Você está na página 1de 25

BAB I LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

1.1 KESEHATAN LINGKUNGAN


Kesehatan lingkungan diperuntukan untuk semua faktor eksternal baik fisik, kimia, biologis dan semua faktor terkait yang mempengaruhi perilaku. Ini meliputi penilaian dan pengendalian faktor-faktor lingkungan yang berpotensi dapat mempengaruhi kesehatan. Hal ini ditargetkan untuk mencegah penyakit dan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan.

1.1.1 Definisi
Kesehatan lingkungan adalah Ilmu dan seni untuk mencegah pengganggu,menanggulangi kerusakan dan meningkatkan/memulihkan fungsi lingkungan melalui pengelolaan unsurunsur/faktor-faktor lingkungan yang berisiko terhadap kesehatan manusia dengan cara identifikasi, analisis, intervensi/rekayasa lingkungan, sehingga tersedianya lingkungan yang menjamin bagi derajat kesehatan manusia secara optimal.(Tri Cahyono, 2000)

1.1.2 Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan


Kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologis yang harus ada antara manusia dengan lingkungannya agar dapat menjamin keadaan sehatdari manusia. Ruang lingkup: 1. Penyediaan air minum 2. Pengolahan air buangan dan pengendalian pencemaran 3. Pengelolaan sampah padat 4. Pengendalian vector 5. Pencegahan dan pengendalian pencemaran tanah dan ekskreta manusia 6. Hygiene makanan 7. Pengendalian pencemaran udara 8. Pengendalian radiasi 9. Kesehatan kerja 10. Pengendalian kebisingan 11. Perumahan dan permukiman 12. Perencanaan daerah perkotaan 13. Kesehatan lingkungan transportasi udara, laut dan darat
1

14. Pencegahan kecelakaan 15. Rekreasi umum dan pariwisata 16. Tindakan sanitasi yang berhubungan dengan epidemic, bencana,kedaruratan 17. Tindakan pencegahan agar lingkungan bebas dari risiko gangguankesehatan(WHO, 1979)

1.1.3 Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Lingkungan


UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 162 Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pasal 163 (1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan. (2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat danfasilitas umum. (3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain: a. limbah cair; b. limbah padat; c. limbah gas; d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah; e. binatang pembawa penyakit; f. zat kimia yang berbahaya; g. kebisingan yang melebihi ambang batas; h. radiasi sinar pengion dan non pengion; i. air yang tercemar; j. udara yang tercemar; dan makanan yang terkontaminasi. (4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

1.2 JAMBAN
Jamban merupakan sanitasi dasar penting yang harus dimiliki setiap masyarakat. Di suatu wilayah ada rumah yang sudah memiliki jamban, ada yang belum memiliki jamban. Bila rumah yang memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah yang ada, berarti wilayah tersebut termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal pembuangan kotoran manusia. Alasan utama yang selalu diungkapkan masyarakat mengapa sampai saat ini belum memiliki jamban keluarga adalah tidak mempunyai uang. Sebenarnya tidak adanya jamban di setiap rumah tangga bukan semata faktor ekonomi, tetapi lebih kepada belum adanya kesadaran masyarakat untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), jamban pun tidak harus
2

mewah dengan biaya yang mahal. Cukup yang sederhana saja disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rumah tangga. Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka memanfaatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar (BAB). Dengan masih adanya masyarakat di suatu wilayah yang BAB sembarangan, maka wilayah tersebut terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan diantaranya penyakit cacingan, kolera, diare, demam tifoid, disentri, dan masih banyak penyakit lainnya.

1.2.1 Definisi
Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam dokumen Millenium Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini buang air besar disebut sebagai sanitasi yang antara lain meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHOUNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu improved, shared, unimproved dan open defecation. Dikategorikan sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan kotoran nya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL. Pengertian lain terkait jamban menyebutkan bahwa jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang dan mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran tersebut disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek sehari-hari bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada dasarnya sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran manusia, demikian pula syaratsyarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan air limbah.

1.2.2 Jenis-jenis Jamban


Terdapat beberapa jenis jamban sesuai bentuk dan namanya, antara lain Azwar (1983) 1. Jamban cubluk (pit privy) Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah sedalam 2,5 sampai 8 meter dengan diameter 80-120 cm. Dindingnya diperkuat dari batu bata ataupun tidak. Sesuai
3

dengan daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut dapat dibuat dari bambu, dinding bambu dan atap daun kelapa. Jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.

Gambar 1. Jamban cubluk

2. Jamban cemplung berventilasi (ventilasi improved pit latrine) Jamban ini hampir sama dengan jamban cubluk, bedanya menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedesaan pipa ventilasi ini dapat dibuat dari bambu.

Gambar 2. Jamban cubluk berventilasi 3. Jamban empang (fish pond latrine)

Merupakan jamban ini dibangun di atas empang ikan. Sistem jamban empang memungkinkan terjadi daur ulang (recycling) yaitu tinja dapat langsung dimakan ikan, ikan dimakan orang, dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja, demikian seterusnya.

Gambar 3. Jamban empang 4. Jamban pupuk (the compost privy) Secara prinsip jamban ini seperti kakus cemplung, hanya lebih dangkal galiannya, di dalam jamban ini juga untuk membuang kotoran binatang dan sampah, daun-daunan. 5. Septic tank Jamban jenis septic tank merupakan jamban yang paling memenuhi syarat. Septic tank merupakan cara yang memuaskan dalam pembuangan ekskreta untuk kelompok kecil yaitu rumah tangga dan lembaga yang memiliki persediaan air yang mencukupi, tetapi tidak memiliki hubungan dengan sistem penyaluran limbah masyarakat (Chandra, 2007). Septic tank merupakan cara yang terbaik yang dianjurkan oleh WHO tapi memerlukan biaya mahal, tekniknya sukar dan memerlukan tanah yang luas (Entjang, 2000). Untuk mencegah penularan penyakit yang berbasis lingkungan, kita semua harus buang air besar (BAB) di jamban. Ada 3 jenis jamban : 1. Jamban Leher Angsa Jamban ini, perlu air untuk menggelontor kotoran. Air yang terdapat pada leher angsa adalah untuk menghindarkan bau dan mencegah masuknya lalat dan kecoa. 2. Jamban Cemplung Jamban ini, tidak memerlukan air untuk menggelontor kotoran. Untuk mengurangi bau serta agar lalat dan kecoa tidak masuk, lubang jamban perlu ditutup. 3. Jamban Plengsengan Jamban ini, perlu air untuk menggelontor kotoran. Lubang jamban perlu juga ditutup

Gambar . Jenis-jenis jamban

1.2.3 Cara Memilih Jenis Jamban


Jamban cemplung digunakan untuk daerah yang sulit air Jamban tangki septik/leher angsa digunakan untuk daerah yang cukup air dan daerah padat penduduk, karena dapat menggunakan multiple latrine yaitu satu lubang penampungan tinja/tangki septik digunakan oleh beberapa jamban (satu lubang dapat menampung kotoran/tinja dari 3-5 jamban)

Daerah pasang surut, tempat penampungan kotoran/tinja hendaknya ditinggikan kurang


lebih 60 cm dari permukaan air pasang.

1.2.4 Alasan Menggunakan Jamban


1. Menjaga lingkungan bersih, sehat dan tidak berbau 2. Tidak mencemari sumber air yang ada di sekitamya. 3. Tidak mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penular penyakit Diare, Kolera Disentri, Thypus, cacingan, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit dan keracunan.

1.2.5 Manfaat dan Fungsi Jamban Keluarga


Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang baik dan memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu : 1. Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit 2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan sarana yang aman 3. Bukan tempat berkembangnya serangga sebagai vektor penyakit 4. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan

1.2.6 Lokasi
Dengan memperhatikan pola pencemaran tanah dan air tanah, maka hal-hal berikut harus diperhatikan untuk memilih lokasi penempatan sarana pembuangan tinja (Soeparman, 2002): 1. Pada dasarnya tidak ada aturan pasti yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk menentukan jarak yang aman antara jamban dan sumber air. Banyak faktor yang mempengaruhi perpindahan bakteri melalui air tanah, seperti tingkat kemiringan, tinggi permukaan air tanah, serta permeabilitas tanah. Yang terpenting harus diperhatikan adalah bahwa jamban atau kolam pembuangan (cesspool) harus ditempatkan lebih rendah, atau sekurang-kurangnya sama tinggi dengan sumber air bersih. Apabila memungkinka, harus dihindari penempatan langsung di bagian yang lebih tinggi dari sumur. Jika penempatan di bagian yang lebih tinggi tidak dapat dihindarkan, jarak 15 m akan mencegah pencemaran bakteriologis ke sumur. Penempatan jamban di sebelah kanan atau kiri akan mengurangi kemungkinan kontaminasi air tanah yang mencapai sumur. Pada tanah pasir, jamban dapat ditempatkan pada jarak 7,5 m dari sumur apabila tidak ada kemungkinan untuk menempatkannya pada jarak yang lebih jauh. 2. Pada tanah yang homogen, kemungkinan pencemaran air tanah sebenarnya nol apabila dasar lubang jamban berjarak lebih dari 1,5 m di atas permukaan air tanah, atau apabila dasar kolam pembuangan berjarak lebih dari 3 m di atas permukaan air tanah. 3. Penyelidikan yang seksama harus dilakukan sebelum membuat jamban cubluk (pit privy), kakus bor (bored-hole latrine), kolam pembuangan, dan sumur resapan di daerah yang mengandung lapisan batu karang atau batu kapur. Hal ini dikarenakan pencemaan dapat terjadi secara langsung melalui saluran dalam tanah tanpa filtrasi alami ke sumur yang jauh atau sumber penyediaan air minum lainnya

1.2.7 Kriteria Jamban Sehat


Menurut WSP (2008) kriterian Jamban Sehat (improved latrine), merupakan fasilitas pembuangan tinja yang memenuhi syarat :

Tidak mengkontaminasi badan air. Menjaga agar tidak kontak antara manusia dan tinja. Membuang tinja manusia yang aman sehingga tidak dihinggapi lalat atau serangga vektor lainnya termasuk binatang.

Menjaga buangan tidak menimbulkan bau


7

Konstruksi dudukan jamban dibuat dengan baik dan aman bagi pengguna

1.2.8 SEPTIC TANK


Mekanisme Kerja Septic Tank Septic tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, sebagai tempat tinja dan air buangan masuk dan mengalami dekomposisi. Di dalam tangki ini tinja akan berada selama beberapa hari. Selama waktu tersebut tinja akan mengalami 2 proses (Notoatmodjo, 2003): Desain Septic Tank Secara teknis desain atau konstruksi utama septic tank sebagai berikut : a. Pipa ventilasi. Pipa ventilasi secara fungsi dan teknis dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Mikroorganisme dapat terjamin kelangsungan hidupnya dengan adanya pipa ventilasi ini, karena oksigen yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya dapat masuk ke dalam bak pembusuk, selain itu juga berguna untuk mengalirkan gas yang terjadi karena adanya proses pembusukan. Untuk menghindari bau gas dari septick tank maka sebaiknya pipa pelepas dipasang lebih tinggi agar bau gas dapat langsung terlepas di udara bebas (Daryanto, 2005). 2. Panjang pipa ventilasi 2 meter dengan diameter pipa 175 mm dan pada lubang hawanya diberi kawat kasa (Machfoedz, 2004). b. Dinding septic tank: 1. Dinding septic tank dapat terbuat dari batu bata dengan plesteran semen (Machfoedz,2004) 2. Dinding septic tank harus dibuat rapat air (Daryanto, 2005) 3. Pelapis septic tank terbuat dari papan yang kuat dengan tebal yang sama (Chandra, 2007). c. Pipa penghubung: 1. Septic tank harus mempunyai pipa tempat masuk dan keluarnya air (Chandra, 2007). 2. Pipa penghubung terbuat dari pipa PVC dengan diameter 10 atau 15 cm (Daryanto, 2005) d. Tutup septic tank: 1. Tepi atas dari tutup septic tank harus terletak paling sedikit 0,3 meter di bawah permukaan tanah halaman, agar keadaan temperatur di dalam septic tank selalu hangat dan konstan sehingga kelangsungan hidup bakteri dapat lebih terjamin

(Daryanto,2005). 2. Tutup septic tank harus terbuat dari beton (kedap air) (Machfoedz, 2004).

Gambar 4. Desain septic tank

1.2.9 Cara Memelihara Jamban Sehat


Lantai jamban selalu bersih dan tidak ada genangan air Bersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat Tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran Tersedia alat pembersih (sabun, sikat dan air bersih) Bila ada kerusakan segera diperbaiki.

1.2.10 Persyaratan Pembuangan Tinja


Menurut Kumoro (1998), terdapat beberapa bagian sanitasi pembuangan tinja, antara lain : Rumah Kakus: Berfungsi sebagai tempat berlindung dari lingkunagn sekitar, harus memenuhi syarat ditinjau dari segi kenyamanan maupun estetika. Konstruksi disesuaikan dengan keadaan tingkat ekonomi rumah tangga. Lantai Kakus: Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya harus baik, kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Konstruksinya juga disesuaikan dengan bentuk rumah kakus. Tempat Duduk Kakus: Fungsi tempat duduk kakus merupakan tempat penampungan tinja, harus kuat, mudah dibersihkan, berbentuk leher angsa atau memakai tutup yang mudah diangkat. Kecukupan Air Bersih: Jamban hendaklah disiram minimal 4-5 gayung, bertujuan menghindari penyebaran bau tinja dan menjaga kondisi jamban tetap bersih. Juga agar menghindari kotoran tidak dihinggapi serangga sehingga dapat mencegah penularan penyakit. Tersedia Alat Pembersih: Tujuan pemakaian alat pembersih, agar jamban tetap bersih setelah
9

jamban disiram air. Pembersihan dilakukan minimal 2-3 hari sekali meliputi kebersihan lantai agar tidak berlumut dan licin. Sedangkan peralatan pembersih merupakan bahan yang ada di rumah kakus didekat jamban. Tempat Penampungan Tinja: Adalah rangkaian dari sarana pembuangan tinja yang berfungsi sebagai tempat mengumpulkan kotoran/tinja. Konstruksi lubang harus kedap air dapat terbuat dari pasangan batu bata dan semen, sehingga menghindari pencemaran lingkungan. Saluran Peresapan: Merupakan sarana terakhir dari suatu sistem pembuangan tinja yang lengkap, berfungsi mengalirkan dan meresapkan cairan yang bercampur tinja.

10

BAB II PERMASALAHAN
2.1 DEMAM TIFOID
Demam Tifoid, juga dikenal sebagai demam enterik, adalah penyakit multisistemik yang terutama disebabkan oleh Salmonella typhi. S.typhi telah menjadi patogen manusia selama ribuan tahun, berkembang dalam kondisi sanitasi yang buruk. Penularan demam tifoid terjadi secara oro-fecal melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja yang mengandung S.typhi. Presentasi klasik meliputi demam, malaise, sakit perut menyebar, dan sembelit. Meskipun antibiotik telah nyata mengurangi frekuensi demam tifoid di negara maju, tetapi tetap menjadi endemik di negara-negara berkembang. Jika tidak diobati, demam tifoid dapat berkembang menjadi delirium, perdarahan usus, perforasi usus, dan kematian dalam waktu satu bulan onset. Jika penderita dibiarkan dapat menyebabkan komplikasi neuropsikiatri jangka panjang atau permanen.

2.1.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik dikarakteristikan oleh demam dan nyeri abdomen oleh karena diseminasi S. Typhi atau S. Paratyphi. Dinamai demam tifoid karena kemiripan gejala klinisnya dengan tifus.

2.1.2 Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dan survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35.89% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.1 Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.00 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1

11

2.1.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, dapat juga disebabkan oleh S.paratyphi.2,3 Salmonela adalah bakteri gram negatif, termasuk ke dalam famili Enterobactericeae. Seperti golongan Enterobactericeae yang lain, salmonella memiliki tiga antigen utama: antigen O [lipopolisakarida (LPS)], antigen Vi (surface antigen; S.typhi dan S.paratyphi C), dan antigen H (flagel). Secara umum, pada pemeriksaan laboratorium, Salmonella dibagi menjadi serogrup A, B, C1, C2, D, dan E. Pemeriksaan biokimia dan serologi tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi serotipe-serotipe ini. S. typhi merupakan patogen enterik yang sangat virulen dan invasif yang menyerang manusia. Sumber penularan terutama melalui pencemaran makanan atau minuman oleh bakteri tersebut yang dikeluarkan melalui tinja penderita demam tifoid.

2.1.4 Patogenesis & Patofisiologi


Masuknya kuman S. typhi dan S. paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung. Sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjtunya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Akibat difagositosisnya Salmonela, bakteri ini menjadi kebal terhadap respons imun PMN, komplemen, dan juga antibodi. Salmonela sudah berevolusi sedemikian tupa sehingga mampu menghindari/menunda proses pembunuhan oleh makrofag. Hal ini dimungkinkan karena saat difagositosis, bakteri membentuk suatu spacious phagosome dan alterasi regulasi ~200 protein bakterial. Sistem regulator yang paling terkenal adalah PhoP/PhoQ, duet komponen regulon yang mendeteksi perubahan lokasi dan ekspresi protein bakterial. Alterasi yang dimaksud adalah modifikasi LPS dan sintesis oyter-membrane proteins; perubahan tersebut berkontribusi dalam remodeling permukaan membran bakteri sehingga mereka menjadi resisten terhadap aktivitas antimikroba dan signaling host cell. PhoP/PhoQ juga memediasi sintesis transporter kationik divalent yang men-scavenge magnesium. Dengan mekanisme sekresi second type III, Salmonela bisa secara langsung mentranslokasi protein bakterial ke dalam makrofag, fenomena yang dipercayai sebagai mekanisme survival bakteri di dalam sel fagosit.
12

Dengan ini, Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organorgan ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk ke kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kernbali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonela terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala rekasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Didalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi selsel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di receptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

2.1.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. Manifestasi Klinis.

13

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Uji Widal Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah susoensi Salmonela yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi kuman ini.

14

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap Iebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

2.1.7 Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan domain tifoid, yaitu: Istirahat dan Perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga. Diet dan Terapi Penunjang Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Pemberian Antimikroba Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah kloramfenikol (pilihan utama), tiamfenikol, ampisilin dan amoksisilin, sefalosporin generasi ketiga, golongan florokuinon, dan dapat diberikan kombinasi obat antimikroba, dan kortikosteroid bila diperlukan. Obat Mekanisme kerja Dosis Keterangan Perbaikan dicapai dalam interval 3-7 hari. Tidak digunakan pada

Kloramfenikol Berikatan dengan Oral unit 50S bakteri 4 x 500 mg sampai

7 hari bebas demam pasien anak. Tiamfenikol Berikatan dengan Oral unit 50S ribosom 4 x 500 mg sampai bakteri Perbaikan dicapai dalam 4-6 hari. Efek samping lebih ringan kloramfenikol. pada ibu Tidak hamil
15

7 hari bebas demam dari

diberikan

khususnya trimester 1 Ampisilin Menghambat pembentukan Oral 75-150 mg/kg BB, Perbaikan dicapai dalam 3-5 hari

dinding sel bakteri terbagi 3 kali sehari, berikan selama 10-14 hari TMP-SMZ Menghambat pembentukan 2 x 2 tablet/hari (400 Perbaikan dalam rentang yang mg SMZ- 80 mg sama dengan kloramfenikol selama 2

asam dihidrofolat TMP) minggu Ceftriaxone Menghambat pembentukan dinding sel bakteri Ciprofloxacin Menghambat sintesis bakterial Corticosteroid Mengurangi inflamasi 2 x 3-4 gram

500

mg/hari Teruskan pengobatan hingga 2-4 hari setelah gejala menghilang

DNA selama 6 hari

Dexamethasone dosis Pada kasus tifoid toxic, sepsis, tinggi peritonitis

2.1.8 Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :

Komplikasi intestinal: Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis Komplikasi ekstra-intestinal:

Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritic. Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis. komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis. komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis. komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.

16

2.1.9. DATA PASIEN


1. Data Administrasi Pasien a. Nama / Umur b. No. register : S / 20 tahun :-

c. Status kepegawaian : d. Status sosial 2. Data Demografis a. Alamat b. Agama c. Suku d. Pekerjaan e. Bahasa Ibu f. Jenis Kelamin 3. Data Biologik a. Tinggi Badan b. Berat Badan c. Habitus 4. Data Klinis Anamnesis Keluhan Utama : Demam sejak empat hari sebelum ke puskesmas Riwayat Penyakit Sekarang : Demam sejak 4 hari sebelum ke Puskesmas, demam tinggi, naik turun, tidak menggigil dan tidak berkeringat Mual dirasakan semenjak sakit, muntah tidak ada, mencret tidak ada Rasa tidak enak di perut (+) Sakit kepala dirasakan semenjak sakit Pasien sudah berobat ke bidan dan diberi obat penurun panas, demam tidak turun setelah minum obat Bintik-bintik merah di tangan atau kaki tidak ada Nyeri sendi tidak ada BAB dan BAK biasa : 157 cm : 54 kg : jarang mencuci tangan sebelum makan : Kr.Suci : Islam : Jawa : Pedagang : Indonesia : Perempuan : anak ke 2 dari 3 bersaudara

Riwayat Penyakit dahulu

17

Tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

Pemeriksaan Jasmani Vital sign : Keadaan umum Kesadaran Tekanan Darah Frekuensi nadi Frekuensi nafas Suhu Status Generalisata : Kepala Kulit Mata THT Leher : tidak ditemukan kelainan : turgor baik, ikterik (-) : konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik : lidah kotor (+) : Kelenjar getah bening tak membesar Kelenjar thyroid tidak membesar JVP 5-2 CmH2O Thorax : Paru I : simetris kiri dan kanan : sakit sedang : CMC : 110/70 mmHg : 88x /menit : 20x /menit : 39,6 C

Pa : fremitus kiri sama dengan kanan Pe : sonor kiri sama kanan Aus: vesikuler, ronchi -/- , wheezing -/Jantung I Pa Pe : iktus tidak terlihat : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V : batas jantung kiri 1 jari medial LMCS RIC V, kanan linea sternalis dextra, atas : RIC II sinistra Aus : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-) Abdomen I Pa Pe : : tidak buncit : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+) : tympani
18

Aus Genitalia Extremitas

: Bising usus (+) normal : tidak dilakukan pemeriksaan : edem -/-, reflex fisiologis +/+, reflex patologis -/-

5. Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakukan Anjuran pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan darah rutin dan Tes Widal 6. Diagnosis Diagnosis Kerja : Observasi febris ec susp. Demam Tifoid

19

BAB III PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI


III.1. METODE
metode yang dilakukan adalah metode penyuluhan dengan diskusi 2 arah.

20

III.2. INTERVENSI
- Perhatian pasien terhadap kepatuhan dan keteraturan mengkonsumsi obat - Mengkonsumsi makanan sehat - memperhatikan kebersihan diri

21

BAB IV PELAKSANAAN
4.1 Strategi Penanganan Masalah Diagnosis klinis : observasi febris ec susp. demam tifoid

Penanganan masalah : Istirahat dan Perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat. Diet dan Terapi Penunjang Pemberian antimikroba ( kloramfenikol4x500mg selama 7 hari bebas demam) Diagnosis biologis : sanitasi yang kurang Penanganan masalah : memperhatikan sanitasi lingkungan dan kebersihan makanan.

22

BAB V MONITORING DAN EVALUASI


V.1.MONITORING Kesehatan lingkungan ditujukan untuk mencegah penyakit dan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan. Untuk mencegah penularan penyakit yang berbasis lingkungan, kita semua harus buang air besar (BAB) di jamban. Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia atau najis bagi suatu keluarga yang lazim disebut kakus atau WC. Jamban merupakan sanitasi dasar penting yang harus dimiliki setiap mayarakat. Jamban tidak harus mewah dengan biaya yang mahal. Cukup sederhana saja disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rumah tangga. BAB di jamban yang memenuhi syarat dapat dapat mencegah penyakit menular yang berbasis lingkungan seperti penyakit cacingan, kolera, diare, demam tifoid, disentri, dan masih banyak penyakit lainnya. Bagi yang sudah BAB di jamban, jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dilakukan setiap hari. Bagi yang belum memiliki jamban, agar tidak BAB disembarang tempat, sudah saatnya merencanakan untuk membuat jamban agar lingkungan kita sehat dan terhindar dari ancaman penyakit menular berbasis lingkungan. Cara pengendalian yang paling sederhana adalah dengan menumbuhkan kesadaran dari dalam diri untuk selalu menggunakan jamban yang sehat. Selain itu diperlukan juga kontrol sosial budaya masyarakat untuk lebih menghargai sanitasi lingkungan, walaupun kadang harus dihadapkan pada mitos tertentu. Peraturan yang tegas dari pemerintah juga sangat diharapkan karena jika tidak maka perilaku masyarakat untuk menggunakan jamban yang sehat tidak optimal. Demam Tifoid adalah penyakit multisistemik yang terutama disebabkan oleh Salmonella typhi. Penularan demam tifoid terjadi secara oro-fecal melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja yang mengandung S.typhi. Presentasi klasik meliputi demam, malaise, sakit perut menyebar, dan sembelit. Jika tidak diobati, demam tifoid dapat berkembang menjadi delirium, perdarahan usus, perforasi usus, komplikasi neuropsikiatri jangka panjang atau permanen, dan kematian.

23

V.2.EVALUASI

Kepada keluarga pasien dijelaskan mengenai penyakit ini dan komplikasi yang dapat terjadi. Pasien saat ini membutuhkan perawatan berupa istirahat total, diet makanan lunak, dan obat-obatan lainnya. Selain itu pada keluarga pasien dijelaskan tentang pentingnya menjaga kesehatan makanan yang dikonsumsi mengingat penyakit ini ditularkan oleh kuman melalui makanan dan kebersihan lingkungan.

24

DAFTAR PUSTAKA
1. Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 2. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-prinsip Dasar). Jakarta: PT. Rineka Cipta 3. Soeparman dan Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja & Limbah Cair (Suatu Pengantar). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 4. Munif A. Environmental Sanitation's Journal. Available at

http://environmentalsanitation.wordpress.com/category/septic-tank/ 5. Widodo D. Demam tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI; 2006. h. 1774-6. 6. Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons principles of internal medicine. 15th ed. USA: McGraw Hill; 2001.p. 970-3. 7. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN, Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Jawetz, melnick & adelberg mikrobiologi kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC; 1996. h. 243-7. 8. Lesser CF & Miller SI. Salmonellosis. Harrisons Principle of Internal Medicine, 16th ed. USA: McGraw Hill Inc. 2005. p926-929.

25

Você também pode gostar