mendatang, pengaruh tindak pidana terhadap
korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian dan
pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana.
Tindakan terhadap kejahatan dengan penyitaan terhadap milik atau
pembayaran denda telah terdapat di sebagian besar masyarakat. Tetapi sangat
banyak. Perkembangannya adalah mengikuti perkembangan tindakan
masyarakat yang berupa penghukuman. Ketika seseorang dirugikan oleh yang
lain maka Ia boleh menuntut penggantian rugi atas kerugiannya. Jumlahnya
tergantung dan besarnya kerugian yang diderita dan posisi sosialnya dari yang
dirugikan itu. Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dari
pembayaran ini atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan
pemerintah dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap yang
membuat gangguan.
Hasil wawancara penulis dengan Hakim Penadilan Negeri Makassar ,
beliau mengatakan bahwa:
Hakim memberikan pidana penjara menyertai denda kepada terpidana kasus
pemerkosaan dengan melihat dalam berkas-berkas perkara terdakwa bahwa
akibat dari persetubuhan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi korban,
apakah akibat dari perbuatan terdakwa menyebabkan kehamilan atau tidak,
bagaimana efek psikologis saksi korban akibat perbuatan terdakwa, sehingga
akan menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim dalam memberikan juga
pidana denda, oleh karena unsur pidana denda pada Pasal 81 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bersifat kumulatif
dengan pidana badan / penjara, maka terdakwa juga harus dijatuhi pidana
denda yang pantas dan jika denda itu tidak dibayar akan diganti dengan
pidana kurungan .
Di sini sikap memilih pidana penjara menyertai denda benar-benar atas
pertimbangan Hakim secara cermat dan objektif. Jadi, dalam hal ini pidana
denda diancamkan, dan seringkali sebagai alternatif dengan pidana kurungan
terhadap hampir semua pelanggaran. Pidana denda itu diancamkan sebagai
alternatif dengan pidana penjara. Demikian juga terhadap bagian terbesar
kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja. Alternatif lainnya
adalah dengan pidana kurungan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Instansi Pengadilan antara tahun
2007-2011 bahwa terdakwa lebih memilih menjalani pidana kurungan

sebagai pengganti pidana denda, hal ini dikarenakan terdakwa dalam perkara
persetubuhan terhadap anak di bawah umur hampir semua adalah termasuk
masyarakat golongan menengah ke bawah, sehingga mereka lebih memilih
melaksanakan pidana kurungan dibandingkan dengan pidana denda yang
menurut mereka lebih memberatkan.
Penulis menarik kesimpulan bahwa, dalam hal ini ditinjau dan segi
efektivitasnya, maka pidana denda yang menyertai pidana penjara pada
perkara persetubuhan terhadap anak di bawah umur di kota Makassar di
bawah yurisdiksi Pengadilan Negeri Makassar tidak efektif. Hal ini
disebabkan karena terdakwa merasa lebih ringan menjalani pidana kurungan
pengganti pidana denda daripada membayar denda yang dijatuhkan yang
dimana dalam perkara ini terdakwanya hampir semua adalah termasuk
masyarakat mengenah ke bawah.
Penjatuhan pidana denda dalam kasus tersebut diatas, tidak mencapai
tujuan yang diharapkan yakni memberikan ganti rugi kepada korban, karena
terpidana Iebih memilih menjalani kurungan pengganti dari pada membayar
denda.



















BABV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis merupakan
beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut:
1. a. Penerapan pidana penjara dan denda pada perkara Persetubuhan terhadap
anak di bawah umur Pasal 287 ayat 1 KUHP jo Pasal 81 ayat 1 & 2
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak PN
Makassar kurang memenuhi rasa keadilan Masyarakat dimana hampir
seluruh vonis Hakim terhadap perkara ini antara Tahun 2007 s/d 2011
menunjukkan hampir seluruhnya setengah dari ancaman maksimum yang
diatur dalam undang-undang, sebagaimana yang diatur dan diancamkan
dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
b. Penerapan pidana penjara dan denda dalam kasus pemerkosaan anak,
yaitu bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam, yang paling
penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman
sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana tersendiri agar
menjadi masyarakat yang baik. Demikianlah konsepsi baru fungsi
pemidanaan yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga
sebagai upaya rehabilitas dan reintegrasi sosial.
c. Hakim memberikan pidana penjara menyertai denda kepada terpidana
kasus pemerkosaan dengan melihat dalam berkas-berkas perkara
terdakwa bahwa akibat dan persetubuhan yang dilakukan terdakwa
terhadap saksi korban, saksi korban hamil dan sekarang telah melahirkan,
sehingga Majelis Hakim memberikan juga pidana denda, oleh karena
unsur pidana denda pada Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bersifat kumulatif dengan pidana
badan / penjara, maka terdakwa juga harus dijatuhi pidana denda yang
pantas.
2. Pidana denda yang menyertai pidana penjara secara komulatif pada putusan
perkara Persetubuhan terhadap anak di bawah umur di Pengadilan Negeri
Makassar ialah tidak efektif. Hal ini disebabkan bahwa hampir semua
terdakwa lebih memilih untuk menjalani kurungan pengganti dari pada

membayar denda. Hal ini disebabkan karena hampir semua terdakwa dalam
perkara ini adalah merupakan masyarakat golongan menengah ke bawah.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis menyarankan beberapa hari
sebagai berikut:
1. Hendaknya aparat hukum menggunakan secara optimal Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam memutuskan
kasus pemerkosaan terhadap anak, sehingga ancaman-ancaman dalam
undang-undang tersebut betul-betul diterapkan.
2. Diharapkan kepada pembuat undang-undang agar juga memperhatikan
kepentingan korban sebagai bentuk perlindungan hukum sehingga
perannya untuk membantu mengungkap kejahatan pemerkosaan dapat
berjalan dengan maksimal. Disamping itu, juga perlu adanya upaya
represif untuk mengembalikan citra korban pemerkosaan sebagai manusia
yang berguna sehingga diperlukan lembaga psikologis yang memberikan
bantuan kepada para korban pemerkosaan utamanya korbannya anak,
sehingga dapat menghilangkan traumanya di kemudian hari.
3. Diharapkan kepada masyarakat Iebih meningkatkan kontrol sosial dan
perlunya pengawasan orangtua atas Iingkungan dan pergaulan anak-
anaknya.









DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Mejelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif
Watampone, Jakarta, 1998

Adami Chazami, Pelajaran Hukum Pidana (bagian I ). Raja Grasindo,
Jakarta, 2002

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara
Pidana, Ghalia Indonesia,. Jakarta, 1986

Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2002

Didik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007

Eva Achjani dan Topo Santoso, Kriminologi, Raja Grafindo Persada. Jakarta,
2003

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP
Belanda dan Padanannya dalam KUHP I ndonesia, Gramedia
Pustaka, Jakarta, 2003
J.E Sahetapy, Hukum Pidana. Liberty, Yogyakarta, 1995
L.A.F Lamintang, Hukum Penitensier I ndonesia, Sinar Grafika. Jakarta,
2010

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika,
Jakarta, 1992
Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. RemajaRosdakarya,
Bandung, 2002

Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media,
Jakarta, 2011


Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2009

M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
edisi Kedua, Sinar Grafika , Jakarta, 2002
Reality Publisher, Kamus Hukum. Surabaya, 2009

RM Suharto, Hukum Pidana Materiil Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2002
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar I lmu Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 2008

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gulton, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan (antara Norma dan Realita), Rajawali Pers,
Jakarta, 2008

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2009


Wirjono Prodjodikoro, Tindak Pidana Tertentu Di indonesia, Refika
Aditama Bandung, 2010


Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung
Republik Indonesia, 1994


KUHP & KUHAP PIDANA
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Http://www.kpai.go.id
Http://www.komnaspa.or.id
Http://www.hukumonline.com
















LAMPIRAN

Você também pode gostar