Você está na página 1de 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kromosom dan Gen

Manusia berasal dari persatuan antara dua gamet, yaitu ovum (sel telur) dan spermatozoa. Sel-sel ini mengandung semua faktor, sehingga individu baru yang terbentuk mewarisi faktor tersebut secara organik dari kedua orangtuanya. Potensialitas pewarisan yang berada dalam sel telur yang telah dibuahi akan mengalami peristiwa unfolded (memanjang, atau mengurai) pada saat sel-sel membelah terus-menerus pada suatu lingkungan, mula-mula lingkungan prenatal dan kemudian lingkungan postnatal, kemudian bebas untuk meragamkan semua stadium dalam batas-batas yang sempit atau luas. Anak dan akhirnya orang dewasa ditentukan oleh konstitusi herediter (yang diwariskan) untuk keberadaanya yang mula-mula diterima dari orang tuanya, dan kemudian sifat-sifat alam ikut menentukan keberadaannya (Roberts dan Pembrey, 1995).

Menurut Emery (1992), ada dua macam kromosom, yaitu yang berhubungan dengan penentuan jenis kelamin yang disebut kromosom seks, dan sisanya adalah yang disebut autosom. Orang pertama yang menyelidiki dan mengidentifikasi kromosom seks adalah Henking. Pada manusia, baik yang laki-laki maupun perempuan mempunyai dua kromosom seks. Pada perempuan kedua kromosom seksnya sama (yaitu XX), tetapi pada laki-laki salah satu kromosom seks sama seperti perempuan (yaitu kromosom X) sedang yang lain lebih kecil dan tidak terdapat pada perempuan. Kromosom ini disebut kromosom Y. Dengan demikian yang laki-laki dikatakan mempunyai konstitusi kromosom XY. Pada perempuan, tiap sel telur mengandung satu kromosom X, tetapi pada yang laki-laki satu spermatozoon dapat mengandung satu kromosom X atau satu kromosom Y.

Universitas Sumatera Utara

Karena sel-sel sperma separuh terdiri daripada kromosom X dan separuh dari kromosom Y, maka secara teoritis ada kemungkinan yang sama untuk pembuahan anak laki-laki dan anak perempuan. Kenyataan menunjukkan bahwa lebih banyak dilahirkan anak laki-laki daripada anak perempuan, pada umumnya dilahirkan 106 anak laki-laki dalam perbandingan dengan 100 anak perempuan. Hal ini diduga karena sperma Y lebih kecil dan lebih gesit daripada sperma X hingga lebih mudah dapat menerobos dinding telur (Haditono, 1998).

2.2 Multifaktor dan poligenik

Multifaktor adalah gabungan antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Kedua faktor tersebut akan saling mempengaruhi satu sama lain sehingga dapat memberikan tingkat keparahan dari suatu kelainan yang berbeda. Faktor genetik terdapat pada semua makhluk hidup dan akan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Demikian pula pada manusia, setiap orang memiliki faktor genetik yang berasal dari orang tuanya. Ayah dan ibu akan masing-masing memberikan 50% faktor genetik yang kita miliki. Faktor genetik tersebut merupakan penghubung penting antara seseorang dengan orang tuanya. Faktor genetik tersimpan di dalam kromosom yang terdapat di dalam sel di seluruh tubuh (Listiawan, 2004).

Menurut Emery (1992), tiap-tiap ciri atau penyakit yang diwariskan adalah akibat bekerjanya gen tunggal (unifaktorial), walaupun kadang-kadang ekspresi gen tersebut dapat diubah oleh kerja gen-gen yang lain. Tetapi ada banyak kelainan yang agak umum terjadi, dengan kecenderungan familiar tertentu, yaitu bahwa proporsi anggota keluarga yang terkena lebih besar dibanding dengan populasi umum, tetapi proporsi anggota keluarga yang terkena sering sekitar 5 persen, dan dengan demikian jauh lebih kecil dibanding dengan yang diharapkan untuk kelainan unifaktorial. Kadang-kadang diperkirakan bahwa insidensi famili yang rendah pada kelainan tersebut mungkin disebabkan oleh bekerjanya gen yang mempunyai penetrasi tidak sempurna. Tetapi keterangan demikian agak kurang memuaskan karena beberapa alasan, dan yang jauh lebih mungkin adalah bahwa kelainan tersebut disebabkan oleh

Universitas Sumatera Utara

banyak gen (poligenik) ditambah dengan pengaruh lingkungan, yang disebut pewarisan multifaktorial.

Tidak

ada

karakter

tunggal

manusia

yang

memperlihatkan

ragam

(keanekaragaman) kontinyu yang mana hanya ditentukan oleh hereditas, walaupun terdapat syarat-syarat tertentu, misalnya tidak adanya malnutrisi yang nyata, terdapat sejumlah ukuran fisik yang dekat dengan keanekaragaman kontinyu. Jumlah rigi sidik jari hampir seluruhnya ditentukan oleh faktor pewarisan dan ini jelas bersifat multifaktorial. Korelasi antara sanak keluarga adalah sangat dekat dengan yang diharapkan, yang memberikan penetapan hereditas yang sempurna dan ketiadaan efek sifat dominan. Tetapi pada hampir segala sesuatu yang lain yang dipelajari sejauh ini, maka faktor lingkungan ikut berperan dalam menentukan hasil akhir (Roberts dan Pembrey, 1995).

Penyakit timbul karena ada dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Kedua faktor tersebut ikut bertanggung jawab, meskipun mungkin faktor yang satu lebih penting daripada yang lain. Pada satu ujung, ada beberapa penyakit misalnya sindrom Down atau penyakit distrofi muskular Duchenne yang benar-benar disebabkan oleh faktor genetik, dan faktor lingkungan tidak mempunyai peranan langsung sebagai penyebab. Pada ujung yang lain, terdapat penyakit-penyakit infeksi hampir sepenuhnya disebabkan oleh faktor lingkungan. Antara kedua ujung ekstrem ini terdapat kelainan-kelainan seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung iskemik, ulkus peptik, skizofrenia, beberapa macam kanker dan kelainan kongenital, yang baik faktor genetik maupun faktor lingkungan keduanya ikut berperan di dalamnya (Emery,1992).

Menurut Listiawan (2004), faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keadaan janin selama di dalam kandungan sehingga dapat menyebabkan kelainan bawaan adalah keadaan ibu selama mengandung. Apabila ibu yang sedang mengandung terkena virus misalnya campak jerman, Toxoplasma gondii atau ibu tersebut sering mengkonsumsi obat-obatan antibiotik atau obat-obatan induksi haid maka ada kemungkinan akan dapat menyebabkan anak yang di dalam kandungannya

Universitas Sumatera Utara

akan menderita kelainan bawaan. Faktor lingkungan dapat menyebabkan 8 10% kelainan bawaan.

Ciri-ciri normal yang diwariskan dengan cara mutifaktorial adalah: inteligensi, tinggi badan, warna kulit, jumlah total rigi sidik jari, beberapa komponen refraksi mata dan mungkin tekanan darah. Ciri-ciri abnormal yang dapat diwariskan dengan cara ini adalah: kelainan kongenital tertentu, hipertensi, diabetes melitus, spondilitis ankilosa, artritis reumatoid, ulkus peptik dan penyakit jantung iskemik. Masingmasing sifat ini dianggap sebagai hasil kerja banyak gen, yang masing-masing pengaruhnya kecil tetapi satu sama lain saling menambah, ditambah lagi dengan pengaruh lingkungan, tetapi kekurangan yang lain juga mungkin (Emery, 1992).

2.3 Sidik Jari

Identifikasi biometrik didasarkan pada karakteristik alami manusia, yaitu karakteristik fisiologis dan karakteristik perilaku seperti wajah, sidikjari, suara, telapak tangan, iris dan retina mata, DNA, dan tandatangan. Identifikasi biometrik memiliki keunggulan dibanding dengan metode konvensional karena tidak mudah dicuri atau digunakan oleh pengguna yang tidak berwenang. Sistem pengenalan sidik jari lebih sering digunakan. Hal ini disebabkan sidikjari telah terbukti unik, akurat, aman, mudah, dan nyaman untuk dipakai sebagai identifikasi bila dibanding dengan sistem biometrik lainnya (Minarni, 2004).

Dermatoglifi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari lekukan (garis-garis) kulit yang ditemukan pada jari tangan dan kaki pada manusia dan mamalia lainnya. Ilmu dermatoglifi lahir sejak Harold Cummins dan Charles midlo mendeklarasikan hasil penelitian mereka tentang sindrom Down pada April 1926 di pertemuan tahunan ke-42 Persatuan Anatomi Amerika (American Association of Anatomists). Harold Cummins dan Charles Midlo adalah professor anatomi mikroskopik di Universitas Pulane Amerika Serikat dan merekalah yang mencetuskan terminologi dermatogliphic (derma = kulit, glyph = ukiran) ( Sufitni, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Naffah (1977 dalam Raden, 2006), menyatakan bahwa adanya faktor genetik yang terlibat dalam pembentukan pola sulur pada kulit ujung jari yang diturunkan secara poligenik. Sifat poligenik tersebut menyebabkan terjadinya variasi fenotipe pola sulur, karena adanya interaksi dari sejumlah gen. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian pada anak kembar identik, terdapat korelasi kuat pada jumlah sulur dan tipe pola dermatoglifi kedua anak tersebut.

Deaton melaporkan bahwa pola sidik jari tangan, telapak tangan dan telapak kaki mempunyai hubungan erat dengan berbagai macam penyakit keturunan atau cacat karena kelainan kromosom, misalnya pada penderita sindrom Down mempunyai garis telapak tangan seperti kera dan banyak yang mempunyai sidik jari bentuk lingkaran atau sosok ulnar (Suryo,1989).

Menurut Mulvihill dan Smith (1969 dalam Sufitni, 2007), menyatakan bahwa 6-8 minggu sesudah konsepsi mulai terbentuk bakal garis tangan yang berbentuk balon kecil. Balon kecil ini mulai tertarik ke belakang saat 10-12 minggu sesudah konsepsi. Garis-garis tangan mulai muncul pada saat 13 minggu sesudah konsepsi dan pola garis tangan sudah sempurna terbentuk pada usia 21 minggu sesudah konsepsi.

Menurut Raden (2006), bahwa gambaran dermatoglifi pada beberapa penyakit genetik bersifat spesifik, baik pada kelainan kromosom autosom maupun kromosom seks, seperti penyakit sindrom Down, thalassemia, dan skizofrenia. Jumlah rigi sidik jari manusia juga dapat dihitung dan setiap orang tidak memiliki jumlah rigi yang sama. Bahkan pada penyakit tertentu, terutama penyakit genetik, jumlah rigi sidik jarinya berbeda nyata. Biasanya jumlah rigi sidik jari pada kelompok tidak normal lebih rendah daripada kelompok normal (Sufitni, 2007).

Berdasarkan sistem Galton, dapat dibedakan 3 pola dasar dari bentuk sidik jari yaitu bentuk lengkung atau arch, bentuk sosok atau loop dan bentuk lingkaran atau whorl. Perhitungan banyaknya rigi dilakukan mulai dari triradius sampai ke pusat dari pola sidik jari. Klasifikasi dari bentuk sidik jari didasarkan atas banyaknya triradius, yaitu titik-titik dari mana rigi-rigi menuju ke tiga arah dengan sudut kira-kira 120o. Bentuk sidik jari yang paling sederhana ialah lengkung yang tidak mempunyai

Universitas Sumatera Utara

triradius, sehingga tidak dapat dilakukan perhitungan rigi. Dua buah triradius terdapat pada bentuk lingkaran, sedangkan bentuk sosok memiliki sebuah triradius (Suryo, 1989).

Gambar 2.3.1. Pola Sidik Jari a. Busur (arch) b. Busur tertutup (tented arch) c. Putaran kanan (loop ulna) d. Putaran kiri (loop radial) e. Putaran ganda (double loop) f. Ulir (whorl) (Budiman, 2008)

2.4 Skizofrenia

Skizofrenia adalah penyakit psikotik yang biasanya timbul pada kehidupan dewasa awal. Penyakit ini ditandai dengan adanya perubahan kepribadian dan emosional yang diikuti dengan lari dari dunia yang nyata disertai dengan halusinasi dan angan-angan atau delusi ( Emery, 1992). Skizofrenia ditandai dengan dua kategori gejala utama, positif dan negatif. Gejala positif berfokus pada distorsi fungsi normal, sementara gejala negatif mengindikasikan hilangnya fungsi normal. Contoh gejala positif adalah waham, halusinasi, bicara tidak teratur, dan kekacauan yang menyeluruh atau perilaku katatonia (Copel, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Sebab-sebab timbul skizofrenia terletak pada konflik antara pikiran dan emosi kepribadian penderita. Jika diteliti, kata Abrahamsen selanjutnya, seorang skizofrenik menunjukkan kontradiksi antara pikiran serta emosi di satu pihak dengan perbuatannya di lain pihak. Hal yang sangat gawat bagiannya ialah bila hubungan antara ego dengan lingkungannya putus. Pada keadaan demikian, emosinya hilang dan terjadilah skizofrenia (Bawengan, 1991).

Delusi (waham) adalah suatu keyakinan yang salah yang tidak dapat dijelaskan oleh latar belakang budaya pasien ataupun pendidikannya; pasien tidak dapat diyakinkan oleh orang lain bahwa keyakinannya salah, meskipun banyak bukti kuat yang dapat diajukan untuk membantah keyakinan pasien tersebut. Halusinansi merupakan persepsi sensorik yang salah, tidak terdapat stimulus sensorik yang berkaitan dengannya. Halusinasi dapat berwujud penginderaan kelima indra yang keliru, tetapi yang paling sering adalah halusinasi dengar (auditory) dan halusinasi penglihatan (Arif, 2006).

2.4.1 Tipe Skizofrenia

Menurut Arif (2006), ada lima tipe skizofrenia: a.Tipe Paranoid Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga.Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi anxiety, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi.

b. Tipe Disorganized Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat berkaitan dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara

c. Tipe Katatonik Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik. Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, mutism (sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi), gerakangerakan yang tidak terkendali, echolalia (mengulang ucapan orang lain) atau echopraxia (mengikuti tingkah laku orang lain).

d. Tipe Undifferentiated Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.

e. Tipe Residual Tipe gangguan skizofrenia ini berindikasikan gejala-gejala skizofrenia yang ringan yang ditampilkan individu mengikuti episode skizofrenik. Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan beberapa tanda gangguan.

2.4.2 Faktor-faktor Penyebab Skizofrenia

a. Faktor Genetik Menurut Maramis (1995), bahwa dapat dipastikan ada faktor keturunan yang juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibukt ikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 86%.

Universitas Sumatera Utara

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini ( Durand dan Barlow, 2007).

Studi terhadap keluarga, anak kembar, dan, dan anak adopsi melengkapi buktibukti bahwa gen terlibat dalam transmisi (penyebaran) skizofrenia . Sampai kini gen untuk skizofrenia belum ditemukan dan banyak ilmuwan percaya bahwa tidak hanya gen abnormal tunggal membentuk gangguan kompleks ini. Beberapa peneliti berpendapat bahwa banyak gen (polygenic), model tambahan, yang membentuk jumlah dan konfigurasi gen abnormal untuk membentuk skizofrenia (Wiraminaradja dan Sutardjo, 2005).

b. Faktor Biokimia Menurut Arif (2006), bahwa skizofrenia mungkin berasal dari

ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan.

c. Faktor Psikologis dan Sosial Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja dan Sutardjo, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Penelitian menunjukkan bahwa kejadian hidup yang menimbulkan stres dapat meningkatkan depresi di kalangan penderita skizofrenia, yang pada gilirannya mungkin memberikan kontribusi terhadap terjadinya kekambuhan. Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand dan Barlow, 2007).

Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Kadang orangtua berbuat terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua berbuat terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya. Beberapa jenis hubungan yang sering melatarbelakangi adanya gangguan jiwa umpamanya perlindungan berlebihan, manja berlebihan.

Universitas Sumatera Utara

Você também pode gostar