Você está na página 1de 9

Jurnal Ilmiah Tamaddun, ISSN. 0216-809, Vol.8 No.

1, Juni 2011 PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA (BAHASA ASING) Kasma F.Amin Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra UMI Jl. Urip Sumoharjo KM.05 Kampus II UMI Tlp. 0411 5040407, Email: f.aminkasma@yahoo.co.id Abstrak Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Adapun masalah dalam tulisan ini adalah bagaimanakah landasan teori pemerolehan bahasa asing/bahasa kedua dan bagaimanakah landasan empiris dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa kedua? Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi. Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Dalam pembahasan ini hanya merupakan pemaparan tentang teori pemerolehan bahasa asing, landasan empiris dalam pembelajaran dan pengajaran. Kata kunci : Pemerolehan bahasa, teori, bahasa kedua

A. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua 1. Teori Monitor

Teori belajar bahasa asing/bahasa kedua dengan model monitor mempunyai lima hipotesis dasar, yaitu (1) hipotesis pemerolehan belajar, (2) hipotesis urutan alamiah, (3) hipotesis monitor, (4) hipotesis masukan, dan (5) hipotesis saringan afektif

1) Hipotesis Pemerolehan-Belajar

Krashen (1977) berpendapat bahwa pembelajar bahasa kedua mempunyai dua strategi

49

dalam mengembangkan pengetahuan bahasa kedua, yaitu melalui pemerolehan (acquisition) dan belajar (learning). Pemerolehan , menurut Krahen (1982:10), adalah proses yang mirip, kalau tidak identik, dengan cara anak mengembangkan kemampuannya dalam bahasa pertama. Pemerolehan bahasa adalah proses yang tidak disadari. Pembelajar bahasa tidak selamanya menyadari unsur-unsur bahasa yang diperoleh, tetapi dia menyadari unsur-unsur bahasa yang digunakan dalam komunikasi. Hasil dari pemerolehan bahasa yang berbentuk kompetensi itu pun tidak disadari. Demikian pula halnya, aturan bahasa atau kaidah bahasa yang diperoleh juga tidak disadari. Dengan pengetahuan itu, pembelajar mampu membedakan kalimat yang gramatikal dan yang tidak gramatikal, ucapan yang benar dan ucapan yang salah, kata yang benar dan kata yang salah dan seterusnya. Namun, pembelajar tidak dapat menjelaskan kaidah yang mana yang dilanggar dan bagaimana menjelaskannya. Proses pemerolehan bahasa dengan cara demikian dapat juga disebut belajar secara implisit, belajar secara informal, atau belajar secara alamiah. Cara kedua untuk mengembangkan kompetensi bahasa asing/bahasa kedua ialah dengan belajar (learning). Penggunaan istilah belajar mengacu kepada pengetahuan bahasa kedua yang disadari dalam arti, mengetahui kaidah dengan sadar dan mampu menjelaskannya. Jadi, istilah belajar berarti mengetahui tentang bahasa, mengetahui kaidah bahasa yang digunakan oleh orang lain. 2) Hipotesis Urutan Alamiah

Hipotesis ini menyatakan bahwa unsur-unsur bahasa dan kaidah bahasa diperoleh dalam urutan yang dapat diprediksi (Krashen, 1983:28). Selanjutnya, Krashen menegaskan bahwa tidak setiap pemerolehan sekaligus akan memperoleh struktur alat bahasa dalam urutan yang persis sama. Krashen dalam hipotesis ini menyadari adanya struktur yang lebih cepat diperoleh dan lainnya lebih lambat. Dalam bahasa Inggris misalnya, bentuk penanda jamak (s) seperti pada books, pencils, dan yang semacamnya cenderung lebih awal diperoleh daripada bentuk-bentuk tenses. Untuk anak-anak penutur bahasa Indonesia lebih awal menguasai kata-kata vokalis, seperti: mama, papa, ibu, nene, apa, ada, dan semacamnya, cenderung lebih awal diperoleh daripada kata-kata: ambil, untuk, tidak, simpan, dan semacamnya. 3) Hipotesis Monitor

Menurut Krashen (1983), hasil belajar secara sadar hanya dapat digunakan untuk memonitor data bahasa yang diperoleh secara alamiah. Bahkan, menurut Baraja (1990:53), kefasihan berbicara dalam bahasa kedua (Inggris) tidak datang dari (1) pengetahuan formal tentang bahasa kedua (Inggris), (2) aturan-aturan yang kita pelajari di kelas, dan (3) aturanaturan yang kita pelajari dari buku teks. Monitor tidak selamanya digunakan ketika berbicara atau menulis. Penggunaan monitor dapat berfungsi secara efektif apabila (1) pembelajar mempunyai waktu untuk memikirkan dan menggunakan kaidah bahasa yang telah dipelajari, (2) pembelajar memfokuskan perhatian kepada bentuk. Untuk itu, pembelajar harus benar-benar memberi perhatian kepada bagaimana sesuatu dikatakan, bukan sekedar memahami apa yang dikatakan, dan (3) pembelajar mengetahui kaidah bahasa target dan mampu menerapkannya dengan tepat ketika menggunakan bahasa target itu (Gass dan Selinker, 1994:145). Dilihat dari sudut ketepatan fungsinya, penggunaan monitor dapat dibedakan atas tiga cara.

50

(1)Pembelajar menggunakan monitor secara berlebihan dengan hanya memusatka perhatian kepada aspek kebahasaan, sedangkan aspek makna atau pesan diabaikan (over user). (2) Pembelajar memfokuskan perhatian kepada makna atau pesan sehingga faktor penggunaan kaidah bahasa dengan tepat tidak dihiraukan (under user). (3) Pembelajar memberi perhatian yang seimbang kepada, baik penggunaan kaidah bahasa maupun makna atau pesan yang disampaikan (optimal user). 4) Hipotesis Masukan Krashen (1985:2) memberi perhatian khusus terhadap hipotesis masukan dalam teori pemerolehan bahasa kedua dengan alasan bahwa bahasa kedua diperoleh dengan memahami pesan (understanding messages) atau dengan menerima masukan yang dapat dipahami (comprehensible input). Krashen memaknai comprehensible input sebagai proses memahami bahasa yang didengar atau dibaca sedikit di atas kemampuan pempebelajar sebelumnya yang dirumuskan dengan i + 1. Kalau masukan mempunyai tingkat kesulitan i + 10 misalnya, pembelajar tidak akan mampu memahaminya. Implikasi rumus comprehensible input ialah bahwa kemarnpuan berbicara atau menulis dengan lancar dalam bahasa kedua sedikit demi sedikit datang sendiri. Kefasihan berbicara menurut Krashen, bukanlah hasil pembelajaran secara langsung, melainkan kemampuan itu dibangun di atas kompetensi melalui pemahaman terhadap masukan. Dan, apabila masukan dipahami, dan masukan itu memadai, secara otomatis kaidah bahasa terintegrasi di dalamnya. 5) Hipotesis Saringan Afektif

Hal yang perlu diketahui ialah bahwa tidak setiap orang yang mempelajari bahasa kedua pasti berhasil. Penyebabnya ialah comprehensible input tidak dapat diterima dengan baik. Dalam konteks ini, menurut Krashen, faktor motivasi, sikap, kepercayaan din, dan keinginan sangat penting. Keempat faktor yang disebut terakhir inilah yang diasumsikan sebagai saringan afektif. Apabila saringan ini berbuka lebar, maka input akan masuk dengan leluasa. Sebaliknya, apabila saringan itu sempit atau tertutup, maka input sangat sulit masuk atau mungkin sama sekali tidak masuk. 2. Teori Pajanan Bahasa Ada lima macam kompetensi yang saling mengisi dalam belajar bahasa kedua, yaitu: (1) input (language expouser), (2) other knowledge, (3) explisit linguistic knowledge, (4) implicit linguistic knowledge, dan (5) output. Kelima macam pengetahuan ini, menurut Bialystok (1980), merupakan tahapan yang harus dilalui pembelajar. Artinya, jika pembelajar ingin berhasil dengan baik, maka dia harus: 1) memiliki pengalaman bahasa melalui pajanan (language expouser) yang selanjutnya disebut input. 2) 3) memiliki pengalaman tentang dunia disebut other knowledge. memperoleh pajanan bahasa secara tidak dasar menghasilkan implicit linguistic

51

knowledge. 4) memperoleh pembelajaran bahasa secara formal menghasilkan explicit linguistic knowledge. 5) memiliki kemampuan member! respon dalam bahasa target dengan dua cara, yaitu: (1) respon spontan, dan (2) respon tidak spontan. Variasi materi pembelajaran bahasa sangat diperlukan jika menginginkan hasil yang optimal dalam pengajaran bahasa asing/bahasa kedua. Ini merupakan realisasi tuntutan teori belajar language expouser, Bialystok. Tujuannya ialah agar pengetahuan pembelajar tidak terkungkung di dalam bingkai bahasa, tetapi harus mengenal dunia secara komprehensif.

2. Teori Akulturasi Brown (1980a:129) memaknai teori akulturasi sebagai proses adaptasi terhadap budaya baru. Proses adaptasi ini sangat penting dalam pemerolehan bahasa kedua karena dia merupakan salah satu alat ekspresi budaya. Selain alat ekspresi budaya, bahasa juga sebagai alat komunikasi sosial. Berkenaan dengan itu, Schumann (1978c:34) mengajukan premis utama teori akulturasi bahwa pemerolehan bahasa kedua hanyalah salah satu aspek akulturasi dan tingkat akulturasi seorang pembelajar dalam bahasa target akan menjadi alat kontrol terhadap bahasa target yang telah diperoleh. Akulturasi pemerolehan bahasa kedua juga ditentukan oleh faktor jarak sosial dan kejiwaan antara pembelajar dan budaya bahasa target. Jauh dekatnya jarak itu, akan mempengaruhi timbulnya: 1) language shock, yang diakibatkan pembelajar dalam menggunakan bahasa target; adanya pengalaman buruk

2) culture shock, pembelajar merasa salah arah, stres, dan ketakutan, sebagai akibat dari perbedaan budaya pembelajar dengan masyarakat bahasa target; dan 3) motivasi, dorongan kuat/lemah yang dimiliki pembelajar untuk mempelajari bahasa target. Jadi, dapat disimpulkan bahwa makin kuat kemampuan pembelajar mengadaptasi budaya bahasa target, makin besar kemungkinan berhasil mempelajari bahasa itu. 4. Teori Akomodasi.

Teori ini berasumsi bahwa dalam komunikasi dua arah atau interaksi bersemuka, di satu sisi, pembicara berusaha menyesuaikan diri dengan mitra tuturnya. Penyesuaian yang dimaksud adalah modifikasi ujaran agar mudah diterima dan dipahami oleh mitra tutur. Kebiasaan penutur asli menyederhanakan bahasanya ketika berbicara dengan penutur asing adalah salah, satu bentuk modifikasi. Tujuannya ada dua, yaitu: (1) mitra tutur memahami pesan atau tujuan komunikasi yang disampaikan, dan dengan demikian akan terjalin komunikasi dua arah, dan (2) bahasa yang termodifikasi akan menjadi masukan yang dapat dipahami (comprehensible input) bagi mitra tutur. Demikian pula, kalau berbicara dengan anak-anak, orang tua pada umumnya berusaha menyesuaikan bahasanya dengan bahasa anak-anak sehingga terjadi komunikasi dua arah. Penyesuaian semacam ini disebut

52

konvergensi atau berkonvergensi. Di sisi lain, penutur tidak menyesuaikan bahasanya dengan bahasa mitra tutur. Walaupun kadang-kadang menyulitkan mitra tutur, namun, strategi ini memaksa mitra tutur untuk berusaha memahami bahasa penutur. Dampak yang diharapkan adalah tumbuhnya motivasi mitra tutur untuk terus meningkatkan penguasaan bahasa target bagi penutur asing, dan bahasa orang dewasa bagi anak-anak. Strategi demikian disebut divergensi atau berdivergensi. Istilah simplifikasi (simplification) dikenal dalam semua aliran atau pendekatan pengajaran bahasa. Strategi penerapannya pun sama atau hampir sama pada semua pendekatan itu. Yang berbeda, mungkin, hanya cara penyajiannya. Dalam pengajaran bahasa asing/bahasa kedua, simplifikasi atau penyederhanaan materi pembelajaran dan ujaran guru atau tutor sangat diperlukan pada tahap awal. Secara bertahap, simplikasi dapat ditinggalkan apabila pembelajar telah mampu mengikuti penggunaan bahasa target secara normal. Dengan demikian, teori akomodasi cocok diterapkan dalam pengajaran bahasa asing/bahasa kedua.

5.

Teori Wacana

Proses pemerolehan bahasa kedua mirip dengan proses pemerolehan bahasa pertama. Dalam proses pemerolehan bahasa, pembelajar juga mengembangkan kaidah struktur dan penggunaan bahasa melalui komunikasi interpersonal. Kondisi ini sesuai dengan asumsi hipotesis urutan alamiah yang mengklaim adanya kemiripan pemerolehan bahasa kedua dengan bahasa pertama. Verifikasi kemiripan pemerolehan bahasa kedua dengan bahasa pertama telah dilakukan oleh Hatch dengan kesimpulan sebagai berikut. 1) Pemerolehan bahasa kedua mengikuti urutan alamiah dalam pengembangan perangkat sintaksis. 2) Penutur asli sangat bijaksana ketika berinteraksi dengan penutur asing sebagai upaya merundingkan makna atau pesan. 3) Strategi percakapan digunakan untuk merundingkan makna, di samping berfungsi sebagai input yang berpengaruh terhadap kecepatan pemerolehan bahasa kedua. 6. Teori Variabel Kompetensi Model atau teori ini didasarkan pada dua hal: (1) proses penggunaan bahasa (process), dan (2) produksi bahasa (product). Teori ini dipandang efektif menjadi kerangka acuan pemerolehan bahasa kedua. Istilah proses (process) penggunaan bahasa dipahami dalam dua cara, yaitu: (1) pengetahuan linguistik (kaidah bahasa), dan (2) kemampuan menerapkan kaidah itu di dalam penggunaan bahasa (procedures). Widdowson (1984) mengidentifikasi pengetahuan kaidah bahasa sebagai competence dan pengetahuan prosedur sebagai kemampuan menggunakan kaidah bahasa dalam membangun wacana (capacity). Pengetahuan kaidah bahasa berfungsi mengawasi penggunaan kaidah di dalam wacana (communicative competence), dan capacity adalah kemampuan mengembangkan makna di dalam wacana dengan melacak potensi makna di dalam bahasa melalui komunikasi secara terus-menerus. Produksi wacana melalui proses ini umumnya berwujud: (1) wacana yang direncanakan (planned discourse), dan (2) wacana yang tidak direncanakan (unplanned discourse). Implikasi teori variabel kompetensi dalam

53

pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua adalah penyeimbangan pembelajaran kaidah bahasa dan penerapannya di dalam penggunaan bahasa. Dengan topik apa pun, materi pembelajaran harus disajikan dalam wacana, baik wacana yang tidak direncanakan (unplanned discourse) maupun wacana yang direncanakan (planned discourse).

7.

Teori Neurofungsional

Teori ini lebih dikenal dengan nama Lamandella's Neurofuctional Theory. Lamandella (1979) membedakan dua tipe dasar pemerolehan bahasa: (1) primary language acquisition, dan (2) secondary language acquisition. Yang pertama, berlaku pada anak usia 2-5 dalam pemerolehan satu atau lebih bahasa sebagai bahasa pertamanya. Yang kedua, terbagi dua bagian, yaitu: (a) belajar secara formal bahasa asing/bahasa kedua, dan (b) pemerolehan bahasa kedua yang terjadi secara alamiah setelah anak berusia di atas lima tahun. Kedua macam pemerolehan bahasa itu mempunyai sistem neurofungsional yang berbeda, dan masing-masing mempunyai fungsi hirarkis. Lamandella menunjukkan fungsi-fungsi hirarkis itu sebagai berikut.

1) Hirarkis komunikasi: bertanggung jawab menyimpan bahasa dan simbol-simbol lain melalui komunikasi interpersonal. 2) Hirarkis kognitif: berfungsi mengontrol penggunaan bahasa dan kegiatan pemrosesan informasi kognitif. Pola latihan-latihan praktis dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua adalah bagian dari hirarki kognitif. Implikasi fungsi hirakis komunikasi dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa akan dengan orang lain, lebih baik dengan penutur asli, dengan menggunakan bahasa target. Untuk merealisasikan kesempatan itu, ruang kelas atau tempat belajar dikondisikan sebagai tempat pemerolehan bahasa. Adapun hirarkis kognitif berkonsekuensi pada pembelajaran kaidah bahasa secara teratur agar dengan kaidah itu pembelajar dapat mengontrol penggunaan bahasa. Dalam hal ini, teori neurofungsional sejalan dengan teori monitor.

B. 1.

Landasan Empiris dalam Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa Kedua Apakah Pembelajaran Bahasa Kedua Sama dengan Pembelajaran Pertama?

a. Mekanisme Psikolinguistik Pertanyaan yang paling sering muncul pada peneliti adalah apakah mekanisme pemerolehan bahasa kedua sama ataukah berbeda dengan pemerolehan bahasa pertama? Menurut Dulay dan Burt (1974a;1974b) mengatakan bahwa dalam hubungannya terhadap pemerolehan mortem gramatikal dimulai dengan pernyataan bahwa pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua pada anak memiliki proses yang sama, dan bahwa jenis kesalahan yang dibuat oleh pebelajar bahasa kedua akan sama terhadap semua kesalahan yang dibuat oleh pebelajar bahasa pertama terhadap bahasa yang sama. b. Pemerolehan Sintaksis

54

Hasil penelitian pemerolehan bahasa pertama didasarkan pada kerja Chomsky yang menyarankan bahwa bahasa pertama adalah "hard wired" ke dalam otak; dengan kata lain bahwa bahasa .pertama kita merupakan anugrah bawaan yang diwariskan ke kita melalui sifat kita. Stephen pinker (1994) mempopulerkan hipotesis bahwa menyarankan bahwa kemampuan untuk memperoleh bahasa merupakan sebuah fasilitas unik untuk manusia. Kita mewarisi kemampuan secara genetic dalam cara yang sama sebagai jenis lain yang mewarisi hal lain sebagai kemampuan untuk memindahkan ke tempat lain terhadap dunia pasangan dan keturunan. c. Pemerolehan Wacana Persamaan dan perbedaan antara pemerolehan bahasa kedua dan pertama kadang diduga dari studi komparatif ke dalam proses bahasa dan produksi melalui pemakai bahasa pertama dan kedua. 2 Apakah Peranan Usia Kronologi Dalam Pemerolehan Bahasa Kedua? Ellis (1985) menunjukkan kemudahan dalam membedakan antara pengaruh umur dalam rute pemerolehan (dimana item bahasa target diperoleh dalam usaha yang sama untuk pebelajar yang berbeda), laju (bagaimana kecepatan pebelajar; memperoleh bahasa), dan pencapaian terakhir (bagaimana kepandaian yang terakhir). Ellis menyimpulkan bahwa: Usia dini tidak mempengaruhi rute pemerolehan bahasa kedua. Meskipun terdapat perbedaan dalam usaha pemerolehan, bukan hasil dari usia tersebut. Usia dini mempengaruhi kecepatan pembelajaran. Kedua jumlah tahun dimulai dan usia dini mempengaruhi tingkat kesuksesan. 3. a. Apakah Pengaruh Pengajaran dalam Pemerolehan? Mortem Order Studies

Salah satu hal yang berpengaruh yang terkait dengan hubungan antara pengajaran dan pemerolehan adalah hipotesis Krashen (1981,1982). Krashen mengembangkan hipotesisnya sejak tahun 1970an yang dikenal dengan ''Morfem Order Studies". Pencarian ini diset untuk menentukan apakah terdapat "rangkaian alami" dalam pemerolehan tata bahasa kedua. Para peneliti menemukan bahwa pada kenyataannya pebelajar dari latar belakang bahasa pertama yang berbeda (contoh Spanyol dan China) ditampakkan untuk memperoleh seperangkat item gramatikal (atau morfem) dalam bahasa Inggris dalam usaha yang sama nyatanya. b. Pembelajaran Terencana Versus Pemerolehan Bawah-Sadar Pada landasan empirik, Krashen telah memformulasikan sebuah hipotesis kontroversial, yakni melibatkan dua proses mental alam pemerolehan bahasa kedua, yaitu Pembelajaran terencana dan pemerolehan bawah-sadar. Pembelajaran terencana memfokuskan pada aturan gramatikal, membolehkan pebelajar untuk mengingat aturan dan untuk mengidentifikasi aturan yang dilanggar. Sedangkan pemerolehan bawah sadar adalah proses yang sangat berbeda, dan memfasilitasi aturan pemerolehan terhadap tingkat bawah-sadar. Menurut Krashen; ketika menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan makna, pebelajar harus menggambarkan dalam pengetahuan bawah sadar.

55

c.

Masukan yang Dapat Dipahami

Menurut Krashen, pemerolehan ditempatkan melalui pemahaman. Dengan kata lain, ketika siswa memahami sebuah pesan dalam bahasa yang mengandung sebuah struktur yang merupakan satu langkah terhadap kemajuan tingkat awal kompetensi pebelajar, kemudian struktur tersebut diperoleh. Hipotesis ini secara eksplisit direjeksi dari nosi bahwa "skill getting' merupakan prasyarat untuk "penggunaan keterampilan" tersebut. d. Keluaran yang Dapat Dipahami

Berdasarkan ;hasil pengamatannya, Swain memformulasikan hipotesis alternative, yang disebut hipotesis "keluaran yang dapat dipahami" menyarankan bahwa kesempatan untuk memproduksi bahasa sangat penting bagi pemerolehan. e. Langkah-Langkah Pengembangan

Sejak 1980an, sejumlah peneliti telah mempelajari pemerolehan Jerman dan Inggris yang dating dari penjelasan yang menarik tentang perbedaan antara pengajaran dan pemerolehan yang berdasrkan pada proses berbicara. Mereka berpendapat bahwa item tata bahasa dapat diurutkan ke dalam serangkaian langkah yang lebih kompleks. Namun, kekmpleksitasan ini ditentukan oleh permintaan yang dibuat oleh memori jangka pendek dibandingkan oleh kompleksitas konseptual dari item-item pertanyaan. Perspektif lain dalam memproses kompleksitas orang ketiga -s digambarkan dalam buku bahasa yang paling popular, the language instinct'. 4. Apakah Hubungan Antara Strategi Pembelajaran dan Pemerolehan?

Strategi pembelajaran adalah prosedur mental dan komunikatif pebelajar dalam usaha mempelajari dan menggunakan bahasa. Gaya pembelajaran merupakan orientasi yang umum terhadap proses pembelajaran ditunjukkan oleh pebelajar. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan peneliti terhadap gaya dan strategi pembelajaran yaitu : Apakah hubungan antara preferensi strategi pembelajaran dan karakteristik pebelajar lainnya seperti tingkat pendidikan, latar belakang etnis, bahasa pertama? Apakah efektif jika pebelajar berbagi preferensi Strategi yang tepat? Dapatkah Strategi diajarkan? Apakah strategi pelatihan membuat perbedaan terhadap pemerolehan bahasa kedua? Strategi pembelajaran bahasa adalah proses mental dan komunikatif yang pebelajar sebarkan untuk mempelajari bahasa kedua. O'Malley (1987) mempelajari pengaruh perbedaan tipe strategi pelatihan (metakognitif, kognitif, dan sosioafektif) dalam perbedaan keterampilan berbahasa dan menemukan bahwa pelatihan memiliki pengaruh yang signifikan dalam berbicara, tapi tidak dalam mendengarkan.

56

DAFTAR PUSTAKA Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: Penerbit IKIP Malang. Chomsky, Noam. 1975, Reflections and Language. New York: Pantheon Books. Krashcn, S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon Press.

57

Você também pode gostar