Você está na página 1de 9

Analisis Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.

410 K/Pdt/1995
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang meninggal dunia, maka yang menjadi masalah adalah tentang harta peninggalan yang ditinggalkannya. Pada umumnya dalam pembagian harta peninggalan itu dapat diselesaikan secara musyawarah, namun apabila timbul sengketa antara ahli waris yang satu dengan ahli waris lainnya, maka pembagian harta peninggalan itu baru dapat diselesaikan melalui pengadilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro : Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka dengan sendirinya timbul pertanyaan, apakah yang akan terjadi dengan perhubungan-perhubungan hokum yang mungkin sekali sangat erat sifatnya pada waktu si manusia itu masih hidup. Tidak cukup dikatakan, bahwa perhubungan-perhubungan hukum itu juga lenyap seketika itu, oleh karena biasanya pihak yang ditinggalkan oleh pihak yang meninggal itu, tidak merupakan seorang manusia saja atau sebuah barang saja, dan juga oleh karena hidupnya seorang manusia yang meninggal dunia itu, berpengaruh langsung pada kepentingan-kepentingan beraneka warna dari berbagai orang lain dari masyarakat, dan kepentingan-kepentingan ini, selama hidup orang itu, membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian oleh orang itu, kalau tidak dikehendaki kegoncangan dalam masyarakat. Maka dari itu, di tiap-tiap masyarakat dibutuhkan suatu peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat sendiri selamat, selaku tujuan dari segala hokum.[1] Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Menurut A. Pitlo : Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.[2] Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud : perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.[3] Menurut Hilman Hadikusuma : Di dalam KUH Perdata (BW) tidak ada pasal tertentu yang memberikan pengertian tentang hukum waris. Kita hanya dapat memahami sebagaimana dikatakan dalam pasal 830 KUH

Perdata bahwa Pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Dengan demikian pengertian hukum waris barat menurut KUHPerdata, ialah tanpa adanya orang yang mati dan meninggalkan harta kekayaan maka tidak ada masalah pewarisan.[4] Supaya terdapat pewarisan harus dipenuhi beberapa syarat yakni: 1. Harus ada orang yang meninggal dunia untuk menjadi pewaris. Pengertian meninggal dunia, pertama-tama tentulah apa yang dinamakan kematian alami (natuurlijke dood). 2. Harus ada orang yang mewaris (ahli waris) Ahli waris itu harus sudah ada pada saat kematian pewaris (pasal 836) dengan mengindahkan ketentuan pasal 2 bahwa anak yang masih dalam kandunganpun dianggap sudah lahir. Anak yang masih dalam kandungan sudah berhak mewaris asal saja tidak ternyata di kemudian hari bahwa anak itu lahir dalam keadaan mati. Dalam rangka syarat-syarat pewarisan ini perlu diperhatikan pasal 831 yang menentukan bahwa jika beberapa orang di mana yang seorang adalah (calon) ahli waris dari yang lainnya, meninggal dunia karena kecelakaan yang sama atau pada hari yang sama tanpa dapat diketahui siapakah di antara mereka yang terlebih dahulu meninggal dunia, maka mereka dianggap meninggal dunia pada saat yang sama dan karena itu tidak terjadi pewarisan dari yang seseorang kepada yang lainnya itu. 3. Orang yang seharusnya mewaris itu bukanlah orang yang tidak pantas untuk mewaris (onwaardig om te erven). Dalam hukum waris dikenal dua jenis ahli waris yaitu: 1) Ahli waris menurut undang-undang, disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris ab intestato. Yang termasuk dalam golongan ini ialah : a) Suami atau isteri (duda/janda) dari si pewaris (si mati). b) Keluarga-sedarah yang sah (wettige bloedverwanten) dari si pewaris. c) Keluarga-sedarah alami (natuurlijke bloedverwanten) dari si pewaris. 2) Ahli waris menurut surat wasiat (ahli waris testamentair). Yang termasuk dalam golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya. Yang diangkat menjadi ahli waris testamentair boleh saja keluarga sedarah, keluarga semenda, sahabat karib bahkan badan hukumpun boleh diangkat menjadi ahli waris. Keluarga semenda (aanverwanten) dari si pewaris tidak mewaris berdasarkan undang-undang. Mereka hanya berhak mewaris jika pewaris menunjuk/mengangkatnya sebagai ahli waris dengan surat wasiat. Pasal 1121 KUH Perdata berbunyi : Para keluarga sedarah dalam garis ke atas diperbolehkan, dalam suatu wasiat atau dalam suatu akta notaris, membuat suatu pembagian dan pemisahan harta-benda mereka di antara para keturunannya atau di antara mereka ini dan suami atau isteri mereka yang hidup terlama. Pasal 1122 KUH Perdata berbunyi : Jika tidak semua benda yang ditinggalkan oleh keluarga sedarah dalam garis ke atas di kala meninggalnya, termasuk di dalam pembagian tersebut, maka benda-benda yang tidak telah terbagi itu harus dibagi menurut undang-undang. Pasal 119 KUH Perdata berbunyi :

(1) Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. (2) Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri. Pasal 124 KUH Perdata berbunyi : (1) Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu. (2) Ia boleh menjualnya, memindah tangankannya dan membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140 (3) Ia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang bergerak, apabila bukan kepada anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk memberi suatu kedudukan. (4) Bahkan ia tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai suatu barang yang khusus, apabila ia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang itu. Pada Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 Peneliti merasa tertarik untuk menganalisis kasus pada putusan tersebut karena dalam kasus tersebut harta warisan yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga yang menjadi hak alm. Ngatminah dan alm. Kastanjam yang sudah meninggal dan tidak mempunyai keturunan akan tetapi warisannya dinikmati oleh pihak lain karna mengaku sebagai ahli waris alm. Ngatminah tetapi alm. Kastanjam meninggalkan Saudara. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam analisis ini adalah : 1. Apa Hak Penerima waris jika dalam pewarisannya terjadi sengketa ? 2. Bagaimana Pembagian Harta Gono-gini Pada Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 ?

C. Tujuan Masalah Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka tujuan Analisis ini adalah : 1. Untuk mengetahui Apa Hak Penerima waris jika dalam pewarisannya terjadi sengketa? 2. Untuk mengetahui Bagaimana Pembagian Harta Gono-gini Pada Putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 ?

BAB II Tinjauan Teoritis Tentang Harta Gono-gini/ Harta Bersama A. Pengertian Harta Gono-Gini Istilah gono-gini merupakan sebuah istilah hukum yang popular di masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:330), istilah yang digunakan adalah gono-gini,yang secara hukum artinya, Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri. Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, pengertian harta gono-gini yaitu Harta perolehan selama bersuami istri. Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional. Sedangkan menurut Drs. Fachtur Rahman (Ilmu Mawaris :42), memberikan definisi bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan dimana keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumahtangga. Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adapt yang berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan

dengan haeruta sihareukat; di Minangkabau masih dinamakan harta suarang; di Sunda digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro; dan di Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan.[5] Dengan berjalannya waktu,rupanya istilah gono-gini lebih populer dan dikenal masyarakat,baik digunakan secara akademis,yuridis,maupun dalam perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya. B. Dasar Hukum Harta Gono-Gini Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini) .Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita. Percampuran harta kekayaan (harta gono-gini) berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan. Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat ditelusuri melalui Undang-Undang ,hukum islam, hukum adat dan peraturan lain,seperti berikut:[6] 1. UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta gono-gini. 2. KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri. 3. KHI pasal 85,disebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri.Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini). 4. KHI pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan.

C. Pembagian Harta Bersama Dalam Pasal 37 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separoh dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Ketentuan tersebut sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember 1959 yang mengandung abstraksi hokum bahwa apabila terjadi perceraian, maka masing-masing pihak (suami dan istri) mendapatkan setengah bagian dari harta bersama mereka. Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-gini atau harta bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka pembagiannya bisa

ditentukan berdasarkan kesepakatanatau kerelaan antara kedua belah pihak. Cara ini adalah sah, dan cara terbaik untuk penyelesaian. Dengan demikian, pembagian harta gono-gini dapat ditempuh melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan tanpa adanya unsure keterpaksaan

BAB III Hasil analisis Dan Pembahasan A. Warisan yang berasal dari Harta Gono-gini menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 410K/Pdt/1995. Bahwa pernah Hidup suami istri Kastanjam dan Ngatminah yang keduanya telah meninggal dunia, dimana dalam perkawinan tersebut tidak dikaruniai anak dan tidak mengangkat anak, lalu alm. Ngatminah tidak mempunyai saudara, sedangkan alm. Kastanjam mempunyai saudara kandung yang bernama Waturi dan Karbunga. Bahwa selain meninggalkan saudara kandung juga mereka meninggalkan harta kekayaan berupa: Tanah pekarangan dan bangunan rumah dalam Buku C Desa No. 656, persil No. 3d.1, yang letak, luasnya serta batas-batasnya seperti tersebut dalam gugatan. Tanah tegalan dengan persil No. 17b, d.III yang letak, luas serta batas-batasnya seperti tersebut dalam gugatan Bahwa tanah tegalan kecil dari tanah tegalan ada yang dijual Nuryani kepada tergugat asli III. Bahwa karena alm. Kastanjam tidak mempunyai anak, maka sewajarnya tanah sengketa diserahkan kepada para penggugat asli sebagai ahli warisnya Bahwa tanah tegalan sejak meninggalnya Ngatminah dinikmati para Tergugat asli, maka sudah sewajarnya tergugat asli dibebani ganti rugi sejak tahun 1986 sampai tanah sengketa diserahkan kepada para penggugat asli Bahwa mohon kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan sita jaminnan tgerhadap barang sengketa

Bahwa mohon agar putusan ini dapat dijalankanlebih dahulu walaupun ada verzet, banding atau kasasi.

Keputusan Mahkamah Agung Melihat pertimbangan Pengadilan Negeri, Putusan Pengadilan Negeri, Pertimbangan Pengadilan Tinggi, Putusan Pengadilan Tinggi dan Kasasi, Mahkamah agung mempertimbangkan : Bahwa keberatan penggugat dapat dibenarkan karena Judex Facti telah salah menerapkan Hukum Dengan Pertimbangan: Bahwa sesuai dengan B.A.P setempat tanggal 13 Maret 1993, Pn telah mengadakan pemeriksaan setempat yang hasilnya batas tanah sengketa tersebut sesuai dengan batas tanah yang ada pada gugatan para pemohon Kasasi/ penggugat asal, oleh sebab itu obyek gugatan sudah jelas, dengan demikian terbukti bahwa obyek sengketa merupakan peninggalan alm Kastanjam, sehingga Para pemohon Kasasi/ penggugat asal sebagai ahli waris alm. Kastanjam berhak atas objek sengketa, dengan demikian pertimbangan hokum dan putusan Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar. Dengan demikian Mahkamah Agung memutus: Mengabulkan permohonan Kasasi dari para Pemohon Kasasi tersebut Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 31 maret 1994 No. 685/Pdt/ 1993/PT. Sby; Mengadili sendiri: Dalam Konpensi: Dalam Eksepsi: Menolak eksepsi Tergugat I Dalam pokok perkara: Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian Menyatakan bahwa para penggugat adalah ahli waris yang sah dari alm. Kastanjam Menyetakan bahwa tanah pekarangan rumahnya dalam buku C desa No. 656, persil No. 3d.1, luas 0,009 Ha atas nama Kastanjam adalah harta peninggalan kastanjam yang merupakan hak para penggugat Memerintahkan kepada siapa saja yang menguasai tanah dan rumah tersebut diatas baik langsung maupun tidak langsung, untuk menyerahkan kepada para penggugat dalam keadaan kosong dan bilamana perlu dengan bantuan alat Negara. Pembagian waris berkenaan dengan harta gono-gini menurut Putusan tersebut adalah warisan yang berasal dari harta gono-gini haruslah dibagi secara adil kepada semua ahli warinya, dimana pada kasus tersebut pewaris yang tidak mempunyai anak sebagai pewaris di golongan pertama, sementara sipewaris hanya meninggalkan saudara kandung maka secara langsung warisan tersebut menjadi hak saudara kandung tersebut karena merupakan ahli waris pada

golongan kedua. Sesuai dengan Pasal 856 KUHPerdata yang isinya, Apabila simeninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan baik bapak maupun ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian saudara laki-laki dan perempuan dari si meninggal. Jadi sudah jelas bahwa memang seharusnya pada kasus tersebut Waturi dan Karbungalah yang berhak atas pewarisan dari alm. Kastanjam sebagai ahli warisnya.[7] B. Hak Ahli Waris terhadap Sengketa Pewarisan Dari ringkasan kasus, penulis tidak menemukan pertentangan terhadap putusan dari Mahkamah Agung karena sudah sesuai dengan kaidah hokum yang berlaku, dimana dalam putusannya telah mengabulkan gugatan penggugat sebagai ahli waris yang haknya sudah diambil oleh pihak yang tidak memiliki hak waris. Sesuai dengan Pasal 834 KUHPerdata, Tiap-tiap waris berhak memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka, yang baik atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hakpun menguasai seluruh atau sebagaian harta peninggalan, sepertipun terhadap mereka, yang secara licik telah menghentikan penguasaannya. Ia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan, jika ia adalah waris astu-satunya, atau hanya untuk sebagian, jika ada beberapa waris lainnya. Gugatan demikian adalah untuk menuntut, supaya diserahkan kepadanya, segala apa yang dengan dasar hak apapun juga terkandung dalam warisan beserta segala hasil, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan termaktub dalam bab ketiga buku ini terhadap gugatan akan pengembalian barang milik.[8] Pasal 834 KUHPerdata mengatur bahwa ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya (besit = penguasaan). Ketentuan ini juga terkait dengan Pasal 874KUHPerdata yang menegaskan bahwa segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah Selain itu dalam putusannya Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 tersebut menyatakan bahwa tanah pekarangan rumahnya dalam buku C desa No. 656, persil No. 3d.1, luas 0,009 Ha atas nama Kastanjam adalah harta peninggalan kastanjam yang merupakan hak para penggugat. Penggugat disini sebagai ahli waris yang Sesuai dengan Pasal 856 KUHPerdata karena simeninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan baik bapak maupun ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak si penggugat karena merupakan saudara laki-laki dan perempuan dari si meninggal.

BAB IV Penutup A. Kesimpulan

Setelah penulis membahas dan menganalisis permasalahan dalam kasus tentang Warisan yang berasal dari harta Gono-gini pada putusan Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995, maka penulis membuat kesimpulan sebagi berikut : 1. Pasal 834 KUHPerdata, Tiap-tiap waris berhak memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka, yang baik atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hakpun menguasai seluruh atau sebagaian harta peninggalan, sepertipun terhadap mereka, yang secara licik telah menghentikan penguasaannya. Ia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan, jika ia adalah waris astu-satunya, atau hanya untuk sebagian, jika ada beberapa waris lainnya. Gugatan demikian adalah untuk menuntut, supaya diserahkan kepadanya, segala apa yang dengan dasar hak apapun juga terkandung dalam warisan beserta segala hasil, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan termaktub dalam bab ketiga buku ini terhadap gugatan akan pengembalian barang milik. 2. Pasal 856 KUHPerdata yang isinya, Apabila simeninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan baik bapak maupun ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian saudara laki-laki dan perempuan dari si meninggal. Jadi sudah jelas bahwa memang seharusnya pada kasus tersebut Waturi dan Karbungalah yang berhak atas pewarisan dari alm. Kastanjam sebagai ahli warisnya.

[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Cet. II, Sumur Bandung, Bandung, 1983, hal. 7. [2] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 7. [3] J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hal. 8. [4] Hilman Hadikusuma,Op. Cit., hal. 5. [5] Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, Bulan bintang, Jakarta, 1965 hal 18 [6] Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara,

bandung, 2010 [7] Pasal 856 KUHPerdata. [8] Pasal 834 KUHPerdata

Você também pode gostar