Você está na página 1de 88

VERMICOMPOSTING SAMPAH DAUN SONOKELING

(Dalbergia latifolia) MENGGUNAKAN TIGA SPESIES CACING


TANAH (Pheretima sp., Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus)

MUHAMMAD ILYAS

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ABSTRACT

MUHAMMAD ILYAS. Vermicomposting of Sonokeling (Dalbergia latifolia)


Leaves Litter Using Three Earthworm Species (Pheretima sp., Eisenia fetida,
and Lumbricus rubellus. Under direction of RIKA RAFFIUDIN and TRI
HERU WIDARTO.

European E. fetida and L. rubellus are the most common earthworm species
used in vermicomposting. Pheretima sp. is a native Asian earthworm having
capability to decompose organic wastes. Therefore, the aim of the present study
was to determine the effectiveness of combination of the three earthworm species
in vermicomposting of sonokeling leaves litter by determining (1) their
consumption rate, (2) their growth, and (3) their fecundity. Two ratios between
earthworms and leaves litter were applied i.e. ratio 1:1 (R1) and ratio 2:1 (R2).
The consumption rate was measured by counting the percentage of organic waste
consumed by earthworms weekly. Earthworm growth was measured by weighing
their biomass weekly. The number of produced cocoons were used to predict their
fecundity. The results showed that combination of earthworm species affected the
consumption rate significantly in both ratio (P<0.05). In the first week, earthworm
biomass increased in R1 ratio, but it tended to decrease in R2 ratio. The highest
number of cocoons in R1 ratio was found in L. rubellus, whereas in R2 ratio, it
was found in E. fetida in the first week. Cocoon incubation period in Pheretima
sp. was faster than the others. The cocoons of L. rubellus showed the highest
number of hatchlings (4.2±0.8 individuals) per cocoon. Chemical composition of
vermicompost among the three species of earthworms were not different
significantly (P>0.05) except in potassium.

Keywords: vermicomposting, earthworm, consumption rate, organic waste, C:N


ratio.
RINGKASAN

MUHAMMAD ILYAS. Vermicomposting Sampah Daun Sonokeling


(Dalbergia latifolia) Menggunakan Tiga Spesies Cacing Tanah (Pheretima sp.,
Eisenia fetida, dan Lumbricus rubellus). Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN
dan TRI HERU WIDARTO.

Sampah daun berpotensi sebagai sumber nutrisi yang sangat bermanfaat


dalam pertanian. Konsumsi sampah daun dapat menyuburkan tanah dan
menyediakan nutrisi bagi tumbuhan. Salah satu cara pengelolaan sampah daun
adalah dengan proses vermicomposting. Vermicomposting merupakan proses
konsumsi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan
mikroorganisme. Hasil akhir proses ini adalah vermikompos. Pheretima sp., E.
fetida, dan L. rubellus merupakan spesies cacing tanah yang berpotensi untuk
mengelola sampah organik melalui proses vermicomposting.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji efektivitas spesies cacing
tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus dalam mengelola sampah
dedaunan terhadap: (1) laju konsumsi bahan organik, (2) pertumbuhan cacing
tanah, dan (3) produktivitas cacing tanah.
Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap
percobaan. Tahap persiapan dilaksanakan dari bulan Maret 2008 sampai bulan
Januari 2009. Tahap percobaan dilaksanakan pada bulan Februari-April 2009.
Lokasi penelitian terletak di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan
Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor.
Pada tahap persiapan dilakukan penyiapan populasi cacing tanah, media
biak, dan wadah percobaan. Cacing tanah yang digunakan pada penelitian ini
adalah spesies Pheretima sp., E. fetida dan L. rubellus yang telah berklitelum.
Media biak terdiri atas kotoran sapi dan sampah daun sonokeling (Dalbergia
latifolia). Kotoran sapi digunakan sebagai starter dan sumber Nitrogen bagi
cacing tanah. Sebelum dijadikan sebagai media biak, kotoran sapi dikering-
anginkan dan diaduk secara manual setiap hari selama 15 hari untuk menguapkan
gas beracun yang ada. Daun sonokeling dihancurkan secara manual hingga
mencapai ukuran partikel ± 5 mm. Ke dalam media biak ditambahkan tanah untuk
membantu proses pencernaan cacing tanah. Wadah percobaan pada penelitian ini
berupa wadah plastik dengan panjang, lebar, dan tinggi 35x31x12.5 cm. Seluruh
wadah percobaan dilubangi di bagian bawahnya.
Percobaan ini terdiri atas dua perlakuan, yaitu perlakuan spesies cacing
tanah tunggal (P, E, L) dan kombinasi (P+E, P+L, E+L, P+E+L), serta perlakuan
rasio antara cacing tanah dan sampah daun 1:1 (R1) dan 2:1 (R2). Suhu,
kelembaban, dan pH awal media biak di dalam wadah disesuaikan menjadi 25 oC,
65% dan 6.8 berturut-turut. Setiap minggu dilakukan pengukuran terhadap
parameter biologi cacing tanah pada seluruh perlakuan.
Laju konsumsi bahan organik diukur dengan menimbang seluruh bahan
yang terdapat pada media biak menggunakan timbangan digital. Persentase laju
konsumsi dihitung dengan mengurangi berat awal bahan media dengan berat
bahan media pada waktu pengamatan berikutnya. Selanjutnya dilakukan
penambahan sampah daun sonokeling ke dalam media biak sebanyak 210 gr
untuk rasio R1 dan 105 gr untuk rasio R2.
Pertumbuhan cacing tanah diukur dengan menimbang cacing tanah di atas
timbangan digital (82ADAM, d=0.001 g). Produktivitas cacing tanah diukur
dengan menghitung jumlah kokon yang diproduksi di dalam seluruh wadah
percobaan setiap minggu. Kokon yang diproduksi oleh masing-masing spesies
cacing tanah dipisahkan dari media biak dan ditempatkan ke dalam media lain
dengan suhu 25 oC. Perkembangan kokon diamati setiap hari sampai menetas
untuk mengetahui masa inkubasi kokon. Selanjutnya, jumlah juvenil yang keluar
dari tiap kokon dihitung.
Vermikompos yang diproduksi oleh masing-masing spesies cacing tanah
pada perlakuan rasio R2 ditimbang seberat 100 gr untuk dianalisa. Kandungan C
organik dan N total dianalisa dengan metode titrasi dan metode Kjeldahl. Kadar P
dan K masing-masing dianalisa menggunakan Spektrofotometri dan
Flamefotometer. Analisa unsur-unsur kimia vermikompos dilakukan di
laboratorium tanah SEAMEO BIOTROP, Bogor.
Berdasarkan pada hasil penelitian, perlakuan spesies tunggal E. fetida dan
spesies kombinasi E. fetida + L. rubellus pada rasio R1 dan R2 lebih efektif
menkonsumsi sampah dedaunan dibandingkan dengan perlakuan spesies yang
lain. Secara ringkas, kecepatan laju konsumsi oleh ketiga spesies cacing tanah
pada masing-masing perlakuan adalah: E+L > P+E+L > E > L > P+E > P+L > P.
Perbedaan laju konsumsi bahan organik pada cacing tanah disebabkan oleh
densitas cacing tanah, kualitas dan kuantitas bahan makanan, serta daya konsumsi
spesies spesifik. Semakin tinggi densitas cacing tanah di dalam media biak, maka
semakin rendah laju konsumsi. Densitas cacing tanah yang besar menyebabkan
peningkatan populasi mikroorganisme di dalam media biak dan saluran
pencernaan cacing tanah selama proses vermicomposting. Laju konsumsi yang
semakin rendah dikarenakan berkurangnya nutrisi yang berasal dari kotoran sapi
sebagai media biak sekaligus sumber Nitrogen dan rendahnya palatabilitas daun
sonokeling bagi cacing tanah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan cacing tanah tertinggi
terdapat pada perlakuan spesies tunggal E. fetida dan spesies kombinasi E. fetida
+ L. rubellus, sedangkan pertumbuhan terendah terdapat pada perlakuan spesies
tunggal Pheretima sp dan spesies kombinasi Pheretima sp. + E. fetida pada rasio
R1 dan R2. Pertumbuhan cacing tanah bergantung pada ketersediaan dan kualitas
bahan makanan, densitas cacing tanah di dalam media biak, serta pola
pertumbuhan spesies spesifik. Cacing tanah yang mengkonsumi bahan organik
yang lebih banyak dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan cacing tanah
yang mengkonsumsi sedikit bahan organik. Perbedaan laju pertumbuhan juga
dikarenakan adanya interaksi diantara populasi cacing tanah akibat kombinasi
spesies tersebut dalam proses vermicomposting. Cacing tanah lebih memilih
bahan makanan berupa kotoran hewan daripada bahan organik tumbuhan.
Perlakuan spesies kombinasi E. fetida + L. rubellus memproduksi kokon
dengan jumlah terbanyak pada rasio R1. Spesies L. rubellus memproduksi total
kokon lebih banyak dibandingkan dengan E. fetida dan Pheretima sp. Seluruh
cacing tanah berhenti memproduksi kokon pada minggu keempat. Bentuk dan
ukuran kokon ketiga spesies cacing tanah bervariasi. Masa inkubasi kokon
Pheretima sp. lebih rendah dibandingkan dengan kokon E. fetida dan L. rubellus.
Jumlah juvenil yang dihasilkan tiap kokon cacing tanah L. rubellus lebih banyak
daripada kokon cacing tanah lainnya. Produktivitas cacing tanah dipengaruhi oleh
jumlah bahan makanan yang tersedia di dalam media biak, tingkat konsumsi
bahan makanan oleh cacing tanah, serta jenis dan kualitas bahan makanan.
Hasil analisa unsur-unsur kimiawi vermikompos Pheretima sp., E. fetida,
dan L. rubellus menunjukkan bahwa rasio C:N pada vermikompos lebih rendah
daripada substrat awal. Kandungan P dan K meningkat pada vermikompos
masing-masing cacing tanah. Vermikompos yang dihasilkan oleh spesies
Pheretima sp. mengandung kualitas yang baik. Menurunnya rasio C:N pada
vermikompos disebabkan oleh aktivitas cacing tanah dalam proses
vermicomposting. Penurunan rasio C:N menunjukkan tingginya humifikasi
vermikompos. Peningkatan kandungan mineral P dan K pada vermikompos
menunjukkan adanya peningkatan mineralisasi unsur-unsur tersebut yang
disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroorganisme di dalam saluran pencernaan
cacing tanah. Pelepasan fosfor ke dalam bentuk yang dapat diserap oleh tumbuhan
diperantarai oleh fosfat yang dihasilkan di dalam saluran pencernaan cacing tanah,
dan selanjutnya pelepasan fosfor dapat dilakukan oleh mikroorganisme di dalam
casting setelah dikeluarkan

Kata kunci: vermicomposting, cacing tanah, laju konsumsi, bahan organik, rasio
C:N.
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Vermicomposting
sampah daun sonokeling (Dalbergia latifolia) Menggunakan Tiga Spesies Cacing
Tanah (Pheretima sp., Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus)” dengan baik dan
tepat waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Biologi, Mayor Biosains Hewan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tesis ini tidak akan tersusun tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si dan
Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc, selaku komisi pembimbing yang telah memberikan
arahan dan bimbingan selama penelitian hingga akhir penulisan tesis;
Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc, selaku penguji luar komisi pembimbing; Bapak Rudi,
selaku peternak cacing tanah yang telah menyediakan cacing tanah sebagai objek
penelitian; Hari Nugroho, S.Si, selaku Staf Peneliti di Laboratorium Entomologi,
Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI yang telah membantu penulis dalam
mengidentifikasi cacing tanah; Staf Laboratorium Tanah SEAMEO BIOTROP
Bogor atas bantuannya menganalisa kandungan kimiawi vermikompos.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Departemen Agama
Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa pendidikan Pascasarjana di
Institut Pertanian Bogor, Dr. Bambang Suryobroto, Dr. Dedi Duryadi S, DEA,
Dr. Achmad Farajallah, M.Si, Dr. RR. Dyah Perwitasari, M.Sc, Dr. Tri Atmowidi,
M.Si, Berry Juliandi, S.Si, M.Si, Dra. Taruni Sri Prawasti, dan seluruh staf
laboratorium Zoologi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat
bermanfaat. Tidak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh
rekan mahasiswa Mayor Biosains Hewan IPB dan keluarga besar Pesantren Ar-
Raudhatul Hasanah Medan atas doa, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan.
Disamping itu, ucapan terima kasih yang sangat dalam penulis sampaikan
kepada kedua orang tua tercinta dan seluruh keluarga besar penulis yang telah
memberikan doa, bantuan, dan dukungan selama proses pendidikan.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga
tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2009

Muhammad Ilyas
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 13 Juni 1981 dari Bapak
H. M. Tumin S dan Ibu Hj. Marni. Penulis merupakan anak keempat dari empat
bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari Madrasah Aliyah Pesantren Ar-Raudhatul
Hasanah Medan, dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk
Universitas Negeri Medan jurusan Pendidikan Biologi melalui jalur Ujian Masuk
Perguruan Tinggi Negeri. Tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Biologi, Mayor Biosains
Hewan melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah yang diselenggarakan oleh
Departemen Agama Republik Indonesia.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
mata kuliah Fungsi Hayati Hewan pada tahun ajaran 2008/2009. Pada tahun 2008
penulis dipilih menjadi peserta terbaik dalam Workshop Pembuatan Media
Pendidikan Interaktif (E-book) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa
Ilmu Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Penulis merupakan salah satu staf pengajar mata pelajaran Biologi di
Madrasah Aliyah Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Pada Tahun 2004-
2007 menjabat sebagai staf laboratorium Biologi.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xv

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xii

PENDAHULUAN ................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ............................................................................... 3
Manfaat Penelitian ............................................................................. 3

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4


Vermicomposting ............................................................................... 4
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses vermicomposting ....... 5
Taksonomi Cacing Tanah .................................................................. 7
Klasifikasi Cacing Tanah ................................................................... 7
Biologi Cacing Tanah ........................................................................ 8
Sistem reproduksi ......................................................................... 9
Sistem pencernaan ........................................................................ 11
Sistem ekskresi ............................................................................. 12
Sistem saraf .................................................................................. 13
Distribusi Geografi Cacing Tanah ..................................................... 14

METODE ................................................................................................ 15
Waktu dan Lokasi .............................................................................. 15
Tahap Persiapan ................................................................................. 15
Tahap Percobaan ................................................................................ 16
Pengukuran Parameter Biologi Cacing Tanah ................................... 18
Laju konsumsi bahan organik ...................................................... 19
Pertumbuhan cacing tanah ........................................................... 19
Produktivitas cacing tanah ........................................................... 19
Analisa komposisi kimiawi vermikompos ................................... 20
Analisa Data ....................................................................................... 20

HASIL ..................................................................................................... 21
Laju Konsumsi Bahan Organik .......................................................... 21
Pertumbuhan Cacing Tanah ............................................................... 23
Produktivitas Cacing Tanah ............................................................... 25
Komposisi Kimiawi Vermikompos ................................................... 29

PEMBAHASAN ..................................................................................... 30
Laju Konsumsi Bahan Organik .......................................................... 30
Pertumbuhan Cacing Tanah ............................................................... 32
Produktivitas Cacing Tanah ............................................................... 34
Komposisi Kimiawi Vermikompos ................................................... 37

KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 40


Kesimpulan ........................................................................................ 40
Saran ................................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 41

LAMPIRAN ............................................................................................ 47
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kuantitas media biak dan cacing tanah yang digunakan dalam


percobaan ……………..………………………………………… 18

2 Perbandingan komposisi kimiawi substrat awal dengan vermikompos


yang dihasilkan oleh spesies Pheretima sp., E. fetida, dan
L. rubellus ……………………………………………………….. 29
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Klasifikasi cacing tanah berdasarkan kategori ekologi ...................... 8

2 Reproduksi cacing tanah (a), pembentukan kokon (b), perkembangan


kokon (c), dan penetasan kokon menjadi juvenil (d) ......................... 11

3 Spesies cacing tanah yang digunakan dalam penelitian: Pheretima sp.


(a), E. fetida (b), dan L. rubellus (c) .................................................. 17

4 Budidaya cacing tanah dengan sistem windrow (a)


dan bedding (b) .................................................................................. 17

5 Wadah percobaan (a), dan penyusunan wadah percobaan


di atas rak (b) ...................................................................................... 17

6 Laju konsumsi pada perlakuan spesies yang berbeda dengan rasio


antara cacing tanah dan sampah dedaunan 1:1 (R1) .......................... 22

7 Laju konsumsi pada perlakuan spesies yang berbeda dengan rasio


antara cacing tanah dan sampah dedaunan 2:1 (R2) .......................... 22

8 Pertumbuhan spesies Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus pada


perlakuan yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan
sampah dedaunan 1:1 (R1) ................................................................. 24

9 Pertumbuhan spesies Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus pada


perlakuan yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan
sampah dedaunan 2:1 (R2) ................................................................. 24

10 Jumlah rata-rata kokon yang diproduksi pada perlakuan spesies


yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan
1:1 (R1) .............................................................................................. 26

11 Jumlah rata-rata kokon yang diproduksi pada perlakuan spesies


yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan
2:1 (R2) .............................................................................................. 26

12 Variasi ukuran dan bentuk kokon cacing tanah: Pheretima sp. (a),
E. fetida (b), dan L. rubellus (c) ............................................................ 27

13 Jumlah total kokon yang diproduksi oleh masing-masing spesies


cacing tanah dengan rasio antara cacing tanah dan sampah
dedaunan 1:1 (R1) .............................................................................. 27
14 Jumlah total kokon yang diproduksi oleh masing-masing spesies
cacing tanah dengan rasio antara cacing tanah dan sampah
dedaunan 2:1 (R2) .............................................................................. 27

15 Masa inkubasi rata-rata kokon dari tiga spesies cacing tanah


pada suhu 25 oC .................................................................................. 28

16 Jumlah rata-rata juvenil yang diproduksi oleh masing-masing


kokon cacing tanah pada suhu 25 oC ................................................. 28
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil analisis laju konsumsi pada perlakuan spesies tunggal


dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 1 minggu ................. 47

2 Hasil analisis laju konsumsi pada perlakuan spesies tunggal


dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 4 minggu ................. 51

3 Hasil analisis biomassa cacing tanah pada perlakuan spesies tunggal


dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 1 minggu ................. 55

4 Hasil analisis biomassa cacing tanah pada perlakuan spesies tunggal


dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 4 minggu ................. 59

5 Hasil analisis produksi kokon cacing tanah pada perlakuan spesies


tunggal dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 1 minggu .... 63

6 Hasil analisis produksi kokon cacing tanah pada perlakuan spesies


tunggal dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 2 minggu .... 67

7 Hasil analisis rasio C:N vermikompos yang diproduksi oleh


cacing tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus ....................... 71

8 Hasil analisis kadar P vermikompos yang diproduksi oleh


cacing tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus ....................... 72

9 Hasil analisis kadar K vermikompos yang diproduksi oleh


cacing tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus ....................... 73

10 Data hasil pengukuran parameter biologi cacing tanah setiap


minggu ............................................................................................... 74

11 Data hasil pengukuran parameter lingkungan setiap minggu ............ 75


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sampah daun berpotensi sebagai sumber nutrisi yang sangat bermanfaat
dalam pertanian. Namun, potensi ini tidak tereksploitasi. Dekomposisi sampah
daun dapat menyuburkan tanah dan menyediakan nutrisi bagi tumbuhan. Sampah
daun mangga (Mangifera indica) telah didekomposisi menjadi kompos oleh
cacing tanah Eudrilus eugeniae (Gajalakshmi et al. 2005). Manimegala et al.
(2008) menemukan bahwa sampah daun Leucaena glauca yang dicampur dengan
kotoran sapi dapat mendukung pertumbuhan dan produksi kokon pada cacing
tanah E. fetida. Sampah daun sonokeling (Dalbergia latifolia) merupakan sampah
yang tersebar luas di lingkungan. Namun pengelolaannya menjadi sumber nutrisi
yang bermanfaat bagi tanah dan tumbuhan belum dilakukan.
Pengelolaan sampah daun dapat dilakukan dengan cara pengomposan.
Pengomposan adalah pembusukan sisa-sisa bahan organik secara aerob dengan
cara mendegradasi zat organik menjadi CO2, H2O, NH3, zat-zat anorganik dan
bahan organik yang mengandung substansi humus atau kompos (Senesi 1989).
Akan tetapi, pengelolaan sampah dengan cara pengomposan tradisional
membutuhkan waktu yang cukup lama. Mikroorganisme yang terlibat di
dalamnya aktif pada suhu termofilik (45-65 oC) (Dominguez et al. 1997a). Cara
alternatif dalam pengelolaan sampah organik adalah dengan vermicomposting.
Vermicomposting adalah proses dekomposisi bahan organik yang
melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan mikroorganisme. Mikroorganisme
yang berperan dalam proses vermicomposting terutama bakteri, fungi dan
actinomycetes (Dominguez et al. 1997a). Selama proses vermicomposting, zat
nutrisi tumbuhan yang penting seperti nitrogen, kalium dan fosfor yang terdapat di
dalam bahan makanan diubah melalui aktivitas mikroorganisme menjadi bentuk
yang lebih mudah diserap oleh tumbuhan (Ndegwa & Thompson 2001). Laju
mineralisasi bahan-bahan organik bertambah cepat (Albanell et al. 1988).
Vermicomposting menghasilkan dua manfaat utama, yaitu biomassa cacing tanah
dan vermikompos (Sharma et al. 2005).
Vermicomposting berbeda dari pengomposan tradisional dalam beberapa
hal. Proses vermicomposting lebih cepat dari pada pengomposan tradisional,
karena bahan-bahan organik melewati sistem pencernaan cacing tanah yang
mengandung banyak aktivitas mikroorganisme yang membantu proses
dekomposisi bahan organik (Dominguez et al. 1997a). Vermicomposting
mengubah sampah organik menjadi kompos dalam 30 hari, menurunkan rasio C:N
dan meningkatkan kandungan N total lebih tingi dari pada pengomposan
tradisional (Gandhi et al. 1997; Lazcano et al. 2008).
Vermikompos yang dihasilkan dari proses vermicomposting memiliki
struktur, porositas, aerasi, drainase dan kapasitas menahan kelembaban yang
sangat baik (Dominguez et al. 1997a). Vermikompos mengandung banyak
aktivitas, populasi dan keanekaragaman mikroorganisme. Vermikompos juga
mengandung beberapa enzim seperti protease, amilase, lipase, selulase, dan
kitinase (Subler et al. 1998), serta zat pengatur tumbuh seperti giberelin, sitokinin
dan auksin (Tomatti et al. 1988). Subler et al. (1998) menemukan bahwa
vermikompos cenderung memiliki nilai pH lebih rendah, konsentrasi nutrisi lebih
tinggi, terutama nitrogen dari pada kompos alami.
Cacing tanah memiliki peranan yang penting dalam menghancurkan bahan
organik sehingga dapat memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan
menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan
cacing tanah dapat meningkatkan populasi mikroorganisme yang bermanfaat bagi
tanaman. Cacing tanah juga dapat mendekomposisi sampah organik menjadi
humus (Sharma et al. 2005)
Pada umumnya cacing tanah yang digunakan pada proses
vermicomposting adalah cacing tanah jenis epigeic. Cacing tanah epigeic
merupakan cacing tanah pemakan sampah (Lee 1985). Cacing tanah epigeic
memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan dengan cacing tanah anecic dan
endogeic (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002). E. fetida dan L. rubellus merupakan
cacing tanah yang tergolong ke dalam kelompok epigeic (Lee 1985), sedangkan
Pheretima sp. tidak diketahui statusnya di dalam klasifikasi berdasarkan kategori
ekologi.
E. fetida dan L. rubellus merupakan spesies cacing tanah epigeic yang
sangat toleran terhadap suhu lingkungan (Reinecke et al. 1992). Potensi E. fetida
dan L. rubellus dalam mendekomposisi sampah organik telah dipelajari oleh
beberapa peneliti (Albanell 1988; Reinecke et al. 1992; Delgado et al. 1995;
Gunadi et al. 2003; Garg et al. 2005; Aira et al. 2006a). Spesies cacing tanah dari
genus Pheretima yang mendominasi wilayah Indonesia belum diketahui
potensinya dalam mengelola sampah organik.
Di alam, beberapa spesies cacing tanah yang berbeda dapat hidup pada
habitat yang sama, masing-masing cacing tanah menempati relung yang berbeda
dan menggunakan substrat yang berbeda sebagai bahan makanan. Oleh karena itu,
pemanfaatan campuran beberapa spesies cacing tanah (spesies kombinasi) pada
proses vermicomposting kemungkinan dapat mencapai stabilisasi bahan organik
yang lebih tinggi daripada spesies tunggal.
Kombinasi beberapa spesies cacing tanah dapat mendekomposisi bahan
organik lebih efisien (Sinha et al. 2002; Khwairakpam & Bhargava 2009). Akan
tetapi, Loehr et al. (1985) menemukan bahwa kombinasi beberapa spesies tidak
menunjukkan keunggulan yang signifikan dibandingkan dengan biakan spesies
tunggal dalam proses vermicomposting.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini
bertujuan mengkaji efektivitas penggunaan spesies cacing tanah Pheretima sp.,
E. fetida, dan L. rubellus dalam mengelola sampah daun baik secara tunggal
maupun kombinasi dengan rasio antara cacing tanah dan sampah daun yang
berbeda terhadap: (1) laju konsumsi bahan organik, (2) pertumbuhan cacing tanah,
dan (3) produktivitas cacing tanah.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah sebagai bahan
masukan dalam pengelolaan sampah dedaunan menggunakan metode
vermicomposting.
TINJAUAN PUSTAKA

Vermicomposting
Dominguez et al. (1997a) mendefinisikan vermicomposting sebagai proses
dekomposisi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan
mikroorganisme. Mikroorganisme yang berperan dalam proses vermicomposting
terutama bakteri, fungi, dan actinomycetes.
Selama proses vermicomposting, nutrisi pada tumbuhan yang penting seperti
nitrogen, kalium, dan fosfor yang terdapat di dalam bahan makanan diubah
melalui aktivitas mikroorganisme menjadi bentuk yang lebih mudah diserap oleh
tumbuhan (Ndegwa & Thompson. 2001). Pada proses ini cacing tanah mengubah
aktivitas mikroorganisme (Aira et al. 2002), sehingga laju mineralisasi bahan-
bahan organik bertambah cepat (Albanell et al. 1988). Beberapa enzim yang
terlibat di dalam dekomposisi bahan organik adalah dehidrogenase, protease,
glukosidase, dan fosfatase (Lazcano et al. 2008). Vermicomposting menghasilkan
dua manfaat utama, yaitu biomassa cacing tanah dan vermikompos (Sharma et al.
2005).
Vermikompos merupakan bahan organik seperti tanah yang memiliki
struktur, porositas, aerasi, drainase, dan kapasitas menahan kelembaban yang
sangat baik (Dominguez et al. 1997a). Vermikompos mengandung banyak
aktivitas, populasi, dan keanekaragaman mikroorganisme. Vermikompos juga
mengandung beberapa enzim seperti protease, amilase, lipase, selulase, dan
kitinase (Subler et al. 1998), serta zat pengatur tumbuh seperti giberelin, sitokinin,
dan auksin (Tomatti et al. 1988).
Syarat-syarat biologi cacing tanah yang digunakan dalam proses
vermicomposting terdiri atas: tingkat produksi kokon yang tinggi, waktu
perkembangan kokon yang pendek, keberhasilan penetasan kokon yang tinggi,
dan memiliki laju reproduksi yang tinggi (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002).
Selain itu, tingkat konsumsi bahan organik yang tinggi pada cacing tanah dan
toleran terhadap perubahan lingkungan yang luas juga merupakan sebagian syarat
biologi cacing tanah yang dapat dimanfaatkan untuk mendekomposisi bahan
organik (Edwards 1998; Dominguez et al. 2000).
Beberapa spesies cacing tanah yang memenuhi syarat biologi dan digunakan
dalam proses vermicomposting adalah: E. fetida (Albanell 1988), (Reinecke et al.
1992), (Gunadi et al. 2003), (Garg et al. 2005), (Aira et al. 2006a); E. andrei
(Dominguez et al. 2000); L. rubellus (Delgado et al. 1995); L. terrestris, Eudrilus
eugeniae (Banu et al. 2008); Perionyx excavatus, dan P. sansibaricus (Suthar
2007a; Suthar & Singh 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses vermicomposting


Proses vermicomposting dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan
kelangsungan hidup cacing tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya:
suhu, kelembaban, rasio C:N, pH, aerasi, dan makanan. Pengaruh faktor-faktor
tersebut bervariasi pada setiap spesies cacing tanah.
Suhu pada substrat mempengaruhi pertumbuhan cacing tanah. Pada kisaran
suhu 20-29 oC cacing tanah tumbuh dan berkembang dengan maksimal (Kaplan et
al. 1980). Hou et al. (2005) menemukan bahwa laju pertumbuhan cacing tanah
tercepat pada suhu 20 oC. Akan tetapi kebutuhan suhu pada masing-masing
spesies cacing tanah berbeda-beda. Di awal proses vermicomposting terjadi
peningkatan suhu, dan di akhir periode suhu menurun.
Berat tubuh cacing tanah terdiri atas 75-90% air (Edwards & Lofty 1972),
maka kekurangan air merupakan masalah besar dalam kehidupan cacing tanah.
Cacing tanah dapat berpindah ke tanah yang lebih dalam jika permukaan tanah
terlalu kering. Kelembaban yang rendah dapat menyebabkan cacing tanah menjadi
pasif atau mengalami fase diapause (Gerard 1967). Menurut Reinecke dan Venter
(1987), kelembaban substrat yang lebih disukai oleh cacing tanah dewasa berkisar
antara 65-75%, tetapi juvenil lebih dapat bertahan hidup pada kelembaban dengan
kisaran 65-70%. Laju pertumbuhan cacing tanah tertinggi terdapat pada
kelembaban 75% (Gunadi et al. 2003). Dominguez et al. (1997a) menemukan
bahwa kisaran kelembaban yang terbaik adalah 80-90%, dengan kisaran optimum
sebesar 85%. Kebutuhan cacing tanah akan kelembaban media bervariasi pada
berbagai spesies dan daya adaptasi masing-masing spesies tersebut. Kelembaban
media dapat dipertahankan dengan penambahan air pada media dan menyediakan
bahan makanan yang mengandung banyak air.
Rasio C:N pada substrat (media biak yang terdiri atas kotoran ternak dan
sampah organik) mencerminkan mineralisasi dan stabilisasi sampah organik
selama proses vermicomposting (Suthar & Singh 2008). Laju dekomposisi
tertinggi terdapat pada substrat dengan rasio C:N sebesar 20 (Hou et al. 2005).
Ndegwa dan Thompson (2000) menemukan bahwa cacing tanah dapat tumbuh
lebih baik ketika rasio C:N substrat 25. Cacing tanah lebih memilih sampah
organik yang memiliki rasio C:N lebih rendah sebagai makanannya (Moody et al.
1995). Semakin rendah rasio C:N, maka semakin tinggi laju dekomposisi sampah
organik (Pramanik et al. 2007).
Substrat yang dikonsumsi cacing tanah memliki kisaran nilai pH tertentu.
Substrat yang terlalu asam atau basa tidak cocok untuk kelangsungan hidup
cacing tanah. Kisaran nilai pH optimum bagi cacing tanah antara 6.5 dan 8.5 (Hou
et al. 2005). Pada umumnya spesies cacing tanah lebih memilih substrat yang
memiliki pH sekitar 7.0 (Arrhenius 1921). Singh et al. (2005) menemukan bahwa
pH substrat awal yang mendekati netral mengoptimalkan stabilisasi bahan organik
dalam waktu yang singkat. Substrat awal yang memiliki pH sangat asam tidak
sesuai digunakan dalam proses vermicomposting.
Proses vermicomposting dapat berlangsung dengan baik dalam kondisi
aerob. Cacing tanah memerlukan oksigen untuk bernafas dan sangat sensitif
terhadap kondisi anaerob. Laju respirasinya melemah jika konsentrasi oksigen di
dalam substrat rendah (Edwards & Bohlen 1996). Pergerakan cacing tanah dapat
menciptakan aerasi pada medianya. Untuk meningkatkan aerasi, perlu dilakukan
pembalikan substrat.
Kualitas dan kuantitas bahan makanan mempengaruhi pertumbuhan dan
reproduksi cacing tanah dalam proses vermicomposting (Edwards et al. 1988).
Kualitas bahan makanan pada substrat awal sangat mempengaruhi biomassa
cacing tanah (Suthar 2007b). Berkurangnya biomassa cacing tanah dapat
disebabkan oleh berkurangnya bahan makanan di dalam media biak (Garg et al.
2005). Pertumbuhan cacing tanah dibatasi oleh ketersediaan sumber karbon pada
bahan makanannya (Tiunov & Scheu 2004). Cacing tanah yang mengkonsumsi
bahan makan dengan rasio C:N rendah, lebih banyak menggunakan energinya
untuk pertumbuhan daripada untuk reproduksi (Aira et al. 2006a).
Taksonomi Cacing Tanah
Cacing tanah adalah invertebrata darat yang termasuk ke dalam Filum
Annelida, Kelas Clitellata, Sub Kelas Oligochaeta (Brusca & Brusca 2003).
Cacing tanah terbagi ke dalam 5 famili, yaitu Moniligastridae, Megascolecidae,
Eudrilidae, Glossoscolecidae, dan Lumbricidae.

Klasifikasi Cacing Tanah


Spesies cacing tanah yang berbeda memiliki sejarah hidup yang berbeda dan
menempati relung ekologi yang berbeda. Lee (1985) mengelompokkan spesies
cacing tanah ke dalam tiga kategori ekologi berdasarkan strategi mencari makanan
dan membuat liang, yaitu spesies epigeic, endogeic, dan anecic (Gambar 1).
Cacing tanah epigeic pada dasarnya merupakan cacing tanah penghuni
sampah. Cacing tanah ini hidup di dalam atau dekat permukaan sampah dan
memakan sampah organik yang kasar, serta sejumlah sampah yang belum terurai.
Cacing tanah epigeic membuat liang ephemeral ke dalam tanah mineral selama
periode diapause. Tubuhnya berukuran kecil dan berpigmen. Laju metabolisme
dan reproduksinya tinggi. Hal itu menggambarkan daya adaptasinya tinggi
terhadap perubahan kondisi lingkungan pada permukaan tanah. Beberapa spesies
cacing tanah yang termasuk ke dalam kategori ini adalah L. rubellus, E. fetida,
E. andrei, Dendrobaena rubida, Eudrilus eugeniae, Perionyx excavatus, dan
Eiseniella tetraedra (Bouche 1977; Lee 1985).
Cacing tanah endogeic hidup di dalam tanah yang lebih dalam dan memakan
tanah serta kumpulan bahan-bahan organik (Gambar 1). Cacing tanah jenis ini
tidak memiliki pigmen tubuh, dan membuat liang horizontal yang bercabang ke
dalam. Cacing tanah endogeic tidak memiliki pengaruh yang besar dalam
penguraian sampah karena cacing tanah ini memakan bahan-bahan di bawah
permukaan tanah. Beberapa spesies cacing tanah yang termasuk ke dalam kategori
ini adalah Allolobophora caliginosa, A. rosea, Octolasion cyaneum (Bouche
1977), Metaphire posthuma, dan Octochaetona thurstoni (Ismail 1997).
Castings
Epigeic

Anecic

Liang

Endogeic
Gambar 1 Klasifikasi cacing tanah berdasarkan kategori ekologi (Lee 1985)

Cacing tanah jenis anecic hidup di dalam sistem liang vertikal yang lebih
permanen, yang dapat meluas beberapa meter ke dalam tanah (Gambar 1). Cacing
tanah jenis ini dapat di temukan di dalam liang yang dangkal atau dalam
tergantung pada kondisi tanah yang baik sebagai habitatnya. Cacing tanah anecic
mengeluarkan sisa pencernaannya (casting) pada permukaan tanah dan muncul di
malam hari untuk memakan sampah pada permukaan tanah, kotoran, dan bahan
organik lain yang diturunkan ke dalam liangnya. Laju reproduksinya relatif
lambat, terbukti dari produksi kokonnya. Cacing tanah anecic memiliki peran
yang sangat besar dalam dekomposisi bahan organik, siklus makanan, dan
pembentukan tanah (Lavelle 1988). Lumbricus terrestris, Aporrectodea
trapezoids, dan Allolobophora longa termasuk dalam kelompok kategori ini.

Biologi Cacing Tanah


Karakteristik cacing tanah adalah tubuhnya bersegmen, dan memiliki sedikit
seta pada seluruh segmen tubuh. Cacing tanah dewasa memiliki klitelum yang
terletak di bagian anterior tubuh. Klitelum merupakan bagian kelenjar epidermis
segmen tubuh yang mengalami perkembangan, terdiri atas kelenjar epidermis
yang menebal, terutama di bagian dorsal dan lateral tubuh. (Edwards & Lofty
1972). Pada umumnya klitelum berwarna lebih cerah daripada segmen yang lain.
Sistem reproduksi
Cacing tanah bersifat hermafrodit, tetapi fertilisasi tidak dapat terjadi pada
diri sendiri. Pada umumnya individu cacing tanah dewasa melakukan reproduksi
silang sebelum menghasilkan kokon (Gambar 2a). Beberapa spesies cacing tanah
melakukan reproduksi pada permukaan tanah, dan beberapa spesies
melakukannya di bawah tanah (Edwards & Lofty 1972).
Metode kopulasi untuk seluruh spesies cacing tanah tidak sama. Pada cacing
tanah yang tergolong famili Lumbricidae, ketika akan melakukan perkawinan dua
spesies cacing tanah saling berdekatan dengan mendeteksi mukus yang
dikeluarkan oleh bagian ventral tubuhnya bersama-sama. Ujung kepala cacing
tanah terletak pada arah yang berlawanan. Keduanya saling mendekatkan diri
pada daerah pembukaan spermateka dimana daerah klitelum salah satu cacing
tanah menyentuh permukaan pembukaan spermateka yang lainnya. Pada saat
kopulasi, kedua cacing tanah tidak sensitif dalam merespon rangsangan luar
seperti sentuhan dan cahaya. Banyak mukus yang disekresikan sehingga masing-
masing cacing tanah diselubungi oleh mukus antara segmen sembilan dan sisi
posterior klitelum, mukus-mukus tersebut saling melekat (Edwards & Lofty
1972).
Sebuah celah semen terbentang dari gonofor jantan sampai klitelum dan
nampak seperti benang. Tiap-tiap celah semen merupakan bagian dari dinding luar
tubuh yang melekuk ke dalam akibat dari terbentuknya rangkaian pori-pori oleh
kontraksi otot yang terbentang pada lapisan otot longitudinal. Kontraksi otot
membawa cairan sperma dari gonofor jantan menuju daerah klitelum. Cairan
sperma berkumpul di daerah klitelum, dan akhirnya memasuki spermateka cacing
tanah lawannya (Edwards & Lofty 1972).
Cara pemindahan sel sperma pada seluruh spesies cacing tanah tidak sama.
Spesies cacing tanah yang tidak termasuk ke dalam famili Lumbricidae
memindahkan sel spermanya secara langsung tanpa membentuk selubung mukus.
Tembe dan Dubash (1961) menjelaskan kopulasi Pheretima yang memiliki tiga
atau empat pasang spermateka. Gonofor jantan saling bersentuhan dengan
sepasang celah spermateka paling belakang dan menyalurkan cairan sperma ke
dalamnya. Kemudian masing-masing cacing tanah bergerak ke arah belakang, dan
cairan sperma disalurkan ke dalam sepasang spermateka berikutnya sampai
seluruhnya terisi.
Setelah kopulasi berlangsung selama satu jam, cacing tanah terpisah, dan
masing-masing klitelum mengeluarkan getah mukus yang akhirnya mengeras di
sekeliling permukaan luarnya. Ketika getah mukus mengeras, cacing tanah
bergerak ke arah belakang, kemudian membuat selubung di sekeliling kepalanya,
dan ketika cacing tanah terpisah sempurna, ujung selubung menutup untuk
membentuk kokon (Gambar 2b). Kokon mengandung cairan albumin yang
diproduksi oleh kelenjar klitelum, ovum, dan spermatozoa yang disalurkan ke
dalamnya ketika melewati pembukaan spermateka. Kokon terus dibentuk sampai
cairan sperma yang tersedia habis. Fertilisasi terjadi secara eksternal tubuh cacing
tanah, di dalam kokon (Edwards & Lofty 1972).
Produksi kokon dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Keadaan tanah dan
jenis cacing tanah yang berbeda menyebabkan perbedaan jumlah kokon yang
diproduksi. Cacing tanah memproduksi lebih sedikit kokon pada kondisi tanah
yang terlalu kering dan terlalu basah (Gerard 1967). Jenis makanan yang
dikonsumsi cacing tanah dewasa juga dapat mempengaruhi produksi kokon.
Produksi kokon bergantung pada spesies cacing tanah dan kondisi lingkungan
(Evans & Guild 1948). Jumlah kokon yang diproduksi cacing tanah epigeic lebih
banyak daripada kokon cacing tanah anecic (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002).
Warna kokon berubah sesuai dengan perkembangannya (Gambar 2c). Pada
saat terbentuk kokon berwarna keputihan, kemudian berubah menjadi kuning,
kehijauan dan kecoklat-coklatan (Edwards & Lofty 1972). Kokon yang berwarna
kecoklatan mengindikasikan perkembangan yang matang, dan siap untuk menetas.
Penetasan kokon dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Gerard 1967;
Bhattacharjee & Chaudhuri 2002). Suhu yang lebih tinggi dari 25 oC menurunkan
masa inkubasi rata-rata kokon cacing tanah epigeic (Reinecke et al. 1992). Jumlah
ovum yang dibuahi di dalam setiap kokon berkisar 1-20 untuk cacing tanah
Lumbricidae, tapi sering kali hanya satu atau dua yang bertahan hidup dan
menetas menjadi juvenil (Gambar 2d) (Stephenson 1930).
Kepala Klitelum

Klitelum Kepala
Klitelum
Reproduksi
cacing tanah

Perpindahan sperma Liang jantan


a b

Juvenil

c d

Gambar 2 Reproduksi cacing tanah (a), pembentukan kokon (b), perkembangan


kokon (c), dan penetasan kokon menjadi juvenil (d).

Sistem pencernaan
Sistem pencernaan cacing tanah terdiri atas rongga mulut, faring, esofagus,
tembolok, lambung, dan usus. Cacing tanah memperoleh makanan dari bahan
organik berupa organ tumbuhan, protozoa, rotifera, nematoda, bakteri, fungi, dan
sisa-sisa pembusukan hewan (Edwards & Lofty 1972).
Bagian tubuh cacing tanah dikelompokkan ke dalam tiga daerah berdasarkan
pada segmen tubuhnya (Gansen 1962). Daerah yang pertama adalah daerah
penerimaan, yang terdapat pada segmen 1-14. Daerah ini terdiri atas mulut yang
peka, esofagus, dan kelenjar faring tak berpembuluh yang mensekresi getah asam
yang mengandung enzim amilase.
Daerah yang kedua adalah daerah sekresi, yang terdapat pada segmen 15-44.
Daerah ini terdiri atas tembolok, yang menuju ke lambung dan usus. Cacing tanah
mensekresi dua enzim protease dan satu enzim amilase terutama dari “sel piala”
dinding usus yang mensekresi banyak getah. Beberapa enzim yang berbeda
berasal dari daerah ini untuk spesies lain, seperti lipase dan protease (Arthur
1965) serta selulase dan kitinase (Tracey 1951). Makanan yang telah dicerna
melintasi aliran darah di sepanjang epithelium usus dan dialirkan ke berbagai
bagian tubuh dan jaringan untuk digunakan dalam proses metabolisme dan
sebagai cadangan makanan.
Daerah yang ketiga terdapat pada segmen 44 sampai ke anus, disebut daerah
absorpsi. Pada daerah ini, bahan-bahan makanan yang tidak tercerna di dalam
usus diselubungi oleh membran peritrofik yang melapisi usus. Ketika bahan-
bahan makanan diekskresi, membran tersebut akan membungkus casting (sisa
pencernaan/kotoran cacing) (Gansen 1962).

Sistem ekskresi
Organ ekskresi yang terpenting pada cacing tanah adalah nefridia. Organ
tersebut mengekstraksi bahan-bahan limbah dari cairan selom dan
mengeluarkannya ke luar tubuh melalui nefridiofor sebagai urin yang
mengandung amonia dan urea. Cairan selom yang mengandung material eksresi
melintas melalui nefrostom dan dilanjutkan ke tabung nefridia oleh gerakan silia.
(Edwards & Lofty 1972).
Nefridia berperan sebagai penyaring diferensial. Disebut demikian karena
terdapat lebih banyak urea dan amonia, tetapi lebih sedikit kreatinin dan protein di
dalam urin yang dihasilkan daripada di dalam cairan selom (Ramsay 1949).
Nefridia memiliki tiga fungsi pada proses ekskresi, yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan
transformasi kimiawi (Bahl 1947).
Cacing tanah mengekskresikan zat-zat nitrogen dari dinding tubuh sebagai
mukus. Mukus ini berperan sebagai pelumas, mengikat partikel tanah untuk
membentuk dinding liang, dan membentuk lapisan pelindung yang melawan
bahan-bahan beracun. Sekitar setengah nitrogen total yang diekskresikan per hari
terdapat di dalam mukus ini (Edwards & Lofty 1972). Beberapa cacing tanah
seperti Pheretima memiliki kelenjar limfa, tempat akumulasi sel-sel ameba. Sel-
sel ameba juga terdapat di dalam darah, beberapa sel ameba tersimpan di dalam
dinding usus, dan selanjutnya masuk ke dalam usus untuk diekskresikan bersama
feses (Edwards & Lofty 1972).

Sistem saraf
Sistem saraf cacing tanah terdiri atas sebuah ganglion serebral dorsal,
sepasang konektif sirkumentrik dan satu atau lebih tali saraf longitudinal.
Ganglion serebral dorsal menyuplai saraf bagian anterior tubuh dan saraf
prostomial. Pengontrolan pergerakan tubuh cacing tanah diatur oleh ganglion
subenterik. Sedangkan konektif sirkumenterik dan tali saraf longitudinal
mengontrol saraf sensoris dan motoris keseluruhan dinding tubuh serta organ di
setiap tubuh (Edwards & Lofty 1972).
Organ sensoris cacing tanah terdiri atas dua macam, yaitu organ fotoreseptor
dan organ sensoris epitel. Di dalam setiap sel organ fotoreseptor terdapat organel
optik yang berbentuk lonjong atau memanjang. Permukaan luar organel ini terdiri
atas retina, dan permukaan dalam terdiri atas substansi hialin yang transparan.
Organ sensoris epitel merupakan kumpulan dari 35-45 sel-sel yang memanjang
dan besar di bagian dasarnya. Ujung distalnya berakhir pada penonjolan rambut-
rambut sensori sepanjang daerah kutikula yang tipis. Cacing tanah tidak memiliki
mata, tetapi spesies ini memiliki sel-sel sensori yang strukturnya seperti lensa di
daerah epidermis dan dermis, terutama pada prostomium. Bagian tengah dan
prosterior tubuhnya kurang sensitif terhadap cahaya (Laverack 1963).
Cacing tanah sangat respon terhadap rangsangan cahaya, terutama jika tiba-
tiba terpapar cahaya setelah berdiam lama dalam kondisi gelap (Laverack 1963).
Cacing tanah Lumbricus bersifat fotopositif terhadap sumber cahaya yang sangat
lemah, dan fotonegatif terhadap sumber cahaya yang kuat. Akan tetapi cacing
tanah tidak terlalu bereaksi terhadap peningkatan intensitas cahaya yang tiba-tiba
jika telah teradaptasi dalam waktu yang lama dalam kondisi cahaya yang kuat.
Hal itu disebabkan oleh saturasi reseptor cahaya (Hess 1924). Anggota spesies
dari genus Pheretima seluruhnya bersifat fotonegatif terhadap intensitas cahaya
(Howell 1939).
Organ sensoris yang bereaksi terhadap rangsangan kimia (kemoreseptor)
terdapat pada prostomium (Laverack 1963). Kemoreseptor berperan penting
dalam kehidupan cacing tanah. Kemoreseptor dapat mendeteksi dan
mengumpulkan bahan makanan. Kemoreseptor juga dapat digunakan untuk
memberi informasi tentang kondisi lingkungan. Disamping itu, kemoreseptor
berperan dalam proses perkawinan dengan mendeteksi getah mukus yang
dihasilkan oleh cacing tanah yang lain (Smith 1902).

Distribusi Geografi Cacing Tanah


Distribusi cacing tanah sangat luas di seluruh dunia. Akan tetapi pada daerah
gurun, kutub, pegunungan, dan daerah dengan sedikit tanah dan vegetasi cacing
tanah jarang ditemukan. Beberapa spesies cacing tanah yang terdistribusi secara
luas dikenal dengan istilah perigrin (kosmopolitan), sedangkan spesies yang hanya
terdapat pada satu daerah tertentu dikenal dengan istilah endemik (Edwards &
Lofty 1972).
Spesies perigrin dari famili Lumbricidae menyebar ke beberapa wilayah,
terutama di Eropa. Wilayah-wilayah lain yang merupakan daerah penyebaran
spesies cacing tanah dari famili ini adalah Chili, Selandia Baru, beberapa daerah
di Amerika Serikat, Afrika Barat, India bagian barat laut, dan Australia.
Penyebaran Eisenia terdapat di wilayah Eropa, Siberia, Rusia Selatan, Israel, dan
Amerika Utara. Sedangkan Lumbricus tersebar ke wilayah Eropa, Siberia,
Islandia, dan Amerika Utara. Beberapa spesies perigrin dari genus-genus tersebut
terdistribusi di seluruh dunia (Edwards & Lofty 1972; Reynolds 1994).
Cacing tanah Megascolecidae genus Pheretima berasal dari Asia Tenggara.
Namun cacing tanah ini juga bermigrasi ke beberapa daerah tropik, subtropik, dan
daerah beriklim sedang. Beberapa spesies perigrin dari famili Megascolecidae
tersebar di Amerika Selatan dan Amerika Pusat serta Hindia Barat. Genus
Pheretima juga terdistribusi di Indo-Malaya, Asia Timur, dan Australia (Edwards
& Lofty 1972; Reynolds 1994).
METODE

Waktu dan Lokasi


Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap
percobaan. Tahap persiapan dilaksanakan dari bulan Maret 2008 sampai bulan
Januari 2009. Tahap percobaan dilaksanakan pada bulan Februari-April 2009.
Lokasi penelitian terletak di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan
Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor.

Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan penyiapan populasi cacing tanah, media biak, dan
wadah percobaan. Cacing tanah yang digunakan pada penelitian adalah spesies
Pheretima sp., E. fetida dan L. rubellus yang telah berklitelum (Gambar 3a-c).
Identifikasi spesies cacing tanah dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bidang
Zoologi Puslit Biologi – LIPI, Cibinong. Spesies Pheretima sp. diperoleh dari
dalam kotoran sapi yang berasal dari kandang Fakultas Peternakan IPB,
sedangkan E. fetida dan L. rubellus diperoleh dari Bapak Rudi Rochmat pada
peternakan “Kelompok Cacing Tanah Mandiri” di Desa Warna Sari, Kecamatan
Pengalengan, Kabupaten Bandung. Ketiga populasi cacing tanah dibudidaya di
Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan Departemen Biologi IPB selama 10
bulan. Budidaya bertujuan memperbanyak populasi cacing tanah sehingga dapat
dijadikan sebagai stok pada tahap percobaan. Cacing tanah yang dibudidaya pada
tahap persiapan sebanyak ± 1 kg untuk spesies E. fetida dan L. rubellus, serta ±
1.5 kg untuk spesies Pheretima sp. Budidaya cacing tanah dilakukan dengan
sistem windrow, yaitu sistem budidaya cacing tanah dalam barisan yang disusun
sejajar (Gambar 4a), dan bin, yaitu sistem budidaya cacing tanah yang
menggunakan wadah (Gambar 4b)
Media biak terdiri atas kotoran sapi dan sampah daun dari pohon sonokeling
(Dalbergia latifolia). Kotoran sapi diperoleh dari kandang Fakultas Peternakan
IPB. Kotoran sapi digunakan sebagai starter untuk menyediakan sumber nitrogen
bagi cacing tanah (Muthukumaravel et al. 2008). Sebelum dijadikan sebagai
media biak, kotoran sapi dikering-anginkan dan diaduk secara manual setiap hari
selama 15 hari untuk menguapkan gas beracun (Garg et al. 2005).
Daun pohon sonokeling (D. latifolia) diperoleh dari sekitar Kampus IPB.
Daun dihancurkan secara manual hingga mencapai ukuran partikel ± 5 mm. Ke
dalam media biak ditambahkan tanah untuk membantu proses pencernaan cacing
tanah. Tanah diperoleh dari kebun yang terletak di sekitar Bagian Fungsi Hayati
dan Perilaku Hewan Departemen Biologi IPB. Selama masa budidaya, media biak
diaduk dan disiram dengan air secukupnya untuk mempertahankan suhu (25 oC)
dan kelembaban media (65%). Pengadukan dan penyiraman media biak dilakukan
dengan selang waktu tiga hari.
Wadah percobaan pada penelitian ini berupa wadah plastik dengan panjang,
lebar, dan tinggi 35x31x12.5 cm (Gambar 5a). Seluruh wadah percobaan
dilubangi di bagian bawahnya untuk menciptakan aerasi di dalam wadah.

Tahap Percobaan
Seluruh bahan pada media biak dimasukkan ke dalam masing-masing
wadah percobaan. Selanjutnya populasi cacing tanah dimasukkan ke dalam wadah
yang telah berisi media biak. Kuantitas media biak dan cacing tanah yang
digunakan dalam percobaan ini tertera pada Tabel 1. Seluruh wadah percobaan
disusun bertingkat di atas rak (Gambar 5b).
Percobaan ini terdiri atas dua perlakuan, yaitu: 1) perlakuan spesies cacing
tanah tunggal dan kombinasi, dan 2) perlakuan rasio antara cacing tanah dan
sampah daun. Perlakuan spesies cacing tanah tunggal meliputi P, E, dan L,
sedangkan spesies cacing tanah kombinasi meliputi P+E, P+L, E+L, dan P+E+L.
Perlakuan rasio cacing tanah dan sampah daun terdiri atas 1:1 (selanjutnya disebut
rasio R1), dan 2:1 (selanjutnya disebut rasio R2) (Tabel 1).
Pada rasio R1, biomassa awal cacing tanah yang digunakan adalah 30 gr.
Biomassa tersebut ekivalen dengan ± 50 individu untuk spesies E. fetida, ± 60
individu untuk spesies L. rubellus, dan ± 80 individu untuk spesies Pheretima sp.
Bobot awal sampah daun untuk rasio R1 adalah 210 gr. Pada rasio R2, biomassa
awal cacing tanah yang digunakan adalah 30 gr dengan bobot awal sampah daun
sebesar 105 gr.
a b c

Gambar 3 Spesies cacing tanah yang digunakan dalam penelitian: Pheretima sp.
(a), E. fetida (b), dan L. rubellus (c).

Bin

a b

Gambar 4 Budidaya cacing tanah dengan sistem windrow (a) dan bin (b).

a b

Gambar 5 Wadah percobaan (a), dan penyusunan wadah percobaan di atas rak (b).
Tabel 1 Kuantitas media biak dan cacing tanah yang digunakan dalam percobaan
Biomassa Cacing Sampah Daun
No Perlakuan* Rasio CT : SD*
Tanah (gr) (gr)
1 P 30 210
2 E 30 210
3 L 30 210
1:1
4 P+E 15+15 210
(R1)
5 P+L 15+15 210
6 E+L 15+15 210
7 P+E+L 10+10+10 210
8 P 30 105
9 E 30 105
10 L 30 105
2:1
11 P+E 15+15 105
(R2)
12 P+L 15+15 105
13 E+L 15+15 105
14 P+E+L 10+10+10 105
*Perlakuan; P: Pheretima sp., E: E. fetida, L: L. rubellus. CT : SD: Cacing Tanah:Sampah Daun.

Ke dalam wadah percobaan diletakkan bedding berupa daun pisang untuk


mempertahankan kelembaban media. Bedding diletakkan di bagian atas bahan-
bahan media biak secara terpisah dengan menggunakan kain jala.
Suhu, kelembaban, dan pH awal media biak disesuaikan menjadi 25 oC,
65% dan 6.8 berturut-turut. Suhu diukur menggunakan thermometer, sedangkan
kelembaban dan pH diukur dengan soil tester. Setiap minggu dilakukan
pengukuran terhadap parameter biologi penelitian pada seluruh perlakuan.

Pengukuran Parameter Biologi Cacing Tanah


Penelitian ini terdiri atas 3 parameter biologi, yaitu (1) laju konsumsi bahan
organik, (2) pertumbuhan cacing tanah, dan (3) produktivitas cacing tanah.
Seluruh parameter biologi diamati dan diukur setiap 7 hari selama 4 minggu.
Pengukuran parameter biologi diawali dengan memisahkan populasi cacing tanah
dari media biak.
Laju konsumsi bahan organik
Laju konsumsi bahan organik diukur dengan menimbang seluruh bahan
makanan yang terdapat pada media biak menggunakan timbangan digital
(82ADAM, d=0.001 g). Persentase laju konsumsi dihitung dengan persamaan:
B0 - B t
X 100%
B0
Keterangan: B0 : berat awal bahan makanan
Bt : berat bahan makanan pada waktu pengamatan ke-t
Bahan pada media yang telah ditimbang dimasukkan kembali ke dalam
wadah percobaan. Kemudian dilakukan penambahan sampah daun sonokeling
setiap minggu ke dalam media biak sebanyak 210 gr untuk rasio R1 dan 105 gr
untuk rasio R2. Kuantitas sampah daun yang ditambahkan pada rasio R1 dan R2
diperoleh berdasarkan pengetahuan umum yang menyatakan bahwa cacing tanah
dapat mengkonsumsi bahan makanan sebesar bobot tubuhnya dalam waktu 24
jam. Di lain pihak, Haimi dan Huhta (1986) menemukan bahwa cacing tanah
dapat mengkonsumsi bahan makanan setengah dari bobot tubuhnya per hari pada
kondisi lingkungan yang sesuai. Sampah daun diletakkan secara homogen ke
dalam media biak.

Pertumbuhan cacing tanah


Populasi cacing tanah yang telah dipisahkan secara hand sorting ditimbang
sebagai biomassa basah untuk mengetahui pertumbuhannya (Suthar & Singh
2008). Pengukuran biomassa cacing tanah dilakukan mengggunakan timbangan
digital (82ADAM, d=0.001 g). Kemudian cacing tanah dimasukkan kembali ke
dalam wadah percobaan.

Produktivitas cacing tanah


Produktivitas cacing tanah diukur dengan menghitung jumlah kokon yang
diproduksi di dalam seluruh wadah percobaan setiap minggu (Suthar 2007a).
Kokon yang diproduksi oleh masing-masing spesies cacing tanah dipisahkan dari
media biak secara hand sorting dan ditempatkan ke dalam media lain (Banu et al.
2008). Kokon masing-masing spesies ditempatkan ke dalam media lain dengan
suhu 25 oC.
Perkembangan kokon diamati setiap hari sampai menetas untuk mengetahui
masa inkubasi kokon. Selanjutnya, jumlah juvenil yang keluar dari tiap kokon
dihitung (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002).

Analisa komposisi kimiawi vermikompos


Pada minggu keempat, bahan-bahan organik yang telah terdekomposisi
selama masa percobaan disaring untuk memperoleh hasil akhir vermicomposting
berupa vermikompos. Vermikompos yang diproduksi oleh masing-masing spesies
cacing tanah pada perlakuan rasio R2 ditimbang seberat 100 gr untuk dianalisa.
Komposisi kimiawi vermikompos yang dianalisa terdiri atas karbon organik,
nitrogen total, fosfor dan kalium. Kandungan C organik dan N total dianalisa
dengan metode titrasi dan metode Kjeldahl (Walkey & Black 1934). Nilai rasio
C:N diperoleh dengan membagi nilai kandungan C organik dengan N total. Kadar
P dan K masing-masing dianalisa menggunakan Spektrofotometri dan
Flamefotometer (Jackson 1973). Analisa unsur-unsur kimia vermikompos
dilakukan di laboratorium tanah SEAMEO BIOTROP, Bogor.

Analisa Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (7 x 2) dengan 4 ulangan. Sebagai
faktor pertama adalah spesies cacing tanah tunggal dan kombinasi: P, E, L, P+E,
P+L, E+L dan P+E+L. Faktor kedua adalah rasio cacing tanah:sampah: 1:1 dan
2:1, sehingga total percobaan adalah 56 unit percobaan.
Data statistik dianalisa menggunakan program SYSTAT 12 for Woindows.
Perbedaan diantara beberapa perlakuan dianalisa dengan Analysis of Variance
(ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada tingkat kepercayaan 95%.
HASIL

Laju konsumsi bahan organik


Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 1 minggu laju konsumsi
tertinggi pada perlakuan spesies tunggal dengan rasio R1 terdapat pada perlakuan
E (19.05%), sedangkan laju konsumsi terendah terdapat pada perlakuan P
(13.82%). Pada perlakuan spesies kombinasi, laju konsumsi tertinggi terdapat
pada perlakuan E+L (19.84%), sedangkan laju konsumsi terendah terdapat pada
perlakuan P+L (14.24%) (Gambar 6). Namun, setelah 4 minggu laju konsumsi
tertinggi terdapat pada perlakuan spesies kombinasi P+E+L (36.32%), sedangkan
laju konsumsi terendah terdapat pada perlakuan spesies tunggal P (31.56%)
(Lampiran 1 & 2).
Laju konsumsi dengan rasio R2 menunjukkan pola grafik yang hampir sama
dengan rasio R1, akan tetapi persentasenya lebih tinggi. Setelah 1 minggu laju
konsumsi tertinggi pada perlakuan spesies tunggal terdapat pada perlakuan E
(23.54%), sedangkan laju konsumsi terendah terdapat pada perlakuan P
(16.64%). Pada perlakuan spesies kombinasi, laju konsumsi tertinggi terdapat
pada perlakuan E+L (28.13%), sedangkan laju konsumsi terendah terdapat pada
perlakuan P+L (18.24%) (Gambar 7). Setelah 4 minggu, laju konsumsi tertinggi
terdapat pada perlakuan spesies kombinasi E+L (41.08%), sedangkan laju
konsumsi terendah terdapat pada perlakuan spesies tunggal P (33.57) (Lampiran
1 & 2).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa laju konsumsi pada rasio R2 lebih
tinggi dibandingkan dengan rasio R1 (P<0.05). Selama percobaan
vermicomposting, laju konsumsi rata-rata pada masing-masing perlakuan spesies
dengan rasio R1 dari persentase tertinggi sampai persentase terendah adalah: E+L
(29.67%/minggu), P+E+L (29.09%/minggu), E (28.90%/minggu), L
(27.93%/minggu), P+E (26.05%/minggu), P+L (24.18%/minggu), dan P
(23.31%/minggu). Adapun laju konsumsi rata-rata pada masing-masing perlakuan
spesies dengan rasio R2 adalah: E+L (35.93%/minggu), P+E+L
(34.88%/minggu), E (32.92%/minggu), L (31.16%/minggu), P+E
(27.67%/minggu), P+L (26.22%/minggu), dan P (26.05%/minggu).
50
P
E
45 L
P+E
40 P+L

Laju konsumsi (%)


E+L
35 P+E+L

30

25

20

15

10
1 2 3 4
Waktu (minggu)

Gambar 6 Laju konsumsi pada perlakuan spesies yang berbeda dengan rasio
antara cacing tanah dan sampah dedaunan 1:1 (R1).

P
50
E
L
45 P+E
P+L
40 E+L
Laju konsumsi (%)

P+E+L
35

30

25

20

15

10
1 2 3 4
Waktu (minggu)

Gambar 7 Laju konsumsi pada perlakuan spesies yang berbeda dengan rasio
antara cacing tanah dan sampah dedaunan 2:1 (R2).
Pertumbuhan Cacing Tanah
Secara umum pertumbuhan cacing tanah pada rasio R1 cenderung menurun
(Gambar 8). Setelah 1 minggu pertumbuhan cacing tanah tertinggi pada perlakuan
spesies tunggal terdapat pada perlakuan E dengan biomassa rata-rata maksimum
46.8±1.2 gr. Pertumbuhan terendah ditunjukkan pada perlakuan P dengan
biomassa rata-rata 29.0±1.1 gr. Pada perlakuan spesies kombinasi, biomassa
tertinggi terdapat pada perlakuan E+L (39.7±3.8 gr), sedangkan biomassa
terendah terdapat pada perlakuan P+E (33.7±4.8 gr). Gambar 8 menunjukkan
biomassa cacing tanah pada seluruh perlakuan bertambah setelah satu minggu,
kecuali pada perlakuan spesies tunggal P yang menunjukkan penurunan biomassa
(29.0±1.1 gr). Setelah 4 minggu, biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan
spesies kombinasi E+L (19.6±1.4 gr), sedangkan biomassa terendah terdapat pada
perlakuan spesies tunggal P (9.9±0.3 gr) (Lampiran 3 & 4).
Seluruh cacing tanah pada rasio R2 mengalami penurunan biomassa sejak
minggu pertama (Gambar 9). Pada perlakuan spesies tunggal, biomassa tertinggi
setelah 1 minggu terdapat pada perlakuan E (26.1±1.0 gr), sedangkan biomassa
terendah terdapat pada perlakuan P (24.7±1.8 gr). Pada perlakuan spesies
kombinasi, biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan E+L (27.1±1.5 gr),
sedangkan biomassa terendah terdapat pada perlakuan P+E (23.1±2.1 gr). Setelah
4 minggu, biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan spesies kombinasi E+L
(13.1±0.9 gr), sedangkan biomassa terendah terdapat pada perlakuan spesies
tunggal P (5.1±0.5 gr) (Lampiran 3 & 4).
Berdasarkan pada hasil penelitian, laju pertumbuhan cacing tanah pada rasio
R1 lebih tinggi dibandingkan dengan rasio R2 (P<0.05). Pada rasio R1, biomassa
rata-rata cacing tanah maksimum sebesar 46.8±1.2 gr, sedangkan pada rasio R2
biomassa rata-rata cacing tanah maksimum sebesar 27.1±1.5 gr.
60
P
E
L

Biomassa rata-rata cacing tanah (gr)


50
P+E
P+L
40 E+L
P+E+L

30

20

10

0
0 1 2 3 4
Waktu (minggu)

Gambar 8 Pertumbuhan spesies Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus pada


perlakuan yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah
dedaunan 1:1 (R1).

60
P
E
L
Biomassa rata-rata cacing tanah (gr)

50
P+E
P+L
40 E+L
P+E+L

30

20

10

0
0 1 2 3 4
Waktu (minggu)

Gambar 9 Pertumbuhan spesies Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus pada


perlakuan yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah
dedaunan 2:1 (R2).
Produktivitas Cacing Tanah
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada perlakuan spesies tunggal
dengan rasio R1 jumlah rata-rata produksi kokon tertinggi terdapat pada perlakuan
L (36.25±17.1 kokon), sedangkan produksi kokon terendah terdapat pada
perlakuan P (0.75±0.1 kokon) setelah 1 minggu (Gambar 10). Pada perlakuan
spesies kombinasi, jumlah rata-rata produksi kokon tertinggi terdapat pada
perlakuan P+E+L (20.5±5.7 kokon), sedangkan produksi kokon terendah terdapat
pada perlakuan (2.25±1.5 kokon) (Lampiran 5). Jumlah rata-rata kokon
maksimum terdapat pada perlakuan spesies kombinasi E+L (95.75±17.3 kokon)
setelah 2 minggu, sedangkan jumlah rata-rata kokon minimum terdapat pada
perlakuan P (2±2.83 kokon) (Lampiran 6). Pada minggu ketiga jumlah kokon
yang diproduksi oleh seluruh cacing tanah berkurang dari minggu sebelumnya,
sedangkan di akhir percobaan tidak ditemukan kokon yang diproduksi pada
seluruh perlakuan spesies tunggal dan spesies kombinasi.
Jumlah rata-rata kokon tertinggi dengan rasio R2 pada perlakuan spesies
tunggal terdapat pada perlakuan E (34±13.7 kokon) setelah 1 minggu, sedangkan
jumlah rata-rata kokon terendah terdapat pada perlakuan P (2.25±1.3 kokon)
(Gambar 11; Lampiran 5). Pada rasio R2, seluruh perlakuan tidak menunjukkan
peningkatan produksi kokon pada minggu kedua (Lampiran6). Produksi kokon
berhenti pada perlakuan P dan P+E pada minggu ketiga, dan di akhir masa
percobaan tidak ditemukan lagi kokon pada seluruh perlakuan.
Kokon-kokon yang diproduksi oleh cacing tanah pada seluruh perlakuan
dipisahkan berdasarkan spesiesnya. Kokon yang diproduksi oleh Pheretima sp.,
E. fetida, dan L. rubellus memiliki ukuran dan bentuk yang bervariasi (Gambar
12 a-c). Kokon E. fetida berukuran lebih besar dibandingkan dengan kokon
L. rubellus dan Pheretima sp., yaitu 4.85 mm x 2.82 mm, 3.50 mm x 2.46 mm,
dan 3.90 mm x 1.85 mm berturut-turut (ukuran: panjang x lebar).
Pada rasio R1 spesies L. rubellus memproduksi total kokon yang lebih
banyak dibandingkan dengan spesies E. fetida dan Pheretima sp. selama masa
percobaan (Gambar 13). Pada rasio R2, jumlah total kokon yang diproduksi oleh
spesies E. fetida lebih banyak dibandingkan dengan spesies L. Rubellus dan
Pheretima sp. (Gambar 14).
140 P
E
120 L
Jumlah rata-rata kokon P+E
100 P+L
E+L
80 P+E+L

60

40

20

0
1 2 3 4
Waktu (minggu)
Gambar 10 Jumlah rata-rata kokon yang diproduksi pada perlakuan spesies yang
berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan 1:1
(R1).

140 P
E
120 L
P+E
P+L
100
Jumlah rata-rata kokon

E+L
P+E+L
80

60

40

20

1 2 3 4
Waktu (minggu)

Gambar 11 Jumlah rata-rata kokon yang diproduksi pada perlakuan spesies yang
berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan 2:1
(R2).
a b c

Gambar 12 Variasi ukuran dan bentuk kokon cacing tanah: Pheretima sp. (a),
E. fetida (b), dan L. rubellus (c).
900
Pheretima sp.
800 E. fetida
700 L. rubellus
Jumlah total kokon

600
500
400
300
200
100
0
0 1 2 3 4
Waktu (minggu)

Gambar 13 Jumlah total kokon yang diproduksi oleh masing-masing spesies


cacing tanah dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan
1:1 (R1).
900
Pheretima sp.
800
E. fetida
700 L. rubellus
Jumlah total kokon

600
500
400
300
200
100
0
0 1 2 3 4
Waktu (minggu)

Gambar 14 Jumlah total kokon yang diproduksi oleh masing-masing spesies


cacing tanah dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan
2:1 (R2).
Setelah diinkubasi di dalam wadah lain dengan suhu 25 oC, kokon masing-
masing spesies cacing tanah menetas pada waktu yang berbeda. Masa inkubasi
kokon cacing tanah berkisar 14-21 hari. Kokon Pheretima sp. lebih cepat menetas
daripada kokon E. fetida dan L. rubellus. Secara berurutan, rata-rata waktu yang
dibutuhkan kokon untuk menetas adalah 15.6±1.1, 18.6±2.9, dan 19±3.0 hari
(Gambar 15).
Masing-masing kokon cacing tanah memproduksi juvenil dengan kisaran
1-5 juvenil. Jumlah rata-rata juvenil yang diproduksi oleh kokon L. rubellus lebih
banyak dibandingkan dengan kokon E. fetida dan Pheretima sp., yaitu 4.2±0.8,
3.8±0.8, dan 2.6±1.1 juvenil berturut-turut (Gambar 16).

25
Masa inkubasi rata-rata (hari)

20

15

10

0
Pheretima sp. E. fetida L. rubellus
Gambar 15 Masa inkubasi rata-rata kokon dari tiga spesies cacing tanah pada
suhu 25 oC.

5
Jumlah rata-rata juvenil

0
Pheretima sp. E. fetida L. rubellus

Gambar 16 Jumlah rata-rata juvenil yang diproduksi oleh masing-masing kokon


cacing tanah pada suhu 25 oC.
Komposisi Kimiawi Vermikompos
Selama 4 minggu masa percobaan, proses vermicomposting menghasilkan
vermikompos. Komposisi kimiawi vermikompos berbeda dari substrat awal
(Tabel 2). Namun hasil ini hanya menunjukkan komposisi kimiawi vermikompos
pada spesies tunggal dengan rasio R2.
Berdasarkan pada hasil analisa, rasio C:N vermikompos lebih rendah
dibandingkan dengan substrat awal (P=0.108), sedangkan kadar P dan K
vermikompos lebih tinggi dibandingkan dengan substrat yang belum
terdekomposisi. Kadar P pada vermikompos yang diproduksi oleh Pheretima sp.
berbeda nyata dari substrat awal (P=0.03). Peningkatan kadar K yang nyata
terdapat pada vermikompos yang diproduksi oleh Pheretima sp. dan L. rubellus
(P<0.05) (Lampiran 12, 13, 14).
Proses vermicomposting menggunakan spesies cacing tanah yang berbeda
pada umumnya menghasilkan vermikompos dengan komposisi kimiawi yang
berbeda. Hasil analisis dengan ANOVA menunjukkan bahwa rasio C:N, kadar P
dan K pada vermikompos yang dihasilkan oleh ketiga spesies cacing tanah tidak
berbeda nyata (P>0.05).

Tabel 2 Perbandingan komposisi kimiawi substrat awal dengan vermikompos


yang dihasilkan oleh spesies Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus
Rasio C:N Kadar P (mg/100g) Kadar K (mg/100g)
Spesies
Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir
P 12.7 ± 1.2a 10.4 ± 0.2a 29.8 ± 2.2b 39.3 ± 0.7c 207.3 ± 21.8d 271.5 ± 29.7e
E 12.7 ± 1.2a 12.2 ± 2.5a 29.8 ± 2.2b 37.8 ± 4.1bc 207.3 ± 21.8d 240.3 ± 14.3de
L 12.7 ± 1.2a 9.4 ± 1.4a 29.8 ± 2.2b 37.0 ± 4.7bc 207.3 ± 21.8d 272.5 ± 19.4e
Huruf yang sama di belakang angka dalam baris atau kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata dengan uji Tukey pada tingkat kepercayaan 95%.
PEMBAHASAN

Laju konsumsi bahan organik


Berdasarkan pada hasil penelitian, laju konsumsi pada rasio R2 lebih tinggi
dibandingkan dengan rasio R1 (Gambar 6 & 7). Secara ringkas, laju konsumsi
oleh ketiga spesies cacing tanah pada perlakuan spesies tunggal adalah E > L > P,
sedangkan laju konsumsi pada perlakuan kombinasi adalah: E+L > P+E+L >
P+E > P+L. Perbedaan laju konsumsi ini disebabkan oleh perbedaan densitas
cacing tanah di dalam wadah. Semakin besar densitas cacing tanah, maka semakin
cepat aktivitas konsumsi bahan organik. Densitas cacing tanah yang besar
meningkatkan laju konsumsi pada permulaan. Ketika makanan berkurang
aktivitas cacing tanah semakin rendah. Hasil ini sama seperti penelitian Sinha et
al. (2002). Densitas cacing tanah yang besar menyebabkan peningkatan populasi
mikroorganisme di dalam media biak dan saluran pencernaan cacing tanah selama
proses vermicomposting (Banu et al. 2008). Sebagai dekomposer, cacing tanah
dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Oleh karena itu, kehadiran
cacing tanah dapat menyebabkan volume bahan organik yang dikonsumsi lebih
banyak, sehingga pada gilirannya meningkatkan persentase laju konsumsi
(Stachell et al 1984).
Selain itu, mikroorganisme menghasilkan beberapa enzim di dalam saluran
pencernaan cacing tanah. Enzim-enzim tersebut terdiri atas, protease, selulase,
kitinase, amilase dan lipase (Edwards & Lofty 1972). Enzim-enzim tersebut
menguraikan komponen-komponen makanan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan untuk digunakan oleh jaringan tubuh cacing tanah. Parle (1963)
menemukan bahwa enzim pencernaan seperti selulase lebih banyak terdapat di
bagian tengah saluran pencernaan, sedangkan kitinase di bagian belakang.
Beberapa mikroorganisme yang berperan dalam mengkonsumsi bahan
organik di dalam saluran pencernaan cacing tanah terutama bakteri,
actinomycetes, dan fungi (Dominguez et al. 1997a). Populasi actinomycetes dan
bakteri dapat berproliferasi selama melintasi saluran pencernaan cacing tanah,
sedangkan populasi fungi tidak (Parle 1963). Cacing tanah dapat meningkatkan
pertumbuhan fungi melalui aktivitas makannya (Lazcano et al. 2008).
Peningkatan biomassa fungi di dalam saluran pencernaan cacing tanah juga
ditemukan oleh Aira et al. (2006b). Actinomycetes dan bakteri lebih banyak
terdapat di bagian belakang saluran pencernaan dibandingkan dengan bagian
tengah dan depan. Jumlah populasi bakteri yang terdapat di seluruh bagian saluran
pencernaan cacing tanah lebih banyak daripada actinomycetes (Parle 1963).
Jenis dan jumlah mikroorganisme yang berperan di dalam sistem pencernaan
setiap spesies cacing tanah berbeda-beda. Marialigeti (1979) menemukan
sejumlah bakteri Vibro sp. di dalam saluran pencernaan cacing tanah Eisenia
lucens, dan Aeromonas hydrophilia di dalam saluran pencernaan Pheretima sp.
Jumlah mikroorganisme yang terdapat di dalam saluran pencernaan cacing tanah
yang hidup di permukaan tanah lebih banyak dibandingkan dengan cacing tanah
yang hidup pada tanah yang lebih dalam. Kozlovskaya dan Zhdannikova (1961)
menemukan bahwa jumlah total bakteri yang terdapat di dalam saluran
pencernaan cacing tanah L. rubellus 10 kali lebih banyak daripada yang terdapat
di dalam saluran pencernaan cacing tanah Octolasium lacteum.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi laju konsumsi adalah jenis dan
kualitas bahan makanan yang juga merupakan media biak. Pada penelitian ini,
media biak dan bahan makanan yang digunakan adalah kotoran sapi dan sampah
daun sonokeling (D. latifolia). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju
konsumsi semakin rendah setelah 2 minggu (Gambar 6 & 7). Laju konsumsi yang
semakin rendah dikarenakan berkurangnya nutrisi yang berasal dari kotoran sapi
sebagai media biak sekaligus sumber Nitrogen dan rendahnya palatabilitas daun
sonokeling bagi cacing tanah. Sehubungan dengan hal ini, Sinha et al. (2002)
menyatakan bahwa cacing tanah mengkonsumsi sedikit bahan makanannya jika
tidak tersedia substrat utama seperti kotoran ternak. Selain itu, cacing tanah
memiliki palatabilitas yang rendah terhadap sampah dedaunan (Satchell & Lowe
1967).
Bahan makanan masuk ke dalam sistem pencernaan cacing tanah melalui
rongga mulut di daerah prostomium. Cacing tanah memiliki organ kemoreseptor
yang berfungsi untuk mendeteksi zat kimia pada bahan makanan. Sekitar 5-10
persen bahan makanan yang dimasukkan ke dalam tubuh cacing tanah diabsorpsi
kedalam jaringan untuk pertumbuhan dan aktivitas metabolismenya. Sisanya
dikeluarkan sebagai vermicast. Vermicast tercampur dengan getah mukus dinding
saluran pencernaan cacing tanah dan mikrob, selanjutnya diubah menjadi
vermikompos (Edwards & Lofty 1972).
Spesies cacing tanah yang digunakan juga dapat mempengaruhi laju
konsumsi. Spesies cacing tanah yang digunakan pada penelitian ini adalah
Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus. Berdasarkan pada pengamatan,
perlakuan spesies tunggal E. fetida mengkonsumsisi bahan makanannya lebih
tinggi dibandingkan dengan spesies tunggal L. rubellus dan Pheretima sp.
(Gambar 6 & 7), sedangkan pada perlakuan spesies kombinasi, perlakuan E. fetida
+ L. rubellus menunjukkan laju konsumsi yang lebih tinggi daripada perlakuan
kombinasi lainnya. Hal ini dikarenakan karakteristik spesifik spesies cacing tanah
yang berbeda-beda. E. fetida dan L. rubellus merupakan spesies cacing tanah
epigeic yang pada dasarnya merupakan cacing tanah pemakan sampah dan
kotoran pada permukaan tanah (Lee 1985), sehingga daya konsumsinya lebih
tinggi daripada Pheretima sp. yang belum teridentifikasi status ekologinya.
E. fetida dan L. rubellus merupakan spesies cacing tanah yang paling umum
digunakan dalam proses vermicomposting, karena keduanya telah terbukti
mendekomposisi sampah organik dengan cepat (Edwards & Lofty 1972).

Pertumbuhan Cacing Tanah


Berdasarkan pada hasil penelitian, pada minggu pertama biomassa rata-rata
cacing tanah bertambah, tetapi pada minggu berikutnya biomassa berkurang pada
seluruh perlakuan (Gambar 8). Hal ini mungkin berkaitan dengan jenis makanan
yang dikonsumsi cacing tanah pada media biak. Pertumbuhan cacing tanah
bergantung pada jenis makanannya (Nauhauser et al. 1980). Berdasarkan pada
penelitian ini, biomassa cacing tanah bertambah karena mengkonsumsi kotoran
sapi yang masih tersedia di dalam media. Selanjutnya, biomassa cacing tanah
berkurang karena jumlah kotoran sapi juga berkurang, sedangkan sampah daun
tidak menyebabkan peningkatan biomassa. Dominguez et al. (1997b) menemukan
perbedaan laju pertumbuhan cacing tanah pada makanan yang berbeda (kotoran
ternak, jerami, daun pakis, daun pohon berkayu). Hasilnya adalah pertumbuhan
cacing tanah lebih tinggi ketika memakan kotoran ternak, hal ini sesuai dengan
penelitian Barley (1959). Seluruh spesies cacing tanah lebih menyukai bahan
makan berupa kotoran hewan atau daun rumput-rumputan yang berair daripada
daun pepohonan (Guild 1955). Jenis dan jumlah bahan makanan yang tersedia
pada media biak tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan cacing tanah tetapi juga
produktivitasnya (Edwards & Lofty 1972).
Di lain pihak, pada rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan 2:1 (R2),
biomassa cacing tanah pada seluruh perlakuan berkurang sejak minggu pertama
(Gambar 9). Fakta ini mengindikasikan bahwa densitas cacing tanah dan
ketersediaan bahan makanan di dalam media biak mempengaruhi pertumbuhan
cacing tanah. Densitas cacing tanah yang tinggi dan ketersediaan substrat yang
tidak mencukupi kebutuhan dapat menurunkan laju pertumbuhan cacing tanah
(Nauhauser et al. 1980; Dominguez et al. 1997b; Garg et al. 2005).
Pertumbuhan cacing tanah dengan rasio R2 lebih rendah dibandingkan
dengan rasio R1 (Gambar 8 & 9). Hal ini disebabkan oleh tingginya densitas
cacing tanah pada rasio R2. Densitas cacing tanah yang tinggi pada media biak
menyebabkan tingginya kompetisi makanan (Dominguez et al. 1997b), sehingga
cacing tanah kekurangan sumber makanan. Reinecke et al. (1992) juga
menemukan rendahnya pertumbuhan cacing tanah karena densitasnya yang tinggi.
Biomassa cacing tanah berkurang karena berkurangnya bahan makanan yang
diterima oleh setiap individu cacing tanah.
Pertumbuhan cacing tanah bergantung pada kualitas makanannya. Kualitas
bahan organik yang dikonsumsi cacing tanah merupakan salah satu faktor yang
menentukan laju pertumbuhan dan reproduksi (Dominguez et al. 2000; Suthar
2007b). Cacing tanah yang mengkonsumsi bahan makanan dengan rasio C:N
rendah, lebih banyak menggunakan energinya untuk pertumbuhan daripada
reproduksi (Aira et al. 2006a). Oleh karena itu, kualitas bahan makanan yang
digunakan dalam proses vermicomposting sangat mempengaruhi biomassa cacing
tanah (Suthar 2007a).
Pada penelitian ini, pertumbuhan cacing tanah spesies Pheretima sp. lebih
rendah daripada E. fetida dan L. rubellus (Gambar 8 & 9). Perbedaan
pertumbuhan antara ketiga spesies ini dapat disebabkan oleh pola pertumbuhan
spesies spesifik atau dapat dihubungkan dengan palatabilitas makanan pada
individu spesies cacing tanah. Hasil ini memperkuat penelitian Suthar dan Singh
(2008) yang menemukan perbedaan pertumbuhan cacing tanah Perionyx
excavatus dan P. sansibaricus (Megascolecidae) yang mengkonsumsi bahan
organik dari sampah rumah tangga. Perbedaan pertumbuhan cacing tanah
disebabkan oleh perbedaan spesiesnya (Garg et al. 2005).
Selain itu, pertumbuhan yang berbeda pada spesies cacing tanah dapat
disebabkan oleh interaksi diantara populasi cacing tanah akibat kombinasi spesies
tersebut dalam proses vermicomposting. Berdasarkan pada hasil pengamatan,
setiap perlakuan kombinasi yang terdiri atas spesies E. fetida dan L. rubellus
menunjukkan pola pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
kombinasi yang berisi Pheretima sp. Pada percobaan skala laboratorium, interaksi
inter-spesifik dan intra-spesifik diantara populasi cacing tanah L. terrestris, L.
rubellus, Aporrectodea longa, dan Allolobophora chlorotica berpengaruh negatif
terhadap laju pertumbuhan dan produktivitas. Keberadaan satu spesies dapat
menghambat pertumbuhan dan produktivitas spesies yang lain (Lowe & Butt
2002). Hal itu terjadi karena adanya kompetisi antara spesies epigeic dan aneic
dalam memperoleh sumber makanan.

Produktivitas Cacing Tanah


Pada umumnya produktivitas cacing tanah dapat digambarkan dengan laju
produksi kokon dan jumlah juvenil yang muncul dari masing-masing kokon. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa produksi kokon tertinggi terjadi pada minggu
kedua pada perlakuan spesies kombinasi E. fetida + L. rubellus (Gambar 10). Hal
ini mungkin disebabkan oleh ketersediaan bahan makanan yang cukup dari
minggu pertama, dan laju konsumsi yang tinggi dari minggu pertama sampai
minggu kedua. Oleh karena itu cacing tanah memiliki energi yang banyak untuk
memproduksi kokon. Produksi kokon dipengaruhi oleh jumlah bahan makanan
yang tersedia di dalam media biak (Edwards & Lofty 1972).
Pada rasio R1 produksi kokon lebih tinggi daripada rasio R2 (Gambar 10 &
11). Tingginya produksi kokon pada rasio R1 disebabkan oleh tingginya konsumsi
makanan oleh cacing tanah, sehingga dapat meningkatkan energi cacing tanah
untuk memproduksi kokon. Sebagian besar energi cacing tanah dewasa
digunakan untuk memproduksi kokon (Garg et al. 2005). Rendahnya produksi
kokon pada rasio R2 disebabkan oleh pengaruh densitas cacing tanah pada media
biak. Pada rasio R2, densitas cacing tanah tinggi, sehingga jumlah makanan yang
dikonsumsi lebih sedikit, akibatnya pertumbuhan menjadi rendah dan produksi
kokon berkurang. Densitas cacing tanah yang tinggi menyebabkan adanya
kompetisi makanan, sehingga cacing tanah kekurangan energi untuk
memproduksi kokon. (Dominguez et al. 1997b).
Pada minggu keempat, produksi kokon berhenti pada semua perlakuan
(Gambar 10 & 11). Hal ini disebabkan oleh berkurangnya sumber nutrisi berupa
Nitrogen bagi cacing tanah yang berasal dari kotoran sapi. Fakta ini membuktikan
bahwa ketersediaan makanan pada media biak sangat mempengaruhi produksi
kokon. Ketika kokon tidak diproduksi lagi, energi cacing tanah dimanfaatkan
untuk pertumbuhan jaringan tubuh (Chaudhari & Bhattacharjee 2002).
Berdasarkan pada pengamatan, kokon yang diproduksi oleh ketiga spesies
cacing tanah memiliki ukuran dan bentuk yang bervariasi. Kokon E. fetida lebih
besar daripada kokon L. rubellus dan Pheretima sp. (Gambar 12 a-c). Chaudhari
dan Bhattacharjee (2002) yang meneliti beberapa spesies cacing tanah
(Eutyphoeus gammiei, Lampito mauritii, Pontoscolex corethurus, Polypheretima
elongata, Drawida napalensis, Perionyx excavatus, dan Dischogaster
modiglianii), menemukan bahwa ukuran dan bentuk kokon bervariasi diantara
spesies cacing tanah tersebut. Senapati dan Sahu (1993) menemukan hubungan
yang positif antara ukuran tubuh cacing tanah dewasa dengan ukuran kokon yang
diproduksi. Penemuan ini sesuai dengan hasil pengamatan. Spesies E. fetida
berukuran lebih panjang (± 9 cm) dan menghasilkan kokon lebih besar (4.85 mm
x 2.82 mm), dibandingkan dengan ukuran tubuh spesies L. rubellus (± 5 cm) yang
menghasilkan kokon sebesar 3.50 mm x 2.46 mm. Walaupun demikian, ukuran
kokon tidak selalu berhubungan dengan ukuran tubuh cacing tanah dewasa
(Edwards & Bohlen 1996).
Jumlah kokon total yang dihasilkan oleh spesies L. rubellus dan E. fetida
lebih banyak dibandingkan dengan spesies Pheretima sp. (Gambar 13 & 14).
Spesies cacing tanah yang berbeda memiliki kemampuan memproduksi kokon
yang berbeda. Cacing tanah epigeic memproduksi kokon lebih banyak pada
kisaran suhu 24-32 oC dibandingkan dengan cacing tanah anecic (Bhattacharjee &
Chaudhuri 2002). Namun produksi kokon tidak dipengaruhi oleh ukuran tubuh
cacing tanah. Senapati dan Sahu (1993) menemukan bahwa ukuran tubuh cacing
tanah memperlihatkan hubungan negatif terhadap produksi kokon.
Masa inkubasi kokon berbeda-beda pada masing-masing spesies cacing
tanah. Masa inkubasi rata-rata kokon Pheretima sp. lebih cepat dibandingkan
dengan masa inkubasi kokon E. fetida dan L. rubellus (Gambar 15). Walaupun
demikian, masa inkubasi masing-masing kokon cacing tanah pada penelitian ini
tidak berbeda nyata (P=0.09). Masa inkubasi kokon dapat dipengaruhi oleh suhu
lingkungan. Pada penelitian ini, kokon diinkubasi pada suhu 25 oC. Masing-
masing kokon menetas pada kisaran 14-21 hari. Suhu yang lebih tinggi daripada
25 oC menurunkan masa inkubasi rata-rata kokon cacing tanah epigeic (Reinecke
et al. 1992). Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan masa inkubasi pada
cacing tanah endogeic dan penurunan masa inkubasi pada cacing tanah epigeic.
Pada cacing tanah anecic, masa inkubasi kokonnya panjang (110 hari). Pada
cacing tanah endogeic, masa inkubasi kokon pendek (15 hari), sedangkan pada
cacing tanah epigeic masa inkubasi kokon sangat pendek (13-14 hari)
(Bhattacharjee & Chaudhuri 2002).
Jumlah rata-rata juvenil yang diproduksi oleh kokon L. rubellus dan
E. fetida cenderung lebih banyak dibandingkan dengan kokon Pheretima sp.
(P=0.051), yaitu 4.2±0.8, 3.8±0.8, dan 2.6±1.1 juvenil berturut-turut (Gambar 16).
Edwards (1998) menemukan jumlah rata-rata juvenil tiap kokon cacing tanah
E. fetida adalah 3.3 juvenil, sedangkan Gunadi et al. (2003) memperoleh 2.4±0.1
juvenil per kokon E. fetida.
Komposisi Kimiawi Vermikompos
Karakteristik vermikompos bergantung pada karakteristik awal bahan
mentahnya. Bahan mentah vermikompos pada penelitian ini adalah kotoran sapi
dan sampah daun sonokeling dengan rasio C:N 12.7±1.2, kadar P 29.8±2.2
mg/100g, dan kadar K 207.3±21.8 mg/100g (Tabel 2).
Berdasarkan pada hasil analisa, rasio C:N vermikompos lebih rendah
daripada substrat awal (Tabel 2), namun perbedaan ini tidak nyata (P=0.10). Hal
ini mungkin disebabkan oleh masa vermicomposting yang relatif singkat, sehingga
vermikompos yang dihasilkan belum cukup matang. Beberapa peneliti juga
menemukan penurunan tingkat rasio C:N vermikompos (Atiyeh et al. 2000;
Tripathi & Bhardwaj 2004; Suthar & Singh 2008; Khwairakpam & Bhargava
2009). Rasio C:N pada substrat menggambarkan mineralisasi dan stabilisasi
sampah organik selama proses vermicomposting (Suthar & Singh 2008). Rasio
C:N menunjukkan tingkat dekomposisi sampah organik. Unsur C dilepaskan
sebagai CO2 selama biooksidasi, sedangkan N dilepaskan pada tingkat yang lebih
rendah. Semakin banyak bahan organik yang terdekomposisi, semakin rendah
rasio C:N (Pramanik et al. 2007; Lazcano et al. 2008). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa rasio C:N merupakan salah satu indikator yang paling sering
digunakan untuk mengetahui kematangan vermikompos (Tripathi & Bhardwaj
2004; Loh et al. 2005).
Menurunnya rasio C:N pada vermikompos disebabkan oleh aktivitas cacing
tanah dalam proses vermicomposting. Penurunan rasio C:N menunjukkan
tingginya humifikasi vermikompos (Albanell et al. 1988). Hilangnya karbon
sebagai karbon dioksida pada proses respirasi dan produksi mukus serta kotoran
bernitrogen dapat menurunkan rasio C:N (Suthar 2007b). Pramanik et al. (2007)
menemukan bahwa kotoran sapi dapat menurunkan rasio C:N vermikompos.
Rasio C:N pada vermikompos yang diproduksi oleh L. rubellus (9.4±1.4)
lebih rendah dibandingkan dengan vermikompos Pheretima sp. (10.4±0.2) dan E.
fetida (12.2±2.5) (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa L. rubellus lebih efisien
meningkatkan mineralisasi bahan organik daripada Pheretima sp. dan E. fetida.
Penelitian ini memperkuat hasil penelitian Suthar dan Singh (2008) yang
menggunakan spesies Perionyx excavatus dan P. sansibaricus dalam
vermicomposting sampah rumah tangga. Elvira et al. (1998) menemukan bahwa
sebagian besar bahan organik di dalam substrat awal hilang sebagai CO2 (antara
20 dan 43% dari C organik total) di akhir periode vermicomposting. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa proses vermicomposting menyebabkan
penurunan C organik pada sistem dekomposisi sampah dan mempercepat proses
degradasi sampah (Garg & Kaushik 2005; Loh et al. 2005; Lazcano et al. 2008).
Pada penelitian ini, kadar Nitrogen total yang terdapat pada vermikompos
lebih tinggi daripada substrat awal. Hasil ini sesuai dengan penelitian Atiyeh et al.
(2000), Tripathi dan Bhardwaj (2004), Suthar dan Singh (2008), Khwairakpam
dan Bhargava (2009). Cacing tanah sangat mempengaruhi transformasi nitrogen
di dalam kotoran. Dengan meningkatnya mineralisasi nitrogen, maka mineral
nitrogen dapat ditahan dalam bentuk nitrat (Atiyeh et al. 2000). Cacing tanah
meningkatkan kadar N pada vermikompos melalui hasil ekskresi amonia, enzim
nitrogenase dan cairan mukus (Tripathi & Bhardwaj 2004). Perbedaan kadar N
pada vermikompos yang diproduksi oleh ketiga spesies cacing tanah secara
langsung disebabkan oleh palatabilitas makanan pada individu spesies cacing
tanah, dan secara tidak langsung oleh simbiosis mutualisme antara
mikroorganisme dan mukus usus yang bersifat spesifik (Suthar & Singh 2008).
Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar P dan K pada vermikompos lebih
tinggi daripada substrat (Tabel 2). Proses vermicomposting menyebabkan
peningkatan kadar P dan K pada vermikompos di akhir periode vermicomposting
(Manna et al. 2003; Pramanik et al. 2007; Suthar 2007b; Banu et al. 2008; Suthar
& Singh 2008; Khwairakpam & Bhargava 2009). Peningkatan kadar P dan K
tertinggi terdapat pada vermikompos Pheretima sp., dan L. rubellus berturut-turut
(Tabel 2). Peningkatan kandungan mineral P dan K pada vermikompos
menunjukkan adanya peningkatan mineralisasi unsur-unsur tersebut yang
disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroorganisme di dalam saluran pencernaan
cacing tanah (Albanell et al. 1988; Banu et al. 2008). Ketika bahan organik
melintasi saluran pencernaan cacing tanah mengakibatkan perubahan fosfor ke
dalam bentuk yang lebih mudah diserap oleh tumbuhan. Pelepasan fosfor ke
dalam bentuk yang dapat diserap oleh tumbuhan diperantarai oleh fosfat yang
dihasilkan di dalam saluran pencernaan cacing tanah, dan selanjutnya pelepasan
fosfor dapat dilakukan oleh mikroorganisme di dalam casting setelah dikeluarkan
(Lee 1992). Dampak yang dihasilkan oleh cacing tanah terhadap transformasi
fosfor bergantung pada hubungan dekat antara sifat sumber fosfor dan perilaku
meliang yang spesifik serta palatabilitas makanan pada cacing tanah (Le Bayon &
Binet 2006).
Cacing tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus yang digunakan dalam
penelitian ini meningkatkan kualitas vermikompos. Manfaat terpenting dari
aktivitas cacing tanah adalah mempercepat proses mineralisai bahan-bahan
organik dengan perantara mikroorganisme, oleh karena itu cacing tanah sangat
effisien dalam stabilisasi bahan organik sampah (Boyle et al. 1997; Suthar
2007b). Aktivitas mikroorganisme dan enzim di dalam saluran pencernaan cacing
tanah meningkatkan kandungan mineral pada vermikompos (Banu et al. 2008).
Parle (1963) menemukan densitas mikroorganisme di dalam saluran pencernaan
cacing tanah dan vermikompos lebih tinggi daripada di dalam bahan segar
vermicomposting.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Perlakuan spesies tunggal E. fetida dan spesies kombinasi E. fetida +
L. rubellus pada rasio R1 dan R2 lebih cepat mengkonsumsi sampah daun
sonokeling. Secara ringkas, tingkat laju konsumsi oleh ketiga spesies cacing tanah
pada masing-masing perlakuan adalah: E+L > P+E+L > E > L > P+E > P+L > P.
Laju konsumsi bahan organik dipengaruhi oleh densitas cacing tanah, kualitas dan
kuantitas bahan makanan
Pertumbuhan cacing tanah tertinggi terdapat pada perlakuan spesies tunggal
E. fetida dan spesies kombinasi E. fetida + L. rubellus pada rasio R1 dan R2.
Pertumbuhan cacing tanah bergantung pada ketersediaan dan kualitas bahan
makanan, densitas cacing tanah di dalam media biak, serta pola pertumbuhan
spesies spesifik.
Perlakuan spesies tunggal L. rubellus memproduksi kokon lebih banyak
dibandingkan dengan E. fetida dan Pheretima sp. Perlakuan spesies kombinasi
E. fetida + L. rubellus memproduksi kokon dengan jumlah terbanyak. Seluruh
cacing tanah berhenti memproduksi kokon pada minggu keempat.
Rasio C:N pada vermikompos yang diproduksi oleh Pheretima sp., E. fetida,
dan L. rubellus lebih rendah daripada substrat awal. Kandungan P dan K
meningkat pada vermikompos masing-masing cacing tanah.. Sebagai cacing tanah
lokal, spesies Pheretima sp. dapat menghasilkan vermikompos berkualitas tinggi.

Saran
Berdasarkan pada hasil penelitian, maka disarankan untuk: (1) menggunakan
spesies tunggal E. fetida atau spesies kombinasi E. fetida + L. rubellus dengan
rasio R2 dalam mengelola sampah organik dengan sistem vermicomposting; (2)
meneliti lebih lanjut pengaruh kombinasi spesies cacing tanah terhadap komposisi
kimiawi vermikompos; (3) menambahkan kotoran sapi di dalam media biak sesuai
dengan percobaan jika ketersediaannya tidak mencukupi kebutuhan hidup cacing
tanah.
DAFTAR PUSTAKA

Aira M, Monroy F, Dominguez J. 2002. How earthworm density affects microbial


biomass and activity in pig manure. Eur J Soil Biol 38:7-10.

Aira M, Monroy F, Dominguez J. 2006a. C to N ratio strongly affects population


structure of Eisenia fetida in vermicomposting systems. Eur J Soil Biol
42:127-131.

Aira M, Monroy F, Dominguez J. 2006b. Changes in microbial biomass and


microbial activity of pig slurry after the transit through the gut of the
earthworm Eudrillus eugeniae. Biol Fertil Soils 42:371-376.

Albanell E, Plaixats J, Cabrero T. 1988. Chemical changes during


vermicomposting (Eisenia fetida) of sheep manure mixed with cotton
industrial waste. Biol Fertil Soils 6:266-269.

Arrhenius O. 1921. Influence of soil reaction on earthworms. Ecology 2:255–257.

Arthur DR. 1965. Form and function in the interpretation of feeding in Lumbricid
worms. Viewpoints in Biol 4:204-251.

Atiyeh RM, Dominguez J, Subler S, Edwards CA. 2000. Changes in biochemical


properties of cow manure during processing by earthworms (Eisenia andrei
Bouche) and the effects on seedling growth. Pedobiologia 44:709-724.

Bahl KN. 1947. Excretion in the Oligochaeta. Biol Rev 22:109-147.

Banu JR, Yeom IT, Esakkiraj S, Kumar N, Logakanthi S. 2008. Biomanagement


of sago-sludge using an earthworm, Eudrilus eugeniae. J Environ Biol
9:143-146.

Barley KP. 1959. Consumption of soil and organic matter by the earthworm
Allolobophora caliginosa. Aust J Agr Res 10:179-188.

Bhattacharjee G, Chaudhuri PS. 2002. Cocoon production, morphology,


hatchling pattern and fecundity in seven tropical earthworm species
- a laboratory-based investigation. J Biosci 27:283-294.

Bouche MB. 1977. Soil organisms as components of ecosystems. Biol Bull


25:122-132.

Boyle KE, Curry JP, Farrell EP. 1997. Influence or earthworms on soil properties
and grass production in reclaimed cutover peat. Biol Fertil Soils 25:20-26.

Brusca CR, Brusca GJ. 2003. Invertebrates. Sunderland: Sinauer Associates, Inc.
Chaudhari PS, Bhattacharjee G. 2002. Capacity of various experimental diets to
support biomass and reproduction of Perionyx excavatus. Biores Technol
82:147-150.

Delgado M, Bigeriego MWI, Calvo R. 1995. Use of the California red worm in
sewage sludge transformation. Turrialba 45:33-41.

Dominguez J, Edwards CA, Subler S. 1997a. A comparison of vermicomposting


and composting. Bio Cycle 38:57-59.

Dominguez J, Briones MJI, Mato S. 1997b. Effect of diet on growth and


reproduction of Eisenia andrei (Oligochaeta, Lumbricidae). Pedobiologia
41:566-576.

Dominguez J, Edwards CA, Webster M. 2000. Vermicomposting of sewage


sludge: effect of bulking materials on the growth and reproduction of the
earthworm Eisenia andrei. Pedobiologia 44:24-32.

Edwards CA. 1998. The Use of Earthworms in The Break Down and
Management of Organic Wastes. In: Earthworm Ecology. Boca Raton:
CRC Pr.

Edwards CA, Bohlen PJ. 1996. Biology and Ecology of Earthworms. London:
Chapman & Hall.

Edwards CA, Lofty JR. 1972. Biology of Earthworm. London: Chapman & Hall.

Edwards CA, Dominguez J, Neuhauser EF. 1988. Growth and reproduction of


Perionyx excavatus (Perr.) (Megascolecidae) as factors in organic waste
management. Biol Fertil Soils 27:155-161.

Elvira C, Sampedro L, Benitez E, Nogales R. 1998. Vermicomposting of sludge


from paper mill and dairy industries with Eisenia andrei: A pilot scale
study. Biores Technol 63:205-211.

Gajalakshmi S, Ramasamy EF, Abbasi SA. 2005. Composting-vermicomposting


of leaf litter ensuing from the trees of mango (Mangifera indica). Biores
Technol 96:1057-1061.

Gandhi M, Sangwan V, Kapoor KK, Dilbaghi N. 1997. Composting of household


wastes with and without earthworms. Environ Ecol 15:432–434.

Gansen PS van. 1962. Structures et Functions du Tube Digestif du Lombricien


Eisenia foetida Savigny. Bruxelles: Imp Med Sci.

Garg VK, Chand S, Chhillar A, Yadav A. 2005. Growth and reproduction of


Eisenia fetida in various animal wastes during vermicomposting. Appl Ecol
Environ Res 3:51-59.
Garg VK, Kaushik P. 2005. Vermistabilization of textile mill sludge spiked with
poultry droppings by an epigeic earthworm Eisenia fetida. Biores Technol
96:1063-1071.

Gerard BM. 1967. Factors affecting earthworms in pastures. J Anim Ecol


36:235-252.

Guild WJ. 1955. Earthworm and Soil Structure. London: Butterworths.

Gunadi B, Edwards CA, Blount C. 2003. The influence of different moisture


levels on the growth, fecundity and survival of Eisenia fetida (Savigny) in
cattle and pig manure solids. Eur J Soil Biol 39:19-24.

Haimi J, Huhta V. 1986. Capacity of various organic residues to support


adequate earthworm biomass in vermicomposting. Biol Fertil Soils
2:23–27.

Hess WN. 1924. Reaction to light in the earthworm, Lumbricus terrestris.


J Morph 40:235-260.

Hou J, Qiao Y, Liu G, Renjie D. 2005. The influence of temperature, pH and C/N
ratio on the growth and survival of earthworms in municipal solid waste.
CIGR E-J 7:1-6.

Howell CD. 1939. The responses to light in the earthworm, Pheretima agrestis
Goto and Hatai, with special reference to the function of the nervous
system. J Exp Zool 81:231-259.

Ismail SA. 1997. Vermicology: The Biology of Earthworms. Chennai: Orient


Longman.

Jackson M.L. 1973. Soil Chemical Analysis. New Delhi: Prentice Hall Private Ltd.

Kaplan DL, Hartenstein R, Neuhauser EF, Malechi MR. 1980. Physicochemical


requirements in the environment of the earthworm Eisenia fetida. Soil Biol
Biochem 12:347-352.

Khwairakpam M, Bhargava R. 2009. Vermitechnology for sewage sludge


recycling. J Hazardous Mat 161:948-954.

Kozlovskaya LS, Zhdannikova EN. 1961. Joint action of earthworms and


microflora in forest soils. Dokl Akad Nauk 139:470-473.

Lavelle P. 1988. Earthworm activities and the soil system. Biol Fertil Soils
6:237-251.

Laverack MS. 1963. The Physiology of Earthworms. New York: Pergamon Pr.
Lazcano C, Brandon MG, Dominguez J. 2008. Comparison of the effectiveness
of composting and vermicomposting for the biological stabilization of cattle
manure. Chemosphere 72:1013-1019.

Le Bayon RC, Binet F. 2006. Earthworm changes the distribution and availability
of phosphorus in organic substrates. Soil Biol Biochem 38:235-246.

Lee KE. 1985. Earthworms: Their Ecology and Relationship with Soils and Land
Use. Sydney: Academic Pr.

Lee KE. 1992. Some trends opportunities in earthworm research or: Darwin’s
children. The future of our discipline. Soil Biol Biochem 24:1765-1771.

Loehr RC. Neuhauser EF. Malecki MR. 1985. Factors affecting the
fermistabilization process. Water Res 19:1311-1317.

Loh TC, Lee YC, Liang JB, Tan D. 2005. Vermicomposting of cattle and goat
manures by Eisenia fetida and their growth and reproduction preference.
Biores Technol 96:111-114.

Lowe CN, Butt KR. 2002. Growth of hatchling earthworm in the presence of
adults: interaction in laboratory culture. Biol Fertil Soils 35:204-209.

Manimegala et al. 2008. Role of Leucaena glauca leaf litter on the growth and
reproduction of earthworms Eisenia fetida Savigny. CMU J Nat Sci
7:295-306.

Manna MC, Jha S, Ghosh PK, Acharya CL. 2003. Comparative efficiency of three
epigeic earthworms under different deciduous forest litters decomposition.
Biores Technol 88:197-206.

Marialigeti K. 1979. On the community structure of gut-microbiota of Eisenia


lucens (Annelida, Oligochaeta). Pedobiologia 19:213-220.

Moody SA, Briones MJI, Piearce TG, Dighton J. 1995. Selective consumption of
decomposing wheat straw by earthworms. Soil Biol Biochem 27:1209-1213.

Muthukumaravel K, Amsath A, Sukumaran M. 2008. Vermicomposting of


vegetable waste using cow dung. E-J Chem 5:810-813.

Nauhauser EF, Hartenstein R, Kaplan DL. 1980. Growth of the earthworm


Eisenia fetida in relation to population density and food rationing. OIKOS
35:93-98.
Ndegwa PM, Thompson SA. 2000. Effect of C and N ratio on vermicomposting
in the treatment and bioconversion of biosolids. Biores Technol 76:7-12.

Ndegwa PM, Thompson SA. 2001. Integrating composting and vermicomposting


in the treatment of bioconversion of biosolids. Biores Technol 76:107-12.
Parle JN. 1963. Micro-organisms in the intestine of earthworms. J Gen Microbiol
31:1-11.

Pramanik P, Ghosh GK, Ghosal PK, Banik P. 2007. Changes in organic – C, N, P


and K and enzyme activities in vermicompost of biodegradable organic
waste under liming and microbial inoculants. Biores Technol 98:2485-2494.

Ramsay JA. 1949. The osmotic relations of the earthworm. J Exp Biol 26:46-56.

Reinecke AJ, Venter JM. 1987. Moisture preference, growth and reproduction of
the compost worm Eisenia fetida (Oligochaeta). Biol Fertil Soils 3:135-141.

Reinecke AJ, Viljoen SA, Saayman RJ. 1992. The suitability of Eudrillus
euginae, Perionyx excavatus and Eisenia fetida (Oligochaeta) for
vermicomposting in southern Africa in terms of their temperature
requirements. Soil Biol Biochem 24:1295-1307.

Reynolds J. 1994. Earthworms of the world. Global Biodiversity 4:11-16.

Satchell JE, Lowe DG. 1967. Selection of Leaf Litter by Lumbricus terrestris.
Amsterdam: North Holland Pub.

Senapati BK, Sahu SK. 1993. Reproductive biology (cocoon morphology, live
cycle pattern and life table analysis) in earthworms. Calcutta 1:79-96.

Senesi N. 1989. Composted materials as organic fertilizers. Sci Total Environ


81:521-542.

Sharma S, Pradhan K, Satya S, Vasudevan P. 2005. Potentiality of earthworms for


waste management and in other uses. J Am Sci 1:4-16.

Singh NB, Khare AK, Bhargava DS, Bhattacharya S. 2005. Effect of initial
substrate pH on vermicomposting using Perionyx excavatus (Perrier, 1872).
Appl Ecol Environ Res 4:85-97.

Sinha RK, Herat S, Agarwal S, Asadi R, Carretero E. 2002. Vermiculture and


waste management: study of action of earthworms Eisenia feetida, Eudrilus
euginae and Perionyx excavatus on biodegradation of some community
wastes in India and Australia. The Environmentalist 22:261-268.

Smith AC. 1902. The influence of temperature, odors, light and contact on the
movements of the earthworm. Am J Physiol 6:459-486.

Stachell JK, Martin K, Krishnamorthy RV. 1984. Stimulation of microbial


phospatase production by earthworm activity. Soil Biol Biochem
16:195-201.

Stephenson J. 1930. The Oligochaeta. Oxford: Oxford Univ Pr.


Subler S, Edwards CA, Metzger J. 1998. Comparing vermicomposts and
composts. Bio Cycle 39:63-66.

Suthar S. 2007a. Influence of different food sources on growth and reproduction


performance of composting epigeic: Eudrilus eugeniae, Perionyx excavatus
and Perionyx sansibaricus. Appl Ecol Environ Res 5:79-92.

Suthar S. 2007b. Vermicomposting potential of Perionyx sansibaricus (Perrier) in


different waste materials. Biores Technol 97:1231-1237.

Suthar S, Singh S. 2008. Vermicomposting of domestic waste by using two


epigeic earthworms (Perionyx excavatus and Perionyx sansibaricus).
Int J Environ Sci Tech 5:99-106.

Tembe VB, Dubash PJ. 1961. The earthworms: a review. J Bombay Nat Hist Soc
58:171-201.

Tiunov AV, Scheu S. 2004. Carbon availability control the growth of detritivores
(Lumbricidae) and their effect on nitrogen mineralization. Oecologia
138:83-90.

Tomatti U, Grapelli A, Galli E. 1988. The hormone like effect of earthworm casts
on plant growth. Biol Fertil Soils 5:228-294.

Tracey MV. 1951. Cellulose and chitinase in worms. Nature 167:776-777.

Tripathi G, Bhardwaj P. 2004. Decompositon of kitchen waste amended with cow


manure using epigeic species (Eisenia fetida) and anecic species (Lampito
mauritii). Biores Technol 92:215-218.

Walkey A, Black IA. 1934. Determination of organic carbon in soil. Soil Science
37:29-38.
Lampiran 1 Hasil analisis laju konsumsi pada perlakuan spesies tunggal dan
kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 1 minggu

Tabel ANOVA

Sumber Perlakuan df Kwadrat TengahRasio Fp-value


RASIO 1 328.200 631.5680.000
SPESIES 6 86.600 166.6480.000
SPESIES*RASIO 6 9.724 18.712 0.000
Error 42 0.520

RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%

SPESIES(i) SPESIES(j) p-value

P E 0.000
P L 0.000
P P+E 0.000
P P+L 0.099
P E+L 0.000
P P+E+L 0.000
E L 0.427
E P+E 0.000
E P+L 0.000
E E+L 0.000
E P+E+L 0.004
L P+E 0.000
L P+L 0.000
L E+L 0.000
L P+E+L 0.000
P+E P+L 0.000
P+E E+L 0.000
P+E P+E+L 0.000
P+L E+L 0.000
P+L P+E+L 0.000
E+L P+E+L 0.024

RASIO(i) RASIO(j) p-value

1:1 2:1 0.000

SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P * 2:1 0.000


P * 1:1 E * 1:1 0.000
P * 1:1 E * 2:1 0.000
P * 1:1 L * 1:1 0.000
P * 1:1 L * 2:1 0.000
P * 1:1 P + E * 1:1 0.000
P * 1:1 P + E * 2:1 0.000
P * 1:1 P + L * 1:1 1.000
P * 1:1 P + L * 2:1 0.000
P * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P * 1:1 E + L * 2:1 0.000
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000


P * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
P * 2:1 E * 1:1 0.002
P * 2:1 E * 2:1 0.000
P * 2:1 L * 1:1 0.005
P * 2:1 L * 2:1 0.000
P * 2:1 P + E * 1:1 1.000
P * 2:1 P + E * 2:1 0.000
P * 2:1 P + L * 1:1 0.002
P * 2:1 P + L * 2:1 0.130
P * 2:1 E + L * 1:1 0.000
P * 2:1 E + L * 2:1 0.000
P * 2:1 P + E + L * 1:1 0.003
P * 2:1 P + E + L * 2:1 0.000
E * 1:1 E * 2:1 0.000
E * 1:1 L * 1:1 1.000
E * 1:1 L * 2:1 0.000
E * 1:1 P + E * 1:1 0.002
E * 1:1 P + E * 2:1 0.907
E * 1:1 P + L * 1:1 0.000
E * 1:1 P + L * 2:1 0.942
E * 1:1 E + L * 1:1 0.949
E * 1:1 E + L * 2:1 0.000
E * 1:1 P + E + L * 1:1 1.000
E * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
E * 2:1 L * 1:1 0.000
E * 2:1 L * 2:1 0.422
E * 2:1 P + E * 1:1 0.000
E * 2:1 P + E * 2:1 0.000
E * 2:1 P + L * 1:1 0.000
E * 2:1 P + L * 2:1 0.000
E * 2:1 E + L * 1:1 0.000
E * 2:1 E + L * 2:1 0.000
E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
E * 2:1 P + E + L * 2:1 0.000
L * 1:1 L * 2:1 0.000
L * 1:1 P + E * 1:1 0.004
L * 1:1 P + E * 2:1 0.752
L * 1:1 P + L * 1:1 0.000
L * 1:1 P + L * 2:1 0.990
L * 1:1 E + L * 1:1 0.831
L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
L * 1:1 P + E + L * 1:1 1.000
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000


L * 2:1 P + E * 1:1 0.000
L * 2:1 P + E * 2:1 0.003
L * 2:1 P + L * 1:1 0.000
L * 2:1 P + L * 2:1 0.000
L * 2:1 E + L * 1:1 0.002
L * 2:1 E + L * 2:1 0.000
L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
L * 2:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + E * 1:1 P + E * 2:1 0.000
P + E * 1:1 P + L * 1:1 0.002
P + E * 1:1 P + L * 2:1 0.122
P + E * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P + E * 1:1 E + L * 2:1 0.000
P + E * 1:1 P + E + L * 1:1 0.003
P + E * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + E * 2:1 P + L * 1:1 0.000
P + E * 2:1 P + L * 2:1 0.099
P + E * 2:1 E + L * 1:1 1.000
P + E * 2:1 E + L * 2:1 0.000
P + E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.816
P + E * 2:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + L * 1:1 P + L * 2:1 0.000
P + L * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P + L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
P + L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000
P + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + L * 2:1 E + L * 1:1 0.136
P + L * 2:1 E + L * 2:1 0.000
P + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.980
P + L * 2:1 P + E + L * 2:1 0.000
E + L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
E + L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.883
E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
E + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
E + L * 2:1 P + E + L * 2:1 0.164
P + E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
Lampiran 2 Hasil analisis laju konsumsi pada perlakuan spesies tunggal dan
kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 4 minggu

Tabel ANOVA

Sumber Perlakuan df Kwadrat TengahRasio Fp-value


RASIO 1 130.662 103.5050.000
SPESIES 6 56.052 44.402 0.000
SPESIES*RASIO 6 4.212 3.336 0.009
Error 42 1.262

RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%

SPESIES(i) SPESIES(j) p-value

P E 0.000
P L 0.000
P P+E 0.081
P P+L 1.000
P E+L 0.000
P P+E+L 0.000
E L 0.042
E P+E 0.000
E P+L 0.000
E E+L 0.894
E P+E+L 0.950
L P+E 0.017
L P+L 0.000
L E+L 0.002
L P+E+L 0.003
P+E P+L 0.191
P+E E+L 0.000
P+E P+E+L 0.000
P+L E+L 0.000
P+L P+E+L 0.000
E+L P+E+L 1.000

RASIO(i) RASIO(j) p-value

1:1 2:1 0.000

SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P * 2:1 0.415


P * 1:1 E * 1:1 0.000
P * 1:1 E * 2:1 0.000
P * 1:1 L * 1:1 0.057
P * 1:1 L * 2:1 0.000
P * 1:1 P + E * 1:1 0.433
P * 1:1 P + E * 2:1 0.011
P * 1:1 P + L * 1:1 1.000
P * 1:1 P + L * 2:1 0.439
P * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P * 1:1 E + L * 2:1 0.000
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000


P * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
P * 2:1 E * 1:1 0.116
P * 2:1 E * 2:1 0.000
P * 2:1 L * 1:1 0.999
P * 2:1 L * 2:1 0.000
P * 2:1 P + E * 1:1 1.000
P * 2:1 P + E * 2:1 0.938
P * 2:1 P + L * 1:1 0.808
P * 2:1 P + L * 2:1 1.000
P * 2:1 E + L * 1:1 0.107
P * 2:1 E + L * 2:1 0.000
P * 2:1 P + E + L * 1:1 0.062
P * 2:1 P + E + L * 2:1 0.000
E * 1:1 E * 2:1 0.003
E * 1:1 L * 1:1 0.615
E * 1:1 L * 2:1 0.528
E * 1:1 P + E * 1:1 0.109
E * 1:1 P + E * 2:1 0.934
E * 1:1 P + L * 1:1 0.001
E * 1:1 P + L * 2:1 0.107
E * 1:1 E + L * 1:1 1.000
E * 1:1 E + L * 2:1 0.000
E * 1:1 P + E + L * 1:1 1.000
E * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
E * 2:1 L * 1:1 0.000
E * 2:1 L * 2:1 0.594
E * 2:1 P + E * 1:1 0.000
E * 2:1 P + E * 2:1 0.000
E * 2:1 P + L * 1:1 0.000
E * 2:1 P + L * 2:1 0.000
E * 2:1 E + L * 1:1 0.003
E * 2:1 E + L * 2:1 0.923
E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.006
E * 2:1 P + E + L * 2:1 0.996
L * 1:1 L * 2:1 0.003
L * 1:1 P + E * 1:1 0.999
L * 1:1 P + E * 2:1 1.000
L * 1:1 P + L * 1:1 0.223
L * 1:1 P + L * 2:1 0.999
L * 1:1 E + L * 1:1 0.589
L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.435
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000


L * 2:1 P + E * 1:1 0.000
L * 2:1 P + E * 2:1 0.017
L * 2:1 P + L * 1:1 0.000
L * 2:1 P + L * 2:1 0.000
L * 2:1 E + L * 1:1 0.553
L * 2:1 E + L * 2:1 0.020
L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.708
L * 2:1 P + E + L * 2:1 0.073
P + E * 1:1 P + E * 2:1 0.930
P + E * 1:1 P + L * 1:1 0.823
P + E * 1:1 P + L * 2:1 1.000
P + E * 1:1 E + L * 1:1 0.100
P + E * 1:1 E + L * 2:1 0.000
P + E * 1:1 P + E + L * 1:1 0.058
P + E * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + E * 2:1 P + L * 1:1 0.057
P + E * 2:1 P + L * 2:1 0.928
P + E * 2:1 E + L * 1:1 0.923
P + E * 2:1 E + L * 2:1 0.000
P + E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.826
P + E * 2:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + L * 1:1 P + L * 2:1 0.828
P + L * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P + L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
P + L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000
P + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + L * 2:1 E + L * 1:1 0.098
P + L * 2:1 E + L * 2:1 0.000
P + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.056
P + L * 2:1 P + E + L * 2:1 0.000
E + L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
E + L * 1:1 P + E + L * 1:1 1.000
E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
E + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
E + L * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
P + E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
Lampiran 3 Hasil analisis biomassa cacing tanah pada perlakuan spesies tunggal
dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 1 minggu

Tabel ANOVA

Sumber Perlakuan df Kwadrat TengahRasio Fp-value


RASIO 1 2155.865 375.7610.000
SPESIES 6 99.107 17.274 0.000
SPESIES*RASIO 6 54.149 9.438 0.000
Error 42 5.737

RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%

SPESIES(i) SPESIES(j) p-value

P E 0.000
P L 0.000
P P+E 0.845
P P+L 0.700
P E+L 0.000
P P+E+L 0.091
E L 0.403
E P+E 0.000
E P+L 0.000
E E+L 0.181
E P+E+L 0.000
L P+E 0.001
L P+L 0.001
L E+L 0.999
L P+E+L 0.045
P+E P+L 1.000
P+E E+L 0.002
P+E P+E+L 0.724
P+L E+L 0.005
P+L P+E+L 0.863
E+L P+E+L 0.130

RASIO(i) RASIO(j) p-value

1:1 2:1 0.000

SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P * 2:1 0.404


P * 1:1 E * 1:1 0.000
P * 1:1 E * 2:1 0.895
P * 1:1 L * 1:1 0.000
P * 1:1 L * 2:1 0.770
P * 1:1 P + E * 1:1 0.274
P * 1:1 P + E * 2:1 0.061
P * 1:1 P + L * 1:1 0.234
P * 1:1 P + L * 2:1 0.121
P * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P * 1:1 E + L * 2:1 0.997
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P + E + L * 1:1 0.009


P * 1:1 P + E + L * 2:1 0.311
P * 2:1 E * 1:1 0.000
P * 2:1 E * 2:1 1.000
P * 2:1 L * 1:1 0.000
P * 2:1 L * 2:1 1.000
P * 2:1 P + E * 1:1 0.000
P * 2:1 P + E * 2:1 0.999
P * 2:1 P + L * 1:1 0.000
P * 2:1 P + L * 2:1 1.000
P * 2:1 E + L * 1:1 0.000
P * 2:1 E + L * 2:1 0.969
P * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
P * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
E * 1:1 E * 2:1 0.000
E * 1:1 L * 1:1 0.350
E * 1:1 L * 2:1 0.000
E * 1:1 P + E * 1:1 0.000
E * 1:1 P + E * 2:1 0.000
E * 1:1 P + L * 1:1 0.000
E * 1:1 P + L * 2:1 0.000
E * 1:1 E + L * 1:1 0.009
E * 1:1 E + L * 2:1 0.000
E * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000
E * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
E * 2:1 L * 1:1 0.000
E * 2:1 L * 2:1 1.000
E * 2:1 P + E * 1:1 0.004
E * 2:1 P + E * 2:1 0.884
E * 2:1 P + L * 1:1 0.003
E * 2:1 P + L * 2:1 0.968
E * 2:1 E + L * 1:1 0.000
E * 2:1 E + L * 2:1 1.000
E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
E * 2:1 P + E + L * 2:1 0.999
L * 1:1 L * 2:1 0.000
L * 1:1 P + E * 1:1 0.001
L * 1:1 P + E * 2:1 0.000
L * 1:1 P + L * 1:1 0.001
L * 1:1 P + L * 2:1 0.000
L * 1:1 E + L * 1:1 0.949
L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.033
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000


L * 2:1 P + E * 1:1 0.002
L * 2:1 P + E * 2:1 0.961
L * 2:1 P + L * 1:1 0.001
L * 2:1 P + L * 2:1 0.994
L * 2:1 E + L * 1:1 0.000
L * 2:1 E + L * 2:1 1.000
L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
L * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
P + E * 1:1 P + E * 2:1 0.000
P + E * 1:1 P + L * 1:1 1.000
P + E * 1:1 P + L * 2:1 0.000
P + E * 1:1 E + L * 1:1 0.049
P + E * 1:1 E + L * 2:1 0.022
P + E * 1:1 P + E + L * 1:1 0.977
P + E * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + E * 2:1 P + L * 1:1 0.000
P + E * 2:1 P + L * 2:1 1.000
P + E * 2:1 E + L * 1:1 0.000
P + E * 2:1 E + L * 2:1 0.508
P + E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
P + E * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
P + L * 1:1 P + L * 2:1 0.000
P + L * 1:1 E + L * 1:1 0.060
P + L * 1:1 E + L * 2:1 0.018
P + L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.986
P + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + L * 2:1 E + L * 1:1 0.000
P + L * 2:1 E + L * 2:1 0.702
P + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
P + L * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
E + L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
E + L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.652
E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
E + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
E + L * 2:1 P + E + L * 2:1 0.933
P + E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
Lampiran 4 Hasil analisis biomassa cacing tanah pada perlakuan spesies tunggal
dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 4 minggu

Tabel ANOVA

Sumber Perlakuan df Kwadrat TengahRasio Fp-value


RASIO 1 402.214 521.9650.000
SPESIES 6 63.484 82.385 0.000
SPESIES*RASIO 6 7.569 9.823 0.000
Error 42 0.771

RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%

SPESIES(i) SPESIES(j) p-value

P E 0.000
P L 0.000
P P+E 0.000
P P+L 0.000
P E+L 0.000
P P+E+L 0.000
E L 0.236
E P+E 0.000
E P+L 0.077
E E+L 0.001
E P+E+L 0.000
L P+E 0.001
L P+L 0.998
L E+L 0.000
L P+E+L 0.000
P+E P+L 0.003
P+E E+L 0.000
P+E P+E+L 1.000
P+L E+L 0.000
P+L P+E+L 0.001
E+L P+E+L 0.000

RASIO(i) RASIO(j) p-value

1:1 2:1 0.000

SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P * 2:1 0.000


P * 1:1 E * 1:1 0.000
P * 1:1 E * 2:1 0.817
P * 1:1 L * 1:1 0.000
P * 1:1 L * 2:1 0.951
P * 1:1 P + E * 1:1 0.000
P * 1:1 P + E * 2:1 0.279
P * 1:1 P + L * 1:1 0.000
P * 1:1 P + L * 2:1 1.000
P * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P * 1:1 E + L * 2:1 0.000
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P + E + L * 1:1 0.100


P * 1:1 P + E + L * 2:1 0.998
P * 2:1 E * 1:1 0.000
P * 2:1 E * 2:1 0.000
P * 2:1 L * 1:1 0.000
P * 2:1 L * 2:1 0.000
P * 2:1 P + E * 1:1 0.000
P * 2:1 P + E * 2:1 0.001
P * 2:1 P + L * 1:1 0.000
P * 2:1 P + L * 2:1 0.000
P * 2:1 E + L * 1:1 0.000
P * 2:1 E + L * 2:1 0.000
P * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
P * 2:1 P + E + L * 2:1 0.000
E * 1:1 E * 2:1 0.000
E * 1:1 L * 1:1 0.178
E * 1:1 L * 2:1 0.000
E * 1:1 P + E * 1:1 0.000
E * 1:1 P + E * 2:1 0.000
E * 1:1 P + L * 1:1 0.790
E * 1:1 P + L * 2:1 0.000
E * 1:1 E + L * 1:1 0.203
E * 1:1 E + L * 2:1 0.000
E * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000
E * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
E * 2:1 L * 1:1 0.000
E * 2:1 L * 2:1 1.000
E * 2:1 P + E * 1:1 0.000
E * 2:1 P + E * 2:1 0.002
E * 2:1 P + L * 1:1 0.000
E * 2:1 P + L * 2:1 0.651
E * 2:1 E + L * 1:1 0.000
E * 2:1 E + L * 2:1 0.082
E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.981
E * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
L * 1:1 L * 2:1 0.000
L * 1:1 P + E * 1:1 0.553
L * 1:1 P + E * 2:1 0.000
L * 1:1 P + L * 1:1 0.998
L * 1:1 P + L * 2:1 0.000
L * 1:1 E + L * 1:1 0.000
L * 1:1 E + L * 2:1 0.004
L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000


L * 2:1 P + E * 1:1 0.000
L * 2:1 P + E * 2:1 0.006
L * 2:1 P + L * 1:1 0.000
L * 2:1 P + L * 2:1 0.856
L * 2:1 E + L * 1:1 0.000
L * 2:1 E + L * 2:1 0.034
L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.896
L * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
P + E * 1:1 P + E * 2:1 0.000
P + E * 1:1 P + L * 1:1 0.079
P + E * 1:1 P + L * 2:1 0.000
P + E * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P + E * 1:1 E + L * 2:1 0.659
P + E * 1:1 P + E + L * 1:1 0.010
P + E * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + E * 2:1 P + L * 1:1 0.000
P + E * 2:1 P + L * 2:1 0.436
P + E * 2:1 E + L * 1:1 0.000
P + E * 2:1 E + L * 2:1 0.000
P + E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.000
P + E * 2:1 P + E + L * 2:1 0.024
P + L * 1:1 P + L * 2:1 0.000
P + L * 1:1 E + L * 1:1 0.001
P + L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
P + L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000
P + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
P + L * 2:1 E + L * 1:1 0.000
P + L * 2:1 E + L * 2:1 0.000
P + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.052
P + L * 2:1 P + E + L * 2:1 0.984
E + L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
E + L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000
E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
E + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.767
E + L * 2:1 P + E + L * 2:1 0.009
P + E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.632
Lampiran 5 Hasil analisis produksi kokon cacing tanah pada perlakuan spesies
tunggal dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 1 minggu

Tabel ANOVA

Sumber Perlakuan df Kwadrat TengahRasio Fp-value


RASIO 1 103.143 1.468 0.232
SPESIES 6 831.000 11.831 0.000
SPESIES*RASIO 6 495.226 7.051 0.000
Error 42 70.238

RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%

SPESIES(i) SPESIES(j) p-value

P E 0.002
P L 0.000
P P+E 0.856
P P+L 0.194
P E+L 0.000
P P+E+L 0.144
E L 0.070
E P+E 0.075
E P+L 0.600
E E+L 0.948
E P+E+L 0.695
L P+E 0.000
L P+L 0.001
L E+L 0.467
L P+E+L 0.001
P+E P+L 0.893
P+E E+L 0.005
P+E P+E+L 0.828
P+L E+L 0.112
P+L P+E+L 1.000
E+L P+E+L 0.153

RASIO(i) RASIO(j) p-value

1:1 2:1 0.232

SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P * 2:1 1.000


P * 1:1 E * 1:1 1.000
P * 1:1 E * 2:1 0.000
P * 1:1 L * 1:1 0.000
P * 1:1 L * 2:1 0.005
P * 1:1 P + E * 1:1 1.000
P * 1:1 P + E * 2:1 0.857
P * 1:1 P + L * 1:1 0.387
P * 1:1 P + L * 2:1 0.995
P * 1:1 E + L * 1:1 0.271
P * 1:1 E + L * 2:1 0.001
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P + E + L * 1:1 0.086


P * 1:1 P + E + L * 2:1 1.000
P * 2:1 E * 1:1 1.000
P * 2:1 E * 2:1 0.000
P * 2:1 L * 1:1 0.000
P * 2:1 L * 2:1 0.011
P * 2:1 P + E * 1:1 1.000
P * 2:1 P + E * 2:1 0.947
P * 2:1 P + L * 1:1 0.550
P * 2:1 P + L * 2:1 1.000
P * 2:1 E + L * 1:1 0.412
P * 2:1 E + L * 2:1 0.003
P * 2:1 P + E + L * 1:1 0.151
P * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
E * 1:1 E * 2:1 0.001
E * 1:1 L * 1:1 0.000
E * 1:1 L * 2:1 0.027
E * 1:1 P + E * 1:1 1.000
E * 1:1 P + E * 2:1 0.993
E * 1:1 P + L * 1:1 0.769
E * 1:1 P + L * 2:1 1.000
E * 1:1 E + L * 1:1 0.636
E * 1:1 E + L * 2:1 0.007
E * 1:1 P + E + L * 1:1 0.292
E * 1:1 P + E + L * 2:1 1.000
E * 2:1 L * 1:1 1.000
E * 2:1 L * 2:1 0.993
E * 2:1 P + E * 1:1 0.000
E * 2:1 P + E * 2:1 0.027
E * 2:1 P + L * 1:1 0.165
E * 2:1 P + L * 2:1 0.005
E * 2:1 E + L * 1:1 0.251
E * 2:1 E + L * 2:1 1.000
E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.579
E * 2:1 P + E + L * 2:1 0.001
L * 1:1 L * 2:1 0.936
L * 1:1 P + E * 1:1 0.000
L * 1:1 P + E * 2:1 0.009
L * 1:1 P + L * 1:1 0.070
L * 1:1 P + L * 2:1 0.001
L * 1:1 E + L * 1:1 0.115
L * 1:1 E + L * 2:1 0.996
L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.337
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000


L * 2:1 P + E * 1:1 0.011
L * 2:1 P + E * 2:1 0.387
L * 2:1 P + L * 1:1 0.857
L * 2:1 P + L * 2:1 0.115
L * 2:1 E + L * 1:1 0.936
L * 2:1 E + L * 2:1 1.000
L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.998
L * 2:1 P + E + L * 2:1 0.030
P + E * 1:1 P + E * 2:1 0.947
P + E * 1:1 P + L * 1:1 0.550
P + E * 1:1 P + L * 2:1 1.000
P + E * 1:1 E + L * 1:1 0.412
P + E * 1:1 E + L * 2:1 0.003
P + E * 1:1 P + E + L * 1:1 0.151
P + E * 1:1 P + E + L * 2:1 1.000
P + E * 2:1 P + L * 1:1 1.000
P + E * 2:1 P + L * 2:1 1.000
P + E * 2:1 E + L * 1:1 0.999
P + E * 2:1 E + L * 2:1 0.165
P + E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.956
P + E * 2:1 P + E + L * 2:1 0.995
P + L * 1:1 P + L * 2:1 0.978
P + L * 1:1 E + L * 1:1 1.000
P + L * 1:1 E + L * 2:1 0.579
P + L * 1:1 P + E + L * 1:1 1.000
P + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.793
P + L * 2:1 E + L * 1:1 0.936
P + L * 2:1 E + L * 2:1 0.037
P + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.664
P + L * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
E + L * 1:1 E + L * 2:1 0.718
E + L * 1:1 P + E + L * 1:1 1.000
E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.664
E + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.956
E + L * 2:1 P + E + L * 2:1 0.008
P + E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.314
Lampiran 6 Hasil analisis produksi kokon cacing tanah pada perlakuan spesies
tunggal dan kombinasi dengan rasio R1 dan R2 setelah 2 minggu

Tabel ANOVA

Sumber Perlakuan df Kwadrat TengahRasio Fp-value


RASIO 1 25757.161 191.7490.000
SPESIES 6 2661.643 19.815 0.000
SPESIES*RASIO 6 2042.202 15.203 0.000
Error 42 134.327

RASIO SPESIES
1- 1:1 1- P
2- 2:1 2- E
3- L
4- P + E
5- P + L
6- E + L
7- P + E + L
Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%

SPESIES(i) SPESIES(j) p-value

P E 0.000
P L 0.000
P P+E 0.085
P P+L 0.149
P E+L 0.000
P P+E+L 0.060
E L 0.879
E P+E 0.032
E P+L 0.016
E E+L 0.098
E P+E+L 0.046
L P+E 0.001
L P+L 0.000
L E+L 0.699
L P+E+L 0.002
P+E P+L 1.000
P+E E+L 0.000
P+E P+E+L 1.000
P+L E+L 0.000
P+L P+E+L 1.000
E+L P+E+L 0.000

RASIO(i) RASIO(j) p-value

1:1 2:1 0.000

SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P * 2:1 1.000


P * 1:1 E * 1:1 0.000
P * 1:1 E * 2:1 1.000
P * 1:1 L * 1:1 0.000
P * 1:1 L * 2:1 1.000
P * 1:1 P + E * 1:1 0.013
P * 1:1 P + E * 2:1 1.000
P * 1:1 P + L * 1:1 0.045
P * 1:1 P + L * 2:1 1.000
P * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P * 1:1 E + L * 2:1 0.972
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

P * 1:1 P + E + L * 1:1 0.052


P * 1:1 P + E + L * 2:1 0.999
P * 2:1 E * 1:1 0.000
P * 2:1 E * 2:1 1.000
P * 2:1 L * 1:1 0.000
P * 2:1 L * 2:1 1.000
P * 2:1 P + E * 1:1 0.024
P * 2:1 P + E * 2:1 1.000
P * 2:1 P + L * 1:1 0.076
P * 2:1 P + L * 2:1 1.000
P * 2:1 E + L * 1:1 0.000
P * 2:1 E + L * 2:1 0.993
P * 2:1 P + E + L * 1:1 0.088
P * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
E * 1:1 E * 2:1 0.000
E * 1:1 L * 1:1 0.572
E * 1:1 L * 2:1 0.000
E * 1:1 P + E * 1:1 0.017
E * 1:1 P + E * 2:1 0.000
E * 1:1 P + L * 1:1 0.005
E * 1:1 P + L * 2:1 0.000
E * 1:1 E + L * 1:1 0.070
E * 1:1 E + L * 2:1 0.000
E * 1:1 P + E + L * 1:1 0.004
E * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
E * 2:1 L * 1:1 0.000
E * 2:1 L * 2:1 1.000
E * 2:1 P + E * 1:1 0.124
E * 2:1 P + E * 2:1 1.000
E * 2:1 P + L * 1:1 0.306
E * 2:1 P + L * 2:1 1.000
E * 2:1 E + L * 1:1 0.000
E * 2:1 E + L * 2:1 1.000
E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.340
E * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
L * 1:1 L * 2:1 0.000
L * 1:1 P + E * 1:1 0.000
L * 1:1 P + E * 2:1 0.000
L * 1:1 P + L * 1:1 0.000
L * 1:1 P + L * 2:1 0.000
L * 1:1 E + L * 1:1 0.997
L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000
SPESIES(i)*RASIO(i) SPESIES(j)*RASIO(j) p-value

L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000


L * 2:1 P + E * 1:1 0.033
L * 2:1 P + E * 2:1 1.000
L * 2:1 P + L * 1:1 0.101
L * 2:1 P + L * 2:1 1.000
L * 2:1 E + L * 1:1 0.000
L * 2:1 E + L * 2:1 0.997
L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.116
L * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
P + E * 1:1 P + E * 2:1 0.024
P + E * 1:1 P + L * 1:1 1.000
P + E * 1:1 P + L * 2:1 0.030
P + E * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P + E * 1:1 E + L * 2:1 0.357
P + E * 1:1 P + E + L * 1:1 1.000
P + E * 1:1 P + E + L * 2:1 0.141
P + E * 2:1 P + L * 1:1 0.076
P + E * 2:1 P + L * 2:1 1.000
P + E * 2:1 E + L * 1:1 0.000
P + E * 2:1 E + L * 2:1 0.993
P + E * 2:1 P + E + L * 1:1 0.088
P + E * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
P + L * 1:1 P + L * 2:1 0.094
P + L * 1:1 E + L * 1:1 0.000
P + L * 1:1 E + L * 2:1 0.654
P + L * 1:1 P + E + L * 1:1 1.000
P + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.340
P + L * 2:1 E + L * 1:1 0.000
P + L * 2:1 E + L * 2:1 0.997
P + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.108
P + L * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
E + L * 1:1 E + L * 2:1 0.000
E + L * 1:1 P + E + L * 1:1 0.000
E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.000
E + L * 2:1 P + E + L * 1:1 0.694
E + L * 2:1 P + E + L * 2:1 1.000
P + E + L * 1:1 P + E + L * 2:1 0.375
Lampiran 7 Hasil analisis rasio C:N vermikompos yang diproduksi oleh cacing
tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus

Tabel ANOVA

Sumber df Kwadrat TengahRasio Fp-value


SAMPEL 3 6.894 2.807 0.108
Error 8 2.456
Lampiran 8 Hasil analisis kadar P vermikompos yang diproduksi oleh cacing
tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus

Tabel ANOVA

Sumber df Kwadrat TengahRasio Fp-value


SAMPEL 3 53.571 4.822 0.033
Error 8 11.109

Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%

SAMPEL(i) SAMPEL(j) p-value

Substrat Pheretima sp.0.033


Substrat E. fetida 0.071
Substrat L. rubellus 0.113
Pheretima sp.E. fetida 0.947
Pheretima sp.L. rubellus 0.821
E. fetida L. rubellus 0.987
Lampiran 9 Hasil analisis kadar K vermikompos yang diproduksi oleh cacing
tanah Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus

Tabel ANOVA

Sumber df Kwadrat TengahRasio Fp-value


SAMPEL 3 2870.478 5.917 0.020
Error 8 485.165

Tabel Uji Tukey dengan tingkat kepercayaan 95%

SAMPEL(i) SAMPEL(j) p-value

Substrat Pheretima sp.0.030


Substrat E. fetida 0.325
Substrat L. rubellus 0.028
Pheretima sp.E. fetida 0.368
Pheretima sp.L. rubellus 1.000
E. fetida L. rubellus 0.343
Lampiran 10 Data hasil pengukuran parameter biologi cacing tanah setiap minggu

Laju konsumsi (%)


No Perlakuan Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Rata-rata/minggu
R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
1 P 13.82 16.64 20.6 23.48 27.25 30.5 31.56 33.57 23.31 26.05
2 E 19.05 23.54 27.47 31.5 32.98 36.88 36.11 39.77 28.90 32.92
3 L 18.88 22.26 26.28 28.91 32.2 35.49 34.34 37.98 27.93 31.16
4 P+E 16.62 19.91 24.03 25.91 30 30.02 33.54 34.83 26.05 27.67
5 P+L 14.24 18.24 21.99 25 28.54 28.1 32.05 33.53 24.21 26.22
6 E+L 19.84 28.13 28.53 36.03 34.18 38.49 36.14 41.08 29.67 35.93
7 P+E+L 18.94 26.58 28.16 35.47 32.96 36.78 36.32 40.68 29.10 34.88
TOTAL 121.39 155.3 177.06 206.3 218.11 236.26 240.06 261.44 189.16 214.83

Biomassa Cacing Tanah (gr)


No Perlakuan Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Rata-rata/minggu
R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
1 P 28.97 24.66 22.27 12.27 12.97 9.02 9.85 5.14 18.52 12.77
2 E 46.81 26.05 34.23 15.34 31.70 17.01 17.75 11.03 32.62 17.36
3 L 42.34 25.62 31.87 15.42 29.00 15.87 15.89 10.81 29.77 16.93
4 P+E 33.68 23.08 28.15 14.75 17.22 9.32 14.45 8.13 23.38 13.82
5 P+L 33.82 23.58 27.30 12.77 19.55 12.02 16.54 9.68 24.30 14.51
6 E+L 39.71 27.12 32.70 17.35 22.73 15.89 19.58 13.11 28.68 18.37
7 P+E+L 36.04 24.39 25.39 15.22 17.04 14.30 11.88 10.51 22.59 16.11
TOTAL 261.38 174.51 201.90 103.13 150.22 93.44 105.94 68.42 179.86 109.87

Produksi Kokon Cacing Tanah


No Perlakuan Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Rata-rata/minggu
R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
1 P 0.75 2.25 2.00 3.75 0.50 0.00 0.00 0.00 0.81 1.50
2 E 4.25 34.00 67.75 9.25 15.75 0.75 0.00 0.00 21.94 11.00
3 L 36.25 26.75 86.50 4.75 11.00 3.25 0.00 0.00 33.44 8.69
4 P+E 2.25 11.50 35.25 3.75 12.25 0.00 0.00 0.00 12.44 3.81
5 P+L 16.00 7.75 31.50 4.50 8.75 0.75 0.00 0.00 14.06 3.25
6 E+L 17.25 29.50 95.75 13.75 15.75 3.00 0.00 0.00 32.19 11.56
7 P+E+L 20.50 4.50 31.00 9.75 7.50 1.25 0.00 0.00 14.75 3.88
TOTAL 97.25 116.25 349.75 49.50 71.50 9.00 0.00 0.00 129.63 43.69
Lampiran 11 Data hasil pengukuran parameter lingkungan setiap minggu

Suhu (oC)
Rata-rata/
No Perlakuan Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
minggu
R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
1 P 25 25 27.00 31.50 28.25 27.25 28.00 27.75 27.25 28.75 27.63 28.81
2 E 25 25 27.00 29.75 27.75 28.00 28.00 28.25 27.50 28.50 27.56 28.63
3 L 25 25 27.50 29.00 27.50 26.75 28.00 28.50 27.00 29.00 27.50 28.31
4 P+E 25 25 27.75 29.75 27.75 26.25 28.25 28.50 27.25 28.25 27.75 28.19
5 P+L 25 25 27.50 28.75 26.25 27.75 28.50 28.50 27.00 27.75 27.31 28.19
6 E+L 25 25 27.50 28.75 26.25 27.50 28.75 28.25 27.75 28.75 27.56 28.31
7 P+E+L 25 25 27.25 28.25 25.75 27.00 28.75 28.00 28.00 28.25 27.44 27.88

Kelembaban (%)
Rata-
No Perlakuan Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
rata/minggu
R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
1 P 65 65 64.00 54.50 70.00 68.00 64.50 70.00 56.00 49.25 63.63 60.44
2 E 65 65 64.00 54.00 70.00 69.00 64.50 69.00 56.50 65.00 63.75 64.25
3 L 65 65 64.75 53.50 71.00 69.50 64.50 66.25 56.50 64.50 64.19 63.44
4 P+E 65 65 64.25 53.00 71.50 68.25 64.75 67.75 57.00 65.00 64.38 63.50
5 P+L 65 65 64.25 54.50 71.00 67.75 64.25 70.00 57.00 66.25 64.13 64.63
6 E+L 65 65 64.25 55.50 73.00 66.50 64.75 68.50 56.75 67.00 64.69 64.38
7 P+E+L 65 65 64.50 54.50 73.00 67.75 64.25 68.50 56.75 65.25 64.63 64.00

pH
Rata-
No Perlakuan Minggu 0 Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
rata/minggu
R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2 R1 R2
1 P 6.8 6.8 6.70 6.73 6.78 6.70 6.78 6.80 6.80 6.80 6.76 6.76
2 E 6.8 6.8 6.65 6.75 6.80 6.73 6.75 6.80 6.73 6.78 6.73 6.76
3 L 6.8 6.8 6.58 6.70 6.80 6.68 6.78 6.80 6.78 6.73 6.73 6.73
4 P+E 6.8 6.8 6.50 6.80 6.80 6.78 6.80 6.78 6.78 6.78 6.72 6.78
5 P+L 6.8 6.8 6.50 6.75 6.75 6.75 6.75 6.80 6.80 6.80 6.70 6.78
6 E+L 6.8 6.8 6.65 6.78 6.70 6.78 6.78 6.80 6.75 6.78 6.72 6.78
7 P+E+L 6.8 6.8 6.38 6.80 6.70 6.78 6.73 6.80 6.75 6.80 6.64 6.79

Você também pode gostar