Você está na página 1de 10

menambah keberatan-keberatan atas praktik duntiksn itu, seperti melambatkan penyuntikan tersebut. c.

Senantiasa berusaha mendapatkan jalan lain dari suntikan mayat guna mengetahui penyakit pes. d. Memajukan segala daya-upaya buat menyempurnakan usaha pencegahan pemberantasan penyakit pes pada khususnya dan memajukan kesehatan rakyat pada umumnya, dengan jalan penerangan-penerangan dan tindakan-tindakan efektif.
Inti dan kesimpulan keputusan para ulama indonesia diatas mengharamkan suntik mayat, karena dinilai termasuk tindakan menyakiti dan mengganggu kehormatan mayat, juga karena akan melukai perasaan keluarganya. Namun jika dalam keadaan darurat, hukumnya halal. Namun melakukannya dalam keadaan darurat harus sibatasi dan menganjurkan pihak-pihak terkait (dalam hal ini pemerintah) mencari jalan lain untuk mengetahui penyakit pes.

Statement dan kesimpulan dari hasil konfrensi ulama indonesia kemudian mengundang respon dari MPKS, yang akhirnya secara khusus mengeluarkan fatwa tentang isu yang sama, ditetapkan pada tahun 1955. MPKS sependapat dengan Konfrensi Ulama Indonesia dengan menetapkan : selama tidak/belum ada jalan lain, untuk menyatakan adanya pes pada mayat guna kepentingan orang hidup, selain daripada tusukan limpa dan atau paru-paru, maka tusukan tersebut dibolehkan (mubah).
Sebelum itu, MPKS pernah mengeluarkan fatwa khusus tentang bedah mayat yang secara substantif sama dengan fatwa tentang tusukan limpa/paru-paru. MPKS menetapkan : I. Bedah mayat itu mubah/boleh untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter dan penegakan keadilan diantara manusia.

II. Membatasi kemubahan ini sekedar darurat saja dan menurut kadar yang tidak boleh tidak harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh MPKS merujuk pada pendapat para ulama, diantaranya dari ulama al-Azhar. Dalil yang dijadikan acuan adalah ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang dimuliakan (Q.s. al-Isra (17):70), juga hadis yang berkenaan dengan penggalian kuburan yang mendapatkan tulang-belulang jenazah dilarang memecahkannya. Juga merujuk pada fatwa dari Hasanain Muhammad Makhluf, Mufti Dar al-Ifta (1946-1950). Pertimbangan yang dijadikan acuan MPKS adalah Mashlahah Ammah ( Kemashlahatan umum).

Bedah Mayat Pendidikan dan Otopsi MPKS kembali mengeluarkan fatwa lanjutan, No.7/1957 tentang mayat pendidikan. MPKS memutuskan : I. Mayat-mayat yang dikumpulkan dalam kamar mayat pada suatu rumah sakit harus diselubungi dengan kain bersih sedemikian rupa sehingga kehormatannya terpelihara. II. Sebelum sesuatu mayat muslim dikirimkan keruangan anatomicum pada suatu fakultas kedokteran dan sebelum dilakukan penyuntikan pengawet padanya haruslah dilakukan segala upacara agama yaitu mewudhukannya, memandikannya, menyelubungkan dengan kain putih bersih dan menyembahyangkan. III. Sesudah mayat dimasukan kedalam ruang anatomicum, maka

badan mayat dapat dipergunakan oleh mahasiswa fk sekedar hajat keperluan dengan snantiasa menjaga kehormatan mayat tsb. IV. Bila telah selesai dipergunakan sampai waktu yang diperlukan, maka segeralah dikumpulkan dan disusun kembali sedapat mungkin bagian-bagian suatu badan yang telah cerai-berai untuk dikafani seperti biasa V. Sesudah dikafani hendaknya dikuburkan seperti mayat muslim biasa dengan menghadapkannya ke kiblat sedapat mungkin VI. Jangka masa antara saat diSembahyangkan dengan dikuburkan sebisa mungkin dibatasi sependek-pendeknya.

MUI termasuk yang membolehkan otopsi karena alasan darurat dan kemashlahatan, namun tetap harus menghormati jenazah.

seperti dinyatakan dalam keputusan MUI : 1. Hukum mengubur mayat orang islam adalah wajib 2. Dalam hal penyelidikan ilmiah terhadap mayat, tidak dilarang didalam islam 3. Sesudah penyelidikan mayat tsb wajib dikuburkan. 4. Lamanya penundaan penguburan untuk penyelidikan diharapkan berhubungan dengan MPKS. 5. Adapun memumikan atau memusiumkan, MUI berpendapat tidak membenarkan. Dalam konteks menghormati jenazah tahun 1931, Bahtsul Masail NU menyepakati tentang hukum mencabut gigi emas jenazah apabila mencabutnya menodai kehormatan jenazah maka hukumnya haram. Dan apabila tidak, bila laki2 dewasa maka wajib dicabut, bila seorang wanita atau anak2 terserah kerelaan ahli warisnya. Sama dengan haramnya mengkafani jenazah laki2 dg kain sutera.

Bahtsul Masail NU pada tahun1934 menyepakati tentang batas waktu membusuknya jenazah sehingga kuburan tersebut dapat digunakan kembali. Disepakati bahwa hancurnya mayat tidak dapat dibatasi dengan waktu tertentu karena berbeda menurut tempat dan iklimnya. Tentang penggunaan kuburan yang berisi tulang belulang : Hukumnya menggali kuburan yang sudah lama dan apabila ada tanda-tanda kuat bahwa mayat tersebut sudah hancur maka diperbolehkan (jaiz) namun apabila menemukan tulang2 sebelum sempurna nya penggalian maka di haruskan pindah tetapi jika menemukan tulang2 setelah penggalian sempurna makan tidak wajib pindah, boleh mengubur mayat baru dan tulang2 yang ada di kubur kembali. Pada tahun 1962 Bahtsul Masail NU mengharamkan otopsi namun pada tahun 1981 mulai mempertimbangkan kemungkinan diperbolehkan.

Tim Fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah pada tahun1987 menyatakn bahwa pada prinsipnya mereka mengharamkan otopsi, namun jika ada kebutuhan mendesak (darurat), untuk tujuan yang dibenarkan syarak maka diperbolehkan. 10. Agama Mayat Yang Dibedah Sebagian ulama memperkenankan penggunaan mayat yang tidak jelas statusnya sebagaimana dinyatakan oleh Syeikh Jadil Haqq Ali jadil Haqq, sebagian ulama mengaitkan kebolehan bedah mayat dari sisi agama si mayat. Menurut pendapat dan analis Muhammad alMukhtar, larangan-larangan dan dalil-dalil tersebut ditujukan kepada mayat muslim, maka jika mayat nya non muslim boleh. Namun argumen terakhir kurang kuat sebab baik ayat Al-Quran yang mengharuskan menghormati Bani Adam maupun Hadis yang melarang mematahkan tulang mayat bersifat umum, tidak ada Qarinah yang menunjukan pengkhususan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Syeikh Muhammad Shalih alMunajid bahwa letak kekafiran dan keimanan seseorang tidak terletak pada fisik ataupun organ tubuh tertentu. Dengan demikian yang kuat adalah tanpa membedakan agama mayat , muslim ataupun non muslim. Dari fatwa-fatwa yang ada pangkal persoalan yang dijadikan sbg masalah menyangkut batasan-batasan menghormati jenazah. Pemahaman kontekstual ditunjang dgn sejumlah prinsip dalam islam, lebih mementingkan kemashlahatan yang lebih luas, lebih bermanfaat, lebih mementingkan kemashlahatan bagi kehidupan orang hidup daripada orang mati, memilih kadar mafsadah yang lebih ringan, sejalan dg kaidah hukum islam.

Kesimpulan 1. Hukum Asal bedah mayat adalah haram karena sama dengan penistaan terhadap manusia yg sangat di muliakan Allah. Namun untuk tujuan kemashlahatan yang lebih luas, ulama cenderung menghalalkannya, baik kategori bedah mayat anatomis (otopsi anatomis), atau bedah mayat pendidikan, bedah mayat keilmuan (otopsi klinis), bedah mayat kehakiman (otopsi forensik), serta bedah mayat untuk menyelamatkan nyawa janin yang ada diperutnya ataupun mengeluarkan barang berharga. Alasannya karena darurat, menolah mafsadah lebih didahulukan daripada menarik mashlahah, memilih memakai nash dalam arti kontekstual dan mendahulukan kepentingan orang hidup daripada kemashlahatan mayat 2. Karena kebolehannya semata-mata alasan darurat, maka dalam praktik pembedahan mayat mesti dilakukan hanya sebatas yang diperlukan, tidak berlebihan dan tetap menghormatinya.

Você também pode gostar