Você está na página 1de 6

DEFINISI MALNUTRISI Protein-Energy Malnutrition (PEM) atau Kurang Energi Protein (KEP) ialah intake makronutrien (karbohidrat, protein,

dan lemak) yang tidak adekuat dimana terjadi penurunan dari massa sel. Sebenarnya malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : tubuh sendiri (host), agent (kuman penyebab),environment (lingkungan). Memang faktor diet (makanan) memegang peranan penting tetapi faktor lain ikut menentukan.Pada pasien operasi, keadaan ini sering dijumpai akibat terjadi perubahan metabolic yang dihasilkan dari kelaparan dengan sebagai hasil dari stress (inflamasi, infeksi, pembedahan, trauma, dan neoplasia).

PATOFISIOLOGI MALNUTRISI Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan; karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, namun kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama puasa jaringan lemak dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam lemak dan benda keton sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun.

Tubuh akan mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi setelah kira-kira kehilangan separuh dari tubuh. KELAPARAN Pada periode puasa, metabolic rate menurun, terutama nitrogen. Pada awal fase tersebut, glukosa merupan bahan bakar utama untuk memenuhi kebutuhan jaringan, terutama otak, fibroblast, eritrosit, leukosit, jaringan medular ginjal. Jaringan lain akan berubah dengan cepat guna beradaptasi dengan substrat alternatif. Glikogen akan berubah menjadi glukosa, namun mengikuti deplesi penyimpanan (selama 24 jam puasa) di hepar dan glukogenesis ginjal dari asam amino yang disalurkan dari katabolisme otot. Sekresi insulin menurun karena glukogenesis tidak mampu lagi untuk menjaga konsentrasi gula darah seperti pada pre-kelaparan. Penurunan insulin akan memicu proses lipolisis (dengan mengaktifkan hormon yang mensensitisasi kerja lipase) dan ketonemia. Keton akan menghambat piruvat dehidrogenase dan mencegah konversi piruvat menjadi acetyl coenzim-A (CoA), sehingga akan menghambat penggunaan dari produk akhir glikolisis pada siklus krebs. Konsekuensi dari keadaan di atas ialah bahan bakar utama pada kebanyakan jaringan berganti menjadi acetyl CoA yang diperoleh dari lemak atau keton. Perubahan ini digambarkan dengan penurunan respiratory quotient (hasil bagi antara produksi karbon dioksida dan konsumsi oksigen). Selain itu, penurunan glukosa dihubungkan dengan sekresi epinefrin, kortisol, dan glukagon. Efek dari ketiga hormon tersebut ialah stimulasi proteolisis, lipolisis,dan glukogenesis. Glukogenesis yang berasal otot akan menyediakan bahan bakar untuk jaringan yang merupakan pengguna glukosa obligat, namun jika proses kelaparan telah berlanjut menjadi deplesi protein endogen, maka jaringan otak yang merupakan pengguna glukosa obligat akan beradaptasi dengan menggunakan keton sebagai bahan bakar. Metabolisme puasa yang memanjang akan menghasilkan gambaran klinis KEP, yang pada anak-anak sering menjadi marasmus. STRES HIPERMETABOLISME Seperti halnya proses kelaparan, metabolisme stres akut melibatkan modulasi neurohormonal yang luas. Inflamasi, operasi, trauma, atau infeksi akan mengaktifkan monokin, limfokin, prostanoid, hormon, jalur syaraf, komplemen, dan mediator endogen lainnya yang menjalankan metabolisme dan meningkatkan pengeluaran energi. Hati akan memberi respon terhadap stimulasi neurohormonal dengan menghasilkan substrat untuk meningkatkan metabolisme. Asam amino dari pemecahan proteolisis, laktat dari jaringan, dan glicerol dari lipolisis akan langsung masuk ke dalam jalur glukoneogenesis. Mediator endogen yang distimuli oleh kerusakan jaringan akan memediasi proses ini. Karena respon tersebut dihasilkan oleh sumber internal, maka tidak akan berespon terhadap substrat eksogen. Pola perubahan hormonal dikarakteristikkan dengan peningkatan glukagon, kortisol, dan epinefrin yang timbul akibat dari desakan kebutuhan jaringan yang rusak dan leukosit yang terinfiltrasi. Karena kadar glukosa darah meningkat, maka sekresi insulin akan terstimulasi. Pola metabolisme ini memicu terjadinya deplesi protein visceral dan lemak yang diasosiasikan dengan ekspansi kompartemen cairan ekstraseluler. Gambaran klinis pada keadaan ini ialah seperti gambaran kwashiorkor pada anak-anak (edema, hipoalbuminemia, dan perlemakan hati).

PENILAIAN MALNUTRISI Malnutrisi dapat mengubah keadaan fisiologi perioperatif secara signifikan. Sehingga merupakan suatu hal yang penting untuk mengidentifikasi keadaan malnutrisi pada pasien bedah. Penilaian yang paling akurat ialah melalui pengukuran massa sel tubuh melalui tehnik isotop multipel, namun secara klinis hal tersebut tidak realistis. Beberapa cara yang lebih aplikatif seperti antropometri, pengukuran penanda biokimia (yang sering diukur ialah protein yang berasal dari hepar), dan tes imunologi dapat dilakukan. Pengukuran antropometri digunakan untuk menilai malnutrisi pada anak dalam kondisi kelaparan. Namun, karena gambaran klinis dari malnutrisi adalah edema, maka interpretasi dari pengukuran antropometri akan menjadi sulit. Perubahan pada protein spesifik seperti protein transport hepar (albumin, transferin, pre-albumin, retinal-binding protein) dapat juga digunakan untuk menilai malnutrisi, biasanya pada keadaan stres dan menggambarkan penurunan sintesis, ekstravasasi jaringan, dan ekspansi cairan ekstraseluler. Pada keadaan stres, serum protein akan menurun seiring dengan kehilangan massa sel tubuh. Konsentrasi serum protein menurun pada malnutrisi murni meskipun kehilangan massa tubuh secara signifikan karena kehilangan massa dan air adalah proporsional. Meskipun demikian, serum protein digunakan pada penilaian metabolik dari pasien malnutrisi kronik. Serum albumin yang rendah dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada pasien bedah dan penyakit kronik. Waktu paruh serum albumin untuk menjadi tidak sensitif terhadap perubahan akut dari status nutrisi ialah 14-20 hari. Hal tersebut dipengaruhi oleh transfusi albumin, dehidrasi, inflamasi, dan penyakit hepar. Serum albumin < 3.5 g/dl mulai menunjukkan proses malnutrisi, sedangkan , 2.5 g/dl menunjukkan malnutrisi berat. Serum transferin dapat pula digunakan untuk mengukur penilaian malnutrisi. Waktu paruh serum transferin ialah 9 hari. Namun, serum transferin akan meningkat apabila terjadi perdarahan. Penurunan serum transferin terjadi pada keadaan perioperatif. Serum prealbumin merupakan penanda yang paling dapat dipercaya sebagai penanda malnutrisi akut dibandingkan serum albumin dan transferin. Waktu paruh serum prealbumin ialah 24-48 jam. Abnormalitas imunitas dan limfositopeni absolut dapat juga menjadi indikator penilaian malnutrisi. Keadaan ini dijumpai pada bermacam-macam keadaan penyakit, misal kanker, penyakit vaskular, sepsis, uremia, dan cirrhosis, selain itu keadaan tersebut dapat juga diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan. Sehingga menjadi kurang spesifik. EFEK MALNUTRSI TERHADAP FUNGSI SISTEM ORGAN Perubahan kardiovaskular Malnutrisi sering dihubungkan dengan morfologi, fungsional, dan abnormalitas sistem kardiovaskular. Ukuran jantung akan berubah seiring dengan kehilanganmassatubuh dan dinding ventrikel kiri akan lebih tipis. Pemeriksaan histologi memberikan gambaran atrofi myocardial dan edema interstitial.

Perubahan fungsi jantung yang terjadi ialah penurunan denyut jantung, tekanan darah, dan nadi. Gambaran EKG pada pasien dengan malnutrisi ialah amplitude yang berkurang, deviasi dari axis, interval PR dan QT yang memanjang, gelombang T menjadi mendatar, segmen ST-T menurun, dan takikardi ventricular. Perubahan paru Pada kasus malnutrisi, perubahan morfologi paru tampak seperti karakteristik penyakit emfisema dengan jarak antara dinding alveolar yang meningkat dan area permukaan untuk pertukaran gas menjadi menurun dan ruang udara melebar yang terjadi akibat gangguan septa alveolar. Jaringan perifer paru lebih banyak kehilangan kolagen dan elastin dibandingkan denganmassacentral. Pada fase awal deplesi protein, volume dan tekanan paru masih normal, namun setelah masa kelaparan yang memanjang, konsentrasi surfaktan akan menurun, dan tekanan permukaan paru akan meningkat. Hal tersebut dapat memicu terjadinya perubahan kapasitas residual paru. Otot-otot diafragma akan menjadi distrofi secara langsung sesuai dengan kehilangan berat tubuh. Laju pernafasan akan menurun. Perubahan ginjal Selama masa kelaparan, massaginjal akan menurun sesuai dengan proporsi protein tubuh dan ginjal yang menurun akibat kehilangan tersebut. Creatinin clearance dan free water menurun dan aliran plasma ginjal yang efektif, laju filtrasi glomelurus, dan fraksi filtrasi akan menurun, meskipun total aliran darah ginjal tidak menurun. Kemampuan pemekatan urin akan terganggu sebagai akibat dari respon restriksi cairan yang berubah. Total cairan tubuh berkurang pada malnutrisi akibat kelaparan, namun kadar natrium masih normal. Pada keadaan ini yang terjadi ialah berkurangnya massa sel dan kadar kalium. Pada fase awal kelaparan, free water clerance dan eksresi natrium akan meningkat, namun pada fase lanjut, akan terjadi penurunan. Renin dan aldosteron juga akan meningkat pada awal fase. Namun mekanisme homeostatis pada keadaan malnutrisi tersebut masih belum dapat dijelaskan. Perubahan gastrointestinal Massa intestinum dan jaringannya akan berkurang seiring dengan kehilangan protein. Hal ini sesuai dengan proporsi kehilangan protein pada seluruh tubuh. Mukosa usus akan kehilangan komponen DNA, RNA, dan nitrogen. Migrasi dan pembentukan sel epitel yang baru akan menurun seiring dengan berkurangnya jumlah, ukuran, dan ratio mitosis villi-villi usus. Transportasi mukosa akan terganggu akibat jumlah masukan manitol oral yang menurun. Aktivitas sukrase dan maltase menurun. Perubahan ini secara umum terjadi pada saluran gastrointestinal proksimal. Transportasi glukosa melewati mukosa usus akan menurun, namun transportasi glukosa dari mukosa ke serosa akan meningkat. Kehilangan enzim pada vili usus akan mengganggu absropsi dan memicu terjadinya overgrowth kuman.

Perubahan pankreas Malnutrisi menyebabkan massa pankreas akan berkurang sesuai dengan kehilangan protein tubuh, atrofi asinar, kehilangan susunan bangunan organ, fibrosis, dan dilatasi ductus eksokrin. Aspirasi duodenum menunjukkan penurunan jumlah lipase, tripsin dan amilase pada keadaan malnutrisi. Sekresi bikarbonat juga ikut menurun. Perubahan hepar Kelaparan menyebabkan kehilangan glikogen hati secara cepat. Hal tersebut dikarenakan eksresi trigliserid yang tidak sempurna, masukan carnitine yang terbatas, dan reesterifikasi asam lemak bebas. Malnutrisi yang memanjang akan menghabiskan simpanan lemak di hati. Pada malnutrisi murni, kadar enzim hepatic dan bilirubin dapat normal atau meningkat. Sintesis albumin dan total albumin akan menurun, namun konsentrasinya masih normal. Kehilangan nitrogen melalui urin akan menurun akibat aktivitas enzim pemecah asam amino dan penurunan aktivitas siklus urea. Defisiensi protein sering menurunkan metabolisme obat-obatan, hal ini dikarenakan penurunan aktivitas enzim mikrosomal dan mekanisme transportasi cytocrom P-450. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan transformasi senyawa yang didetoksifikasi dan akan memicu respon patologis yang berhubungan dengan dosis obat. Namun sebaliknya, biotransformasi obat-obatan yang diubah menjadi metabolit toxic masih dapat ditoleransi dengan baik. Perubahan imunologi Malnutrisi berhubungan dengan penurunan massa jaringan limfoid. Total sel polimorphonuclear (PMN) dalam sirkulasi menurun. Makrofag dan chemotaksis PMN akan mengalami gangguan. Dalam keadaan stres, jumlah dan aktivitas komplemen C3 dan C5 akan masih normal, namun jalur aktivitasnya menurun baik pada keadaan stres maupun kelaparan. Jumlah sel limfosit B dalam sirkulasi menurun, namun jumlah tersebut dalam persentase total limfosit masih normal. Serum imunobgobulin dapat rendah, normal, atau tinggi. Kerusakan juga terjadi pada tempat melekat antibodi dan antigen khusus. Kerusakan sistem imunitas seluler tersebut merupakan salah satu karakteristik dari malnutrisi. Jumlah sel T absolut dan ratio sel T terhadap total leukosit menurun. Proporsi sel T-helper dan sel T-suppressor normal pada keadaan kelaparan, namun menurun pada keadaan stess. Perubahan sistem saraf Kecepatan konduksi saraf perifer berkurang dan berhubungan dengan abnormalitas sensorik pada malnutrisi. Pada malnutrisi sedang, biopsi saraf dapat normal namun deplesi terjadi akibat proses demyelinasi segmental. Malnutrisi kronik dapat memicu letargi, kebingungan, dan gangguan inisiatif. Kejadian atrofi cerebral, dilatasi ventricular, dan elektroencephalopati difus merupakan keadaan yang dilaporkan terjadi pada pasien malnutrisi berat.

Você também pode gostar