Você está na página 1de 111

KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR

Oleh :

Tri Septiarini C34104008

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN
TRI SEPTIARINI. C34104008. Karakteristik Mutu Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Dibimbing oleh SRI PURWANINGSIH dan TATI NURHAYATI. Potensi sumberdaya hayati laut di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur cukup besar dengan wilayah laut cukup luas (17.763,60 km2). Produksi perikanan tangkap, khususnya ikan tenggiri pada tahun 2005 sebesar 1.854,631 ton. Ikan jenis tenggiri dikirim ke Jakarta untuk pemenuhan konsumsi, oleh sebab itu diperlukan informasi mengenai tingkat kesegaran ikan tenggiri di Kecamatan Manggar sejak ditangkap sampai di Jakarta. Tujuan penelitian secara umum adalah mempelajari karakteristik mutu ikan tenggiri yang ditangkap menggunakan jaring serta tingkat kerusakan pasca panen. Tujuan khusus antara lain: mempelajari pengaruh metode dan proses penanganan terhadap mutu ikan tenggiri, serta mempelajari perbandingan metode penanganan nelayan dengan peneliti dalam hal penurunan mutu ikan tenggiri. Penelitian ini terbagi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan berupa pengisian koesioner dan pengamatan langsung penangkapan ikan di laut. Penelitian utama merupakan pengujian pengaruh metode dan proses penanganan terhadap karakteristik mutu dan tingkat kesegaran ikan tenggiri (organoleptik, derajat keasaman (pH), Total Plate Count (TPC), Total Volatile Base (TVB) dan proksimat). Alat tangkap yang sering digunakan oleh nelayan di Kecamatan Manggar adalah jaring insang (gillnet). Metode penanganan yang digunakan oleh nelayan adalah metode pendinginan chilled sea water (CSW) yaitu ikan didinginkan dengan air laut bercampur es. Perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan baru ditangkap adalah sama dari nilai organoleptik yaitu 9; kadar air 75,38 %; kadar lemak 1,03 %; kadar protein 20,19 %; kadar abu 1,54 %; pH 6,28; TVB 21,86 mg N/100 g; dan log TPC 3,32 CFU/ml. Perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta berturut-turut menunjukkan nilai organoleptik yaitu 5 dan 6; kadar air 76,36 % dan 76,49 %; kadar lemak 0,79 % dan 0,90 %; kadar protein 18,73 % dan 19,23 %; kadar abu 1,46 % dan 1,38 %; nilai pH 6,56 dan 6,16; TVB 24,28 mg N/100 g dan 23,40 mg N/100 g; serta log TPC sebesar 4,67 CFU/ml dan 4,29 CFU/ml. Hasil uji terhadap kesegaran ikan menurut metode penanganan nelayan dan peneliti menunjukkan bahwa mutu ikan tergolong agak segar dan masih dapat dikonsumsi setelah tiba di Jakarta. Hasil analisis ragam dengan =0,05 diketahui bahwa perlakuan metode penanganan dari nelayan dan peneliti berpengaruh nyata terhadap nilai dari semua parameter organoleptik ikan tenggiri, sedangkan proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta berpengaruh nyata terhadap nilai dari semua parameter organoleptik, dan TPC ikan tenggiri. Menurut uji t dengan =0,05 diketahui bahwa metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta serta proses penanganan untuk metode nelayan dan peneliti berpengaruh nyata terhadap kadar air dan protein ikan tenggiri.

KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Tri Septiarini C34104008

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul Skripsi

KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI (Scomberomorus Commersonii) DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR Tri Septiarini C34104008

Nama Mahasiswa : NRP :

Disetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Sri Purwaningsih, MSi

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, MSi

NIP. 131 878 935

NIP. 132 149 436

Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc NIP. 131 578 799

Tanggal lulus :

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan berjudul Karakteristik Mutu Ikan Tenggiri

(Scomberomorus commersonii) di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur, telah disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal bagi pemecahan masalah-masalah seputar penanganan mutu di dunia perikanan lainnya. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih, MSi dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, MSi selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibu Ir. Nurjanah, MS dan Bapak Ir. Djoko Poernomo, BSc selaku dosen penguji atas masukan serta bimbingannya kepada penulis. 3. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis. 4. Seluruh staf dosen dan TU THP, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis. 5. Ibu Endang, Ibu Ari, dan Bapak Wahid di PAU serta ibu Ema atas bantuan dan bimbingan selama proses penelitian. 6. Bapak (Masran San Kardi), ibu (Sumiati), serta kakak-kakak tercinta (Mesi Ristanti dan Dewi Febriyani), atas semua dukungan, pengorbanan, semangat dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 7. Keluarga besar Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung Barat dan Belitung Timur, terutama Bapak Satarman, Bapak Depuk, dan Bapak Subriandi atas informasi dan bantuannya kepada penulis selama penelitian.

8. Nelayan-nelayan di Kecamatan Manggar, terutama Iwan dan teman-teman atas bantuannya selama melaksanakan penelitian baik saat wawancara dan melaut. 9. Teman-teman yang telah banyak membantu : Niken, Heru dan terutama Indra atas kesediaan dan bantuan kepada penulis selama melaksanakan penelitian di lapangan serta Attika, Dwi, Santi, Dery, Alim, Dede, dan Fuji atas kebersamaan dan bantuannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian di Laboratorium. 10. Teman-teman di Wahda Indah : Mba Acen, Roza, Resi, Achil, Ani, Eva, Fuji, Icha, Oni, Mada, dan Simau atas semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan seminar dan sidang. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Semoga skripsi ini dapat

Bogor, Desember 2008

Tri Septiarini

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 28 September 1986 di Manggar-Belitung. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Masran San Kardi dan Ibu Sumiati. Penulis mengawali pendidikan di TK Bhayangkari Manggar pada tahun 1990 hingga tahun 1992. Pendidikan dasar diawali pada tahun 1992 di SDN 28 Manggar-Belitung dan diselesaikan pada tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP

Negeri 1 Manggar (1998-2001) dan SMA Negeri 1 Manggar (2001-2004). Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah, penulis aktif di organisasi Forum Keluarga MuslimPerikanan (FKM-C) selama periode 2004-2005 dan tergabung dalam Ikatan Keluarga Pelajar Belitung dari tahun 2004 hingga sekarang. Penulis juga aktif sebagai asisten dosen mata kuliah Biokimia Hasil Perikanan (2006-2007), dan Penanganan Hasil Perikanan (2006/2007). Dalam kegiatan lainnya penulis aktif dalam penulisan karya ilmiah dan berhasil masuk sebagai finalis pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XX di Universitas Lampung. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul Karakteristik Mutu Ikan Tenggiri

(Scomberomorus commersonii) di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur, dibimbing oleh Dr. Ir. Sri Purwaningsih, MSi dan Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, MSi.

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1.2 Tujuan Umum .................................................................................... 1.3 Tujuan Khusus ................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2.1 2.2 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) .................................................... .... Mutu Ikan ........................................................................................... 2.2.1. Pengertian mutu ikan ............................................................... 2.2.2. Parameter mutu ikan segar ....................................................... ix 1 1 3 3 4 4 5 5 6

2.3 2.4

Kemunduran Mutu Ikan ..................................................................... 11 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Mutu Ikan Segar ..... 2.4.1. Cara kematian .......................................................................... 2.4.2. Kondisi biologis dan lingkungan ............................................. 2.4.3. Suhu ......................................................................................... 2.4.4. Pengaruh cara penanganan dan pembongkaran ....................... 2.4.5. Sanitasi dan higiene ................................................................. Penanganan ........................................................................................ 2.5.1. Penanganan ikan di atas kapal penangkap ikan ....................... 2.5.2. Pembongkaran ikan .................................................................. 2.5.3. Penanganan ikan di darat ......................................................... 2.5.4. Penanganan ikan selama pengangkutan dan distribusi ............ 2.5.6. Penanganan tingkat pedagang dan pengecer ............................ 17 17 18 18 20 20 21 22 23 24 25 25

2.5

METODOLOGI ....................................................................................... 26 3.1 3.2 Waktu dan Tempat ......................................................................... .... 26 Alat dan Bahan ............................................................................... .... 26 3.2.1. Alat ....................................................................................... .... 26 3.2.2. Bahan ................................................................................... .... 27 Metode Penelitian .............................................................................. 27 3.3.1 Penelitian pendahuluan ........................................................ .... 27 3.3.2 Penelitian utama .................................................................. .... 28

3.3

3.4

Pengamatan ........................................................................................ 3.4.1 Uji organoleptik (BSN 2006) .................................................... 3.4.2 Analisis kadar air (AOAC 1995) ............................................. 3.4.3 Analisis kadar abu (AOAC 1995) ............................................. 3.4.4 Analisis kadar protein (AOAC 1995) ....................................... 3.4.5 Analisis kadar lemak(AOAC 1995) ......................................... 3.4.6 Penentuan nilai pH (Apriyantono et al. 1989) .................... .... 3.4.7 Penetapan Total Volatile Base (TVB) (AOAC 1995).......... .... 3.4.8 Uji mikrobiologis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1987) ...................................................................... ....

30 30 31 31 32 33 33 34 35

3.5

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ....................................... .... 35

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ .... 39 4.1 Penelitian Pendahuluan .................................................................. .... 4.1.1 Alat tangkap dan jenis ikan yang ditangkap ....................... .... 4.1.2 Persiapan penangkapan ikan ............................................... .... 4.1.3 Proses penanganan ikan ...................................................... .... 4.1.4 Sanitasi dan higiene ............................................................ .... 4.1.5 Penggunaan es ..................................................................... .... Penelitian Utama ........................................................................... .... 4.2.1 Organoleptik ..................................................................... .... 1) Mata ............................................................................ .... 2) Insang .......................................................................... .... 3) Daging dan perut ......................................................... .... 4) Konsistensi .................................................................. .... 4.2.2 Hasil analisis kimiawi-biokimiawi ................................... .... 1) Analisis proksimat ...................................................... .... a) Kadar air .................................................................. .... b) Kadar lemak ............................................................ .... c) Kadar protein .......................................................... .... d) Kadar abu ................................................................ .... 2) Penentuan pH ................................................................ .... 3) Penentuan Total Volatile Base (TVB) .......................... .... 4) Penentuan Total Plate Count (TPC) ............................. .... 39 39 41 44 46 48 49 49 50 52 54 57 59 59 60 61 63 65 66 67 70

4.2

4.2.3 Hasil pengamatan parameter kesegaran ikan secara keseluruhan ....................................................................... .... 72 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ .... 75 5.1 5.2 Kesimpulan ................................................................................... .... 75 Saran ............................................................................................ .... 76

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 77 LAMPIRAN ..................................................................................................... 83

DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 7 8 9

1 Tanda-tanda ikan segar yang dapat dikonsumsi ......................................... 2 Spesiifikasi persyaratan mutu ikan segar .................................................... 3 Nilai K beberapa produk olahan ikan segar ............................................

4 Faktor intrinsik yang mempengaruhi laju penurunan mutu ikan yang disimpan dalam es ....................................................................................... 17 5 Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan ............................. 19 6 Hasil pengamatan seluruh parameter kesegaran ikan .................................. 73

DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1 Ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii) ........................................... 4 2 Diagram proses kemunduran mutu ikan segar (Ilyas 1972) .................... 12 3 Hubungan antara laju pertumbuhan bakteri dengan kemunduran mutu ikan segar ................................................................................................. 16 4 Skema tata niaga pemasaran ikan segar ................................................... 24 5 Diagram alir proses penanganan ikan laut segar ....................................... 28 6 Kerangka pemikiran penelitian ................................................................ 29 7 Jaring insang ............................................................................................. 40 8 Persiapan jaring ....................................................................................... . 41 9 Proses penebaran jaring .......................................................................... . 42 10 Jaring yang disusun setelah dipakai ......................................................... . 42 11 Proses penarikan jaring (hauling) ........................................................... . 43 12 Pengambilan ikan dari jaring ................................................................... . 43 13 Jaring yang sedang diperbaiki ................................................................. . 44 14 Ikan disusun bertumpuk dan akan diberi es ............................................ . 44 15 Penyusunan ikan dalam fiber box oleh nelayan ...................................... 48

16 Histogram rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri ...................... . 51 17 Histogram rata-rata nilai organoleptik insang ikan tenggiri ................... . 53 18 Histogram rata-rata nilai organoleptik daging dan perut ikan tenggiri ... . 55 19 Histogram rata-rata nilai organoleptik konsistensi ikan tenggiri ............ . 57 20 Histogram rata-rata kadar air ikan tenggiri selama proses penanganan .. . 60 21 Histogram rata-rata kadar lemak ikan tenggiri selama proses penanganan ............................................................................................. . 62 22 Histogram rata-rata kadar protein ikan tenggiri selama proses penanganan ............................................................................................. . 64 23 Histogram rata-rata kadar abu ikan tenggiri selama proses penanganan .. 66 24 Histogram rata-rata nilai pH ikan tenggiri selama proses penanganan .... 67 25 Histogram rata-rata nilai TVB ikan tenggiri selama proses penanganan . 69 26 Histogram rata-rata nilai TPC ikan tenggiri selama proses penanganan . . 71

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman

1 Contoh kuesioner untuk nelayan/pemilik kapal ........................................ 84 2 Score sheet uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) .................... 86 3 Data mentah organoleptik ikan tenggiri ulangan 1 selama proses penanganan ................................................................................................. 88 4 Data mentah organoleptik ikan tenggiri ulangan 2 selama proses penanganan ................................................................................................. 89 5 Hasil uji Kruskal-Wallis nilai organoleptik ikan tenggiri terhadap perlakuan metode dan proses penanganan ................................................. 90 6 Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik mata ............................................... 90 7 Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh proses penanganan terhadap nilai organoleptik mata ............................................................... 90 8 Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik insang ............................................ 90 9 Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh proses penanganan terhadap nilai organoleptik insang ............................................................ 91 10 Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik daging dan perut ............................ 91 11 Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh interaksi metode dan proses penanganan terhadap nilai organoleptik daging dan perut ............. 91 12 Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik konsistensi ..................................... 92 13 Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh interaksi metode dan proses penanganan terhadap nilai organoleptik konsistensi ...................... 92 14 Hasil uji normalitas analisis proksimat selama proses penanganan ........... 92 15 Hasil uji t kadar air untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta .... 92 16 Hasil uji t kadar air saat proses penanganan oleh nelayan ......................... 93 17 Hasil uji t kadar air saat proses penanganan oleh peneliti ......................... 93 18 Kadar lemak ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta ............ 93 19 Hasil uji t kadar lemak untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta ........................................................................................................ 93 20 Hasil uji t kadar lemak saat proses penanganan oleh nelayan ................... 93 21 Hasil uji t kadar lemak saat proses penanganan oleh peneliti .................... 94 22 Kadar protein ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta .......... 94

23 Hasil uji t kadar protein untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta ......................................................................................................... 94 24 Hasil uji t kadar protein saat proses penanganan oleh nelayan .................. 94 25 Hasil uji t kadar protein saat proses penanganan oleh peneliti .................. 94 26 Kadar abu ikan tenggiri sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta ........ 95 27 Hasil uji t kadar abu untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta .. 95 28 Hasil uji t kadar abu saat proses penanganan oleh nelayan ....................... 95 29 Hasil uji t kadar abu saat proses penanganan oleh peneliti ........................ 95 30 Nilai pH selama proses penanganan .......................................................... 95 31 Uji normalitas pH selama proses penanganan ........................................... 96 32 Hasil uji keragaman pH selama proses penanganan .................................. 96 33 Nilai TVB selama proses penanganan ....................................................... 96 34 Uji normalitas TVB selama proses penanganan ........................................ 96 35 Hasil uji keragaman TVB selama proses penanganan ............................... 97 36 Nilai log TPC selama proses penanganan .................................................. 97 37 Uji normalitas log TPC selama proses penanganan ................................... 97 38 Hasil uji keragaman log TPC selama proses penanganan .......................... 97 39 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh proses penanganan terhadap log TPC .. 98

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang sangat besar dengan kandungan berbagai macam jenis makhluk hidup di dalamnya. Kekayaan hayati tersebut diantaranya adalah ikan yang mempunyai manfaat dalam bidang kesehatan karena ikan memiliki kandungan gizi tinggi serta dapat memberikan keuntungan dari segi ekonomi dengan nilai jual yang tinggi. Kandungan gizi utama pada ikan adalah protein serta asam-asam lemak esensial yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Ikan serta hasil-hasil perikanan lainnya merupakan sumber protein bernilai gizi tinggi dibandingkan dengan sumber-sumber protein hewani lainnya. Ikan merupakan sumber alami asam lemak omega-3 yaitu Eicosa Pentaenoic Acid (EPA) dan Docosa Hexaenoic Acid (DHA) yang berfungsi untuk mencegah aterosklerosis (terutama EPA). Kedua asam lemak omega-3 tersebut dapat

menurunkan kadar trigliserida di dalam darah dan kadar kolesterol di dalam hati dan jantung. Kadar asam lemak omega-3 dalam beberapa jenis ikan laut di

perairan Indonesia berkisar antara 0,1-0,5 g/100 g daging ikan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Lembaga Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, beberapa jenis ikan laut Indonesia memiliki kandungan asam lemak omega-3 tinggi (sampai 10,9 g/100 g), seperti ikan sidat, terubuk, tenggiri, kembung, layang, bawal, seren, slengseng, dan tuna (Suriawiria 2002). Kabupaten Belitung Timur secara geografis terletak diantara bujur 02 3000-03o1500 LS (lintang selatan) dan 107o3500-108o1800 BT (bujur timur). Luas wilayah Kabupaten Belitung Timur terdiri dari wilayah daratan seluas 691,68 km2 dan wilayah lautan seluas 17.763,60 km2 dengan panjang pantai 7.730,515 km2 serta memiliki 90 buah pulau, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur berbatasan dengan Selat Karimata, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Belitung. Berdasarkan gambaran kondisi di atas, dapat dikatakan bahwa Kabupaten Belitung Timur merupakan kabupaten kepulauan yang wilayahnya secara umum dikelilingi oleh laut, yang berarti
o

memiliki potensi yang sangat besar di sektor kelautan dan perikanan. Namun potensi ini belum dimanfaatkan secara opimal karena keterbatasan sarana dan prasarana baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Dinas Kelautan dan Perikanan 2005a). Kabupaten Belitung Timur memiliki potensi perikanan tangkap sangat besar dengan wilayah laut cukup luas (17.763,60 km2). Pemanfaatan potensi tersebut memerlukan sumber daya manusia dan penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dalam penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan ikan

umumnya dilakukan oleh nelayan tradisional yang menggunakan kapal motor di bawah 3 Gross Ton (GT) dan menggunakan alat tangkap jaring kepiting, pancing dan jaring udang (tramel net) (Dinas Kelautan dan Perikanan 2005a). Ikan tenggiri termasuk ikan pelagis yang hidup di permukaan laut atau didekatnya. Jumlah produksi ikan tenggiri di Kabupaten Belitung Timur pada tahun 2005 sebesar 1.854,631 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan 2005a). Ikan tenggiri merupakan ikan laut hasil tangkapan yang sangat ekonomis karena harganya yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan ikan laut tangkapan lainnya, tetapi ikan tenggiri tersedia pada musim tertentu saja karena tergolong ikan musiman sehingga jumlah hasil tangkapan tergantung pada musim. Penanganan yang baik adalah menggunakan sistem rantai dingin dan mengutamakan sanitasi dan higiene. Namun pada kenyataannya, penanganan ikan yang dilakukan para nelayan di Indonesia terutama nelayan tradisional belum menerapkan penanganan pasca-panen dengan baik, sehingga ikan-ikan yang didaratkan pada umumnya telah mengalami kemunduran mutu yang cukup tinggi, sehingga akan merugikan nelayan dan juga konsumen baik dari segi gizi maupun ekonomi. Hal tersebut yang mendorong sebagian nelayan tradisional

menggunakan bahan pengawet, seperti formalin yang berbahaya bagi konsumen. Hal ini dilakukan untuk menutupi biaya operasional yang dikeluarkan para nelayan, namun apa yang dilakukan para nelayan ini sangat merugikan masyarakat (konsumen) terutama dalam hal kesehatan. Pentingnya penelitian ini dilaksanakan agar diperoleh data dan informasi mengenai cara penanganan ikan sejak ikan ditangkap sampai ke darat, komposisi gizi ikan yang didaratkan khususnya ikan tenggiri dan melihat kemunduran mutu ikan tersebut sebagai

informasi awal mengenai mutu hasil perikanan tangkap oleh nelayan di Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur.

1.2 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik mutu ikan tenggiri yang ditangkap menggunakan jaring serta tingkat kerusakan pasca panen.

1.3 Tujuan Khusus 1) mempelajari pengaruh metode penanganan terhadap mutu ikan tenggiri; 2) mempelajari pengaruh proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta terhadap mutu ikan tenggiri; 3) mempelajari perbandingan metode penanganan yang dilakukan oleh nelayan dengan peneliti dalam hal penurunan mutu ikan tenggiri.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) Tenggiri termasuk ikan pelagis yang hidup di permukaan laut atau didekatnya. Salah satu dari sifat ikan pelagis besar ini adalah suka bergerombol, sehingga penyebarannya pada suatu perairan tidak merata (Martosubroto et al. 1991 diacu dalam Mutakin 2001). sebagai berikut (Saanin 1984) : Filum Sub filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus Spesies : Chordata : Vertebrata : Pisces : Teleostei : Percomorphi : Scombridea : Scombridae : Scombrinae : Scomberomorus : Scomberomorus commersonii Taksonomi ikan tenggiri diklasifikasikan

Gambar 1. Ikan Tenggiri (Scomberomorus commersonii) Sumber : Anonim (2007a) Ikan tenggiri umumnya hidup di sekitar perairan pantai dan sering pula ditemukan di dekat perairan karang. Penyebaran spesies ini cukup luas mencakup seluruh wilayah Indo-Pasifik Barat dari Afrika Utara dan Laut Merah sampai ke perairan Indonesia, perairan Australia dan perairan Fiji ke Utara sampai ke perairan China dan Jepang (Martosubroto et al. 1991 diacu dalam Mutakin 2001).

Ciri-ciri tenggiri (S. commersonii) adalah mempunyai tubuh yang panjang, berbentuk terpedo dan merupakan perenang cepat. Secara morfologi, ikan ini memiliki karakteristik spesifik pada bagian mulut, sirip, dan bagian tubuh (Martosubroto et al. 1991 diacu dalam Mutakin 2001). Tenggiri mempunyai mulut lebar dengan ujung runcing, gigi pada rahang gepeng dan tajam. Pada bagian punggung ikan terdapat dua sirip. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 15-18 buah, sedangkan sirip punggung kedua berjari-jari 15-20 buah yang diikuti 8-10 buah sirip tambahan (finlet). Sirip dubur tenggiri biasanya berjumlah 18-19 buah dan sifatnya berjari-jari lemah sebanyak 21-24 buah (Martosubroto et al. 1991 diacu dalam Mutakin 2001). Bagian punggung tenggiri berwarna biru gelap atau biru kehijauan. Pada individu dewasa terdapat garis berwarna abu-abu pada bagian perut sebanyak 40-50. Bagian rahang ke bawah berwarna putih keperakan, sirip punggung

pertama berwarna biru terang sampai biru gelap dan sirip dada berwarna abu-abu keperakan sampai biru gelap. Punggung ikan tenggiri berwarna biru abu-abu dan perak kebiru-biruan di bagian sisi. melintang badan. Ban-ban warna gelap, menggelombang Ukuran panjang tubuh dapat

Sirip-siripnya biru keabuan.

mencapai 200 cm dan biasanya 60-90 cm (Anonim 2007b).

2.2 Mutu Ikan Mutu mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu materi, produk atau jasa, seperti pada hasil pertanian pada umumnya, hasil perikanan juga memiliki paling kurang beberapa aspek mutu, antara lain aspek bio-tekno-ekonomis, aspek sanitasi dan higiene, aspek industrial dan lain-lain. Mutu ikan merupakan nilai-nilai tertentu yang diinginkan dari ikan (Ilyas 1983). 2.2.1 Pengertian mutu ikan Pengertian mutu untuk hasil perikanan sebenarnya identik dengan kesegaran. Ikan segar mempunyai dua pengertian, yang pertama merupakan ikan baru saja ditangkap, tidak disimpan atau diawetkan dan pengertian yang kedua, ikan yang mutunya masih baik; belum disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu yang tidak berubah serta belum mengalami kemunduran, baik secara kimia,

fisika, maupun biologi walaupun sudah mengalami penyimpanan, misalnya ikanikan yang dibekukan (FAO 1995a). 2.2.2 Parameter mutu ikan segar Definisi ikan segar menurut SNI 01-2729-2006 adalah produk yang berasal dari perikanan dengan bahan baku ikan, yang telah mengalami perlakuan pencucian, penyiangan atau tidak penyiangan, pendinginan dan pengemasan. Ikan segar yang didefinisikan oleh FAO (1995a) adalah ikan yang baru saja ditangkap, belum disimpan atau diolah, atau ikan-ikan yang memiliki sifat-sifat kesegaran yang kuat serta belum mengalami pembusukan. Ikan segar memiliki ciri-ciri (Stansby 1963) sebagai berikut : (1) (2) (3) (4) (5) daging ikan padat elastis, tidak mudah lepas dari tulang belakangnya; aroma atau baunya segar dan lunak seperti bau rumput laut; mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan; insang berwarna merah cerah; kulit mengkilat dengan warna cerah. Kesegaran ikan tidak sulit diketahui. Cara yang paling mudah adalah dengan pengamatan secara visual terhadap penampilan ikan, dengan

menggunakan metode 4 M, yaitu melihat, meraba, menekan dan mencium. Pertama adalah dengan melihat dan mengamati penampilan ikan secara menyeluruh terutama penampilan fisik, mata, insang, adanya lendir dan sebagainya. Kedua adalah dengan meraba ikan untuk mengamati kondisi ikan terutama adanya lendir, kelenturan ikan dan sebagainya. Penilaian visual dengan meraba dapat dilanjutkan dengan menekan daging ikan untuk melihat teksturnya dan diikuti dengan mencium bau ikan. Secara fisik kesegaran ikan dapat

ditentukan dengan mengamati tanda-tanda visualnya, seperti yang terdapat pada Tabel 1 yang memuat tentang tanda-tanda ikan segar bermutu tinggi (Yunizal dan Wibowo 1998). Nogueras et al. (2002) melaporkan bahwa otot ikan memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap pembusukan selama penyimpanan terutama berkaitan dengan pertumbuhan dan aktivitas bakteri aerob gram negatif. Kesegaran ikan umumnya diukur dengan metode sensori berdasarkan perubahan penampakan, bau, warna, flavor dan tekstur.

Tabel 1. Tanda-tanda ikan segar yang dapat dikonsumsi segar No. Parameter 1. Penampakan Tanda-tanda

2. 3. 4. 5.

6.

Ikan cemerlang mengkilap sesuai jenisnya, badan ikan utuh, tidak patah, tidak rusak fisik, bagian perut masih utuh dan liat serta lubang anus tertutup. Mata Cerah (terang), selaput mata jernih, pupil hitam dan menonjol. Insang Insang berwarna merah cemerlang atau sedikit kecoklatan, tidak ada lendir atau sedikit. Bau Bau segar spesifik jenis, atau sedikit bau amis yang lembut Lendir Selaput lendir di permukaan tubuh tipis, encer, bening, mengkilap cerah, tidak lengket, berbau sedikit amis dan tidak berbau busuk. Tekstur dan Ikan kaku atau masih lemas dengan daging pejal, jika daging ditekan dengan jari cepat pulih kembali, sisik tidak mudah lepas, jika daging disayat tampak jaringan antar daging masih kuat dan kompak, sayatan cemerlang dengan menampilkan warna daging ikan asli. Sumber : Yunizal dan Wibowo (1998) Bahan baku harus secepatnya diolah dengan tujuan untuk

mempertahankan mutu ikan segar. Apabila terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5 oC), saniter dan higienis (SNI 01-2729-1-2006). dilakukan dengan : (1) Pemeriksaan secara organoleptik atau sensorik Cara organoleptik adalah cara penilaian dengan hanya mempergunakan indera manusia (sensorik). Cara ini sangat cepat, murah dan praktis untuk Penentuan tingkat kesegaran ikan dapat

dikerjakan, tetapi ketelitiannya tergantung pada tingkat kepandaian orang yang melaksanakannya. Penetapan kemunduran mutu ikan secara subyektif

(organoleptik) dapat dilakukan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dengan SNI 01-2346-2006. Pengamatan pada metode ini meliputi warna, bau, konsistensi dan penampakan daging. Perubahan organoleptik disebabkan karena melunaknya tekstur daging ikan. Pelunakan

tekstur terjadi karena penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu polipeptida, asam amino dan amoniak yang dapat meningkatkan pH ikan. Keadaan basa adanya hasil pemecahan protein, lemak, dan karbohidrat merupakan

media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Murniyati dan Sunarman 2000). Persyaratan mutu ikan segar yang harus dipenuhi tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu ikan segar Jenis mutu Satuan Persyaratan mutu

a) Organoleptik Nilai min 7 b) Cemaran mikroba 1. ALT/g, maks Koloni/g 5 x 105 <3 2. Escherichia coli APM/g negatif 3. Vibrio cholerae Per 25 g Sumber: SNI 01-2729-2006 Keterangan: ALT = Angka Lempeng Total, APM = Angka Paling Memungkinkan (2) Pemeriksaan dengan K-Value Analisis ini didasarkan pada katabolisme nukleotida dan dapat dilakukan pada sejumlah ikan. Nukleotida yang umum berada dalam bentuk Adenosine Trifosfat (ATP) yang akan berubah menjadi Adenosine Difosfat (ADP), Adenosine Monofosfat (AMP), Inosin Monofosfat (IMP), dan Inosin (HxR) sampai akhirnya terbentuk Hypoxanthine (Hx). Hypoxanthine merupakan indikasi yang baik pada perubahan post mortem daging ikan. Hypoxanthine dapat terakumulasi dari

0,5 mol menjadi 2,8 mol per gram daging dalam waktu 24 jam dan menjadi 8,8 mol per gram daging dalam waktu 48 jam (Zen 2002). Perubahan nilai K selama penyimpanan bervariasi tergantung pada spesies dan jenis daging (daging merah/daging putih). Terdapat hubungan antara

kesegaran ikan dan K-value. Analisis K-value umumnya dilakukan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromotography). sebagai berikut : Rumus K-value adalah

%K =

ino sin + hypoxanthin x100% ATP + ADP + AMP + ino sin + hypoxanthin

Keterangan : ATP :Adenosine triphosphate ADP :Adenosine diphosphate IMP :Inosine monophosphate I :Inosine

Beberapa produk olahan ikan segar memiliki kisaran nilai K yang berbedabeda dan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai K beberapa produk olahan ikan segar Nilai (K) Kurang dari 5 % 20 % 22,5 % 40-60 % Lebih dari 70 % Ikan yang baru mati Ikan untuk bahan sasimi dan sushi Rata-rata daging ikan di pusat pendaratan Rata-rata daging ikan untuk kamaboko dan surimi Ikan mulai mengalami kebusukan Terdapat pada

Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000) (3) Pemeriksaan secara mikrobiologis Penetapan kesegaran ikan secara mikrobiologis dapat dilakukan dengan menghitung jumlah bakteri yang ada pada daging ikan. Ada dua cara yang dapat digunakan yaitu pengujian jumlah bakteri secara tepat dan cara pengujian jumlah bakteri praduga (pendugaan). Pengujian bakteri secara tepat dilakukan menggunakan metode Total Plate Count (TPC), yaitu penghitungan jumlah bakteri yang ditmbuhkan pada suatu media pertumbuhan (media agar) dan diinkubasi selama 24 jam. Koloni bakteri yang tumbuh dihitung. Batas maksimum bakteri untuk ikan segar yaitu 5 x 105 koloni/g (SNI-01-2729-2006). Pengujian bakteri secara praduga dapat dilihat dengan menentukan kekeruhan dari cairan daging ikan (Hadiwiyoto 1993). (4) Pemeriksaan secara kimiawi Penentuan kesegaran ikan secara kimiawi dapat dilakukan menggunakan prinsip penetapan Total Volatile Base (TVB). Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Nilai TVB maksimum untuk ikan segar, yaitu 30 mg N/100 g (Anonim 1985). Komponen utama TVB adalah amoniak (NH3), trimetilamin (TMA) dan dimetilamin (DMA). Beberapa spesies ikan ditemukan mempunyai korelasi/hubungan antara kandungan TVB dan penilaian organoleptik. Perubahan kandungan TVB selama pembusukan mirip dengan TMA, namun kandungan

awalnya lebih tinggi. Basa volatil total dapat dijadikan sebagai indeks kesegaran ikan semenjak basa volatil terakumulasi dalam daging ikan sampai dengan tahap akhir pembusukan. Batas penerimaan pada ikan, yaitu bila mempunyai

kandungan TVB 20-30 mg/100 g ikan (Soekarto 1990). Tingkat kesegaran hasil perikanan berdasarkan TVBN dikelompokkan menjadi 4 (Farber 1965), yaitu : ikan sangat segar dengan kadar TVBN 10 mg N/100 g atau lebih kecil; ikan segar dengan kadar TVBN sebesar 1020 mg N/100 g; ikan yang berada pada garis batas kesegaran yang masih dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN 2030 mg N/100 g; ikan busuk yang tidak dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN lebih besar dari 30 mg N/ 100 g. (5) Trimetilamin oksida (TMAO) Perubahan kimiawi TMAO dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu mikrobiologis dan autolisis. Perubahan TMAO menjadi TMA akan berlangsung secara bakteriologis, yaitu karena aktivitas bakteri yang terdapat pada ikan yang disimpan pada suhu kamar atau pada suhu es (chilling) tetapi perubahan TMAO menjadi DMA dan formaldehida akan dominan pada ikan yang disimpan pada suhu beku. Ikan ditambah es atau dibekukan untuk menghambat perubahan

TMAO, tetapi dengan es aktivitas bakteri masih ada sehingga ikan umumnya hanya dapat disimpan dalam es maksimal 16 hari tergantung jenis ikannya. Senyawa ini terbentuk selama pembusukan ikan oleh bakteri terhadap TMAO. Beberapa jenis ikan terutama ikan air tawar, memiliki sedikit TMAO. Ikan

dikatakan busuk bila mempunyai kadar TMAO sebesar 2,7 mg nitrogen/100 g (Murniyati dan Sunarman 2000). Kesegaran ikan dapat digolongkan ke dalam empat kelas mutu (Hadiwiyoto 1993), yaitu : (1) Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima) Ikan pada kondisi ini merupakan ikan yang baru saja ditangkap dan baru saja mengalami kematian. Semua organ tubuhnya baik daging, mata, maupun insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar.

(2)

Ikan yang kesegarannya masih baik (advanced) Pada kondisi ini, ikan masih dalam keadaan segar namun tidak sesegar

seperti kondisi pertama. Ciri-cirinya adalah bola mata yang agak cerah, kornea agak keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun lunak bila ditekan. (3) Ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang) Ikan pada kondisi ini organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan, bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah menjadi merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging lembek. (4) Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk) Pada kondisi ini ikan sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Ciri-cirinya adalah daging sudah lunak, sayatan daging tidak cemerlang lagi, bola mata cekung, insang berubah jadi berwarna coklat tua, sisik mudah lepas dan sudah menyebarkan bau busuk.

2.3 Kemunduran Mutu Ikan Proses kerusakan ikan berlangsung cepat di daerah beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban harian tinggi. Proses tersebut semakin dipercepat dengan praktek-praktek atau penangkapan yang tidak baik, cara penanganan yang kurang tepat, sanitasi dan higiene yang tidak memadai, terbatasnya sarana distribusi dan sistem pemasaran dan lain-lain. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia seringkali ikan ditangkap dan didaratkan tanpa pemberian es yang layak. Akibatnya, dengan suhu harian yang tinggi (25-32 oC) dan kelembaban yang tinggi (70-90 %) ikan cepat sekali rusak. Jika penanganannya tidak baik, hanya dalam 10-12 jam saja ikan sudah busuk (Yunizal dan Wibowo 1998). Segera setelah ikan mati terjadi perubahan-perubahan mutu yang mengarah pada kebusukan yang disebabkan oleh aktivitas enzim, biokimia, fisik dan mikrobiologi. Hal-hal lain yang menyebabkan kebusukan pada ikan adalah kegiatan oksidatif yang merupakan penguraian lemak dan proses oksidasi, serta kegiatan fisik ikan pada saat ditangkap (Ilyas 1972).

Secara kronologis, pembusukan ikan berjalan melalui empat tahapan sebagai berikut (Murniyati dan Sunarman 2000) : (1) Hiperaemia Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia, biokimia, dan mikrobiologi terjadi dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya

mengarah pada pembusukan. Lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di dalam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh sangat banyak jumlahnya hingga mencapai 12,5 % dari berat tubuhnya. Lendir itu sendiri terdiri atas glucoprotein mucin yang

merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri (Murniyati dan Sunarman 2000). Keadaan ini secara biokimia ditandai dengan menurunnya Proses

kadar ATP dan kreatin fosfat seperti pada reaksi aktif glikolisis. kemunduran mutu ikan segar dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram proses kemunduran mutu ikan segar (Ilyas 1972)

(2) Rigor mortis Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigor mortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati, sebagai hasil perubahan biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan (FAO 1995a). Hilangnya kelenturan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin. Aktomiosin adalah suatu senyawa protein

kompleks yang dibentuk selama otot berkontraksi. Pada mamalia, aves dan ikan, bentuk senyawa aktomiosin sebagai hasil dari penurunan jumlah ATP selama post-mortem (Sikorski 2001). Tingkat rigor ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Rigor mortis pada ikan mulai terjadi pada bagian ekor dan terus merambat ke bagian kepala. Lama tidaknya masa rigor mortis tergantung pada beberapa faktor, yaitu (Murniyati dan Sunarman 2000): (a) Suhu lingkungan Suhu lingkungan yang rendah akan memperpanjang masa rigor mortis yang berarti dapat memperpanjang tingkat kesegaran ikan, sehingga pascapanen ikan harus menerapkan prinsip rantai dingin. (b) Cara ikan mati Ikan yang mati dengan cara dibunuh langsung, segera setelah ditangkap akan mempunyai masa rigor yang lebih lama. Hal ini berkaitan dengan kandungan glikogen yang ada pada tubuh ikan, apabila mati dalam keadaan stres maka kandungan glikogennya akan cepat habis. (c) Kandungan glikogen setelah ikan mati Kandungan glikogen yang ada pada ikan setelah mati dapat menunjukkan lamanya proses rigor mortis. Jika kandungan glikogen dalam tubuh ikan semakin lama habis, maka masa rigor akan semakin lama. Ikan yang bergerak cepat banyak mengeluarkan tenaga sebelum mati sehingga akan menurunkan kandungan glikogen dalam daging. Hal ini menyebabkan fase rigor mortis akan cepat datang dan waktunya lebih singkat. Ikan yang mengalami stress sebelum mati maka datangnya rigor akan lebih awal dan perkembangannya lebih cepat dibandingkan yang tidak mengalami stress. Jika dibandingkan dengan mamalia, rigor mortis ikan lebih cepat, yaitu sekitar 1-7 jam. Ikan yang disiangi dan disimpan dalam es, proses rigor mortis mulai 32-93 jam setelah ikan mati, sedangkan untuk ikan yang tidak diberi es,

proses rigor mortis berlangsung 5-22 jam. Rigor mortis pada ikan juga terjadi secara beriringan dengan penurunan pH jaringan otot yang disebabkan oleh adanya asam laktat (Murniyati dan Sunarman 2000). Produksi asam laktat yang terjadi pada fase rigor mortis ini, menyebabkan pH tubuh ikan menurun dari kisaran 6,9-7,2 menjadi 6,2-6,6. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan dipengaruhi oleh kandungan protein, asam laktat, asam fosfat, trimetilamin oksida (TMAO), dan basa-basa volatil. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. pH ikan pada kondisi ini naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin banyak senyawa yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan (Junianto 2003). (3) Autolisis Autolisis adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protease dan lipase) yang terdapat di dalam daging ikan. Daging ikan yang terdiri atas protein menyebabkan proses autolisis dapat juga disebut proteolisis. Enzim-

enzim ini sebetulnya sudah aktif sejak ikan masih hidup, akan tetapi ketika itu hasil aktivitasnya dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan pemeliharaan tubuh. Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan pH. Selain asam amino, autolisis menghasilkan sejumlah kecil pirimidin dan purin, basa yang dibebaskan pada waktu pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan lemak bebas dan gliserol. Autolisis akan merubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun (Murniyati dan Sunarman 2000). Autolisis berperan dalam bermacam-macam tingkat pembusukan secara keseluruhan dan sebagai media pertumbuhan bakteri (FAO 1995a). Proses

penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Beberapa enzim yang

berperan dalam proses ini, antara lain: katepsin (dalam daging), enzim tripsin,

kemotripsin,

dan

pepsin

(dalam

organ

pencernaan)

serta

enzim

dari

mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan.

Enzim-enzim yang dapat

menguraikan protein (proteolitik) berperan dalam proses kemunduran mutu ikan (Moeljanto 1992). (4) Pembusukan oleh bakteri Tahapan pembusukan oleh bakteri ditandai oleh jumlah bakteri yang sudah cukup tinggi akibat perkembangbiakan yang terjadi pada fase-fae sebelumnya. Kegiatan bakteri pembusuk dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan autolisis, dan kemudian berjalan sejajar. Bakteri merusak ikan lebih parah

daripada kerusakan yang diakibatkan oleh enzim. Sejumlah bakteri bersarang pada permukaan tubuh, insang dan di dalam perutnya. Bakteri itu secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung intensif setelah selesainya rigor mortis yaitu setelah daging menjadi lunak dan celah-celah seratnya terisi cairan. Meskipun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang terbaik ialah hasil-hasil hidrolisis yang terbentuk selama autolisis dan senyawasenyawa nitrogen non-protein (trimetilamin oksida, urea) yang terdapat dalam daging. Daging ikan laut lebih banyak mengandung senyawa non-protein

daripada ikan air tawar, dengan demikian ikan laut lebih cepat diuraikan oleh bakteri (Murniyati dan Sunarman 2000). Penanganan ikan yang kurang saniter dan higienis serta penyimpanan dalam keadaan tidak dilindungi dengan baik mengakibatkan ikan sangat rentan terhadap kerusakan biologis. Kerusakan biologis dapat menyebabkan proses

pembusukan pada ikan oleh bakteri berlangsung sangat cepat (Heruwati 2002). Daging ikan yang baru ditangkap masih steril karena memiliki sistem kekebalan yang mencegah bakteri tumbuh pada daging. Setelah ikan mati, sistem kekebalan tersebut tidak berfungsi lagi dan bakteri dapat berkembang biak dengan bebas. Bakteri bergerak ke seluruh tubuh pada permukaan kulit dan selama

penyimpanan bakteri menyerang daging dan bergerak antara serat otot. Jumlah mikroorganisme yang menyerang sangat terbatas dan pertumbuhan bakteri sebagian besar berlangsung di permukaan. Proses pembusukan terjadi akibat

adanya enzim yang dihasilkan bakteri yang merusak bahan gizi pada daging ikan (FAO 1995a). Hubungan yang terjadi antara laju pertumbuhan bakteri dengan kemunduran mutu ikan segar dapat dilihat pada Gambar 3.

a-b adalah fase rigor mortis b-c terjadi perubahan-perubahan organoleptik, hilangnya karakteristik ikan segar C-D adalah fase logaritmik--------------------c-d mulainya pembusukan dengan jumlah bakteri meningkat pesat sekali D-E adalah fase terminal stasioner------------- d-e aktivitas pembusukan maksimum, ikan mendekati busuk (putrid) Gambar 3. Hubungan antara laju pertumbuhan bakteri dengan kemunduran mutu ikan segar (Ilyas 1983) Laju penurunan mutu dan daya awet ikan dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti yang tercantum pada Tabel 4. Secara umum dapat dinyatakan bahwa ikan berukuran besar mengalami penurunan mutu yang lebih lambat dibandingkan dengan ikan berukuran kecil, ikan berbentuk pipih dapat disimpan lebih lama dari pada ikan berbentuk bulat, ikan berlemak rendah dapat

Keterangan : A-B adalah fase lag ----------------------------B-C adalah fase akselerasi----------------------

dipertahankan lebih lama dari pada ikan yang berlemak tinggi pada kondisi aerobik dan ikan yang bertulang keras dapat lebih lama disimpan daripada ikan bertulang rawan (Huss 1995). Tabel 4. Faktor intrinsik yang mempengaruhi laju penurunan mutu ikan yang disimpan dalam es Parameter Cepat Ukuran pH post mortem Kandungan lemak Ketebalan kulit Sumber : Huss (1995) Ikan kecil pH tinggi Spesies lemak tinggi Kulit tipis Laju penurunan Lambat Ikan besar pH rendah Spesies lemak rendah Kulit tebal

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Mutu Ikan Segar Ikan yang sangat segar dan baru ditangkap mempunyai karakteristik kesegaran yang umumnya dikenal dari rupa dan baunya. Kualitas ikan selalu dikaitkan dengan kesegaran dan kerusakannya, maka perlu diketahui bahwa mutu dan kualitas ikan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah cara kematian dan penangkapan ikan, kondisi biologis dan lingkungan hidup ikan, suhu, pengaruh cara penanganan dan pembongkaran, serta sanitasi dan higiene. 2.4.1 Cara kematian Ikan yang telah ditangkap kemudian mati dengan segera akan lebih baik daripada ikan yang matinya perlahan-lahan karena rigor mortis akan datang lebih lambat dan berlangsung lebih lama (Ilyas 1983). Gejala ini berhubungan dengan semakin rendah cadangan glikogen otot dan semakin kecilnya pH yang disebabkan oleh banyaknya asam yang dihasilkan terutama asam laktat, misalnya ikan yang ditangkap dengan pancing dan langsung dibunuh lebih baik daripada ikan yang ditangkap dengan gillnet dan mati secara perlahan-lahan. Cara pembunuhan ikan juga dapat mempengaruhi waktu pencapaian kondisi fase rigor mortis. Penghancuran otak ikan yang telah ditangkap secara langsung dan menyeluruh menghasilkan waktu yang lebih lama untuk mencapai

waktu rigor mortis karena tidak ada pergerakan otot selama proses tersebut. Ikan yang menunjukkan aktivitas otot sebelum mati telah memiliki tingkat asam laktat yang tinggi. Hal ini dikarenakan otot tersebut telah lebih dahulu kekurangan oksigen. Otot ikan akan melakukan respirasi anaerobik terus menerus setelah ikan mati dan memproduksi asam laktat berlebih. Hal ini akan mempersingkat waktu ikan tersebut mencapai rigor mortis dan juga menghasilkan kondisi ikan yang lebih kaku karena lebih banyak sel yang mencapai kondisi rigor mortis pada saat bersamaan (Robb 2002). Cara penangkapan juga berpengaruh terhadap proses kemunduran mutu ikan, sehingga perlu diperhatikan penyesuaian antara metode penangkapan dan jenis alat tangkap yang digunakan dengan jenis ikan yang ditangkap (Ilyas 1983). 2.4.2 Kondisi biologis dan lingkungan Ikan berukuran kecil akan lebih cepat menurun mutunya dibandingkan dengan ikan yang berukuran lebih besar, untuk jenis yang sama. Tingkat

kedewasaan seksual pada ikan yang ditangkap juga berpengaruh terhadap kemunduran mutunya. Ikan yang matang gonad akan lebih cepat menurun

mutunya dibandingkan dengan ikan yang belum matang gonad (Robb 2002). Ikan yang tertangkap pada waktu perut penuh dengan makanan akan lebih cepat busuk daripada waktu perut tidak penuh karena enzim-enzim pencernaan sedang aktif bekerja (Ilyas 1983). Jenis makanan ikan juga berpengaruh terhadap kemunduran mutu ikan. Ikan dasar (demersal) akan lebih cepat busuk daripada ikan permukaan (pelagis) dan ikan yang sedang bertelur akan lebih cepat busuk daripada ikan yang tidak bertelur (Anonim 1983). 2.4.3 Suhu Suhu air saat ikan ditangkap mempengaruhi kemunduran mutu ikan terutama pada air yang bersuhu tinggi dan ikan berada lebih lama di dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses kemunduran mutu ikan. Perairan tropis dimana suhu air 20-24 oC ikan di dalam air sudah mengalami pembusukan sebelum diangkat dari alat penangkapan, sedangkan pada daerah subtropis yang memiliki suhu 7-10 oC bahaya pembusukan tidak terlalu besar (Ilyas 1983).

Bakteri dapat tumbuh dalam selang suhu yang besar yaitu dari 0-45 oC. Suhu ikan dapat naik antara 25-35 oC di dalam air. Perlakuan suhu rendah yang diberikan pada saat pembusukan, kurang efektif dalam hubungannya dengan pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dan akan memberikan hasil yang kurang memuaskan (Nasran 1972). Suhu yang rendah dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme, tetapi pertumbuhan tersebut dan reaksi biokimia masih berpengaruh terhadap proses pembusukan. Tidak semua mikroorganisme pada kondisi tersebut dapat terbunuh. Beberapa diantaranya hanya dapat dihambat pertumbuhannya.

Perkembangbiakan bakteri pada ikan sangat dipengaruhi oleh suhu. Jika suhu yang digunakan semakin rendah, maka pertumbuhan bakteri akan semakin dihambat. Pengukuran suhu ikan diusahakan sedikit mungkin memegang bagian ikan agar panas dari tangan tidak banyak berkonduksi ke dalam ikan dan pengamatan dilakukan pada beberapa ekor ikan secara acak (random) dalam satu wadah serta dari bagian yang menurut perkiraan paling panas (Ilyas 1983). Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hubungan antara suhu, kegiatan bakteri dan mutu ikan Suhu 25-10 oC Kegiatan Bakteri Luar biasa cepat Mutu Ikan

Cepat menurun, daya awet sangat pendek (3-10 jam) 10-2 oC Pertumbuhan kurang Mutu menurun kurang cepat cepat, daya awet pendek (2-5 hari) 2-(-1) oC Pertumbuhan bakteri jauh Penurunan mutu agak berkurang dihambat, daya awet wajar (3-10 hari) -1 oC Kegiatan dapat ditekan Sebagai ikan basah, penurunan suhu minimum sehingga daya awet maksimum 5-20 hari -1-(-10) oC Ditekan tidak aktif Penurunan mutu minimum, tekstur dan rasa ikan rendah, daya awet panjang 7-30 hari -18 oC dan lebih Ditekan minimum, Mutu ikan beku lebih baik, rendah bakteri tersisa tidak aktif daya awet sampai setahun Sumber : Ilyas (1983)

Penanganan ikan yang baik harus memperhatikan suhu ikan, karena kenaikan suhu berkorelasi positif dengan pertumbuhan bakteri dan peningkatan kadar TVB pada ikan merupakan faktor koreksi terhadap kesegarannya. Jika suhu yang digunakan dalam penanganan semakin tinggi, maka kecenderungan pertumbuhan bakteri dan peningkatan nilai TVB akan semakin cepat. Sebaliknya, semakin rendah suhu yang digunakan akan menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat dan kadar TVB dalam tubuh ikan juga semakin kecil bila dibandingkan dengan penggunaan suhu tinggi. Standar suhu penanganan ikan segar adalah sebagai berikut (Anonim 1988) : (1) (2) (3) (4) (5) pada penyortiran, suhu yang digunakan maksimal 5 oC; pada pencucian, suhu yang digunakan maksimal 10 oC; pada penimbangan, suhu yang digunakan maksimal 5 oC; pada penyimpanan sementara, suhu yang digunakan maksimal 5 oC; pada pengemasan, suhu dalam pengemasan antara 0-2 oC.

2.4.4 Pengaruh cara penanganan dan pembongkaran Ikan yang bermutu dan memiliki daya awet yang tinggi dapat diperoleh dengan cara bekerja cepat, cermat, hemat dan bersih serta pada suhu yang rendah/pendinginan ikan (Ilyas 1983). Pemahaman yang mendalam akan prinsip penanganan yang baik bagi nelayan dan pengusaha dapat membantu mempertahankan atau memperpanjang mutu ikan. Penyediaan sarana yang

diperlukan untuk mendukung pelaksanaan prinsip cepat, cermat, bersih perlu diperhatikan untuk mendapatkan mutu ikan yang baik. Pembongkaran ikan pada kapal penangkapan harus dilakukan dengan hati-hati dan sedapat mungkin tidak menggunakan sekop atau garpu untuk menghindari luka atau memar pada ikan. Ikan-ikan jangan dibiarkan terkena sinar matahari langsung (Moeljanto 1992). 2.4.5 Sanitasi dan higiene Kebersihan dalam penanganan ikan mengandung beberapa pengertian, antara lain membuang sumber pembusukan dari ikan, seperti lendir, darah, bakteri dan insang, isi perut, mencuci bersih ikan, cepat mendinginkan dan menyimpannya, melindungi ikan dari kemungkinan pencemaran dari air selokan di bawah palka atau di darat dari panas dan serangga. Kebersihan dan higiene

karyawan, palka, alat-alat yang digunakan dan lain-lain perlu ditingkatkan (Ilyas 1983). Sanitasi dan higiene dalam penanganan ikan sangat penting. Contoh yang dapat diambil yaitu pada saat sortasi dan penyiangan. Selama sortasi dan Hal ini dapat

penyiangan diusahakan sekecil mungkin terjadi kontaminasi.

dicapai dengan menyarankan para pekerja untuk menggunakan sarung tangan (Junianto 2003). 2.5 Penanganan Ikan merupakan salah satu komoditas pangan yang cepat mengalami proses pembusukan (perishable food). Oleh karena itu diperlukan penanganan yang cermat dan cepat dengan memperhatikan sanitasi dan higiene yang baik dengan menerapkan sistem rantai dingin (cold chain system). Penanganan ikan pada dasarnya ditujukan untuk mempertahankan kesegaran ikan yang harus dilakukan sejak ikan diangkat dari air sampai di tangan konsumen (from catch to table). Perlakuan dan penerapan teknik penanganan disesuaikan menurut jenis dan tujuan pemanfaatannya baik yang berasal dari hasil tangkapan maupun hasil budidaya. Penanganan ikan merupakan tahapan perlakuan yang diberikan pada ikan sejak ikan ditangkap atau diangkat dari perairan, didaratkan atau diangkat sampai ke pabrik pengolahan atau dijual pada konsumen. Tujuan utama penanganan ikan segar adalah mengusahakan agar kesegaran ikan setelah tertangkap dapat dipertahankan selama mungkin (Irawan 1995). Metode pendinginan merupakan cara yang paling umum diterapkan dalam penanganan ikan segar karena dianggap paling memuaskan untuk

mempertahankan mutu kesegaran bila dilakukan dengan cara yang benar, yaitu dengan prosedur yang cepat, tepat dan cermat dan disertai dengan upaya menjaga kebersihan, sanitasi dan higiene (Heruwati 2002). Penggunaan es untuk penanganan ikan segar sebagai media pendinginan adalah paling umum digunakan dan dianggap paling efektif. Penerapan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) untuk penanganan ikan ditetapkan batas kritis suhu ikan sebesar 4,5 oC dengan waktu tidak lebih dari 4 jam. Hal ini

hanya bisa dicapai dengan penggunaan es keping (flake ice).

Perbandingan

es : ikan yang dijadikan sebagai acuan adalah 1:2 atau 1:1 untuk lama perjalanan 18 hari (FAO 1995b). Kebutuhan pendinginan ini dapat dihitung berdasarkan pengetahuan tentang panas dari ruang penyimpanan (palka), lama perjalanan dan suhu lingkungan (FAO 1992). Selain medium pendingin, untuk mempertahankan suhu ikan dan sebagai tempat penyimpanan diperlukan suatu sarana berupa wadah yang kedap terhadap panas (Ilyas 1983). Peti pendingin (coolbox) terutama digunakan untuk menyimpan hasil tangkapan dalam jumlah sedikit, seperti hasil tangkapan nelayan skala kecil, sedangkan palka berinsulasi biasanya digunakan untuk penyimpanan hasil tangkapan dalam jumlah yang banyak. Hasil tangkapan ikan nelayan tradisional sampai saat ini belum ditangani dengan baik dan benar. Hal ini mengakibatkan penurunan mutu atau tingkat kehilangan semakin tinggi akibat busuk atau rusak dan berdampak terhadap tingkat pendapatan nelayan semakin rendah. Upaya mempertahankan kesegaran ikan sangat penting kaitannya dengan harga jual, peningkatan pendapatan nelayan, nilai gizi dan konsumsi ikan dalam penyediaan bahan baku industri pengolahan, disamping itu untuk menekan tingkat kehilangan atau losses (Heruwati 2002). Penanganan ikan di setiap tahapan proses produksi dari mulai penanganan ikan di atas kapal, cara pembongkaran ikan, penanganan ikan selama distribusi dan penanganan ikan selama penjualan di tingkat pengecer perlu diperhatikan. 2.5.1 Penanganan ikan di atas kapal penangkap ikan Proses atau prosedur penanganan ikan di atas kapal harus dilakukan dengan baik supaya kualitas ikan yang diperoleh memuaskan. penanganan ikan di atas kapal (Junianto 2003) adalah sebagai berikut : (1) Setelah tertangkap secepatnya ikan dibunuh supaya ikan tidak melakukan perlawanan yang menyebabkan ikan luka atau memar akibat benturan. Luka atau memar pada ikan memudahkan ikan terkontaminasi oleh bakteri sehingga proses pembusukan akan semakin cepat. (2) Sortasi dilakukan untuk memisahkan jenis, ukuran dan mutu sehingga memudahkan dalam proses penjualan di darat dan memperkecil kontaminasi bakteri atau perlakuan fisik saat ikan disortir oleh pembeli. Tahapan

(3) Pencucian dapat dilakukan bersamaan dengan sortasi atau setelah sortasi. Pencucian yang baik dilakukan dengan menyemprotkan air laut bersih atau air tawar dingin yang bersih untuk membebaskan ikan dari bakteri pembusuk. (4) Penirisan dapat dilakukan dengan menempatkan keranjang ikan di atas dek dan diusahakan ikan jangan sampai terkena sinar matahari secara langsung. (5) Pendinginan menggunakan es curai, dengan cara penyusunan berlapis-lapis antara ikan dan es dengan perbandingan es dan ikan minimal 1:1. Pendinginan dilakukan dalam wadah berinsulasi atau styrofoam. Penyimpanan ikan harus disertai dengan es atau air dingin bersuhu 0-5 oC secara saniter dan higienis. 2.5.2 Pembongkaran ikan Pembongkaran ikan pada suatu pelabuhan berperan penting dalam penanganan ikan. Baik buruknya kondisi tempat pembongkaran, peralatan yang digunakan dan kondisi kesehatan karyawan akan sangat berpengaruh pada kesegaran ikan. Pembongkaran ikan dalam palka saat ikan memasuki pelabuhan (Batubara 1989), harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) pembongkaran harus dilaksanakan pada waktu pagi hari, untuk menghindari pengaruh langsung matahari; (2) mata rantai pendinginan harus tetap terjaga, artinya di tempat pembongkaran harus dipersiapkan wadah-wadah yang diisi dengan air dingin; (3) cara pengangkatan ikan harus sedemikian rupa, sehingga badan ikan tidak tertekuk; (4) tempat-tempat yang runcing dan tajam yang akan dilalui oleh ikan harus diberi lapisan pelunak, sehingga tidak merusak kulit ikan. Hasil tangkapan yang berbeda hari atau waktu penangkapannya sebaiknya dipisahkan pada saat membongkar muatan kapal, pemakaian alat-alat seperti sekop, garpu atau sendok harus dihindari karena dapat menyebabkan kerusakan pada ikan (Anggawati 1993). Cara pembongkaran yang lain harus diperhatikan untuk tetap mempertahankan kesegaran ikan, yaitu memisahkan es yang belum mencair, membongkar ikan dan menempatkannya dalam wadah, melakukan sortasi bila di atas kapal belum dilakukan sortasi, pencucian ikan dalam

keranjang dengan air tawar atau air laut dingin yang bersih dan diberi es diatasnya (Junianto 2003). 2.5.3 Penanganan ikan di darat Penanganan ikan segar di darat berkaitan erat dengan tata niaga pemasarannya. Ikan segar melalui beberapa tahapan penanganan untuk sampai ke tangan konsumen akhir, yaitu penanganan di TPI (tempat pelelangan ikan), penanganan di tingkat pedagang dan penanganan selama pengangkutan dan distribusi. Secara umum, tata niaga pemasaran ikan segar dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4. Tempat Pelelangan Ikan (TPI)

Pasar Induk

Pabrik Pengolahan

Supermarket

Pasar Pengecer

Pedagang Keliling

Konsumen Akhir Gambar 4. Skema tata niaga pemasaran ikan segar (Junianto 2003) Kesegaran ikan laut yang didaratkan tergantung pada perlakuan pertama, kecepatan dalam penanganan dan cara penyimpanan di kapal. Ikan dapat

menjadi lebih segar jika disimpan dalam pecahan-pecahan es atau pendingin lainnya (Junianto 2003). Prinsip penanganan ikan segar di darat dengan

menerapkan suhu rendah memakai es, pendinginan dalam ruang dingin, atau dengan air yang didinginkan, ketentuan sanitasi dan higiene, dan

memperhatikan faktor waktu.

Oleh karena itu, setiap pengumpul perlu

dilengkapi sarana dan prasarana agar ikan tetap segar seperti air bersih, pendinginan (es), wadah penanganan dan penyimpanan, serta sarana pengepakan untuk pengiriman barang (Ilyas 1983).

2.5.4 Penanganan ikan selama pengangkutan dan distribusi Keberhasilan pengangkutan ikan segar adalah mempertahankan tingkat kesegaran ikan semaksimal mungkin selama pengangkutan berlangsung. Tingkat keberhasilan pengangkutan tersebut berkorelasi positif dengan nilai jual ikan, yaitu harga jual akan tetap tinggi jika ikan masih tetap segar. Suhu ikan dijaga agar tetap rendah selama pengangkutan dan distribusi, alas wadah harus dilapisi es halus kemudian lapisan ikan yang ditaburi es disusun di atasnya. Ikan harus dilapisi lapisan es yang tebal di atas dan di bawah tumpukan peti (Anggawati 1993). Banyaknya es atau ketebalan es

tergantung dari jarak atau lama pengangkutan dan distribusi. Sinar matahari secara langsung harus dihindari selama pengangkutan dan distribusi karena mengakibatkan kenaikan suhu ikan. 2.5.5 Penanganan tingkat pedagang dan pengecer Perlakuan pendinginan yang dilakukan tingkat pedagang sangat bervariasi, tergantung dari sarana dan prasarana yang dimilikinya sehingga ikan yang diperjualbelikan oleh pedagang dalam satu pasar atau pasar yang lain mempunyai tingkat kesegaran yang berbeda meskipun didatangkan dari TPI yang sama. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan untuk mendukung

penanganan ikan yang baik di tingkat pedagang adalah lokasi pemasaran, sarana air bersih, dan tersedianya depot es (Murdiyanto 2002). Lokasi pemasaran harus ditata rapi, terutama sistem drainasenya. Sistem drainase yang kurang baik akan menyebabkan terjadinya genangan air sehingga mengundang banyak masalah, seperti lalat-lalat berdatangan, bau yang tidak menyenangkan, dan tempat penjualan becek. Kondisi ini menjadi sumber kontaminan potensial pada ikan yang dipasarkan (Anggawati 1993). Selama penjualan pengeceran, suhu ikan harus dipertahankan tetap dingin. Suhu sekitar 0 oC dengan cara melapisi dengan es curai. Ikan harus ditempatkan khusus, terpisah dari produk pangan lainnya, harus dilindungi dari pengaruh panas matahari, debu, serangga dan kotoran lainnya. Ikan-ikan disusun rapi dalam lapisan yang tipis, di atas dan di bawahnya ditaburi es curai dan diusahakan tidak terlalu sering tersentuh oleh tangan (Dinas Kelautan dan Perikanan 2005b).

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Desember 2008. Penelitian lapang dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Manggar, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Uji total jumlah mikroba

(TPC), nilai pH dan TVB dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengujian proksimat dilakukan di

Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian berhubungan dengan pengamatan, pengujian mutu ikan baik secara sensoris (score sheet organoleptik), pengujian kimiawi-biokimiawi (analisis proksimat, kadar TVB dan pH) dan analisis mikrobiologis. 3.2.1. Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian antara lain coolbox sebagai wadah penyimpanan botol sampel, botol film, termometer untuk pengukuran suhu, score sheet organoleptik, mesin penggiling atau blender, timbangan kue, timbangan digital, alat untuk analisis kadar air (oven, desikator, cawan) dan tanur untuk analisis kadar abu. Alat-alat yang digunakan untuk analisis kadar protein, yaitu tabung kjeltec, kjeltec system, erlenmeyer, buret dan alat untuk analisis kadar lemak yaitu alat ekstraksi soxhlet, kertas saring, selongsong lemak, labu lemak, tabung soxhlet, oven, dan desikator. Alat-alat yang digunakan untuk analisis TVB, yaitu kertas saring, cawan conway, pipet, inkubator, magnetic stirrer, buret; dan untuk analisis TPC, yaitu labu erlenmeyer, pipet, cawan petri, tabung reaksi, inkubator, bunsen, gelas piala, dan alat hitung bakteri (bakteri Quebec). Alat-alat yang digunakan untuk pengukuran pH, yaitu blender, pH-meter, homogenizer, gelas kimia, dan pH indikator universal.

3.2.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii), es, gelly ice, dan media pertumbuhan bakteri. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis kadar protein, yaitu tablet kjeltab, H2SO4, air, asam borat, HCl 0,1 N, dan analisis kadar lemak yaitu pelarut lemak (petroleum benzene). Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis TVB, yaitu TCA (trikhloroacetic acid) 7 %, larutan K2CO3, TCA 5 % (blanko), HCl 0,02 N, NaOH 0,01 N, asam borat dan untuk analisis TPC, yaitu larutan garam 0,85 % steril, media agar, akuades, dan alkohol 95 %. Bahan-bahan yang digunakan untuk pengukuran nilai pH adalah larutan buffer pH 7 dan akuades. 3.3. Metode Penelitian Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah mengetahui tentang penanganan (handling) yang dilakukan oleh para nelayan dimulai sejak ikan pertama kali diangkat dari laut (post harvest), selama penyimpanan dalam fiber box ketika di atas kapal sampai tiba di darat (pengumpul) dan selama pengiriman ikan ke Tanjung Pandan sampai ke Jakarta untuk mengetahui karakteristik mutu ikan tersebut dengan menggunakan analisis kesegaran ikan. Penelitian ini didasarkan pada survey lapangan dalam mengamati proses penanganan ikan pasca-panen, khususnya ikan tenggiri dengan pengisian kuesioner, wawancara, dan ikut serta dalam proses penangkapan ikan. 3.3.1. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi umum perikanan di Kecamatan Manggar khususnya penangkapan yang meliputi berbagai jenis ikan yang ditangkap, alat tangkap yang digunakan dan tahap-tahap penanganan ikan oleh nelayan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Tahap ini dilakukan dengan cara mengisi kuesioner (Lampiran 1) yang ditujukan kepada nelayan untuk mempelajari sampai sejauh mana nelayan mengetahui proses penanganan ikan laut segar dan ikut langsung bersama nelayan selama proses penangkapan ikan. Kuesioner ini meliputi data responden dan halhal yang berkaitan dengan cara penanganan ikan segar.

3.3.2. Penelitian Utama Penelitian pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui secara langsung pengaruh penanganan ikan terhadap kehilangan atau kerusakan hasil perikanan tangkap khususnya ikan tenggiri. Pada penelitian utama digunakan dua perlakuan yaitu: (1) metode penanganan, yaitu nelayan dan peneliti (es dan ikan adalah 1:1); dan (2) proses penanganan sejak ikan ditangkap, sampai di darat, pengumpul, saat akan berangkat ke Jakarta hingga tiba di Jakarta dengan dua kali ulangan. Penelitian menitikberatkan pada metode organoleptik untuk melihat perubahan tingkat kesegaran ikan dan analisis laboratorium (analisis kimia, proksimat dan jumlah bakteri) terhadap sampel yang diambil pada setiap proses penanganan yang berfungsi juga sebagai titik pengamatan. Tiap titik pengamatan masingmasing diambil satu ekor ikan dan dagingnya diambil kemudian diblender serta dimasukkan dalam botol sampel (botol film). Botol sampel disimpan dalam

coolbox yang berisi gelly ice untuk analisis proksimat, uji TVB dan TPC serta penentuan pH. Hasil pengamatan di laut akan diperoleh data organoleptik ikan pada tiap titik pengamatan. Peneliti juga melakukan pengamatan penanganan ikan segar yang dilakukan sendiri dengan menggunakan perbandingan es : ikan adalah 1:1. Gambar 5. Ikan ditangkap* Ikan sampai di darat* Pengumpul* Transportasi atau distribusi Penyimpanan Saat berangkat ke Jakarta* Transportasi atau distribusi Sampai di Jakarta* Keterangan: *) proses penanganan yang dijadikan titik pengamatan Diagram alir proses penanganan ikan laut segar dapat dilihat pada

Gambar 5. Diagram alir proses penanganan ikan laut segar

Keadaan Riil

Proses Penangkapan

Proses Handling di Laut dan di Darat

Identifikasi Perlakuan Penyebab Perubahan Mutu dan Tingkat Kesegaran

Pengamatan

Penetapan Perlakuan (Titik Pengamatan)

Analisis Laboratorium

Penanganan ikan yang baik

Organoleptik

Analisis Proksimat

Analisis Jumlah Bakteri

Analisis Kimia (TVB, pH)

Data

Karakteristik Mutu dan Tingkat Kesegaran Ikan

Keterangan: : Penelitian Pendahuluan : Penelitian Utama Gambar 6. Kerangka pemikiran penelitian

3.4. Pengamatan Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi hasil tangkapan, penangkapan ikan di laut dan proses penanganan (laut dan darat), uji organoleptik (penampakan) pada saat ikan baru ditangkap sampai tiba di Jakarta. Uji pH, uji proksimat (analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak), uji TVB dan uji mikrobiologi yaitu TPC mulai dilakukan pada saat ikan tiba di laboratorium (darat) pada setiap titik pengamatan (proses penanganan) yang telah ditentukan. 3.4.1. Uji organoleptik (BSN 2006) Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk mengukur daya penerimaannya terhadap ikan sampel. Sasaran alat indera pada pengujian organoleptik ikan segar yang

ditetapkan oleh SNI 01-2346-2006 adalah konsistensi, penampakan mata, insang, keadaan isi perut serta daging ikan. Metode yang digunakan dalam pengujian organolpetik adalah scoring test yaitu menggunakan skala angka. Skala angka terdiri dari angka 1-9 dengan spesifikasi untuk tiap angka yang dapat memberikan pengertian tertentu bagi panelis. Nilai pengujian dicantumkan oleh panelis pada score sheet (lembar penilaian) (Lampiran 2). Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh panelis, antara lain: tertarik dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik; konsisten dalam mengambil keputusan; siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian; berbadan sehat; bebas dari penyakit THT, mata/buta warna, dan gangguan psikologis; tidak menolak contoh yang akan diuji; tidak merokok, minum-minuman keras dan makan permen sebelum pengujian; jumlah panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 6 orang (panelis standar). Data yang diperoleh kemudian dianalisis kesegaran ikannya dengan kriteria sebagai berikut: Segar Agak segar Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9 : nilai organoleptik berkisar antara 5-6 : nilai organoleptik berkisar antara 1-3

3.4.2. Analisis kadar air (AOAC 1995) Penentuan kadar air dilakukan berdasarkan perbedaan bobot contoh sebelum dan sesudah pengeringan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven 102-105 oC selama lebih kurang 30 menit dan didinginkan dalam desikator. Contoh ditimbang sebanyak 2,0-3,0 gram dan dipanaskan dalam oven pada suhu 102-105 oC selama kurang lebih 3-5 jam sampai beratnya konstan. Contoh yang sudah dikeringkan tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: % Kadar Air = B C x 100 % BA Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan daging ikan (gram) C = Berat cawan porselin dan daging ikan setelah dikeringkan (gram) 3.4.3. Analisis kadar abu (AOAC 1995) Contoh ditimbang sebanyak (2-3) gram dalam cawan kering yang telah diketahui beratnya. Lalu dikeringkan dalam oven selama 6 jam dengan suhu 120 oC. Cawan berisi sampel yang telah didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang, kemudian sampel diabukan dalam tanur bersuhu 600 oC sampai diperoleh abu berwarna keputih-putihan. Cawan beserta abu dimasukkan ke

dalam desikator dan setelah dingin beratnya ditimbang. Cawan beserta abu dimasukkan kembali ke dalam tanur selama 30 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang kembali. Perlakuan ini diulang sampai diperoleh berat abu yang konstan. Kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: % Kadar Abu = C A x 100 % BA Keterangan: A = Berat cawan abu porselin kosong (gram) B = Berat cawan abu porselin dan daging ikan (gram) C = Berat cawan abu porselin dan daging ikan setelah dimasukkan ke dalam tungku

3.4.4. Analisis kadar protein (AOAC 1995) Cara penentuan kadar protein dilakukan berdasarkan metode kjeldahl. Prinsip analisis protein dengan metode kjeldahl meliputi destruksi, destilasi dan titrasi. Pada tahap destruksi, sampel ditimbang sebanyak 0,3 gram untuk daging kering sedangkan untuk daging basah sebanyak 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec. Satu buah tablet kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai warna larutan menjadi bening. Tahap destilasi dimulai dengan persiapan (pemanasan) alat kjeltec system. Persiapan dilakukan dengan membuka kran air dan melakukan pengecekan alkali dan air dalam tangki, tabung dan erlenmeyer yang berisi akuades diletakkan pada tempatnya dan dihubungkan dengan selang, selanjutnya pintu pengaman tabung ditutup rapat. Tombol power pada kjeltec system ditekan yang dilanjutkan dengan menekan tombol steam dan ditunggu beberapa lama sampai air di dalam tabung mendidih. Steam dimatikan dan tabung kjeltec serta erlenmeyer dikeluarkan dari alat kjeltec system. Analisis dimulai setelah persiapan selesai dilakukan, yaitu dengan sampel yang telah didestruksi. Tabung yang berisi daging ikan yang sudah didestruksi diletakkan ke dalam kjeltec system, lalu pintu pengaman tabung ditutup. Erlenmeyer yang diberi asam borat diletakkan pada tempatnya sambil memasukkan selang ke dalamnya, kemudian tombol alkali ditekan dan ditunggu hingga lampu tombol tersebut berhenti menyala, lalu tombol steam ditekan. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer yang berisi asam borat mencapai 200 ml. Tahap titrasi dilakukan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan pada erlenmeyer sampai berubah warna menjadi pink. Selanjutnya kadar protein dari daging ikan dapat diperoleh dengan perhitungan menggunakan: % Nitrogen = ( ml HCl daging ikan ml HCl blanko) x 0,1 N HCl x 14 x 100 % mg sampel

% Kadar Protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)

3.4.5. Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Cara penentuan kadar lemak adalah menggunakan metode soxhlet. Labu yang sesuai ukurannya dengan alat ekstraksi soxhlet dikeringkan dalam oven lalu didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang, kemudian disambungkan dengan tabung soxhlet. Sampel seberat 3 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (petroleum benzen). Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40
o

menggunakan listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi, pelarut akan tertampung diruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Kadar lemak pada sampel diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut: % Kadar Lemak = Keterangan: W1 = Berat sampel (gram) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) W3 W2 W1 x 100 %

3.4.6. Penentuan nilai pH (Apriyantono et al. 1989) Cara mengukur pH yang praktis adalah dengan menggunakan pH-meter dengan cara kalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 10 gram digiling dan dihomogenisasi dengan 90 ml air destilata. Kemudian pH homogenate diukur dengan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer standar pH 4 dan 7.

3.4.7. Penetapan Total Volatile Base (TVB) (AOAC 1995) Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawasenyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (ammonia, mono-, di-, dan trimetilamin) yang terdapat dalam ekstrak sampel. Senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan asam klorida. Sampel sebanyak 25 gram ditambahkan 75 ml larutan TCA 7 % (W/V) kemudian diblender selama 1 menit dan disaring dengan kertas saring sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih. Larutan asam borat 1 ml dimasukkan ke dalam inner chamber cawan Conway lalu diletakkan tutup cawan dengan posisi hampir menutupi cawan. Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber disebelah kiri menggunakan pipet ukuran 1 ml yang lain, kemudian ditambahkan 1 ml larutan K2CO3 jenuh ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak tercampur. Cawan segera ditutup yang sebelumnya telah diberi vaselin, kemudian digerakkan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Selain itu, blanko dikerjakan dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 5 %. Kedua cawan Conway tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 37 C selama 24 jam. Setelah disimpan, larutan asam borat dalam inner chamber cawan Conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N (Vo) dengan menggunakan magnetic stirrer diaduk sehingga berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan Conway yang berisi sampel dititrasi dengan larutan yang sama sehingga berubah menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko (V1).
o

mgN 14(100 + W ) X (Vo V 1) X 0.01 100 TVB X 100 g = 5 M


Keterangan: V1 Vo M W 14 = Volume NaOH 0,01 M yang dibutuhkan untuk titrasi = Volume titrasi blanko = Berat sampel = Jumlah kadar air dalam bahan = Bobot atom N

3.4.8. Uji mikrobiologis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1987) Prinsip kerja analisis TPC adalah penghitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel (daging ikan) dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dengan mencampurkan

sebanyak 25 gram sampel dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85 %, kemudian diblender sampai larutan homogen. Campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan

digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik, yaitu tutup cawan diletakkan dibagian bawah. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 35 oC dan diinkubasi selama 48 jam, selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang

mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan angka kedua kemudian dikalikan dengan satu per faktor pengencerannya. Jika angka yang ketiga sama atau lebih besar dari 5, maka dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua.

3.5.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah

Rancangan Dua Faktor dalam Rancangan Acak Lengkap (Two Factors Experiments in Completely Randomized Design). Faktor yang digunakan ada dua

yaitu faktor metode penanganan (A) dan faktor tahap penanganan (B). Faktor (A) terdiri dari dua taraf (penanganan oleh nelayan dan penanganan oleh peneliti), sedangkan faktor (B) terdiri dari lima taraf (ikan ditangkap (P1), ikan sampai di darat (P2), pengumpul (P3), saat berangkat ke Jakarta (P4) dan ketika sampai di Jakarta (P5). Model perancangan yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya 2002): Yijk = + i + j + ()ij + ijk Keterangan: = Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k = Komponen aditif dari rataan i = Pengaruh utama faktor A j = Pengaruh utama faktor B ()ij = Komponen interaksi dari faktor A dan Faktor B ijk = Pengaruh acak yang menyebar Normal (0,2) Jika hasil uji analisis ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada selang 95 % (=0,05) maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan sebagai uji lanjutan untuk mengetahui adanya perbedaan pada perlakuan yang diberikan. Rumus uji Duncan adalah: Yijk

R = q ( p;dbs;)

kts r

Keterangan: R = nilai kritikal untuk perlakuan yang dibandingkan P = perlakuan dbs = derajat bebas kts = jumlah kuadrat tengah r = ulangan Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai organoleptik, TPC, TVB dan pH dicari nilai rata-ratanya. Rata-rata nilai

organoleptik, jumlah total bakteri, TVB dan nilai pH dapat dicari dengan menggunakan rumus (Walpole 1975):

X =

Xi
i =1

Keterangan: X = Nilai rata-rata Xi = Nilai X ke i N = Jumlah data Data yang diperoleh dari hasil uji kesegaran ikan (organoleptik) dianalisis dengan analisis nonparametrik menggunakan uji Kruskal-Wallis. Kruskal-Wallis adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993): Rumus uji

12 Ri 2 H = ni n(n + 1)
H =

3(n + 1)

H Pembagi

Pembagi = 1

(n 1)(n + 1)n

T = (t - 1) (t + 1)

Keterangan: H = Simpangan baku H = H terkecil Ri = Jumlah ranking pada perlakuan ke-i Ni = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i n = Jumlah total pengamatan t = Banyaknya pengamatan yang seri dalam kelompok Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata selanjutnya dilakukan uji Multiple Comparison dengan rumus sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993): Ri Rj >< Z 2
k (k + 1) 2

( N + 1) x

k 6

Keterangan: Ri = Rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i Rj = Rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j k = Banyaknya perlakuan n = Jumlah total data Data yang diperoleh hasil uji proksimat (kadar air, lemak, protein, dan abu) dianalisis dengan pengujian-t beda rata-rata (nilai tengah) dua sampel yang berhubungan. Rumus pengujian-t adalah sebagai berikut (Jogiyanto 2008):

t =

D SD n

dengan: D =

D
n

SD =

( D )
n

n 1

Keterangan: D = perbedaan nilai rata-rata dua sampel = perbedaan deviasi standar dua sampel SD n = jumlah observasi di dalam sampel ke-1 atau sampel ke-2.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan diperoleh data mengenai alat tangkap yang digunakan nelayan Kecamatan Manggar, data mengenai proses penanganan (handling) yang dilakukan nelayan beserta alat yang digunakan mulai dari saat ikan ditangkap sampai ikan tiba di pengumpul. Data ini diperoleh melalui

pengisian kuesioner dan wawancara langsung kepada nelayan setempat, serta pengamatan langsung ke lapangan dengan ikut dalam proses penangkapan ikan di perairan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. 4.1.1 Alat tangkap dan jenis ikan yang ditangkap Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh data bahwa sebagian besar alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur adalah sejenis jaring insang (gillnet). Jaring insang yang digunakan berasal dari bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kecamatan Manggar dan sebagian merupakan milik nelayan. Kualitas bahan jaring yang dimiliki setiap nelayan berbeda-beda. Hal ini turut mempengaruhi ikan hasil tangkapan dan kualitas jaring. Jaring yang terbuat dari bahan berkualitas bagus (bahan sutra) tidak mudah robek sehingga ikan target terperangkap oleh jaring dengan mudah. Jaring insang adalah salah satu dari jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring monofilamen atau multifilamen yang dibentuk menjadi empat persegi panjang. Bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (singkers), sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dengan keadaan tegak menghadang biota perairan. Jumlah mata jaring ke arah horizontal atau ke arah Mesh Length (ML) jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke arah Mesh Depth (MD) sehingga lebar lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya (Martasuganda 2004). Target penangkapan dengan jaring insang adalah segala jenis ikan, antara lain ikan demersal, ikan karang, maupun ikan pelagis. Ikan dapat tertangkap

disebabkan bagian penutup insang terjerat atau tergulung oleh mata jaring. Jaring insang mempunyai keuntungan dan kekurangan. Keuntungan jaring insang yaitu dapat dioperasikan di daerah terumbu karang dan cukup selektif terhadap ikan tangkapan, sehingga mata jaring yang digunakan perlu disesuaikan dengan ikan target. Kekurangannya adalah jaring mudah rusak. Jenis ikan yang ditangkap menggunakan jaring insang di daerah ini antara lain tongkol, tenggiri, kepiting, kembung, dan ikan-ikan kecil lainnya. Jaring insang yang umum digunakan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Jaring insang (Departemen Kelautan dan Perikanan 2006) Jaring insang termasuk jaring yang mudah rusak atau robek setelah digunakan sehingga nelayan memanfaatkan waktu perjalanan pulang ke darat dengan memperbaiki mata jaring yang rusak agar bisa digunakan lagi. Rusaknya mata jaring disebabkan nelayan sulit melepaskan ikan dari mata jaring akibat tutup insangnya tersangkut mata jaring pada saat ikan tertangkap. Kegiatan ini juga dilakukan pada saat musim bulan terang. Pada musim ini nelayan juga memperbaiki mesin kapal yang rusak dan tidak turun ke laut karena sedang tidak musim ikan.

4.1.2

Persiapan penangkapan ikan Sebagian besar nelayan Kecamatan Manggar melakukan penangkapan

dengan kapal-kapal berkapasitas 3-5 Gross Ton (GT).

Sesaat sebelum kapal

berangkat, nelayan membeli es balok di pabrik es bernama Long Pan dan bahan bakar berupa solar yang berada di sekitar pelabuhan. Es balok yang dibawa berkisar 3-5 balok yang disimpan dalam fiber box sampai digunakan untuk pengesan hasil tangkapan. Kapal berangkat rata-rata berkisar pada pukul 13.00 waktu Indonesia bagian Barat (WIB) siang sampai dengan pukul 07.00 WIB pagi. Daerah penangkapan rata-rata ditempuh dalam waktu kurang lebih 3-3,5 jam. Penentuan daerah ini berdasarkan informasi banyaknya ikan target dari rekan nelayan lain atas hasil tangkapan sebelumnya. Penangkapan pertama dilakukan pada bulan Mei dengan daerah penangkapan di sekitar Pulau Nangka berjarak 27 mil dan penangkapan kedua dilakukan pada bulan November di sekitar daerah Pulau Buku Limau berjarak 21,12 mil. Nelayan mempersiapkan jaring apabila telah sampai di daerah penangkapan yang dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Persiapan jaring Pelampung tanda diturunkan setelah kapal tiba di daerah penangkapan (fishing ground). Pelampung ini direkatkan pada tongkat kayu panjang dan ujung atasnya dilengkapi lampu kerlap-kerlip sebagai tanda bagi kapal lain agar tidak menabrak jaring insang tersebut. Jaring mulai diturunkan setelah pelampung tanda diturunkan dengan posisi vertikal (lurus) di sepanjang perairan. Panjang jaring sekitar 2 mil yang dapat dilihat pada Gambar 9. Proses penurunan jaring

ini memakan waktu 1 jam dan dibiarkan di dalam perairan selama 4 jam tergantung panjang pendeknya jaring. Jaring yang semakin panjang maka

semakin lama pula waktu yang digunakan untuk menurunkan jaring ke dalam perairan.

Gambar 9. Proses penebaran jaring Proses penarikan jaring (hauling) dilakukan setelah jaring dibiarkan selama 4 jam atau sampai timbulnya bulan. Jaring diatur dengan baik seperti semula setelah ikan dilepaskan dari jaring (Gambar 10) untuk memudahkan operasi penangkapan berikutnya. Proses hauling membutuhkan waktu 3-5 jam tergantung panjang pendeknya jaring yang ditebar dan dilakukan paling banyak oleh 3 orang. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 10. Jaring yang disusun setelah dipakai

Gambar 11. Proses penarikan jaring (hauling) Ikan yang terjebak pada jaring dilepaskan dengan cepat (Gambar 12). Nelayan akan melepaskan ikan dari jaring dengan paksa apabila sulit dilepaskan sehingga terkadang fisik dari ikan agak rusak dan kemungkinan jaring menjadi robek. Fisik ikan yang rusak pada saat penanganan di atas kapal akan

mempercepat proses kemunduran mutu ikan.

Gambar 12. Pengambilan ikan dari jaring Jaring yang robek setelah dipakai akan diperbaiki selama perjalanan pulang ke darat agar bisa digunakan lagi pada siang harinya. Proses perbaikan jaring yang robek dapat dilihat pada Gambar 13. Jaring yang robek juga biasanya diperbaiki pada saat nelayan tidak turun ke laut atau saat bulan terang.

Gambar 13. Jaring yang sedang diperbaiki 4.1.3 Proses penanganan ikan Penanganan (handling) ikan segar sejak ditangkap sampai ke konsumen berperan sangat penting. Tujuan utamanya adalah mengusahakan agar kesegaran ikan setelah tertangkap dapat dipertahankan selama mungkin (Irawan 1995). Proses penanganan ikan tenggiri dimulai setelah seluruh jaring terangkat. Ikan dikumpulkan di atas kapal selama proses hauling dan sesekali disiram dengan air laut untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu. Ikan yang tertangkap seperti

tenggiri, tongkol, kembung dan ikan-ikan kecil lainnya dimasukkan ke dalam fiber box. Fiber box yang digunakan dapat menampung ikan sebanyak 100 kg. Ikan hasil tangkapan yang disusun dalam fiber box dapat dilihat pada Gambar 14. Ikan disusun berlawanan arah dan ditumpuk dengan cara mengisi ruang kosong diantara ikan yang berada dibawahnya.

Gambar 14. Ikan disusun bertumpuk dan akan diberi es

Semua ikan yang telah tersusun di dalam fiber box diberi hancuran es balok yang diletakkan hanya pada bagian atas ikan. Selanjutnya nelayan

menyiram sejumlah air laut ke atas permukaan ikan sampai seluruh ikan terendam di dalam fiber box. Cara ini dikenal dengan istilah Chilled Sea Water (CSW). Metode CSW memiliki kelebihan, yaitu mempunyai suhu pendinginan lebih rendah dari es dan waktu yang diperlukan untuk menurunkan suhunya lebih cepat daripada media pendingin es saja. Hal ini disebabkan media pendingin CSW lebih banyak bersinggungan langsung dengan permukaan ikan. Air laut yang mengandung garam dapat menurunkan titik lebur es sehingga es lebih lambat melebur (Junianto 2003). Cara penanganan di atas kapal dengan metode ini diharapkan dapat menghambat kemunduran mutu ikan sampai tiba di darat. Kapal tiba di pelabuhan Manggar pada pukul 07.00 - 08.00 WIB. Ikan yang disimpan dalam fiber box langsung dipindahkan ke keranjang yang diperoleh dari pengumpul setelah kapal merapat ke pelabuhan. Pengumpul di daerah Manggar dinamakan Toke, mereka membeli ikan hasil tangkapan nelayan terlebih dahulu sebelum nelayan pergi melaut. Hal ini berarti semua nelayan harus menjual ikan hasil tangkapan hanya kepada Toke. Semua hasil tangkapan para nelayan dijual kepada Toke dengan harga yang jauh lebih murah daripada harga yang diperuntukkan kepada konsumen. Nelayan di Kecamatan Manggar tidak melakukan sortasi dalam proses penanganan di atas kapal. Ikan hasil tangkapan disortasi setelah tiba di

pengumpul. Ikan dipisahkan menurut jenis dan ukuran. Ikan yang bernilai jual tinggi dipisahkan dari ikan-ikan lainnya dan biasanya dikirim ke luar daerah seperti Bangka dan Jakarta. Kegiatan sortasi seharusnya dilakukan setelah ikan ada di atas dek yang bertujuan untuk memudahkan dalam proses penjualan di darat dan memperkecil terkontaminasinya ikan oleh bakteri atau perlakuan-perlakuan fisik saat ikan disortir oleh pembeli (Junianto 2003). Sortasi juga bertujuan untuk memisahkan jenis-jenis ikan ekonomis penting dengan jenis-jenis ikan non ekonomis penting dan mempermudah pemasaran (Nasran 1972). Ikan tenggiri digunakan sebagai obyek pengamatan pada penelitian ini. Ikan tenggiri merupakan salah satu ikan ekonomis penting di Kecamatan

Manggar, biasanya dijual ke Jakarta dengan harga yang lebih mahal melalui jalan laut dan udara. Penelitian ini terfokus pada pengiriman ikan tenggiri ke Jakarta melalui jalan udara. Ikan yang ada di pengumpul disusun rapi dalam box Ikan yang telah dipak

styrofoam yang diberi es dan kemudian dipak rapi.

disimpan dalam gudang penyimpanan dingin untuk siap dikirim ke Jakarta hari berikutnya. Es yang digunakan untuk mengawetkan ikan agar mutunya masih bagus diganti dalam jangka waktu tertentu (kira-kira setiap pukul 13.00, 19.00, 23.00 dan 03.00 WIB) dan air dari es yang meleleh dibuang agar tidak mempengaruhi mutu ikan. Kesegaran ikan laut yang didaratkan tergantung pada perlakuan pertama saat ikan ditangkap, kecepatan dalam penanganan dan cara penyimpanan di kapal (Junianto 2003). Cara penanganan ikan di kapal oleh nelayan tergolong lambat karena tergantung pada jumlah ikan yang ditangkap. Ikan yang semakin banyak tertangkap maka penanganannya akan semakin lambat karena proses penanganan di atas kapal mulai dilakukan setelah semua ikan yang tertangkap diangkat dari atas permukaan air. Cara penyusunan ikan dalam fiber box yang dilakukan

nelayan kurang baik karena ikan diletakkan kurang teratur dan terlalu tinggi (hampir memenuhi fiber box). Ikan sebaiknya diatur agar tidak berhimpitan dan diusahakan tidak terlalu tinggi. Hal ini dilakukan agar fisik ikan tidak cepat rusak. 4.1.4 Sanitasi dan higiene Kebersihan dalam penanganan ikan mempunyai beberapa pengertian, antara lain membuang sumber pembusukan ikan (lendir, darah, insang, isi perut), mencuci bersih ikan, cepat menurunkan suhu dengan pendinginan serta melindungi ikan dari kemungkinan pencemaran atau kontaminasi (Ilyas 1983). Sanitasi dan higiene memegang peranan penting dalam penanganan ikan. Sebagian besar nelayan menggunakan perahu sebagai tempat tinggal sehingga seluruh aktivitasnyapun dilakukan di perahu. Bagian dari perahu terbuat dari kayu, sehingga sulit dibersihkan jika kotor selama proses penanganan berlangsung (sanitasi dan higiene sukar dilakukan). Nelayan Kecamatan Manggar

membersihkan lantai kapal menggunakan air tawar dan sabun. Kegiatan ini tidak selalu dilakukan setiap saat yaitu hanya sebulan sekali sehingga dapat dikatakan bahwa kebersihan kapal tidak terjamin.

Kapal seharusnya dibersihkan sebelum dan setelah proses penangkapan. Kapal dibersihkan terlebih dahulu sebelum proses penangkapan yang dilakukan selama perjalanan ke daerah penangkapan ikan. Kegiatan ini menggunakan air tawar bersih atau air laut bersih berasal dari luar pelabuhan. Selain itu, kapal juga dibersihkan setelah proses penangkapan ikan menggunakan air laut bersih, detergen, dan saniter. Kapal kemudian dibilas dengan air tawar atau air laut bersih dan dikeringkan di bawah sinar matahari jika memungkinkan (Anonim 2003). Sarana fisik yang digunakan selama proses penanganan ikan adalah keranjang plastik, keranjang kayu dan fiber box tetapi kebersihan dari peralatan tersebut kurang diperhatikan. Keranjang plastik dan kayu dipakai untuk

menampung hasil tangkapan saat di darat tanpa dibersihkan setiap hari. Fiber box sebelum digunakan seringkali terdapat sisa ikan hasil tangkapan sebelumnya dan dibersihkan saat akan pergi melaut. Proses pembersihan dilakukan hanya dengan membuang air sisa lelehan es melalui lubang saluran air di bagian bawah fiber box tanpa dibilas dengan air sampai benar-benar bersih. Hal ini dapat mempercepat kemunduran mutu ikan yang disimpan dalam fiber box karena terjadinya kontaminasi silang mikroba dari fiber box yang tidak bersih. Program higiene harus meliputi semua orang yang terlibat di dalam proses penanganan ikan, untuk itu semua fasilitas kebersihan harus disediakan untuk mereka. Kondisi karyawan atau pekerja yang kotor dapat menyebabkan ikan terkontaminasi dengan kotoran (Ilyas 1983). Higiene para nelayan dapat dilihat dari pakaian dan kebiasaan nelayan ketika sedang bekerja. Para nelayan ketika bekerja sering merokok, meludah, buang air kecil di atas kapal dan bersin sembarang tempat. Kebiasaan jelek ini seharusnya dihilangkan, karena akan

memperburuk keadaan sanitasi proses penanganan ikan. Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa nelayan menyusun ikan hasil tangkapan dalam fiber box menggunakan sarung tangan yang belum terjamin kebesihannya. Sarung tangan ini terlihat kotor karena jarang dibersihkan sehingga belum terjamin kebersihannya dan mempengaruhi kemunduran mutu ikan.

Gambar 15. Penyusunan ikan dalam fiber box oleh nelayan 4.1.5 Penggunaan es Ikan yang mempunyai kesegaran baik diperoleh dengan memperhatikan jumlah es yang digunakan dan lamanya pengesan. Banyaknya es yang digunakan atau rasio antara jumlah es dan jumlah ikan yang didinginkan merupakan faktor yang menentukan. Hal ini menyangkut suhu ikan yang ingin dicapai. Jika

rasionya kecil, suhu yang dicapai tidak cukup rendah untuk tetap mempertahankan kesegaran ikan dalam waktu yang lama. Sebaliknya jika rasionya terlalu besar akan dapat menyebabkan ikan rusak secara fisik karena himpitan dan tekanan oleh bongkahan atau pecahan es yang digunakan. Prinsipnya es yang ditambahkan harus dapat menurunkan suhu ikan sampai 0 oC, kemudian mempertahankan suhu tersebut selama penyimpanan (Hadiwiyoto 1993). Perbandingan yang baik untuk memperpanjang kesegaran ikan adalah 1:1 (1 kg es digunakan untuk mendinginkan 1 kg ikan) (Moeljanto 1992). Hancuran es dalam pengesan ikan sebaiknya digunakan es curah yang terbuat dari air bersih supaya himpitan atau tekanan pada ikan dapat dikurangi. Hancuran es yang digunakan hanya pada bagian atas permukaan ikan, akan menghasilkan produk yang kurang baik karena distribusi suhunya tidak merata. Jika jumlah ikannya banyak, pemberian hancuran es dilakukan dengan cara menyusun ikan dan es bergantian, sehingga terbentuk lapisan-lapisan antara es dan ikan. Lapisan yang terbawah dan teratas adalah lapisan es. Pendinginan ikan dapat pula dilakukan dengan air laut yang direfrigerasikan sehingga dengan usaha pendinginan tersebut suhu ikan dapat mencapai sekitar 0 oC (Hadiwiyoto 1993). Es yang digunakan nelayan dibeli sesaat sebelum kapal berangkat dan langsung

diletakkan di dalam box fiber yang telah disiapkan di atas kapal, tanpa dicuci dan dihancurkan terlebih dahulu. Nelayan Kecamatan Manggar menggunakan es

balok yang dihancurkan dan hanya diletakkan pada bagian atas ikan. Hal ini menyebabkan distribusi suhu tidak merata ke seluruh bagian ikan. Setelah itu, sejumlah air laut disiram ke dalam fiber sehingga ikan terendam oleh air laut yang dingin oleh es. Metode penanganan yang dilakukan diharapkan dapat menjaga ikan tetap segar sampai tiba di darat.

4.2 Penelitian Utama


Penelitian utama yang dilakukan merupakan penentuan pengaruh metode dan proses penanganan terhadap kemunduran mutu ikan tenggiri melalui pengujian subyektif dan obyektif. Pengujian subyektif yang dilakukan adalah uji organoleptik yang dilakukan selama proses penanganan sejak ikan ditangkap, sampai di darat, pengumpul, saat akan berangkat ke Jakarta dan ketika ikan tiba di Jakarta. Pengamatan ini dilakukan untuk masing-masing metode penanganan

yang digunakan dalam hal pemakaian es, yaitu penanganan oleh nelayan dan peneliti (perbandingan ikan : es yaitu 1:1). Pengujian obyektif yang digunakan adalah uji analisis proksimat (kadar air, lemak, protein dan abu), TPC, TVB, serta pH. Keempat uji tersebut dilakukan pada dua metode penanganan, yaitu nelayan dan peneliti untuk setiap proses penanganan (titik pengamatan). 4.2.1 Organoleptik Uji organoleptik adalah cara penilaian dengan hanya mempergunakan indera manusia (sensorik). Penilaian organoleptik merupakan cara yang paling banyak dilakukan dalam menentukan tanda-tanda kesegaran ikan karena lebih mudah dan lebih cepat dikerjakan, tidak memerlukan banyak peralatan serta murah (Hadiwiyoto 1993). Penetapan kemunduran mutu ikan secara subyektif (organoleptik) dapat dilakukan dengan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dengan SNI 01-2346-2006, meliputi penampakan luar, kelenturan daging ikan (konsistensi), keadaan mata, daging dan perut, serta warna insang. Data lengkap hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis nilai organoleptik mata,

insang, daging dan perut, serta konsistensi dipengaruhi secara nyata oleh metode dan proses penanganan (Lampiran 5). 1) Mata Mata merupakan salah satu bagian dari tubuh ikan yang dapat dijadikan parameter tingkat kesegaran ikan. Ikan segar memiliki ciri-ciri mata berwarna cerah dan bersih, menonjol penuh serta transparan (Stansby 1963). Bola mata ikan busuk berbentuk cekung dan keruh serta pupil mata kelabu tertutup lendir (Junianto 2003). Berdasarkan uji Kruskal-Wallis dengan =0,05 (Lampiran 6), perlakuan metode penanganan dan proses penanganan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri, sedangkan interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri. Metode penanganan yang digunakan adalah es yang berfungsi sebagai media pendingin untuk mempertahankan ikan tetap bermutu baik. Es yang digunakan oleh nelayan tidak berdasarkan pada jumlah ikan yang ditangkap melainkan berdasarkan pengalaman mereka sebagai nelayan, sedangkan peneliti menggunakan perbandingan es dan ikan sebesar 1:1. Penerapan HACCP pada proses penanganan ikan menetapkan batas kritis suhu ikan sebesar 4,5 oC dengan waktu tidak lebih dari 4 jam yang hanya bisa dicapai dengan penggunaan es keping (flake ice) yang mempunyai perbandingan es:ikan adalah 1:2 atau 1:1 disesuaikan dengan lamanya proses penanganan (FAO 1995a). Media pendingin yang paling umum digunakan untuk menjaga ikan tetap segar adalah es. Jumlah es curai untuk pendinginan ikan segar adalah sangat penting, perbandingannya paling sedikit 1:1 (berat/berat) dan kadang-kadang es yang dibutuhkan lebih banyak pada daerah tropis (Santos et al. 1981 diacu dalam Jeyasekaran et al. 2006). Proses penanganan dimulai sejak ikan ditangkap, ikan tiba di darat, tiba di pengumpul, saat akan dikirim ke Jakarta dan ketika ikan tiba di Jakarta berkaitan erat dengan kemunduran mutu ikan. Perubahan rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri selama proses penanganan dapat dilihat pada Gambar 16.

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

9f

9f

8c,d

8,6e,f

8c,d

8,2d,e 7,4a,b

7,8b,c,d 7,1a

Nilai Organoleptik

7,5a,b Nelayan Peneliti

Ikan ditangkap

Ikan sampai Pengumpul di darat

Saat berangkat ke Jakarta

Tiba di Jakarta

Proses Penanganan

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 16. Histogram rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri Gambar 16 menunjukkan bahwa mata ikan tenggiri pada saat ditangkap memiliki kisaran rata-rata nilai organoleptik sangat segar dengan nilai 9 baik pada perlakuan nelayan maupun peneliti. Saat ikan sampai di darat, mata ikan tenggiri masih dalam keadaan sangat segar karena memiliki rata-rata nilai organoleptik sebesar 8 (metode penanganan nelayan) dan 8,6 (metode penanganan peneliti). Mata ikan tenggiri masih dalam keadaan sangat segar pada saat sampai di pengumpul dengan rata-rata nilai organoleptik berkisar antara 8 (nelayan) sampai 8,2 (peneliti). Rata-rata nilai organoleptik mata ikan tenggiri mengalami

penurunan pada saat ikan akan dikirim ke Jakarta yaitu 7,4 (nelayan) dan 7,8 (peneliti) dan saat ikan tiba di Jakarta dengan rata-rata nilai organoleptik 7,1 untuk perlakuan nelayan dan 7,5 untuk perlakuan peneliti. Mata ikan tenggiri saat tiba di Jakarta baik dengan metode penanganan nelayan maupun peneliti masih tergolong kategori segar karena menurut SNI 01-2346-2006, nilai organoleptik ikan yang tergolong kategori segar berkisar antara 7-9. Hasil uji penilaian organoleptik memperlihatkan bahwa selama proses penanganan yang dimulai sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta, nilai ratarata organoleptik mata tertinggi terdapat pada ikan yang menggunakan metode penanganan dari peneliti yaitu dengan menggunakan perbandingan es dan ikan sebesar 1:1. Penggunaan es sebagai media pendingin berhubungan dengan suhu ikan. Suhu ikan akan rendah apabila es yang digunakan semakin banyak sehingga

proses kemunduran mutu ikan berlangsung dengan lambat.

Begitu pula

sebaliknya, jika suhu semakin tinggi maka kemunduran mutu ikan akan berlangsung sangat cepat. Berdasarkan hasil uji Multiple Comparison (Lampiran 7) diketahui bahwa perlakuan proses penanganan terbaik adalah pada saat ikan baru ditangkap dan nilai organoleptik mata paling kecil pada saat ikan tiba di Jakarta. Nilai

organoleptik mata tertinggi pada metode penanganan adalah dari metode penanganan peneliti (es:ikan = 1:1). Jumlah es yang digunakan oleh peneliti disesuaikan dengan jumlah ikan yang ada sehingga akan diperoleh suhu pendinginan yang lebih rendah, sedangkan jumlah es yang digunakan oleh nelayan lebih sedikit dari jumlah ikan yang ada sehingga suhu pendinginan yang dihasilkan tidak cukup dingin untuk mempertahankan kesegaran ikan dalam waktu yang ditentukan. Hal ini akan mempengaruhi nilai organoleptik mata ikan tenggiri selama proses penanganan. 2) Insang Insang merupakan bagian dari tubuh ikan yang banyak ditemukan adanya bakteri sehingga dapat dijadikan parameter tingkat kesegaran (Irawan 1995). Insang yang segar berwarna merah cemerlang atau sedikit kecoklatan, sedikit atau tidak ada lendir (Yunizal dan Wibowo 1998). Berdasarkan uji Kruskal-Wallis dengan =0,05 (Lampiran 8) diketahui bahwa perlakuan metode dan proses penanganan memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata nilai organoleptik insang, sedangkan interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata nilai organoleptik insang ikan tenggiri. Penurunan suhu tubuh ikan dilakukan dengan media

pendingin yang berfungsi untuk menarik panas dari dalam tubuh ikan sehingga suhu tubuh ikan menjadi lebih rendah. Semakin besar panas ikan yang diserap oleh media pendingin tersebut maka suhu ikan akan semakin rendah. Prosesproses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan mengarah kepada kemunduran mutu ikan menjadi lebih lambat pada suhu rendah (dingin atau beku). Perubahan rata-rata organoleptik insang ikan tenggiri dapat dilihat pada Gambar 17.

9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

8d 8d

8d 8d

7,3

7,8d 6,2c

7,2d

Nilai Organoleptik

3,7a 3b

Nelayan Peneliti

Ikan Ikan sampai Pengumpul Saat ditangkap di darat berangkat ke Jakarta Proses Penanganan

Tiba di Jakarta

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 17. Histogram rata-rata nilai organoleptik insang ikan tenggiri Berdasarkan histogram pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa insang ikan tenggiri ketika ditangkap dan sampai di darat memiliki kisaran rata-rata nilai organoleptik sangat segar dengan nilai 8,0 pada ikan perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti. Pada saat ikan sampai di pengumpul, nilai ratarata organoleptik mengalami penurunan tetapi masih berada pada kondisi segar dengan nilai 7,3 (metode penanganan nelayan) dan 7,8 (metode penanganan peneliti). Saat ikan akan berangkat ke Jakarta, nilai rata-rata organoleptik insang ikan mengalami penurunan untuk metode penanganan nelayan dan peneliti masing-masing yaitu 6,7 dan 7,2. Ikan yang tiba di Jakarta memiliki nilai ratarata organoleptik berturut-turut 3,7 dan 3 untuk metode penanganan nelayan dan peneliti. Berdasarkan hasil uji Multiple Comparison diketahui bahwa perlakuan metode penanganan terbaik adalah peneliti dengan perbandingan es:ikan sebesar 1:1. Proses penanganan yang menghasilkan nilai organoleptik insang ikan

tenggiri terbaik adalah saat ikan baru saja ditangkap dan tiba di darat, sedangkan nilai organoleptik insang paling jelek terdapat saat ikan tiba di Jakarta (Lampiran 9).

Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan nilai sensori akibat kontaminasi mikroba adalah proses penanganan ikan yang lambat, suhu lingkungan serta kondisi sanitasi alat dan pekerja yang buruk. Semakin banyak kepingan es yang ditambahkan untuk mendinginkan ikan, semakin panjang pula daya awetnya. Pada proses pendinginan dengan es terjadi perpindahan panas dari tubuh ikan ke kristal es. Ikan dengan suhu lebih tinggi akan melepaskan sejumlah energi panas yang kemudian diserap oleh kristal es. Suhu tubuh ikan menurun, kristal es meleleh karena suhu meningkat (FAO 1992). Media pendingin yang digunakan oleh nelayan dan peneliti untuk mendinginkan ikan tenggiri dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada ikan. Ikan yang mempunyai nilai organoleptik dengan kisaran 1-3 termasuk kategori tidak segar (SNI 01-2346-2006). Nilai organoleptik insang ikan tenggiri saat ikan tiba di Jakarta adalah 3,7 (metode penanganan nelayan) dan 3 (peneliti), sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi insang ikan tenggiri setelah tiba di Jakarta sudah tergolong tidak segar. Hal ini disebabkan insang ikan termasuk organ tubuh yang paling rentan terhadap kebusukan dan cepat mengalami kebusukan dibanding organ tubuh lain karena akumulasi bakteri dalam jumlah tinggi pada insang. 3) Daging dan Perut Daging dan perut merupakan bagian dari tubuh ikan yang dapat digunakan sebagai parameter kesegaran ikan. Keadaan perut yang tidak pecah, masih utuh dan warna sayatan daging cemerlang, serta jika ikan dibelah daging merekat kuat pada tulang terutama rusuknya menandakan bahwa ikan masih dalam keadaan segar. Ikan yang telah busuk memiliki ciri-ciri perut sobek, warna sayatan daging kurang cemerlang dan terdapat warna merah sepanjang tulang belakang serta jika dibelah daging mudah lepas (Junianto 2003). Hasil uji Kruskal-Wallis dengan =0,05 (Lampiran 10) diketahui bahwa perlakuan metode penanganan, proses penanganan, dan interaksi diantara keduanya masing-masing memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata nilai organoleptik daging dan perut ikan tenggiri. Perubahan rata-rata nilai

organoleptik daging dan perut ikan tenggiri selama proses penanganan dapat dilihat pada Gambar 18.

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

9e

9e

Nilai Organoleptik

d 8d 8

8d 8d 5,8
b

7,1c 5a

6,9c Nelayan Peneliti

Ikan Ikan sampai Pengumpul Saat ditangkap di darat berangkat ke Jakarta Proses Penanganan

Tiba di Jakarta

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 18. Histogram rata-rata nilai organoleptik daging dan perut ikan tenggiri Pada Gambar 18 dapat dilihat bahwa daging dan perut ikan tenggiri ketika ditangkap dan sampai di darat memiliki kisaran rata-rata nilai organoleptik sangat segar dengan nilai 9,0 dan 8,0 berturut-turut pada ikan perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti. Nilai rata-rata organoleptik saat ikan sampai di pengumpul sama dengan saat tiba di darat yaitu 8,0 untuk kedua perlakuan metode penanganan. Hal ini disebabkan jarak waktu antara ikan sampai di darat dan pengumpul tidak terlalu lama, karena ikan langsung dibawa dengan keranjang menuju tempat pengumpul. Nilai rata-rata organoleptik daging dan perut ikan saat akan berangkat ke Jakarta mengalami penurunan dengan nilai 5,8 (metode penanganan nelayan) dan 7,1 (metode penanganan peneliti). Ikan saat tiba di Jakarta memiliki nilai rata-rata organoleptik daging dan perut berturut-turut 5 dan 6,9 untuk metode penanganan nelayan dan peneliti. Berdasarkan hasil uji Multiple Comparison diketahui bahwa interaksi antara perlakuan metode dan proses penanganan yang menghasilkan nilai organoleptik daging dan perut terbaik adalah pada saat ikan baru ditangkap baik dengan metode penanganan oleh nelayan dan peneliti. Nilai organoleptik daging dan perut paling jelek terdapat pada interaksi perlakuan metode penanganan nelayan saat ikan tiba di Jakarta (Lampiran 11).

Beberapa faktor seperti spesies, ukuran, metode penangkapan, penanganan suhu ikan, dan kondisi fisik ikan dapat mempengaruhi kesegaran ikan selama penyimpanan (Huss 1988 diacu dalam Kose dan Erdem 2001). Metode

penanganan yang dilakukan nelayan dan peneliti yaitu menggunakan es. Perbandingan es dan ikan yang digunakan peneliti lebih banyak dibandingkan dengan nelayan sehingga mempengaruhi nilai organoleptik daging dan perut ikan tenggiri. Pendinginan/suhu rendah yang kurang oleh nelayan menyebabkan

meningkatnya degradasi senyawa pada tubuh ikan oleh mikroba, sehingga menyebabkan menurunnya kesegaran ikan. Ikan yang mempunyai nilai organoleptik dengan kisaran 5-6 termasuk kategori agak segar dan kisaran nilai organoleptik antara 7-9 termasuk kategori segar (SNI 01-2346-2006). Nilai organoleptik insang ikan tenggiri saat ikan tiba di Jakarta adalah 5 (metode penanganan nelayan) termasuk dalam kondisi agak segar dan 6,9 (metode penanganan peneliti) yang tergolong kategori masih segar. Pemberian es yang kurang oleh nelayan dapat menurunkan nilai sensori ikan karena es berfungsi menghambat kerja enzim dan pertumbuhan bakteri selama proses pendinginan berlangsung yang dapat mempengaruhi mutu ikan. Penurunan nilai sensori daging dan perut ikan tenggiri juga diduga terjadi karena ikan telah melewati masa rigor mortis yang ditandai dengan mulai mengendurnya jaringan daging ikan, adanya proses autolisis dan penyerangan bakteri terhadap tubuh ikan. Rigor mortis ikan lebih cepat daripada mamalia yaitu sekitar 1-7 jam. Proses ini mulai 32-93 jam setelah ikan mati jika disimpan dalam es (Murniyati dan Sunarman 2000). Fase post mortem ikan berbeda-beda dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya spesies, ukuran, kadar glikogen dalam tubuh, dan jenis kelamin. Sufianto (2004) melaporkan bahwa fase post mortem ikan patin yang memiliki bobot tubuh 1000 gram dan panjang total 45 cm yaitu: pre rigor pada 0-11 jam, rigor mortis 12-27 jam, dan post rigor 28 jam. Jarak waktu sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta sekitar 34 jam dan ikan masih dalam kondisi agak segar.

4) Konsistensi Parameter penting dalam penentuan tingkat kesegaran ikan adalah tekstur (konsistensi) karena perubahan tekstur sangat jelas terlihat ketika terjadi perubahan tahap-tahap kemunduran mutu ikan. Tekstur daging ikan segar adalah elastis dan jika ditekan tidak ada bekas jari, serta padat atau kompak. Ikan busuk sendiri memiliki ciri-ciri daging kehilangan elastisitasnya atau lunak dan jika ditekan dengan jari maka bekas tekanannya lama hilang (Junianto 2003). Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis dengan =0,05 (Lampiran 12) diketahui bahwa perlakuan metode penanganan, proses penanganan dan interaksi diantara kedua perlakuan masing-masing memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata nilai organoleptik konsistensi (tekstur) ikan tenggiri. Metode

penanganan berkaitan erat dengan fase kemunduran mutu ikan. Penggunaan es yang tidak cukup dapat mempercepat kemunduran mutu ikan terutama pada tiap fase post mortem yang terjadi, kondisi tekstur daging ikan akan berbeda-beda. Nilai rata-rata organoleptik tekstur ikan tenggiri dapat dilihat pada Gambar 19.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

f 9f 9

Nilai Organoleptik

7,4c,d

8e 7,1
c

8e 6,6

7,6d,e
b

7,4c,d 5,7a Nelayan Peneliti

Ikan Ikan sampai Pengumpul Saat ditangkap di darat berangkat ke Jakarta Proses Penanganan

Tiba di Jakarta

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 19. Histogram rata-rata nilai organoleptik konsistensi ikan tenggiri Pada Gambar 19 dapat dilihat tekstur daging ikan tenggiri ketika ditangkap memiliki kisaran rata-rata nilai organoleptik sangat segar dengan nilai sama yaitu 9,0 baik pada perlakuan metode penanganan nelayan maupun peneliti. Nilai rata-

rata organoleptik tekstur daging ikan tenggiri saat tiba di darat, yaitu 7,4 (nelayan) dan 8 (peneliti). Saat ikan sampai di pengumpul, nilai rata-rata organoleptik tekstur dengan metode penanganan nelayan dan peneliti masing-masing yaitu 7,1 dan 8,0. Pada saat ikan akan berangkat ke Jakarta, nilai rata-rata organoleptik tekstur daging ikan mengalami penurunan, yaitu 6,6 (nelayan) dan 7,6 (peneliti) dan ketika ikan tenggiri tiba di Jakarta, nilai rata-rata organoleptik tekstur

berturut-turut 5,7 dan 7,4 untuk metode penanganan nelayan dan peneliti. Berdasarkan uji Multiple Comparison (Lampiran 13) diketahui bahwa interaksi perlakuan metode penanganan peneliti (perbandingan es:ikan sebesar 1:1) dan nelayan pada saat ikan baru saja ditangkap menghasilkan nilai organoleptik konsistensi paling bagus, sedangkan nilai organoleptik yang paling jelek pada perlakuan metode penanganan oleh nelayan saat ikan tiba di Jakarta. Perbedaan jumlah es yang dipakai oleh nelayan dan peneliti mempengaruhi nilai organoleptik konsistensi ikan tenggiri karena diketahui bahwa es sebagai media pendingin dapat menghambat terjadinya degradasi senyawa-senyawa oleh mikroba pada tubuh ikan. Perubahan dalam sifat tekstur otot ikan dapat dihasilkan dari agregasi (pengumpulan) dan denaturasi protein, terutama protein miofibril yang menyebabkan penurunan kelarutan protein selama penyimpanan beku (Chang dan Regenstein 1997, Saeed dan Howell 2004 diacu dalam Tokur et al. 2006). Perubahan organoleptik disebabkan melunaknya tekstur daging ikan. Pelunakan tekstur terjadi karena penguraian protein senyawa yang lebih sederhana, yaitu polipeptida, asam amino dan amoniak yang dapat meningkatkan pH ikan. Keadaan basa adanya hasil pemecahan protein, lemak dan karbohidrat merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Murniyati dan Sunarman 2000). Konsistensi (tekstur) ikan tenggiri saat tiba di Jakarta dengan metode penanganan oleh nelayan mengalami perubahan menjadi agak lunak. Hal ini disebabkan kurangnya pendinginan dari es menyebabkan terjadinya penguraian protein senyawa menjadi lebih sederhana berlangsung lebih cepat sehingga tekstur daging mulai melunak. Ikan yang mempunyai nilai organoleptik dengan kisaran 5-6 termasuk kategori agak segar dan kisaran nilai organoleptik antara 7-9 termasuk kategori

segar (SNI 01-2346-2006). Nilai organoleptik insang ikan tenggiri saat ikan tiba di Jakarta adalah 5,7 (metode penanganan nelayan) termasuk dalam kondisi agak segar dan 7,4 (metode penanganan peneliti) yang tergolong kategori masih segar. Pemberian es yang lebih banyak untuk metode penanganan oleh peneliti menghasilkan konsistensi ikan yang masih tergolong segar karena es berfungsi menghambat kerja enzim dan pertumbuhan bakteri selama proses pendinginan berlangsung yang dapat mempengaruhi mutu ikan. Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan penurunan nilai sensori akibat kontaminasi mikroba adalah proses penanganan ikan yang lambat, suhu lingkungan serta kondisi sanitasi alat dan pekerja yang buruk. Semakin banyak kepingan es yang ditambahkan untuk mendinginkan ikan, semakin panjang pula daya awetnya (FAO 1992). Kondisi sanitasi dan higiene lingkungan dan para pekerja berkaitan pula dengan mutu ikan secara sensori. Kondisi alat-alat yang digunakan dan pekerja kurang terjamin kebersihannya selama proses penanganan ikan tenggiri oleh nelayan. Ikan diletakkan di atas kapal yang jarang dibersihkan setelah ikan dilepaskan dari jaring. Keranjang yang digunakan pengumpul tidak dibersihkan terlebih dahulu sehingga sisa-sisa darah dari ikan lain masih menempel di keranjang. Kondisi ini menjadi sumber kontaminan potensial pada ikan hasil tangkapan nelayan. 4.2.2 Hasil analisis kimiawi-mikrobiologi Analisis kimiawi-mikrobiologi ikan tenggiri meliputi kadar proksimat

(air, lemak, protein dan abu), TVB, TPC, dan pH. Pengambilan sampel dilakukan pada setiap tahap proses penanganan ikan (titik pengamatan) yaitu sejak ikan ditangkap, tiba di darat, pengumpul, saat berangkat ke Jakarta, dan saat tiba di Jakarta pada masing-masing metode penanganan yang dilakukan oleh nelayan dan peneliti yang diduga dapat mempengaruhi penurunan mutu ikan secara kimiawimikrobiologi. 1) Analisis proksimat Analisis proksimat yang dilakukan pada sampel ikan tenggiri saat ikan ditangkap dan tiba di Jakarta antara lain kadar air, protein, lemak dan abu. Ikan merupakan salah satu sumber zat gizi penting bagi proses kelangsungan hidup

manusia. Ikan mengandung zat gizi utama berupa protein, lemak, vitamin dan mineral sebagai bahan pangan. a) Kadar air Air merupakan sumber komponen penting dalam bahan makanan yang dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa makanan. Kadar air dalam bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan makanan tersebut (Winarno 1991). Air diperlukan untuk kehidupan, yaitu sebagai alat pengatur suhu tubuh, sebagai pelarut, sebagai pembawa zat gizi dan produk sisa, sebagai pereaksi dan reaksi medium, sebagai minyak pelumas (lubricant) dan plastizer, sebagai penstabil pembentukan biopolimer, kemungkinan

mempermudah jalan dinamis dari makromolekul, termasuk sifat katalisisnya (enzimatis) (Fennema 1996). Air adalah salah satu faktor yang paling penting dalam pangan yang mempengaruhi reaksi deteriorasi. Secara khusus, kemajuan perkembangan mikroba atau deteriorasi berhubungan erat dengan kandungan air bebas maupun air terikat dari pangan (Certel dan Ertugay 1996 diacu dalam

engr 2001).
Nilai rata-rata kadar air ikan tenggiri selama proses penanganan dengan menggunakan metode penanganan dari nelayan dan peneliti (ikan:es = 1:1) masing-masing dapat dilihat pada Gambar 20.
90 80 70 75,38a 75,38a 76,36a 76,49a

Kadar Air (%)

60 50 40 30 20 10 0

Nelayan Peneliti

Ikan ditangkap

Tiba di Jakarta

Proses Penanganan

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 20. Histogram rata-rata kadar air ikan tenggiri selama proses penanganan

Kadar air ikan tenggiri yang dilihat pada Gambar 20, diketahui bahwa saat ikan ditangkap untuk perlakuan metode penanganan dari nelayan dan peneliti adalah sama sebesar 75,38 % karena pada saat ikan ditangkap belum terdapat perlakuan antara nelayan dan peneliti (es:ikan = 1:1). Kadar air ikan tenggiri ketika tiba di Jakarta adalah 76,36 % (metode penanganan nelayan) dan 76,49 % (metode penanganan peneliti). Uji normalitas data analisis proksimat ikan tenggiri selama proses penanganan dilakukan untuk melihat data menyebar normal atau tidak agar dapat dilakukan analisis ragam (Lampiran 14). Menurut hasil uji t (uji perbedaan nilai tengah) dengan selang kepercayaan 95 % (Lampiran 15), diketahui bahwa metode penanganan nelayan dan peneliti memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air ikan tenggiri saat tiba di Jakarta. Proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta untuk metode penanganan nelayan (Lampiran 16) dan peneliti (Lampiran 17) memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air setelah dilakukan uji t. Ikan tenggiri disimpan dalam box styrofoam yang berisi es selama proses pengiriman ke Jakarta, sehingga suhu lingkungan lebih rendah daripada suhu ikan. Jumlah es yang digunakan oleh peneliti (ikan:es = 1:1) lebih banyak daripada nelayan yang berarti suhu lingkungan ikan tenggiri yang disimpan dalam box styrofoam lebih dingin. Hal ini menyebabkan penyerapan air dari lingkungan ke ikan lebih banyak sehingga kadar air ikan tenggiri yang disimpan dalam box styrofoam saat ikan tiba di Jakarta menjadi naik. Penurunan dan peningkatan kadar air selama penyimpanan disebabkan oleh kelembaban udara di sekitar bahan tersebut. Apabila kadar air bahan rendah sedangkan kelembaban udara di sekitarnya tinggi maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sekitarnya sehingga kadar airnya menjadi tinggi demikian pula sebaliknya (Winarno et al. 1981). Hidayat (2004) melaporkan bahwa kadar air ikan belanak yang disimpan dalam palka berisi es menjadi meningkat akibat penyerapan kadar air dari lingkungan ke ikan. b) Kadar lemak Lemak terdiri dari kelompok besar komponen yang umumnya larut dalam pelarut organik. Lemak dalam pangan menunjukkan sifat fisik dan kimia yang unik. Komposisi, struktur kristal, sifat mencair, dan kemampuannya berhubungan

dengan air dan molekul non lemak lainnya. Lemak mengalami perubahan kimia yang kompleks dan bereaksi dengan unsur pokok pangan lainnya, menghasilkan banyak komponen baik yang diinginkan maupun yang merusak kualitas pangan selama proses penyimpanan dan penanganan pangan (Fennema 1996). Kadar lemak ikan tenggiri dengan dua perlakuan metode penanganan (nelayan dan peneliti) diukur pada saat ikan baru saja ditangkap dan saat tiba di Jakarta untuk mengetahui pengaruh metode penanganan dan proses penanganan terhadap kadar lemak (Lampiran 18). Nilai rata-rata kadar lemak ikan tenggiri selama proses penanganan dengan menggunakan metode penanganan dari nelayan dan peneliti (ikan:es = 1:1) masing-masing dapat dilihat pada Gambar 21.

1.2

1,03a 1,03a 0,79


a

Kadar Lemak (%)

1 0.8 0.6 0.4 0.2 0

0,90a

Nelayan Peneliti

Ikan ditangkap

Tiba di Jakarta

Proses Penanganan

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 21. Histogram rata-rata kadar lemak ikan tenggiri selama proses penanganan Kadar lemak ikan tenggiri pada Gambar 21 saat ditangkap adalah sama untuk metode penanganan nelayan dan peneliti, yaitu 1,03 %. Kadar lemak ikan tenggiri saat tiba di Jakarta dengan metode penanganan nelayan dan peneliti masing-masing adalah 0,79 % dan 0,90 %. Berdasarkan hasil uji t dengan selang kepercayaan 95 % (Lampiran 19) diketahui bahwa metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar lemak ikan tenggiri. Proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta untuk metode penanganan nelayan (Lampiran 20) dan peneliti (Lampiran 21) tidak memberikan pengaruh

nyata terhadap kadar lemak setelah dilakukan uji t. Hal ini berarti bahwa nilai kadar lemak ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta baik dengan metode penanganan nelayan dan peneliti adalah sama. Ikan secara umum yang tergolong berlemak rendah memiliki kadar lemak < 5 % dan ikan berlemak tinggi memiliki kadar lemak > 15 % (Junianto 2003). Ikan tenggiri yang ditangkap di perairan Belitung Timur termasuk ikan pelagis dan tergolong ikan berlemak rendah karena kadar lemaknya < 5 %, yaitu sebesar 1,03 % (saat ikan ditangkap). Lemak ikan tenggiri setelah tiba di Jakarta belum mengalami degradasi. Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik yang menyatakan bahwa kadar lemak ikan tenggiri selama proses penanganan adalah sama dan didukung oleh nilai organoleptik ikan sampai tiba di Jakarta masih tergolong agak segar. Degradasi lemak sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Penurunan kandungan lemak diduga karena terjadinya oksidasi lemak, sebagai akibat dari adanya peristiwa bereaksinya asam lemak dengan oksigen yang berasal dari lingkungan (Huss 1995). c) Kadar protein Kandungan protein ikan erat sekali kaitannya dengan kandungan lemak dan air. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki nilai protein dalam jumlah besar. Daging ikan memiliki sedikit sekali tenunan pengikat

(tendon) sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil autolisis tersebut menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme (Adawyah 2006). Adanya variasi dalam protein baik jumlah maupun komponen penyusunnya disebabkan oleh berbagai faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Yang termasuk dalam faktor intrinsik adalah jenis dan golongan ikan, umur ikan, jenis kelamin dan sifat warisan, sedangkan yang termasuk faktor ekstrinsik adalah daerah kehidupan ikan, musim dan jenis makanan yang tersedia (Hadiwiyoto 1993). Kadar protein ikan tenggiri dengan dua perlakuan metode penanganan (nelayan dan peneliti) diukur pada saat ikan baru saja ditangkap sampai tiba di Jakarta untuk mengetahui pengaruh metode penanganan dan proses

penanganan terhadap kadar protein (Lampiran 22). Nilai rata-rata kadar protein ikan tenggiri dapat dilihat pada Gambar 22. Kadar protein pada saat ikan ditangkap baik nelayan maupun peneliti adalah sama, yaitu sebesar 20,19 %, karena ikan belum mendapatkan perlakuan pada saat ditangkap. Kadar protein pada metode penanganan oleh nelayan dan peneliti saat tiba di Jakarta masing-masing adalah 18,73 % dan 19,23 % yang dapat dilihat pada Gambar 22.

25

Kadar Protein (%)

a 20,19a 20,19

20 15 10 5 0

a 18,73a 19,23

Nelayan Peneliti

Ikan ditangkap

Tiba di Jakarta

Proses Penanganan

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 22. Histogram rata-rata kadar protein ikan tenggiri selama proses penanganan Berdasarkan uji t dengan selang kepercayaan 95 % diketahui bahwa metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta memberikan pengaruh nyata terhadap kadar protein ikan tenggiri (Lampiran 23). Proses

penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta untuk metode penanganan nelayan (Lampiran 24) dan peneliti (Lampiran 25) memberikan pengaruh nyata terhadap kadar protein setelah dilakukan uji t. Penurunan kadar protein ikan tenggiri disebabkan kadar airnya mengalami peningkatan. Hal ini berhubungan dengan jumlah proporsional kadar air, lemak, protein dan abu. Kadar lemak dan abu ikan tenggiri tidak mengalami perubahan, sedangkan kadar airnya mengalami peningkatan sehingga menyebabkan kadar protein menjadi turun. Es yang digunakan oleh peneliti (ikan:es = 1:1) lebih banyak daripada nelayan yang berarti suhu lingkungan ikan tenggiri yang disimpan dalam box

styrofoam lebih dingin, sehingga proses degradasi protein oleh enzim maupun mikroorganisme dapat dihambat oleh es yang bersuhu suhu rendah. Selama

proses penanganan belum terdapat protein yang terdegradasi. Hal ini didukung oleh kondisi ikan yang masih tergolong agak segar. Protein mulai terdegradasi saat ikan sudah tidak segar lagi. Ikan secara umum yang tergolong berprotein rendah memiliki kadar protein < 15 % dan ikan dengan protein tinggi memiliki kadar protein 15-20 % hingga > 20 % (Junianto 2003). Ikan tenggiri yang ditangkap di perairan Belitung Timur tergolong ikan berprotein tinggi karena kadar proteinnya > 20 %, yaitu sebesar 20,19 % (saat ikan ditangkap). Penguraian protein oleh enzim maupun mikroorganisme berkaitan erat dengan peningkatan nilai TVB. Penanganan ikan yang baik harus memperhatikan suhu ikan, karena kenaikan suhu berkorelasi positif dengan pertumbuhan bakteri dan peningkatan kadar TVB pada ikan yang merupakan faktor koreksi terhadap kesegarannya (Desrosier 1977 diacu dalam Saragih 1998). d) Kadar abu Abu termasuk dalam data dasar zat gizi sebagai salah satu komponen proksimat dalam pangan. Abu menyediakan sebuah perkiraan kandungan total mineral pangan. Mineral dalam abu berada dalam bentuk logam oksida, fosfat, nitrat, sulfat, klorida dan halida lainnya (Fennema 1996). Kadar abu ikan tenggiri diukur sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta (Lampiran 26). Nilai rata-rata kadar abu ikan tenggiri masing-masing perlakuan metode penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 23. Kadar abu pada saat ikan ditangkap untuk perlakuan metode penanganan dari nelayan dan peneliti adalah sama, yaitu 1,54 %. Kadar abu ikan tenggiri saat tiba di Jakarta untuk perlakuan nelayan dan peneliti masing-masing adalah 1,46 % dan 1,38 %.

1.8 1.6

1,54

1,54

1,46

1,38

Kadar Abu (%)

1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0

Nelayan Peneliti

Ikan ditangkap

Tiba di Jakarta

Proses Penanganan

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 23. Histogram rata-rata kadar abu ikan tenggiri selama proses penanganan Menurut hasil uji t dengan selang kepercayaan 95 % (Lampiran 27) diketahui bahwa metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar abu ikan tenggiri. Berdasarkan uji t dapat diketahui pula bahwa proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta untuk metode penanganan nelayan (Lampiran 28) dan peneliti (Lampiran 29) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar abu ikan tenggiri. Hal ini berarti bahwa perbedaan perbandingan penggunaan es oleh

nelayan dan peneliti sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta memberikan nilai kadar abu yang relatif sama. Perubahan kadar abu berhubungan dengan komposisi kimia lainnya seperti lemak dan protein yang juga mengalami perubahan (Suyani 2002 diacu dalam Hidayat 2004). Menurut Daramola et al. (2007), kadar abu dipengaruhi oleh Kadar abu ikan tenggiri dengan

ukuran ikan serta rasio antara daging dan tulang.

metode penanganan nelayan dan peneliti selama proses penanganan tidak mengalami perubahan disebabkan ukuran ikan yang digunakan sebagai sampel relatif seragam. 2) Penentuan pH Uji derajat keasaman (pH) adalah suatu metode untuk mengetahui tingkat keasaman atau kebasaan suatu produk, yang pengukurannya didasarkan pada

konsentrasi ion hidrogen pada suatu medium atau pelarut. Nilai pH ikan segera setelah ditangkap dilaporkan berada diantara 6,0 sampai 6,5. Ikan masih dapat diterima sampai pH 6,8 tetapi menjadi busuk dengan pH di atas 7,0 (Huss 1988 diacu dalam Kose 2003). Nilai pH ikan tenggiri tidak berbeda antara metode nelayan dan peneliti (Lampiran 30). Nilai pH ikan tenggiri dengan dua metode penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta dapat dilihat pada Gambar 24.
a a a a 6,28 6,28 6,38 6,41 a a 6,36 6,35 a 6,45 6,19a a 6,56 a 6,16

7.0 6.0

Nilai pH

5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0

Nelayan Peneliti

Ikan Ikan Pengumpul Saat ditangkap sampai di berangkat darat ke Jakarta Proses Penanganan

Tiba di Jakarta

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 24. Histogram rata-rata nilai pH ikan tenggiri selama proses penanganan Nilai pH ikan tenggiri pada Gambar 24 dengan perlakuan metode penanganan dari nelayan dan peneliti pada saat ikan ditangkap adalah sama, yaitu 6,28. Nilai pH setelah ikan sampai di darat baik dengan metode penanganan nelayan maupun peneliti berturut-turut adalah 6,38 dan 6,41. Saat ikan tiba di pengumpul, nilai pH ikan sebesar 6,36 (metode penanganan nelayan) dan 6,35 (metode penanganan peneliti). Nilai pH ikan tenggiri saat tiba di Jakarta adalah 6,56 untuk metode penanganan oleh nelayan dan 6,16 untuk metode penanganan dari peneliti. Hasil normalitas data nilai pH (Lampiran 31) dan analisis ragam =0,05 (Lampiran 32), diketahui bahwa perlakuan metode penanganan, proses penanganan, dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai pH ikan tenggiri. Hal ini berarti bahwa perbedaan es yang

digunakan oleh nelayan dan peneliti selama proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta tidak mempengaruhi perubahan nilai pH daging ikan tenggiri. Nilai pH kedua metode penanganan selama proses penanganan adalah relatif sama sehingga kemunduran mutu ikan antara kedua perlakuan juga sama. Nilai pH ikan tenggiri saat tiba di Jakarta untuk metode penanganan nelayan diketahui sebesar 6,56 dan 6,16 untuk metode penanganan peneliti, sehingga dapat dikatakan bahwa ikan tenggiri yang ditangkap di perairan Belitung Timur masih bisa diterima (pH < 6,8) untuk dikonsumsi dan belum memasuki fase busuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Huss (1988) diacu dalam Kose (2003) yang mengatakan bahwa nilai pH ikan masih dapat diterima sampai pH 6,8 dan menjadi busuk dengan pH di atas 7,0 3) Penentuan Total Volatile Bases (TVB) Penentuan kesegaran ikan secara kimiawi dapat dilakukan menggunakan prinsip penetapan TVB. Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawasenyawa yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Perbedaan nilai TVB ikan tidak berbeda selama proses penanganan dengan metode nelayan dan peneliti (Lampiran 33). Nilai rata-rata TVB ikan tenggiri pada metode penanganan dari nelayan dan peneliti selama proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta dapat dilihat pada Gambar 25. Nilai rata-rata TVB ikan tenggiri saat ditangkap sebesar 21,86 mg N/100 g dengan metode penanganan baik dari nelayan maupun peneliti. Saat ikan sampai di darat, nilai rata-rata TVB untuk metode penanganan nelayan dan peneliti berturut-turut adalah 23,94 mg N/100 g dan 22,44 mg N/100 g. Saat ikan sampai di pengumpul, nilai TVB terendah sebesar 23,16 mg N/100 g (peneliti) dan tertinggi sebesar 24,04 mg N/100 g (nelayan). Nilai TVB ikan tenggiri saat tiba di Jakarta, yaitu 24,28 mg N/100 g untuk metode penanganan oleh nelayan dan 23,40 mg N/100 g untuk metode penanganan peneliti.

30.00

Nilai TVB (mgN/100gr)

25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00

23,94 a 24,0423,16a 21,86 21,86 a 22,44


a

a 24,77 a 24,28 a 23,72 23,40

Nelayan Peneliti

Ikan ditangkap

Ikan Pengumpul Saat sampai di berangkat darat ke Jakarta

Tiba di Jakarta

Proses Penanganan

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 25. Histogram rata-rata nilai TVB ikan tenggiri selama proses penanganan Hasil uji normalitas data (Lampiran 34) dan analisis ragam (Lampiran 35), diketahui bahwa perlakuan metode penanganan, proses penanganan, serta interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai TVB. Hal ini disebabkan pengaruh es yang dapat menghambat kemunduran mutu ikan dan kandungan trimetilamin oksida (TMAO) pada ikan tenggiri relatif sama. Konsentrasi TVB pada ikan tangkapan segar secara khusus berada antara 5-20 mg TVB/100 g daging, tetapi tingkat 30-35 mg TVB/100 g daging umumnya dianggap sebagai limit dari penerimaan untuk ikan yang disimpan dalam air es dingin (Kyrana et al. 1997 diacu dalam Kose 2003). berdasarkan nilai TVB-N. Seafood dikategorikan

Mereka menetapkan kandungan TVB-N sebesar

25 mg N/100 g sangat bagus, 30 mg N/100 g bagus, 35 mg N/100 g yang dipasarkan dan nilai TVB-N yang lebih dari 35 mg N/100 g menandakan pembusukan (Ludorff dan Meyer 1973, dan Schormller 1968 diacu dalam Metin et al. 2001). Berdasarkan batasan yang diperoleh dari literatur, ikan tenggiri sejak ditangkap, sampai di darat, pengumpul, saat akan berangkat ke Jakarta dan saat tiba di Jakarta baik dengan metode penanganan dari nelayan maupun peneliti, memiliki nilai TVB yang berada pada garis batas kesegaran ikan yang masih dapat dikonsumsi. Ikan tenggiri saat tiba di Jakarta selama proses penanganan

sebesar 24,28 mg N/100 g (nelayan) dan 23,40 mg N/100 g (peneliti) dapat dikatakan masih tergolong ikan yang sangat bagus karena menurut Ludorff dan Meyer (1973), dan Schormller (1968) diacu dalam Metin et al. (2001), ikan dengan kandungan TVB sebesar 25 mg N/100 g tergolong sangat bagus. Beberapa ikan yang tidak mengandung TMAO atau dimana pembusukan disebabkan oleh penurunan flora non-TMAO, peningkatan TVBN lemah. Hal ini bisa terlihat selama penyimpanan, kemungkinan dihasilkan dari deaminasi asam amino (Huss 1995). Reduksi kandungan non-protein nitrogen (NPN)

menunjukkan bahwa asam amino adalah komponen utama dari NPN dalam otot ikan. Jaringan enzim dan aktivitas bakteri baru mulai terjadi menghasilkan

amonia (tidak semua tingkat terdeteksi dari bau) pada kondisi penyimpanan oleh deaminasi asam amino bebas, asam amino baru, dan peptida oleh proteolisis (Sikorski 1990 diacu dalam Mazorra-Manzano et al. 2000). Basa volatil total terbentuk akibat terdegradasi atau terurainya protein oleh aktivitas mikroba yang menghasilkan sejumlah basa-basa yang mudah menguap, seperti amoniak, trimetilamin, histamine, hydrogen sulfide (H2S) yang berbau busuk (Zaitsev et al. 1969 diacu dalam Suryawan 2004). Nilai TVB-N secara luas digunakan sebagai indikator awal kesegaran ikan dan produk perikanan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nilai TVB-N untuk ikan dan produk perikanan tidak stabil selama penyimpanan beku dan dapat berubah berdasarkan spesies, metode penanganan, dan suhu penyimpanan (Rehbein dan

Oehlenschlager 1982, Ben-gigirey et al. 1999, Suvanich et al. 2000, Tokur et al. 2004 diacu dalam Tokur et al. 2006). 4) Penentuan Total Plate Count (TPC) Ikan mengandung bakteri cukup banyak yang terkonsentrasi pada permukaan kulit, insang dan saluran pencernaan. Pengujian kesegaran ikan secara mikrobiologis dapat dilakukan dengan cara menghitung jumlah bakteri yang ada pada daging ikan. Penghitungan bakteri dilakukan dengan menggunakan metode TPC, yaitu penghitungan jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media (medium agar) dan diinkubasi selama 24 jam. Metode hitungan cawan didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Jadi jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi

jumlah organisme yang dapat hidup dan terkandung dalam sampel (Hadiwiyoto 1993). Nilai TPC ikan tenggiri selama proses penanganan dengan metode nelayan dan peneliti tidak berbeda (Lampiran 36). Nilai log TPC ikan tenggiri

menggunakan metode penanganan dari nelayan dan peneliti selama proses penanganan sejak ikan ditangkap hingga sampai di Jakarta dapat dilihat pada Gambar 27. Jumlah log TPC selama proses penanganan yang dilakukan disajikan pada Gambar 26. Saat ikan ditangkap, nilai log TPC ikan tenggiri dengan metode penanganan nelayan dan peneliti adalah sama, yaitu 3,32 CFU/ml. Nilai log TPC kemudian meningkat saat ikan sampai di darat yaitu perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti secara berturut-turut, yaitu 3,65 CFU/ml dan 3,52 CFU/ml. Nilai log TPC ikan tenggiri semakin meningkat hingga ikan tiba di Jakarta. Nilai log TPC ikan saat tiba di Jakarta baik dengan metode penanganan nelayan maupun peneliti masing-masing adalah 4,67 CFU/ml dan 4,29 CFU/ml.

5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0

4,33 3,65 3,32 3,32a


a a

4,67 4,06
a

Nilai log TPC (CFU/ml)

4,29

3,52

3,68

3,40

Nelayan Peneliti

Ikan ditangkap

Ikan sampai Pengumpul Saat di darat berangkat ke Jakarta

Tiba di Jakarta

Proses Penangkapan

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Gambar 26. Histogram rata-rata nilai TPC ikan tenggiri selama proses penanganan Hasil uji normalitas data (Lampiran 37) dan analisis ragam =0,05 (Lampiran 38) menunjukkan bahwa proses penanganan memberikan pengaruh nyata terhadap nilai log TPC ikan tenggiri, sedangkan metode penanganan (nelayan dan peneliti) serta interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan

pengaruh nyata terhadap nilai log TPC. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 39) dapat diketahui bahwa, nilai log TPC ikan tenggiri saat tiba di Jakarta berbeda nyata dengan nilai log TPC ketika ikan baru saja ditangkap, sampai di darat dan tiba di pengumpul. Proses penanganan yang menghasilkan log TPC paling tinggi secara nyata adalah saat ikan tiba di Jakarta. Nilai log TPC yang tinggi saat ikan tiba di Jakarta berarti bahwa proses kemunduran mutu ikan tenggiri pada saat itu sudah mulai terjadi. Batas maksimum jumlah bakteri yang terdapat pada ikan segar adalah 5x105 koloni/gram (nilai lognya adalah 5,7 koloni/gram) (SNI 01-2729-2006) dan ikan masih dalam kategori segar jika jumlah bakterinya tidak melebihi 105 (log TPC adalah 5) (Junianto 2003). Nilai log TPC ikan tenggiri saat tiba di Jakarta, yaitu 4,67 (metode penanganan nelayan) dan 4,29 (metode penanganan peneliti). Hal ini berarti bahwa kondisi ikan tenggiri dengan kedua perlakuan metode penanganan selama proses penanganan masih dalam keadaan segar karena nilai log TPC masih di bawah 5. Daging dan cairan tubuh ikan segar, pada umumnya steril secara alamiah, akan tetapi kulit, lendir, insang dan saluran pencernaan ikan biasanya mengandung sejumlah mikroorganisme terutama bakteri. Selama ikan mati,

tenunan ikan tidak dapat mencegah serangan bakteri yang terdapat pada kulit, lendir, insang, dan saluran usus, sehingga bakteri dapat menenbus tenunan dan menyebabkan peningkatan bakteri pada tubuh ikan (Rahayu et al. 1992). Pada saat pengambilan sampel, daging ikan tenggiri di seluruh tubuh diambil dan dihomogenkan dengan blender, kemudian sampel diambil secara acak. Bakteri yang teranalisis pada saat ikan ditangkap berasal dari kulit dan lendir. Selama proses penanganan sampai tiba di Jakarta, bakteri yang teranalisis berasal dari daging, insang, lendir, kulit dan saluran pencernaan ikan tenggiri. 4.2.3 Hasil pengamatan parameter kesegaran ikan secara keseluruhan Tingkat kesegaran ikan dapat ditentukan antara lain dengan pemeriksaan secara subyektif dan obyektif. Pemeriksaan secara subyektif, yaitu pemeriksaan secara organoleptik menggunakan panca indera manusia. Pemeriksaan secara obyektif, yaitu pemeriksaan secara mikrobiologis dan kimiawi menggunakan analisis di laboratorium. Pemeriksaan secara mikrobiologis dapat dilakukan

dengan menghitung jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada media agar sehingga dapat dilihat banyaknya bakteri yang ada pada ikan selama proses penanganan, sedangkan pemeriksaan secara kimiawi dapat dilakukan dengan menghitung nilai pH, TVB dan TPC ikan tenggiri yang digunakan dalam penelitian. Hasil

pengamatan seluruh parameter kesegaran ikan dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil pengamatan dari seluruh parameter kesegaran ikan yang telah dilakukan dapat memberikan informasi mengenai tingkat kesegaran ikan tenggiri dengan metode penanganan dari nelayan dan peneliti selama proses penanganan sejak ikan ditangkap, tiba di darat, pengumpul, saat akan berangkat ke Jakarta dan ketika sampai di Jakarta. Tabel 6. Hasil pengamatan seluruh parameter kesegaran ikan
Proses penanganan Nelayan Organoleptik Saat ditangkap 9 pH 6,28 TVB 21,86 Log TPC 3,32 Metode Penanganan Keterangan Organoleptik Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi Agak segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi 9 Peneliti pH 6,28 TVB 21,86 TPC 3,32 Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi Segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi Agak segar, bagus dan masih bisa dikonsumsi Keterangan

Saat tiba di darat

6,38

23,94

3,65

6,41

22,44

3,52

Pengumpul

6,36

24,04

3,68

6,35

23,16

3,40

Saat akan berangkat ke Jakarta Saat tiba di Jakarta

6,45

24,77

4,33

6,19

23,72

4,06

6,56

24,28

4,67

6,16

23,40

4,29

Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa ikan tenggiri yang ditangkap di perairan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur selama proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta menggunakan metode penanganan dari nelayan dan peneliti, secara keseluruhan memiliki karakteristik mutu yang masih agak segar dan masih bisa dikonsumsi. Perbedaan penggunaan es yang digunakan nelayan dan peneliti sebagai metode penanganan tidak mempengaruhi kesegaran ikan tenggiri, sehingga dapat dikatakan bahwa

metode penanganan hasil tangkapan yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Manggar sudah tergolong baik. Persyaratan mutu ikan segar minimal memiliki nilai organoleptik sebesar 7 (SNI 31-2729-2006). Nilai organoleptik rata-rata ikan tenggiri setelah tiba di Jakarta adalah 5 (nelayan) dan 6 (peneliti). Hal ini berarti bahwa nilai

organoleptik yang diperoleh selama penelitian masih berada di bawah nilai organoleptik yang dispesifikasi oleh SNI, sehingga perlu dilakukan perbaikan dalam metode penanganan. Ikan mengalami penyimpanan cukup lama ( 28 jam) saat akan dikirim ke Jakarta dan penggantian es dilakukan dalam waktu tertentu saja. Periode waktu penggantian es dan pembuangan sisa lelehan es perlu

ditingkatkan agar kesegaran ikan dapat dipertahankan lebih lama.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Tingkat kemunduran mutu ikan tenggiri yang ditangkap oleh nelayan Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur menggunakan jaring gillnet (insang) tergolong masih kecil. Metode penanganan yang digunakan oleh nelayan adalah metode pendinginan chilled sea water (CSW) yaitu ikan didinginkan dengan air laut bercampur es. Perlakuan metode penanganan nelayan dan peneliti saat ikan baru ditangkap adalah sama dari nilai organoleptik yaitu 9; kadar air 75,38 %; kadar lemak 1,03 %; kadar protein 20,19 %; kadar abu 1,54 %; pH 6,28; TVB 21,86 mg N/100 g; dan log TPC 3,32 CFU/ml. Perlakuan metode

penanganan nelayan dan peneliti saat ikan tiba di Jakarta berturut-turut menunjukkan nilai organoleptik yaitu 5 dan 6; kadar air 76,36 % dan 76,49 %; kadar lemak 0,79 % dan 0,90 %; kadar protein 18,73 % dan 19,23 %; kadar abu 1,46 % dan 1,38 %; nilai pH 6,56 dan 6,16; TVB 24,28 mg N/100 g dan 23,40 mg N/100 g; serta log TPC sebesar 4,67 CFU/ml dan 4,29 CFU/ml. Metode penanganan yang digunakan oleh nelayan dan peneliti menunjukkan kualitas (mutu) ikan yang masih tergolong agak segar dan masih dapat dikonsumsi setelah diuji baik secara organoleptik, kimia, dan mikrobiologis. Menurut analisis ragam diketahui bahwa perlakuan metode penanganan berpengaruh nyata terhadap nilai organoleptik mata, insang, daging dan perut, serta konsistensi, dan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH, TVB dan TPC ikan tenggiri. Proses penanganan sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta berpengaruh nyata terhadap nilai organoleptik, serta TPC ikan tenggiri, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH, serta TVB. Menurut uji t diketahui bahwa metode dan proses penanganan untuk metode nelayan dan peneliti berpengaruh nyata terhadap kadar air dan protein, serta tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak dan abu ikan tenggiri.

5.2 Saran
Penentuan karakteristik mutu ikan ekonomis penting lain di daerah Belitung Timur perlu dilakukan dengan musim dan daerah penangkapan yang sama selama proses penanganan oleh nelayan, baik menggunakan alat tangkap jaring maupun pancing. Penerapan rantai dingin dalam setiap proses penanganan perlu dilakukan agar kesegaran ikan dapat dipertahankan lebih lama.

DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2006. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara. Anggawati AM. 1993 Penanganan Ikan Laut Segar. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Anonim. 1983. Proseding Rakernis Perikanan Tuna dan Cakalang. Jakarta: Pusat dan Pengembangan Pertanian. Badan Peneliti dan Pengembangan Perikanan. Departemen Pertanian. . 1985. Kumpulan Standar Mutu Hasil Perikanan. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta: Departemen Pertanian. . 1988. Petunjuk Praktek Penanganan dan Transportasi Ikan Segar. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta: Departemen Pertanian. . 2003. Food safety guidelines for inshore fishing vessels. http://www. food safety guidelines.html. [23 Januari 2008]. . 2007a. Tenggiri. Februari 2008]. http://images.google.co.id/imgres?imgurl=. [27

. 2007b. Deskripsi kategori spesies pelagis besar. http://www.pipp.dkp.go.id/pipp2/sdi_index.html. [27 Februari 2008]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of Analysis. USA: Published by The Association of Official Analytical Chemyst Inc. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Batubara HMP. 1989. Manajemen pengusaha perikanan tuna suatu pengalaman usaha PT Perikanan Samudra Besar. Di dalam: Himpunan Makalah Lokakarya Perikanan Tuna. Warta Mina. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta: Departemen Pertanian. Ben-gigirey B, Sousa JMVB, Villa J, Barros-velazques. 1999. Chemical changes and visual appearance of albacore tuna as related to frozen storage. J Food Sci 64(1): 20-24. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia 01-2346. Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia.

. 2006. Standar Nasional Indonesia 01-2729. Ikan Segar. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Certel M, Ertugay MF. 1996. Gidalarda su aktivitesi termodinamigi. Gida 21: 193-198. Chang CC, Regenstein JM. 1997. Textural changes and functional properties of cod mince protein as affected by kidney tissue and cryoprotectans. J Food Sci 62: 299-304. Daramola JA, Fasakin EA, Adeparusi EO. 2007. Changes in physicochemical and sensory characteristics of smoke dried fish spesies stored at ambient temperature. Ajfand Vol.7(6). Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Panduan jenis-jenis penangkapan ikan ramah lingkungan Vol I. www.dkp.com. [10 November 2008]. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2005a. Potensi Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung Tahun 2005. Pemerintah Kabupaten Belitung Timur. . 2005b. www.dkp.com. [2 November 2008]. Penanganan ikan segar.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1992. Ice in Fisheries. Di dalam: Graham J, Johnston WA, Nicholson FJ, editor. Roma: FAO Fisheries Technical Paper No 331. 75pp. . 1995a. Quality and Quality Changes in Fresh Fish. Di dalam: Huss HH, editor. Roma: FAO Fisheries Technical Paper 331: 0-65. 1995b. Introduction of Chilled Seawater (CSW) Holding Systems for The Lampara Fleet. Di dalam: Medina PAF, Ben AA, editor. Technical Briefing Notes. Roma: FAO Fisheries Technical Paper 27. Farber L. 1965. Freshness test. Di dalam: Borgstorm G, editor. Fish as Food Vol IV. New York: Academic Press. Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: LSI-IPB. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Liberty. Heruwati ES. 2002. Pengolahan ikan secara tradisional: prospek dan peluang pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian 21(3): 92-99. .

Hidayat D. 2004. Evaluasi dan identifikasi tingkat kemunduran mutu hasil perikanan tangkap ikan belanak (Mugil spp) (studi kasus di Muara Angke Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara). [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Huss HH. 1988. Fresh Fish Quality and Quality Changes. Roma: FAO Fisheries Series, No. 29, 132 pp Huss HH. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh Fish. Roma: Food and Agriculture Organization of United Nation. Ilyas S. 1972 Pengantar Pengolahan Ikan. Lembaga Teknologi Perikanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. . 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid 1. Jakarta: CV Paripurna. Irawan A. 1995. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Solo: Penerbit Aneka. Jeyasekaran G, Ganesan P, Anandaraj R, Shakila JR, Sukumar D. 2006. Effect of pre-chilling on the shelf-life and quality of silver pomfret (Pampus argenteus) stored in dry ice and wet ice. American J Food Tech American 1 (2): 117-128. Jogiyanto HM. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi: Pedoman dan Contoh Melakukan Penelitian di Bidang Sistem Teknologi Informasi. Yogyakarta: Penerbit Andi. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Kyrana WR, Laugovis VP, Valsamis DS. 1997. Assessment of shelf-life of maricultured gilthead sea bram (Sparus aurata) stored in ice. J Food Sci. Technol 32: 339-347. Kose S. 2003. An investigation of quality in anchovy (Engraulis encrasicolus) stored at different temperatures. Turk J Vet Anim Sci 28: 575-582. Kose S, Erdem ME. 2001. Quality changes of whiting (Merlangius merlangus euxinus, N. 1840) stored at ambient and refrigerated temperatures. J Fish Aquat Sci 1: 59-65. Ludorff W, Meyer V. 1973. Fische Und Fischerzeugnisse. Paul Parey Verlag. Hamburg-Berlin 95 (111): 176-269. Martasuganda S. 2004. Jaring Insang (Gillnet). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Matjik AA, Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1. Bogor: IPB Press. Mazorra-Manzano MA, Aquilar RP, Rojas EID, Sanchez MEL. 2000. Postmortem changes in black skipjack muscle during storage in ice. J Food Sci 65 (5): 774-779. Metin S, Erkan N, Varlik C. 2001. The application of hypoxanthine activity as a quality indicator of cold stored fish burgers. Turk J Vet Anim Sci 26: 363367. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya. Murdiyanto B. 2002. Pelabuhan perikanan: fungsi, fasilitas, panduan operasional dan antrian kapal. Bogor: Jurusan Pemanfaatan Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Murniyati AS, Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Mutakin, J. 2001. Analisis potensi dan musim penangkapan iIkan tenggiri (Scomberomorus spp.) di Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Nasran S. 1972. Handling ikan basah. Di dalam: Ikan Basah: Cara-cara Handling dan Sarana-sarana yang Diperlukan. Prociding Petunjuk praktis dalam Handling. Jakarta: Lembaga Teknologi Perikanan. Nogueras SB, Bover-Cid S, Veciana-Nogues T, Vidal-Carou MC. 2002. Chemical and sensory changes in Mediterranean Hake (Merluccius merluccius) under refrigeration (6-8 oC) and stored in ice. J Agric Food Chem 50: 6504-6510. Rahayu WP, Maoen S, Suliantri Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Rehbein H, Oehlenschlager J. 1982. Zur zusammensetzug der tvb-n fraktion (fluchtige basen) in sauren extrakten und alkalischen destilaten von seefischfilet. Archiv Fur Lebensmittelhygiene 33: 44-48. Robb D. 2002. The Killing of Quality: The Impact of Slaughter Procedures on Fish Flesh. Di dalam: Alasalvar C dan Taylor T, editor: Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical Applications. New York: Springer. hlm 7-10.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Vol I dan II. Bandung : Binacipta. 508 hal. Saeed S, Howell NK. 2004. Rheological and differential scanning calorimetry studies on structural and textural changes in frozen Atlantic mackerel (Scomber scombrus). J Sci Food Agric 84: 1216-1222. Saragih BS. 1998. Aplikasi pengawetan ikan segar dan olahan dengan preparat biji atung. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Schormller J. 1968. Handbuch Der Lebensmittel Chemie. Band III/2 Teil. Tierische Lebensmittel Eier, Fleisch, Buttermilch. Springer. Verlag. Berlin-Heidelberg-New York : 1341-1397. Sengr GF. 2001. The determination of microbial flora, water activity and chemical analyses in smoked, canned mussels (Mytilus galloprovincialis, L.). Turk J Vet Anim Sci 28: 793-797. Sikorski Z. 1990. Resources and their availability. Di dalam: Zikorski Z, editor. Seafood: Resources, nutritional composition and preservation. Boca Raton: CRC Press Inc. p 39. Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengenalan Standardisasi Mutu Pangan. Bogor: IPB Press. Stansby ME. 1963. Industrial Fishery Technology. London: Reinhold Publ. Co Chapman and Hall Ltd. Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: The Principle and Procedure of Statistics. A Biometrics Approach. Sufianto B. 2004. Kemunduran mutu ikan patin (Pangasius hypopthalmus) segar selama penyimpanan suhu ruang [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor Suriawiria U. 2002. Omega 3 ikan mengurangi sakit jantung. http ://www.suaramerdeka.com/harian/0210/28/ragam1.htm. [23 Agustus 2006]. Suryawan AG. 2004. Karakteristik perubahan mutu ikan selama penanganan oleh nelayan tradisional dengan jaring rampus (studi kasus di Kaliadem, Muara Angke, DKI Jakarta. [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Suvanich V, Jahncke ML, Marshall DL. 2000. Changes in selected chemical quality characteristics of channel catfish frame mince during chill and frozen storage. J Food Sci 65 (1): 24-29. Tokur B, Polat A, Beklevik G, Ozkutuk S. 2004. The quality changes of tilapia (Oreochromis niloticus) burger during frozen storage. European Food Research and Technology 218 (5): 420-423. Tokur B, Cakli S, Polat A. 2006. The quality changes of trout (Oncorhynchus mykiss W., 1972) with a vegetable topping during frozen storage (-18 oC). J Fisheries and Aquatic Sci 23 (3-4): 345-350. Walpole. 1975. Pengantar Statistik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: The Introduction of Statistics. Winarno FG, Fardiaz D, Fardiaz S. 1981. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia Indonesia. Winarno FG. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Yunizal, Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi. Zen JM, Lai YY, Yang YY, Kumar AS. 2002. Multianalyte sensor for the simultaneous determination of hipoxanthine, xanthine and uric acid based on a preanodezed nontronite-coated screen-printed electrode. Journal Sensor and Actuators B: 237-244.

Lampiran 1. Contoh kuesioner untuk nelayan / pemilik kapal

KUESIONER PENELITIAN KARAKTERISTIK MUTU IKAN TENGGIRI DI KECAMATAN MANGGAR, KABUPATEN BELITUNG TIMUR
Jenis responden : Nelayan / pemilik kapal Tanggal wawancara : ..

A. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama 2. Umur : :

B. INFORMASI UMUM 1. Lama bekerja menjadi nelayan 2. Lama bekerja di pemilik kapal

: . : .

a. Jenis kapal : ........................................... b. Jumlah perahu yang dimiliki : ........................................... c. Kapasitas/volume palka perahu : ........................................... < 5 GT 5 10 GT > 10 GT d. Daerah operasi penangkapan : < 25 mil dari pantai 25 50 mil dari pantai > 50 mil dari pantai

C. INFORMASI KHUSUS
1. Sistem penanganan di kapal : a. Teknologi yang digunakan Penggunaan es Penambahan garam Lainnya : ......................................................... b. Bila digunakan es, darimana didapatkan dan jumlah rata-rata yang dibawa kapal untuk sekali berangkat : Membeli dari : ..................(nama perusahaan), jumlah : .......kg Milik sendiri : ..................(nama perusahaan), jumlah : .......kg c. Wadah yang digunakan selama penangkapan di kapal, adalah Keranjang Gentong plastik Lainnya .............................. d. Alat tangkap yang digunakan di kapal : Perangkap atau bubu Jaring Pancing Lainnya ............................. e. Bila menggunakan jaring, sebutkan jenis jaring ...............

2. Berapa jam waktu yang dibutuhkan nelayan untuk melaut dalam sehari, Dari pukul : ........................... sampai dengan ........................... 3. Penanganan ikan di atas kapal Pencucian Dicuci dengan air ? Air bersih Air kolam pelabuhan Air sungai Apa saja yang dibersihkan ? Apakah para ABK mengetahui cara pembersihan ikan yang baik dan benar ? 4. Bagaimana sanitasi di kapal ? a. Pembersihan geladak kapal setelah dipakai mencuci dan menyortir, menggunanakan : Air bersih Air dan sabun Desinfektan Lainnya .......................................... b. Pembersihan dasar palkah dari genangan bekas lelehan es, menggunakan ?

Lampiran 2. Score sheet uji organoleptik ikan segar (SNI-01-2346-2006) Nama Panelis : .. Tanggal : .. Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian Berilah tanda pada nilai yang dipilih sesuai dengan kode sampel yang diuji.
KODE CONTOH ... Nilai SPESIFIKASI 1. MATA * Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih * Cerah, bola mata rata, kornea jernih * Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh * Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh * Bola mata agak cekung, pupil keabuabuan, kornea agak keruh * Bola mata cekung, pupil putih susu, kornea keruh * Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. 2. INSANG * Warna cerah cemerlang, tanpa lendir * Warna merah kurang cemerlang tanpa lendir * Warna agak kusam, tanpa lendir * Merah agak kusam, sedikit lendir * Mulai ada perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir * Warna merah coklat lendir tebal * Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir tebal 3. LENDIR PERMUKAAN BADAN * Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah. * Lapisan lendir jernih, transparan, cerah, belum ada perubahan warna. * Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. * Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan * Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih, keruh * Lendir tebal menggumpal, berwarna putih kuning * Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan 9 8 7 6 5 3 1 Tgl Pengamatan : Jam ke2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

9 8 7 6 5 3 1

9 8 7 6 5 3 1

4. DAGING ( WARNA DAN KENAMPAKAN) * Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh 9 * Sayatan daging cemerlang spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh

* Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh. * Sayatan daging masih cemerlang, agak kemerahan pada tulang belakang, dinding perut agak lembek, sedikit bau susu * Sayatan daging mulai pudar, banyak kemerahan pada tulang belakang, dinding perut lembek, bau segar seperti susu * Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak * Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut sangat lunak 5. BAU * Bau sangat segar, spesifik jenis * Segar, spesifik jenis * Netral * Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam * Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk * Bau busuk jelas 6. TEKSTUR * Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang * Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang * Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang * Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang * Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang * Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang

9 8 7 5 3 1

9 8

5 3

Lampiran 3. Hasil uji organoleptik ikan tenggiri ulangan 1 selama proses penanganan
Proses Penanganan Nilai organoleptik untuk panelis keSpesifikasi 1 P1 (saat ikan ditangkap) P2 (saat ikan tiba di darat) P3 (tiba di pengumpul) P4 (saat akan berangkat ke Jakarta) P5 (saat tiba di Jakarta) 1. Mata 2. Insang 3. Daging dan perut 4. Konsistensi 1. Mata 2. Insang 3. Daging dan perut 4. Konsistensi 1. Mata 2. Insang 3. Daging dan perut 4. Konsistensi 1. Mata 2. Insang 3. Daging dan perut 4. Konsistensi 1. Mata 2. Insang 3. Daging dan perut 4. Konsistensi 9 8 9 9 8 8 8 7 8 8 8 7 8 6 5 7 8 3 4 6 2 9 8 9 9 8 8 8 8 8 7 8 8 8 6 5 7 7 2 4 6 Nelayan 3 9 8 9 9 8 8 8 7 8 7 8 7 8 6 5 7 7 3 4 6 4 9 8 9 9 8 8 8 8 8 7 8 7 8 6 7 7 8 2 5 6 5 9 8 9 9 8 8 8 7 8 8 8 7 8 7 5 7 7 3 4 4 1 9 8 9 9 9 8 8 8 9 8 8 8 9 7 7 7 8 3 7 6 2 9 8 9 9 8 8 8 8 8 8 8 8 8 7 7 8 8 3 7 8 Peneliti 3 9 8 9 9 9 8 8 8 9 8 8 8 9 8 7 7 9 3 5 6 4 9 8 9 9 8 8 8 8 8 7 8 8 8 7 7 8 8 3 7 8 5 9 8 9 9 9 8 8 8 8 8 8 8 8 7 7 8 8 3 7 8

Lampiran 4. Hasil uji organoleptik ikan tenggiri ulangan 2 selama proses penanganan
Proses Penanganan Nilai organoleptik untuk panelis keSpesifikasi 1 P1 (saat ikan ditangkap) P2 (saat ikan tiba di darat) P3 (tiba di pengumpul) P4 (saat akan berangkat ke Jakarta) P5 (saat tiba di Jakarta) 1. Mata 2. Insang 3. Daging dan perut 4. Konsistensi 1. Mata 2. Insang 3. Daging dan perut 4. Konsistensi 1. Mata 2. Insang 3. Daging dan perut 4. Konsistensi 1. Mata 2. Insang 3. Daging dan perut 4. Konsistensi 1. Mata 2. Insang 3. Daging dan perut 4. Konsistensi 9 8 9 9 8 8 8 7 8 8 8 7 7 6 7 7 7 1 7 7 2 9 8 9 9 8 8 8 8 8 7 8 7 6 6 5 6 6 4 3 4 Nelayan 3 9 8 9 9 8 8 8 7 8 7 8 7 7 7 7 6 7 7 7 6 4 9 8 9 9 8 8 8 8 8 7 8 7 7 6 7 6 7 6 7 6 5 9 8 9 9 8 8 8 7 8 7 8 7 7 6 5 6 7 6 5 6 1 9 8 9 9 9 8 8 8 8 8 8 8 7 7 7 7 7 6 7 7 2 9 8 9 9 8 8 8 8 8 8 8 8 8 7 8 8 8 7 8 8 Peneliti 3 9 8 9 9 9 8 8 8 8 8 8 8 7 7 7 8 7 7 7 8 4 9 8 9 9 8 8 8 8 8 8 8 8 7 7 7 7 6 6 7 7 5 9 8 9 9 9 8 8 8 8 8 8 8 7 7 7 8 6 6 7 8

Lampiran 5. Hasil uji Kruskal-Wallis nilai organoleptik ikan tenggiri terhadap perlakuan metode dan proses penanganan
Daging dan Mata Insang Perut X2 hitung 64,998 87,293 93,722 Derajat bebas 9 9 9 Signifikan 0,000* 0,000* 0,000* Keterangan: Superscript menunjukkan berbeda nyata Konsistensi 82,984 9 0,000*

Lampiran 6. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik mata Kadar air Metode penanganan Proses penanganan Metode dan proses penanganan Galat Total Jumlah kuadrat 2,560 34,640 1,040 25,400 63,640 Derajat bebas 1 4 4 90 99 Kuadrat tengah 2,560 8,660 0,260 0,282 F hitung 9,071 30,685 0,921 Signifikan 0,003* 0,000* 0,455

Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 7. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh proses penanganan terhadap nilai organoleptik mata
Proses Penanganan Saat tiba di Jakarta Saat akan berangkat ke Jakarta Pengumpul Ikan tiba di darat Saat ikan ditangkap N 20 20 20 20 20 1 7.30 7.60 8.10 8.30 9.00 = 0,05 2 3

Lampiran 8. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik insang Kadar air Metode penanganan Proses penanganan Metode dan proses penanganan Galat Total Jumlah kuadrat 6,250 205,240 4,600 71,700 Derajat bebas 1 4 4 90 Kuadrat tengah 6,250 51,310 1,150 0,797 F hitung 7,845 64,406 1,444 Signifikan 0,006* 0,000* 0,226

287,790 99
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 9. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh proses penanganan terhadap nilai organoleptik insang
Proses Penanganan Saat tiba di Jakarta Saat akan berangkat ke Jakarta Pengumpul Saat ikan ditangkap Ikan tiba di darat N 20 20 20 20 20 1 4.20 6.65 7.60 8.00 8.00 = 0,05 2 3

Lampiran 10. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik daging dan perut Kadar air Metode penanganan Proses penanganan Metode dan proses penanganan Galat Total Jumlah kuadrat 10,240 125,060 16,260 35,400 Derajat bebas 1 4 4 90 Kuadrat tengah 10,240 31,265 4,065 0,393 F hitung 26,034 79,487 10,335 Signifikan 0,000* 0,000* 0,000*

186,960 99
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 11. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh interaksi metode dan proses penanganan terhadap nilai organoleptik daging dan perut
Perlakuan

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

= 0,05
1 2 5,80 6,90 7,10 8,00 8,00 8,00 8,00 9,00 9,00 3 4 5 5,00

Nelayan ; P5 Nelayan ; P4 Peneliti ; P5 Peneliti ; P4 Nelayan ; P2 Nelayan ; P3 Peneliti ; P2 Peneliti ; P3 Nelayan ; P1 Peneliti ; P1

Lampiran 12. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik konsistensi Kadar air Metode penanganan Proses penanganan Metode dan proses penanganan Galat Total Jumlah kuadrat 17,640 66,460 7,660 22,600 Derajat bebas 1 4 4 90 Kuadrat tengah 17,640 16,615 1,915 0,251 F hitung 70,248 66,166 7,626 Signifikan 0,000* 0,000* 0,000*

114,360 99
Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 13. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons pengaruh interaksi metode dan proses penanganan terhadap nilai organoleptik konsistensi
Perlakuan

N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 1 5,70 2 6,60

= 0,05

Nelayan ; P5 Nelayan ; P4 Nelayan ; P3 Nelayan ; P2 Peneliti ; P5 Peneliti ; P4 Peneliti ; P2 Peneliti ; P3 Nelayan ; P1 Peneliti ; P1

7,10 7,40 7,40

7,40 7,40 7,60

7,60 8,00 8,00 9,00 9,00

Lampiran 14. Hasil uji normalitas analisis proksimat selama proses penanganan
Proksimat Statistik Kolmogorov-Smirnov Derajat bebas 0,269 8 0,251 8 Signifikan 0,092 0,148 0,08 0,054

Kadar air Kadar lemak Kadar 0,273 8 protein Kadar abu 0,285 8 Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,0

Lampiran 15. Hasil uji t kadar air untuk metode penanganan saat ikan tiba di Jakarta
Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi 0,58682 74,92625 t Derajat Signifikan bebas

Metode 3 0,000* penanganan-kadar 255,364 air Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 16. Hasil uji t kadar air saat proses penanganan oleh nelayan
Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi -74,37125 0,20762 t Derajat Signifikan bebas

Proses 3 0,000* penanganan716,415 kadar air Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 17. Hasil uji t kadar air saat proses penanganan oleh peneliti
Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi -74,4375 0,25234 t Derajat Signifikan bebas

Proses 3 0,000* penanganan589,980 kadar air Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 18. Kadar lemak ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta
Nelayan Basis Basah (%) Basis Kering (%) Tiba Tiba Ikan di Ikan di ditangkap Jakarta ditangkap Jakarta
1,22 0,85 1,035 0,36 1,23 0,795 4,73 3,44 4,085 1,56 5,15 3,355

Kadar

Ulangan

Peneliti (ikan : es = 1:1) Basis Basah (%) Basis Kering (%) Tiba Tiba Ikan di Ikan di ditangkap Jakarta ditangkap Jakarta
1,22 0,85 1,035 0,93 0,88 0,905 4,73 3,44 4,085 3,96 3,79 3,875

Lemak

1 2 Rataan

Lampiran 19. Hasil uji t kadar lemak untuk metode penanganan


Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi 0,65 0,62498 t Derajat Signifikan bebas

Metode 2,080 3 0,129 penanganan-kadar lemak Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 20. Hasil uji t kadar lemak saat proses penanganan oleh nelayan
Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi 0,585 0,81333 t Derajat Signifikan bebas

Proses 3 0,246 penanganan-kadar 0,70918 lemak Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 21. Hasil uji t kadar lemak saat proses penanganan oleh peneliti
Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi 0,53 0,66998 t Derajat Signifikan bebas

Proses 1,582 3 0,212 penanganan-kadar lemak Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 22. Kadar protein ikan tenggiri sejak ditangkap sampai tiba di Jakarta
Nelayan Kadar Ulangan Basis Basah (%) Tiba Ikan di ditangkap Jakarta
19,47 20,65 20,06 19,17 18,26 18,715

Peneliti (ikan : es = 1:1) Basis Basah (%) Tiba Ikan di ditangkap Jakarta
19,47 20,65 20,06 19,28 19,18 19,23

Basis Kering (%) Tiba Ikan di ditangkap Jakarta


79,56 83,60 81,58 82,01 76,47 79,24

Basis Kering (%) Tiba Ikan di ditangkap Jakarta


79,56 83,60 81,58 81,2 82,60 81,9

1 Protein 2 Rataan

Lampiran 23. Hasil uji t kadar protein untuk metode penanganan


Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi -17,4725 0,467 t Derajat Signifikan bebas

Metode -74,828 3 0,000* penanganan-kadar protein Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 24. Hasil uji t kadar protein saat proses penanganan oleh nelayan
Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi -17,8875 1,48428 t Derajat Signifikan bebas

Proses -24,103 3 0,000* penanganan-kadar protein Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 25. Hasil uji t kadar protein saat proses penanganan oleh peneliti
Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi -18,145 1,13191 t Derajat Signifikan bebas

Proses -31,233 3 0,000* penanganan-kadar protein Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 26. Kadar abu ikan tenggiri sejak ikan ditangkap sampai tiba di Jakarta
Nelayan Kadar Ulangan Basis Basah (%) Tiba Ikan di ditangkap Jakarta
1,74 1,34 1,54 1,48 1,44 1,46

Peneliti (ikan : es = 1:1) Basis Basah (%) Tiba Ikan di ditangkap Jakarta
1,74 1,34 1,54 2,62 1,45 2,035

Basis Kering (%) Tiba Ikan di ditangkap Jakarta


7,14 5,43 6,285 6,34 6,03 6,185

Basis Kering (%) Tiba Ikan di ditangkap Jakarta


7,14 5,43 6,285 5,52 6,24 5,88

1 Abu 2 Rataan

Lampiran 27. Hasil uji t kadar abu untuk metode penanganan


Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi -0,2475 0,53724 t Derajat Signifikan bebas

Metode -0,921 3 0,425 penanganan-kadar abu Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 28. Hasil uji t kadar abu saat proses penanganan oleh nelayan
Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi 0,000 0,64477 t Derajat Signifikan bebas

Proses 0,32239 3 1,000 penanganan-kadar abu Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 29. Hasil uji t kadar abu saat proses penanganan oleh peneliti
Perbedaan berhubungan Rata-rata Standar deviasi -0,28750 0,58295 t Derajat Signifikan bebas

Proses -0,986 3 0,397 penanganankadar abu Keterangan: Superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata

Lampiran 30. Nilai pH selama proses penanganan


Metode penanganan Ulangan P1 Nelayan 1 2 Rata-rata Peneliti 1 2 Rata-rata 6.26 6.31 6.285 6.26 6.31 6.285 Proses penanganan P2 6.24 6.53 6.385 6.235 6.59 6.4125 P3 6.15 6.57 6.36 6.155 6.55 6.3525 P4 6.13 6.77 6.45 6.145 6.25 6.1975 P5 6.38 6.75 6.565 6.12 6.21 6.165

Keterangan: masing-masing ulangan dilakukan secara duplo

Lampiran 31. Uji normalitas pH selama proses penanganan


Kolmogorov-Smirnov Derajat bebas Signifikan Ulangan 1 0,164 10 0,200(*) Ulangan 2 0,255 10 0,064 Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05 pH Statistik

Lampiran 32. Hasil uji keragaman pH selama proses penanganan pH Metode penanganan Proses penanganan Metode dan proses penanganan Galat Total Jumlah kuadrat 0,080 0,030 0,145 0,557 0,811 Derajat bebas 1 4 4 10 19 Kuadrat tengah 0,080 0,007 0,036 0,056 F hitung 1,438 0,134 0,649 Signifikan 0,258 0,966 0,640

Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh

Lampiran 33. Nilai TVB selama proses penanganan


Metode penanganan Ulangan P1 Nelayan 1 2 Rata-rata Peneliti 1 2 Rata-rata
22.2033 21.5079 21.85561 22.2033 21.5079 21.85561

Proses penanganan P2
23.4365 24.4468 23.94167 23.4124 21.4712 22.44179

P3
23.0924 24.9783 24.03532 21.5869 24.7312 23.15902

P4
24.2921 25.2538 24.77296 23.2591 24.1907 23.72488

P5
24.0348 24.5255 24.28017 24.46 22.3463 23.40313

Keterangan: masing-masing ulangan dilakukan secara duplo Lampiran 34. Uji normalitas TVB selama proses penanganan
TVB Statistik Nelayan Peneliti Kolmogorov-Smirnov Derajat bebas 0,158 10 0,172 10 Signifikan 0,200(*) 0,200(*)

Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05

Lampiran 35. Hasil uji keragaman TVB selama proses penanganan TVB Metode penanganan Proses penanganan Metode dan proses penanganan Galat Total Jumlah kuadrat 3,700 13,476 1,185 12,850 31,212 Derajat bebas 1 4 4 10 19 Kuadrat tengah 3,700 3,369 0,296 1,285 F hitung 2,880 2,622 0,231 Signifikan 0,121 0,099 0,919

Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh nyata

Lampiran 36. Nilai log TPC selama proses penanganan


Metode penanganan Ulangan P1 Nelayan 1 2 Rata-rata Peneliti 1 2 Rata-rata 3.949 2.699 3.324 3.949 2.699 3.324 Proses penanganan P2 3.544 3.763 3.6535 3.69 3.342 3.516 P3 3.58 3.785 3.6825 3.204 3.602 3.403 P4 4.322 4.342 4.332 4.041 4.079 4.06 P5 4.708 4.633 4.670 5 3.591 4.996 4.293 5

Keterangan: masing-masing ulangan dilakukan secara duplo Lampiran 37. Uji normalitas log TPC selama proses penanganan
TPC Ulangan 1 Ulangan 2 Kolmogorov-Smirnov Statistik Derajat bebas 0,151 10 0,126 10 Signifikan 0,200(*)

0,200(*) Keterangan: data menyebar normal yaitu signifikan > 0,05

Lampiran 38. Hasil uji keragaman log TPC selama proses penanganan TPC Metode penanganan Proses penanganan Metode dan proses penanganan Galat Total Jumlah kuadrat 0,227 3,831 0,086 2,738 6,882 Derajat bebas 1 4 4 10 19 Kuadrat tengah 0,227 0,958 0,021 0,274 F hitung 0,830 3,498 0,078 Signifikan 0,384 0,049 0,987

Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh nyata

Lampiran 39. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh proses penanganan terhadap log TPC
Proses penanganan N 1 4 4 4 4 4 3,32400 3,58475 3,54275 4,19600 4,19600 4,48200 = 0,05 2

P1 (saat ikan ditangkap) P2 (saat ikan tiba di darat) P3 (tiba di pengumpul) P4 (saat akan berangkat ke Jakarta) P5 (saat tiba di Jakarta)

Você também pode gostar