Você está na página 1de 16

Dewesternisasi dan Islamisasi: Al-Attas dan Filsafat Ilmu Islam

Oleh Indi Aunullah

Abad ke-15 Hijriah seringkali disebut-sebut banyak pengamat sebagai


abad kebangkitan Islam. Selain di wilayah politik dan gerakan sosial, kebangkitan
Islam juga dianggap terjadi di ranah pemikiran dan keilmuan. Di wilayah politik
dan sosial, kebangkitan ini ditandai antara lain oleh revolusi Islam di Iran,
perlawanan bersenjata terhadap pendudukan Uni Soviet di Afghanistan, serta
kelahiran berbagai gerakan semacam al-Ikhwan al-Muslimun dan Hizb al-Tahrir
di Mesir, dengan tokoh-tokoh seperti Khomeini, al-Mawdudi, Hasan al-Banna,
dan Sayyid Qutb. Sementara di ranah pemikiran dan keilmuan, sejak paruh kedua
abad ke-20 M berlangsung apa yang dikenal dengan “Islamisasi Pengetahuan”
atau “Islamisasi Sains” dengan Syed Naquib al-Attas, Isma’il Raji al-Faruqi,
Seyyed Hossein Nasr, dan Ziauddin Sardar sebagai para pengusungnya (Haneef,
2005: 1-2; Hashim, 2005: 30-2).
Sebagai sebentuk reaksi terhadap keterbelakangan umat Islam di hadapan
modernitas Barat, Islamisasi Pengetahuan (selanjutnya akan disingkat IP) bukan
sesuatu yang sama sekali baru. Sudah sejak penghujung abad ke-19 M, ketika
mulai terjadi kontak langsung antara negara-negara Islam dan kekuasaan kolonial
Barat, mulai berkecambah kesadaran mengenai pentingnya melakukan
pembaharuan seperti disuarakan Muhammad Iqbal, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Bedanya, jika para pemikir ini lebih
menekankan pembenahan sosial dan politik sebagai solusi, para pengusung IP
lebih menganggap bahwa akar persoalan umat berada di ranah pengetahuan dan
pendidikan, dan karenanya pemecahannya juga harus dicari di wilayah ini.
Kesadaran ini memuncak pada penyelenggaraan Kongres Dunia mengenai
Pendidikan Islam ke-1 di Makkah pada tahun 1977 dan dilanjutkan kongres ke-2
pada tahun 1980 di Islamabad. Sejak itulah bermunculan berbagai lembaga untuk
mewujudkan gagasan IP. Di antaranya International Institute of Islamic Thought
(IIIT) di Washington atas prakarsa al-Faruqi, International Islamic University of
Malaysia (IIUM) dan International Institute of Islamic Thought and Civilization

1
(ISTAC) di Kuala Lumpur berkat upaya al-Attas (Haneef, 2005: 2-6; Hashim,
2005: 32-3).
Bicara mengenai IP, mau tak mau kita memang mesti mendiskusikan
pemikiran al-Attas dan al-Faruqi karena mereka berdualah yang merupakan
pemantik gerakan IP. Bahkan dua jangkar institusional utama IP, yakni IIIT dan
ISTAC, dibangun dan dikepalai pertama kali oleh mereka berdua. Namun
demikian, tulisan ini hanya akan membicarakan pemikiran al-Attas, khususnya
pandangannya mengenai filsafat ilmu yang khas Islam, karena beberapa alasan
berikut. Pertama, gagasan IP bermula dari al-Attas, meski al-Faruqi yang
mempopulerkannya. Al-Faruqi sendiri banyak terpengaruh oleh al-Attas dalam
perumusan agenda IP-nya (Hashim, 2005: 32; Daud, 2003: 392-9). Kedua,
sementara al-Attas merumuskan gagasannya mengenai IP secara mendasar dengan
menjelaskan landasan filosofisnya, al-Faruqi langsung melompat ke rumusan
operasional berupa rencana kerja dan langkah-langkah untuk mengislamkan
pengetahuan. Karena itulah, gagasan al-Faruqi kerap menjadi sasaran kritik karena
banyak hal fundamental yang belum dijelaskannya secara tuntas—sebagian
barangkali karena ia meninggal mendadak dalam sebuah pembunuhan tragis.
Dengan demikian, ketika hendak mendiskusikan konsep filsafat ilmu yang
melandasi proyek IP kita mesti berpaling pada karya-karya al-Attas karena hal
demikian tidak kita jumpai secara mendetail dalam tulisan-tulisan al-Faruqi
(Haneef, 2005: 36, 43-8; Hashim, 2005: 40, 44; Fahmy dkk., 2003: 16-7).
Tulisan ini akan diawali dengan sketsa biografis al-Attas, dan gambaran
ringkas pemikirannya untuk memberi konteks bagi filsafat ilmunya. Selanjutnya,
akan didiskusikan kritiknya terhadap filsafat ilmu Barat modern dan konsepsinya
sendiri mengenai filsafat ilmu 1 yang Islami. Diskusi ini akan diakhiri dengan
kesimpulan.

1
Ketika mendiskusikan filsafat ilmu, seperti akan dijelaskan di bawah, al-Attas terutama
tidak bicara mengenai aspek metodologi ilmu sebagaimana biasa dibicarakan dalam literatur
filsafat ilmu kontemporer, melainkan lebih banyak bicara mengenai aspek filosofis yang lebih
umum seperti metafisika, epistemologi, dan etika sebagai landasan ilmu. Hal ini, selain terkait
dengan sifat proyeknya yang berupaya memberi fondasi IP, juga terkait dengan caranya
mendifinisikan ilmu yang khas.

2
Al-Attas: Sketsa Biografi dan Pemikiran
Syed Muhammad Naquib al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 5
September 1931, dalam sebuah keluarga sayyid. Pendidikan formalnya dimulai
pada usia lima tahun di Johor, Malaysia. Pada masa pendudukan Jepang, ia
kembali ke Jawa dan belajar di madrasah berbahasa Arab, al-Urwat al-Wutsqa,
Sukabumi. Seusai PD II, tahun 1946, ia kembali ke Johor dan menyelesaikan
pendidikan menengah. Di sana ia belajar kesusasteraan dan sejarah Melayu,
agama, bahasa Inggris, dan sastra Barat klasik. Setelah itu, tahun 1951, ia
bergabung dengan ketentaraan dalam Resimen Malaya dan terpilih untuk belajar
di Eton Hall dan kemudian di Akademi Militer Kerajaan Sandhurst (1952-1955),
keduanya di Inggris. Di masa inilah ia mengakrabi metafisika kaum sufi,
khususnya karya Jami, dengan membaca buku-buku yang dijumpainya di
perpustakaan akademi. Ia juga banyak melakukan perjalanan dan menjadi sangat
tertarik pada warisan kebudayaan Islam, terutama di Spanyol dan Afrika Utara
(Daud, 2003: 45-8).
Karena minatnya terhadap ilmu pengetahuan, ia merasa militer bukan
bidang yang sesuai baginya dan memutuskan mundur dari dinas ketentaraan dan
mendaftarkan diri di Universitas Malaya, Singapura (1957-1959). Saat masih
mahasiswa, ia sudah menulis sebuah karya sastra bertajuk Rangkaian Ruba’iyat
dan risalah mengenai sufisme, Some Aspects of Sufism as Understood and
Practised among the Malays. Selanjutnya, ia dianugerahi beasiswa untuk belajar
di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Kanada, dan pada 1962 meraih
gelar MA dalam filsafat Islam dengan tesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th
Century Acheh. Berikutnya, di tahun 1965, ia meraih gelar Ph.D. di School of
Oriental and African Studies, Universitas London, dengan disertasi dua jilid
karyanya, The Mysticism of Hamzah Fansuri, di bawah bimbingan orientalis
terkemuka, A.J. Arberry dan Martin Lings (Dawud, 2003: 49-50).
Pada tahun 1965, al-Attas kembali ke Malaysia dan menjabat sebagai
kepala Jurusan Sastra Departemen Kajian Melayu di Universitas Malaya, Kuala
Lumpur, dan kemudian dekan Fakultas Sastra (1968-1970). Setelah itu ia pindah
ke Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang baru didirikan dan menjabat

3
sebagai kepala Departemen Bahasa dan Sastra Melayu, dan kemudian dekan
Fakultas Sastra. Di sana ia mendorong penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar di tingkat universitas dan menyarankan metode kajian yang terpadu
untuk menjelaskan peranan Islam dalam mengembangkan bahasa, sastra, dan
kebudayaan Melayu serta hubungannya dengan bahasa dan kebudayaan Islam
lainnya. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, pada 1973 ia mendirikan Institut
Bahasa, Kesusasteraan, dan Kebudayaan Melayu (IBKKM) di UKM. Sebagai
ilmuwan, ia mendapat pengakuan di tingkat internasional, kerap jadi pembicara di
seminar-seminar internasional dan profesor tamu di beberapa universitas seperti
Universitas Temple (1976-1977) dan Universitas Ohio (1980-1982) (Daud, 2003:
50-4).
Selain budaya Melayu, perhatian utama al-Attas adalah pendidikan yang
Islami. Sudah sejak tahun ‘60-an ia memiliki cita-cita meuwujudkan sebuah
universitas Islam. Dan sejak itu pada tiap kesempatan ia selalu menyampaikan
pentingnya sebuah universitas Islam, termasuk di Konferensi Dunia mengenai
Pendidikan Islam ke-1 di Makkah dan ke-2 di Islamabad. Akhirnya, impian itu
terwujud ketika pada tanggal 27 Februari 1987 pemerintah Malaysia meresmikan
berdirinya ISTAC sebagai lembaga semi otonom di bawah IIUM, dengan al-Attas
sebagai direktur dan Guru Besar bidang Tamaddun dan Pemikiran. Tak sekadar
membidani kelahiran ISTAC, al-Attas sendiri terlibat dalam mendesain
pembangunan kampusnya di Kuala Lumpur. Meski tak pernah mendapat
pendidikan formal sebagai arsitek, ia memiliki cita rasa seni yang tinggi sehingga
bangunan yang dihasilkan dari rancangannya memiliki sentuhan artistik dan
bernuansa arsitektur Islam klasik. Lembaga ini secara resmi dibuka sejak 4
Oktober 1991 (Daud, 2003: 51-4; Anwar, 1992: 104-8).
Seperti terlihat dari sketsa biografisnya, minat al-Attas terentang dalam
berbagai persoalan dari kebudayaan dan bahasa Melayu, sastra sufi, filsafat
sufistik, hingga pendidikan. Minatnya terhadap kebudayaan Melayu, khususnya
sastra sufistik, terlihat dari karya-karya awalnya. Bahkan tesis dan disertasinya
membahas dua orang sastrawan-filsuf-sufi Melayu terbesar, Nuruddin al-Raniri
dan Hamzah Fansuri. Keakrabannya dengan tasawuf dan aspek filosofisnya akan

4
menentukan seluruh corak pemikirannya termasuk, seperti akan dijelaskan di
bawah, filsafat ilmunya (Hashim, 2005: 39). Begitu pula, keprihatinannya yang
mendalam terhadap persoalan pendidikan nampak dalam karya teoretis maupun
keterlibatan praktisnya dalam membidani berbagai lembaga pendidikan tinggi di
Malaysia.
Meski terentang luas, tema-tema dan persoalan yang digeluti al-Attas
sebenarnya dirajut dan disatukan oleh sebuah tema besar, yakni Islamisasi.
Kebudayaan Melayu dengan segala aspeknya, dalam pandangan al-Attas, adalah
hasil proses Islamisasi. Karena itulah, dalam studinya mengenai perkembangan
kebudayaan Melayu, ia selalu menekankan peranan Islam. Ia bahkan mengajukan
pandangan yang disebutnya “teori Islamisasi Kepulauan Melayu-Indonesia”
(Daud, 2003: 318-21).
Al-Attas memahami Islamisasi sebagai meresapnya pandangan-dunia
(worldview/weltanschauung) Islam ke dalam segala aspek sebuah kebudayaan. Ia
mengartikan Islamisasi sebagai “pembebasan manusia, pertama-tama, dari tradisi
magis, mitologis, animistik, kultur-nasional, dan kemudian dari belenggu sekuler
atas pikiran dan bahasanya” (al-Attas, 1999: 45; bdk. 1981: 61-2). Proses
Islamisasi diawali dengan turunnya wahyu pada Nabi Muhammad SAW dan terus
berlanjut hingga kini. Islamisasi suatu kebudayaan berlangsung melalui
perombakan pandangan-dunia kebudayaan tersebut, yakni pandangan fundamental
mengenai kenyataan (alam semesta, manusia, dan Tuhan)—dengan kata lain
metafisika, epistemologi, dan etikanya, dan menyesuaikannya dengan pandangan-
dunia yang Islami.
Dalam proses ini, bahasa sebagai medium pengungkapan sebuah
pandangan-dunia memainkan peranan penting, bahkan ia merupakan sasaran
pertama Islamisasi. Menggunakan metode analisis semantik a la Toshihiko Isutzu,
al-Attas (1999: 8-10) menunjukkan bahwa hal pertama yang dilakukan al-Qur’an
adalah merombak struktur semantik konsep-konsep kunci dalam bahasa Arab pra-
Islam, memberinya makna baru dengan menempatkannya dalam totalitas struktur
pandangan-dunia yang sama sekali baru. Terutama melalui Islamisasi bahasa
inilah Islamisasi seluruh aspek kebudayaan Arab berlangsung. Proses serupa tidak

5
hanya terjadi pada bahasa dan kebudayaan Arab. Menurut al-Attas, bahasa-bahasa
serta kebudayaan-kebudayaan yang lain pun, seperti Persia, Turki, Urdu, Swahili,
dan Melayu, telah mengalami proses Islamisasi, dan karenanya dapat disebut
sebagai budaya dan bahasa “Islam” (al-Attas, 1999: 10; 2001: 29-30). Begitu pula,
unsur budaya-budaya lain dapat dipadukan ke dalam budaya Islam setelah ia
diislamkan, yakni disesuaikan dengan struktur pandangan-dunia Islam. Inilah
yang terjadi pada unsur-unsur serapan dalam Islam seperti dari Yunani, Persia,
dan India (Daud, 2003: 321-3; Haneef, 2005: 36; Hashim, 2005: 31-2).
Jelaslah bahwa dalam pemahaman al-Attas, perubahan pandangan-dunia—
meliputi metafisika, epistemologi, dan etika—suatu kebudayaan yang terungkap
dalam bahasanya merupakan inti proses Islamisasi. Sedang transformasi hal-hal
lain yang bersifat lahiriah dan material lebih merupakan perubahan turunan yang
akan menyusul setelah pandangan-dunia yang melandasinya selesai mengalami
proses Islamisasi (Daud, 2003: 333). Namun demikian, proses Islamisasi
bukannya tidak terbalikkan. Sebuah kebudayaan yang sudah terislamkan dapat
saja mengalami deislamisasi jika ada unsur-unsur asing yang bertentangan dengan
pandangan-dunia Islam masuk ke dalamnya. Gejala yang paling nampak adalah
deislamisasi bahasa dengan masuknya konsep-konsep asing ke dalam bahasa-
bahasa Islam. Hal ini pada gilirannya menimbulkan kerancuan dalam pemikiran
umat Islam, kerusakan pengetahuan (corruption of knowledge), dan hilangnya
adab (loss of adab) (al-Attas, 1979a: 2-3). Segala kekacauan di tingkatan
konseptual dan pandangan-hidup ini segera mendapat wujudnya dalam lahirnya
individu dan pemimpin umat yang tidak kompeten dan pada gilirannya
menyebabkan keterbelakangan umat secara politik, sosial, dan ekonomi.
Belakangan, konsep-konsep asing yang bertentangan dengan pandangan-dunia
Islam seperti sekularisasi dan sekularisme, terutama melalui sains modern, tanpa
disadari mulai merembesi pandangan-dunia umat Islam. Karena sains modern
yang jadi kendaraan sekularisasi secara faktual berasal dari Barat, al-Attas
menyebut deislamisasi, sekularisasi, dan westernisasi sebagai tiga aspek dari satu
fenomena tunggal yang kini merupakan tantangan bagi umat Islam (al-Attas,
1999: 10-1; 1981: 135-6, 148-9; bdk. Fahmy dkk., 2003: 22-3).

6
Dengan begitu dapatlah dipahami salah satu perbedaan pokok antara
proyek IP al-Attas dan al-Faruqi, yakni cakupannya. Al-Faruqi memandang
seluruh ilmu pengetahuan sebagai perlu diislamkan, hatta ilmu-ilmu Islam klasik.
Sedang al-Attas memusatkan proyek Islamisasinya pada ilmu pengetahuan
kontemporer, sebab menurutnya ilmu-ilmu Islam klasik telah mengalami
Islamisasi di tangan para ilmuwan Islam masa lalu. Sebagai amsal, ilmu-ilmu
helenistik dari Yunani telah diislamkan dan dipadukan ke dalam ilmu kalam,
kedokteran, matematika, logika, dan filsafat Islam oleh para sarjana Islam awal.
Untuk itu, al-Attas menggunakan istilah “Islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer” (Hashim, 2005: 33; bdk. al-Attas, 2001: 114-5).
Dalam latar demikianlah gagasan al-Attas mengenai IP harus dipahami. IP
adalah satu aspek yang integral, namun sangat penting, dalam proses Islamisasi
semua aspek kebudayaan. Begitu pula, filsafat ilmu Islam yang digagasnya harus
dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari totalitas pandangan-hidup
Islam. Dalam hal ini, IP secara khusus dimaknai al-Attas (1999: 42) sebagai
“pembebasan ilmu pengetahuan dari penafsiran yang berdasarkan ideologi,
makna, dan ungkapan sekuler”. Dalam melaksanakan IP, perlu dilakukan dua hal,
yakni (1) pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk
kebudayaan Barat dari setiap disiplin ilmu kontemporer—singkatnya
“dewesternisasi” atau “desekularisasi”, dan (2) memasukkan elemen-elemen
Islam dan konsep-konsep kuncinya ke dalam cabang-cabang keilmuan yang
dinilai relevan dengan bangunan pandangan-dunia Islam—atau “Islamisasi”
dalam arti sempit (al-Attas, 1981: 237-9; bdk. Daud, ). Semata-mata memadukan
ilmu pengetahuan Barat modern dengan elemen-elemen Islam tanpa terlebih
dahulu mengeluarkan elemen Barat sekuler dari dalamnya, alih-alih akan
menghasilkan ilmu yang Islami, justru akan menghasilkan ilmu tanggung yang
“Islam pun bukan dan sekuler pun bukan” (Hashim, 2005: 35).

Kritik al-Attas terhadap Filsafat Ilmu Barat


Dengan pandangan bahwa sains Barat modern adalah Kuda Troya yang
menyelundupkan konsep-konsep asing ke dalam Islam, wajar bahwa selain

7
mengembangkan secara positif filsafat ilmu Islamnya sendiri, al-Attas juga
menyediakan banyak bagian dari karyanya untuk mengkritik sains Barat modern,
terutama filsafat ilmu yang melandasinya. Selain itu, kritik terhadap filsafat ilmu
Barat adalah langkah penting guna mengidentifikasi dan mengeluarkan elemen-
elemen khas Barat-sekuler dari disiplin-disiplin ilmu yang, seperti disebut di atas,
merupakan satu dari dua sisi IP.
Al-Attas melandasi kritiknya dengan pandangan bahwa ilmu tidak pernah
merupakan sesuatu yang netral dan bebas nilai. Ilmu tidaklah muncul dari
kekosongan, ia selalu terlahir dari sebuah kebudayaan tertentu dan dengan
demikian terserapi oleh pandangan-dunia yang melandasi kebudayaan tersebut.
Begitu pula dengan ilmu Barat modern. Ia lahir dari kebudayaan Barat yang
sekuler, dan mau tak mau diresapi oleh nilai-nilai sekuler yang sama. Dan tepat
nilai-nilai sekuler inilah yang tidak sebangun, bahkan bertentangan, dengan
pandangan-dunia Islami (Hashim, 2005: 33). Tak heran jika filsafat Barat, sebagai
perumusan sistematis pandangan-dunia Barat, berkait-kelindan erat dengan ilmu
yang dihasilkan kebudayaan Barat. Mengenai hubungan ini, al-Attas (1995: 25;
2001: 113) menyebut dua peran filsafat: pertama, sebagai penafsir ilmu dengan
mengintegrasikan temuan-temuan ilmu, baik ilmu alam maupun sosial-
kemanusiaan, menjadi sebuah pandangan-hidup, dan kedua, merumuskan arah
yang mesti ditempuh oleh ilmu. Dan dua hal inilah, yakni tafsiran dan arahan
filsafat terhadap ilmu, yang mesti dijadikan sasaran evaluasi kritis. Selanjutnya,
al-Attas (1995: 25-6; 2001: 114) merinci hal-hal yang mesti dikritisi, yaitu
“metode-metode ilmu modern; berbagai konsep, praandaian, dan simbolnya;
aspek-aspek empiris dan rasionalnya, dan yang berkenaan dengan nilai dan
etika; tafsirannya mengenai asal-usul; teori pengetahuan yang melandasinya;
praandaiannya mengenai eksistensi dunia eksternal, keseragaman sifat alam,
dan rasionalitas proses-proses alamiah; teorinya mengenai alam semesta;
klasifikasi ilmunya; batasan dan saling-hubungan antara satu ilmu dengan
yang lain, dan relasi sosialnya.”

Menggunakan pemilahan tiga landasan ilmu yang lazim dikenal, berikut


akan dibicarakan kritik al-Attas terhadap landasan filsafat ilmu Barat modern
secara berturut-urut dalam aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

8
Dalam aspek pertama, al-Attas mengkritik dua sisi pandangan ontologis
filsafat ilmu Barat modern, yakni pandangan mengenai hakikat kenyataan sebagai
obyek yang diketahui dan mengenai hakikat manusia sebagai subyek yang
mengetahui. Keduanya dikritik al-Attas sebagai reduksionis. Di satu sisi, ilmu
Barat modern berlandaskan sebuah pandangan ontologis bahwa segala sesuatu
yang ada muncul dan berasal dari sesuatu yang lain. Artinya, realitas tak lain
adalah “kemajuan, perkembangan, atau evolusi dari potensi laten dalam materi
yang bersifat kekal” (al-Attas, 1995: 27; 2001: 115). Maka tak heran jika dalam
ilmu modern kita temui berbagai “hukum” dan “teori” mengenai proses perubahan
material ini, seperti hukum kekekalan massa dan energi serta teori evolusi. Alam
dipandang sebagai suatu sistem yang mandiri dan berkembang menurut hukum-
hukumnya sendiri. Dengan demikian, karena alam materi dipandang sebagai
selalu sudah ada, Tuhan dan penciptaan jelas merupakan sesuatu yang tidak
sebangun dengan ilmu modern. Selain itu, kenyataan material dianggap sebagai
satu-satunya tingkat realitas. Ruh, malaikat, setan, jin, dan realitas gaib lainnya
jelas tidak dikategorikan sebagai sesuatu yang real (al-Attas, 1995: 27-8; 2001:
115).
Di sisi lain, pandangan mengenai realitas tadi juga menentukan cara ilmu
modern memandang manusia sebagai subyek yang mengetahui. Sealur dengan
pandangan materialistik terhadap realitas, manusia pun dipahami semata sebagai
tahap lanjut yang lebih rumit dalam proses perubahan atau evolusi material (al-
Attas, 1995: 30; 2001: 116). Maka, kesadaran, misalnya, direduksi hanya sebagai
aktivitas impuls-impuls syaraf otak. Pandangan ontologis yang reduksionistik
macam ini pada gilirannya menentukan landasan epistemologis ilmu yang juga
reduksionistik.
Selanjutnya, dari aspek epistemologis, filsafat ilmu Barat mengklaim
bahwa ilmu modern merupakan satu-satunya mode pengetahuan yang otentik.
Ilmu didefinisikan sebagai terbatas hanya pada fenomena. Ini sejalan dengan
klaim bahwa realitas material yang terobservasi secara inderawi merupakan satu-
satunya tingkatan realitas. Namun demikian, senada dengan klaim bahwa realitas
berupa proses menjadi dan bersifat evolutif, hasil-hasil temuan ilmu juga tidak

9
diklaim sebagai sesuatu yang final, melainkan open-ended. Hasil temuan ilmu
modern adalah pendekatan (approximation) terhadap kebenaran. Karenanya, hasil
temuan ilmu bersifat khas dan relatif terhadap era dan zaman tertentu (al-Attas,
1995: 26; 2001: 114).
Kebenaran ilmiah dirumuskan sebagai kebenaran korespondensial, yakni
sejauh kebanarannya diverifikasi oleh pengamatan inderawi. Karena itulah, fakta
adalah sesuatu yang netral dalam kaitannya dengan kebenaran ilmiah. Fakta “ada
begitu saja” (al-Attas, 1995: 27). Kandungan ilmu merupakan kombinasi dari
realisme, idealisme, dan pragmatisme. Adapun metode-metodenya yang utama
adalah rasionalisme filosofis yang “cenderung hanya bersandar pada nalar”,
rasionalisme sekuler yang “sementara menerima nalar, cenderung lebih bersandar
pada pengalaman inderawi”, serta empirisisme filosofis atau empirisisme logis
yang “menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan
logika, dan analisis bahasa.” (al-Attas, 1995: 27-8; 2001: 115). Sumber
pengetahuan yang diakui hanyalah pengalaman inderawi dan analisis rasional.
Sementara intuisi dan otoritas sama sekali disangkal. Begitu pula, sejak Descartes,
keraguan diangkat posisinya sebagai salah satu unsur metodis dalam memperoleh
pengetahuan (al-Attas, 1995: 28-31).
Mengenai landasan filsafat ilmu yang ketiga, yakni landasan aksiologis,
yang dikritik al-Attas adalah klaim netralitas ilmu dan kebernilaian ilmu demi
ilmu itu sendiri. Tidaklah benar klaim bahwa ilmu modern bersifat netral dan
bebas nilai. Dari uraian ringkas mengenai landasan ontologis dan epistemologis
ilmu di atas, jelaslah bahwa ada asumsi-asumsi filosofis yang khas kebudayaan
tertentu, yakni kebudayaan Barat, yang melandasi dan meresapi seluruh bangunan
keilmuan modern. Selanjutnya, karena ilmu dianggap netral dan bebas nilai, ia
menjadi bernilai karena dan demi dirinya sendiri. Tak ada batas bagi
perkembangan ilmu kecuali logika dan metodenya sendiri. Aturan-aturan moral
dari luar ilmu lebih dipandang sebagai hambatan ketimbang pemberi arahan.
Karena itulah maka perkembangan ilmu modern menjadi lepas kendali. Padahal,
sebenarnya di balik klaim netralitas dan kebebas-nilaian ilmu selalu tersembunyi
kepentingan-kepentingan (al-Attas, 1995: 64).

10
Dalam pandangan al-Attas, bagi kebenaran setiap ilmu ada batas yang
sepadan dengannya. Ia memberikan contoh pengetahuan orang mengenai sebuah
kursi. Tak semua hal yang dapat diketahui mengenai sebuah kursi relevan,
penting, dan bermakna bagi seseorang yang hendak mendudukinya. Tidaklah
penting, misalnya, untuk mengetahui ia dibeli di mana, berapa harganya,
bagaimana ia sampai di sana, dibuat dari kayu apa, di daerah mana kayu jenis itu
tumbuh, dari hutan mana, siapa yang membuatnya, alat apa yang digunakan, dan
masih banyak lagi. Yang “terpenting dalam hubungannya dengan kebenaran kursi
tersebut adalah tindakan duduk manusia di atasnya”. Makna dan arti penting
macam inilah yang jadi batas bagi kebenaran ilmu. Tidak semua hal harus
dipelajari dengan intensitas yang sama (al-Attas, 1995: 64-5, cat. 1).

Bangunan Filsafat Ilmu Islam menurut al-Attas


Bangunan filsafat ilmu yang Islami dalam pandangan al-Attas harus
dibangun di atas landasan pandangan-dunia, yakni ontologi, epistemologi, dan
aksiologi, yang Islami. Karena itu, meski mengakui adanya persamaan antara
filsafat ilmu Barat dan filsafat ilmu Islam, al-Attas menyangkal bahwa keduanya
dapat disejajarkan. Beberapa persamaan itu hanya di tingkatan permukaan,
sedangkan totalitas strukturnya sama sekali berbeda (al-Attas, 1995: 33).
Secara ontologis, Islam menurut al-Attas tidak sekadar mengakui
eksistensi realitas material yang terindera, melainkan mengakui adanya berbagai
tingkat eksistensi. Secara umum, realitas dibedakan menjadi Tuhan dan alam
(selain Tuhan). Selanjutnya, alam pun terdiri dari alam fenomenal, alam ruhani,
dan alam entitas-entitas tetap. Yang sangat ditekankan al-Attas adalah bahwa alam
fenomenal dan material sama sekali bukan satu-satunya tingkatan realitas (Daud,
2003: 104). Dengan demikian eksistensi Tuhan, sebagaimana tercermin dalam
salah satu Nama-Nya, al-Haqq, diakui sebagai kenyataan sekaligus kebenaran
(Daud, 2003: 107; bdk. Al-Attas, 1995: 47). Dari satu sisi, haqq mengacu pada
aspek epistemologis, seperti akan menjadi jelas di bawah, yakni Tuhan sebagai
sumber pengetahuan dan kebenaran. Dan dari sisi lain, ia mengacu pada aspek

11
ontologis, yakni Tuhan sebagai sumber kenyataan. Realitas yang lain selain-Nya
mendapatkan eksistensi dari-Nya melalui penciptaan.
Begitu pula, manusia dipahami bukan semata sebagai entitas material,
melainkan sebagai satu kesatuan dari jiwa (ruh) dan badan. Manusia dilengkapi
Tuhan dengan berbagai potensi untuk memperoleh pengetahuan berupa indera,
akal, intelek, hati (qalb), dan ruh. Ia juga diciptakan dalam fitrah, yakni
kecenderungan natural untuk menerima kebenaran (al-Attas, 1979b: 23-5).
Dengan mengakui eksistensi non-material dan non-fenomenal cakupan filsafat
ilmu Islam jauh lebih luas dan lebih utuh ketimbang filsafat ilmu Barat. Begitu
juga, dengan mengenali berbagai potensi dalam diri manusia, bukan hanya indera
dan rasio, melainkan juga intelek, hati, dan ruh, filsafat ilmu Islam memungkinkan
manusia untuk menghasilkan pengetahuan yang utuh dengan juga memasukkan
realitas non-fenomenal.
Sumber-sumber pengetahuan dalam filsafat ilmu Islam meliputi tiga hal.
Pertama, indera-indera, baik eksternal maupun internal. Indera-indera eksternal
terdiri dari lima sarana pengenalan dunia luar yang telah biasa kita kenal, yakni
penglihatan, pendengaran, peraba, pengecap, dan pembau. Pancaindera lahir ini
mempersepsi hal-hal partikular dalam dunia fenomenal, sedang indera-indera
batin mempersepsi dan mengolahnya secara internal. Indera batin ini berupa lima
daya, yakni indera umum (common sense), representasi, estimasi, ingatan, dan
imajinasi. Yang pertama, indera umum, berperan menghubungkan dan
mengabstraksikan hasil pencerapan kelima indera lahir dan membentuknya jadi
bentuk (form) atau citra dari obyek lahiriah yang dipersepsi. Berikutnya,
representasi (al-khayaliyah) berperan menyimpannya agar tidak lenyap seiring
lenyapnya obyek dari persepsi indera lahir. Lalu estimasi (al-wahmiyah)
mempersepsi makna obyek tersebut dan membentuk opini secara naluriah.
Kemudian ingatan (al-dzakirah), mirip dengan representasi berperan menyimpan
hasil penilaian estimasi tadi. Sedang imajinasi (al-mutakhayyilah) berperan
sebagai penghubung antara fakultas inderawi manusia dengan fakultas rasional,
sama halnya seperti indera umum menjadi penghubung antara indera lahir dan
indera batin (al-Attas, 1995: 34-5).

12
Kedua, akal (‘aql). Sesungguhnya istilah ini mengandung dua pengertian:
reason (nalar) yang berperan mengabstraksi, mensistematisasi, dan menafsirkan
secara logis fakta-fakta pengalaman inderawi; dan intellect (intelek) yaitu sebuah
“substansi ruhaniah yang melekat dalam organ ruhaniah pemahaman yang kita
sebut hati (qalb)” yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya intuisi. Ilmu
modern membatasi pemahamannya mengenai akal pada pengertian pertama.
Karena itu, ia menyangkal intuisi sebagai sumber pengetahuan, padahal melalui
intuisi inilah kita dapat memahami kebenaran hal-hal semacam keberadaan
Tuhan, kebenaran agama, dsb. Meski intuisi memang merupakan salah satu
sumber pengetahuan, harus pula diperhatikan bahwa intuisi memiliki tingkatan-
tingkatan. Untuk intuisi mengenai kebenaran yang lebih tinggi, ia hanya diberikan
Tuhan kepada orang-orang tertentu yang merenungkan dan menghayati kebenaran
agama melalui praktik. Intuisi macam ini di kalangan sufi dikenal dengan sebutan
kasyf (penyingkapan tabir). Bahkan untuk intuisi tingkat tertinggi hanya diberikan
Tuhan pada orang-orang yang dipilihnya. Inilah wahyu yang hanya dianugerahkan
pada para nabi pilihan (al-Attas, 36-9).
Ketiga, otoritas. Filsafat ilmu modern menyangkal pengetahuan yang
disandarkan pada otoritas dan kesaksian pihak selain subyek. Padahal pada
praktiknya sangatlah sedikit hal yang diketahui manusia berdasarkan pengalaman
langsungnya. Sebagian sangat besar pengetahuannya diperoleh justru berdasarkan
otoritas dan kesaksian orang lain. Dengan mengakui otoritas, pengetahuan agama,
termasuk pengatahuan mengenai wahyu yang turun pada Nabi dan diriwayatkan
secara otoritatif pada kita menjadi mungkin (al-Attas, 1995: 39-40).
Dengan demikian, ilmu tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang netral
dan bebas nilai. Ia tidak juga berharga dalam dirinya sendiri. Ilmu harus ditujukan
untuk pengenalan terhadap Tuhan. Untuk membandingkan filsafat ilmu Barat dan
filsafat ilmu Islam mengenai hal ini, al-Attas memberikan analogi yang menarik.
Seseorang mengendarai mobil hendak menuju suatu tempat yang belum pernah
dikunjunginya di suatu malam gelap dan disertai hujan. Lalu ia sampai di
persimpangan dan memperhatikan tanda penunjuk jalan. Tanda itu terbuat dari
kayu biasa dengan tulisan cat yang jelas. Si pengemudi segera mengenali ke arah

13
mana tujuannya dan melanjutkan perjalanan. Tapi dalam kasus yang berbeda,
tanda yang dipasang sangat mempesona, terbuat dari marmar yang disepuh emas
murni dengan tulisan indah yang dihiasi batu-batu permata berharga. Si
pengemudi barangkali tertegun dan perhatiannya tersedot oleh keindahan tanda
petunjuk itu. Ia terlupa pada tujuannya dan terus asyik mengamati tanda itu.
Bahkan barangkali ia turun dari mobil untuk melihatnya lebih dekat. Pengemudi
pada kasus pertama adalah pandangan filsafat ilmu Islam mengenai ilmu dan alam
fenomenal. Alam semesta adalah tanda penunjuk. Adapun tujuan kita adalah
kebahagiaan, di kehidupan ini dan kehidupan di akhirat kelak. Sebaliknya,
pengemudi pada kasus kedua adalah pandangan filsafat Barat terhadap ilmu dan
alam fenomenal. Ilmu modern sangat asyik dengan informasi mengenai alam
fenomenal namun lupa menyadari makna dan arti pentingnya (al-Attas, 1995: 58-
9).
Meski ilmu tidak terbatas karena obyeknya juga tidak terbatas, namun ada
batas kebenaran bagi setiap ilmu. Seperti sudah disinggung di atas, tak semua
ilmu mengenai segala hal bermanfaat, bernilai, dan mermakna. Pengetahuan
mengenai batas macam inilah yang disebut hikmah (al-Attas, 1995: 63-5).
Jelaslah bahwa al-Attas memahami ilmu (al-‘ilm) secara berbeda dengan
pemahaman filsafat Barat terhadap ilmu (science). Ilmu yang benar (al-‘ilm)
menurut al-Attas terdiri dari “ilmu pengetahuan” (‘ilm) dan “ilmu pengenalan”
(ma’rifah) (al-Attas, 1995: 75-6; bdk. 20-3, cat. 4). Yang pertama, ilmu
pengetahuan, diperoleh “sebagai hasil pencapaian mandiri daya usaha akliah
melalui pengalaman hidup indera jasmani dan pemikiran-rasional, observasi,
penyelidikan, dan pengkajian” (al-Attas, 1995: 81). Kurang lebih, ini sejajar
dengan pemahaman science dalam filsafat ilmu Barat. Tetapi al-‘ilm dalam
pandangan al-Attas tidak terbatas hanya pada jenis ini. Ada jenis lain yang juga
tak kalah penting—jika bukannya lebih penting, yakni ilmu pengenalan, yang
merujuk “kepada pengenalan diri akali manusia ... membuka penglihatan ruhani
manusia kepada pengenalan terhadap Tuhan yang Haqq” yang diperoleh dengan
“daya kerja serta keikhlasan amal ibadat” (al-Attas, 1995: 79). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa konsepsi filsafat ilmu Barat membatasi diri pada satu jenis

14
ilmu, yakni ilmu pengetahuan, dengan mengabaikan jenis ilmu lain yang jauh
lebih penting, yaitu ilmu pengenalan.

Sebuah Tugas untuk Masa Depan


Terlepas dari pro kontra mengenainya, proyek IP memang bukan sesuatu
yang mudah. Al-Attas sudah meletakkan fondasinya berupa sebuah filsafat ilmu
Islam. Namun tujuan masih sangat jauh. Masih tersisa sekian pekerjaan untuk
dirampungkan. Fondasi yang disiapkan al-Attas pun masih jauh dari selesai. Ia
masih berbicara pada tingkatan tiga landasan ilmu: ontologis, epistemologis, dan
aksiologis. Bidang metodologi ilmu belum banyak disentuhnya. Setelah
metodologi ini pun rampung, masih perlu dilakukan kontekstualisasi metodologis
pada masing-masing disiplin ilmu.
Namun demikian, sebuah perjalanan jauh memang harus dimulai dengan
sebuah langkah besar. Dan langkah itu sudah diwujudkan al-Attas. Islam tidak
hanya jadi anjing penjaga ilmu, mengawasinya agar tak keluar jalur etis. Islam
telah dibawa menjadi paradigma ilmu, yang membangunnya tidak hanya dari luar
tapi juga dari dalam. Langkah besar ini harus dilanjutkan dengan langkah-langkah
lain, betapapun kecilnya. Tanpa itu yang tersisa hanyalah kemandekan.

15
Daftar Pustaka
Anwar, M. Syafi’i, 1992, “ISTAC, ‘Rumah Ilmu’ untuk Masa Depan Islam”,
dalam Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 1 Th. 1992, hal. 104-114.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1979a, “Introduction”, dalam Syed
Muhammad Naquib al-Attas (Ed.), Aims and Objectives of Islamic
Education, Jeddah: King Abdul Aziz University.
_________, 1979b, “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the
Definition and Aims of Education”, dalam Syed Muhammad Naquib al-
Attas (Ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King
Abdul Aziz University.
_________, 1981, Islam dan Sekularisme, terj. dari bahasa Inggris oleh Karsidjo
Djojosuwarno, Bandung: Pustaka.
_________, 1995, Islam dan Filsafat Sains, terj. dari bahasa Inggris oleh Saiful
Muzani, ed. Zainal Abidin Baqir, Bandung: Mizan.
_________, 1999, The Concept of Education in Islam, Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization, cet. 3.
_________, 2001, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization, ed. 2.
Daud, Wan Mohd Nor Wan, 2003, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib al-Attas, terj. dari bahasa Inggris oleh Hamid Fahmy dkk.,
Bandung: Mizan.
Fahmy, Hamid, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel, 2003, “Pengantar
Penerjemah” dalam Daud, Wan Mohd Nor Wan, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan.
Haneef, Mohamed Aslam, 2005, A Critical Survey of Islamization of Knowledge,
Kuala Lumpur: International Islamic University Malaysia.
Hashim, Rosnani, 2005, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer:
Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan”, dalam Islamia Th. II No. 6,
Juli-September 2005, hal. 29-45.

16

Você também pode gostar