Você está na página 1de 13

UJIAN AKHIR SEMESTER TAKE HOME ASSIGNMENT

HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT

EDUKASI SELF MANAGEMENT PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DEWASA

Oleh : ADOLFINA VITRIA NILASARI 13/255586/PKU/13989

PROGRAM PASCASARJANA KEDOKTERAN KLINIS MINAT KEDOKTERAN KELUARGA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2014

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang Diabetes tipe II merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak terjadi di dunia maupun di Indonesia. Jumlah penderita ini semakin lama semakin tinggi. Dalam Diabetes Atlas kedua tahun 2003 yang diterbitkan oleh IDF, prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah 1,9 % dan toleransi glukosa terganggu (TGT) 9,7% dengan prediksi bahwa di tahun 2025 berturut turut akan menjadi 2,8% diabetesi dan 11,2% dengan TGT. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, diketahui bahwa 10,2% responden termasuk TGT, dengan 5,6% merupakan Diabetes. Menurut IDF (International Diabetes Federation) tahun 2012, prevalensi diabetes di Indonesia adalah 4,8%. Di puskesmas Bantul II, diabetes tipe II termasuk dalam 10 besar penyakit (Depkes RI, 2008; Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Depkes, RI. , 2008.; Soewondo, Ferrario, & Tahapary, 2013). Tatalaksana diabetes melitus mengacu pada 4 pilar, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Edukasi merupakan pilar pertama dalam tatalaksana Diabetes mellitus tipe II. Edukasi merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh klnisi sebelum memberi tambahan terapi lain untuk pasien. Edukasi menurut Depkes (2008) adalah meliputi pemahanan mengenai pengertian, penatalaksanaan secara umum, perencanaan makan, aktivitas fisik yang perlu dilakukan, obat-obatan untuk mengendalikan kadar glukosa darah, pemantauan glukosa darah, komplikasi, serta perawatan kaki maupun aktivitas sehari-hari pada orang dengan DM. (Depkes RI, 2008) WHO menekankan pentingnya edukasi bagi penyakit kronik. Salah satu rekomendasi WHO untuk menangani pasien DM adalah dengan menyusun strategi yang efektif yang terintegrasi, berbasis masyarakat melalui kerjasama lintas program dan lintas sektor termasuk swasta. Sehingga pengembangan kemitraan dengan berbagai unsur di masyarakat dan lintas sektor yang terkait dengan DM di setiap wilayah merupakan kegiatan yang penting dilakukan. Terapi edukasi kepada pasien merupakan bentuk edukasi untuk menolong pasien (atau sekelompok pasien dan keluarganya) untuk mengelola terapi mereka dan mencegah komplikasi yang dapat dicegah, sekaligus meningkatkan kualitas hidup. Saat ini telah dibentuk suatu edukasi manajemen mandiri diabetes (diabetes self-management education/DSME), merupakan bentuk edukasi yang ditekankan pada kedekatan antara pasien dengan yang merawatnya. Terdapat beberapa standar atau pedoman DSME ini. International Diabetes Federation telah mempublikasikan International Curiculum for Diabetes Health Profesional Education. Meski telah terdapat beberapa pedoman, tetapi tidak ada deskripsi yang telah distandarkan, sehingga program ini seringkali disebut sebagai intervensi yang kompleks, bentuk kerja nya selalu berubah, tergantung dari model pendekatan yang digunakan, ketrampilan edukator, latar belakang pasien dan sebagainya. (Steinbekk, Rygg, Lisulo, Rise, & Fretheim, 2012)

B. Permasalahan Berbagai jurnal dari luar negeri telah banyak membahas mengenai DSME ini, bahkan HTA untuk model ini sudah dilakukan. Di Indonesia, pedoman untuk edukasi ini masih sebatas memberikan pemahaman kepada pasien mengenai DM, terapi maupun komplikasinya. Dalam paparan mengenai gambaran pengobatan DM di Indonesia, diketahui hanya 21% pasien yang ditangani dengan merubah gaya hidup (Soewondo P. , 2011). Prosedur pendekatan kepada pasien belum terintegrasi seperti DSME, sehingga klinisi masih banyak yang tidak memperhatikan betapa pentingnya edukasi semacam DSME.

C. Tujuan C. 1. Tujuan umum Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar kebijakan penerapan teknologi DSME di Indonesia. C. 2. Tujuan khusus

Mengkaji pelaksanaan DSME berdasarkan bukti ilmu kedokteran yang mutakhir dan sahih (Evidence Based Medicine) dilihat dari the technical properties, clinical safety, efficacy or effectiveness,
economic atributes or impact, social, legal, ethical or political impact of a medical technology.

BAB II. METODOLOGI PENILAIAN


A. Strategi penelusuran kepustakaan Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik: Pubmed, Cochrane Library, google cendekia serta i-library UGM Kata kunci yang digunakan adalah DSME, education self management, diabetes B. Hierarchy of Evidence dan Derajat Rekomendasi Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence based medicine, ditentukan hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi. Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care Policy and Research. Hierarchy of evidence: Ia. Meta-analysis of randomised controlled trials. Ib. Minimal satu randomised controlled trials. IIa. Minimal penelitian non-randomised controlled trials. IIb. Cohort dan Case control studies IIIa. Cross-sectional studies IIIb. Case series dan case report IV. Konsensus dan pendapat ahli Derajat rekomendasi : A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib. B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan II b. C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV C. Ruang lingkup Kajian mengenai teknologi DSME ini dibatasi pada tatalaksana DSME. Aspek yang akan dikaji antara lain the technical properties, clinical safety, efficacy or effectiveness, economic atributes or impact, social, legal, ethical or political impact of a medical technology.

BAB III. KAJIAN ASPEK


A. The technical properties DSME (Diabetes Self Management Education) merupakan program self-management yang dapat mendorong pasien menggunakan sumber daya yang ada untuk mengelola gejala yang dialaminya terutama pada pasien dengan penyakit kronis. Self-management memfasilitasi pasien dalam aktivitas pencegahan dan pengobatan dan perlu adanya kerjasama dengan tenaga kesehatan yang lain. Edukasi ini merupakan program pendidikan kesehatan yang mendorong kemandirian pasien sehingga mampu mengelola kesehatannya secara mandiri. DSME menggunakan metode pedoman, konseling, dan intervensi perilaku untuk meningkatkan pengetahuan mengenai diabetes dan meningkatkan ketrampilan individu dan keluarga dalam mengelola penyakit DM. Tujuan DSME secara umum adalah untuk mendukung pengambilan keputusan, perilaku self-care, problem solving, dan kolaborasi aktif dengan tim perawatan kesehatan dan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan dan kualitas hidup. Dalam DSME tidak hanya memfasilitasi transfer pengetahuan, namun juga memfasiltasi pasien untuk belajar ketrampilan dan kemampuan perawatan mandiri (self care) yang sangat dibutuhkan oleh penderita diabetes. Metode ini sangat kompleks. Dibutuhkan pemahanan edukator atas pasien yang meliputi budaya, coping behaviour dalam keluarga, maupun tingkat pendidikan pasien dan keluarganya. Di Indonesia belum terdapat standar ini. Standar nasional Amerika untuk DSME pada tahun 2007 meliputi 10 standar, yaitu (Funnell, et al., 2009) Struktur Standar 1. Paguyuban DSME mempunyai dokumentasi struktur organisasionalnya, pernyataan misi dan tujuan dan akan mengenali dan mendukung kualitas DSME sebagai suatu komponen integral perawatan diabetes. Standar 2. Paguyuban DSME akan menujuk kelompok penasehat untuk mendorong kualitas. Kelompok ini terdiri dari profesional kesehatanm orang dengan diabetesm komunitas dan stakeholder. Standar 3. Paguyuban DSME akan menentukan edukasional diabetes yang dibutuhkan oleh populasi target dan mengidentifikasi sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya Standar 4. Seorang koordinator akan membentuk rencana pengawasan, implementasi, dan evaluasi untuk DSME. Koordinator ini sebaiknya mempunyai cukup pendidikan dan eksperimental dalam menangani perawatan dan edukasi penyakit kronis dan pada manajemen program Proses Standar 5. DSME akan diberikan satu atau lebih instruktur. Instruktur ini mempunyai cukup pendidikan dan pengalaman dalam manajemen edukasi dan diabetes atau mempunyai sertifikat edukator diabetes. Instruktor akan menangani edukasi berlanjut dan regular di lapangan. Setidaknya salah satu instruktur merupakan perawat, ahli gizi, atau ahli farmasi. Harus ada suatu mekanisme untuk memastikan bahwa kebutuhan partisipan terpenuhi jika kebutuhan tersebut ternyata diluar pengetahuan maupun pendidikan instruktur.
4

Standar 6. Suatu kurikulum yang tertulis mencerminkan bukti baru dan pedoman praktis, dengan kriteria untuk mengevaluasi hasil, akan menjadi kerangka kerja bagi paguyuban DSME. Penilaian yang diperlukan untuk pasien dengan prediabetes dan diabetes akan menentukan daerah mana dari daftar berikut yang disediakan : Menjelaskan proses penyakit diabetes dan pilihan terapinya Menggabungkan manajemen nutrisi kedalam suatu gaya hidup Menggabungkan aktivitas fisik kedalam gaya hidup Menggungkan pengobatan secara aman dan untuk efektivitas maksimal terapi Memantau glukosa darah dan parameter lain dan mengintrepetasikan dan menggunakan hasil untuk pengambilan keputusan self management Mencegah, mendeteksi dan menerapi komplikasi akut Mencegah, mendeteksi dan menerapi komplikasi kronik Menggambarkan strategi individu untuk mempromosikan kesehatan dan perubahan perilaku Standar 7. Suatu penilaian dan rencana edukasi individual akan dikembangkan secara bersama-sama oleh partisipan dan instruktur untuk langsung memilih intervensi edukasional dan strategi dukungan self management yang cocok. Rencana penilaian dan edukasi ini dan intervensi dan hasil akan didokumentasikan dalam rekaman edukasi Standar 8. Rencana follow up individual untuk dukungan self management yang sedang berjalan akan dikembangkan secara bersama-sama oleh partisipan daninstruktur. Hasil pasien dan tujuan dan rencana untuk dukungan self management yang sedang berjalan akan dikomunikasikan kepada penyedia rujukan Hasil Standar 9. Paguyuban DSME akan mengukur pencapaian tujuan yang telah ditentukan oleh pasien dan hasil pasien pada interval tertentu menggunakan teknik pengukuran yang cocok untuk mengevluasi efektivitas intervensi edukasional Standar 10. Paguyuban DSME akan menilai efektivitas proses edukasi dan menentukan kemungkinan-kemungkinan untuk perkembangan menggunakan rencana perkebaikan kualitas yang berkelanjutan yang menggambarkan dan mendokumentasikan sistematic review dari proses dan hasil data dari paguyuban. Di Indonesia, dalam Konsensus Pengelolaan Diabetes 2011 dijelaskan mengenai edukasi yang perlu diberikan kepada pasien. Edukasi yang diperikan pekada pasien diupayakan untuk merubah perilaku pasien. Edukasi ini dilakukan oleh tim edukator DM. Dalam menjalankan tugasnya, tenaga kesehatan memerlukan landasan empati, yaitu kemampuan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi diabetes adalah (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011): Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya kecemasan Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang sederhana

Lakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi Diskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan pasien.

Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program pengobatan yang diperlukanoleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan laboratorium Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima Berikan motivasi dengan memberikan penghargaan Libatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan keluarganya Gunakan alat bantu audio visual Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu di-lakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupa-kan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secaraholistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awaldan materi edukasi tingkat lanjutan. Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang: Materi edukasi pada tingkat awal adalah: Materi tentang perjalanan penyakit DM Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM se-cara berkelanjutan Penyulit DM dan risikonya Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target pengobatan Interaksi antara asupan makanan, aktivitas sik dan obathipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia) Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasasakit, atau hipoglikemia Pentingnya latihan jasmani yang teratur Masalah khusus yang dihadapi (contoh: hiperglikemia padakehamilan) Pentingnya perawatan kaki Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan. Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah : Mengenal dan mencegah penyulit akut DM Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain Makan di luar rumah Rencana untuk kegiatan khusus Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM Pemeliharaan/perawatan kaki Edukasi dapat dilakukan secara individual dengan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi, perubahan perilaku memerlukan perencanaanyang baik, implementasi, evaluasi, dan dokumentasi.
6

Hasanat dan Ningrum (Hasanat & Ningrum, 2010) pernah membuat suatu materi untuk edukasi penderita DM. Materi tersebut berupa Materi edukasi tentang aspek-aspek psikologi yang muncul selama pengobatan diabetes. Materi ini diberikan dengan tujuan agar pasien mengenali dan menyadari adanya aspek psikologik yang menyertai selama proses pengelolaan diabetes Latikan mindfullness dan petunjuknya. Latihan ini ditujukan supaya pasien dapat menyadari dan menerima pikiran dan perasaan terkait dengan kondisi kesehatnnya. Pemberdayaan pasien melalui diskusi kelompok, beserta petunjuk pelakasanaannya. Melalui pemberdayaan ini diharapkan pasien mampu mengenali diri, mengidentifikasi permasalah ketika mengelola diabetes, dan menentukan permasalahan yang ingin diperbaiki. Selanjutnya pasien dapat merencanakan aksi untuk memperbaiki permasalah tersebut. Catatan harian penglolaan diabetes dan petunjuk pengisiannya. Catatan ini digunakan pasien untuk mencatat hal-hal yang telah diidentifikasi pada materi pemberdayaan. Dari beberapa referensi diatas, maka DSME sebaiknya dilakukan dalam suatu bentuk organisasi. Organisasi ini untuk sekarang telah terbentuk berupa Tim edukator Diabetes. Untuk saat ini tim tersebut hanya ada di rumah sakit, pada pelayanan primer semacam Puskesmas belum pernah ada secara resmi. Tim ini terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, ahli farmasi dan psikolog. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011) B. Clinical safety, Keamanan klinis suatu teknologi merujuk pada efek samping penggunaan, atau efek yang tidak diharapkan dari suatu teknologi. DSME merupakan teknologi program edukasi, sehingga sampai saat ini tidak ada referensi yang menunjukkan adannya efek yang tidak diharapkan dari program edukasi ini.

C. Efficacy or effectiveness, Efektifitas DSME telah di teliti di Amerika. Suatu systemic review (Loveman, Frampton, & AJ, 2008) dilakukan Health Assesment DSME. Dalam sistemik review ini sudah dicantumkan critical apraisal dari setiap jurnal yang digunakan. Jika jurnal dianggap tidak valid, maka tidak disertakan dalam review. Systemic review ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas DSME dilihat dari berbaai aspek, efek pada pengukuran kontrol diabetik, seperti HbA1, BMI atau kolesterol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya efek yang berbeda secara bermakna pada hasil HbA1, tetapi ada pula yang tidak berbeda bermakna. Sejumlah penelitian menunjukkan perbedaan bermakna pada penurunan berat badan tetapi sedikit yang siknifikan dalam penurunan BMI. Sedikit penelitian yang menjunjukkan perbaikan pada profil lipid. Pada pengukuran komplikasi diabetik hanya sedikit penilitian yang mengamati dalam waktu yang cukup lama tetapi beberapa yang meneliti cukup lama menunjukkan tidak ada efek yang siknifikan. Jarang ada penelitian yang meneliti mengenai kualitas hidup pasien setelah DSME. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hasilnya berlawanan, tetapi

pengetahuan pasien menunjukkan ada perubahan akibat edukasi ini. Secara keseluruhan efek intervensi edukasi ini pada pasien DM tipe 2 tidak dapat diintepretasikan; terdapat efek positif intervensi pada setiap jenis hasil yang ditelitit, tetapi ada pula penelitian yang menunjukkan tidak ada perbaikan yang siknifikan. Kesimpulan dari systemic review ini adalah bahwa tidak ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa intervensi ini efektif seperti harapan nasional. Tetapi disebutkan dalam review ini bahwa belum ada evaluasi edukator. Tidak adanya bukti efektifitas dimungkinkan karena edukator yang ada tidak melakukan tugas dengan baik, atau ketrampilan edukator belum sesuai standar. Kompleksitas program ini merupakan hal yang perlu menjadi perhatian. Sulit untuk menilai apakah suatu tim edukator melakukan tugasnya dengan baik, sulit pula melakukan evaluasi apakah proses edukasi berjalan sesuai standar. Dalam satu systemic review yang dilakukan oleh Steinbeck (Steinbekk, Rygg, Lisulo, Rise, & Fretheim, 2012) menunjukkan hasil adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok intervensi DSME dibandingkan kontrol. Perbedaan ini dilihat dari aspek klinis (kontrol glukosa darah), gaya hidup (ketrampilan melakukan perawatan secara mandiri), dan psikososial. Di Indonesia penelitian mengenai efektifitas DSME terhadap pasien DM tipe 2 belum pernah dilakukan. Pelaksanaan DSME sampai saat ini belum dilaksanaan oleh semua rumah sakit melaksanakan sepenuhnya, sehingga manfaatnya yang besar tidak selalu tampak, bahkan tidak disadari adanya. Beberapa penelitian di Indonesia tidak langsung merujuk pada DSME. Beberapa penelitian tersebut adalah Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit dan Komplikasi Pada Penderita Diabetes Melitus dengan Tindakan Mengontrol Kadar Gula Darah di Wilayah Kerja Puskesmas I Gatak Sukoharjo (tidak dapat mengakses link), Hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan praktik penderita Diabetes melitus mengenai pengelolaan Diabetes melitus dengan kendali kadar glukosa darah (Jazilah, Sujono, & Sudarso, 2003), Dukungan keluarga dan jadwal makan sebelum edukasi berhubungan dengan kepatuhan jadwal makan pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 rawat jalan yang mendapat konseling gizi di RSUD Kota Yogyakarta (Purba, Rahayu, & Sinorita, 2010), Pengendalian status gizi, kadar glukosa darah, dan tekanan darah melalui terapi gizi medis pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2 rawat jalan di RSU Mataram NTB (Suhaema, Asdie, & Pangastuti, 2010) dan Pengaruh diabetes self management education dalam discharge planning terhadap self care behavior pasien Diabetes Mellitus tipe 2 (Rondhianto., 2012) Penelitian Pengendalian status gizi, kadar glukosa darah, dan tekanan darah melalui terapi gizi medis pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2 rawat jalan di RSU Mataram NTB merupakan RCT, dengan jumlah sampel 60 orang. Intervensi pada penelitian ini mengacu pada DSME. Penelitian ini membandingkan antara TGM (terapi gizi medis) dengan konseling konvensional, yaitu konseling tanpa pedoman, dilakukan seperti pola atau cara yang selama ini biasa dilakukan sehari-hari di RSU Mataram. Outcome yang dinilai adalah zat gizi (energi, protein, lemak dan karbohidrat), status gizi (berdasarkan IMT dan LP), kadar glukosa darah dan tekanan darah. Kesimpulan dari jurnal ini adalah asupan zat gizi (energi, lemak, karbohidrat dan natrium), pengendalian status gizi dan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 yang mendapat TGM lebih baik

dibandingkan yang mendapat konseling gizi konvensional. Adapun penurunan tekanan darah, khususnya tekanan darah sistolik cenderung lebih baik pada pasien DM tipe 2 yang mendapat TGM dibandingkan yang mendapat konseling gizi konvensional. (Suhaema, Asdie, & Pangastuti, 2010) Penelitian Dukungan keluarga dan jadwal makan sebelum edukasi berhubungan dengan kepatuhan jadwal makan pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 rawat jalan yang mendapat konseling gizi di RSUD Kota Yogyakarta merupakan studi obersavional dengan metode cross sectional. Subjek penelitian adalah semua populasi pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi selama periode bulan Oktober 2008, yang meliputi bersedia menjadi subjek, berumur 25-65 tahun, pernah mendapatkan edukasi perencanaan makan dari ahli gizi, dan berdomisili di Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui hal-hal yang mempengaruhi kepatuhan makan pasien DM tipe 2. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kepatuhan jadwal makan pasien DM tidak berhubungan dengan berapa lama pasien tersebut menderita DM, tidak berhubungan juga dengan aktivitas pekerjaan yang dilakukan. Namun, berhubungan dengan dukungan yang diberikan oleh keluarga dan karakteristik jadwal makan yang sama dengan anjuran ahli gizi sebelum diberikan edukasi oleh ahli gizi. (Purba, Rahayu, & Sinorita, 2010) Penelitian Hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan praktik penderita Diabetes melitus mengenai pengelolaan Diabetes melitus dengan kendali kadar glukosa darah merupakan penelitian observasional dengan metode case-control. Subjek penelitian ini adalah pasien DM yang berobat jalan di RSUP dr Sarjito pada bulan Juli, Agustus dan September tahun 2001. Alat ukur berupa kuisioner dan wawancara mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap dan praktik penderita DM mengenai pengelolaan DM dengan kendali kadar glukosa darah. Hasil penelitian ini adalah ada hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap dan praktik penderita DM mengenai pengelolaan DM dengan kendali kadar glukosa darah. terdapat perbedaan bermakna antara pengetahuan, sikap dan praktik penderita DM dengan pengelolaan DM pada responden dengan glukosa darah terkendali dengan yang tidak terkendali. Faktor penentu yang paling beresiko terhadap kendali kadar glukosa darah adalah variabel praktik dan variabel jarak. Tingkat pengetahuan dan sikap responden mengenai pengelolaan DM bukan merupakan faktor penentuk terkendali tidaknya kadar glukosa darah. (Jazilah, Sujono, & Sudarso, 2003) Penelitian berjudul Pengaruh diabetes self management education dalam discharge planning terhadap self care behavior pasien Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan penelitian quasi experiment dengan pendekatan non randomized control group pretest-posttest design. Kelompok perlakuan diberikan DSME dalam proses discharge planning saat pasien dirawat di rumah sakit. Sampel penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang sedang di rawat di di Ruang Paviliun Bougenville RSU dr. H. Koesnadi Bondowoso pada 11 April sampai dengan 11 Juni 2011 yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi sebanyak 30 orang (15 orang kelompok perlakuan dan 15 orang kelompok kontrol). Instrumen penelitian ini adalah kuesioner SDSCA (Summary of Diabetes Self Care Activities). Kuesioner SDSCA digunakan untuk mengukur self care behavior. Hasilnya menunjukkan bahwa penerapan diabetes self management education (DSME) di dalam discharge

planning memberikan pengaruh yang signifikan dalam peningkatan self care behvior pasien DM tipe 2 dibandingkan dengan pemberian discharge planning yang tanpa menggunakan DSME. (Rondhianto., 2012) Meski masih terdapat kontroversi mengenai efektivitas DSME, tetapi telah ada satu systemic revies yang menilai DSME efektif. Berdasarkan bukti ilmiah mengenai efikasi DSME, maka terkait efektivitas penggunaan DSME, hierarchy of evidence DSME termasuk Ib (minimal satu randomised controlled trials) dengan derajat rekomendasi A (Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib)

D. Economic atributes or impact, Suatu jenis terapi untuk dapat diterima baik oleh pemberi layanan kesehatan, perencana pelayanan kesehatan maupun oleh pihak ke tiga, harus terbukti efektif secara klinis dan costeffective dalam penanganan suatu penyakit. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan DSME. Di Indonesia pernah diteliti mengenai biaya yang dikeluarkan pasien DM yang berobat ke RS dr Sarjito pada tahun 2005. Hasilnya adalah Hasil penelitian menunjukkan biaya terapi total setiap pasien berkisar antara Rp.208.500 sampai Rp.754.500 per bulan. Biaya tertinggi adalah biaya obat (59,5%), diikuti biaya untuk mengatasi komplikasi (31%). Kontrol gula darah dengan menggunakan terapi kombinasi, terbesar adalah pasien dengan sulfonilurea dan biguanid (44,62%). Kombinasi biguanid, oc-glukosidase inhibitor, dan insulin menunjukkan biaya obat terbesar, yaitu Rp.571.000. (Andayani, 2006) Di Indonesia belum ada studi yang menilai efektivitas DSME secara klinis dan costeffectiveness DSME. Pada kajian ini baru dapat disajikan data mengenai tarif konsultasi gizi di Puskesmas Bantul. Tarif untuk satu kali konsultasi adalah Rp5.500,00. Biaya akan banyak dikeluarkan dalam pembentukan Tim edukator diabetes, meliputi biaya untuk pelatihan, serta koordinasi Tim. Tambahan biaya dikeluarkan untuk jika tim perlu melakukan kunjungan rumah. di Puskesmas Bantul, kunjungan rumah memerlukan biaya transportasi sebesar Rp. 15.000,00 per personil yang berkunjung per kunjungan. Jika dikaitkan dengan sistem BPJS sekarang ini, maka tidak akan ada biaya yang perlu dikeluarkan lagi oleh pihak BPJS, karena jika edukasi ini dilaksanakan di seting pelayanan primer, maka biaya akan tercover dalam kapitasi (prepaid system).

E. Social, legal, ethical or political impact of a medical technology. Secara sosial, teknologi ini belum terbiasa dilakukan di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih kurang kesadaran akan hidup sehat, sehingga untuk melakukan intervensi semacam ini membutuhkan usaha yang luar biasa besar terutama dari edukator. Secara kelegalan, teknologi ini tidak melawan hukum dan etika maupun memberi dampak secara politik.

10

BAB IV. KESIMPULAN


DSME merupakan intervensi edukasi bagi penderita DM tipe 2 yang bertujuan untuk memberikan edukasi dengan pendekatan holistik kepada pasien maupun keluarga pasien. Diharapkan edukasi ini berhasil merubah perilaku hidup pasien dan meningkatkan kualitas hidup. Bentuk edukasi yang membedakan dengan edukasi konvensional, adalah adanya kurikulum yang dibuat oleh Tim Edukator. Pelaksana DSME adalah tim edukator yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, ahli farmasi dan psikologi. Dari aspek clinical safety menyebutkan bahwa belum terdapat laporan mengenai efek yang tidak diharapkan. Dari aspek efikasi atau efektivitas, satu systemic review menyebutkan bahwa efektivitas nya lebih baik dari terapi rutin, sehingga teknologi ini dalam hierarchy of evidence termasuk Ib (minimal satu randomised controlled trials) dengan derajat rekomendasi A (Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib) Dari aspek economic attributes or impact, belum terdapat studi yang membahas mengenai cost effectivitas nya. Biaya untuk DSME diperlukan untuk pelatihan Tim Edukator, koordinasi Tim Edukator, biaya konsultasi pasien dan biaya transportasi petugas jika diperlukan kunjungan rumah. Jika mengunakan sistem BPJS maka biaya hanya dikeluarkan untuk pelatihan Tim dan koordinasi Tim edukator. Dari segi sosial, legal, ethical atau political impact or medical technology, DSME tidak melanggar hukum, etik maupun politik. Secara sosial terkait dengan tidak terbiasanya masyarakat Indonesia dengan edukasi langsung dan kurangnya kesadaran untuk perlunya hidup sehat.

11

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, T. (2006). Analisis biaya terapi diabetes mellitus di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia , 17 (3), 130 -135. Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Depkes, RI. . (2008.). Laporan Nasional Riskesdas 2007. . Depkes RI. (2008). Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana penyakit Diabetes melitus. (Cetakan II. ed.). Jakarta: DirPPTM, Dirjen pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Funnell, M., Brown, T., Childs, B., Haas, B., Hosey, G., Jensen, B., et al. (2009). National Standards for Diabetes Self-Management Education. . Diabetes Care , 32 (Supplement 1). Hasanat, U., & Ningrum, R. (2010). Program Edukasi bagi Penderita Diabetes unutk meningkatkan kualitas hidup. Disampaikan dalam Konferensi Nasional II Ikatan Psikologi Klinis - Himpsi, UGM, Fakultas Psikologi , Yogyakarta. Jazilah, Sujono, P., & Sudarso, T. (2003). Hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan praktik penderita Diabetes melitus mengenai pengelolaan Diabetes melitus dengan kendali kadar glukosa darah. Sains Kesehatan , 16 (3), 413-422. Loveman, E., Frampton, G., & AJ, C. (2008). The clinical effectiveness of diabetes education models for Type 2 diabetes:a systematic review. Health Technology Assessment , 12 (9). Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes tipe 2 di Indonesia. Jakarta. Purba, M., Rahayu, E., & Sinorita, H. (2010). Dukungan keluarga dan jadwal makan sebelum edukasi berhubungan dengan kepatuhan jadwal makan pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 rawat jalan yang mendapat konseling gizi di RSUD Kota Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia , 7 (2), 74-79. Rondhianto. (2012). Pengaruh diabetes self management education dalam discharge planning terhadap self care behavior pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing) , 7 (3). Soewondo, P. (2011). Current Practice in the Management of Type 2 Diabetes in Indonesia: Results from the International Diabetes Management Practices Study (IDMPS). J Indon Med Assoc , 61 (12). Soewondo, P., Ferrario, A., & Tahapary, D. (2013). Challenges in diabetes management in Indonesia: A literature review. Globalization and Health. , 9 (63). Steinbekk, A., Rygg, L., Lisulo, M., Rise, M., & Fretheim, A. (2012). Group based diabetes selfmanagement education compared to routine treatment for people with type 2 diabetes mellitus. A systematic review with meta-analysis. Health services research , 12 (213). Suhaema, Asdie, A., & Pangastuti, R. (2010). Pengendalian status gizi, kadar glukosa darah, dan tekanan darah melalui terapi gizi medis pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2 rawat jalan di RSU Mataram NTB. Jurnal Gizi Klinik Indonesia , 7 (2), 48-57.

12

Você também pode gostar