Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
MUHAMMAD ILYAS
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Biosains Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ABSTRACT
European E. fetida and L. rubellus are the most common earthworm species
used in vermicomposting. Pheretima sp. is a native Asian earthworm having
capability to decompose organic wastes. Therefore, the aim of the present study
was to determine the effectiveness of combination of the three earthworm species
in vermicomposting of sonokeling leaves litter by determining (1) their
consumption rate, (2) their growth, and (3) their fecundity. Two ratios between
earthworms and leaves litter were applied i.e. ratio 1:1 (R1) and ratio 2:1 (R2).
The consumption rate was measured by counting the percentage of organic waste
consumed by earthworms weekly. Earthworm growth was measured by weighing
their biomass weekly. The number of produced cocoons were used to predict their
fecundity. The results showed that combination of earthworm species affected the
consumption rate significantly in both ratio (P<0.05). In the first week, earthworm
biomass increased in R1 ratio, but it tended to decrease in R2 ratio. The highest
number of cocoons in R1 ratio was found in L. rubellus, whereas in R2 ratio, it
was found in E. fetida in the first week. Cocoon incubation period in Pheretima
sp. was faster than the others. The cocoons of L. rubellus showed the highest
number of hatchlings (4.2±0.8 individuals) per cocoon. Chemical composition of
vermicompost among the three species of earthworms were not different
significantly (P>0.05) except in potassium.
Kata kunci: vermicomposting, cacing tanah, laju konsumsi, bahan organik, rasio
C:N.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Vermicomposting
sampah daun sonokeling (Dalbergia latifolia) Menggunakan Tiga Spesies Cacing
Tanah (Pheretima sp., Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus)” dengan baik dan
tepat waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Biologi, Mayor Biosains Hewan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tesis ini tidak akan tersusun tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si dan
Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc, selaku komisi pembimbing yang telah memberikan
arahan dan bimbingan selama penelitian hingga akhir penulisan tesis;
Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc, selaku penguji luar komisi pembimbing; Bapak Rudi,
selaku peternak cacing tanah yang telah menyediakan cacing tanah sebagai objek
penelitian; Hari Nugroho, S.Si, selaku Staf Peneliti di Laboratorium Entomologi,
Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI yang telah membantu penulis dalam
mengidentifikasi cacing tanah; Staf Laboratorium Tanah SEAMEO BIOTROP
Bogor atas bantuannya menganalisa kandungan kimiawi vermikompos.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Departemen Agama
Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa pendidikan Pascasarjana di
Institut Pertanian Bogor, Dr. Bambang Suryobroto, Dr. Dedi Duryadi S, DEA,
Dr. Achmad Farajallah, M.Si, Dr. RR. Dyah Perwitasari, M.Sc, Dr. Tri Atmowidi,
M.Si, Berry Juliandi, S.Si, M.Si, Dra. Taruni Sri Prawasti, dan seluruh staf
laboratorium Zoologi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat
bermanfaat. Tidak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh
rekan mahasiswa Mayor Biosains Hewan IPB dan keluarga besar Pesantren Ar-
Raudhatul Hasanah Medan atas doa, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan.
Disamping itu, ucapan terima kasih yang sangat dalam penulis sampaikan
kepada kedua orang tua tercinta dan seluruh keluarga besar penulis yang telah
memberikan doa, bantuan, dan dukungan selama proses pendidikan.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga
tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Muhammad Ilyas
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 13 Juni 1981 dari Bapak
H. M. Tumin S dan Ibu Hj. Marni. Penulis merupakan anak keempat dari empat
bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari Madrasah Aliyah Pesantren Ar-Raudhatul
Hasanah Medan, dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk
Universitas Negeri Medan jurusan Pendidikan Biologi melalui jalur Ujian Masuk
Perguruan Tinggi Negeri. Tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Biologi, Mayor Biosains
Hewan melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah yang diselenggarakan oleh
Departemen Agama Republik Indonesia.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
mata kuliah Fungsi Hayati Hewan pada tahun ajaran 2008/2009. Pada tahun 2008
penulis dipilih menjadi peserta terbaik dalam Workshop Pembuatan Media
Pendidikan Interaktif (E-book) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa
Ilmu Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Penulis merupakan salah satu staf pengajar mata pelajaran Biologi di
Madrasah Aliyah Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Pada Tahun 2004-
2007 menjabat sebagai staf laboratorium Biologi.
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN ................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ............................................................................... 3
Manfaat Penelitian ............................................................................. 3
METODE ................................................................................................ 15
Waktu dan Lokasi .............................................................................. 15
Tahap Persiapan ................................................................................. 15
Tahap Percobaan ................................................................................ 16
Pengukuran Parameter Biologi Cacing Tanah ................................... 18
Laju konsumsi bahan organik ...................................................... 19
Pertumbuhan cacing tanah ........................................................... 19
Produktivitas cacing tanah ........................................................... 19
Analisa komposisi kimiawi vermikompos ................................... 20
Analisa Data ....................................................................................... 20
HASIL ..................................................................................................... 21
Laju Konsumsi Bahan Organik .......................................................... 21
Pertumbuhan Cacing Tanah ............................................................... 23
Produktivitas Cacing Tanah ............................................................... 25
Komposisi Kimiawi Vermikompos ................................................... 29
PEMBAHASAN ..................................................................................... 30
Laju Konsumsi Bahan Organik .......................................................... 30
Pertumbuhan Cacing Tanah ............................................................... 32
Produktivitas Cacing Tanah ............................................................... 34
Komposisi Kimiawi Vermikompos ................................................... 37
LAMPIRAN ............................................................................................ 47
DAFTAR TABEL
Halaman
12 Variasi ukuran dan bentuk kokon cacing tanah: Pheretima sp. (a),
E. fetida (b), dan L. rubellus (c) ............................................................ 27
Halaman
Latar Belakang
Sampah daun berpotensi sebagai sumber nutrisi yang sangat bermanfaat
dalam pertanian. Namun, potensi ini tidak tereksploitasi. Dekomposisi sampah
daun dapat menyuburkan tanah dan menyediakan nutrisi bagi tumbuhan. Sampah
daun mangga (Mangifera indica) telah didekomposisi menjadi kompos oleh
cacing tanah Eudrilus eugeniae (Gajalakshmi et al. 2005). Manimegala et al.
(2008) menemukan bahwa sampah daun Leucaena glauca yang dicampur dengan
kotoran sapi dapat mendukung pertumbuhan dan produksi kokon pada cacing
tanah E. fetida. Sampah daun sonokeling (Dalbergia latifolia) merupakan sampah
yang tersebar luas di lingkungan. Namun pengelolaannya menjadi sumber nutrisi
yang bermanfaat bagi tanah dan tumbuhan belum dilakukan.
Pengelolaan sampah daun dapat dilakukan dengan cara pengomposan.
Pengomposan adalah pembusukan sisa-sisa bahan organik secara aerob dengan
cara mendegradasi zat organik menjadi CO2, H2O, NH3, zat-zat anorganik dan
bahan organik yang mengandung substansi humus atau kompos (Senesi 1989).
Akan tetapi, pengelolaan sampah dengan cara pengomposan tradisional
membutuhkan waktu yang cukup lama. Mikroorganisme yang terlibat di
dalamnya aktif pada suhu termofilik (45-65 oC) (Dominguez et al. 1997a). Cara
alternatif dalam pengelolaan sampah organik adalah dengan vermicomposting.
Vermicomposting adalah proses dekomposisi bahan organik yang
melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan mikroorganisme. Mikroorganisme
yang berperan dalam proses vermicomposting terutama bakteri, fungi dan
actinomycetes (Dominguez et al. 1997a). Selama proses vermicomposting, zat
nutrisi tumbuhan yang penting seperti nitrogen, kalium dan fosfor yang terdapat di
dalam bahan makanan diubah melalui aktivitas mikroorganisme menjadi bentuk
yang lebih mudah diserap oleh tumbuhan (Ndegwa & Thompson 2001). Laju
mineralisasi bahan-bahan organik bertambah cepat (Albanell et al. 1988).
Vermicomposting menghasilkan dua manfaat utama, yaitu biomassa cacing tanah
dan vermikompos (Sharma et al. 2005).
Vermicomposting berbeda dari pengomposan tradisional dalam beberapa
hal. Proses vermicomposting lebih cepat dari pada pengomposan tradisional,
karena bahan-bahan organik melewati sistem pencernaan cacing tanah yang
mengandung banyak aktivitas mikroorganisme yang membantu proses
dekomposisi bahan organik (Dominguez et al. 1997a). Vermicomposting
mengubah sampah organik menjadi kompos dalam 30 hari, menurunkan rasio C:N
dan meningkatkan kandungan N total lebih tingi dari pada pengomposan
tradisional (Gandhi et al. 1997; Lazcano et al. 2008).
Vermikompos yang dihasilkan dari proses vermicomposting memiliki
struktur, porositas, aerasi, drainase dan kapasitas menahan kelembaban yang
sangat baik (Dominguez et al. 1997a). Vermikompos mengandung banyak
aktivitas, populasi dan keanekaragaman mikroorganisme. Vermikompos juga
mengandung beberapa enzim seperti protease, amilase, lipase, selulase, dan
kitinase (Subler et al. 1998), serta zat pengatur tumbuh seperti giberelin, sitokinin
dan auksin (Tomatti et al. 1988). Subler et al. (1998) menemukan bahwa
vermikompos cenderung memiliki nilai pH lebih rendah, konsentrasi nutrisi lebih
tinggi, terutama nitrogen dari pada kompos alami.
Cacing tanah memiliki peranan yang penting dalam menghancurkan bahan
organik sehingga dapat memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan
menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan
cacing tanah dapat meningkatkan populasi mikroorganisme yang bermanfaat bagi
tanaman. Cacing tanah juga dapat mendekomposisi sampah organik menjadi
humus (Sharma et al. 2005)
Pada umumnya cacing tanah yang digunakan pada proses
vermicomposting adalah cacing tanah jenis epigeic. Cacing tanah epigeic
merupakan cacing tanah pemakan sampah (Lee 1985). Cacing tanah epigeic
memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan dengan cacing tanah anecic dan
endogeic (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002). E. fetida dan L. rubellus merupakan
cacing tanah yang tergolong ke dalam kelompok epigeic (Lee 1985), sedangkan
Pheretima sp. tidak diketahui statusnya di dalam klasifikasi berdasarkan kategori
ekologi.
E. fetida dan L. rubellus merupakan spesies cacing tanah epigeic yang
sangat toleran terhadap suhu lingkungan (Reinecke et al. 1992). Potensi E. fetida
dan L. rubellus dalam mendekomposisi sampah organik telah dipelajari oleh
beberapa peneliti (Albanell 1988; Reinecke et al. 1992; Delgado et al. 1995;
Gunadi et al. 2003; Garg et al. 2005; Aira et al. 2006a). Spesies cacing tanah dari
genus Pheretima yang mendominasi wilayah Indonesia belum diketahui
potensinya dalam mengelola sampah organik.
Di alam, beberapa spesies cacing tanah yang berbeda dapat hidup pada
habitat yang sama, masing-masing cacing tanah menempati relung yang berbeda
dan menggunakan substrat yang berbeda sebagai bahan makanan. Oleh karena itu,
pemanfaatan campuran beberapa spesies cacing tanah (spesies kombinasi) pada
proses vermicomposting kemungkinan dapat mencapai stabilisasi bahan organik
yang lebih tinggi daripada spesies tunggal.
Kombinasi beberapa spesies cacing tanah dapat mendekomposisi bahan
organik lebih efisien (Sinha et al. 2002; Khwairakpam & Bhargava 2009). Akan
tetapi, Loehr et al. (1985) menemukan bahwa kombinasi beberapa spesies tidak
menunjukkan keunggulan yang signifikan dibandingkan dengan biakan spesies
tunggal dalam proses vermicomposting.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini
bertujuan mengkaji efektivitas penggunaan spesies cacing tanah Pheretima sp.,
E. fetida, dan L. rubellus dalam mengelola sampah daun baik secara tunggal
maupun kombinasi dengan rasio antara cacing tanah dan sampah daun yang
berbeda terhadap: (1) laju konsumsi bahan organik, (2) pertumbuhan cacing tanah,
dan (3) produktivitas cacing tanah.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah sebagai bahan
masukan dalam pengelolaan sampah dedaunan menggunakan metode
vermicomposting.
TINJAUAN PUSTAKA
Vermicomposting
Dominguez et al. (1997a) mendefinisikan vermicomposting sebagai proses
dekomposisi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan
mikroorganisme. Mikroorganisme yang berperan dalam proses vermicomposting
terutama bakteri, fungi, dan actinomycetes.
Selama proses vermicomposting, nutrisi pada tumbuhan yang penting seperti
nitrogen, kalium, dan fosfor yang terdapat di dalam bahan makanan diubah
melalui aktivitas mikroorganisme menjadi bentuk yang lebih mudah diserap oleh
tumbuhan (Ndegwa & Thompson. 2001). Pada proses ini cacing tanah mengubah
aktivitas mikroorganisme (Aira et al. 2002), sehingga laju mineralisasi bahan-
bahan organik bertambah cepat (Albanell et al. 1988). Beberapa enzim yang
terlibat di dalam dekomposisi bahan organik adalah dehidrogenase, protease,
glukosidase, dan fosfatase (Lazcano et al. 2008). Vermicomposting menghasilkan
dua manfaat utama, yaitu biomassa cacing tanah dan vermikompos (Sharma et al.
2005).
Vermikompos merupakan bahan organik seperti tanah yang memiliki
struktur, porositas, aerasi, drainase, dan kapasitas menahan kelembaban yang
sangat baik (Dominguez et al. 1997a). Vermikompos mengandung banyak
aktivitas, populasi, dan keanekaragaman mikroorganisme. Vermikompos juga
mengandung beberapa enzim seperti protease, amilase, lipase, selulase, dan
kitinase (Subler et al. 1998), serta zat pengatur tumbuh seperti giberelin, sitokinin,
dan auksin (Tomatti et al. 1988).
Syarat-syarat biologi cacing tanah yang digunakan dalam proses
vermicomposting terdiri atas: tingkat produksi kokon yang tinggi, waktu
perkembangan kokon yang pendek, keberhasilan penetasan kokon yang tinggi,
dan memiliki laju reproduksi yang tinggi (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002).
Selain itu, tingkat konsumsi bahan organik yang tinggi pada cacing tanah dan
toleran terhadap perubahan lingkungan yang luas juga merupakan sebagian syarat
biologi cacing tanah yang dapat dimanfaatkan untuk mendekomposisi bahan
organik (Edwards 1998; Dominguez et al. 2000).
Beberapa spesies cacing tanah yang memenuhi syarat biologi dan digunakan
dalam proses vermicomposting adalah: E. fetida (Albanell 1988), (Reinecke et al.
1992), (Gunadi et al. 2003), (Garg et al. 2005), (Aira et al. 2006a); E. andrei
(Dominguez et al. 2000); L. rubellus (Delgado et al. 1995); L. terrestris, Eudrilus
eugeniae (Banu et al. 2008); Perionyx excavatus, dan P. sansibaricus (Suthar
2007a; Suthar & Singh 2008).
Anecic
Liang
Endogeic
Gambar 1 Klasifikasi cacing tanah berdasarkan kategori ekologi (Lee 1985)
Cacing tanah jenis anecic hidup di dalam sistem liang vertikal yang lebih
permanen, yang dapat meluas beberapa meter ke dalam tanah (Gambar 1). Cacing
tanah jenis ini dapat di temukan di dalam liang yang dangkal atau dalam
tergantung pada kondisi tanah yang baik sebagai habitatnya. Cacing tanah anecic
mengeluarkan sisa pencernaannya (casting) pada permukaan tanah dan muncul di
malam hari untuk memakan sampah pada permukaan tanah, kotoran, dan bahan
organik lain yang diturunkan ke dalam liangnya. Laju reproduksinya relatif
lambat, terbukti dari produksi kokonnya. Cacing tanah anecic memiliki peran
yang sangat besar dalam dekomposisi bahan organik, siklus makanan, dan
pembentukan tanah (Lavelle 1988). Lumbricus terrestris, Aporrectodea
trapezoids, dan Allolobophora longa termasuk dalam kelompok kategori ini.
Klitelum Kepala
Klitelum
Reproduksi
cacing tanah
Juvenil
c d
Sistem pencernaan
Sistem pencernaan cacing tanah terdiri atas rongga mulut, faring, esofagus,
tembolok, lambung, dan usus. Cacing tanah memperoleh makanan dari bahan
organik berupa organ tumbuhan, protozoa, rotifera, nematoda, bakteri, fungi, dan
sisa-sisa pembusukan hewan (Edwards & Lofty 1972).
Bagian tubuh cacing tanah dikelompokkan ke dalam tiga daerah berdasarkan
pada segmen tubuhnya (Gansen 1962). Daerah yang pertama adalah daerah
penerimaan, yang terdapat pada segmen 1-14. Daerah ini terdiri atas mulut yang
peka, esofagus, dan kelenjar faring tak berpembuluh yang mensekresi getah asam
yang mengandung enzim amilase.
Daerah yang kedua adalah daerah sekresi, yang terdapat pada segmen 15-44.
Daerah ini terdiri atas tembolok, yang menuju ke lambung dan usus. Cacing tanah
mensekresi dua enzim protease dan satu enzim amilase terutama dari “sel piala”
dinding usus yang mensekresi banyak getah. Beberapa enzim yang berbeda
berasal dari daerah ini untuk spesies lain, seperti lipase dan protease (Arthur
1965) serta selulase dan kitinase (Tracey 1951). Makanan yang telah dicerna
melintasi aliran darah di sepanjang epithelium usus dan dialirkan ke berbagai
bagian tubuh dan jaringan untuk digunakan dalam proses metabolisme dan
sebagai cadangan makanan.
Daerah yang ketiga terdapat pada segmen 44 sampai ke anus, disebut daerah
absorpsi. Pada daerah ini, bahan-bahan makanan yang tidak tercerna di dalam
usus diselubungi oleh membran peritrofik yang melapisi usus. Ketika bahan-
bahan makanan diekskresi, membran tersebut akan membungkus casting (sisa
pencernaan/kotoran cacing) (Gansen 1962).
Sistem ekskresi
Organ ekskresi yang terpenting pada cacing tanah adalah nefridia. Organ
tersebut mengekstraksi bahan-bahan limbah dari cairan selom dan
mengeluarkannya ke luar tubuh melalui nefridiofor sebagai urin yang
mengandung amonia dan urea. Cairan selom yang mengandung material eksresi
melintas melalui nefrostom dan dilanjutkan ke tabung nefridia oleh gerakan silia.
(Edwards & Lofty 1972).
Nefridia berperan sebagai penyaring diferensial. Disebut demikian karena
terdapat lebih banyak urea dan amonia, tetapi lebih sedikit kreatinin dan protein di
dalam urin yang dihasilkan daripada di dalam cairan selom (Ramsay 1949).
Nefridia memiliki tiga fungsi pada proses ekskresi, yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan
transformasi kimiawi (Bahl 1947).
Cacing tanah mengekskresikan zat-zat nitrogen dari dinding tubuh sebagai
mukus. Mukus ini berperan sebagai pelumas, mengikat partikel tanah untuk
membentuk dinding liang, dan membentuk lapisan pelindung yang melawan
bahan-bahan beracun. Sekitar setengah nitrogen total yang diekskresikan per hari
terdapat di dalam mukus ini (Edwards & Lofty 1972). Beberapa cacing tanah
seperti Pheretima memiliki kelenjar limfa, tempat akumulasi sel-sel ameba. Sel-
sel ameba juga terdapat di dalam darah, beberapa sel ameba tersimpan di dalam
dinding usus, dan selanjutnya masuk ke dalam usus untuk diekskresikan bersama
feses (Edwards & Lofty 1972).
Sistem saraf
Sistem saraf cacing tanah terdiri atas sebuah ganglion serebral dorsal,
sepasang konektif sirkumentrik dan satu atau lebih tali saraf longitudinal.
Ganglion serebral dorsal menyuplai saraf bagian anterior tubuh dan saraf
prostomial. Pengontrolan pergerakan tubuh cacing tanah diatur oleh ganglion
subenterik. Sedangkan konektif sirkumenterik dan tali saraf longitudinal
mengontrol saraf sensoris dan motoris keseluruhan dinding tubuh serta organ di
setiap tubuh (Edwards & Lofty 1972).
Organ sensoris cacing tanah terdiri atas dua macam, yaitu organ fotoreseptor
dan organ sensoris epitel. Di dalam setiap sel organ fotoreseptor terdapat organel
optik yang berbentuk lonjong atau memanjang. Permukaan luar organel ini terdiri
atas retina, dan permukaan dalam terdiri atas substansi hialin yang transparan.
Organ sensoris epitel merupakan kumpulan dari 35-45 sel-sel yang memanjang
dan besar di bagian dasarnya. Ujung distalnya berakhir pada penonjolan rambut-
rambut sensori sepanjang daerah kutikula yang tipis. Cacing tanah tidak memiliki
mata, tetapi spesies ini memiliki sel-sel sensori yang strukturnya seperti lensa di
daerah epidermis dan dermis, terutama pada prostomium. Bagian tengah dan
prosterior tubuhnya kurang sensitif terhadap cahaya (Laverack 1963).
Cacing tanah sangat respon terhadap rangsangan cahaya, terutama jika tiba-
tiba terpapar cahaya setelah berdiam lama dalam kondisi gelap (Laverack 1963).
Cacing tanah Lumbricus bersifat fotopositif terhadap sumber cahaya yang sangat
lemah, dan fotonegatif terhadap sumber cahaya yang kuat. Akan tetapi cacing
tanah tidak terlalu bereaksi terhadap peningkatan intensitas cahaya yang tiba-tiba
jika telah teradaptasi dalam waktu yang lama dalam kondisi cahaya yang kuat.
Hal itu disebabkan oleh saturasi reseptor cahaya (Hess 1924). Anggota spesies
dari genus Pheretima seluruhnya bersifat fotonegatif terhadap intensitas cahaya
(Howell 1939).
Organ sensoris yang bereaksi terhadap rangsangan kimia (kemoreseptor)
terdapat pada prostomium (Laverack 1963). Kemoreseptor berperan penting
dalam kehidupan cacing tanah. Kemoreseptor dapat mendeteksi dan
mengumpulkan bahan makanan. Kemoreseptor juga dapat digunakan untuk
memberi informasi tentang kondisi lingkungan. Disamping itu, kemoreseptor
berperan dalam proses perkawinan dengan mendeteksi getah mukus yang
dihasilkan oleh cacing tanah yang lain (Smith 1902).
Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan penyiapan populasi cacing tanah, media biak, dan
wadah percobaan. Cacing tanah yang digunakan pada penelitian adalah spesies
Pheretima sp., E. fetida dan L. rubellus yang telah berklitelum (Gambar 3a-c).
Identifikasi spesies cacing tanah dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bidang
Zoologi Puslit Biologi – LIPI, Cibinong. Spesies Pheretima sp. diperoleh dari
dalam kotoran sapi yang berasal dari kandang Fakultas Peternakan IPB,
sedangkan E. fetida dan L. rubellus diperoleh dari Bapak Rudi Rochmat pada
peternakan “Kelompok Cacing Tanah Mandiri” di Desa Warna Sari, Kecamatan
Pengalengan, Kabupaten Bandung. Ketiga populasi cacing tanah dibudidaya di
Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan Departemen Biologi IPB selama 10
bulan. Budidaya bertujuan memperbanyak populasi cacing tanah sehingga dapat
dijadikan sebagai stok pada tahap percobaan. Cacing tanah yang dibudidaya pada
tahap persiapan sebanyak ± 1 kg untuk spesies E. fetida dan L. rubellus, serta ±
1.5 kg untuk spesies Pheretima sp. Budidaya cacing tanah dilakukan dengan
sistem windrow, yaitu sistem budidaya cacing tanah dalam barisan yang disusun
sejajar (Gambar 4a), dan bin, yaitu sistem budidaya cacing tanah yang
menggunakan wadah (Gambar 4b)
Media biak terdiri atas kotoran sapi dan sampah daun dari pohon sonokeling
(Dalbergia latifolia). Kotoran sapi diperoleh dari kandang Fakultas Peternakan
IPB. Kotoran sapi digunakan sebagai starter untuk menyediakan sumber nitrogen
bagi cacing tanah (Muthukumaravel et al. 2008). Sebelum dijadikan sebagai
media biak, kotoran sapi dikering-anginkan dan diaduk secara manual setiap hari
selama 15 hari untuk menguapkan gas beracun (Garg et al. 2005).
Daun pohon sonokeling (D. latifolia) diperoleh dari sekitar Kampus IPB.
Daun dihancurkan secara manual hingga mencapai ukuran partikel ± 5 mm. Ke
dalam media biak ditambahkan tanah untuk membantu proses pencernaan cacing
tanah. Tanah diperoleh dari kebun yang terletak di sekitar Bagian Fungsi Hayati
dan Perilaku Hewan Departemen Biologi IPB. Selama masa budidaya, media biak
diaduk dan disiram dengan air secukupnya untuk mempertahankan suhu (25 oC)
dan kelembaban media (65%). Pengadukan dan penyiraman media biak dilakukan
dengan selang waktu tiga hari.
Wadah percobaan pada penelitian ini berupa wadah plastik dengan panjang,
lebar, dan tinggi 35x31x12.5 cm (Gambar 5a). Seluruh wadah percobaan
dilubangi di bagian bawahnya untuk menciptakan aerasi di dalam wadah.
Tahap Percobaan
Seluruh bahan pada media biak dimasukkan ke dalam masing-masing
wadah percobaan. Selanjutnya populasi cacing tanah dimasukkan ke dalam wadah
yang telah berisi media biak. Kuantitas media biak dan cacing tanah yang
digunakan dalam percobaan ini tertera pada Tabel 1. Seluruh wadah percobaan
disusun bertingkat di atas rak (Gambar 5b).
Percobaan ini terdiri atas dua perlakuan, yaitu: 1) perlakuan spesies cacing
tanah tunggal dan kombinasi, dan 2) perlakuan rasio antara cacing tanah dan
sampah daun. Perlakuan spesies cacing tanah tunggal meliputi P, E, dan L,
sedangkan spesies cacing tanah kombinasi meliputi P+E, P+L, E+L, dan P+E+L.
Perlakuan rasio cacing tanah dan sampah daun terdiri atas 1:1 (selanjutnya disebut
rasio R1), dan 2:1 (selanjutnya disebut rasio R2) (Tabel 1).
Pada rasio R1, biomassa awal cacing tanah yang digunakan adalah 30 gr.
Biomassa tersebut ekivalen dengan ± 50 individu untuk spesies E. fetida, ± 60
individu untuk spesies L. rubellus, dan ± 80 individu untuk spesies Pheretima sp.
Bobot awal sampah daun untuk rasio R1 adalah 210 gr. Pada rasio R2, biomassa
awal cacing tanah yang digunakan adalah 30 gr dengan bobot awal sampah daun
sebesar 105 gr.
a b c
Gambar 3 Spesies cacing tanah yang digunakan dalam penelitian: Pheretima sp.
(a), E. fetida (b), dan L. rubellus (c).
Bin
a b
Gambar 4 Budidaya cacing tanah dengan sistem windrow (a) dan bin (b).
a b
Gambar 5 Wadah percobaan (a), dan penyusunan wadah percobaan di atas rak (b).
Tabel 1 Kuantitas media biak dan cacing tanah yang digunakan dalam percobaan
Biomassa Cacing Sampah Daun
No Perlakuan* Rasio CT : SD*
Tanah (gr) (gr)
1 P 30 210
2 E 30 210
3 L 30 210
1:1
4 P+E 15+15 210
(R1)
5 P+L 15+15 210
6 E+L 15+15 210
7 P+E+L 10+10+10 210
8 P 30 105
9 E 30 105
10 L 30 105
2:1
11 P+E 15+15 105
(R2)
12 P+L 15+15 105
13 E+L 15+15 105
14 P+E+L 10+10+10 105
*Perlakuan; P: Pheretima sp., E: E. fetida, L: L. rubellus. CT : SD: Cacing Tanah:Sampah Daun.
Analisa Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (7 x 2) dengan 4 ulangan. Sebagai
faktor pertama adalah spesies cacing tanah tunggal dan kombinasi: P, E, L, P+E,
P+L, E+L dan P+E+L. Faktor kedua adalah rasio cacing tanah:sampah: 1:1 dan
2:1, sehingga total percobaan adalah 56 unit percobaan.
Data statistik dianalisa menggunakan program SYSTAT 12 for Woindows.
Perbedaan diantara beberapa perlakuan dianalisa dengan Analysis of Variance
(ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada tingkat kepercayaan 95%.
HASIL
30
25
20
15
10
1 2 3 4
Waktu (minggu)
Gambar 6 Laju konsumsi pada perlakuan spesies yang berbeda dengan rasio
antara cacing tanah dan sampah dedaunan 1:1 (R1).
P
50
E
L
45 P+E
P+L
40 E+L
Laju konsumsi (%)
P+E+L
35
30
25
20
15
10
1 2 3 4
Waktu (minggu)
Gambar 7 Laju konsumsi pada perlakuan spesies yang berbeda dengan rasio
antara cacing tanah dan sampah dedaunan 2:1 (R2).
Pertumbuhan Cacing Tanah
Secara umum pertumbuhan cacing tanah pada rasio R1 cenderung menurun
(Gambar 8). Setelah 1 minggu pertumbuhan cacing tanah tertinggi pada perlakuan
spesies tunggal terdapat pada perlakuan E dengan biomassa rata-rata maksimum
46.8±1.2 gr. Pertumbuhan terendah ditunjukkan pada perlakuan P dengan
biomassa rata-rata 29.0±1.1 gr. Pada perlakuan spesies kombinasi, biomassa
tertinggi terdapat pada perlakuan E+L (39.7±3.8 gr), sedangkan biomassa
terendah terdapat pada perlakuan P+E (33.7±4.8 gr). Gambar 8 menunjukkan
biomassa cacing tanah pada seluruh perlakuan bertambah setelah satu minggu,
kecuali pada perlakuan spesies tunggal P yang menunjukkan penurunan biomassa
(29.0±1.1 gr). Setelah 4 minggu, biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan
spesies kombinasi E+L (19.6±1.4 gr), sedangkan biomassa terendah terdapat pada
perlakuan spesies tunggal P (9.9±0.3 gr) (Lampiran 3 & 4).
Seluruh cacing tanah pada rasio R2 mengalami penurunan biomassa sejak
minggu pertama (Gambar 9). Pada perlakuan spesies tunggal, biomassa tertinggi
setelah 1 minggu terdapat pada perlakuan E (26.1±1.0 gr), sedangkan biomassa
terendah terdapat pada perlakuan P (24.7±1.8 gr). Pada perlakuan spesies
kombinasi, biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan E+L (27.1±1.5 gr),
sedangkan biomassa terendah terdapat pada perlakuan P+E (23.1±2.1 gr). Setelah
4 minggu, biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan spesies kombinasi E+L
(13.1±0.9 gr), sedangkan biomassa terendah terdapat pada perlakuan spesies
tunggal P (5.1±0.5 gr) (Lampiran 3 & 4).
Berdasarkan pada hasil penelitian, laju pertumbuhan cacing tanah pada rasio
R1 lebih tinggi dibandingkan dengan rasio R2 (P<0.05). Pada rasio R1, biomassa
rata-rata cacing tanah maksimum sebesar 46.8±1.2 gr, sedangkan pada rasio R2
biomassa rata-rata cacing tanah maksimum sebesar 27.1±1.5 gr.
60
P
E
L
30
20
10
0
0 1 2 3 4
Waktu (minggu)
60
P
E
L
Biomassa rata-rata cacing tanah (gr)
50
P+E
P+L
40 E+L
P+E+L
30
20
10
0
0 1 2 3 4
Waktu (minggu)
60
40
20
0
1 2 3 4
Waktu (minggu)
Gambar 10 Jumlah rata-rata kokon yang diproduksi pada perlakuan spesies yang
berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan 1:1
(R1).
140 P
E
120 L
P+E
P+L
100
Jumlah rata-rata kokon
E+L
P+E+L
80
60
40
20
1 2 3 4
Waktu (minggu)
Gambar 11 Jumlah rata-rata kokon yang diproduksi pada perlakuan spesies yang
berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan 2:1
(R2).
a b c
Gambar 12 Variasi ukuran dan bentuk kokon cacing tanah: Pheretima sp. (a),
E. fetida (b), dan L. rubellus (c).
900
Pheretima sp.
800 E. fetida
700 L. rubellus
Jumlah total kokon
600
500
400
300
200
100
0
0 1 2 3 4
Waktu (minggu)
600
500
400
300
200
100
0
0 1 2 3 4
Waktu (minggu)
25
Masa inkubasi rata-rata (hari)
20
15
10
0
Pheretima sp. E. fetida L. rubellus
Gambar 15 Masa inkubasi rata-rata kokon dari tiga spesies cacing tanah pada
suhu 25 oC.
5
Jumlah rata-rata juvenil
0
Pheretima sp. E. fetida L. rubellus
Kesimpulan
Perlakuan spesies tunggal E. fetida dan spesies kombinasi E. fetida +
L. rubellus pada rasio R1 dan R2 lebih cepat mengkonsumsi sampah daun
sonokeling. Secara ringkas, tingkat laju konsumsi oleh ketiga spesies cacing tanah
pada masing-masing perlakuan adalah: E+L > P+E+L > E > L > P+E > P+L > P.
Laju konsumsi bahan organik dipengaruhi oleh densitas cacing tanah, kualitas dan
kuantitas bahan makanan
Pertumbuhan cacing tanah tertinggi terdapat pada perlakuan spesies tunggal
E. fetida dan spesies kombinasi E. fetida + L. rubellus pada rasio R1 dan R2.
Pertumbuhan cacing tanah bergantung pada ketersediaan dan kualitas bahan
makanan, densitas cacing tanah di dalam media biak, serta pola pertumbuhan
spesies spesifik.
Perlakuan spesies tunggal L. rubellus memproduksi kokon lebih banyak
dibandingkan dengan E. fetida dan Pheretima sp. Perlakuan spesies kombinasi
E. fetida + L. rubellus memproduksi kokon dengan jumlah terbanyak. Seluruh
cacing tanah berhenti memproduksi kokon pada minggu keempat.
Rasio C:N pada vermikompos yang diproduksi oleh Pheretima sp., E. fetida,
dan L. rubellus lebih rendah daripada substrat awal. Kandungan P dan K
meningkat pada vermikompos masing-masing cacing tanah.. Sebagai cacing tanah
lokal, spesies Pheretima sp. dapat menghasilkan vermikompos berkualitas tinggi.
Saran
Berdasarkan pada hasil penelitian, maka disarankan untuk: (1) menggunakan
spesies tunggal E. fetida atau spesies kombinasi E. fetida + L. rubellus dengan
rasio R2 dalam mengelola sampah organik dengan sistem vermicomposting; (2)
meneliti lebih lanjut pengaruh kombinasi spesies cacing tanah terhadap komposisi
kimiawi vermikompos; (3) menambahkan kotoran sapi di dalam media biak sesuai
dengan percobaan jika ketersediaannya tidak mencukupi kebutuhan hidup cacing
tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur DR. 1965. Form and function in the interpretation of feeding in Lumbricid
worms. Viewpoints in Biol 4:204-251.
Barley KP. 1959. Consumption of soil and organic matter by the earthworm
Allolobophora caliginosa. Aust J Agr Res 10:179-188.
Boyle KE, Curry JP, Farrell EP. 1997. Influence or earthworms on soil properties
and grass production in reclaimed cutover peat. Biol Fertil Soils 25:20-26.
Brusca CR, Brusca GJ. 2003. Invertebrates. Sunderland: Sinauer Associates, Inc.
Chaudhari PS, Bhattacharjee G. 2002. Capacity of various experimental diets to
support biomass and reproduction of Perionyx excavatus. Biores Technol
82:147-150.
Delgado M, Bigeriego MWI, Calvo R. 1995. Use of the California red worm in
sewage sludge transformation. Turrialba 45:33-41.
Edwards CA. 1998. The Use of Earthworms in The Break Down and
Management of Organic Wastes. In: Earthworm Ecology. Boca Raton:
CRC Pr.
Edwards CA, Bohlen PJ. 1996. Biology and Ecology of Earthworms. London:
Chapman & Hall.
Edwards CA, Lofty JR. 1972. Biology of Earthworm. London: Chapman & Hall.
Hou J, Qiao Y, Liu G, Renjie D. 2005. The influence of temperature, pH and C/N
ratio on the growth and survival of earthworms in municipal solid waste.
CIGR E-J 7:1-6.
Howell CD. 1939. The responses to light in the earthworm, Pheretima agrestis
Goto and Hatai, with special reference to the function of the nervous
system. J Exp Zool 81:231-259.
Jackson M.L. 1973. Soil Chemical Analysis. New Delhi: Prentice Hall Private Ltd.
Lavelle P. 1988. Earthworm activities and the soil system. Biol Fertil Soils
6:237-251.
Laverack MS. 1963. The Physiology of Earthworms. New York: Pergamon Pr.
Lazcano C, Brandon MG, Dominguez J. 2008. Comparison of the effectiveness
of composting and vermicomposting for the biological stabilization of cattle
manure. Chemosphere 72:1013-1019.
Le Bayon RC, Binet F. 2006. Earthworm changes the distribution and availability
of phosphorus in organic substrates. Soil Biol Biochem 38:235-246.
Lee KE. 1985. Earthworms: Their Ecology and Relationship with Soils and Land
Use. Sydney: Academic Pr.
Lee KE. 1992. Some trends opportunities in earthworm research or: Darwin’s
children. The future of our discipline. Soil Biol Biochem 24:1765-1771.
Loehr RC. Neuhauser EF. Malecki MR. 1985. Factors affecting the
fermistabilization process. Water Res 19:1311-1317.
Loh TC, Lee YC, Liang JB, Tan D. 2005. Vermicomposting of cattle and goat
manures by Eisenia fetida and their growth and reproduction preference.
Biores Technol 96:111-114.
Lowe CN, Butt KR. 2002. Growth of hatchling earthworm in the presence of
adults: interaction in laboratory culture. Biol Fertil Soils 35:204-209.
Manimegala et al. 2008. Role of Leucaena glauca leaf litter on the growth and
reproduction of earthworms Eisenia fetida Savigny. CMU J Nat Sci
7:295-306.
Manna MC, Jha S, Ghosh PK, Acharya CL. 2003. Comparative efficiency of three
epigeic earthworms under different deciduous forest litters decomposition.
Biores Technol 88:197-206.
Moody SA, Briones MJI, Piearce TG, Dighton J. 1995. Selective consumption of
decomposing wheat straw by earthworms. Soil Biol Biochem 27:1209-1213.
Ramsay JA. 1949. The osmotic relations of the earthworm. J Exp Biol 26:46-56.
Reinecke AJ, Venter JM. 1987. Moisture preference, growth and reproduction of
the compost worm Eisenia fetida (Oligochaeta). Biol Fertil Soils 3:135-141.
Reinecke AJ, Viljoen SA, Saayman RJ. 1992. The suitability of Eudrillus
euginae, Perionyx excavatus and Eisenia fetida (Oligochaeta) for
vermicomposting in southern Africa in terms of their temperature
requirements. Soil Biol Biochem 24:1295-1307.
Satchell JE, Lowe DG. 1967. Selection of Leaf Litter by Lumbricus terrestris.
Amsterdam: North Holland Pub.
Senapati BK, Sahu SK. 1993. Reproductive biology (cocoon morphology, live
cycle pattern and life table analysis) in earthworms. Calcutta 1:79-96.
Singh NB, Khare AK, Bhargava DS, Bhattacharya S. 2005. Effect of initial
substrate pH on vermicomposting using Perionyx excavatus (Perrier, 1872).
Appl Ecol Environ Res 4:85-97.
Smith AC. 1902. The influence of temperature, odors, light and contact on the
movements of the earthworm. Am J Physiol 6:459-486.
Tembe VB, Dubash PJ. 1961. The earthworms: a review. J Bombay Nat Hist Soc
58:171-201.
Tiunov AV, Scheu S. 2004. Carbon availability control the growth of detritivores
(Lumbricidae) and their effect on nitrogen mineralization. Oecologia
138:83-90.
Tomatti U, Grapelli A, Galli E. 1988. The hormone like effect of earthworm casts
on plant growth. Biol Fertil Soils 5:228-294.
Walkey A, Black IA. 1934. Determination of organic carbon in soil. Soil Science
37:29-38.
Lampiran 1 Hasil analisis laju konsumsi pada perlakuan spesies tunggal dan
kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 1 minggu
Tabel ANOVA
RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%
P E 0.000
P L 0.000
P P+E 0.000
P P+L 0.099
P E+L 0.000
P P+E+L 0.000
E L 0.427
E P+E 0.000
E P+L 0.000
E E+L 0.000
E P+E+L 0.004
L P+E 0.000
L P+L 0.000
L E+L 0.000
L P+E+L 0.000
P+E P+L 0.000
P+E E+L 0.000
P+E P+E+L 0.000
P+L E+L 0.000
P+L P+E+L 0.000
E+L P+E+L 0.024
Tabel ANOVA
RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%
P E 0.000
P L 0.000
P P+E 0.081
P P+L 1.000
P E+L 0.000
P P+E+L 0.000
E L 0.042
E P+E 0.000
E P+L 0.000
E E+L 0.894
E P+E+L 0.950
L P+E 0.017
L P+L 0.000
L E+L 0.002
L P+E+L 0.003
P+E P+L 0.191
P+E E+L 0.000
P+E P+E+L 0.000
P+L E+L 0.000
P+L P+E+L 0.000
E+L P+E+L 1.000
Tabel ANOVA
RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%
P E 0.000
P L 0.000
P P+E 0.845
P P+L 0.700
P E+L 0.000
P P+E+L 0.091
E L 0.403
E P+E 0.000
E P+L 0.000
E E+L 0.181
E P+E+L 0.000
L P+E 0.001
L P+L 0.001
L E+L 0.999
L P+E+L 0.045
P+E P+L 1.000
P+E E+L 0.002
P+E P+E+L 0.724
P+L E+L 0.005
P+L P+E+L 0.863
E+L P+E+L 0.130
Tabel ANOVA
RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%
P E 0.000
P L 0.000
P P+E 0.000
P P+L 0.000
P E+L 0.000
P P+E+L 0.000
E L 0.236
E P+E 0.000
E P+L 0.077
E E+L 0.001
E P+E+L 0.000
L P+E 0.001
L P+L 0.998
L E+L 0.000
L P+E+L 0.000
P+E P+L 0.003
P+E E+L 0.000
P+E P+E+L 1.000
P+L E+L 0.000
P+L P+E+L 0.001
E+L P+E+L 0.000
Tabel ANOVA
RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%
P E 0.002
P L 0.000
P P+E 0.856
P P+L 0.194
P E+L 0.000
P P+E+L 0.144
E L 0.070
E P+E 0.075
E P+L 0.600
E E+L 0.948
E P+E+L 0.695
L P+E 0.000
L P+L 0.001
L E+L 0.467
L P+E+L 0.001
P+E P+L 0.893
P+E E+L 0.005
P+E P+E+L 0.828
P+L E+L 0.112
P+L P+E+L 1.000
E+L P+E+L 0.153
Tabel ANOVA
RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%
P E 0.000
P L 0.000
P P+E 0.085
P P+L 0.149
P E+L 0.000
P P+E+L 0.060
E L 0.879
E P+E 0.032
E P+L 0.016
E E+L 0.098
E P+E+L 0.046
L P+E 0.001
L P+L 0.000
L E+L 0.699
L P+E+L 0.002
P+E P+L 1.000
P+E E+L 0.000
P+E P+E+L 1.000
P+L E+L 0.000
P+L P+E+L 1.000
E+L P+E+L 0.000
Tabel ANOVA
Tabel ANOVA
Tabel ANOVA
Suhu (oC)
Rata-rata/
No Perlakuan Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
minggu
R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
1 P 25 25 27.00 31.50 28.25 27.25 28.00 27.75 27.25 28.75 27.63 28.81
2 E 25 25 27.00 29.75 27.75 28.00 28.00 28.25 27.50 28.50 27.56 28.63
3 L 25 25 27.50 29.00 27.50 26.75 28.00 28.50 27.00 29.00 27.50 28.31
4 P+E 25 25 27.75 29.75 27.75 26.25 28.25 28.50 27.25 28.25 27.75 28.19
5 P+L 25 25 27.50 28.75 26.25 27.75 28.50 28.50 27.00 27.75 27.31 28.19
6 E+L 25 25 27.50 28.75 26.25 27.50 28.75 28.25 27.75 28.75 27.56 28.31
7 P+E+L 25 25 27.25 28.25 25.75 27.00 28.75 28.00 28.00 28.25 27.44 27.88
Kelembaban (%)
Rata-
No Perlakuan Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
rata/minggu
R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
1 P 65 65 64.00 54.50 70.00 68.00 64.50 70.00 56.00 49.25 63.63 60.44
2 E 65 65 64.00 54.00 70.00 69.00 64.50 69.00 56.50 65.00 63.75 64.25
3 L 65 65 64.75 53.50 71.00 69.50 64.50 66.25 56.50 64.50 64.19 63.44
4 P+E 65 65 64.25 53.00 71.50 68.25 64.75 67.75 57.00 65.00 64.38 63.50
5 P+L 65 65 64.25 54.50 71.00 67.75 64.25 70.00 57.00 66.25 64.13 64.63
6 E+L 65 65 64.25 55.50 73.00 66.50 64.75 68.50 56.75 67.00 64.69 64.38
7 P+E+L 65 65 64.50 54.50 73.00 67.75 64.25 68.50 56.75 65.25 64.63 64.00
pH
Rata-
No Perlakuan Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
rata/minggu
R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
1 P 6.8 6.8 6.70 6.73 6.78 6.70 6.78 6.80 6.80 6.80 6.76 6.76
2 E 6.8 6.8 6.65 6.75 6.80 6.73 6.75 6.80 6.73 6.78 6.73 6.76
3 L 6.8 6.8 6.58 6.70 6.80 6.68 6.78 6.80 6.78 6.73 6.73 6.73
4 P+E 6.8 6.8 6.50 6.80 6.80 6.78 6.80 6.78 6.78 6.78 6.72 6.78
5 P+L 6.8 6.8 6.50 6.75 6.75 6.75 6.75 6.80 6.80 6.80 6.70 6.78
6 E+L 6.8 6.8 6.65 6.78 6.70 6.78 6.78 6.80 6.75 6.78 6.72 6.78
7 P+E+L 6.8 6.8 6.38 6.80 6.70 6.78 6.73 6.80 6.75 6.80 6.64 6.79