Você está na página 1de 24

ALERGI Alergi merupakan respons system imun yang tidak tepat dan kerapkali membahayakan terhadap substansi yang

biasanya tidak berbahaya. Reaksi alergi merupakan manifestasi festasi cedera jaringan yang terjadi akibat interaksi akibat interaksi antara antigen dan antibody. Kalau tubuh diinvasi oleh antigen yang biasanya berupa protein yang dikenali tubuh sebagai benda asing, maka akan terjadi serangakaian peristiwa dengan tujuna untuk membuat penginvasi tersebut tidak berbahaya, menghancurkannya dan kemudian membebaskan tubuh darinya. Kalau limfosit bereaksi terhadap antigen, kerapkali antibody dihasilkan. Reaksi alergi umum akan terjadi ketika system imun pada seseorang yang rentan bereaksi secara agresif terhadap suatu substansi yang normalnya tidak berbahaya. HIPERSENSITIVITAS Suatu reaksi hipersensitivitas biasanya akan terjadi sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kontak ulang sesudah seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi. Sensitisasi memulai respon humoral atau pembentukan antibody. Untuk menambah pemahaman mengenai imunopatogenesis penyakit, reaksi hipersensitivitas telah diklasifikasikan oleh Gell dan Coombs menjadi 4 tipe reaksi yang spesifik

Hipersensitivitas Anafilaktik (Tipe I)

Keadaan ini merupakan hipersensitivitasanafilaktik seketika dengan reaksi yang dimulai dalam tempo beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan antigen. Kalau mediator kimia terus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlanjut sampai selama 24 jam. Reaksi ini diantarai oleh antibody IgE (reagin) dan bukan oleh antibody IgG atau IgM. Hipersensitivitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi antibody IgE oleh sel-sel plasma. Proses ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel T helper membantu menggalakan rekasi ini. Antibody IgE akan terikat dengan reseptor membrane pada sel-sel mast yang dijumpai dalam jaringan ikat dan basofil. Pada saat kontak ulang, antigen akan terikat dnegan antibody IgE di dekatnya dan pengikatan ini mengaktifan reaksi seluler yang memicu proses degranulasi serta pelepasan mediator kimia. Mediator kimia primer bertanggung jawab atas berbagai gejala pada hipersensitivitas tipe I karena efeknya pada kulit, paru-paru dan traktus gastrointestinal.

Hipersensitivitas Sitotoksik (Tipe II)

Hipersensitivitas sitotoksik terjadi kalau system kekebalan secara keliru mengenali konstituen tubuh yang normal sebagai benda asing. Reaksi ini mungkin merupakan akibat dari antibody yang melakukan reaksi silang dan pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan sel serta karingan. Hipersensitivitas tipe II meliputi pengikatan antiodi IgG atau IgM dengan antigenyang terikat sel. Akibat pengikatan antigen-antibodi berupa pengaktifan rantai komplemen dan destruksi sel yang menjadi empat antigen terikat. Reaksi hipersensitivias tipe II terlibat dalam penyakit miastenia gravis dimana tubuh secara keliru menghasilkan antibody terhadap reseptor normal ujung saraf. Contoh lainnya adalah sindrom Goodpasture yang pada sindrom ini dihasilkan antibody terhadap jaringan paru dan ginjal sehingga terjadi kerusakan paru dan gagal ginjal. Anemia hemolitik imun karena obat, kelainan hemolitik Rh pada bayi baru lahir dan reaksi transfuse darah yang tidak kompatibel merupakan contoh hipersensitivitas tipe II yang menimbulkan destruksi sel darah merah.

Hipersensitivitas Kompleks Imun (Tipe III)

Kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibody dan dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik. Kalau kompleks ini bertumpuk dalam jaringan atau endothelium vaskuler, terdapat dua buah factor yang turut menimbulkan cedera, yaitu : peningkatan jumlah kompleks imun yang beredar dan adanya aminavasoaktif. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler dan cedera jaringn. Persendian dan ginjal merupakan organ yang terutama rentan terhadap cedera ini. Hipersensitivitas tipe III berkaitan dengan sistemik lupus eritematosus, atritis remaotid, serum sickness, tipe tertentu nefritis dan beberapa tipe endokarditis bakterialis.

Hipersensitivitas tipe Lambat (Tiper IV)

Reaksi ini yang juga dikenal sebgaai hipersensitivitas seluler, terjadi 24 hingga 72 jam sesudah kontak dengan allergen. Hipersensitivitas tipe IV diantarai oleh makrofag dari sel-sel T yang sudah tersensitisasi. Contoh reaksi ini adalah efek penyuntikan intradermal antigen tuberculin atau PPD (purified protein derivative). Sel-sel T yang tersensitisasi akan bereaksi dengan antigen pada atau didekat tempat penyuntikan. Pelepasan limfokin akan menarik, mengaktifkan dan mempertahankan sel-sel makrofag pada tempat tersebut. Lisozim yang dilepas oleh sel-sel makrofag akan menimbulkan kerusakan jaringan. Edema dan fibrin merupakan penyebab

timbulnya reaksi tuberculin yang positif. Dermatitis kontak merupaka hipersensitivitas tipe IV yang terjadi akibat kontak dengan allergen seperti kosmetika, plester, obat-obatan topical, bahan aditif obat dan racun tanaman. Kontak primer akan menimbulkan sensitiasasi, kontak ulang menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang tersusun dari molekul dengan berat molekul rendah atau hapten yang terikat dengan protein atau pembawa dan kemudian diproses oleh sel-sel Langerhans dalam kulit. Gejala yang terjadi mencangkup keluhan gatal-gatal. Eritema dan lesi yang menonjol

Imunologi Alergi Istilah alergi, pada tahun 1906, untuk pertama kalinyadiperkenalkan oleh VON PIRQUET,untuk menggambarkan setiap perubahan respon terhadap suatu substansi tertentu-yang diberikan untuk kedua-kalinya. Peningkatan ketahanan-tubuh, yang disebut imunitas dan peningkatan kepekaan yang disebut hipersensitivitas, pada waktu itu dipandang se-bagai dua bentuk alergi yang saling bertolak belakang.Dewasa ini pemakaian istilah alergi, baik dikalangan kedok-teran maupun masyarakat luas, telah berubah. Istilah alergisekarang diartikan sama dengan istilah hipersensitivitas -saja.Pada prinsipnya alergi adalah suatu keadaan yang dise-babkan oleh suatu reaksi imunologik yang spesifik; suatukeadaan yang ditimbulkan oleh alergen atau antigen, sehinggaterjadi gejala -gejala patologik. Secara garis besar, maka reaksialergi dapat dibagi atas dua golongan, yaitu reaksi tipe cepat( immediate type ) dan tipe lambat ( delayed type ). Yangpertama adalah humoral-mediated sedangkan yang kedua,cell-mediated Secara singkat, maka perbedaan antara keduamacam reaksi alergi ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Dewasa ini, umumnya para sarjana di seluruh dunia lebih banyak mempergunakan cara klasifikasi reaksi alergi menurut COOMBS danGELL,oleh karena dirasakan lebih tepat.Mereka membagi reaksi alergi menjadi empat tipe, yaitu: 1.Reaksi Tipe I atau Reaksi Tipe Anafilaktik 2.Reaksi Tipe II atau Reaksi Tipe Sitotoksik 3.Reaksi Tipe III atau Reaksi Tipe Kompleks-Toksik 4.Reaksi Tipe IV atau Reaksi Tipe Seluler

Tipe I hingga III, semuanya termasuk alergi atau hipersensi-tivitas tipe cepat, sedangkan tipe IV termasuk tipe lambat. Reaksi Tipe I atau Reaksi Tipe Anafilaktik

Reaksi ini terjadi pada waktu alergen atau antigenbereaksi dengan zat anti yang spesifik, yang dikenal dengan nama reagin. Berdasarkan penyelidikan ISHIZAKA dan ISHIZAKA,ternyata bahwa aktivitas reagin itu bukan diba-wakan oleh IgG, IgA, IgM maupun IgD, melainkan oleh satu kelas imunoglobulin yang disebut IgE. Imunoglobulin ini mempunyai suatu keistimewaan, yaitu dapat melekat pada selbasofil dan/atau mastosit (mast cell ); oleh karena itu IgEdisebut juga sebagai zat anti homositotropik. Dengan timbulnya reaksi antara antigen dengan zat anti itu, maka terjadilah proses degranulasi di dalam sel tersebut,yang diikuti dengan keluarnya zat farmakologik aktip, yaitu:histamin, zat bereaksi lambat ( slow-reactingsubstance ),serotonin dan bradikinin. Zat-zat ini pada umumnya menye-babkan kontraksi otot polos, vasodilatasi dan meningginya-permeabilitas pembuluh darah kapiler. Akibat reaksi alergiini, maka secara klinik ditemukan penyakit-penyakit seperti :asma bronkial, demam rumput kering (Hay-fever), rinitis-alergika dll. Reaksi Tipe II atau Reaksi Tipe Sitotoksik

Alergi tipe II ini disebabkan oleh karena timbulnyareaksi antara zat anti dengan antigen spesifik yang merupa-kan bagian daripada sel jaringan tubuh atau dengan suatuhapten yang telah berintegrasi dengan sel tersebut. Aktivitas zat anti ini dibawakan oleh kelas IgG dan/atau IgM, yangmempunyai sifat biologik tertentu, yaitu dapat mengikat sis-tem komplemen. Setelah terjadi reaksi antara antigen denganzat antinya, maka aktivasi sistem komplemen dapat dimulai,sehingga timbul pelekatan imun ( immune adherence ), -proses opsonisasi dan akhirnya perusakan permukaan sel ja-ringan tubuh.Secara klinik, reaksi ini sering ditemukan pada transfusidarahyangtidak sesuai, faktor rhesus yang tidak sesuai,penyakit trombositopenik purpura, poststreptokokal glomeru-lonefritis akuta dll.

Reaksi TipeIII atau Reaksi Tipe KompleksToksik

Reaksi ini disebabkan pula oleh kelas IgG dan/atauIgM, akan tetapi aktivitas zat anti yang dibawanya bukanterhadap antigen sel jaringan tubuh, melainkan terhadap an-tigen yang datang dari luar tubuh. Istilah lain untuk tipeIII ini, ialah hipersensitivitas kompleks-imun ( immunecomplex hypersensitivity ). Pada reaksi ini terjadi suatu kompleks terdiri dari kumpulan antigen dengan zat antinya yan gtimbul akibat masuknya antigen asing ke dalam tubuh untuk ke dua kalinya dan bereaksi dengan zat anti spesifiknya.Seperti pada tipe II, maka IgG atau IgM pada tipe III ini dapat pula mengaktipkan sistem komplemen, hanya beda-nya proses ini baru terjadi setelah kompleks antigen-zat anti itu dipresipitasikan. Akibat proses ini, maka akan timbul efek kemotaksis terhadap sel-sel polimorfonuklear, peningkatan daya fagositosis dan pelepasan zat anafilatoksin, yang secara tidak langsung akan meningkatkan permeabilitas -dinding pembuluh darah.Secara klinik, maka reaksi ini akan menyebabkan reaksiArthus, serum sickness , immune complex diseases dll. Reaksi Tipe IV atau Reaksi Tipe Seluler

Reaksi ini bukan disebabkan oleh karena adanya zat antiseperti pada ke tiga tipe alergi yang telah diutarakan tadi.Sesuai dengan istilahnya, maka yang memegang peranan padareaksi alergi tipe seluler ini ialah sistem imunologi sel, yaitu sel limfosit yang telah peka secara spesifik. Bila sel ini berkontak dengan suatu antigen untuk kedua kalinya, akan timbul proses deferensiasi sel sehingga sel limfosit tersebut sanggup menghasilkan dan melepaskan zat yang disebut limfokin ( lymphokine'). Zat ini mempunyai berbagai aktivitas biologik, diantaranya dapat menarik sel-sel makrofagpolimornuklear dan limfosit kearah lokasi rangsangan.Oleh karena timbulnya reaksi ini agak lambat, yaitu sekitar 24 hingga 48 jam, maka secara klinik dikenal sebagaihipersensitivitas jenis lambat .Keadaan ini sering dijumpaipada reaksi tuberkulin, alergi terhadap beberapa macam bak-teri, jamur dan virus, reaksi terhadap jaringan yang ditransplantasikan dan lain-lain. (Source URL: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03DasarAlergi006.pdf/03DasarAlergi006.html

Prednison

nama dagang

- Erlanison - Kokosone - Pehacort - Predsil - Sohoson - Trifacort - Dellacorta

dosis Prednison adalah kortikosteroid sintetik yang umum diberikan per oral, tetapi dapat juga diberikan melalui injeksi intra muskular (im, iv), per nasal, atau melalui rektal. Dosis awal sangat bervariasi, dapat antara 5 80 mg per hari, bergantung pada jenis dan tingkat keparahan penyakit serta respon pasien terhadap terapi. Tetapi umumnya dosis awal diberikan berkisar antara 20 80 mg per hari. Untuk anak-anak 1 mg/kg berat badan, maksimal 50 mg per hari. Dosis harus dipertahankan atau disesuaikan, sesuai dengan respon yang diberikan. Jika setelah beberapa waktu tertentu hasil yang diharapkan tidak tercapai, maka terapi harus dihentikan dan diganti dengan terapi lain yang sesuai.

indikasi Gangguan endokrin

Insufisiensi adrenokortikal primer atau

sekunder (hidrokortison atau kortison merupakan pilihan pertama, namun analog sintetisnya juga dapat digunakan)

Hiperplasia adrenal congenital/bawaan Hiperkalsernia terkait kanker Tiroiditis nonsuppuratif

Penyakit Rheumatoid Sebagai terapi tambahan untuk penggunaan jangka pendek pada terapi penyakit-penyakit:

Psoriatic arthritis Rheumatoid arthritis, termasuk Rheumatoid arthritis pada anak

Ankylosing spondylitis Bursitis akut dan subakut Tenosynovitis nonspesifik akut Gouty arthritis akut Osteoarthritis pasca-traumatik Synovitis of Osteoarthritis Epicondylitis

Penyakit-penyakit Kolagen Apabila keadaan penyakit makin memburuk atau sebagai terapi perawatan pada kasus-kasus:

Systemic lupus erythematosus Systemic-dermatomyositis (polymyositis) Acute rheumatic carditis

Penyakit-penyakit kulit tertentu


Pemphigus Bullous dermatitis herpetiformis Erythema multiforme parah Johnson syndrome) (Stevens-

Exfoliative dermatitis Mycosis fungoides Psoriasis parah dermatitis seborrhea parah

Penyakit-penyakit Alergi Mengendalikan kondisi alergi yang parah yang tidak memberikan hasil yang memadai pada terapi konvensional:

Rhinitis yang disebabkan alergi Asma bronkhial dermatitis kontak dermatitis atopik Serum sickness Reaksi-Reaksi hipersensitivitas terhadap obat

Penyakit-penyakit mata Penyakit-penyakit mata akut atau kronis yang parah terkait proses alergi atau radang, seperti:

Allergic cornea marginal ulcers Herpes zoster ophthalmicus Radang segmen anterior Diffuse posterior uveitis and choroiditis

Sympathetic ophthalmia Konjungtivitis alergik Keratitis Chorioretinitis Optic neuritis Iritis dan iridocyclitis

Penyakit-penyakit saluran pernafasan


Symptomatic sarcoidosis Loeffler's syndrome yang tidak dapat dikendalikan dengan cara lain

Berylliosis Tuberkulosis yang parah, tetapi harus diberikan bersama dengan kemoterapi anti tuberculosis yang sesuai

Aspiration pneumonitis

Penyakit-penyakit Hematologis

Trombositopenia purpura idiopatik pada orang dewasa

Trombositopenia sekunder pada orang dewasa Anemia hemolitik yang disebabkan Reaksi autoimmun

Anemia sel darah merah (Erythroblastopenia) Anemia hipoplastik congenital/bawaan (erythroid)

Penyakit-penyakit keganasan (neoplastik) Sebagai terapi paliatif untuk:

Leukemia dan limfoma pada orang dewasa Leukemia akut pada anak-anak

Edema

Untuk menginduksi diuresis atau remisi proteinuria pada sindroma nefrotik tanpa uremia, jenis idiopatik atau yang disebabkan oleh lupus eritematosus

Penyakit-penyakit sistem pencernaan Untuk membantu pasien melewati periode kritis pada penyakit-penyakit:

Kolitis ulseratif Enteritis regional

Penyakit pada Sistem Syaraf Multiple sclerosis akut yang makin parah Lain-lain

Tuberculous meningitis disertai penghambatan subarachnoid, tetapi harus diberikan bersamasama dengan kemoterapi antituberculous yang sesuai

Trichinosis disertai gangguan syaraf atau gangguan miokardial

kontraindikasi Infeksi jamur sistemik dan hipersensitivitas terhadap prednison atau komponen-komponen obat lainnya.

efek samping

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit


Retensi cairan tubuh Retensi natrium Kehilangan kalium Alkalosis hipokalemia Gangguan jantung kongestif Hipertensi

Gangguan Muskuloskeletal

Lemah otot Miopati steroid Hilangnya masa otot Osteoporosis Putus tendon, terutama tendon Achilles Fraktur vertebral Nekrosis aseptik pada ujung tulang paha dan tungkai

Fraktur patologis dari tulang panjang

Gangguan Pencernaan

Borok lambung (peptic ulcer) kemungkinan disertai perforasi dan perdarahan

Borok esophagus (Ulcerative esophagitis) Pankreatitis Kembung Peningkatan SGPT (glutamate piruvat transaminase serum), SGOT (glutamate oksaloasetat transaminase serum), dan enzim fosfatase alkalin serum. Umumnya tidak tinggi dan bersifat reversibel, akan turun kembali jika terapi dihentikan.

Gangguan Dermatologis

Gangguan penyembuhan luka Kulit menjadi tipis dan rapuh Petechiae dan ecchymoses Erythema pada wajah Keringat berlebuhan

Gangguan Metabolisme

Kesetimbangan nitrogen negatif, yang disebabkan oleh katabolisme protein

Gangguan Neurologis

Tekanan intrakranial meningkat disertai papilledema (pseudo-tumor cerebri), biasanya setelah terapi

Konvulsi Vertigo Sakit kepala

Gangguan Endokrin

Menstruasi tak teratur Cushingoid Menurunnya respons kelenjar hipofisis dan adrenal, terutama pada saat stress, misalnya pada trauma, pembedahan atau Sakit

Hambatan pertumbuhan pada anak-anak Menurunnya toleransi karbohidrat Manifestasi diabetes mellitus laten Perlunya Peningkatan dosis insulin atau OHO (Obat Hipoglikemik Oral) pada pasien yang sedang dalam terapi diabetes mellitus

Katarak subkapsular posterior Tekanan intraokular meningkat Glaukoma Exophthalmos

Lain-lain

Urtikaria dan reaksi alergi lain, reaksi anafilaktik atau hipersensitivitas

interaksi Dengan Obat Lain :

Obat-obat yang menginduksi enzim-enzim hepatik, seperti fenobarbital, fenitoin, dan rifampisin dapat meningkatkan klirens kortikosteroid. Oleh sebab itu jika terapi

kortikosteroid diberikan bersama-sama obatobat tersebut, maka dosis kortikosteroid harus ditingkatkan untuk mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan.

Obat-obat seperti troleandomisin and ketokonazol dapat menghambat metabolisme kortikosteroid, dan akibatnya akan menurunkan klirens atau ekskresi kortikosteroid. Oleh sebab itu jika diberikan bersamaan, maka dosis kortikosteroid harus disesuaikan untuk menghindari toksisitas steroid.

Kortikosteroid dapat meningkatkan klirens aspirin dosis tinggi yang diberikan secara kronis. Hal ini dapat menurunkan kadar salisilat di dalam serum, dan apabila terapi kortikosteroid dihentikan akan meningkatkan risiko toksisitas salisilat. Aspirin harus digunakan secara berhati-hati apabila diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid pada pasien yang menderita hipoprotrombinemia.

Efek kortikosteroid pada terapi antikoagulan oral bervariasi. Beberapa laporan menunjukkan adanya peningkatan dan laporan lainnya menunjukkan adanya penurunan efek antikoagulan apabila diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Oleh sebab itu indeks koagulasi harus selalu dimonitor untuk mempertahankan efek antikoagulan

sebagaimana yang diharapkan. Dengan Makanan : -

mekanisme kerja

Sebagai glukokortikoid, bersifat menekan sistem imun, anti radang.

bentuk sediaan

Tablet 5 mg, Kaptab 5 mg

parameter monitoring

stabilitas penyimpanan

informasi pasien Pasien yang sedang mendapat terapi imunosupresan sedapat mungkin harus menghindari sumber-sumber infeksi, sebab sistem imunnya sedang tidak berjalan baik. Apabila mendapat infeksi, harus segera mendapat pertolongan medis tanpa tunda. Pasien yang sedang dalam terapi imunosupresan

sangat rentan terhadap infeksi, antara lain infeksi oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, dan lain-lain. Oleh sebab itu harus benar-benar dijaga agar terhindar dari sumber infeksi. Kortikosteroid dapat menutupi gejalagejala infeksi atau penyakit lain, dan infeksi baru dapat saja terjadi dalam periode penggunaannya. Terapi kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan katarak subkapsular posterior, glaucoma, yang juga dapat merusak syaraf penglihatan, dan dapat memperkuat infeksi mata sekunder yang disebabkan oleh virus ataupun jamur. Pemberian vaksin hidup ataupun vaksin hidup yang dilemahkan, merupakan kontraindikasi untuk pasien yang sedang mendapat terapi kortikosteroid dosis imunosupresan. Vaksin yang dibunuh atau diinaktifkan dapat saja diberikan, tetapi responnya biasanya tidak memuaskan. Pemberian kortikosteroid pada pasien hipotiroidism ataupun sirosis biasanya menunjukkan efek kortikosteroid yang lebih kuat. Kortikosteroid harus diberikan secara sangat berhatihati pada pasien dengan herpes simpleks okular karena risiko terjadinya perforasi kornea. Penyakit Mukosa Mulut : Lichen Planus Posted on September 5, 2009 by yumizone Penyakit Mukosa Mulut : Lichen Planus Crispian Scully, Marco Carrozzo Pendahuluan Oral Lichen Planus (OLP) adalah penyakit yang umum dijumpai dan hanya mempengaruhi lapisan epithelium skuamosa berlapis. Penyakit ini terdapat diseluruh belahan dunia, mayoritas terjadi pada dekade usia kelima dan keenam, dan resikonya dua kali lipat pada wanita dibandingkan pria.

Penyebab dan Patogenesis OLP adalah penyakit autoimun mediasi sel T namun penyebabnya tidak diketahui secara pasti pada kebanyakan kasus. Peningkatan produksi sitokin TH1 merupakan kunci dan penanda awal terjadinya LP, yang diinduksi secara genetik, dan adanya polimorfisme genetik dari sitokin yang terlihat mendominasi, baik pada lesi yang berkembang hanya pada mulut(diasosiasikan dengan interferon-gamma (IFN-)) atau pada mulut dan kulit(diasosiasikan dengan tumor nekrosis faktor-alpha(TNF-)). Sel T yang teraktivasi kemudian akan tertarik dan bermigrasi melalui epitelium mulut, lebih jauh akan tertarik oleh adhesi molekul interseluler (ICAM-1 dan VCAM), regulasi ke atas dari protein matriks ekstraseluler membran dasar epitelial, termasuk kolagen tipe IV dan VII, laminin dan integrin, dan kemungkinan oleh jalur sinyal CXCR3 dan CCR5. Sitokin disekresi oleh keratinosit misalnya TNF- dan interleukin (IL)-1, IL-8, IL-10, dan IL-12 yang juga kemotaktik untuk limfosit. Sel T kemudian akan berikatan pada keratinosit dan IFN-, dan regulasi berkelanjutan dari p53, matriks metalloproteinase 1 (MMP1) dan MMP3 memicu proses kematian sel (apoptosis), yang akan menghancurkan sel basal epitelial. Perjalanan kronis dari OLP merupakan hasil dari aktivasi faktor nuklear mediatorinflamasi kappa B (NF-B), dan inhibisi dari jalur pengontrol faktor pertumbuhan transformasi (TGFbeta/smad) yang menyebabkan hiperproliferasi keratinosit yang memicu timbulnya lesi putih. Asosiasi dengan Penyakit Sistemik LP dapat diasosiasikan dengan banyak penyakit sistemik, beberapa telah dikonfirmasi, namun infeksi virus Hepatitis C (HCV) dapat memproduksi tanda ekstrahepatik yang termasuk satu diantaranya adalah LP. Sel T spesifik-HCV mungkin memiliki peranan dalam patogenesis pada beberapa kasus OLP. Dalam review sistematis terkini yang menyertakan studi terkontrol, proporsi manusia yang terinfeksi HCV lebih tinggi pada kelompok LP dibanding kelompok kontrol yaitu 20 dari 25 studi, dan pasien dengan LP memiliki resiko lima kali lipat lebih besar terinfeksi HCV dibanding kelompok kontrol. Namun, hal ini tidak terlihat pada kasus yang terjadi di Inggris maupun Eropa Utara. OLP yang terkait HCV diasosiasikan dengan HLA kelas II alel HLA-DR6 pada pasienItalia tetapi tidak pada pasien Inggris, hal ini dapat menjelaskan sebagian alasan bahwa heterogenitas geografis juga berpengaruh. Lesi Mulut

OLP dapat muncul sebagai lesi kecil, putih, panjang seperti tali dan bertambah banyak (Gambar 1 dan 2), papula (Gambar 3) ataupun plak, dan dapat memicu penyakit keratotik seperti leukoplakia. Lesi atrofik (Gambar 4) dan erosi (Gambar 5) adalah bentuk yang paling sering menimbulkan rasa sakit. Bagian yang paling umum muncul lesi adalah mukosa bukal, lidah (terutama pada dorsum), gingiva, mukosa labial, dan tepi vermilion dari bibir bawah. Sekitar 10% dari pasien dengan OLP memiliki lesi yang hanya terbatas pada gingiva (Gambar 6). Lesi eritrematous pada gingiva menyebabkan gingivitis deskuamasi, tipe LP gingival yang paling umum, yang muncul dapat berupa plak ataupun papula kecil, putih, panjang seperti tali dan bertambah banyak, dan dapat menyerupai friksional keratosis maupun leukoplakia. Lesi pada palatum, dasar mulut, dan bibir atas jarang terjadi. LP yang terisolasi pada satu tempat dalam rongga mulut selain di gingiva juga jarang terjadi, namun pada beberapa pasien pernah terlihat adanya lesi yang terisolasi pada bibir atau lidah saja. Lesi likenoid juga dapat terisolasi (lihat bawah). OLP dapat secara klinis terlihat berbeda, namun pada banyak kasus tidak. Bentuk seperti plak dari LP dapat menyerupai leukoplakia, terutama leukoplakia verukosa proliferatif. Lesi putih berstriata, dengan atau tanpa erosi dapat menyerupai lupus eritrematosa. Pada kasus yang jarang dimana lesi putih tidak dapat terlihat dalam bentuk erosif atau terulserasi, maka lesi ini dapat sulit untuk dibedakan secara klinis dari penyakit vesikuloerosif lainnya misal pemphigus dan pemphigoid. Lesi terkadang dapat menyerupai karsinoma. Potensi Malignansi dari OLP Setidaknya terdapat tiga studi yang menggunakan kriteria diagnostik ketat yang menunjukkan bahwa terdapat resiko signifikan terjadinya transformasi malignansi dari OLP menjadi karsinoma sel skuamosa (SCC). Akumulasi dari sintase oksida nitrit terinduksi (iNOS) dengan 8nitroguanine dan 8-okso-7, 8-dihdro-2-deoksiguanosine (8-oxodG) pada epitelium oral OLP kemungkinan menunjukkan kerusakan oksidatif dan nitratif DNA yang dapat menjadi dasar dari malignansi. Resiko transformasi malignansi bervariasi antara 0.4 hingga 5% dalam periode waktu observasi dari 0.5 hingga 20 tahun, dan tidak dibatasi tipe klinis dari OLP atau perawatan yang diberikan. Namun, terdapat kemungkinan bahwa perawatan dengan agen imunosupresif secara teoritis dapat mengurangi kekebalan tubuh (lihat bagian dibawah Manajemen)

Lesi Ekstraoral Pasien OLP dapat mengalami lesi yang mengenai kulit, tambahan kulit (appendage) dan mukosa lainnya. Kulit Sekitar 15% dari pasien OLP memiliki lesi kutaneus. Lesi ini khususnya terlihat pada permukaan fleksor dari siku dan berupa eritrematous, bagian atas rata, pruritik, papula poligonal yang memiliki jalinan garis nyata (Wickhams striae) pada permukaannya, dan berkembang dalam jangka waktu beberapa bulan hingga terlihat sebagai OLP. (Gambar 7) Tambahan Kulit (Appendage) LP pada kulit kepala dapat menyebabkan alopecia dengan luka parut, lichen planopilaris. LP juga dapat terjadi pada kuku, sehingga menghasilkan kuku yang lebih tipis dan kasar dan belahan pada ujung distal dari kuku. Mukosa ekstraoral Lesi genital yang disebut sebagai sindrom vulvovaginal-gingival berkembang pada 20% dari wanita dengan OLP dan ditandai dengan rasa terbakar, sakit, tidak nyaman dan dispareunia. Lesi ini dapat menjadi ganas. LP esofageal telah banyak didokumentasikan dengan baik dan relatif umum dijumpai pada pasien LP oral, namun LP pada ocular, urinary, nasal, laringeal, otic, gastric dan mukosa anal jarang terjadi. Reaksi Likenoid Oral Reaksi likenoid merupakan lesi yang secara klinis dan histologis terlihat sebagai OLP, namun memiliki etiologi yang dapat diidentifikasi. Faktor presipitasinya antara lain penyakit Graftversus-Host kronis (cGVHD), beberapa material dental, dan berbagai macam obat. Reaksi likenoid memiliki tendensi untuk muncul unilateral dan erosif, dan dalam pemeriksaan histologis dapat menunjukkan infiltrat limfositik yang lebih difus disertai sel plasma dan eosinofil dan dengan lebih banyak colloid bodies dibanding LP klasik. Penyakit Graft-versus-Host kronis (cGVHD) Transplantasi sel stem hematopoetic telah digunakan secara luas dalam perawatan penyakit hematological baik malignan maupun non-malignan, namun hal ini diasosiasikan dengan berbagai macam komplikasi, termasuk penyakit Graft-versus-Host. Reaksi likenoid oral sering terlihat pada penyakit Graft-versus-Host kronis (cGVHD).

Pasien yang memiliki transplantasi allogenik dan memiliki resiko tinggi berkembangnya malignan sekunder, secara khusus yaitu leukimia dan limfoma, juga memiliki resiko terjadinya karsinoma sel skuamosa dan beberapa karsinoma oral telah dilaporkan. Material restorasi dental Material dental dapat menjadi penyebab dari reaksi likenoid oral termasuk didalamnya adalah amalgam, resin komposit, kobalt dan emas. Reaksi ini dapat diduga sebagai lesi OLP apabila hanya terbatas pada mukosa yang berkontak rapat dengan, atau pada jarak dekat dengan restorasi tersebut. Terkadang dapat muncul unilateral. Beberapa penulis menduga bahwa sensitisasi merkuri merupakan salah satu penyebab penting lesi ini, namun yang lainnya menemukan bahwa pada beberapa orang yang sensitif terhadap merkuri, tidak menunjukkan efek menguntungkan setelah pembuangan restorasi amalgam, yang mana dapat diduga bahwa ada faktor lain yang terlibat. Sayangnya, tes sensitivitas kulit dan spesimen biopsi ternyata tidak dapat memprediksi respon dari pembuangan amalgam, namun reaksi terhadap tes kulit dengan penggunaan lebih dari satu jenis alergen merkuri dapat meningkatkan akurasi dari diagnosis. Selain itu juga dilaporkan adanya transformasi menjadi malignan pada lesi likenoid yang terkait dengan restorasi. Obat-Obatan Reaksi likenoid yang diinduksi oleh obat paling sering dikarenakan NSAID (Non Steroida Anti Inflammatory Drugs) dan obat inhibisi enzim pengubah angiotensin. Beberapa obat lain juga dapat terkait dengan reaksi likenoid, namun hanya terdapat pada kasus tertentu saja. Metode yang paling memungkinkan untuk mendiagnosis reaksi likenoid adalah dengan melihat apakah reaksi hilang segera setelah pemberian obat-obatan tersebut dihentikan dan apakah kembali ada apabila obat itu dikonsumsi lagi. Namun, hal ini terkadang tidak praktis dan memiliki potensi bahaya; mungkin membutuhkan beberapa bulan sebelum reaksi likenoid sembuh sehingga penghentian obat perlu dipertanyakan dan akan lebih terjamin dengan penggunaan substitusi obat. Diagnosis OLP OLP yang berupa lesi putih yang umum mungkin akan mudah didiagnosis dengan benar apabila terdapat lesi kulit ataupun lesi ekstraoral lainnya. Namun, biopsi oral disertai pemeriksaan

histopatologis, keduanya direkomendasikan untuk mengonfirmasi diagnosa klinis dan khususnya untuk mengesklusi displasia dan malignansi. Perlu diketahui, hasil pemeriksaan histopatologis OLP dapat bersifat subyektif dan, pada setengah dari beberapa kasus, terdapat korelasi buruk klinikopatologis. Pada kondisi ini, mungkin akan membantu dengan melakukan pemeriksaan imunofluorescence secara langsung, yang akan menunjukkan bentuk linear dari fibrin dan fibrinogen yang terdeposit pada membran dasar epitelial atau badan sitoid (Russel bodies), atau keduanya apabila tidak adanya deposisi fibrinogen. Manajemen OLP Perawatan LP bergantung pada gejala, perluasan dari keterlibatan oral dan ekstraoral secara klinis, riwayat medis, dan faktor lainnya. Pada kasus pasien dengan reaksi likenoid, faktor presipitasinya harus dieliminasi. Pasien dengan OLP retikular dan asimptomatik lainnya umumnya tidak membutuhkan perawatan aktif. Luka mekanis atau iritan seperti tepi restorasi atau gigi tiruan yang tidak nyaman harus diberi perhatian serius dan perlu dibuat program untuk mengoptimalkan higienitas oral, terutama pada pasien LP gingival. Pasien dengan lesi simptomatik juga membutuhkan perawatan ,biasanya dengan obat, terkadang dibutuhkan terapi bedah. Perawatan Obat Perawatan dengan agen topikal lebih diutamakan untuk mencegah efek samping. Namun, agen sistemik mungkin dibutuhkan apabila lesi telah meluas, atau terjadi penyakit yang bersifat recalcitrant. Obat untuk OLP umumnya bersifat imunosupresif dan beberapa dikembangkan khusus untuk penyakit oral, konsekuensinya, kurang adanya studi yang mencukupi mengenai penggunaannya. Pasien harus diberi peringatan mengenai pentingnya mengikuti instruksi yang ada, terutama pada instruksi obat yang terdapat tulisan, hanya untuk pemakaian luar Kortikosteroid Topikal Kortikosteroid topikal dengan potensial sedang seperti triamcinolone, steroid poten yang terfluorinasi seperti fluocinolone acetonide dan fluocinonide, dan steroid superpoten terhalogenasi seperti clobetasol, terbukti efektif pada kebanyakan pasien. Eliksir seperti dexamethasone, triamcinolone dan clobetasol dapat digunakan sebagai obat kumur untuk pasien

dengan keterlibatan oral yang difus/ menyebar atau pada kondisi dimana sulit untuk mengaplikasikan medikasi pada bagian tertentu di dalam mulut. Tidak terdapat data yang definitif untuk membuktikan steroid topikal dengan bahan adesif lebih efektif dibanding bentuk preparasi lainnya, walaupun telah digunakan secara luas. Pasien harus dinstruksikan untuk mengaplikasikan steroid (ointment, spray, obat kumur atau bentuk lain) beberapa kali dalam sehari, untuk menjaga agar obat tetap berkontak dengan mukosa selama beberapa menit, dan pasien harus menunda makan atau minum selama satu jam setelahnya. Mayoritas studi menunjukkan bahwa kortikosteroid topikal lebih aman apabila diaplikasikan pada membran mukosa dalam interval waktu yang pendek, selama 6 bulan, namun terdapat potensi terjadinya supresi adrenal pada pemakaian dengan jangka waktu lama, terutama pada penyakit yang sudah kronis, sehingga membutuhkan follow up berkala dan penanganan yang lebih hati-hati. Supresi adrenal lebih sering terjadi pada pemakaian steroid sebagai obat kumur. Beberapa efek samping yang serius dapat muncul dari penggunaan kortikosteroid topikal, namun pada pasien OLP yang mengalami candidiasis sekunder, beberapa klinisi memberikan obat antifungal. Agen Topikal Lainnya Agen imunosupresan dan imunomodulator yang lebih poten seperti inhibitor calcineurin (ciclosporin, tacrolimus atau pimecrolimus) atau retinoid (tretinoin) dapat membantu. Ciclosporin dapat digunakan sebagai obat kumur namun mahal, kurang efektif dibanding clobetasol topikal dalam menginduksi perbaikan klinis OLP, walaupun dua jenis obat ini memiliki efek yang hampir sama dalam mengatasi gejala. Tacrolimus, 100 kali lebih poten dibanding ciclosporin, menunjukkan efektifitas tanpa efek samping secara klinis pada beberapa studi klinis tanpa kelompok kontrol, namun mengakselerasi karsinogenesis kulit pada kulit sehingga Food and Drug Administration (FDA) membatasi penggunaannya. Saat ini, terdapat laporan yang menunjukkan kanker oral pada OLP yang diobati dengan tacrolimus. Retinoid topikal seperti tretinoin atau isotretinoin telah cukup banyak digunakan pada pasien OLP, terutama bentuk atrofik-erosif, dengan perbaikan yang memuaskan namun retinoid memiliki efek samping dan kurang efektif jika dibanding kortikosteroid topikal. Obat Sistemik

Beberapa kortikosteroid sistemik yang dianggap paling efektif untuk mengobati OLP, pada penelitian terkini menunjukkan tidak adanya perbedaan respon yang signifikan antara prednisone sistemik (1 mg/kg/hari) dengan clobetasol topikal pada bahan adesif dibandingkan dengan clobetasol saja. Kortikosteroid sistemik biasanya digunakan pada kasus dimana aplikasi topikal tidak berhasil, terdapat OLP recalcitrant, erosif atau eritrematous, atau pada OLP yang menyebar hingga kulit, genital, esofagus, dan kulit kepala. Prednisolone 40-80 mg tiap hari biasanya cukup untuk mendapat respon perbaikan; toksisitas yang mungkin timbul membuatnya hanya diresepkan apabila benar-benar dibutuhkan, pada dosis terendah, dan untuk jangka waktu terpendek yang paling memungkinkan. Harus diberikan pada jangka waktu yang mencukupi (57 hari) kemudian dihentikan, atau dosisnya dapat dikurangi 5-10 mg/ hari secara gradual selama 2-4 minggu. Efek samping dapat diminimalkan apabila pasien dapat menoleransi total dosis yang sama pada hari lainnya. Bedah Reseksi direkomendasikan pada plak yang terisolasi ataupun erosi yang tidak menyembuh, karena dengan prosedur ini dapat diambil spesimen jaringan untuk konfirmasi diagnosis secara histopatologis, dan dapat menyembuhkan lesi yang terlokalisir, namun hanya beberapa data yang mendukung hal tersebut. Graft jaringan lunak dapat diberikan pada OLP erosif, dan OLP simptomatik akan hilang secara menyeluruh dengan perawatan graft gingival setelah follow up 3.5 tahun. Namun, bedah periodontal juga dilaporkan dapat memicu OLP. Cryosurgery telah digunakan secara khusus pada OLP erosif yang resisten terhadap obat, tetapi lesi ini dapat berkembang pada bekas lesi yang telah sembuh ataupun sembuh dalam bentuk jaringan parut. Laser juga telah digunakan untuk merawat OLP; laser karbon dioksida digunakan pada lesi multisentrik atau area yang sulit dijangkau, dan laser eksimer 308 nm dengan dosis rendah terbukti cukup menjanjikan pada tiga kali percobaan, namun perlu bukti lebih lanjut untuk membukti efektifitasnya pada OLP, sebagaimana pada kasus terapi fotodinamik. Surveillance Kanker Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa pentingnya untuk memonitoring pasien dengan OLP pada jangka waktu lama.

Você também pode gostar

  • Jurnal Translate DRG Peni
    Jurnal Translate DRG Peni
    Documento11 páginas
    Jurnal Translate DRG Peni
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Jadwal Matrikulasi
    Jadwal Matrikulasi
    Documento2 páginas
    Jadwal Matrikulasi
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Bab 2 Skripsi
    Bab 2 Skripsi
    Documento2 páginas
    Bab 2 Skripsi
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Dimas
    Dimas
    Documento12 páginas
    Dimas
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Bab Ii Tinjauan Teori PDF
    Bab Ii Tinjauan Teori PDF
    Documento10 páginas
    Bab Ii Tinjauan Teori PDF
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Jurnal Translate DRG Peni
    Jurnal Translate DRG Peni
    Documento11 páginas
    Jurnal Translate DRG Peni
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Jadwal Matrikulasi
    Jadwal Matrikulasi
    Documento2 páginas
    Jadwal Matrikulasi
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • BAHAN
    BAHAN
    Documento4 páginas
    BAHAN
    DanielSantoso
    Ainda não há avaliações
  • Post
    Post
    Documento3 páginas
    Post
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • LO 3a
    LO 3a
    Documento3 páginas
    LO 3a
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Bab 2 Skripsi
    Bab 2 Skripsi
    Documento3 páginas
    Bab 2 Skripsi
    Daniel
    Ainda não há avaliações
  • Rencana Perawatan (Post) Skenario 6
    Rencana Perawatan (Post) Skenario 6
    Documento5 páginas
    Rencana Perawatan (Post) Skenario 6
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Soal Prof
    Soal Prof
    Documento6 páginas
    Soal Prof
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • LO 2 Instrumentasi FIX
    LO 2 Instrumentasi FIX
    Documento6 páginas
    LO 2 Instrumentasi FIX
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Kontraindikasi Kuretase
    Kontraindikasi Kuretase
    Documento1 página
    Kontraindikasi Kuretase
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Uab Kurhab 3 2011
    Uab Kurhab 3 2011
    Documento13 páginas
    Uab Kurhab 3 2011
    Ayu Prativia Yonenda
    Ainda não há avaliações
  • PR 4 Uji Lab Fix
    PR 4 Uji Lab Fix
    Documento5 páginas
    PR 4 Uji Lab Fix
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Uji Laboratorium
    Uji Laboratorium
    Documento1 página
    Uji Laboratorium
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Dowel Reteiner
    Dowel Reteiner
    Documento1 página
    Dowel Reteiner
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • STEP I-V Skenario 6
    STEP I-V Skenario 6
    Documento8 páginas
    STEP I-V Skenario 6
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • FRENEKTOMI
    FRENEKTOMI
    Documento1 página
    FRENEKTOMI
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Laporan Tutorial Skenario 1
    Laporan Tutorial Skenario 1
    Documento32 páginas
    Laporan Tutorial Skenario 1
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • STEP I-V Skenario 6
    STEP I-V Skenario 6
    Documento8 páginas
    STEP I-V Skenario 6
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Dowel Reteiner
    Dowel Reteiner
    Documento1 página
    Dowel Reteiner
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • LO 2 Instrumentasi FIX
    LO 2 Instrumentasi FIX
    Documento6 páginas
    LO 2 Instrumentasi FIX
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Lo 2 Skenario 4
    Lo 2 Skenario 4
    Documento1 página
    Lo 2 Skenario 4
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Indikasi Restorasi Komposit
    Indikasi Restorasi Komposit
    Documento1 página
    Indikasi Restorasi Komposit
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Tugass
    Tugass
    Documento2 páginas
    Tugass
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Lo 1 Skenario 2
    Lo 1 Skenario 2
    Documento1 página
    Lo 1 Skenario 2
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações
  • Skenario 5
    Skenario 5
    Documento10 páginas
    Skenario 5
    Retno Trisnawati
    Ainda não há avaliações